KAJIAN ESTETIKA OPERA VAN JAVA DAN PANGK

UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP 2013
MATA KULIAH FILSAFAT 2
KAJIAN ESTETIKA OPERA VAN JAVA DAN PANGKUR JENGGLENG
Maria Ulfa
1010473032

Opera Van Java (OVJ) adalah contoh program televisi yang cukup meledak. Para
pemain-pemainnya bahkan dibuatkan program baru di samping OVJ saking tenarnya
mereka. Dengan formula yang khas, OVJ mendapatkan penggemarnya di tanah air.
Lawakan mereka beberapa bahkan menjadi kosa kata yang ditiru oleh masyarakat luas.
Setiap karya seni, dalam kasus ini acara OVJ, menggunakan prinsip-prinsip estetika untuk
menghasilkan tanda dan makna. Lalu makna-makna apa yang dihasilkan oleh OVJ?
Estetika dalam program audio visual dapat diuraikan dengan berbagai cara. Salah
satunya dengan menelaah apa yang kita lihat dari gambar yang ditayangkan. Ketika kita
melihat suatu gambar dari tayangan OVJ, kita bisa melihat set panggung, properti atau alatalat yang digunakan oleh pemain, kostum yang dipakai oleh pemain, tata rias para pemain,
dan cahaya yang ada dalam gambar tersebut. Kesemua hal tersebut merupakan unsurunsur, yang menurut David Bordwell dan Kristin Thompson, dari mise en scene.
Set panggung OVJ menyerupai set panggung pertunjukan drama. Hanya saja ada
ukiran etnik khas Jawa di atas tirai dan dua sisinya. Kemudian set area penonton
menghadap ke arah panggung. Termasuk dalang dan sindennya. Sementara area pemusik
terletak di antara panggung dan set penonton, di kedua sisi kanan dan kiri panggung. Di
sebelah bawah tepat di depan panggung, ada sebuah area kecil khusus penonton yang

bertugas meramaikan suasana yang dicipta pelawak. Sisanya dipakai peralatan teknis
seperti kamera atau mic berserta para operatornya.
Panggung pemainnya sendiri bisa digeser menggunakan mesin sehingga bisa
background bisa berganti-ganti sesuai ceritanya. Kita dapat melihat ornamen di set
penonton dan sinden. Di sana ada beberapa buah ornamen. Ukiran penuh ornamen khas
Jawa juga kita bisa lihat di area pemusik dengan bentuk sekat. OVJ tidak terlalu
memperbanyak ornamen-ornamen etnik di setting panggungnya. Sebab, OVJ tidak
bertendensi mengarahkan penonton kepada ornamen-ornamen itu. Maknanya, dengan
begini, OVJ tidak menghadirkan basa-basi seperti halnya rasa yang dihadirkan ornamen.
OVJ memandang ornamen sebagai riasan seperlunya dan lebih memilih memenuhi setting
dengan properti dan orang-orang agar menimbulkan kesan ramai dan meriah.

Panggung area sinden dan penonton serta panggung area pemain. Kamera serta operator
terlihat dalam gambar
Properti, seperti yang disinggung, memilki fungsi lain selain fungsi naratif. Properti
berfungsi mengisi ruang-ruang yang ada dalam setting panggung secara keseluruhan.
Bahkan, penonton pun bisa disebut sebagai properti hidup yang membentuk atmosfer
ceria. Properti yang ada d dalam panggung sewaktu-waktu digunakan sebagai bahan
lawakan meski itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan cerita itu.
Kita juga perlu mengamati peralatan teknis seperti kamera atau mic dan para

operaratornya. Para operator dan peratalannya ternyata juga direkam atau dishot. Dan
sepertinya, keadaan itu sah-sah saja bagi para penonton di layar kaca. Penonton tidak
merasa diganggu maupun terganggu. Dengan keadaan itu.
Baik set panggung maupun properti sama sekali tidak menunjukkan identitas
wayangnya. Apalagi kalau kita kaitkan dengan cerita yang sering dibawakan oleh OVJ, sama
sekali jarang menyentuh cerita dunia pewayangan. Kita justru melihat “rasa” pakem
wayang dari kostumnya. Kostum sinden adalah kebaya satu pasang. Ornamen-ornamennya

