PERSPEKTIF PANCASILA TERHADAP ASAS NON D

PERSPEKTIF PANCASILA TERHADAP ASAS NONDISKRIMINASI DALAM PENANGANAN KASUS HAM DI
INDONESIA

Nama kelompok :

1. Eko Yuliyanto

(8111416011)

2. Vina Ainin Salf Yanti (8111416038)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
TAHUN 2017

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt., karena
berkat rahmat, nikmat, taufk, dan hidayah-Nya, makalah yang berjudul
“Perspektif Pancasila Mengenai Asas Non-Diskriminasi dalam Penanganan
Kasus HAM di Indonesia” ini dapat kami selesaikan. Shalawat serta salam
selalu tercurah kepada Baginda Rosul Muhammad SAW., para keluarga,

sahabat, pengikut, serta umatnya yang setia dengan ajarannya.
Makalah dengan judul Perspektif Pancasila Mengenai Asas NonDiskriminasi dalam Penanganan Kasus HAM di Indonesia” ini mengulas tentang
beberapa hal, diantaranya mengenai asas non-diskriminasi terhadap
penanganan kasus HAM yang terjadi di Indonesia dalam praktiknya dan
perspektif Pancasila mengenai hal tersebut.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
bagi para pembacanya. “Tiada gading yang tak retak” itulah peribahasa yang
menggambarkan makalah ini, kami yakin masih banyak kekurangan dalam
makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapakan kritik dan saran dari
para pembaca untuk memperbaiki penyempurnaan makalah ini.
Semarang, 08 Oktober 2017
Penyusun

i

DAFTAR ISI
Halaman Sampul...................................................................................................................i
Kata pengantar ....................................................................................................................ii
Daftar isi...............................................................................................................................iii
Daftar tabel/gambar..............................................................................................................iv

Daftar kasus/putusan.............................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar Belakang .........................................................................................................1
b. Rumusan masalah ....................................................................................................2
c. Metode penelitian.....................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
a. Kasus pelanggaran HAM.........................................................................................4
b. Asas non-diskriminasi..............................................................................................7
c. Perspektif Pancasila terhadap asas non-diskriminasi..............................................11
BAB III KESIMPULAN.....................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................16

ii

DAFTAR TABEL/GAMBAR
No.
1.

Gambar


Keterangan
Kasus hak politik eks-PKI

2.

Siding uji materi pasal
Syarat menjadi presiden
dan wakil presiden

3.

Sidang uji halangan bagi
Bekas Narapidana untuk
menjadi Pejabat Publik

iii

DAFTAR PUTUSAN/KASUS
No.
1.


Kasus
Kasus hak politik

Keterangan/putusan
Pasal 60 huruf g UU No. 12 Tahun 2003

eks-PKI

tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, MK RI
menyatakan tidak mengemukakan alasan
spesifk untuk menjelaskan bahwa Pasal 60
huruf g UU No. 12 Tahun 2003 inkonstitusional
karena diskriminatif, tetapi menganggap
sebagai hal yang self-evident bahwa hilangnya
kesempatan bekas anggota organisasi
terlarang PKI, termasuk organisasi massanya,

atau bukan orang yang terlibat langsung atau
pun tak langsung dalam G.30.S/PKI atau
organisasi terlarang lainnya, untuk
mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPD
dan DPRD adalah bentuk diskriminasi
2.

Syarat menjadi

berdasarkan keyakinan politik.
Pasal 6 huruf d UU No. 23 Tahun 2003 tentang

presiden dan wakil

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

presiden

yang berisi syarat-syarat calon Presiden dan
Wakil Presiden, MK RI menyatakan bahwa

pencantuman persyaratan kemampuan secara
rohani dan jasmani bagi calon Presiden dan
Wakil Presiden tidak dapat dipandang
diskriminatif karena seseorang warga negara
yang terpilih sebagai Presiden atau Wakil
Presiden harus memenuhi persyaratan agar
kelak mampu secara rohani dan jasmani
melaksanakan tugas dan kewajiban
kenegaraan dimaksud.

Lalu, dalam menjelaskan rasionalitas klausul
“mampu secara jasmani dan rohani
“berdasarkan constitusional intent, MK RI
menyatakan “calon Presiden dan Wakil
Presiden harus dalam kondisi sehat secara
rohani dan jasmani dalam melaksanakan tugas
dan kewajiban kenegaraan dimaksud.
Sehingga ketentuan tentang persyaratan
termaksud bukan hanya tidak bertentangan
dengan UndangUndang Dasar 1945 tetapi juga

tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
hukum umum yang diakui oleh masyarakat
3.

