BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Plak Dental - Efek Berkumur Dengan Metode Oil Pulling Menggunakan Minyak Kelapa Terhadap Kondisi Gingiva Pada Mahasiswa Fkg Usu

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Plak Dental

  Plak dental didefinisikan sebagai lapisan biofilm bakteri yang merupakan gabungan kompleks dari berbagai macam bakteri yang berbeda di dalam satu lingkungan yang sama. Biofilm plak terbentuk melalui interaksi bakteri dengan permukaan gigi yang dilapisi oleh pelikel, kemudian dilanjutkan melalui interaksi fisik dan fisiologis antara spesies-spesies berbeda di dalam massa mikroba. Bakteri yang terdapat pada plak dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang dimediasi oleh pejamu. Kesehatan periodonsium dianggap sebagai suatu keseimbangan di mana populasi bakteri hidup berdampingan dengan pejamu, dan dalam kondisi ini tidak mengakibatkan perubahan baik pada pejamu maupun biofilm bakteri sehingga terjadi

  17 kerusakan pada jaringan periodontal.

  Secara klinis, plak digambarkan sebagai substansi berwarna kuning keabuan yang melekat secara kuat ke permukaan jaringan keras rongga mulut, yaitu

  5,18

  permukaan gigi, restorasi, maupun gigi tiruan. Matriks ekstraseluler yang melekat erat tersebut menyebabkan penyingkiran plak tidak dapat dilakukan hanya dengan berkumur ataupun menggunakan semprotan air. Oleh karena itu, plak dental dapat dibedakan dari deposit rongga mulut lainnya, seperti material alba dan kalkulus. Material alba merupakan akumulasi lunak yang terdiri dari bakteri, debris sisa makanan, dan sel-sel jaringan epitel yang strukturnya tidak terorganisir, dan oleh karenanya tidak bersifat kompleks seperti pada plak dental. Akumulasi berwarna putih seperti keju ini dapat dengan mudah disingkirkan dengan menggunakan semprotan air. Sementara itu, kalkulus diartikan sebagai deposit keras yang terbentuk dari mineralisasi plak dental dan diselubungi oleh lapisan plak yang tidak

  18,19 termineralisasi.

  2.1.1 Komposisi Plak Dental

  Plak dental terdiri dari 70-80% mikroba dan sisanya berupa matriks

  11

  interseluler. Satu gram plak mengandung sekitar 2 x 10 bakteri dan diperkirakan terdapat lebih dari 325 spesies bakteri berbeda pada plak dental. Mikroorganisme non-bakteri yang dapat dijumpai pada plak yaitu spesies Mycoplasma, fungi, protozoa, dan virus. Mikroorganisme tersebut berada di dalam matriks interseluler

  17 yang juga mengandung beberapa sel pejamu seperti sel epitel dan leukosit.

  Matriks interseluler sebanyak 20-30% dari masa plak tersebut terdiri dari material organik dan anorganik yang berasal dari saliva, cairan krevikular gingiva, dan produk bakteri. Unsur organik utama dari matriks tersebut meliputi polisakarida, protein, glikoprotein, dan lipid. Karbohidrat yang paling umum dihasilkan oleh bakteri yaitu dekstran, selain itu terdapat juga beberapa levan dan galaktosa. Sementara itu, komponen anorganik yang utama yaitu kalsium, fosfor, magnesium,

  17 massa plak akan terkalsifikasi membentuk kalkulus.

  2.1.2 Klasifikasi Plak Dental

  Berdasarkan posisinya dari permukaan gigi menuju margin gingiva, plak dental diklasifikasikan menjadi plak supragingiva dan plak subgingiva. Plak supragingiva terletak pada atau di atas margin gingiva dan jika berkontak langsung

  18,19

  dengan margin gingiva disebut dengan plak marginal. Umumnya, plak supragingiva ditemukan pada sepertiga gingiva mahkota gigi, area interproksimal,

  20

  dan pit-fisur, serta permukaan-permukaan yang abnormal lainnya. Jumlah plak supragingiva yang sedikit akan sulit dideteksi tanpa penggunaan disclosing solution atau menggoreskan permukaan gigi menggunakan instrumen. Namun, seiring dengan perkembangan plak, deposit ini akan terlihat sebagai masa berwarna putih

  19 kekuningan.

