CAPAIAN KINERJA PEMBANGUNAN DAN GAMBARAN

PRODUK

®

ANSIS

(analisis situasi)
JA RIN GA N S U RV E I I NI SI ATI F

4th Edition
Januari 2016

DAFTAR ISI
1

CAPAIAN KINERJA PEMBANGUNAN
& GAMBARAN TATA KELOLA
PEMERINTAHAN DI PROVINSI ACEH

PENDAHULUAN


3
9

PENDAHULUAN

UKURAN EFEKTIVITAS KINERJA
PEMBENAHAN TATA KELOLA
PEMERINTAHAN SEBAGAI SOLUSI

10

RUJUKAN

JARINGAN SURVEI INISIATIF
HEAD OFFICE
Jl. Syiah Kuala, Lr. Nyak Bintang,
Gp. Lamdingin, Kec. Kuta Alam,
Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh-23127
INDONESIA
Telp. (0651) 6303 146


M

asa pemerintahan Gubernur Aceh telah memasuki tahun ketiga, tetapi dalam rentang waktu
tersebut, isu tentang capaian kinerja pemerintahan masih menjadi permasalahan utama. Hal
ini setidaknya tampak dari pemberitaan yang muncul di
berbagai media massa dan penilaian kinerja yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Hasil evaluasi kinerja pemerintah provinsi se-Indonesia yang diselenggarakan oleh
Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi pada tahun 2015 menempatkan
Pemerintah Provinsi Aceh dalam kategori CC untuk capaian kinerja pemerintahan.

Kendati berada pada kategori cukup, tapi capaian ini menyiratkan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Pemerintah
Provinsi Aceh. Kritik terhadap kinerja Pemerintah Provinsi Aceh terutama berkenaan dengan kemampuan penyerapan APBA yang selama
ini masih belum optimal. Hingga bulan keempat tahun 2015, daya serap
keuangan masih 4,3%, menurun dibanding periode yang sama pada tahun 2014 yang mencapai 8%.

ANSIS JSI Vol. IV - Januari 2016

Web: www.jsithopi.org
Email: js.inisiatif@gmail.com


EDITORIAL STAFF

EDITOR IN CHIEF
Aryos Nivada
WRITERS
Caroline Paskarina
LAY OUT & Cover
Teuku Harist Muzani
SENIOR EXPERT
ANDI AHMAD YANI, CAROLINE PASKARINA,
ELLY SUFRIADI, CHAIRUL FAHMI,
MONALISA, AFFAN RAMLI
FAHRUL RIZA YUSUF

1

“.....capaian kinerja menjadi salah satu tolok ukur
untuk menilai kemampuan pemerintah untuk
menggunakan berbagai sumber daya secara

efektif dan efisien.....”
Akibatnya, penyelenggaraan program-program pembangunan menjadi terhambat dan menganggu laju
pertumbuhan ekonomi. Dampak berikutnya adalah
menurunnya daya beli masyarakat dan meningkatnya pengangguran.
Padahal, Dana alokasi umum (DAU) yang diterima
Pemerintah Aceh untuk biaya operasi pemerintahan
Rp 1,2 triliun, sementara pagu belanja pegawainya dalam APBA 2015 sudah mencapai Rp 1,4 triliun lebih,
yaitu pada pos belanja tidak langsung Rp 949,43 miliar dan pada pos belanja langsung Rp 484,43 miliar.
Jumlah ini tidak dapat dikatakan kecil untuk meningkatkan kinerja pemerintahan, tetapi pada kenyataannya ternyata tidak berbanding lurus dengan harapan
publik akan peningkatan kinerja pemerintahan.

Tidak hanya menjadi alat ukur seberapa baik pemerintah melaksanakan tugasnya, kinerja pemerintahan juga menjadi modal politik untuk memulihkan
kepercayaan publik dan meningkatkan legitimasi
pemerintah di mata publik. Kegagalan untuk mengatasi persoalan lemahnya kinerja pemerintahan dapat
mengarah pada munculnya stigma pemerintahan
yang inefektif, bahkan pemerintahan yang gagal .1

Stigma tersebut tentunya tidak diharapkan di tengah
semangat otonomi yang mendasari pengelolaan pemerintahan di Aceh. Karena itu, upaya-upaya strategis perlu segera dilakukan untuk memperbaiki kinerja Pemerintah Provinsi Aceh. Langkah awal yang
dilakukan adalah memetakan simpul-simpul persoalan yang menghambat optimalisasi kinerja pemerintahan di Provinsi Aceh, kemudian merumuskan

Dalam konteks tata kelola pemerintahan yang baik, strategi untuk mengatasi persoalan-persoalan tersecapaian kinerja menjadi salahsatu tolok ukur untuk but.
menilai kemampuan pemerintah untuk menggu****
nakan berbagai sumber daya secara efektif dan efisien
dalam rangka mewujudkan kepentingan publik, yakni kesejahteraan.
Secara sederhana, kinerja merupakan ukuran yang
dipakai untuk mengevaluasi seberapa baik seseorang
atau suatu lembaga melaksanakan pekerjaannya jika
dibandingkan dengan seperangkat standar. Dengan
demikian, kinerja pemerintahan merupakan evaluasi
tentang seberapa baik lembaga pemerintahan melaksanakan pekerjaannya.
Ketika ada lembaga pemerintah yang dinilai belum
menunjukkan kinerja yang baik, maka penanganan
terhadap penyebabnya harus menjadi prioritas.