Halangan bagi

International.
MKRI menyatakan pendirian umum atas isu ini

bekas narapidana

bahwa jabatan publik atau jabatan dalam

untuk menjadi

pemerintahan dalam arti luas adalah jabatan

Pejabat Publik

yang menuntut kepercayaan masyarakat

( vertrouwenlijk-ambt). Oleh karena itu calon
pejabatnya harus memenuhi persyaratan
tertentu supaya didapatkan pejabat yang
benar-benar bersih, berwibawa, jujur dan
mempunyai integritas moral yang tinggi. Atas
dasar kerangka pikir tersebut MKRI kemudian
menjawab isu utama kasus ini dengan
meletakkan dua kaidah sebagai pedoman
interpretif agar penerapan syarat tersebut
tidak diskriminatif. Pertama, perlunya
pembedaan unsur kesalahan dalam tindak
pidana tersebut apakah hasil dari kesengajaan
( dolus) atau kealpaan ( culpa) untuk
menentukan sifat tercelanya tindak pidana
yang dilakukan. Jika calon pejabat publik yang
bersangkutan pernah dihukum melakukan
tindak pidana karena kealpaan ringan ( culpa
levis) maka syarat tersebut tidak berlaku bagi

dirinya.43 Kedua, membatasi keberlakuan

syarat pernah/tidaknya seseorang menjalani
hukuman karena melakukan tindak pidana
dengan mempertimbangkan karakter dari
tindak pidana yang dilakukan. Menurut MKRI
syarat ini tidak berlaku untuk tindak pidana
atau kejahatan karena alasan politik. Jika
syarat tersebut diberlakukan untuk tindak
pidana atau kejahatan karena alasan politik
maka MKRI berpendirian bahwa syarat
tersebut diskriminatif. Dalam hal ini MKRI
mempertahankan pendirian dalam putusan
sebelumnya yaitu Putusan MKRI No.
4.

Kebijakan Legislatif

011-017/PUU-I/2003
Dalam pengujian terhadap Pasal 9 UU No. 12

dalam rangka


Tahun 2003 ini MKRI berpendapat:

Penyederhanaan

Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak

Partai Politik

bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD
1945 tentang hak untuk bebas dari perlakuan
yang bersifat diskriminatif, karena persyaratan
untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya itu
berlaku untuk semua partai politik setelah
melewati kompetisi secara demokratis melalui

5.

Syarat Sarjana


pemilu.
MKRI berpendirian bahwa suatu persyaratan

Hukum bagi Calon

bersifat

Pimpinan KPK

korelasi dengan tuntutan dari jabatan publik
tersebut,

diskriminatif
yaitu

“pertimbangan

jika

tidak

persyaratan

ras,

suku,

memiliki
seperti:

agama, bahasa,

warna kulit, jenis kelamin, status ekonomi,
status

sosial,

atau

keyakinan

politik

tertentu.”49 Atas dasar itu MKRI selanjutnya
mempertimbangkan bahwa Pasal 29 huruf d
UU No. 30 Tahun 2002 tidak diskriminatif
karena:

merupakan tuntutan kebutuhan sesuai dengan
sifat kelembagaan KPK sebagaimana tampak
dalam wewenang dan tugasnya. Adalah benar
bahwa kemampuan seseorang tidak selalu
tergambar dari kualiikasi pendidikannya akan
tetapi

syarat

pendidikan

tertentu

telah

diterima secara umum sebagai ukuran objektif
bagi tolok ukur kemampuan yang diperlukan
untuk

melaksanakan

tugas

jabatan

dalam

pemerintahan.50
MKRI memperkuat pendiriannya dengan
beranjak dari asas keadilan distributif, yaitu:
“memperlakukan sama untuk hal-hal yang
memang sama dan memperlakukan berbeda
untuk hal-hal yang memang berbeda

vii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sebuah buku yang berjudul “Human Rights, Individual Rights, and
Collective Rights” yang ditulis oleh Jack Donnelly dan dikutip oleh Peter
R. Baehr dikatakan bahwa “human rights are rights that human beings
posses because they are human beings.” Sebagai sebuah identitas yang
membedakan manusia dengan mahluk lain maka sudah sepantasnya hak
asasi manusia (HAM) diakui secara universal tanpa peduli apapun warna
kulit, jenis kelamin, usia, latar belakang kultural dan pula agama atau
kepercayaan spiritualitasnya.
Setiap manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang Maha
Esa karena dilahirkan dengan martabat, derajat, hak dan kewajiban yang
sama. Setiap manusia yang dilahirkan ke dunia memiliki hak yang
melekat dalam dirinya masing-masing. Secara konsep, hak asasi manusia
dapat dilaksanakan oleh seorang manusia dengan identitasnya sebagai
individu dan identitasnya dalam komunitas, organisasi, keluarga dan
negara atau kolektif. Dalam sebuah essay yang berjudul “Human Rights,
Individual Rights and Collective Rights” Jack Donnelly berkata :
“human rights are a special class of rights that one has simply
because one is a human being. They are thus moral rights of the highest
order (whether or not they are recognized in the positive law). As such,
they play a special political role”.
Maksud dari pengertian tersebut adalah bahwa hak asasi manusia
adalah suatu hak yang istimewa, hak tersebut dimiliki karena seseorang

adalah manusia dan hak asasi manusia adalah hak moral yang tertinggi
sehingga memiliki peranan yang penting dalam politik.
Kita tahu bahwa Indonesia ini memiliki berbagai jenis keragaman,
sehingga

dengan

ragamnya

agama,

buadaya,

ras,

budaya,

dan

keragaman lain yang menyebabkan terjadinya konfik dalam kehidupan
bermasyarakat merupakan hambatan bagi hubungan kekeluargaan,
persaudaraan, persahabatan, perdamaian , keserasian, keamanan, dan
kehidupan bermata pencaharian di antara warga negara yang pada
dasarnya selalu hidup berdampingan.

