IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK Studi Kasu

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Implementasi merupakan salah satu tahap dalam proses kebijakan publik.
Biasanya implementasi dilaksanakan setelah sebuah kebijakan dirumuskan dengan tujuan
yang jelas. Implementasi adalah suatu rangkaian aktifitas dalam rangka menghantarkan
kebijakan kepada masyarakat sehingga kebijakan tersebut dapat membawa hasil
sebagaimana yang diharapkan. Rangkaian kegiatan tersebut mencakup persiapan
seperangkat peraturan lanjutan yang merupakan interpretasi dari kebijakan tersebut.
Misalnya dari sebuah undang-undang muncul sejumlah Peraturan Pemerintah, Keputusan
Presiden, maupun Peraturan Daerah, menyiapkan sumber daya guna menggerakkan
implementasi termasuk di dalamnya sarana dan prasarana, sumber daya keuangan, dan
tentu saja siapa yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan tersebut, dan
bagaimana mengantarkan kebijakan secara langsung ke masyarakat.
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan
dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan kurang. Untuk mengimplementasikan
kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung
mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan
derivate atau turunan dari kebijakan tersebut. Proses implementasi kebijakan publik baru
dapat dimulai apabila tujuan-tujuan kebijakan publik telah ditetapkan, program-program
telah dibuat, dan dana telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan kebijakan tersebut,

Implementasi kebijakan bila dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan alat
administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja
bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang
diinginkan.
Dalam setiap perumusan kebijakan yang menyangkut program maupun
kegiatan-kegiatan, selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau implementasi.
Betapa pun baiknya suatu kebijakan tanpa implementasi maka tidak akan banyak berarti.
Implementasi kebijakan bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme
penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur rutin lewat saluran-saluran
birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa
yang memperoleh apa dari suatu kebijakan (Grindle dalam Wahab, 1990:59).
Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika dikatakan implementasi kebijakan
merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Ini menunjukkan
1

adanya keterkaitan yang erat antara perumusan kebijakan dengan implementasi kebijakan
dalam arti walaupun perumusan dilakukan dengan sempurna namun apabila proses
implementasi tidak bekerja sesuai persyaratan, maka kebijakan yang semula baik akan
menjadi jelek begitu pula sebaliknya. Dalam kaitan ini, seperti dikemukakan oleh Wahab
(1990:51), menyatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting,

bahkan jauh lebih penting daripada pembuatan kebijaksanaan. Kebijaksanaan hanya
sekedar impian atau rencana bagus yang tersimpan dalam arsip kalau tidak mampu
diimplementasikan.
Administrator sebagai penyelenggara pemerintahan mempunyai peranan
sangat menentukan keberhasilan dan kegagalan suatu kebijakan yang dibuatnya.
Kecenderungan terjadinya tarik ulur suatu kebijakan mulai dari perumusan, implementasi
sampai dengan evaluasi kebijakan merupakan proses yang wajar dan ini merupakan suatu
proses yang baik dalam arti semua kepentingan peduli terhadap kebijakan yang akan
dibuat, sebagaimana dengan proses kebijakan kurikulum 2013 yang telah dilaksanakan
oleh

pemerintah,

dimana

Implementasi

kebijakan

kurikulum


2013

yang

diimplementasikan pada pertengahan tahun 2013 lalu yang merupakan tindak lanjut dari
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005,
mempunyai

peranan

penting

dalam

pengembangan

pendidikan

di


Indonesia.

Permasalahan yang timbul dan menjadi isu public tidak mencerminkan akan filosofi yang
terkandung dalam semangat kurikulum 2013 yang secara normatif sangat mendukung
terhadap perubahan paradigma pemikiran kependidikan yang berpangkal pada perubahan
mind set tenaga kependidikan maupun anak didik. Hasil yang diharapkan dengan
kebijakan kurikulum ini, pemerintah, pendidik, anak didik dan stakeholder dapat
bersinergi untuk terciptanya kualitas pendidikan dan karakter di Indonesia.
Namun dalam implementasinya, Kurikulum 2013 ini menimbulkan beberapa
pro dan kontra. Hal ini diakibatkan kebijakan yang pemerintah buat tidak sesuai dengan
harapan dan kondisi nyata yang ada di lapangan. Para guru yang ditunjuk sebagai
pelaksana kurikulum merasa bingung dengan diterapkannya kurikulum 2013 ini.
Kebanyakan dari mereka masih menggunakan kurikulum sebelumnya yakni kurikulum
KTSP dalam pembelajarannya, karena mereka belum begitu paham dengan kurikulum
2013 yang sebenarnya, padahal beberapa dari mereka telah dilatih dalam persiapan dan
pelaksanaan Kurikulum 2013. Salah satu perbedaan antara kurikulum 2013 dengan
kurikulum sebelumnya adalah adanya buku siswa dan buku guru yang telah disediakan
oleh pemerintah pusat sebagai buku wajib sumber belajar di sekolah. Sesuai dengan
2


pendekatan yang digunakan dalam kurikulum 2013, yakni pendekatan scientific.
Pendekatan ini lebih menekankan pada pembelajaran yang mengaktifkan siswa.
Pendekatan ini dilaksanakan dengan melibatkan tiga model pembelajaran diantaranya
adalah problem based learning, project based learning, dan discovery learning. Ketiga
model ini akan menunjang how to do yang dielu-elukan dalam kurikulum 2013. Dalam
pelaksanaannya pendekatan scientific ini menekankan lima aspek penting, yaitu
mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan komunikasi.
Berangkat dari latar belakang tersebut, kami mencoba mengangkat topik
implementasi kebijakan publik dari studi kasus tentang implementasi kurikulum 2013.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah makna dari implementasi kebijakan publik?
2. Apa saja teori-teori yang terdapat dalam implementasi kebijakan publik?
3. Bagaimana perbandingan antar teori implementasi kebijakan publik?
4. Apa studi kasus yang dapat dianalisa dalam implementasi kebijakan publik?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dari implementasi kebijakan publik.
2. Mengetahui teori-teori yang terdapat dalam implementasi kebijakan publik.
3. Mengetahui teori apa yang yang tepat dalam implementasi kebijakan publik.
4. Mengetahui studi kasus yang akan dianalisa berkaitan dengan dalam implementasi

kebijakan publik.