2

1
Istilah ini mengadopsi dari konsep negara gagal (failed
state) yang dikemukakan Fukuyama (2005) untuk menunjuk
pada institusi negara yang gagal menyediakan berbagai kebutuhan dasar bagi rakyatnya, tidak hanya kebutuhan yang bersifat ekonomi, tetapi juga mencakup kebutuhan-kebutuhan yang

bersifat psikis, seperti rasa aman, keadilan, dan pengakuan akan
keberagaman. Lihat juga Sacks dan Levi (2007) untuk konsep
pemerintahan efektif, yang menekankan bahwa pemerintahan
yang efektif lebih dari sekedar pemerintahan yang mampu menyediakan pelayanan publik, tetapi juga mencakup kapabilitas
untuk melaksanakan fungsi-fungsi demi mengembangkan kesejahteraan sosial.
ANSIS JSI Vol. IV - Januari 2016

“....Kegagalan untuk mengatasi persoalan lemahnya kinerja
pemerintahan dapat mengarah pada munculnya stigma
pemerintahan yang inefektif, bahkan pemerintahan yang gagal....”

Ukuran Efektivitas Kinerja

P

emerintahan yang efektif, sebagaimana dikemukakan oleh Sacks dan Levi
(2007), merupakan pemerintahan yang
mampu melindungi seluruh rakyatnya
dari kekerasan, menjamin keamanan dalam hal
kepemilikan sumber daya, serta menyediakan infrastruktur yang diperlukan untuk menyediakan

dan memperoleh barang dan jasa yang diperlukan
bagi pemenuhan kebutuhan hidup rakyat. Konsep tersebut menempatkan pengukuran efektivitas pemerintahan menjadi lebih luas dari sekedar
penyediaan pelayanan publik, tetapi mencakup
pula kapabilitas atau kemampuan pemerintah
untuk melaksanakan fungsi-fungsinya secara
sistematis demi mewujudkan keadilan sosial bagi
rakyatnya.

Kapabilitas tersebut dapat dicapai jika pemerintah
mampu memanfaatkan secara optimal berbagai instrumen tata kelola yang tersedia. Hood dan Margetts
(2007) menyebutkan 4 (empat) instrumen yang dapat
digunakan pemerintah untuk bekerja dengan efektif,
yakni nodality (informasi), authority (kewenangan),
treasure (anggaran), dan organization (organisasi).
Dari keempat instrumen tersebut, yang dianggap
menjadi persoalan bagi Pemerintah Provinsi Aceh
adalah instrumen anggaran (treasure), sehingga instrumen ini menjadi simpul yang akan diuraikan terlebih dahulu. Meskipun demikian, instrumen anggaran dengan ketiga instrumen lainnya tetap memiliki
saling keterkaitan, sehingga di dalam analisis berikut
ini keterkaitan tersebut akan diungkapkan dengan
berfokus pada instrumen anggaran.


Kemampuan perencanaan dan penganggaran
Persoalan yang dihadapi Pemerintah Provinsi Aceh
dalam hal perencanaan dan penganggaran terletak
pada keterlambatan dalam penetapan anggaran.
Proses penetapan anggaran adalah bagian dari sistem
perencanaan pembangunan yang mencakup proses teknokrasi, proses politik, proses top-down, dan
proses bottom-up. Kelambanan dalam hal penyelenggaraan proses ini dapat disebabkan oleh kemandegan
pada salahsatu atau keseluruhan proses tersebut.
Proses teknokrasi, proses top-down, dan proses bottom-up merupakan ranah eksekutif di dalam penyusunan rencana pembangunan dan pengalokasian
anggaran. Hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri
terhadap ajuan rencana pembangunan dan APBA
menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa anggaran yang harus direalokasikan dan beberapa alokasi
bahkan diminta untuk dihapuskan. Direktur Jenderal
Keuangan Daerah Kemdagri merekomendasikan beberapa perubahan, antara lain menambah anggaran
pendidikan sehingga mendekati 20%; penghapusan
dana Bantuan Sosial dan dana hibah; peningkatan
anggaran infrastruktur yang semula 16,7%; mengefisiensikan anggaran perjalanan dinas; serta alokasi
anggaran untuk membayar hak-hak kabupaten/kota
yang selama ini belum terpenuhi.2