1
Ciri

budaya

gotong

royong

yang

telah

dimiliki

masyarakat

Indonesia dan adanya perilaku musyawarah/mufakat, bukanlah jaminan
untuk tidak terjadinya konfik, terutama dengan adanya tindakan
diskriminasi terhadap suatu kelompok/golongan tertentu. Hak Asasi
Manusia bertujuan untuk memelihara harkat dan martabat manusia.
Kerusuhan yang pernah terjadi menunjukkan bahwa di Indonesia
sebagian warga negara masih terdapat adanya diskriminasi atas dasar
kelompok tertentu, misalnya, diskriminasi dalam dunia kerja atau dalam
kehidupan sosial ekonomi, dan lain-lain. Akhir-akhir ini di Indonesia
sering muncul konfik antar agama, ras, gender, dan lain-lain yang diikuti
dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkelahian, pemerkosaan,
pembantaian dan pembunuhan. Konfik tersebut muncul karena adanya
ketidakseimbangan hubungan yang ada dalam masyarakat, baik dalam
hubungan sosial, ekonomi, maupun dalam hubungan kekuasaan.
Konfik

di

atas

tidak

hanya

merugikan

kelompok-kelompok

masyarakat yang terlibat konfik tetapi juga merugikan masyarakat
secara keseluruhan. Kondisi itu dapat menghambat pembangunan
nasional yang sedang berlangsung. Hal itu juga mengganggu hubungan
kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian dan keamanan

di dalam suatu negara serta menghambat hubungan persahabatan
antarbangsa.
Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagai hukum dasar yang menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia yang tercermin dalam sila kedua, kemanusiaan yang adil dan
beradab. Asas ini merupakan amanat konstitusional bahwa bangsa
Indonesia bertekad untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi
dalam berbagai hal.
Dalam rangka pengamalan Pancasila, Indonesia pada dasarnya
telah menetapkan mengenai larangan diskriminasi ini dalam UUD 1945,
sebagai konstitusi Negara, dan juga dalam peraturan perundangundangan lainnya.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana penanganan kasus pelanggaran HAM di Indonesia?
2. Bagaimana penerapan asas non-diskriminasi dalam kasus HAM di
Indonesia?
3. Bagaimana perspektif Pancasila memandang sejauh penerapan asas non
diskriminasi agama dalam kasus HAM di Indonesia?
2
C. Metode penelitian
Dalam penyusunan makalah ini kami menggunakan referensi dari
berbagai sumber utamanya buku. Selain buku kami juga menggunakan
jurnal terkait, baik itu jurnal nasional maupun internasional sebagai
pendukung

referensi

dalam

menyusun

makalah

ini.

Peraturan

perundang-undangan terkait juga kami gunakan untuk meperkuat setiap
apa yang kami kemukakan dalam makalah ini.

3

BAB II
PEMBAHASAN
a. Kasus pelanggaran HAM di Indonesia
Pelanggaran hak asasi manusia dalam UU No. 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, adalah setiap perbuatan seseorang atau
sekelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum, mengurangi,
menghalangi,

membatasi

dan

mencabut

HAM

seseorang

atau

sekelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini dan tidak
mendapat atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian
hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang

berlaku. Sedangkan dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM,

mendefnisikan

pelanggaran

HAM

adalah

setiap

perbuatan

seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja
ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi, dan mencabut HAM seseorang atau kelompok
orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak didapatkan atau
dikhawatirkan

tidak

akan

memperoleh

penyelesaian

hukum

yang

berlaku. Kasus pelanggaran hak asasi manusia akan senantiasa terjadi
jika tidak secepatnya ditangani. Negara yang tidak mau menangani
kasus

pelanggaran

HAM

yang

terjadi

dinegaranya

akan

disebut

unwillingness state atau negara yang tidak mempunyai kemauan
menegakkan HAM. Kasus pelanggaran HAM yang terjadi dinegara
tersebut akan disidangkan oleh Mahkamah Internasional. Hal tersebut
tentu saja menggambarkan bahwa kedaulatan hukum negara tersebut
lemah dan wibawa negara tersebut jatuh di dalam pergaulan bangsabangsa yang beradab.
Sebagai negara hukum dan beradab, tentu saja Indonesia tidak
mau disebut sebagai unwillingness state. Indonesia selalu menangani
sendiri kasus pelanggaran HAM yang terjadi di negara ini, yakni melalui
Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dibentuk berdasarkan UU No. 26
tahun 2000. Sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM tersebut, kasus
pelanggaran HAM diperiksa dan diselesaikan di Pengadilan HAM Ad Hoc
yang

dibentuk

berdasarkan

keputusan

presiden

dan

berada

di

lingkungan peradilan umum. Namun setelah berlakunya UU tersebut,
maka sudah menjadi ranah Pengadilan HAM untuk memeriksa dan
mengadili setiap perkara pelanggaran HAM yang masuk. Berdasarkan UU
No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, proses persidangannya
berlandaskan pada ketentuan Hukum Acara Pidana.
4
Proses penyidikan dan penangkapan dilakukan oleh Jaksa Agung
dengan disertai