BAB II
PEMBAHASAN

3

2.1 Makna Implementasi Kebijakan Publik
A. Definisi
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan
dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan
kebijakan

publik,

ada

dua

pilihan


langkah

yang

ada,

yaitu

langsung

mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat
atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Rangkaian implementasi kebijakan dapat
diamati dengan jelas yaitu dimulai dari program, ke proyek dan ke kegiatan. Model
tersebut mengadaptasi mekanisme yang lazim dalam manajemen, khususnya manajemen
sektor publik. Kebijakan diturunkan berupa program program yang kemudian diturunkan
menjadi proyek-proyek, dan akhirnya berwujud pada kegiatan-kegiatan, baik yang
dilakukan oleh pemerintah, masyarakat maupun kerjasama pemerintah dengan
masyarakat.
Van


Meter

dan

Van

Horn

(dalam

Budi

Winarno,

2008:146-147)

mendefinisikan implementasi kebijakan publik sebagai tindakan-tindakan dalam
keputusan-keputusan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk
mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun

waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai
perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan yang
dilakukan oleh organisasi publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang
telah ditetapkan.
Adapun makna implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier
(1979) sebagaimana dikutip dalam buku Solihin Abdul Wahab (2008: 65), mengatakan
bahwa: Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu
program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi
kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah
disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan Negara yang mencakup baik usaha-usaha
untuk mengadministrasikan maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada
masyarakat atau kejadian-kejadian. Mengapa implementasi sangat penting adalah:
1. Tanpa implementasi kebijakan tak akan bisa mewujudkan hasilnya.
2.

Implementasi bukanlah proses yang sederhana, tetapi sangat kompleks dan rumit.

3. Benturan kepentingan antar aktor baik administrator, petugas lapangan, maupun
sasaran sering terjadi


4

4. Selama implementasi sering terjadi beragam interprestasi atas tujuan, target maupun
strateginya.
5. Implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel, baik variabel individual maupun
organisasional.
6. Dalam prakteknya sering terjadi kegagalan dalam implementasi.
7. Banyaknya kegagalan dalam implementasi kebijakan telah memunculkan kajian baru
dalam studi kebijakan yaitu studi implementasi kebijakan.
8. Guna menilai keberhasilan atau kinerja sebuah kebijakan maka dilakukan evaluasi
kebijakan.
Mazmanian dan Sabatier (1983); memberikan langkah-langkah melakukan
intervensi dalam implementasi sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi masalah yang harus diintervensi.
2. Menegaskan tujuan yang hendak dicapai.
3. Merancang struktur proses implementasi.
Dengan demikian program harus disusun secara jelas dan harus dioperasionalkan
dalam bentuk proyek. Jadi beberapa hal yang harus diperhatikan dalam implementasi
adalah:
1. Pembentukan unit organisasi atau staf pelaksana upaya untuk memahami dari tujuan

kebijakan pemerintah benar-benar diwujudkan,
2.

penjabaran

tujuan

dalam

berbagai

aturan

pelaksana

(Standard

operating

procedures/SOP)
3.

Koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran pada kelompok sasaran serta
pembagian tugas diantara badan pelaksana

4. pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan
Jadi implementasi yaitu memahami apa yg senyatanya terjadi sesudah suatu
program dinyatakan berlaku, diantaranya adalah Kejadian dan kegiatan timbul sesudah
disahkannya pedoman-pedoman kebijakan yang mencakup usaha mengadministrasikan
maupun

usaha

menimbulkan

dampak

yang

nyata

pada

masyarakat tersebut

mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, menyebut secara tegas tujuan yang hendak
dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan/ mengatur proses implementasinya.
B. Faktor Penentu Keberhasilan Implementasi

5

Faktor merupakan suatu kepastian dalam menilai keberhasilan suatu
implementasi kebijakan publik sehingga kurang hilangnya salah satu faktor
mempengaruhi sekali terhadap kinerja kebijakan tersebut Implementasi Kebijakan
merupakan keberhasilan implementasi kebijakan atau program dapat ditujukan dari tiga
faktor yaitu :
1. Perspektif

kepatuhan (compliance) yang

mengukur

implementasi

dari

kepatuhan strect level bereau crats terhadap atasan mereka.
2. Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan.
3. Implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan semua pihak
terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan”.
Faktor penentu keberhasilan implementasi merupakan sangat penting bagi
intansi pemerintahan daerah ditingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai dengan
kecamatan /desa adalah ada 4 unsur yaitu:
1. Logika kebijakan itu sendiri
2. Kemampuan pelaksana dan ketersediaan sumber daya
3. Manajemen yang baik
4. Lingkungan dimana kebijakan diimplementasikan
Sering terjadi suatu program tidak mampu mewujudkan tujuannya (kegagalan
implementasi), Ketidakmampuan program mewujudkan tujuan disebut oleh Andrew
Dunsire sebagai implementation gap yaitu suatu kondisi dimana dalam proses kebijakan
terjadi perbedaan antara apa yang diharapkan pembuat kebijakan dengan apa yg
senyatanya terjadi. Implementation gap ini sangat dipengaruhi oleh implementation
capacity dari orgs pelaksana (Goggin, 1990).
I.

