Belajar dari Angola Menarik Investasi da

Belajar dari Angola: Menarik Investasi dan Menguatkan Regulasi Produksi
Minyak di Laut
Bima Anditya Prakasa1
Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Airlangga
Pendahuluan
Indonesia memiliki dua juta lebih penduduk menjadi perhatian pemerintah untuk mengamankan
kebutuhan energi agar tercukupi bagi seluruh warganya. Penggunaan energi seperti minyak
menjadi penting untuk menggerakan industri dan transportasi di Indonesia. Minyak bukan
menjadi kekhawatiran karena Indonesia memiliki produksi minyak berlimpah dan bahkan
menjadi negara eksportir minyak. Namun seiring berjalannya waktu produksi minyak Indonesia
menurun dan kemudian dinobatkan menjadi negara importir minyak pada tahun 2004 (Alami,
2017). Indonesia mengimpor minyak dari luar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Terdapat
banyak kajian terkait mengapa produksi minyak Indonesia menurun. Pertama, terdapat
kurangnya tata-kelola dan mismanagement. Kedua, kurangnya eksplorasi dan eksploitasi lahanlahan baru.
Dengan demikian sejatinya menimbulkan pertanyaan. Indonesia yang memiliki garis pantai
terpanjang kedua di dunia belum menemukan wilayah untuk di eksplorasi dan eksploitasi?.
Padahal Indonesia memiliki luas lautan yang sangat besar. Pertanyaan tersebut akhrinya menjadi
inti permasalahan dari risalah ini. Pertanyaan penulis didukung pula oleh pernyataan Direktur
Jenderal Migas, Kementrian ESDM, IGN Wiratmaja Puja yang menyatakan bahwa potensi migas
Indonesia memang masih banyak seperti wilayah laut dalam (Artanti, 2017).

Dari hal tersebut akhirnya penulis melakukan tinjauan literatur. Setelah menelusuri literaturliteratur terkait eksplorasi dan eksploitasi laut dalam untuk minyak, penulis merujuk pada Alami
(2017) yang menjelaskan bahwa harusnya Indonesia harus belajar dari Angola. Karena negara
tersebut berhasil dalam eksplorasi dan eksploitasi laut dalam nya untuk memproduksi minyak.
Hal tersebut juga di dukung oleh pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengatakan bahwa
“Angola itu dulu negara bergolak, Angola kini menjadi negara terkaya di Afrika karena minyak,
1 Bima Anditya Prakasa adalah mahasiswa hubungan internasional di Universitas Airlangga
yang sedang menempuh semester 7. Dapat dihibungi melalui bimaandityap@gmail.com.

gas, dan mineral lain yang dimilikinya. Kita perlu menjalin kerjasama.” (Aji, 2014). Dengan
demikian pada dasarnya pembelajaran dari kesuksesan negara Angola terkait eksplorasi dan
eksploitasi laut dalam untuk memproduksi minyak menjadi relevan bagi Indonesia. Tidak hanya
memiliki kesamaan tentang laut yang luas, tetapi Indonesia dan Angola sama-sama negara dunia
ketiga yang baru merdeka dari penjajahan. Jika Angola dapat mengelolanya, mengapa Indonesia
tidak bisa?. Oleh karena itu, risalah ini terdapat beberapa bagian. Bagian pertama menjelaskan
kondisi Indonesia terkait produksi minyak dan tata-kelolanya. Kedua, menjelaskan kondisi
Angola terkait produksi minyak dan tata kelolanya. Ketiga, refleksi pengalaman Angola untuk
pembelajaran Indonesia.
Kondisi dan Tata-Kelola Minyak Indonesia
Indonesia merupakan negara dengan populasi ke empat terbanyak di dunia. Pada tahun 2011,
populasi diperkirakan akan mencapai 237.315 juta orang (IAE, 2008). Pada faktanya Indonesia