surat perintah

dan

alasan penangkapan, kecuali

tertangkap tangan. Penahanan untuk pemeriksaan dalam sidang di
Pengadilan HAM dapat dilakukan paling lama 90 hari dan dapat

diperpanjang paling lama 30 hari oleh pengadilan negeri sesuai dengan
daerah hukumnya. Penahanan di pengadilan tinggi dilakukan paling lama
60 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari. Penahanan MA
paling lama 60 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari. Adapun
penyelidikan, Komnas HAM dapat membentuk Tim Ad Hoc yang terdiri
dari Komnas HAM dan unsur masyarakat. Hasil penyelidikan Komnas
HAM yang berupa laporan pelanggaran HAM, diserahkan berkasnya
kepada Jaksa Agung yang bertugas sebagai penyidik. Jaksa Agung wajib
menindak lanjuti laporan dari Komnas HAM tersebut. Jaksa Agung
sebagai penyidik dapat membentuk penyidik Ad Hoc yang terdiri dari
unsur pemerintah dan masyarakat.
Proses penuntutan perkara pelanggaran HAM berat dilakukan oleh
Jaksa

Agung.

Dalam

pelaksanaan

tugasnya,

Jaksa

Agung

dapat

mengangkat penuntut umum Ad Hoc yang terdiri dari pemerintah atau
masyarakat. Setiap saat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mendapat
keterangan

tertulis

dari

Jaksa

Agung

mengenai

perkembangan

penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran HAM yang berat. Jaksa
Penuntut

Umum

ad

hoc

sebelum

melaksanakan

tugasnya

harus

mengucapkan sumpah atau janji. Selanjutnya, perkara pelanggaran HAM
yang berat diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan HAM yang
dilakukan oleh majelis Hakim Pengadilan HAM paling lama 180 hari
setelah berkas perkara dilimpahkan dari penyidik kepada Pengadilan
HAM. Majelis Hakim Pengadilan HAM yang berjumlah lima orang terdiri
atas dua orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan tiga
orang hakim ad hoc yang diketuai oleh hakim dari Pengadilan HAM yang
bersangkutan. Dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang
berat dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi, maka perkara tersebut
diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 hari terhitung sejak
perkara

dilimpahkan

ke

pengadilan

Tinggi.

Pemeriksaan

perkara

pelanggaran HAM di Pengadilan Tinggi dilakukan oleh Majelis Hakim yang
terdiri dari dua orang hakim pengadilan tinggi yang bersangkutan dan
tiga orang hakim ad hoc. Hakim ad hoc di Mahkamah Agung diangkat
oleh presiden selaku kepala negara atas usulan Dewan Perwakilan
Rakyat Indonesia.

5
Terlepas dari itu semua, banyak sekali kasus yang terjadi di
Indonesia akibat diskriminasi. Diskriminasi dalam UU No. 39 tahun 1999
pasal 1 adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang
langsung ataupun tak langsung didasarkan
pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnis, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan
politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam
bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan
lainnya.
b. Asas non-diskriminasi dalam kasus HAM di Indonesia
Asas non-diskriminasi atau non-discrimination principle adalah
bahwa tidak seorangpun dapat meniadakan hak asasi orang lain karena
faktor-faktor luar, misalnya ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau pandangan lainnya. Bahwa segala warga negara
bersamaan

kedudukannya

di

dalam

hukum

dan

berhak

atas

perlindungan terhadap setiap bentuk diskriminasi ras dan etnis.
Asas non-diskriminasi ini harus diterapkan secara maksimal agar
tidak mencederai hak orang lain yang ujung-ujungnya berakhir dengan
pelanggaran hak asasi manusia.
Secara konstitusional ada beberapa ketentuan sebagai sumber
hukum bagi hak untuk bebas dari diskriminasi. Subjek dari ketentuan
tersebut dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, setiap orang tanpa
kualifkasi. Kedua, warga negara. Dengan demikian ketentuan tentang
hak untuk bebas dari diskriminasi tersebut berlaku bagi hak-hak asasi
manusia dan hak-hak warga Negara.
Ketentuan

konstitusional

tentang

HAM

untuk

bebas

dari

diskriminasi adalah sebagai berikut : dalam pasal 28D ayat 2 UUD 1945
berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,

dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum. Sedangkan dalam pasal 28I ayat 2 UUD 1945 pun mengatur
mengenai non-diskriminasi yang berbunyi :
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan

yang

bersifat

diskriminatif

itu”.