Rekomendasi dari Kemdagri tersebut mengindikasikan masih terdapat kelemahan dari sisi kapasitas perencanaan, sehingga perlu ada upaya untuk
menentukan kembali skala prioritas dalam perencanaan dan alokasi anggaran. Alokasi dana bansos dan
Setidaknya ada 3 (tiga) ukuran efektivitas kinerja dana hibah yang sarat dengan nuansa politis dan sulit
pemerintahan yang berkaitan dengan kemampuan dipertanggungjawabkan perlu dialihkan pada propemerintah mengelola instrumen anggaran, yakni gram-program kesejahteraan yang dapat berdampak
kemampuan perencanaan dan penganggaran; kemampuan penyerapan anggaran; dan akuntabilitas 2
http://infopublik.id/read/105135/kemdagri-apresiasi-kinerja-pemprov-dan-dpr-aceh.html, diunduh tanggal
pengelolaan anggaran.
30 Desember 2015

ANSIS JSI Vol. IV - Januari 2016

3

“.....Ekonomi Aceh sangat tergantung dengan APBA, ini
disebabkan relatif besarnya porsi APBA terhadap struktur
perekonomian Provinsi Aceh. ..”

lebih banyak kepada masyarakat Aceh. Sementara
anggaran belanja pegawai, khususnya perjalanan dinas, juga perlu dihitung dengan lebih proporsional.

Kapasitas teknokratis dalam penyusunan rencana
program dan anggaran juga ditentukan oleh kompetensi aparatur sipil negara yang berwenang dalam perencanaan pembangunan.

dihindari dengan memperbaiki tata hubungan kerja antara eksekutif dan legislatif, antara lain melalui
penetapan jadwal penyampaian rancangan APBA.
Keterlambatan pengajuan rancangan anggaran berdampak pada kontinuitas penyelenggaraan pembangunan, sehingga upaya menangani persoalan ini tidak
cukup hanya dengan pembenahan di tim anggaran
eksekutif, tapi juga perlu pembenahan dalam hubungan kerja dengan DPRA. Konsultasi dalam penyusunan anggaran menjadi alternatif untuk menjembatani
berbagai kepentingan, sehingga proses penetapan anggaran tidak menjadi proses yang dipolitisasi.

Isu pergantian pejabat di lingkungan SKPA yang sering terjadi diduga turut menyebabkan kelambanan
dalam hal penyusunan rencana dan anggaran tahunan. Birokrasi merupakan organisasi yang dikelola
dengan menggunakan standar kompetensi tertentu.
Sebagai mesin pemerintahan, birokrasi dituntut untuk profesional dalam melaksanakan tugasnya, de- Kemampuan penyerapan anggaran
mikian pula rekrutmen dan penempatan sumber
daya manusia pada posisi-posisi birokrasi mengacu Realisasi keuangan dan fisik bersumber dari APBA
tahun 2015 hingga memasuki triwulan II masih
pada standar kompetensi tersebut.
sangat rendah. Berdasarkan monitoring Unit KerKetika pengisian jabatan tersebut sarat dengan nuan- ja Percepatan dan Pengendalian Kegiatan Anggaran
sa politik, maka nalar profesionalisme tersebut akan Pendapatan dan Belanja Aceh (UKP2K APBA), dari

terganggu dan menyebabkan kinerja birokrasi men- pagu tahun 2015 senilai Rp 12,755 triliun, realisasi
jadi lamban. Karena itu, perlu ada upaya untuk mem- keuangan dan fisik masing-masing hanya 4,3% sambentuk birokrasi profesional yang dapat mendukung pai bulan April 2015. 3 Pada pemantauan berikutnya
kinerja pemerintahan.Selain proses teknokrasi, per- di bulan Agustus 2015, penyerapan anggaran juga beencanaan dan penganggaran juga merupakan proses lum menunjukkan peningkatan yang signifikan (baru
politik yang melibatkan DPRA sebagai mitra kerja mencapai 32,5%), masih banyak program-program
Pemerintah Provinsi Aceh. Kelambanan dalam pen- pembangunan yang belum terlaksana karena anggaetapan anggaran tidak hanya menjadi kelemahan da- ran belum tersedia atau karena proses lelang yang belam kinerja eksekutif, tetapi juga menjadi permasala- lum diselenggarakan. 4
han dalam kinerja legislatif.
Tidak hanya dalam pengajuan APBA awal tahun anggaran, kelambanan dalam penetapan anggaran perubahan juga terjadi pada pertengahan tahun 2015
lalu. Penyebabnya adalah keterlambatan pengajuan
dari pihak eksekutif. Kendala ini sebenarnya dapat

4

3
http://archives.portalsatu.com/news/pemerintah-taktahu-ekonomi-aceh-tergantung-apba/, diunduh tanggal 30
Desember 2015.
4
ht t p : / / w w w. m e d a n b i s n i s d a i l y. c o m / m / n e w s /
read/2015/08/12/180195/pemerintah-dan-dpra-lalai-tenderproyek-terlambat/, diunduh tanggal 30 Desember 2015
ANSIS JSI Vol. IV - Januari 2016

