BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Hubungan Faktor-Faktor Kecerdasan Emosi dengan Komunikasi Interpersonal Perawat dengan Pasien Rawat Inap di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Manusia sebagai suatu individu dengan setiap aktivitas yang dilaluinya, adalah individu yang sangat memerlukan dukungan kesehatan yang baik. Setiap kesibukan aktivitas yang dilalui oleh seorang individu, dapat membentuk suatu pola hidup yang tidak baik, hal ini akan menjadi faktor pendorong suatu individu mengalami masalah kesehatan.

  Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kesadaran pola hidup sehat yang sangat rendah. Keadaan ini berakibat kepada tingginya rasio orang sakit yang ada di masyarakat. Dengan angka orang sakit yang sangat tinggi ini juga berpengaruh kepada tingginya kebutuhan akan penyembuhan atas penyakit yang diderita.

  Sebagai suatu kebutuhan akan penyembuhan penyakit, rumah sakit merupakan salah satu alternatif yang paling dibutuhkan oleh masyarakat. Di lingkungan masyarakat Indonesia sangat meyakini keperluan dari sebuah rumah sakit. Kesadaran ini dapat dikatakan sangat beralasan dikarenakan rumah sakit merupakan fasilitas penyembuhan yang memiliki tenaga medis yang lengkap. Setiap Rumah sakit tentunya memiliki tenaga medis yang sangat dibutuhkan yang diantaranya dokter, perawat, paramedis, ahli gizi, dokter gigi, dan lain-lain. Setiap profesi diataslah yang dianggap oleh masyarakat yang datang ke rumah sakit akan mampu memberikan kesembuhan bagi mereka.

  Bagi masyarakat yang mengalami sakit, yang dalam hal ini dikatakan sebagai pasien, pada dasarnya menganggap bahwa yang memberikan pengaruh paling besar dalam kesembuhan seorang pasien adalah dokter. Pernyataan sebelumnya dapat dikatakan sangat beralasan dikarenakan dokterlah yang melakukan diagnosa dan kemudian menentukan jenis penyembuhan apa yang harus dilakukan. Namun, secara tidak disadari oleh pasien, ada profesi lain yang juga memiliki dukungan yang cukup besar untuk kesembuhan seorang pasien, yaitu perawat. Seorang dokter harus didampingi oleh seorang perawat untuk mendukung berjalan dengan lancarnya aktivitas dari seorang dokter.

  Perawat merupakan tenaga medis yang paling banyak memiliki waktu dan berinteraksi dengan pasien. Keberadaan perawat merupakan hal yang sangat penting bagi kesembuhan pasien. Banyak pihak menganggap bahwa dengan dokter yang ahli dan rumah sakit dengan sarana dan prasarana yang sangat baik merupakan faktor yang sangat mempengaruhi tingkat kesembuhan pasien. Fasilitas dan tempat pengobatan tidak sepenuhnya dapat menolong pasien dalam mengobati penyakitnya ataupun mendapatkan kesembuhan. Pasien membutuhkan pelayanan kesehatan yang terintegrasi untuk meningkatkan kesehatannya. Pelayanan kesehatan tersebut termasuk didalamnya pelayanan keperawatan (Departemen Kesehatan, 1994).

  Keberadaan perawat sebagai pendukung kesembuhan pasien, didasarkan kepada berbagai jenis kemampuan yang harus dilakukan oleh seorang perawat.

  Kemampuan seorang perawat bukan hanya berdasarkan kemampuan teknis ataupun teoritas saja. Peran perawat merupakan bentuk bantuan bagi pasien.

  Untuk membantu pasien, seorang perawat harus menghadirkan perasaannya, merasakan apa yang dirasakan pasiennya, oleh karena itu perawat harus dapat melakukan komunikasi dengan pasien. Secara teorinya, komunikasi antara perawat dengan pasien harus dapat dibina dengan sebaik-baiknya. Pengkajian yang dilakukan oleh Menzies (1970), Stockwell (1972), Hayward (1975), Macleod-Clark (1984), Faulkner (1985), Ley (1988) dalam Ellis, Roger B, dkk (1999) mengidentifikasikan komunikasi harus diperhatikan dalam pemberian pelayanan kesehatan.

  Komunikasi antar perawat dan pasien merupakan komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal adalah proses komunikasi langsung antara perawat dengan perawat dan perawat dengan pasien. Ada beberapa faktor yang mendukung terlaksananya komunikasi interpersonal diantaranya persepsi, nilai, emosi, latar belakang sosial budaya, pengetahuan, peran dan hubungan, serta kondisi lingkungan (Mundakir, 2006). Dari berbagai faktor tersebut, emosi merupakan salah satu faktor yang penting untuk dibicarakan.

