PETANI KARET RAKYAT DAN KONTRIBUSINYA DA

Copy
Bahan Bukti Karya Tulis Nomor 28

PETANI KARET RAKYAT DAN KONTRIBUSINYA DALAM
PROGRAM PEREMAJAAN KARET RAKYAT DI
PROVINSI JAMBI

Disajikan Pada Kegiatan Seminar Daerah Upaya Percepatan Program
Peremajaan Karet di Provinsi Jambi.
Sertifikat No. 43/Panpel-SEMINAR DAERAH/BEM FPM-UNJA/IV/2007
Jambi, 3 Mei 2007.

Oleh
Dr. Dompak Napitupulu

JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JAMBI
0

2007


1

PETANI KARET RAKYAT DAN KONTRIBUSINYA DALAM PROGRAM
PEREMAJAAN KARET RAKYAT DI PROVINSI JAMBI 1

Oleh: Dr. Dompak Napitupulu2

ABSTRACT
Natural Rubber has been the Jambi Province trade mark commodity since a
long time ago. This commodity has been planted well around the province. How ever,
due to the traditional plantation technology adopted, the magnificent commodity failed to
served farmer wealth lately. The Local Government then effort to re-attain back the glory
of natural rubber by programming to replant 130.656 Ha of small holder old plant with
high yielding new variety natural rubber in five year. A very key success factors to the
program was not only the availability of seedling and fertilizer as it was seemly priorities
but also the readiness of farmer to replant its old natural rubber. This paper was written
to contribute in accelerating the natural rubber replanting program in Jambi Province.
Based on the farmer readiness point of view, it was suggested to hasten the program by
reducing the minimum 1 hectare requirement for joining the replanting program; offering

more subsidies; enhancing the farmer access to high quality input and capital; and
training farmer to be able to self prepare their own natural rubber replanting.

A. PENDAHULUAN
Karet alam telah sejak lama menjadi salah satu komoditi trade mark dari Provinsi
Jambi. Komoditi ini bahkan telah diusahakan secara turun temurun dan diperdagangkan
di wilayah Provinsi Jambi bahkan sejak jaman penjajahan Belanda sehingga usahatani
karet dapat dikatakan telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Jambi. Pada tahun
2004, areal perkebunan

karet di Provinsi Jambi tercatat seluas 567.042 Ha dan

menyerap 425.282 orang tenaga kerja dengan jumlah rumah tangga petani sebanyak
216.724 keluarga. Luas areal perkebunan karet tersebut kemudian meningkat 8,86 %
menjadi 622.192 Ha yang diusahakan oleh 226.908 keluarga petani pada Tahun 2005.
Selain itu, komoditi karet berperan sebagai penyumbang yang cukup berarti terhadap
perekonomian Provinsi Jambi. Selama tiga tahun terakhir, terdapat kecendrungan
1
2


Disajikan Pada Kegiatan Seminar Daerah/BEM FP-UNJA Tanggal : 3 Mei 2007
Dosen Pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Faperta UNJA

2

peningkatan ekspor komoditi ini, baik dalam volume maupun nilainya. Pada tahun 2002,
volume ekspor tercatat sebesar 82.259 ton dan pada tahun 2004 meningkat menjadi
125.974 ton. Demikian pula, nilai ekspor meningkat dari US$.56.924.000 pada tahun
2002 menjadi US$.141.304.352 pada tahun 2004. Keseluruhan produksi karet alam
tersebut diperoleh dari perkebunan rakyat, perkebunan swasta besar, serta perkebunan
negara. Sesuai dengan perkiraan Dirjenbun, sebesar 76,1 persen produksi karet alam
nasional dihasilkan oleh perkebunan karet rakyat.
Meskipun peran komoditi karet cukup berarti dalam perekonomi Provinsi Jambi,
akan tetapi perannya terhadap peningkatan kesejahteraan petani belum signifikan.
Telah menjadi suatu fenomena bahwa petani karet rakyat identik dengan kemiskinan.
Hasil penelitian Zulkifli, dkk (2006) menunjukkan bahwa rata rata penerimaan petani
karet rakyat di Provinsi Jambi berkisar antara Rp 2.133.300 per tahun di Kabupaten
Batang Hari dan Rp 3.090.573 per tahun di Kabupaten Sarolangun. Temuan penting
lain menunjukkan bahwa usahatani karet tersebut adalah merupakan sumber
pendapatan utama bagi keluarga mereka.