Sementara

ketentuan

konstitusional tentang hak warga negara untuk bebas dari diskriminasi
adalah pasal 27 ayat 1 UUD 1945 menentukan bahwa segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
wajib menjunjung hukum dan
6
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya serta pasal 28D ayat 3
UUD 1945 yang
menentukan

bahwa

setiap

warga

negara

berhak

memperoleh

kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Ketentuan konstitusional tentang hak untuk bebas dari diskriminasi
juga mencakup perlindungan khusus bagi kelompok orang tertentu yang
terkategori sebagai kelompok rentan. Pasal 28H ayat 2 UUD 1945
menentukan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakukan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Hal ini dipertegas oleh
pasal 5 ayat 3 UU No. 39 tahun 1999 yang menentukan bahwa setiap
orang yang termasuk kelompok

masyarakat yang rentan berhak

memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya.
Secara fungsional, non-diskriminasi pada hakikatnya adalah asas
dalam rangka implementasi perlindungan HAM terkait dengan kewajiban
negara terhadap semua jenis HAM. Perlindungannya bersifat accessory,
yaitu: “it can only be applied when any of those rights or freedoms has
been violated.” Pengertian ini mengacu pada Art. 14 the European
Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental
Freedoms Pengertian demikian tercermin secara inheren dalam Pasal 1
angka 3 jo. Pasal 2 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999, Art. 2 Universal

Declaration of Human Rights (UDHR), Art. 2.(1) International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR), dan Art. 2.(2) International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Sebagai implikasinya,
tidak perlu ada ketentuan non-diskriminasi secara khusus karena hal itu
telah melekat dalam semua ketentuan HAM di mana implementasi dan
penikmatannya di antara individu-individu tidak boleh didiskriminasikan.
Pengertian ini berlaku umum, termasuk bagi Indonesia. Namun khusus
dalam

sistem

UUD

1945,

status

perlindungan

non-diskriminasi

diposisikan sebagai hak tersendiri atau otonom.
Sieghart menjelaskan, asas non-diskriminasi merupakan derivasi
dari asas universal inherence dan asas

inalienability HAM dengan

implikasi: “no such diferentiation is today permissible in the case of
‘human’ rights ... the law must treat all members of the protected class
with complete equality, regardless of their particular circumstances,
features or characteristics. Asas non-diskriminasi secara substantif bukan
a simplistic philosophy of egalitarianism, tetapi lebih luas maknanya dan
mempertimbangkan keunikan masing-masing individu manusia. Yang
pivotal dari konsep non-diskriminasi adalah aspek fungsionalnya agar
HAM dapat dinikmati setiap manusia tanpa dibeda-bedakan. Dalam
konteks ini tujuan asas non-diskriminasi adalah “to allow all individuals
an equal and fair prospect to access
7
opportunities available in a society”.
Ruang lingkup asas non-diskriminasi ada dua, yaitu melarang
diskriminasi langsung ( direct discrimination) dan tidak langsung (
indirect discrimination). Dengan pengertian lain, diskriminasi langsung
adalah “treating one person less favourably than another on prohibited
grounds and in comparable circumstances.” Sementara diskriminasi tidak
langsung adalah “a practice, rule, requirement or condition is neutral on
its face but has a disproportionate efect on particular groups without
any objective justifcation.”
Secara substantif, ketentuan non-diskriminasi pada hakikatnya
pararel dengan ketentuan yang maknanya positif yaitu hak atas
persamaan (the right to equality). The Human Rights Committee

menyatakan: “Non-discrimination, together with equality before the law
and equal protection of the law without any discrimination, constitute a
basic and general principle relating to the protection of human rights.”
Namun

demikian,

Jayawickrama

berpendapat

bahwa

hak

atas

persamaan pada hakikatnya adalah hak yang mandiri ( autonomous
rights),

berbeda

dengan

ketentuan

non-diskriminasi

karena

keberlakuannya tidak harus dikaitkan dengan atau bergantung pada
jenis-jenis HAM yang lain.
Landasan yuridis spesifk bagi hak atas persamaan adalah Art. 7
UDHR15 dan Art. 26 ICCPR.16 Ketentuan ini menjamin tiga bentuk
perlindungan HAM: equality before the law; equal protection of the law;
dan protection from discrimination. Ketentuan tersebut pararel dengan
Pasal 28D ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999.
Berbeda dengan ketentuan non-diskriminasi yang sifatnya negatif
(pelarangan), hak atas persamaan menuntut negara untuk mengambil
langkah-langkah

tertentu,

kewajiban

positif,

guna

memastikan

terwujudnya persamaan. Perlindungan terhadap hak atas persamaan
juga

tidak

melarang

bentuk

perlakuan

berbeda.

Jayawickrama

menyatakan: “Equality before the law and the equal protection of the law
do not mean identity or abstract symmetry of treatment. Distinctions
need to be made for diferent classes and groups of persons, and a
classifcation based on reasonable and objective criteria is permitted.”
Beberapa contoh konkret untuk pernyataan ini adalah: larangan pada
orang buta untuk menjalankan kendaraan, wajib belajar bagi kelompok
umur tertentu, pengenaan pajak secara progresif sesuai besaran
penghasilan.
Dalam kasus tertentu, asas persamaan menuntut negara agar
melakukan afrmative action untuk mengurangi atau menghapuskan
kondisi-kondisi

yang

menyebabkan

diskriminasi

atau

membantu

melanggengkan praktik diskriminasi. Praktik
8
perlakuan berbeda untuk mengurangi atau menghapuskan diskriminasi
dipandang