merupakan negara terkaya dengan kekayaan sumber daya alam yang dibuktikan dengan
banyaknya minyak, batu bara dan sebagainya. Namun bagaimana pun juga jika dibandingkan
dengan total penduduk Indoesia, maka kekayaan sumber daya alam yang telah diproduksi
sekarang tidak dapat mencukupi kebutuhan energi di 40 tahun kedepan jika tidak di temukan
lahan baru atau energi baru (Ibrahim, 2016). Namun pada faktanya tidak dalam 40 tahun
kedepan, produksi minyak Indonesia ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhan energi domestik
pada tahun 2004. Disaat suplai minyak turun, permintaan semakin meningkat pesat. Seperti
terlihat dalam tabel berikut:

Dari data tersebut terlihat bahwa Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu
agar dapat memenuhi kebutuhan tersebut impor adalah salah satu caranya. dengan demikian
Indonesia menjadi negara pertama yang menjadi importir di kawasan Asia Tenggara (Alami,
2017).
Dengan demikian sejatinya Indonesia mengalami paradigm shift pada pembangunan sumber
daya energi yaitu revenue dan export-oriented menjadi bagaimana caranya mendapatkan
sustainable growth-devoted exploitation untuk mengamankan energi khususnya minyak. Namun
didapatkan fakta bahwa ladang-ladang minyak telah di keduk hingga secara alamiah mengalami
penurunan produksi. Oleh karena itu dibutuhkan lahan baru. Penulis melihat dengan visi maritim
Presiden Joko Widodo, seharusnya laut menjadi lahan penting untuk produksi minyak. Namun
pada kenyataannya pengeboran minyak offshore (laut dalam) dan onshore (laut dangkal)

mengalami penurunan. Hal tersebut terjadi karena pada dasarnya kurang nya investasi dari luar
untuk Indonesia. Penyebab dari hal tersebut karena iklim investasi yang lemah.

Jika ditelusuri, maka sejatinya aktor-aktor pengelolaan minyak dan gas di Indonesia menjadi
pemain kunci. Diantaranya adalah pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dewan Energi Nasional, SKK Migas,
Pertamina, dan sektor privat. Sektor privat tentu tidak terlepas dengan dengan UU no.22 tahun
2001 yang pada dasarnya membuka peluang bagi pengusaha privat untuk pengelolaan energi.
Salah satu kondisinya akhirnya Pertamina memiliki peran yang sama dengan pengusaha privat.
Logika sederhana, maka peran negara melalui Pertamina akan direduksi oleh hadirnya aktor-

aktor baru untuk mengintervensi pasar minyak dalam masa krisis, karena pasar telah di dominasi
oleh aktor yang tidak secara langsung terikat dengan pemerintah (Alami, 2017).
Selain itu Indonesia tentu membutuhkan investasi dari luar negeri untu pengeboran minyak di
laut dalam. Namun iklim investasi tidak mendukung untuk pengembangn industri energi di
Indonesia untuk privat dan investor asing. Hal tersebut dikarenakan perubahan atmosfer politik
yang membawa kepada iklim investasi yang diperlihatkan pada UU no 8 tahun 1971 dan UU no
22 tahun 2001 yang kemudian memuat banyak birokrasi panjang. Ditambah lagi
pengimplementasian kebijakan pajak yang memberikan halangan bagi investor asing untuk
berani menginvestasikasan kedalam sektor energi Indonesia (Sutoyo, 2005). Dari penjelasan

diatas kondisi dan situasi di Indonesia pada dasarnya belum dapat memenuhi kebutuhan minyak
domestik dan membutuhkan investasi asing untuk membuka eksplorasi dan eksploitasi laut
dalam di Indonesia karena kurangnya infrastruktur dan teknologi.
Kondisi dan Tata-Kelola Minyak Angola
Sumber: United States Energy Information
Administration 2013