Kebutuhan hidup sehari-hari dengan

demikian digantungkan pada hasil penerimaan dari usahatani karet yang dilakukan.
Mengacu pada batas garis kemiskinan yang ditentukan oleh Bank Dunia yakni
rata-rata pendapatan

satu dollar Amerika per kapita perhari di negara sedang

berkembang maka dapat dilihat bahwa pendapatan petani karet rakyat
Jambi masih sangat rendah.

di Provinsi

Jika diasumsikan bahwa rata rata petani karet rakyat

memiliki anggota keluarga sejumlah 5 (lima) orang yang terdiri dari suami, istri, dan tiga
orang anak, maka setiap keluarga petani karet rakyat membutuhkan penerimaan
sebesar US $ 5,00 per hari atau sekitar Rp 12.960.000 per tahun. Angka tersebut
berkisar antara 4 hingga 5 kali tingkat pendapatan petani karet rakyat di Provinsi Jambi.

Artinya, petani karet rakyat Provinsi Jambi masih belum dapat dikatakan terbebas dari
kemiskinan.

Menurunnya kemampuan usahatani karet rakyat dalam mengangkat

keluarga petani karet untuk lepas dari garis kemiskinan menyebabkan pemerintah
daerah Provinsi Jambi berupaya meningkatkan kembali kejayaan industri karet Provinsi
Jambi sebagaimana yang pernah diperoleh hingga tahun 1970’an. Pemerintah Provinsi
Jambi kemudian memprogramkan untuk melakukan peremajaan karet rakyat seluas
130.656 Ha karet tua dalam kurun waktu 5 tahun yakni tahun 2006 hingga 2010 yang
akan datang.

3

Keberhasilan peremajaan karet yang diprogramkan oleh pemerintah tersebut
diyakini tidak hanya tergantung pada jaminan pasokan bibit serta sarana produksi pupuk
dan obat obatan yang justru kurang berhasil diadakan pada tahun 2006 yang lalu.
Disamping ketersediaan faktor produksi tersebut, kesiapan petani untuk dapat
berkontribusi dalam peremajaan karet perlu untuk mendapat perhatian.


Tulisan ini

ditujukan untuk menyajikan kondisi sosial ekonomi petani dan kesiapannya untuk
berkontribusi dalam mensukseskan program peremajaan karet rakyat di Provinsi Jambi.

B. PETANI KARET RAKYAT
Sebagaimana diungkapkan terlebih dahulu, karet alam di Indonesia mayoritas
(76,1 %) dihasilkan oleh petani karet rakyat.

Petani karet rakyat di Provinsi Jambi

sebagaimana juga secara umum dijumpai di wilayah lain di Indonesia dapat digolongkan
kedalam tiga kelompok petani yakni: petani pemilik, petani penyadap dan petani pemilik
penyadap. Kelompok petani pemilik adalah petani karet rakyat yang umumnya memiliki
areal perkebunan karet yang cukup luas sehingga petani tersebut tidak mampu untuk
memanen (menderes) sendiri lahan perkebunan karet yang dimiliki. Petani pemilik pada
umumnya hanya berperan dalam mengusahakan kebun karet yang dimiliki dari sejak
persiapan tanam, serta melakukan perawatan seperlunya hingga tanaman karet siap
sadap.


Setelah tanaman karet siap sadap, petani pemilik kemudian menyerahkan

pengelolaan “menderes” tanaman karet tersebut kepada petani lain yang lebih dikenal
dangan buruh potong.
Kelompok petani karet pertama yakni pemilik kebun karet luas mengusahakan
kebun yang mereka miliki dengan mendistribusikan lahan karet tersebut kepada
sejumlah buruh potong dengan luasan rata-rata dua hingga tiga hektar per kepala
keluarga.