Prasarat Keberhasilan Implementasi Kebijakan Publik
Ada 8 prasarat yang sangat penting dalam pelaksanaan penerapan kebijakan

publik oleh aparatur pemerintahan provisi dan kabupaten/kota harus berlu perhatikan
secara menyeluruh yaitu:
1. Tiadanya hambatan eksternal
2. Tersedianya resources yg memadai
3. Good policy
4. Hubungan ketergantungan yang minimum
5. Pemahaman & kesepakatan pada tujuan
6. Tugas ditetapkan dengan urutan yg tepat
6

7. Komunikasi dan koordinasi lancar efektif
8. Ada dukungan otoritas
II.

Kegagalan Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih ketidak tetapan atau ketidak

tegasan intern maupun ekstern atau kebijakan itu sendiri, menunjukan adanya
kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu yaitu ,tak bisa diimplementasikan,
unsucsessfull implementation, penyebab kegagalan sebuah kebijakan yaitu:
1. Bad policy : perumusannya asal-asalan, kondisi internal belum siap, kondisi eksternal
tak memungkinkan dan sebagainya.
2. Bad implementation : pelaksana tak memahami juklak, terjadi implementation gap
dan sebagainya)
3. Bad luck
Oleh sebab itu ada tiga faktor yang dapat menimbulkan kegagalan dalam
implementasi kebijakan yaitu:
1.

Isu kebijakan. Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih ketidaktetapan atau
ketidak tegasan intern maupun ekstern atau kebijakan itu sendiri, menunjukan adanya
kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu.

2.

Informasi. Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran
yang kurang tepat baik kepada objek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi
kebijakan yang akan dilaksanakannya dan hasil-hasil dari kebijakan itu.

3.

Dukungan. Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pada pelaksanaanya
tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut.
Faktor yang dapat menimbulkan kegagalan dalam proses implementasi

kebijakan sebelumnya harus sudah dipikirkan dalam merumuskan kebijakan, sebab tidak
tertutup kemungkinan kegagalan didalam penerapan kebijakan sebagaian besar terletak
pada awal perumusan kebijakan oleh pemerintah sendiri yang tidak dapat bekerja
maksimal dan bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
III.

Faktor Lain Penyebab Publik Tak Mau Melaksanakan Kebijakan (Anderson, 1979)
Ada beberapa faktor mengapa publik atau masyarakat tidak mau

melaksanankana atau menentang kebijakan tersebut diantaranya adalah:
1. Kebijakan bertentangan dengan sistem nilai masyarakat
2. Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum
7

3. Keanggotaan seseorang dalam suatu organisasi/ kelompok
4. Tidak adanya kepastian hukum (terjadi pertentangan antara kebijakan satu dengan
lainnya)
2.2 Teori-Teori Implementasi Kebijakan Publik
Menurut Parson secara garis besar model implementasi kebijakan dapat dibagi menjadi
empat yaitu:
a. Model Analisis Kegagalan.
Model ini dapat dipahami dari definisi implementasi yang dikemukakan sebagai
berikut: implementasi sebagai proses interaksi penyusunan tujuan dengan tindakan
(Pressman dan Wildavsky, 1973); implementasi sebagai politik adaptasi saling
menguntungkan (McLaughlin, 1975); dan implementasi sebagai bentuk permainan
(Bardach,1977), (Putra,2003).
b. Model Rasional (Top-Down).
Model ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor mana yang
membuat implementasi sukses. Pemahaman terhadap model ini dikemukakan oleh
beberapa ahli kebijakan sebagaimana dikemukakan diantaranya oleh Van Meter dan
Van

Horn

(1975)

yang

memakai

pandangan

bahwa

implementasi

perlu

mempertimbangkan isi atau tipe kebijakan; Hood (1976) memandang implementasi
sebagai administrasi yang sempurna; Gun (1978) memandang beberapa syarat untuk
mengimplementasikan kebijakan secara sempurna; Grindle (1980) lebih memandang
implementasi sebagai proses politik dan Administrasi. Sedangkan, Sebatier dan
Mazmanian (1979) melihat implementasi dari kerangka analisisnya. Posisi model topdown yang diambil oleh Sabatier dan Mazmanian terpusat pada hubungan antara
keputusan-keputusan dengan pencapaiannya, formulasi dengan implementasinya, dan
potensi hirarki dengan batas-batasnya, serta kesungguhan implementers untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan tersebut. Model implementasi
yang dikemukakan oleh Sebatier dan Mazmanian pada dasarnya tidak jauh berbeda
dengan model pendekatan top-down sebagaimana dikemukakan oleh Van Meter dan
Van Horn (1975); Hood (1976); Gun (1978); dan Grindle (1980) dalam hal perhatian
terhadap kebijakan dan lingkungan kebijakan. Hanya saja pemikiran Sebatier dan
Mazmanian menganggap bahwa suatu implementasi akan efektif apabila birokrasi
pelaksananya mematuhi apa yang telah digariskan oleh peraturan (petunjuk
pelaksanaan maupun petunjuk teknis). Dengan demikian, dapat dipahami jika model
8

implementasi sebagaimana dikemukakan oleh Sebatier dan Mazmanian lebih
difokuskan pada kesesuaian antara apa yang ditetapkan/ digariskan/diatur dengan
pelaksanaan program tersebut.
c. Model Botton-Up.
Model ini merupakan kritikan terhadap model pendekatan top-down terkait
dengan pentingnya faktor-faktor lain dan interaksi organisasi. Misalnya implementasi
harus memperhatikan interaksi antara pemerintah dengan warga negara (Lipsky,1971).
Implementasi dalam konteks model ini dapat dipahami dari beberapa definisi
diantaranya: implementasi sebagai proses yang disusun melalui konflik dan tawar
menawar (Wetherley dan Lipsky, 1977); implementasi harus memakai multiple
frameworks (Elmor, 1978,1979); implementasi harus dianalisis dalam institusional
structures (Hjern et al,1978); implementasi kebijakan merupakan proses alur
(Smith,1973) (Putra,2003). Menurut Putra (2003:90) model proses atau alur yang
dikemukakan oleh Smith ini melihat proses kebijakan dari perspektif perubahan sosial
dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk
mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran.
Dengan

demikian,

dapat

dipahami

jika

model

implementasi

sebagaimana

dikemukakan oleh Smith lebih memberikan fokus pada perubahan secara sosial dan
politik yang dirasakan oleh kelompok sasaran tersebut.
d. Model Teori-Teori Hasil Sintesis (Hybrid Theories)
Model ini dapat dipahami dari definisi implementasi yang dikemukakan sebagai
berikut: implementasi sebagai evolusi (Majone dan Wildavsky,1984); implementasi
sebagai pembelajaran (Browne dan Wildavsky,1984); implementasi sebagai policy
action continuum(Lewis dan Flynn,1978,1979: Barret dan Fudge,1981); implementasi
sebagai sirkuler leadership (Nakamura dan Smallwood,1980); implementasi sebagai
hubungan inter-organisasi (Hjern dan Porter,1981); implementasi dan tipe-tipe
kebijakan