Angola merupakan negara
sub sahara Afrika kedua

terbesar setelah Nigera dalam memproduksi minyak dan merupakan yang pertama dalam
penemuan dan pengembangan deepwater drilling. Angola memiliki populasi lebih dari 10 juta
lebih penduduk. Ratusan ribu orang telah terbunuh pada paska kolonial yakni perang saudara
antara pemerintah dan UNITA. Sejak hal itu sektor ekonomi yang berhubungan dengan non-

mineral menjadi cacat, akhirnya Angola sangat bergantung pada sektor minyak yang
memberikan kontribusi 60% terhadap GDP dan 90% pendapatan pemerintah (CEE, n.d). Dapat
dilihat dalam tabel produksi dan konsumsi minyak di Angola.
Ketika kemerdekaan Angola tercapai, pemerintah membentuk perusahaan minyak nasional yang
disebut Sociedade Nacional de Combustives atau Sonangol tahun 1976. Sonangol memutuskan

bekerja sama dengan perusahaan minyak barat dengan cara pragmatis. Dengan keterbatasan
kesediaan dalam sisi pengeboran minyak maka Sonangol memutuskan untuk joint venture
dengan perusahaan asing dan sebagai pengumpul pajak. Sonangol dengan partnernya membagi
biaya operasi dan membagi hasil produksi minyak dalam proporsi yang seimbang (Frynas &
Wood, 2001). Dengan demikian pada dasarnya Sonangol merupakan pemilik dari substansial
share dari produksi minyak.
Production-sharing agreements yang di sepakati untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi
untuk produksi minyak adalah perusahaan asing seperti Chevron dan Elf-Aquitaine sebagai
kontraktor yang didanai melalui running cost, investasi, dan kemudian dapat di reimburse
melalui pembagian hasil produksi minyak. Dengan perjanjian seperti itu maka perusahaan
minyak asing merupakan driving seats untuk logistics of productions. Menurut pendapat penulis
pada dasarnya aktor-aktor dalam pengelolaan laut dalam untuk produksi minyak di Angola
memiliki peran yang jelas dan pasti. Hal tersebut kemudian memberikan nuansa ketertarikan
bagi investor asing untuk menuangkan insentifnya
Refleksi Pengalaman Angola Bagi Indonesia
Melihat kondisi kedua negara di atas pada dasarnya Indonesia dan Angola memiliki persamaan
yakni diantaranya adalah pertama, memiliki lautan yang luas. Kedua, memiliki potensi geologis
untuk produksi minyak laut dalam. Ketiga, merupakan negara dunia ketiga yang memiliki
kekurangan dalam teknologi, infrastruktur dan human capital dalam eksplorasi dan eksploitasi
laut dalam. Namun, pada kenyataannya Angola berhasil memanfaatkan lautnya untuk produksi

minyak.
Penulis berpendapat Indonesia harus belajar dari Angola dalam bagaimana menempatkan aktoraktor pengelolaan minyak di suatu negara secara jelas dan tepat sehingga membuka jendela
investasi asing, namun tetap dalam koridornya. Jika melihat dari pengalaman Angola, seolah-

olah Sonangol merupakan lembaga yang bertanggung jawab dan jika diterapkan di Indonesia
maka Pertamina menjadi pemeran utamanya. Namun kondisi Indonesia yang memiliki banyak
aktor dalam pengelolaan migas maka pada dasarnya perlu untuk memperjelas peran-perannya.
Dengan konteks yang berbeda disaat Angola masih memiliki aktor yang sedikit dan dapat
dikontrol, Indonesia justru memiliki aktor-aktor yang lebih banyak dan tidak jelas perannya.
Penulis merujuk pada Heller dan Ismalina (2014) yang menjelaskan bahwa struktur kelembagaan
migas Indonesia perlu reformasi. Penstudi tersebut menjelaskan bahwa preferensi untuk
reformasi struktur kelembagaan migas di Indonesia perlua adanya BUMN baru yang dapat
mengawal tujuan yang ingin dicapai pemerintah melalui kemitraanya dengan semua perusahaan
minyak, termasuk Pertamina. Seperti yang dilakukan Brazil dengan Petrosal sebagai pelaksana,
BUMN baru Petrisal sebagai fungsi regulasi serta mengawal kepentingan. Namun penulis
berpendapat bahwa dengan kondisi Indonesia yang perlu inestasi dalam waktu dekat maka
sejatinya pembelajaran dari Angola menjadi sangat relevan. Karena Pertamina akan menjadi
lembaga yang bertanggung jawab bernegosiasi dan mendatangin kontrak dengan perusahaan
minyak swasta, mewakili kepentingan negara dalam hubungan kerja mereka, dan memastikan
tegak dan terlaksananya hukum, regulasi, serta kontrak. Hal tersebut relatif sederhana dan hemat