Sejumlah SKPA yang menurut pantauan UKP2K
APBA memiliki daya serap belum maksimal antara
lain Dinas Cipta Karya Aceh, Dinas Pengairan, Dinas Bina Marga, Dispora, Dinsos dan UKM. Data
tersebut menunjukkan bahwa dinas-dinas yang terkendala dalam penyerapan anggaran umumnya
adalah SKPA yang memiliki program infrastruktur,
yang penggunaan anggarannya berkaitan dengan pihak lain melalui penyelenggaraan lelang. Karena itu,
lemahnya daya serap anggaran untuk program-program infrastruktur juga berdampak pada keterlambatan proses lelang, yang pada akhirnya berdampak
pada akuntabilitas pengelolaan keuangan pada SKPA
terkait.
Daya serap anggaran yang
lambat sebagai akibat dari
keterlambatan
dalam
proses penganggaran bukan pertama kali dialami Pemerintah Provinsi
Aceh. Data yang termuat dalam Laporan
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Aceh
Triwulan I 2013 yang
dilakukan oleh Bank Indonesia menunjukkan
bahwa permasalahan ini
juga sudah pernah terjadi pada tahun 2013.

Dalam hasil kajian tersebut dilaporkan
bahwa nilai APBA tahun 2013 adalah sebesar Rp
11,779 triliun (sebelum perubahan), atau meningkat
hampir 24% dibanding pagu APBA 2012 yang sebesar Rp 9,511 triliun. Tetapi, hingga 1 April 2013, realisasi keuangan dan fisik APBA baru mencapai 4,5%
atau Rp 530 miliar, meleset dari target awal yang sebesar 6%. Bila dibandingkan dengan APBA 2012 lalu
yang juga disahkan terlambat yaitu pada tanggal 31
Januari 2012, pencapaian realisasi keuangan dan fisik
APBA triwulan I tahun 2012 lebih tinggi yaitu mencapai 7,5% atau sebesar Rp713 miliar. Hasil kajian
Bank Indonesia juga menemukan bahwa pada tahun
2013, hanya 29 dari 57 SKPA yang berkinerja di atas
rata-rata realisasi, tepatnya mencapai realisasi di atas
6% .5
5
http://www.bi.go.id/id/publikasi/kajian-ekonomiregional/aceh/Pages/Kajian-Ekonomi-Regional-Triwulan-I2013-Provinsi-Aceh.aspx, diunduh tanggal 31 Desember 2015.
ANSIS JSI Vol. IV - Januari 2016

Kondisi di atas ternyata terulang lagi pada tahun
2014. Kajian Bank Indonesia menemukan bahwa realisasi APBA pada triwulan I 2014 lebih parah dari
2013. Realisasi keuangan dan fisik APBA pada triwulan I 2014 masih di bawah target. Realisasi keuangan
dan fisik sama-sama baru mencapai 2% dari target
yang seharusnya 6% . 6
Dalam hasil kajian itu disebutkan nilai APBA 2014
sebesar Rp 13,368 triliun, atau meningkat 7,9%
dibanding pagu APBA 2013 yang sebesar Rp 12,39
triliun. Realisasi anggaran pada triwulan I tahun
2014 baru 2%, baik dari sisi keuangan maupun fisik.
Bahkan, hingga 15 Mei 2014, realisasi keuangan dan
fisik APBA masing-masing baru 12,4% dan 12,5%.
Kondisi ini masih jauh di bawah target yang
seharusnya sebesar 17% keuangan dan
21% untuk fisik. Bank Indonesia menyatakan penyerapan anggaran yang kurang maksimal pada
awal tahun 2014 sangat berdampak terhadap melambatnya
ekonomi Aceh.
Ekonomi Aceh sangat tergantung dengan
APBA, ini disebabkan relatif besarnya
porsi APBA terhadap
struktur perekonomian
Provinsi Aceh serta belum adanya sektor swasta
terutama sektor industri yang
berkembang pesat sebagai penggerak roda perekonomian, sehingga apabila penyerapan APBA kurang
maksimal maka kinerja semua sektor ekonomi di
Provinsi Aceh akan menurun.
Laporan Bank Indonesia tentang kinerja keuangan
Pemerintah Provinsi Aceh pada akhir tahun 2014
masih menunjukkan kondisi perekonomian yang belum optimal. Pertumbuhan ekonomi Aceh (dengan
migas) pada triwulan IV tahun 2014 sebesar 0,59%,
mengalami perlambatan dibandingkan periode yang
sama tahun sebelumnya.7
6
http://www.bi.go.id/id/publikasi/kajian-ekonomi-regional/aceh/Pages/Kajian-Ekonomi-Regional--Provinsi-AcehTriwulan-I-2014.aspx, diunduh tanggal 31 Desember 2015.
7
http://www.bi.go.id/publikasi/kajian-ekonomi-regional/aceh/Documents/KEKR%20PROVINSI%20ACEH %20TRIWULAN%20IV-2014.pdf, diunduh tanggal 31 Desember 2015.