pun khas etnik Jawa. Dalang juga memakai kostum yang kental dengan etnik Jawa, jas khas
Jawa sepinggang bersama rompinya, kain batik sebagai bawahannya, serta blankon.
Kostum-kostum tadi menghasilkan tanda OVJ adalah acara pertunjukan khas Jawa, wayang.
Hanya saja, kostum-kostum ini tidak sama dengan cerita dan background yang dilakonkan.
Munculnya ornamen dalam pakaian dan bukannya di panggung memperlihatkan
usaha menyeimbangkan set panggung dengan kostum. Jika dua-duanya menonjolkan
ornamen, maka kesannya set akan lebih sempit dan sesak karena dipenuhi oleh bentuk
ornamen-ornamen. Karena itu, baru di kostumlah identitas mereka diperlihatkan.

Pakaian sinden dan dalang yang berasa etnik Jawa
Sebagai catatan kecil, kaos ketat berwarna coklat menyerupai kulit dipakai oleh
seluruh wayang orang atau pelakon cerita. Kaos ini mengesankan bahwa para pelakon

tidak memakai pakaian. Rujukannya berasal dari materi cerita yang dilakonkan. Jika setting
waktu cerita adalah cerita-cerita pendekar, kerajaan atau legenda rakyat zaman sebelum
Kerajaan Islam berkembang di Indonesia, maka kaos itu dipakai.

Di film-film bersetting waktu zaman itu pun para pemeran prianya tidak
menggunakan pakaian. Hal ini, meski remeh, menandakan pergeseran peradaban dan pola
pikir cultural masyarakat Indonesia. Mengenakan pakaian adalah norma yang berlaku di
masyarakat. Jika para pelakon benar-benar mengambil referensi dari film-film layar lebar,
bisa dipastikan beberapa golongan masyarakat akan memprotesnya karena televisi adalah
milik publik. Beda dengan film layar lebar.

Kaos mirip kulit
Tak ada yang menonjol dari tata cahaya OVJ selain di panggung warna cahayanya
cenderung daylight sedangkan di area penonton dan pemusik cenderung florescent. Ini
tidak lebih dari sekedar pengarahan fokus penonton saja. OVJ juga banyak menggunakan
lampu sorot warna-warni khas tata cahaya panggung konser ataupun teater. Meski jarang
digunakan untuk menonjolkan satu tokoh cerita, penggunaan lampu sorot cukup
menghasilkan kesan semarak nan meriah.

Penggunaan lampu sorot berwarna-warni

Dari mise en scene-nya, OVJ memilki semacam upaya melestarikan seni budaya
bangsa, yakni wayang. Hanya saja OVJ membawakan wayang ini dengan gaya yang

dicampur adukkan. Kostum tampak etnisnya, namun musiknya bukanlah musik etnik. Mise
en scene yang dibangun oleh OVJ merupakan sebuah visi bahwa seni budaya bangsa
bukanlah karya yang berhenti dengan pakemnya saja. Karya seni haruslah berkembang
seiring perkembangan teknologi.
Disorotnya kamera, kru, dan peralatan teknis shoting OVJ menandakan
perkembangan pakem karya wayang. Dengan sadar, para pembuat OVJ memasukkan
narasi-narasi visual melalui alat-alat tadi untuk menandakan improvisasi dan keterbukaan
pakem wayang tadi. Dari sini, bentuk baru telah muncul hasil percampuran antara bahasa
visual dan bahasa atau pakem-pakem wayang orang.
OVJ sudah tidak murni lagi drama panggung. Tapi jika kita menonton Pangkur
Jenggleng, kita bisa menonton contoh drama panggung murni yang dihasilkan dari seni
tutur nenek moyang kita. Pangkur Jenggleng adalah nama acara di TVRI Yogyakarta yang
menyampaikan nasihat dan budaya lewat tembang diselingi lawakan khas Yogyakarta.
Aslinya, Pangkur Jenggleng adalah salah satu bentuk kesenian karawitan Jawa.
Pangkur Jenggleng diciptakan oleh Basiyo, salah seorang pelawak Yogyakarta yang
disegani. Tembang Pangkur Jenggleng berisikan nasihat-nasihat dan warisan kebudayaan
Jawa. Ketika Pangkur Jenggleng (Pangkur) kemudian menjadi acara televisi, nasihatnasihat tersebut tetap menjadi sajian utama mereka yang diselingi dengan banyolanbanyolan khas Yogyakarta.