  Emosi adalah subyektif seseorang dalam merasakan situasi yang terjadi di sekelilingnya. Situasi dan lingkungan yang berbeda membuat perawat memiliki konflik yang berbeda pula. Seorang perawat yang mempunyai konflik dalam keluarganya pada saat bekerja memberikan pelayanan kepada pasiennya tanpa menghubungkan suasana hatinya kepada pasien. Perawat harus dapat membedakan suasana emosi personal dengan suasana emosi professional (Mundakir, 2006). Ketika perawat dapat membedakan keadaan suasana emosinya, maka perawat tersebut memiliki keterampilan manajemen emosi. Keterampilan tersebut lebih dikenal dengan istilah kecerdasan emosi (Nurhidayah, 2006).

  Kecerdasan emosi merupakan serangkaian kecakapan yang memungkinkan kita membuka hati baik aspek pribadi, sosial, dan pertahanan dari seluruh kecerdasan, akal sehat yang penuh misteri dan kepekaan yang penting untuk berfungsi secara efektif (Nurhidayah, 2006). Kecerdasan emosi menentukan kita untuk mempelajari keterampilan-keterampilan praktis yang didasarkan pada lima faktor yaitu, kesadaaran emosi, pengendalian emosi, motivasi diri, empati, dan hubungan sosial. Kecerdasan emosi mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik (academic

  

inteligence) , yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan

  IQ. Penelitian yang dilakukan oleh Baron (1988), Mayer dan Salovey (1990) serta Goleman 1995) dalam Agustian (2001) mengemukakan bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh intelektual atau Inteligent Quotient (IQ).

  Daniel Goleman (1996) mengatakan bahwa kecerdasan emosi seseorang menyumbang pengaruh besar terhadap komunikasi interpersonal seseorang. Orang yang cerdas emosi akan mampu mengenali emosi, mengendalikan emosi, memotivasi diri, empati dan hubungan sosial, dengan adanya kemampuan untuk mengenali emosi, mengendalikan emosi, memotivasi diri, empati dan hubungan sosial maka akan mampu melakukan komunikasi dengan orang lain.

  Perawat yang mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi akan mampu melakukan komunikasi interpersonal. Perawat yang mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi akan mampu mengenali emosinya, dengan mampu mengenali emosi akan mampu mengendalikan emosi sehingga perawat akan merawat pasien dengan baik. Perawat yang cerdas emosi juga mampu memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan mampu melakukan hubungan dengan orang lain. Dengan kemampuannya dalam memotivasi diri, mengenali orang lain dan mampu melakukan hubungan dengan orang lain maka perawat akan mampu melakukan komunikasi interpersonal dengan pasien. Sedangkan pada perawat yang mempunyai kecerdasan emosi yang rendah maka mereka tidak mampu mengenali emosi orang lain, kurang mampu memotivasi diri dan mereka kurang mampu melakukan hubungan sosial dengan orang lain, hal ini menimbulkan perawat kurang mampu melakukan komunikasi interpersonal dengan pasien (Goleman, 1996).

  Gambaran komunikasi interpersonal perawat di Unit Rawat Inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang yang diteliti oleh Sri Mulyani (2008) disimpulkan bahwa Perawat yang mempunyai kesadaran emosi rendah melakukan komunikasi interpersonal rendah (51,4 %) lebih tinggi dari pada perawat yang mempunyai komunikasi interpersonal tinggi (21,3 %). Dan sebaliknya perawat yang mempunyai kesadaran emosi tinggi melakukan komunikasi interpersonal (78,7 %) lebih tinggi dari pada perawat yang melakukan komunikasi interpersonal rendah (48,6 %). Hal tersebut mengindikasikan bahwa perawat yang mempunyai kesadaran emosi rendah akan melakukan komunikasi interpersonal yang rendah sedangkan perawat yang mempunyai kesadaran emosi yang tinggi akan melakukan komunikasi interpersonal yang tinggi. Hasil nilai ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kesadaran emosi dengan komunikasi interpersonal perawat di Unit Rawat Inap RSJD dr. Amino Gondohutomo Semarang. Hal ini sesuai dengan pendapat ahli bahwa orang yang mempunyai kesadaran emosi akan mampu melakukan komunikasi interpersonal dengan baik.

  Keadaan yang telah disampaikan sebelumnya juga dapat terjadi di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar yang menjadi objek dari penelitian ini.

  Saat peneliti melakukan survey awal di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar, di Rumah Sakit tersebut sebagian besar perawat bersuku Batak.