5

“.....Kritik terhadap kinerja Pemerintah Provinsi Aceh
terutama berkenaan dengan kemampuan penyerapan
APBA yang selama ini masih belum optimal. Dampaknya
menurunnya daya beli masyarakat Aceh dan
meningkatnya pengangguran.. .”

sebesar 93% dan 100%. Kedua rencana tersebut telah dapat dipenuhi hingga akhir Triwulan IV tahun
2014. Deviasi antara rencana dan realisasi baik dari
sisi keuangan maupun fisik adalah 0% (nol persen).
Kondisi tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya yang masih memiliki standard
deviasi sebesar 13% (Untuk Realisasi Keuangan) dan
10% (Realisasi Fisik). Jika dibandingkan dengan reMeskipun demikian, tercatat sejumlah pertumbuhan. alisasi pada tahun sebelumnya, angka serapan pada
Perkembangan perbankan di Triwulan IV-2014 ma- tahun ini menunjukkan adanya peningkatan di mana
sih menunjukkan peningkatan. Total aset perbankan pada tahun sebelumnya angka penyerapan anggaran
di Provinsi Aceh pada Triwulan IV-2014 mencapai keuangan mencapai 92% sedangkan pada tahun ini
Rp42,21 triliun. Secara tahunan meningkat sebesar sudah mencapai 93%.
10,75% dibandingkan Triwulan III-2014 yang tumbuh sebesar 7,9% . Proporsi penyaluran kredit oleh Perbaikan kondisi ini juga tampak dari laporan Bank
perbankan konvensional pada triwulan laporan men- Indonesia pada triwulan III tahun 2015, di mana percapai Rp 25,23 triliun atau tumbuh sebesar 12,26%, tumbuhan ekonomi Provinsi Aceh mengalami konkondisi tersebut meningkat jika dibandingkan den- traksi sebesar 0,38%, lebih baik dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya yang terkontraksi lebih dalam
gan triwulan sebelumnya.
sebesar 2,21% (Angka ini merupakan koreksi data
Pertumbuhan pembiayaan yang disalurkan oleh dari BPS yang sebelumnya sebesar -2,12%).8
perbankan syariah cenderung sedikit melambat.
Kondisi ketenagakerjaan di Provinsi Aceh mengala- Sementara itu, pertumbuhan ekonomi tanpa migas
mi penurunan. Tingkat partisipasi angkatan kerja Aceh mengalami pertumbuhan sebesar 4,09%(yoy),
provinsi Aceh menurun dari 65,32% per Februari meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang
2014 menjadi 63,06% per Agustus 2014. Sementara tumbuh sebesar 3,99% (Angka ini merupakan koitu, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Aceh reksi data dari BPS yang sebelumnya sebesar 4,34%).
mengalami peningkatan dari 6,75% menjadi 9,02%. Tekanan inflasi Aceh pada triwulan-III 2015 menTingkat Kemiskinan di Provinsi Aceh pada Septem- galami penurunan dibandingkan triwulan sebelber 2014 tercatat sebesar 16,98%, turun dibanding- umnya. Laju inflasi tahunan pada triwulan laporan
kan dengan kondisi kemiskinan pada bulan Maret tercatat menurun dari 6,83% pada triwulan-II 2015
2014 yang sebesar 17,72%.Realisasi anggaran pada
triwulan IV-2014 sudah memenuhi angka rencana
http://www.bi.go.id/publikasi/kajian-ekonomi-reawal baik dari sisi realisasi keuangan maupun realisa- 8
gional/aceh/documents/kekr%20provinsi%20Aceh %20Triwusi fisik. Rencana keuangan dan fisik APBA pada De- lan%20III202015%20rev.pdf, diunduh tanggal 31 Desember
sember 2014 atau triwulan IV masing-masing adalah 2015.
Tekanan inflasi Aceh pada triwulan IV-2014 mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Laju inflasi tahunan pada triwulan laporan
tercatat sebesar 8,09%. Kelompok transportasi dan
bahan makanan merupakan kelompok yang paling
dominan dalam mempengaruhi perkembangan inflasi Aceh pada triwulan IV-2014.

6

ANSIS JSI Vol. IV - Januari 2016

menjadi 4,19% pada triwulan laporan sehingga secara kumulatif, inflasi Aceh sampai dengan triwulan-III 2015 adalah sebesar 0,31%. Jauh lebih rendah
dibandingkan rata-rata inflasi triwulan III dalam tiga
tahun terakhir sebesar 3,83%.

Akuntabilitas pengelolaan anggaran
Ketiadaan perubahan yang signifikan dalam kinerja anggaran menyebabkan akuntabilitas pengelolaan anggaran Pemerintah Provinsi Aceh juga tidak
menunjukkan peningkatan yang signifikan. Hal ini
dilihat dari penilaian pelaporan keuangan oleh BPK
dan pelaporan akuntabilitas kinerja oleh Kemenpan
RB. Pelaporan keuangan Pemerintah Provinsi Aceh
masih mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari BPK RI. Bahkan, dari laporan BPK
perwakilan Aceh juga diketahui ada sejumlah tindak
lanjut Pemerintah Aceh belum sepenuhnya efektif
untuk menyelesaikan permasalahan yang ada terkait:
Persediaan, Investasi, Aset Tetap, Dana Cadangan,
Utang Jangka Pendek, dan Belanja Tak Terduga. 9
Ada enam permasalahan signifikan yang ditemukan
BPK dalam pemeriksaan LKPA Tahun 2014 yang
menjadi pengecualian BPK, yaitu : 10