Sistem bagi hasil merupakan pola yang umum dilakukan dalam jalinan

kemitraan antara pemilik dan penyadap dengan proporsi tertentu.

Sistem bagi hasil

yang dianut umumnya mengikuti pola 1 : 2; 1 : 3; atau 1 : 4 tergantung usia dan
produktivitas tanaman karet. Dalam sistem produksi ini, petani pemilik umumnya akan
bertindak sebagai toke yang siap membeli bagian yang diperoleh oleh petani penderes,
sekaligus memasok kebutuhan sehari-hari keluarga buruh potong tersebut.


Cukup

luasnya areal perkebunan karet yang dimiliki serta perannya sebagai toke bagi buruh
potong menyebabkan kelompok petani pemilik ini mampu memperoleh pendapatan
yang cukup memadai dari usaha perkebunan karet yang dimiliki.

4

Kelompok petani karet rakyat kedua adalah petani penyadap yang umumnya
adalah petani yang tidak memiliki lahan karet sendiri. Hasil penelitian Zulkifli, Napitupulu,
dan Elwamendri (2006) menunjukkan bahwa sekitar 40 % dari petani karet di Kabupaten
Bungo dan 60 % petani karet rakyat di Kabupaten Merangin memotong karet orang lain.
Diperkirakan bahwa separuh (50 %) dari petani penyadap tersebut berasal dari Pulau
Jawa (pendatang) dan 50 % lainnya adalah merupakan warga asli di daerahnya masing
masing. Petani penyadap tersebut berkewajiban melakukan perawatan dan pemanenan
kebun karet serta menjual bahan olahan karet kering (bokar) yang dihasilkan. Beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa petani pemilik umumnya berperan menjadi pembeli
bokar yang dihasilkan oleh petani penyadap.
Fenomena lainnya yang mewarnai usaha perkebunan karet rakyat khususnya
yang dikelola dengan sistem bagi hasil adalah penguasaan teknologi


usaha

perkebunan karet yang dimiliki oleh buruh potong umumnya hanya terbatas pada
kemampuan sadap dan pengolahan getah menjadi bokar yang siap dipasarkan. Hasil
penelitian Napitupulu (2004) menunjukkan bahwa petani penyadap sesuai dengan
status yang dimiliki tidak memiliki motivasi yang cukup untuk menguasai teknologi
usahatani pada fase persiapan tanam, tanam dan perawatan tanaman hingga siap
panen. Lebih dari pada itu, petani penyadap juga memiliki motivasi yang sangat rendah
untuk melakukan perawatan tanaman berproduksi yang diusahakannya.

Petani

cenderung untuk menghemat biaya dengan tidak melakukan penyiangan (piringan),
pemberantasan hama, serta pemupukan yang dibutuhkan oleh tanaman untuk dapat
tumbuh dengan baik. Hal ini menyebabkan kebun karet rakyat yang dikelola dengan
sistem bagi hasil umumnya terkesan berbentuk hutan karet yang sangat minim
perawatan. Pola pengelolaan usahatani yang dilakukan menyebabkan produktivitas
tanaman karet yang diusahakan menjadi sangat rendah. Kecilnya luas areal sadap,
rendahnya produktivitas per hektar serta lemahnya posisi tawar yang dimiliki oleh buruh

sadap dalam pemasaran bokar yang dihasilkan menyebabkan kelompok petani kedua
tersebut umumnya memiliki pendapatan yang relatif rendah.
Kelompok petani ketiga dalam industri perkebunan karet rakyat adalah petani
pemilik penyadap. Jumlah petani kelompok ketiga ini diperkirakan adalah sekitar 30
persen dari keseluruhan petani karet rakyat yang ada di wilayah Provinsi Jambi.
Kelompok petani pemilik penyadap pada umumnya mampu memiliki pendapatan yang
memadai untuk menunjang kehidupan anggota keluarganya dari usahatani perkebunan

5

karet yang diusahakan.