(Ripley

dan

Franklin,

1982);

implementasi

sebagai

hubungan

antarorganisasi (Toole dan Montjoy,1984); implementasi sebagai teori kontingensi
(Alexander,1985);

implementasi

sebagai

analisis

kasus

(Pressman

dan

Wildavsky,1973; Bullock dan M. Lamb,1986); implementasi sebagai bagan subsistem
kebijakan (Sabatier,1986); dan implementasi sebagai manajemen sektor publik
(Hughes,1994).
9

Dari berbagai pendapat mengenai implementasi diatas, pada akhirnya dapat
ditarik kesimpulan bahwa implementasi merupakan proses melaksanakan keputusan
yang dihasilkan dari pernyataan kebijakan (policy statement) kedalam aksi kebijakan
(policy action). Implementasi dimaksudkan untuk memahami apa yang senyatanya
terjadi setelah suatu kebijakan dirumuskan dan berlaku merujuk pada kegiatan-kegiatan
yang dijalankan oleh berbagai aktoryang mengikuti arahan tertentu untuk mencapai
tujuan dan hasil yang diharapkan.
 Model-Model Top Down
1. Donalds Van meter & Carl E. Van Horn
Menurut Meter dan Horn (dalam Subarsono, 2011: 99) ada lima variabel yang
mempengaruhi kinerja implementasi, yakni standar dan sasaran kebijakan, sumberdaya,
komunikasi antarorganisasi dan penguatan aktivitas, karakteristik agen pelaksana dan
kondisi sosial, ekonomi dan politik. Model pendekatan top-down yang dirumuskan oleh
Donald Van Metter dan Van Horn sebagaimana dalam Agustino (2008:141) disebut
dengan A model of the Policy Implementation. Dalam teori ini ada enam variabel yang
mempengaruhi kinerja suatu kebijakan, yaitu :
a. Ukuran dan Tujuan Kebijakan
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika-dan-hanyajika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realisits dengan sosi-kultur yang
mengada pada level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan
kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopis) untuk dilaksanakan di level warga,
maka agak sulit memang merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat
dikatakan berhasil.
b. Sumber Daya
Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat terbantung dari kemampuan
memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Manusia merupakan sumberdaya yang
terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tetapi di luar
sumberdaya manusia, sumberdaya-sumberdaya lain yang perlu diperhitungkan juga
adalah sumber daya financial dan sumberdaya waktu. Ketiga sumber daya ini akan
saling mendukung dalam implementasi sebuah kebijakan.
c. Karakteristik Agen Pelaksana
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan informal yang
akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting kerena
kinerja implementasi akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta
10

cocok dengan para agen pelaksananya. Selain itu, cakupan atau luas wilayah
implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen
pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin
besar pula agen yang dilibatkan.
d. Sikap/Kecenderungan para Pelaksana
Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat banyak
mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan public. Hal
ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil
formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang
mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang akan diimplementasikan adalah kebijakan
“dari atas” yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak pernah
mengetahui (bahkan tidak menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang
warga ingin selesaikan.
e. Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana
Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan.
Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu
proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk
terjadi.
f. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik
Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja implementasi
kebijakan dalam perspektif yang ditawarkan adalah sejauh mana lingkungan eksternal
turut mendorong keberhasilan kebijakan yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial,
ekonomi, dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan
kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya untuk mengimplementasikan
kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal.
2. Model George C. Edward III
Beberapa ilmuan penganut aliran Top Down salah satunya adalah George C.
Edward III. Model Implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh George C. Edward
III yang menamakan model implementasi kebijakan publiknya dengan Direct and
Indirect Impact On Implementation dalam Leo Agustino (2008:149) dimana terdapat
empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan
yaitu:
11

a. Komunikasi
Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan
menurut George C. Eward III, adalah komunikasi. Komunikasi menurutnya lebih
lanjut sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi
kebijakan publik. Implementasi yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan
sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang akan
mereka kerjakan dapat berjalan bila komunikasi berjalan dengan baik, sehingga setiap
keputusan kebijakan dan peraturan implementasi harus ditransmisikan (atau
dikomunikasikan) kepada bagian personalia yang tepat. Selain itu, kebijakan yang
dikomunikasikan pun harus tepat, akurat, dan konsisten. Komunikasi (atau
pentransmisian informasi) diperlukan agar para pembuat keputusan di dan para
implementor akan semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan
diterapkan dalam masyarakat. Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai (atau
digunakan) dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi tersebut di atas, yaitu:
1.

Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu
implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran
komunikasi adalah adanya salah pengertian (miskomunikasi), hal tersebut
disebagiankan karena komunikasi telah melalui beberapa tingkatan birokrasi,
sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan.

2.

Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-levelbureuacrats) haruslah jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu/mendua).
Ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi, pada
tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan
kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal tersebut justru akan menyelewengkan
tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan.

3.

Konsistensi; perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi
haruslah konsisten dan jelas (untuk diterapkan atau dijalankan). Karena jika
perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan
kebingungan bagi pelaksana di lapangan.

b. Sumber Daya
Variabel atau faktor kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu
kebijakan adalah sumber daya. Sumber daya merupakan hal penting lainnya, menurut

12

George C. Edward III dalam Leo Agustino (2008 : 151) dalam mengimplementasikan
kebijakan. Indikator sumber-sumberdaya terdiri dari beberapa elemen, yaitu:
1.