sebagai bentuk diferensiasi atau pembedaan yang sah. Jayawickrama
menegaskan: “The primary mission of an equality provision is the
promotion of a society in which all are secure in the knowledge that they
are recognized at law as human beings equally deserving of concern,
respect and consideration”
Berikut contoh kasus :
1. Kasus Hak Politik Eks-PKI
Kasus paling menyita perhatian publik pada tahun pertama MKRI
adalah isu konstitusionalitas Pasal 60 huruf g UU No. 12 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
memuat larangan bagi seseorang untuk dapat dicalonkan sebagai
anggota DPR, DPD dan DPRD Provinsi maupun Kabupaten/Kota jika
yang bersangkutan: “bekas anggota organisasi terlarang Partai
Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang
yang terlibat langsung atau pun tak langsung dalam G.30.S/ PKI atau
organisasi terlarang lainnya.”
2. Syarat Menjadi Presiden dan Wakil Presiden
Isu hukum kasus ini adalah konstitusionalitas Pasal 6 huruf d UU No.
23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
yang berisi syarat-syarat calon Presiden dan Wakil Presiden yaitu:
“mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.” Syarat tersebut
dinilai diskriminatif oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) karena
menghalangi

kesempatannya

untuk

mencalonkan

diri

sebagai

Presiden Republik Indonesia melalui pemilu.
3. Kebijakan Legislatif dalam rangka Penyederhanaan Partai Politik
Isu hukum kasus ini adalah konstitusionalitas kebijakan legislator
dalam rangka penyederhanaan partai politik melalui ketentuan
electoral threshold/ ET (pembatasan untuk ikut serta dalam pemilu
berikutnya berdasarkan ambang batas perolehan suara partai politik
dalam pemilu sebelumnya). Secara substantif isu hukum ini diuji
dengan

ketentuan

non-diskriminasi

karena

mengandung

unsur

pembedaan atau klasifkasi antara partai politik yang memenuhi ET

dengan partai politik yang tidak memenuhi ET. Ketentuan yang diuji
adalah Pasal 9 UU No. 12

9
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
menetapkan ambang batas perolehan suara nasional sebesar 3% bagi
partai politik yang akan ikut serta dalam pemilu selanjutnya (Pemilu
2009).
4. Halangan bagi Bekas Narapidana untuk menjadi Pejabat Publik
Beberapa undang-undang yang mengatur mengenai syarat untuk
menjadi pejabat publik menentukan: “tidak pernah dijatuhi pidana
penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih.” Jabatan
publik dengan syarat tersebut adalah: Presiden dan Wakil Presiden
(Pasal 6 huruf t UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden); Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(Pasal 58 huruf f UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah); Hakim Konstitusi (Pasal 16 ayat [1] huruf d UU No. 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi); Hakim Agung (Pasal 7 ayat [2]
huruf d UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung); Anggota
Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 13 huruf g UU No. 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan); dan anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi,dan DPRD kabupaten/kota (Pasal 50 ayat [1] huruf g UU No. 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah).
5. Syarat Sarjana Hukum bagi Calon Pimpinan KPK
Kasus ini mempermasalahkan konstitusionalitas Pasal 29 huruf d UU
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPK) yang menentukan syarat untuk menjadi pimpinan KPK

yaitu: “Sarjana Hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan
pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun dalam bidang
hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan.” Pemohon menganggap
syarat ini diskriminatif. Atas isu tersebut, syarat untuk menduduki
jabatan publik yang tidak diskriminatif, MK RI meletakkan prinsip:
persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang untuk menduduki
suatu jabatan publik atau pekerjaan tertentu tidaklah serta-merta
dapat dikatakan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia
ataupun hak konstitusional warga negara, lebih-lebih untuk suatu
jabatan atau pekerjaan yang karena sifatnya memang menuntut
keahlian dan/atau keterampilan tertentu. Yang dilarang adalah
membuat persyaratan yang bersifat diskriminatif yang sama sekali
tidak ada hubungannya
10
dengan tuntutan kebutuhan pengisian suatu jabatan atau pekerjaan.
c. Perspektif Pancasila terhadap penerapan asas non diskriminasi dalam
kasus HAM di Indonesia
Prinsip tanpa diskriminasi ( non-discrimination ) adalah satu
kesatuan dengan konsep kesetaraan. Prinsip non-diskriminatif melingkupi
pandangan bahwa orang tidak dapat diperlakukan secara berbeda
berdasarkan kriteria yang bersifat tambahan dan tidak dapat diijinkan.
Diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, kesukuan, gender, usia,
bahasa,

ketidak-mampuan,

orientasi

seksual,

agama,

politik

atau

pendapat lainnya, asal-usul secara sosial atau geografs, kepemilikan,
kelahiran

atau

status

lainnya

yang

dibuat

oleh

standar

HAM

internasional, melanggar HAM.
Sebagai negara yang berdaulat, layaknya negara-negara di dunia,
Indonesia memiliki sistem nilai yang menjadi pondasi, ideologi, dan
falsafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut John
Gardner, “tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa
itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya
itu tidak memiliki dimensi moral guna menopang peradaban besar.
Dalam konteks ini, Indonesia memiliki dan menyakini bahwa lima nilai

fundamental yang dikonsepsikan sebagai dasar, pandangan, idiologi
negara, yakni Pancasila.”
1. Ketuhan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4.