Sejalan dengan belum membaiknya perekonomian
Aceh, tingkat partisipasi angkatan kerja di Provinsi
Aceh hingga bulan Agustus 2015 mencapai 63,44%.
Sementara itu, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
di Aceh berada pada level 9,93%, sedikit meningkat
dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Tingkat Kemiskinan di Provinsi Aceh berdasarkan data terakhir bulan Maret 2015 tercatat sebesar 17,08%. Angka tersebut mengalami penurunan
dibandingkan dengan kondisi kemiskinan pada bulan
Maret 2014 yang sebesar 18,05%. Penurunan tingkat
kemiskinan di Aceh tersebut diakibatkan oleh adanya penurunan tingkat kemiskinan di daerah pedesaan sebesar 3,51% dan di daerah perkotaan sebesar
2,69%.
1. Saldo Persediaan yang dilaporkan dalam Neraca
berupa Barang Habis Pakai belum termasuk kePenurunan tersebut juga didukung dengan telah direseluruhan Barang Habis Pakai di seluruh SKPA
alisasikannya anggaran pemerintah daerah Provinsi
dan Persediaan yang akan Diserahkan KepemiAceh. Realisasi dari pendapatan dan belanja anggalikannya kepada Masyarakat/Kabupaten/Kota tiran tersebut merupakan bentuk kinerja dari keuandak didukung dokumen serah terima persediaan
gan daerah dan dapat menjadi faktor utama yang
mendorong pertumbuhan ekonomi melalui transmi- 2. Saldo Investasi Non Permanen, berupa Dana PER
si pengeluaran pemerintah dan investasi. Hingga trisebesar Rp40,68 miliar belum didukung denwulan III-2015 realisasi anggaran belanja pemerintah
gan laporan berkala perkembangan realisasi dan
hanya tercatat 25,51% dari alokasi anggaran tahun
pengembalian dana dari bank-bank pengelola
2015. Sementara realisasi pendapatan telah mencapai
dan Dana Bergulir sebesar Rp42,25 miliar tidak
43,48% dari target. Atas kondisi ini, konsumsi pemerintah di triwulan ini hanya memberikan sumbangan 9
http://bandaaceh.bpk.go.id/?p=6254, diunduh tanggal
31
Desember
2015
pertumbuhan 1,35%.
10

Ibid.

“.....Tingkat partisipasi angkatan kerja provinsi Aceh
menurun dari 65,32% per Februari 2014 menjadi 63,06%
per Agustus 2014. Sementara itu, Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) di Aceh mengalami peningkatan dari 6,75%
menjadi 9,02%. . .”

ANSIS JSI Vol. IV - Januari 2016

7

didukung dengan data penerima dan laporan
perkembangan dana. Kondisi tersebut mengakibatkan nilai investasi non permanen tidak dapat
disajikan sesuai metode Net Realizable Value;
3. Penempatan investasi pada PD Genap Mupakat
dan PD Pembangunan Aceh senilai Rp8,96 miliar tidak disajikan dengan menggunakan metode
ekuitas (equity methode), karena dua perusahaan
daerah tersebut tidak menyampaikan laporan
keuangan;
4. Saldo Aset Tetap yang disajikan tidak berdasarkan data pendukung mutasi aset tetap. Dalam
KIB masing-masing SKPA masih terdapat aset
tetap yang bernilai Rp0,00 sebanyak 152 unit, aset
tetap bernilai Rp1,00 sebanyak 22 unit, aset tetap
yang nilainya tidak memenuhi kapitalisasi aset
tetap dan aset tetap yang merupakan barang yang
akan diserahkan kepemilikannya kepada pihak
ketiga/masyarakat/kabupaten/kota;

ran keuangan tersebut tidak jauh berbeda dengan
penilaian kinerja pemerintah daerah yang dilakukan
oleh Kemenpan RB. Hasil evaluasi kinerja pada tahun
2015 masih menempatkan Pemerintah Provinsi Aceh
dalam kategori CC atau Cukup Baik, yang artinya
“akuntabilitas kinerjanya cukup baik, taat kebijakan,
memiliki sistem yang dapat digunakan untuk memproduksi informasi kinerja bagi pertanggungjawaban, tapi perlu banyak perbaikan, termasuk sedikit
perbaikan yang mendasar. 11 Capaian ini menandakan dokumen LAKIP belum singkron dengan dokumen Perencanaan Tahunan (RKT/Renja) dan Dokumen Perencanaan Jangka Menengah (Renstra SKPD/
RPJMD).