Staf; sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf. Kegagalan
yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebagiankan
oleh karena staf yang tidak mencukupi, memadai, ataupun tidak kompeten
dibidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak mencukupi,
tetapi diperlukan pula kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang
diperlukan dalam mengimplementasikan kebijakan atau melaksanakan tugas yang
diinginkan oleh kebijakan itu sendiri.

2.

Informasi; dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk,
yaitu pertama informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan.
Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan disaat mereka
diberi perintah untuk melakukan tindakan. Kedua informasi mengenai data
kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang
telah ditetapkan. Implementor harus mengetahui apakah orang lain yang terlibat
di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut patuh terhadap hukum.

3.

Wewenang; pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat
dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para
pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika
wewenang itu nihil, maka kekuatan para implementor dimata publik tidak
terlegitimasi, sehingga dapat menggagalkan proses implementasi kebijakan.
Tetapi, dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersebut ada, maka
sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak,
efektivitas kewenangan diperlukan dalam pelaksanaan implementasi kebijakan
tetapi di sisi lain, efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan
oleh para pelaksana demi kepentingannya sendiri atau demi kepentingan
kelompoknya.

4.

Fasilitas; fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi
kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa
yang harus dilakukannya, dan memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya,
tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka
implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.

c. Disposisi

13

Disposisi atau sikap dari pelaksana kebijakan adalah faktor penting ketiga dalam
pendekatan mengenai pelaksanaan suatu kebijakan publik. Jika pelaksanaan suatu
kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui
apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk
melaksanakannya, sehingga dalam praktiknya tidak terjadi bias. Hal-hal penting yang
perlu dicermati pada variabel disposisi, menurut George C. Edward III dalam Leo
Agustino (2006 : 152), adalah:
1.

Pengangkatan birokrat; disposisi atau sikap para pelaksana akan menimbulkan
hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila personil
yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabatpejabat tinggi. Karena itu, pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana
kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang
telah ditetapkan; lebih khusus lagi pada kepentingan warga.

2.

Insentif; Edward menyatakan bahwa salah satu teknik yang disarankan untuk
mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi
insentif. Oleh karena itu, pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan
mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan
mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah
keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendukung yang
membuat para pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini
dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi (self interest) atau
organisasi.

d. Struktur Birokrasi
Variabel keempat, menurut Edward III, yang mempengaruhi tingkat keberhasilan
implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Walaupun sumber-sumber
untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia, atau para pelaksana kebijakan
mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, dan mempunyai keinginan untuk
melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana
atau terealisasi karena terdapatnya kelemahan dalam struktur birokrasi. Kebijakan
yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur
birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan
menyebagiankan sumberdaya-sumberdaya menjadi tidak efektif dan menghambat
jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat
mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan
14

koordinasi dengan baik. Dua karakteristik menurut Edward III yang dapat
mendongkrak kinerja struktur birokrasi/organisasi ke arah yang lebih baik, adalah:
melakukan Standar Operating Prosedures (SOP) dan melaksanakan Fragmentasi. SOP
adalah suatu kegiatan rutin yang memungkinkan para pegawai (atau pelaksana
kebijakan/administratur/birokrat) untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya pada tiap
harinya sesuai dengan standar yang ditetapkan (atau standar minimum yang
dibutuhkan warga). Sedangkan pelaksanaan fragmentasi adalah upaya peyebaran
tanggungjawab kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktiuvitas pegawai diantara beberapa
unit kerja.
3. Model Merilee S. Grindle
Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle (dalam Subarsono,
2011: 93) dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan
lingkungan implementasi (context of implementation). Variabel tersebut mencakup:
sejauhmana kepentingan kelompok sasaran atau target group termuat dalam isi
kebijakan, jenis manfaat yang diterima oleh target group, sejauhmana perubahan yang
diinginkan dari sebuah kebijakan, apakah letak sebuah program sudah tepat, apakah
sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci, dan apakah sebuah
program didukung oleh sumberdaya yang memadai.
Sedangkan
mengemukakan

Wibawa

model

(dalam

Grindle

Samodra

ditentukan

oleh

Wibawa
isi

dkk,

kebijakan

1994:

22-23)

dan

konteks

implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan,
barulah implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat
implementability dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan tersebut mencakup hal-hal
berikut:
a.

Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan.

b.

Jenis manfaat yang akan dihasilkan.

c.

Derajat perubahan yang diinginkan.

d.

Kedudukan pembuat kebijakan.

e.

(Siapa) pelaksana program.

f.

Sumber daya yang dihasilkan .

Sementara itu, konteks implementasinya adalah:
a.

Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat.

b.

Karakteristik lembaga dan penguasa.
15

c.

Kepatuhan dan daya tanggap.
Keunikan dari model Grindle terletak pada pemahamannya yang komprehensif

akan konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, penerima
implementasi, dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor implementasi,
serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan.
4. Model Daniel Mazmanian dan Paul Sebastier
Model implementasi kebijakan yang lain ditawarakan oleh Daniel Mazmanian
dan Paul Sebastier dalam Wahab ( 2010 ). Model implementasi ini mereka
sebut dengan A Framework for Policy Implementation Analiysis. Kedua ahli ini
berpendapat bahwa peran penting dari analisis implementasi kebijaksanaan Negara
ialah mengidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuantujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Adapun secara garis besar
variabel-variabel yang dimaksud di kategorikan dalam tiga kategori besar, yaitu :
a. Karakteristik Masalah, yang meliputi :
o