Kerakyatan

Yang

Dipimpin

oleh

Hikmat

Kebijakanaan

dalam

Permusyarawatan Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dalam pandangan Soekarno, bahwa Indonesia (melalui Pancasila)
tidak dipimpin dan tidak mengikuti kedua ajaran, yakni baik ajaran liberal
maupun komunis. Lima nilai fundamental tersebut digali dan diekstrak
dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri tumbuhlah
sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang jauh
lebih

cocok

dengan

kondisi

Indonesia,

sesuatu

itu

kami

namakan“PANCASILA”. Pancasila digali dari berbagai kearifan lokal; suku
bangsa, agama, dan nilai-nilai kemanusiaan, yang itu semua dipandang
sebagai bantalan weltanschaung bagi negara Indonesia merdeka. Karena
itu, Pancasila sebagai ideologi negara dapat dikatakan sebagai idiologi
“integralistik” yang mengatasi partikularitas

11
paham perseorangan dan golongan.
Prinsip HAM dalam Sila-sila dari Pancasila yang digali oleh The
founding fathers bersumber dari kebudayaan asli Indonesia dan itu
merupakan produk dari konsensus bersama yang kemudian dijadikan
sebagai pandangan hidup bangsa, dasar dan ideologi
negara yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945. Sumber bahan dan nilai
Pancasila digali dari nilai-nilai yang lahir dan tumbuh di dalam diri bangsa
Indonesia sendiri. Karena itu, sejarah telah menyatakan bahwa Pancasila
adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, yang memberi kekuatan hidup
kepada

bangsa

Indonesia

serta

membimbingnya

dalam

mengejar

kehidupan lahir batin yang makin baik, di dalam masyarakat Indonesia
yang

adil

dan

makmur.

Pancasila

merupakan

kepribadian

dan

pandangan hidup bangsa, yang telah diuji kebenaran, kemampuan dan
kesaktiannya, sehingga tak ada satu kekuatan manapun juga yang
mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia.
Nilai yang terkandung dalam lima sila Pancasila, memiliki fungsi
konstruktif dan regulatif. Fungsi konstruktif mengandung arti bahwa
Pancasilalah yang menentukan apakah tata hukum Indonesia merupahan
tata hukum yang benar. Pancasila di sini merupakan dasar suatu tata
hukum, yang tanpa itu suatu tata hukum kehilangan arti dan makna
sebagai

hukum.

Pancasila

juga

memiliki

fungsi

regulatif

yang

menentukan apakah hukum positif yang berlaku di Indonesia merupakan
hukum yang adil atau tidak. Bila mengacu kepada fungsi konstruktif dan
regulatif dari Pancasila, maka menjadi catatan kita bersama bahwa
setiap proses perumusan perundang-undangan (termasuk di dalamnya
UU tentang HAM), para perumus harus selalu menjadikan nilai-nilai
universal dan bahkan nilai lokal yang terkandung dalam Pancasila
sebagai acuannya.
Sistem nilai universal dari Pancasila yang melandasi HAM adalah (a) nilai
religius atau ketuhanan, (b) nilai kemanusiaan, (c) nilai persatuan, (d)
nilai kerakyatan, dan (e) nilai keadilan. Nilai religius (ketuhanan) yang
diamanatkan dalam sila pertama, dapat dikatakan merupakan suatu
keunikan dalam penyelenggaraan negara RI dibandingkan dengan
negara-negara Barat misalnya, yang tentunya Pancasila ini berangkat
dari kondisi masyarakat Indonesia sendiri. Ide tentang HAM bagi bangsa
Indonesia adalah HAM yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai
ketuhanan. Karena HAM bersumber dari nilai-nilai ketuhanan sehingga
HAM yang dikembangkan tidak boleh menyalahi aturan yang ditetapkan
Tuhan.
Manusia dengan menempatkan dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan
Yang Maha
12
Kuasa, maka pada dasarnya manusia itu, termasuk manusia yang
menyelenggarakan

kekuasaan tidak akan berarti apapun dalam kehidupannya tanpa
kekuasaan-Nya, sebab di depan Tuhan semua manusia sama. Pancasila
juga memiliki fungsi regulatif yang menentukan apakah hukum positif
yang berlaku di Indonesia merupakan hukum yang adil atau tidak.
Salah satu asas yang terkandung dalam Pancasila adalah asas nondiskriminasi, yakni suatu asas di mana setiap orang memiliki kedudukan
yang sama, tanpa adanya perlakuan yang berbeda hanya karena ras,
warna kulit, pendapat, agama, dan lain sebagainya. Bahwa salah satu
sila pancasila yang kedua adalah kemanusiaan yang adil dan beradab.
Jadi, hal ini jelas menggambarkan bahwa setiap manusia memiliki
kesamaan dan berhak mendapat perlakuan yang sama.
Manusia sebagai makhluk yang bermartabat dalam arti di sini ada sisi-sisi
kemanusiaan yang dimanusiakan terhadap manusia tersebut. Pancasila
mencerminkan kehidupan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang
beragam namun tetap satu dan terikat satu ikrar yang menjadi kekuatan
untuk selalu membangun

sikap dan sifat saling menghormati dan

menghargai satu dengan yang lainnya.
Bahwa

Pancasila

menggambarkan

sebagai

nilai-nilai

yang

mencerminkan seseorang dalam bertindak hendaknya bersandar pada
martabat setiap orang agar tidak sampai mencederai hak fundamental
yang melekat dalam diri manusia itu. Asas non-diskriminasi adalah
bagian dari Pancasila yang menjadi tolok ukur sampai di mana pancasila
itu ada ditengah-tengah masyarakat Indonesia.