Rasa memiliki yang ada pada petani pemilik penyadap

menyebabkan kelompok petani ini pada umumnya mengusahakan perkebunan karet
yang dimiliki lebih baik dari kelompok petani penyadap. Disamping itu, pada beberapa
kasus tertentu dimana petani tidak terikat kepada pedagang tertentu menyebabkan
kelompok petani pemilik penyadap bebas memilih waktu dan tempat yang lebih
menguntungkan baginya dalam memasarkan bokar yang dihasilkan.


C. FENOMENA PRODUKSI PETANI KARET RAKYAT
Cukup besarnya jumlah petani penyadap (40 % – 60 %, tergantung pada
daerahnya) sangat mewarnai industri karet rakyat di wilayah Provinsi Jambi. Salah satu
fenomena umum yang mewarnai industri karet rakyat di Provinsi Jambi dewasa ini
adalah mutu bokar yang dihasilkan tergolong rendah bahkan lebih buruk lagi memiliki
trend yang mengarah pada mutu bokar yang semakin rendah. Ilusi memperoleh
pendapatan lebih yang menjadi motivasi berproduksi petani penyadap diduga menjadi
salah satu faktor pemicu rendahnya mutu bokar yang dihasilkan oleh petani karet rakyat.
Perkebunan karet rakyat yang dikelola oleh petani dapat dikategorikan kedalam pola
pengusahaan tradisional. Meskipun usahatani karet adalah merupakan sumber
pendapatan utama petani karet rakyat, petani belum memandang usaha perkebunan
karet ini sebagai suatu unit bisnis (komersil), dalam mengelola perkebunan karet
tersebut. Dalam prakteknya diperoleh gambaran bahwa perkebunan karet yang dikelola
petani masih dipandang sebagai suatu cara hidup (way of life). Belum terlihat adanya
upaya petani untuk memperhitungkan berbagai variabel ekonomi seperti input, output,
biaya, penerimaan kotor dan pendapatan bersih dalam mengelola usahatani karet.
Cara-cara pengelolaan tanaman karet yang terlihat pada perilaku petani dalam
penyadapan dan dalam pengolahan hasil/pasca panen juga menunjukkan bahwa
tanaman karet ini masih dikelola secara tradisional. Jumlah hari sadap tanaman karet
yang dilakukan petani rata-rata berkisar dari 3 sampai 5 hari dalam satu minggu, bahkan
ada petani yang menyadap tanaman karetnya setiap hari selama satu minggu. Hasil
penelitian Zulkifli, Napitupulu, dan Elwamendri (2006) menunjukkan bahwa sekitar 55,78
persen petani pemilik penggarap menyadap tanaman karetnya sebanyak 3 hari dalam
satu minggu serta sebanyak 30,75 persen petani menyadap tanaman karetnya selama
tujuh hari dalam satu minggu.

6

Selain terdapat sejumlah petani yang melakukan sistem sadap berat, dalam
pengolahan lateks atau pasca panenpun petani tidak melakukan sesuai dengan caracara pasca panen yang dianjurkan. Khususnya di wilayah Provinsi Jambi diperkirakan
sekitar 80,12 persen petani masih menggunakan benda asing berupa kotoran kedalam
bongkahan karet kering yang dihasilkan. Berbagai bahan asing yang umum disertakan
petani kedalam bongkahan bokar diantaranya adalah: tatal (kulit batang bekas
sadapan), dedaunan, ranting, dan kayu. Meski belum terdeksi secara nyata, bahkan
pada daerah tertentu telah mulai ditemui sejumlah petani yang sengaja mencampurkan
tanah liat putih untuk dibekukan bersama sama dengan getah karet. Selain
mencampurkan benda asing kedalam bokar yang dihasilkan, mayoritas petani karet
rakyat ditengarai menggunakan bahan koagulum selain cuka getah yang dianjurkan.
Adapun alasan petani untuk memasukkan benda asing kedalam bongkahan
karet diantaranya adalah mencegahnya hilangnya getah segar dari mangkok tampungan
pada saat turun hujan. Pencampuran tatal pada hari pertama sadap berfungsi untuk
mempercepat pembekuan karet pada mangkuk sehingga jika hujan turun maka karet
yang ada pada mangkuk tidak terhanyutkan oleh air hujan.