Pangkur Jenggleng masih murni drama panggung. Kemurnian drama panggungnya
terlihat dari mise en scene-nya. Set panggung terbagi menjadi tiga area. Area pemain di
tengah. Area pemusik di dua sisi. Area penonton di hadapan area pemain dan disebelah
kanan maupun kiri area pemusik. Kita tidak melihat kamera atau peralatan teknis lain di
bagian panggung mana pun.
Ornamen-ornamen etnik Jawa menempel di background. Background berwarna
kuning kecoklatan dihiasi garis berwarna coklat. Karpetnya juga berwarna merah dengan
motif ornamen kontemporer. Ada juga bentuk bulat yang menggambarkan lambang
Keraton Yogyakarta. Dari sini, kita bisa melihat kesan khas Yogykarta dalam acara Pangkur.
Dan itu adalah suatu bentuk pernyataan kultural yang tegas tanpa basa-basi. Pangkur
membawa misi kebudayaan. Seyogyianya, Pangkur harus menegaskan kebudayaan mana
yang mereka bawa.

Setting panggung Pangkur Jenggleng
Di sisi lain, tidak ada properti yang menonjol selain alat musik. Para pemain tidak
disediakan background lokasi cerita berserta benda-benda yang bisa dimanfaatkan untuk
kepentingan cerita. Lawakan murni berasal dari banyolan lisan antar pemainnya. Lagu-lagu
juga dimanfaatkan untuk melontarkan banyolan. Juga tidak ada peralatan teknis, misal
kamera, yang muncul sepanjang acara Pangkur. Berbeda dengan OVJ yang menunjukkan
kamera dan peralatan lainnya.

Kostum Pangkur semakin jelas menunjukkan keyogyaannya. Kebaya dan pakaian
adat Jawa dipakai oleh semua orang di sana, kecuali penonton yang berpakaian bebas rapi.
Dengan kostum Jawa dan pemain yang berbicara Jawa, Pangkur konsisten menyuguhkan
nasihat-nasihat dan nilai-nilai budaya Jawa melalui musik dan lawakan. Berbeda dengan
OVJ. Dalang dan sinden berpakaian adat Jawa, namun tidak berbicara bahasa Jawa. Namun
OVJ melakukannya dengan sadar. Mereka memang tidak berniat menasihati atau
memberikan nilai budaya kepada penonton. Tujuan utama mereka murni menghibur.

Kostum pemain dan pemusik

Tata cahaya Pangkur serba terang, tidak ada kontras tinggi di sana. Semua area
terang. Tidak ada penggunaan lampu sorot, baik berwarna maupun tidak. Akibatnya, warna
background terlihat terang cemerlang. Ketiadaan efek khusus dari departemen tata cahaya
membuat Pangkur terfokus pada permainan para pemainnya saja. Semakin murnilah
bentuk drama panggung acara ini.

Tak ada lampu sorot dan serba terang
Meskipun sama-sama membawa maksud pelestarian seni budaya, cara yang dipakai
Pangkur dan OVJ sangat berbeda. OVJ lebih modern, bahkan post-modern, melihat cara
mereka dengan gampangnya mencampur adukkan berbagai referensi narasi visual dan

desain ornamen yang kontemporer. Sedangkan Pangkur dengan tegas menolak adanya
percampuran-percampuran terhadap konsepnya. Kedua-duanya sama baiknya karena
punya tujuan yang sama, melestarikan seni budaya.