Pancasila memandang

asas non-diskriminasi sebagai asas yang tidak boleh dibaikan, karenanya
sangat riskan jika sedikit saja ada isu untuk menghapus pancasila dan
menggantinya dengan ideologi lain.
Apalagi saat ini, maraknya kasus atau isu-isu yang berkembang
ditengah-tengah masyarakat diharapkan Pancasila mampu menjadi
senjata yang kuat agar tidak terjadi pelanggaran HAM yang merugikan
masyarakat dan menyalahi kodratnya. Asas non-diskriminasi dalam
Pancasila ini adalah asas fundamental yang berlaku untuk mendobrak
kemajuan penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
Pancasila ini kuat dan benar-benar hidup ketika Pancasila mampu
menjadi tongkat ketika ada pelanggaran HAM melalui sila-sila dan nilai-

nilai yang terkandung didalamnya untuk diimplementasikan dengan baik
dan

diutamakan

asas

non-diskriminasi

dalam

setiap

konfik

atau

pelanggaran yang terjadi sehingga nantinya dapat menghasilkan putusan
yang bernilai keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

13
BAB III
KESIMPULAN
Asas non-diskriminasi merupakan salah satu asas yang sangat penting
dalam seluruh pembahasan mengenai HAM. Asas non-diskriminasi mempunyai
hubungan yang sangat kuat dengan konsep mengenai kebebasan dan
keadilan. Asas ini sering digambarkan sebagai jiwa dari HAM karena hal yang
fundamental dari lahirnya ide-ide HAM adalah meletakkan setiap individu
manusia dimuka bumi ini dalam posisi yang sama dan sejajar dalam
hubungannya antara yang satu dengan lainnya. Ide kesetaraan diartikan “
bahwa setiap orang pada satu situasi yang sama harus diperlakukan sama”.
Agar kesetaraan dapat dinikmati oleh semua orang maka diperlukan
sebuah langkah atau tindakan konkret yang dapat memastikan bahwa
kesempatan yang sama benar-benar dapat dinikmati secara nyata. Tindakan
atau langkah untuk memastikan bahwa setiap orang dapat memperoleh
kesempatan/peluang yang sama disebut tindakan afrmatif (afrmative action)
atau langkah perlindungan khusus (protective measurement).

Tindakan

afrmatif dilakukan dalam konteks untuk mendukung/memberi jaminan kepada
kelompok masyarakat atau kelas-kelas tertentu agar mempunyai kesempatan
yang sama dengan kelompok lain. Sehingga, sebagai perwujudan sila kedua
Pancasila, Kemanusiaan yang adil dan beradab maka asas non-diskriminasi ini
diimplementasikan

demi

tegaknya

keadilan

social

bagi

seluruh

rakyat

Indonesia yang eksistensinya tetap kuat dalam persamaan kedudukan dalam
hokum (equality before the law).

14
DAFTAR PUSTAKA
El-Muhtaj, Majda. 2007. Hak Asasi Manusia dalam Konstiutsi Indonesia. Jakarta :
Kencana
Hatauruk M., 1982. Tentang Sekitar Hak-Hak Asasi Manusia dan Warga Negara.
Jakarta : Erlangga
Kurnia,

Slamet

Titon.

2015.

Interpretasi

Hak-Hak

Asasi

Manusia

oleh

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Bandung : CV Mandar Maju
Kusuma, Indradi, M.. 2000. Diskriminasi Warga Negara dan Hak Asasi Manusia :
Bunga Rampai Wacana Kewarganegaraan dalam Beragam Perspektif &
Interdisipliner.

Jakarat

:

Komnas-HAM-Gerakan

Perjuangan

Anti

Diskriminasi-Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa-The Asian Foundation
Purbopranoto, Kuntjoro. 1982. Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila. Jakarta :
Pradnya Paramita
Sieghart, Paul. 1983. The International Law of Human Rights. Oxford:
Clarendon Press
Sujata, Antonius. 2000. Reformasi dan Penegakan Hukum. Jakarta : Penerbit
Djambatan
Ida Bagus Radendra. 2012. Asas Putusan Mahkamah Konstitusi tentang UU
Pemerintahan Daerah Terkait Pemilihan Kepala Daerah. Unnes Law
Journal. Vol. 1, Nomor 1, November 2012
Paul Brest. 1976. “The Supreme Court 1975 Term – Foreword: In Defense of the
Antidiscrimination Principle,” Harvard Law Review, Volume 90
Titon Slamet Kurnia. 2015. Mahkamah Konstitusi dan Hak untuk Bebas dari
Perlakuan Diskriminasi. Jurnal Konstitusi. Vol. 12, Nomor 1, Maret 2015

Republik Indonesia.1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara RI Tahun 1999, No.
165. Sekretariat Negara. Jakarta
Republik Indonesia.2000. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara RI
Tahun 2000, No. 165. Sekretariat Negara. Jakarta
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/

15