Selain

secara teknis

bermanfaat untuk mencegah kehilangan karet pada saat musim hujan, petani juga telah
terjebak pada fallacy dog and cat dimana petani berupaya menambah bobot bokar untuk
mengimbangi adanya anggapan pembeli melakukan kecurangan mengurangi berat
bokar pada saat penimbangan dilakukan sebagai upaya menambah bobot bokar. Alasan
lain bagi petani untuk enggan menghasilkan karet kering mutu baik adalah tidak adanya
insentif bagi petani untuk menghasilkan bokar dengan kualitas baik.
Hilangnya penghargaan pedagang terhadap upaya petani untuk menghasilkan
karet kualitas baik pada dasarnya lebih dilatarbelakangi oleh perilaku pedagang untuk
menghidari resiko rugi sebagai akibat upaya petani memperoleh tambahan pendapatan
dengan menambah bobot karet kering yang dihasilkan. Minimnya sarana pengukuran
mutu serta bentuk komoditas yang diperdagangkan menyebabkan sulitnya menentukan
mutu yang sebenarnya dari bokar yang diperdagangkan. Guna menghindari resiko rugi,
pedagang kemudian dengan sengaja menetapkan mutu bokar lebih rendah dari yang
semestinya. Peluang pedagang untuk menentukan mutu yang lebih rendah dari yang
semestinya tersebut terbuka karena bentuk pasar bokar yang hampir tanpa persaingan
ditingkat pembeli.

7

Kondisi sosial ekonomi petani karet yang hampir tidak memiliki posisi tawar
dalam transaksi pemasaran karet merespon perilaku pedagang dengan menghasilkan
bokar kualitas rendah. Siklus tersebut berlangsung hingga kualitas karet yang
diperdagangkan mencapai titik terendah yang layak diperdagangkan. Ironisnya, perilaku
destruktif mutu karet kering tersebut dapat tumbuh dengan subur sebab pasar masih
tetap tersedia bagi komoditas karet kering mutu buruk.

D. PETANI DAN PEREMAJAN KARET RAKYAT
Sebagaimana diuraikan terlebih dahulu, petani karet rakyat identik dengan
kelompok masyarakat yang masih belum mampu melepaskan diri dari batas garis
kemiskinan. Dengan rata rata pendapatan berkisar antara dua hingga tiga juta rupiah
per keluarga per tahun berarti rata rata pendapatan petani karet rakyat masih belum
mampu mencapai batas garis kemiskinan menurut standar bank Dunia yakni satu dollar
Amerika Serikat per kapita pertahun.
Berbagai upaya pada dasarnya telah dilakukan oleh pemerintah baik secara
nasional maupun regional (provinsi dan kabupaten) untuk meningkatkan kesejahteraan
petani karet rakyat.

Upaya peningkatan produksi karet alam Indonesia diantaranya

ditempuh dengan program perluasan areal tanam karet rakyat serta perbaikan kualitas
masukan khususnya benih karet unggul. Kedua program ini misalnya ditempuh melalui
Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Tanaman Ekspor (PRPTE) yang dilakukan di
berbagai sentra produksi karet di Indonesia. Berbagai proyek lain yang dalam konteks
peningkatan kuantitas dan kualitas karet alam Indonesia yang telah dilakukan oleh baik
pemerintah maupun swasta diantaranya adalah Perusahaan Inti Rakyat (PIR), Project
Management

Unit

(PMU),

P2WK,

P2RT,

dan

proyek

pengembangan

yang

pelaksanaannya dikelola oleh daerah seperti JRDP misalnya yang memilih core project
meningkatkan kuantitas dan kualitas karet alam di Provinsi Jambi. Namun tingkat
pendapatan yang sangat rendah serta ketergantungan petani terhadap usahatani karet
sebagai sumber pendapatan utama mendorong petani untuk memperoleh pendapatan
sebesar besarnya dari unit usaha tersebut.

Fallacy cat and dog yang dilakukan

setidaknya untuk menghindari kerugian akibat permainan harga oleh pedagang
perantara menyebabkan kualitas karet yang dihasilkan menjadi semakin buruk.