Ketersediaan teknologi & teori teknis

o

Keragaman perilaku sasaran

o

Sifat Populasi

o

Derajat perubahan perilaku yang diharap

b. Struktur Manajemen Program (aturan yang mengiperasionalkan kebijakan), meliputi:
o Kejelasan dan konsistensi tujuan
o Teori kausal yang memadai
o Sumber dana yang mencukupi
o Integrasi organisasi pelaksana
o Diskresi Pelaksana
o Rekruitmen pejabat pelaksana
o Akses formal pelaksana ke organisasi lain
c. Faktor Diluar Peraturan, Meliputi :
o Kondisi sosial, ekonomi dan teknologi
o Perhatian pers terhadap masalah kebijakan
o Dukungan publik
o Sikap dan sumber daya kelompok sasaran
o Dukungan kewenangan
o komitmen dan kemampuan pejabat pelaksana

16

Menurut model top down, jika semua variabel dapat bekerja dengan
baik maka proses implementasi berjalan seperti yang diharapkan. Variabel tersebut
dapat bersumber dari :
a. Program Itu Sendiri
b. Pelaksana
c. Sasaran Kebijakan
d. Lingkungan Kebijakan


Model-Model Bottom Up

1. Model Adam Smith
Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model implementasi kebijakan dalam
persfektif bottom up adalah Adam Smith. Menurut Smith, implementasi kebijakan
dipandang sebagai suatu proses atau alur. Model Smith ini memandang proses
implementasi kebijakan dari proses kebijakan dari persfekti perubahan social dan politik,
dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan
atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran. Menurut Smith dalam
Islamy (2001), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variable, yaitu :
a. Idealized policy : yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan dengan
tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk
melaksanakannya.
b. Target groups : yaitu bagian dari policy stake holders yang diharapkan dapat
mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus
kebijakan. Karena kelompok ini menjadi sasaran dari implementasi kebijakan, maka
diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakukan dengan kebijakan yang telah
dirumuskan.
c. Implementing organization : yaitu badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab
dalam implementasi kebijakan.
d. Environmental factors : unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi
implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik.
2. Model Elmore, dan kawan-kawan
Model kelima adalah model yang disusun Richard Elmore (1979), Michael Lipsky
(1971), dan Benny Hjern dan David O’Porter (1981). Model ini dimulai dari
mengidentifikasikan jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan dan
17

menanyakan kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-kontak yang
mereka miliki. Model implementasi ini didasarkan pada jenis kebijakan publik yang
mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya atau
tetap melibatkan pejabat pemerintah namun hanya di tataran rendah. Oleh karena itu,
kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan harapan, keinginan, publik yang menjadi
target atau kliennya, dan sesuai pula dengan pejabat eselon rendah yang menjadi
pelaksananya. Kebijakan model ini biasanya diprakarsai oleh masyarakat, baik secara
langsung maupun melalui lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM).
2.3 Perbandingan Teori Implementasi Kebijakan Publik
Secara umum, diantara model tidak ada yang terbaik. Menurut Riant Nugroho
(dalam Alfatih, 2010:52) tidak ada suatu model kebijakan pun yang cocok untuk semua
implementasi kebijakan sebab setiap kebijakan memerlukan model yang sesuai dengan
sifat kebijakan itu sendiri. Dengan demikian, model implementasi kebijakan yang mana
pun bisa saja dipakai sejauh sesuai dengan kondisi yang ada.
Selain itu, penggunaan Model top down akan menguntungkan pada sebuah
situasi dimana para pembuat kebijakan mampu mengatur dan mengontrol situasi, dan
dana yang terbatas. Sedangkan Model Bottom up, menguntungkan pada situasi dimana
implementator mempunyai kebebasan untuk melakukan inovasi tanpa ada dependensi
kekuasaan dengan melihay dinamika daerah atau lingkungan kebijakan yang berbeda.
Menurut Eric Lane (1995) model topdown menekankan tanggung jawab, sementara
bottom up menekankan pada kepercayaan
Teori dalam Ripley dan Franklin juga mengakomodasi beberapa point yang
terdapat pada teori Van Meter dan Van Horn serta Brian W. Hogwood and Lewis A.Gunn.
Dalam teori pada buku mereka, Ripley dan Franklin menetapkan sasaran dan target
kebijakan yang harus dipatuhi. Begitupun teori Van Meter dan Van Horn. Kinerja juga
mendapat perhatian, baik dalam Ripley and Franklin maupun Van Meter dan Van Horn
serta Goerge C. Edward III. Begitupun dengan faktor sumber daya, kondisi ekonomi
sosial, dan politik serta sikap para implementor juga sama-sama dianggap penting dalam
teori mereka selanjutnya, teori dalam Ripley and Franklin juga mempunyai keterkaitan
dengan teori Hogwood dan Gunn. Variabel sumber daya, tugas yang rinci dan
komunikasi pada teori Hogwood dan Gunn merujuk pada faktor kelancaran rutinitas
fungsi tidak akan berjalan dengan baik, sedangkan point komunikasi yang baik serta
prosedur yang efektif dari teori Hogwood dan Gunn secara implisit, dapat mengacuh
18

pada dimensi kepatuhan yang terdapat pada teori Ripley and Franklin. Dengan demikian,
antara ketiga teori tersebut ada keterkaitan unsur, walaupun cara pengungkapannya
berbeda.
2.4 Studi Kasus Tentang Implementasi Kebijakan Kurikulum 2013
1. Landasan dan Prinsip-Prinsip Kurikulum 2013
Dalam setiap pengemangan kurikulum pasti ada landasan-landasan yang digunakan.
Berikut ini landasan-landasan yang digunakan dalam pengembangan kurikulum
2013.
1. Landasan Filosofis
Filosofis pancasila yang memberikan berbagai prinsip dasar dalam pembangunan
pendidikan. Filosofis pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai luhur, nilai
akademik, kebutuhan peserta didik, dan masyarakat.
2. Landasan Yuridis
Secara yuridis, kurikulum adalah suatu kebijakan publik yang didasarkan kepada
dasar filosofis bangsa dan keputusan yuridis di bidang pendidikan.
Landasan yuridis kurikulum adalah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005, dan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan dan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006 tentang Standart isi.
a. RPJMM 2010-2014 Sektor Pendidikan, tentang perubahan Metodologi
Pembelajaran dan Penataan Kurikulum.
b. PP. No.19 tahun 2005 tentang Standart Nasional pendidikan.
c. INPRES No. 1 tahun 2010, tentang percepatan pelaksanaan Prioritas
pembangunan Nasional, penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran
aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya asing dan
karakter bangsa.
d. Beberapa landasan yuridis dari Undang-Undang sebagai berikut:
1. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. UU nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
3. UU no. 17 tahun 2005 tentang rencana pembangunan jangka panjang
nasional, beserta segala ketentuan yang dituangkan rencana pembangunan
jangka menengah nasional, dan
19