Karena itu, paling tidak ada 4 (empat) lembaga yang
bertanggungjawab dalam mensinkronkan setiap dokumen perencanaan mulai dari Renstra SKPD/RPJMD, Penetapan Kinerja serta Dokumen Indikator
Kinerja Utama (IKU), yakni Dinas Keuangan, Inspektorat, Sekretariat Daerah, serta Bappeda. Lembaga ini harus bersinergi dalam mengintegrasikan
5. Penyajian dana cadangan dalam laporan keuan- setiap dokumen perencanaan.
gan tidak memenuhi karakteristik sebagai akun
dana cadangan sebagaimana diatur dalam SAP
karena tidak diketahui tujuan pembentukan,
jangka waktu dan belum ditetapkan dengan qa11
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
nun;
6. Penyajian utang jangka pendek per 31 Desember 2013 senilai Rp107,88 milyar tidak termasuk
utang pajak tahun 2009 dan 2010 karena bukti setor tidak tersedia secara lengkap dan belum
tuntas ditindaklanjuti.
Dalam rangka peningkatan kualitas penyusunan
LKPA, Pemerintah Aceh telah berupaya menindaklanjuti 865 rekomendasi dari 1.756 rekomendasi BPK
atas hasil pemeriksaan Tahun 2005 s.d. 2013. Selain
itu, sebagai implementasi PP Nomor 71 Tahun 2010
tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, mulai TA
2015, kepada seluruh instansi pemerintah diharuskan untuk menerapkan akuntansi berbasis akrual.
BPK berharap dengan penerapan akuntansi berbasis
akrual pada tahun 2015 dapat meningkatkan keandalan laporan keuangan pemerintah.Penilaian lapo-

8

dann Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Evaluasi Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah jo. Permenpan RB No. 20 Tahun 2013 tentang Perubahan Lampiran Permenpan RB No. 25 Tahun 2012. Aspekaspek pengukuran kinerja yang digunakan meliputi: a. Aspek
perencanaan, komponen-komponen yang dievaluasi antara lain:
(1) perencanaan strategis; (2) perencanaan kinerja; (3) penetapan kinerja; dan keterpaduan serta keselarasan diantara subkomponen tersebut. b. Aspek pengukuran kinerja, komponenkomponen yang Idievaluasi adalah: (1) indikator kinerja secara
umum dan indikator kinerja utama (IKU), (2) pengukuran, serta
(3) I analisis hasil pengukuran kinerja. c. Aspek pelaporan kinerja, yang dinilai adalah ketaatan pelaporan, pengungkapan dan
penyajian, serta pemanfaatan informasi kinerja guna perbaikan
kinerja. d. Aspek evaluasi kinerja, yang dinilai adalah pelaksanaan evaluasi kinerja dan pemanfaatan hasil evaluasi. e. Capaian
kinerja, dalam hal mana Menpan RB melakukan riviu atas prestasi kerja atau capaian kinerja yang dilaporkan dengan meneliti
berbagai indikator pencapaian kinerja, ketetapannya, pencapaian targetnya, keandalan data, dan keselarasan dengan pencapaian sasaran pembangunan dalam dokumen perencanaan (RPJMN, RENSTRA).
ANSIS JSI Vol. IV - Januari 2016

Pembenahan Tata Kelola Pemerintahan
sebagai Solusi

B

erdasarkan analisis terhadap 3 (tiga) aspek
kinerja di atas, dapat dipahami bahwa simpul
permasalahan yang menyebabkan lambannya
pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh adalah
terbatasnya kapasitas Pemerintah Provinsi Aceh
dalam mengelola anggaran, sehingga daya serapnya
cenderung lambat. Padahal, pertumbuhan ekonomi
Provinsi Aceh cenderung mengandalkan APBA,
sehingga peran Pemerintah Provinsi sebagai institusi
yang memiliki kewenangan dalam mengelola
APBA menjadi sangat strategis dalam menentukan
pertumbuhan ekonomi di Aceh.
Karena itu, langkah strategis yang harus menjadi
prioritas dalam rangka mengatasi persoalan lemahnya
kapasitas pengelolaan anggaran adalah dengan segera
melakukan penataan organisasi perangkat daerah.
Penataan yang dimaksud bukan dengan mengubah
struktur organisasi dan tata kerjanya, tetapi dengan
mulai memapankan pelaksanaan tugas pokok dan
fungsi dari setiap SKPA, khususnya yang terkait
langsung dengan pengelolaan pembangunan dan
penganggaran.
Penjabaran dari langkah strategis tersebut mencakup
5 (lima) rekomendasi sebagai berikut:
Pertama, Sekretariat Daerah, Bappeda, Dinas
Keuangan, dan Inspektorat menjadi leading sectors
untuk mensinergikan perencanaan dan penganggaran.
Sementara bagi SKPA-SKPA yang daya serap
anggarannya kecil perlu segera didampingi dalam
rangka peningkatan kapasitas. Untuk merealisasikan
hal ini, seyogianya segera disusun dan dilaksanakan
ANSIS JSI Vol. IV - Januari 2016