8

Salah satu upaya Pemerintah Daerah Provinsi Jambi yang terkini dalam lingkup
peningkatan kesejahteraan petani karet rakyat adalah Kebijakan Pengembangan Karet
Rakyat Jambi yang terdiri dari Program Peremajaan Karet Rakyat

yang dilakukan

secara bertahap hingga seluas 130.656 Ha selama periode tahun 2006 - 2010 dan
Program Perluasan Areal Karet rakyat seluas 25.294 Ha pada periode tahun yang sama.
Meskipun belum terpenuhi dengan baik, program peremajaan tersebut direncanakan
telah akan meremajakan karet rakyat seluas 17.500 Ha pada tahun 2006 yang lalu.
Berbagai kendala teknis dan non teknis yang saling berkaitan seperti penentuan CPCL,
ketersediaan bibit, distribusi sarana produksi pertanian serta iklim yang tidak kondusif
ditengarai menjadi faktor penyebab belum terwujudnya luasan areal peremajaan karet
rakyat sesuai dengan yang direncanakan.

Bermodalkan pengalaman dari belum

berhasilnya program pada tahun pertama tersebut, program peremajaan karet rakyat
Provinsi Jambi direncanakan akan mewujudkan luasan target areal yang gagal dicapai
pada tahun 2006 pada tahun 2007.
Selain mencermati faktor pemicu kegagalan program sebagaimana ditengarai
diatas,

kesiapan petani karet rakyat sebagai subyek dalam pelaksanaan program

peremajaan karet rakyat juga perlu mendapatkan perhatian. Sebagaimana telah
diuraikan terlebih dahulu, terdapat tiga kelompok petani karet rakyat di wilayah Provinsi
Jambi.

Pola keterlibatan emosional masing masing kelompok petani karet rakyat

tersebut dalam proses produksi menyebabkan penguasaan teknologi dan faktor
produksi diantara mereka menjadi berbeda.

Beberapa permasalahan yang diduga

dapat menjadi kendala keberhasilan petani sebagai subyek dalam program peremajaan
karet rakyat dengan demikian adalah menyangkut penguasaan faktor produksi lahan,
modal yang meliputi input produksi,

sumberdaya manusia petani yang menyangkut

penguasaan teknologi, serta kelembagaan petani.

D.1. Sumberdaya Lahan
Sesuai dengan tujuan utama dari kebijakan pengembangan karet rakyat Provinsi
Jambi yakni meningkatkan kesejahteraan petani karet rakyat yang masih tergolong
rendah, maka kelompok petani yang menjadi sasaran kebijakan tersebut adalah
kelompok petani pemilik penggarap. Salah satu gambaran umum yang melekat pada
kelompok petani penggarap adalah pemilikan areal perkebunan yang tidak terlalu luas
yakni rata rata 2,40 ha per KK petani pemilik penggarap,

sistem ekonomi yang

mengandalkan pendapatan dari usahatani karet, serta rata rata pendapatan yang relatif

9

rendah.

Tiga gambaran yang pada hakekatnya saling terkait tersebut pada kondisi

tertentu dapat menjadi kendala bagi petani karet rakyat untuk merelakan sebahagian
dari lahan tersebut untuk diremajakan.

D.2. Sumberdaya Modal
Gambaran lain dari petani karet rakyat pemilik penggarap adalah penggunaan
teknologi produksi yang masih tradisional.

Tanaman karet yang diusahakan pada

umumnya masih berasal dari bibit sapuan dengan kemampuan produksi yang masih
rendah. Rata rata tingkat produktivitas usahatani karet rakyat di Provinsi Jambi masih
714 Kg/Ha/tahun (KKK = 100 %). Dengan rata rata harga karet alam KKK = 100 %
senilai US $ 1,84 /Kg, yakni harga ratarata karet kering SIR-20 pada bulan September
2006, maka rata rata petani karet rakyat Jambi hanya mampu memperoleh pendapatan
sebesar Rp. 11.823.840 per Keluarga per petani. Rata rata pendapatan tersebut masih
lebih