4. Peraturan pemerintah no. 19 tahun 2005 tentang standart nasional
pendidikan sebagaimana telah diubah dengan PP no. 19 tahun 2005 tentang
standart nasional pendidikan.
3. Landasan Konseptual
a.

Relevansi pendidikan

b.

Kurikulum berbasis kompetensi dan karakter

c.

Pembelajaran kontekstual

d.

Pembelajaran aktif

e.

Penilaian yang valid, utuh dan menyeluruh.

2. Implementasi Kurikulum 2013
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang implementasi kurikulum
diantaranya sebagai berikut:
Pasal 1
Implementasi kurikulum 2013 pada sekolah dasar/ madrasah ibtidaiyah (SD/MI),
sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (SMP/MTs), sekolah menengah
atas/madrasah aliyah (SMA/MA), dan sekolah menengah kejuruan/madrasah aliyah
kejuruan (SMK/MAK) dilakukan secara bertahap mulai tahun pelajaran 2013/2014.
Pasal 2 (1) Implementasi kurikulum pada SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan
SMK/MAK menggunakan pedoman implementasi kurikulum yang mencangkup:
a. Pedoman penyusunan dan pengelolaan KTSP.
b. Pedoman pengembangan muatan lokal.
c. Pedoman kegiatan ekstrakurikuler
d. Pedoman umum pembelajaran, dan
e. Pedoman evaluasi kurikulum
Implementasi kurikulum adalah usaha bersama antara Pemerintah
dengan pemerintah daerah propinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota.
1. Pemerintah bertanggung jawab dalam mempersiapkan guru dan kepala sekolah
untuk melaksanakan kurikulum.
2. Pemerintah bertanggungjawab dalam melakukan evaluasi pelaksanaan kurikulum
secara nasional.
3. Pemerintah propinsi bertanggungjawab dalam melakukan supervisi dan evaluasi
terhadap pelaksanaan kurikulum di propinsi terkait.

20

4. Pemerintah kabupaten/kota bertanggungjawab dalam memberikan bantuan
profesional kepada guru dan kepala sekolah dalam melaksanakan kurikulum di
kabupaten/kota terkait.
5. Strategi Implementasi Kurikulum terdiri atas:
a. Pelaksanaan kurikulum di seluruh sekolah dan jenjang pendidikan yaitu:
Juli 2013: Kelas I, IV, VII, dan X
Juli 2014: Kelas I, II, IV, V, VII, VIII, X, dan XI
Juli 2015: kelas I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, XI, dan XII
b. Pelatihan Pendidik dan Tenaga Kependidikan, dari tahun 2013 – 2015
c. Pengembangan buku siswa dan buku pegangan guru dari tahun 2012– 2014
d. Pengembangan

manajemen,

kepemimpinan,

sistem

administrasi,

dan

pengembangan budaya sekolah (budaya kerja guru) terutama untuk SMA dan
SMK, dimulai dari bulan Januari – Desember 2013
e. Pendampingan dalam bentuk Monitoring dan Evaluasi untuk menemukan

kesulitan dan masalah implementasi dan upaya penanggulangan: Juli 2013 –
2016.
Dalam kurikulum 2013, guru dituntut untuk secara profesional merancang
pembelajaran afektif dan bermakna, mengorganisasikan pembelajaran, memilih
pendekatan pembelajaran yang tepat, menentukan prosedur pembelajaran dan
pembentukan kompetensi secara efektif, serta menetapkan kriteria keberhasilan.
Berkaitan dengan hal tersebut akan dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Merancang pembelajaran secar efektif dan bermakna.
2. Implementasi

kurikulum

2013

merupakan

aktualisasi

kurikulum,

dalam

pembelajaran dan pembentukan kompetensi serta karakter peserta didik. Hal tersebut
menuntut keaktifan guru dalam menciptakan dan menumbuhkan berbagai kegiatan
sesuai dengan rencana yang telah diprogramkan.
3. Guru harus menyadari bahwa pembelajaran memiliki sifat yang sangat kompleks
karena melibatkan aspek pedagigis, psikologi, dan didaktis secara bersamaan.
4. Mengorganisasikan pembelajaran.
Implementasi

kurikulum

2013

menuntut

guru

untuk

mengorganisasikan

pembelajaran secara efektif. Sedikitnya terdapat lima hal yang perlu diperhatikan
berkaitan dengan pengorgsnisasian pembelajaran dalam implementasi kurikulum
2013, yaitu pelaksanaan pembelajaran, pengadaan dan pembinaan tenaga ahli,
21

pendayagunaan tenaga ahli dan sumber daya masyarakat, serta pengembangan dan
penataan kebijakan.
5. Memilih dan menentukan pendekatan pembelajaran.
Implementasi kurikulum 2013 berbasis kompetensi dalam pembelajaran dapat
dilakukan

dengan

berbagai

pendekatan.