standar operasional prosedur sebagai panduan kerja
dalam rangka percepatan pengembangan kapasitas
organisasi perangkat daerah dalam perencanaan dan
pengelolaan anggaran.
Kedua, terkait dengan pengembangan kapasitas
organisasi perangkat daerahnya, Pemerintah Provinsi
Aceh dapat meminta fasilitasi dari Pemerintah Pusat
untuk meningkatkan kapasitas SKPA-nya, termasuk
juga untuk memperbaiki dan meningkatkan capaian
evaluasi kinerjanya.
Ketiga, merumuskan dan melaksanakan kebijakan
perekonomian yang berpihak pada pertumbuhan
sektor ekonomi industri dan sektor ekonomi
kerakyatan yang dapat menjadi penyangga bagi
perekonomian daerah. Untuk melaksanakan
kebijakan tersebut, pengembangan kapasitas
organisasi perangkat daerah diarahkan pada
profesionalisme aparatur birokrasi. Penempatan para
pimpinan SKPA didasarkan pada fit and proper test
yang terbuka, sehingga objektif dan akuntabilitasnya
teruji. Organisasi perangkat daerah yang memiliki
kapasitas akan dapat mengelola anggaran dengan
profesional dan menumbuhkan kepercayaan dari
sektor swasta untuk menjalin kemitraan dengan
pemerintah provinsi. Kemitraan ini sangat diperlukan
untuk mengurangi ketergantungan ekonomi daerah
pada APBA. Sektor swasta, terutama industri, perlu
segera didorong untuk menjadi penggerak roda
perekonomian, sehingga tidak tergantung pada porsi
APBA. Hal ini mensyaratkan adanya

9

Keempat, kemitraan dengan DPRA juga perlu
diperkuat agar pembahasan dan penetapan anggaran
berlangsung dengan lancar. Pengaturan tentang
tata hubungan kerja, termasuk yang menyangkut
konsultasi untuk mensinergikan perencanaan dan
penganggaran dengan kepentingan publik perlu
diperkuat.

Pembenahan kinerja pemerintahan juga dapat
mendorong tumbuhnya minat investasi di Aceh.
Peningkatan investasi dalam dan luar negeri akan
menjadi alternatif untuk mengurangi ketergantungan
perekonomian pada APBA. Tetapi, untuk menarik
minat investasi, Pemerintah Provinsi Aceh harus
menunjukkan bahwa tata kelola pemerintahannya
telah berlangsung dengan bersih, bebas korupsi,
Kelima, mendorong pelibatan berbagai komponen dan ada jaminan penegakan hukum. Inilah agenda
masyarakat
dalam
mengawasi
pelaksanaan strategis yang menjadi tujuan dari pembenahan tata
pembangunan untuk meningkatkan kinerja kelola pemerintahan. []
pemerintah. Hanya dengan mengembangkan
jejaring kerjasama yang sinergis dengan legislatif,
****
swasta, dan masyarakat maka pemerintah dapat
mengoptimalkan instrumen-instrumen kewenangan
dan keuangan yang dimilikinya untuk mendorong
laju pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.

rujukan
• Fukuyama, Francis. 2005. Memperkuat Negara. Jakarta: Gramedia.
• Hood, Christopher dan Helen Z. Margetts. 2007. The Tools of Government in the Digital Age.
New York: Palgrave MacMillan.
• Sacks, Audrey dan Margaret Levi. 2007. “Measuring government effectiveness and its consequences for social welfare”. Diunduh dari http://cega.berkeley.edu/assets/miscellaneous_ files/
wgape/12_Sacks.doc
• Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dann Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Evaluasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah jo.
Permenpan RB No. 20 Tahun 2013 tentang Perubahan Lampiran Permenpan RB No. 25 Tahun
2012.

Sumber dari media online:
• http://infopublik.id/read/105135/kemdagri-apresiasi-kinerja-pemprov-dan-dpr-aceh.html, diunduh tanggal 30 Desember 2015
• http://archives.portalsatu.com/news/pemerintah-tak-tahu-ekonomi-aceh-tergantung-apba/,
diunduh tanggal 30 Desember 2015.
• http://www.medanbisnisdaily.com/m/news/read/2015/08/12/180195/pemerintah-dan-dpralalai-tender-proyek-terlambat/, diunduh tanggal 30 Desember 2015
• http://www.bi.go.id/id/publikasi/kajian-ekonomi-regional/aceh/Pages/Kajian-Ekonomi-Regional-Triwulan-I-2013-Provinsi-Aceh.aspx, diunduh tanggal 31 Desember 2015.
• http://www.bi.go.id/id/publikasi/kajian-ekonomi-regional/aceh/Pages/Kajian-Ekonomi-Regional--Provinsi-Aceh-Triwulan-I-2014.aspx, diunduh tanggal 31 Desember 2015.
• http://www.bi.go.id/publikasi/kajian-ekonomi-regional/aceh/Documents/KEKR%20PROVINSI%20ACEH %20TRIWULAN%20IV-2014.pdf, diunduh tanggal 31 Desember 2015.
• http://www.bi.go.id/publikasi/kajian-ekonomi-regional/aceh/documents/kekr%20provinsi%20
Aceh %20Triwulan%20III202015%20rev.pdf, diunduh tanggal 31 Desember 2015.
• http://bandaaceh.bpk.go.id/?p=6254, diunduh tanggal 31 Desember 2015.

10

ANSIS JSI Vol. IV - Januari 2016