rendah dari pendapatan minimal pendapat keluarga untuk lepas dari garis

kemiskinan menurut standar Bank Dunia. Rata rata pendapatan tersebut akan semakin
rendah dengan masih besarnya keinginan pedagang perantara untuk menekan harga
bokar ditingkat petani hingga serendah mungkin.
Poin penting yang ingin ditunjukkan dalam hal ini adalah bahwa petani karet
rakyat Provinsi Jambi masih memiliki keterbatasan kemampuan penumpukan modal
untuk dapat mendukung keberhasilan program peremajaan karet rakyat. Rendahnya
kemampuan sumberdaya modal yang dimiliki oleh petani karet rakyat sayangnya tidak
ditunjang oleh tersedianya dana khusus (paket kredit) dengan suku bunga yang wajar
yang dapat dimanfaatkan petani karet rakyat untuk menunjang keberhasilan peremajaan
tanaman karet yang dimiliki.

D.3. Sumberdaya Manusia
Faktor internal petani karet rakyat lainnya yang dapat menjadi penghambat bagi
mereka untuk dapat berhasil berkontribusi dalam program peremajaan karet rakyat di
Provinsi Jambi adalah penguasaan teknologi produksi yang masih sangat terbatas.
Berbeda dengan kelompok petani tanaman pangan yang telah memiliki pola introduksi
teknologi baru yang baku, pada kelompok petani perkebunan masih sangat jarang
dijumpai lembaga kelompok tani yang dapat dimanfatkan sebagai sarana penyuluhan
pertanian.

Akibatnya adalah petani karet rakyat masih melakukan teknologi budidaya

yang diwarisi dari orangtua mereka.

Pendapat yang mengatakan bahwa bibit karet

10

sapuan lebih tahan terhadap hama dan gulma menyebabkan sejumlah petani masih
enggan menggunakan bibit unggul dan mengusahakan perkebunan karet yang mereka
miliki dengan menggunakan input dan perawatan minimal.

Gambaran umum yang

dapat dilihat hampir pada seluruh areal perkebunan karet rakyat di Provinsi Jambi
adalah areal hutan karet yang bercampur dengan semak belukar serta jarak tanaman
yang tidak beraturan.

E. PENUTUP
Keberhasilan program peremajaan karet rakyat disamping perlu mengantisipasi
faktor teknis pengadaan bibit, distribusi sarana produksi serta ketidak bersahabatan
iklim, juga perlu secara lebih matang mempersiapkan calon petani peserta dan
memposisikan mereka sebagai subyek dalam pelaksanaan program tersebut.

Masih

tergolong rendahnya kemampuan petani karet rakyat dalam melakukan penumpukan
modal (tabungan) kiranya perlu diantisipasi dengan cara pemberian alternatif
pendapatan sebagai pengganti dari sebahagian areal perkebunan karet yang
diremajakan. Bantuan sarana produksi tanaman musiman yang dapat diusahakan
sebagai tanaman sela menjelang tanaman yang diremajakan dapat memberikan hasil
sebagai misal dapat diikutkan dalam paket peremajaan karet rakyat yang dilakukan.
Kesiapan petani untuk mau dan mampu berkontribusi dengan baik dalam program
peremajaan karet rakyat kiranya perlu di pacu dengan memperbaiki akses petani
terhadap modal murah serta input pertanian berkualitas secara lokal. Motivasi petani
untuk lebih bersedia menghasilkan karet alam dengan kualitas yang lebih baik
sebagaimana yang menjadi salah satu pemikiran yang mendasari program peremajaan
karet juga perlu ditunjang dengan upaya perbaikan sistem pemasaran bokar di Provinsi
Jambi.
Kenyataan masih terdapatnya sejumlah petani karet rakyat yang lebih memilih
menggunakan teknologi tradisional dalam mengusahakan perkebunan karet yang
dimiliki secara implisit menunjukkan perlunya upaya perubahan perilaku usahatani
petani karet rakyat di Provinsi Jambi. Perubahan perilaku petani melalui kelembagaan
penyuluhan pertanian/perkebunan yang ditata mengikuti sistem penyuluhan pertanian
tanaman pangan juga perlu dipertimbangkan sebagai paket program dalam program
peremajaan karet rakyat yang dilakukan.

11