biaya dan tidak perlu membentuk lembaga baru. Indonesia dapat memusatkan keahlian dan
pembuatan keputusan di satu lembaga. Perusahaan minyak, masyarakat, dan kementrian
keuangan hanya perlu berhubungan dengan Pertamina dan ESDM.
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa visi maritim Jokowi dengan memandang lautan
sebagai dasar kejayaan menjadi sangat mungkin ketika laut Indonesia dapat di eksplorasi dan
eksploitasi untuk ketersediaan minyak. Laut Indonesia masih belum tersentuh padahal memiliki
potensi bagus. Ketika Indonesia menyadari bahwa kurangnya infrastruktur dan teknologi, maka
bantuan dari pihak luar menjadi sangat terbuka. Namun bantuan dari luar tidak akan datang jika
kondisi yang di ‘bantu’ tidak siap untuk dibantu. Dengan struktur kelembagaan yang lemah
merupakan bukti dari itu. Angola menunjukan kebolehannya dalam mengelola lautnya melalui
investasi asing dengan cara mengelolanya dengan peran Sonangol dan pemerintah dengan jelas.
Maka pengalaman Angola menjadi titik terang untuk dapat dipelajari bagi Indonesia untuk
membuka nuansa investasi yang bagus. Dengan diberlakukan UU no.27 tahun 2017 tentang

biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan penghasilan di bidang usaha hulu minyak
dan gas bumi pada tanggal 19 Juni 2017 dapat menarik investor asing untuk eksplorasi dan
eksploitasi laut di Indonesia. Jalesveva Jayamahe!.
Daftar Pustaka
Aji, Rustam. (2014, November 1). Kalla Minta Belajar dari Angola Soal Pengelolaan Minyak

dan Gas. Tribun Jateng. http://jateng.tribunnews.com/2014/11/01/kalla-minta-belajardari-anggola-soal-pengelolaan-minyak-dan-gas [Diakses pada 29 Oktober 2017]
Alami et al. (2017). Foreign Policy and Energi Security Issues in Indonesia. LIPI Press. Springer
Nature Singapore. Ltd.
Artanti, Annisa Ayu. (2016, Juli 28). Potensi Migas di Laut Dalam Indonesia Masih Sangat besar.
Metro TV News. http://ekonomi.metrotvnews.com/energi/GNljznXk-potensi-migas-dilaut-dalam-indonesia-masih-sangat-besar [Diakses pada 29 Oktober 2017]
Center For Energy Economics. (n.d). Deepwater Development in Angola. Tersedia
http://www.beg.utexas.edu/energyecon/newera/case_studies/Deepwater_Developments_i
n_Angola.pdf [Diaskes pada 29 Oktober 2017]
Heller, Patrick & Ismalina, Poppy. (2014). Reformasi Sistem Tata Kelola Sektor Migas:
Pertimbangan untuk Pemerintah Jokowi-JK. Natural Resource Governance Institute.
Universitas Gadja Mada
Ibrahim, H. D. (2006). Peran dan prospek pemanfaatan PLTN dalam Sistem Ketenagalistrikan
Nasional. In BPPK Kementerian Luar Negeri RI (Ed.), Jakarta.
Kementrian ESDM RI. 2005. Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025. Jakarta:
ESDM RI.
https://www.indexmundi.com/energy/?country=ao