  Menurut penilaian masyarakat luas, masyarakat suku Batak memiliki kekurangan didalam berkomunikasi.Tutur kata yang bernada kasar dan seakan-akan marah menjadi karakter dari masyarakat suku Batak. Namun, pada dasarnya perasaan dan keinginannya sangat tulus dan jujur. Hal yang sama juga dikatakan oleh seorang keluarga pasien yang ada di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar. Berbeda dengan pendapat dari tiga mahasiswa AKBID yang sedang dinas di ruangan tersebut yang menyatakan bahwa perawat yang bekerja telah melakukan komunikasi yang baik. Dua orang perawat yang diwawancarai oleh peneliti, mengaku bahwa komunikasi yang baik telah diterapkan saat melakukan asuhan keperawatan pada pasien dan keluarganya. Padahal, ketika peneliti wawancarai salah seorang perawat, perawat tersebut berkomunikasi sambil melakukan pekerjaannya. Sedangkan yang seorang lagi menolak untuk diwawancarai dengan nada yang cuek. Selain itu, perawat hanya melakukan komunikasi pada saat melakukan tindakan saja.

  Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui tentang hubungan faktor-faktor kecerdasan emosi dengan hubungan interpersonal di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar. Penelitian ini belum pernah dilakukan di Rumah Sakit Umum daerah dr. Djasamen Pematangsiantar. Hal tersebut menjadi alasan peneliti untuk melakukan penelitian di rumah sakit tersebut berdasarkan pengamatan dan kondisi logis latar belakang diatas. Penelitian ini ingin membuktikan mengenai emosi yang terjadi di luar tempat, personal, dan waktu kerja yang sering terbawa ke dunia pekerjaan perawat. Berdasarkan fenomena tersebutlah ingin dilakukan penelitian tentang “Hubungan faktor-faktor kecerdasan emosi dengan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien rawat inap di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar”.

  1.2. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti menetapkan massalah dalam penelitian ini adalah “Apakah Ada Hubungan Antara Faktor-Faktor Kecerdasan Emosi dengan Komunikasi Interpersonal Perawat Dengan Pasien Rawat Inap Di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar?”

  1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1.

  Tujuan Umum Mengidentifikasi hubungan antara faktor-faktor kecerdasan emosi dengan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien rawat inap di RSUD Dr.

  Djasamen Saragih Pematangsiantar.

1.3.2. Tujuan Khusus 1.

  Untuk mengidentifikasi kecerdasan emosi perawat rawat inap RSUD Dr.

  Djasamen Saragih Pematangsiantar 2. Untuk mengidentifikasi faktor-faktor kecerdasan emosi perawat rawat inap

  RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar 3. Untuk mengidentifikasi komunikasi interpersonal perawat dengan pasien rawat inap RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar

4. Untuk mengidentifikasi hubungan faktor-faktor kecerdasan emosi dengan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien rawat inap RSUD Dr.

  Djasamen Saragih Pematangsiantar 5. Untuk mengetahui hubungan faktor–faktor kecerdasan emosi yang paling dominan mempengaruhi komunikasi interpersonal perawat dengan pasien rawat inap di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1.

  Manfaat untuk Pendidikan keperawatan Hasil penelitian ini memberikan tambahan referensi dan informasi akademik tentang hubungan faktor-faktor kecerdasan emosi dengan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien.

1.4.2. Manfaat untuk Penelitian Keperawatan

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai sumber data bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian yang terkait dalam hal faktor- faktor kecerdasan emosi dan komunikasi interpersonal.

1.4.3. Manfaat untuk Pelayanan Keperawatan

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi manajemen Rumah Sakit untuk dipakai sebagai acuan dalam menentukan kebijakan strategis rumah sakit terutama dalam meningkatkan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Komunikasi Interpersonal terhadap Kinerja Perawat Pelaksana Ruang Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2014

10 131 148

Hubungan Faktor-Faktor Kecerdasan Emosi dengan Komunikasi Interpersonal Perawat dengan Pasien Rawat Inap di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar

3 66 139

Analisis Pengaruh Bauran Pemasaran Terhadap Loyalitas Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Djasamen Saragih Kota Pematangsiantar

14 119 208

Tingkat Kepuasan Pasien terhadap Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar

24 242 76

Pengaruh Karakteristik Individu dan Iklim Organisasi terhadap Kepuasan Kerja Perawat di Ruang Rawat Inap RSUD dr. Djasamen Saragih Kota Pematangsiantar

0 37 126

Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Motivasi Berprestasi Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2007

0 25 81

BAB 1 PENDAHULUAN 1.Latar Belakang - Perbandingan Kualitas Tidur pada Pasien Diabetes Melitus Laki-laki dan Perempuan di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar

0 0 9

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang - Hubungan Kualitas Pelayanan Prima Perawat dengan Loyalitas Pasien di RSUD Dr. Pirngadi Medan

0 0 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi 2.1.1. Pengertian Komunikasi - Pengaruh Komunikasi Interpersonal terhadap Kinerja Perawat Pelaksana Ruang Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2014

1 1 26

Pengaruh Komunikasi Interpersonal terhadap Kinerja Perawat Pelaksana Ruang Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2014

0 0 19