Pendekatan

tersebut

antara

lain

pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learing), bermain peran,
pembelajaran partisipatif (participative teaching and learning), belajar tuntas
(mastery learning), dan pembelajaran konstruktivisme (constructivism teaching and
learning).
6. Melaksanakan pembelajaran, pembentukan kompetensi, dan karakter. Pembelajaran
dalam menyukseskan implementasi kurikulum 2013 merupakan keseluruhan proses
belajar, pembentukan kompetensi dan karakter peserta didik yang direncanakan.
Untuk kepentingan tersebut maka kompetensi inti, kompetensi dasar, materi standart,
indikator hasil belajar, dan waktu yang harus ditetapkan sesuai dengan kepentingan
pembelajaran sehinga peserta didik diharapkan memperoleh kesempatan dan
pengalaman belajar yang optmal.dalam hal ini, pembelajaran pada hakikatnya adalah
proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi
perubahan perilaku kearah yang lebih baik. Pada umumnya kegiatan pembelajaran
mencangkup kegiatan awal atau pembukaan, kegiatan inti atau pembentukan
kompetensi dan karakter, serta kegiatan akhir atau penutup.
Selanjutnya adalah perbedaan esensial kurikulum SD dan SMP antara KTSP
2006 dan Kurikulum 2013.
KTSP 2006
Mata pelajaran tertentu mendukung
kompetensi tertentu
Mata pelajaran dirancang berdiri
sendiri dan memilki kompetensi dasar
sendirian
Bahasa Indonesia sebagai pengetahuan
Tiap mata pelajaran diajarkan dengan
pendekatan yang berbeda

TIK adalah mata pelajaran sendiri

22

Kurikulum 2013
pelajaran mendukung

Tiap mata
semua
kompetensi
Mata pelajaran dirancang terkait satu dengan
yang lain
Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi
Semua mata pelajaran diajarkan dengan
pendekatan yang sama, yaitu pendekatan
saintifik
melalui
mengamati,
menanya,
mencoba , menalar
TIK
merupakan
sarana
pembelajaran,
dipergunakan sebagai media pembelajaran mata
pelajaran lain.

Adapun perbedaan esensial kurikulum SMA/SMK dapat dilihat dalam tabel berikut:
KTSP 2006
Kurikulum 2013
Mata pelajaran tertentu mendukung Tiap mata pelajaran mendukung semua
kompetensi tertentu
kompetensi
Mata pelajaran dirancang berdiri
Mata pelajaran dirancang terkait satu dengan
sendiri dan memilki kompetensi dasar yang lain
sendirian
Bahasa Indonesia sebagai pengetahuan
Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi
Tiap mata pelajaran diajarkan dengan Semua mata pelajaran diajarkan dengan
pendekatan yang berbeda
pendekatan yang sama, yaitu pendekatan
saintifik melalui mengamati, menanya,
mencoba , menalar
SMA ada penjurusan sejak kelas XI
Tidak ada penjurusan di SMA. Ada mata
pelajaran wajib, peminatan, antar minat, dan
pendalaman minat.
SMA dan SMK tanpa kesamaan SMA dan SMK memiliki mata pelajaran wajib
kompetensi
yang sama terkait dasar-dasar pengetahuan
ketrampilan, dan sikap.
Penjurusan di SMK sangat detail (sampai Penjurusan di SMK tidak terlalu detail, di
keahlian)
dalamnya terdapat pengelompokan peminatan
dan pendalaman
Dalam pelaksanaannya, dengan diterapkannya kurikulum 2013 ini banyak
ditemui beberapa keluhan guru. Beberapa keluhan guru dapat diketahui melalui sumber
informasi yang dihimpun dalam penjelasan sebagai berikut
1. Kesulitan Guru dalam memahami Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar
(KD).
2. Guru Merasa Kurang Dilatih untuk Melaksanakan Kurikulum 2013 dalam
Kegiatan Pembelajarannya
Para guru Sekolah merasa kebingungan karena semula hanya tiga mata
pelajaran saja yang menggunakan kurikulum 2013 yaitu matematika, bahasa Indonesia,
dan sejarah namun tiba-tiba kurikulum 2013 diterapkan untuk semua mata pelajaran
padahal guru-guru lain selain matematika, bahasa Indonesia, dan Sejarah belum dilatih
bagaimana menerapkan kurikulum 2013 pada mata pelajaran yang diampunya.
Pada kenyataannya, karena adanya perbedaan kemampuan dan pengetahuan
guru, belum semua guru mampu mengembangkan kegiatan pembelajaran yang dapat
memfasilitasi siswa untuk mengamati fenomena yang terjadi yang berhubungan dengan
materi pelajarannya. Hal inilah salah satunya yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan

23

kurikulum 2013. Oleh karena itu, sangat perlu bagi masing-masing sekolah mengadakan
kegiatan :
1. Lesson study ataupun workshop yang membahas cara mengajarkan kegiatan
pembelajaran yang dimaksudkan dalam kurikulum 2013.
Menurut Sudrajat (2008) lesson study merupakan satu upaya meningkatkan proses
dan hasil pembelajaran yang dilaksanakan secara kolaboratif dan berkelanjutan
oleh sekelompok guru. dengan berkolaborasi guru mampu mengembangkan
bagaimana siswa belajar dan bagaimana membelajarkan siswa. Selain itu
melalui lesson study guru dapat memperoleh pengetahuan dari guru lainnya atau
narasumber. Hal ini diperoleh melalui adanya umpan balik dari anggota lesson
study. Sehingga kemampuan guru semakin hari semakin bertambah baik dengan
melakukan contoh kemudian dikritisi ataupun dari memperhatikan contoh
kemudian mengkritisi.
2. Pertemuan antar sekolah yang sudah menerapkan kurikulum 2013
Pertemuan ini mengumpulkan semua perwakilan sekolah yang ditunjuk
melaksanakan kurikulum 2013 untuk mengevaluasi tahap awal peneraan pola
pembelajaran baru dalam sebulan terakhir. Pertemuan ini penting sebab sebagian
sekolah merasa mampu menerapkan kurikulum baru dengan baik, namun yang
lain kesulitan. Sehingga dengan adanya forum ini akan terjalin tukar menukar
pengalaman tentang pelaksanaan kurikulum 2013