  Plak supragingiva pada permukaan gigi didominasi oleh bakteri kokus positif Gram dan bakteri batang pendek, sedangkan bakteri batang negatif Gram dan filamen

  18 seperti Spirocheta mendominasi pada permukaan luar dari massa plak yang matang.

  2

  3 Pada gingiva yang sehat, jumlah bakteri relatif rendah sekitar 10 -10 organisme yang

  didominasi oleh bakteri kokus positif Gram, seperti Streptococcus mutans,

  

Streptococcus mitis, Streptococcus sanguis, Streptococcus oralis, Rothia

dentocariosa, Staphilococcus epidermidi s, diikuti oleh beberapa bakteri batang positif

  Gram dan filamen, seperti Actinomyces viscosus, Actinomyces israeli, Actinomyces

  

gerencseriae, Corinebacterium sp., dan bakteri kokus negatif Gram dalam jumlah

  yang kecil, seperti Veillonella parvula dan Neisseria sp. Plak supragingiva yang matang pada jaringan gingiva sehat tanpa adanya riwayat gingivitis didominasi oleh spesies negatif Gram, mencakup Fusobacterium nucleatum, Porphyromonas

  

gingivalis, Prevotella intermedia, Campylobacter rectus, Eikenella corrodens,

Leptotrichia, dan Selenomonas sp. Pada gingivitis, terdapat peningkatan jumlah

  4

  6

  bakteri menjadi sekitar 10 -10 organisme yang terdiri dari bakteri positif Gram dan negatif Gram dengan jumlah yang seimbang. Selanjutnya, bakteri kokus dan batang awalnya, terjadi peningkatan jumlah bakteri filamen, seperti Actinomyces. Kemudian, jumlah spesies anaerob dan kokus negatif Gram, seperti Veillonella, dan bakteri batang anaerob negatif Gram, seperti Fusobacterium dan Prevotella intermedia

  5,21 mengalami peningkatan, serta munculnya bakteri batang motile dan Spirocheta.

  

Gambar 1. Plak supragingiva marginal dan

22 gingivitis

  Plak subgingiva terletak di bawah margin gingiva di antara gigi dan jaringan

  18

  epitel sulkus gingiva. Berdasarkan lokasinya plak subgingiva dapat dibagi menjadi

  3, yaitu plak subgingiva yang melekat pada permukaan gigi, jaringan epitel, dan plak

  20,23

  subgingiva yang tidak melekat pada permukaan gigi maupun jaringan epitel. Plak subgingiva dapat dilihat melalui penyingkiran massa biofilm dari sulkus gingiva

  19 dengan menggunakan instrumen.

  A B Kokus + Gram C Spirocheta Batang – Gram Gambar 2. Zona plak subgingiva:

  A. Plak yang melekat pada permukaan gigi; B. Plak yang melekat ke permukaan

jaringan gingiva; dan

C. Plak yang tidak melekat ke permukaan gigi atau jaringan 23 gingiva.

  Secara umum, komposisi mikroba plak subgingiva berbeda dengan mikroba plak supragingiva. Hal ini dikarenakan lingkungan pada plak subgingiva bersifat anaerob. Komposisi plak subgingiva tergantung pada kedalaman sulkus gingiva atau poket periodontal. Plak subgingiva yang mengarah ke apikal lebih didominasi oleh bakteri Spirocheta, kokus, dan batang, sedangkan plak subgingiva yang mengarah ke koronal lebih didominasi oleh bakteri filamen. Beberapa bakteri kokus dan batang positif Gram yang terdapat pada plak subgingiva diantaranya termasuk Streptococcus

  

mitis, Streptococcus sanguinis, Actinomyces oris, Actinomyces naeslundii, dan

18 Eubacterium sp . Selain itu, terjadi peningkatan jumlah bakteri kokus, batang, dan

  filamen negatif Gram, serta munculnya bakteri anaerob, seperti Fusobacterium

  21 nucleatum, Campylobacter gracilis, Tannerella forsthia, dan Capnocytphaga sp.

  Plak subgingiva yang berhubungan dengan permukaan gigi mengandung bakteri kokus dan batang positif Gram maupun negatif Gram. Namun, bakteri filamen positif Gram merupakan mikroorganisme yang paling mendominasi. Pada bagian apikal, jumlah bakteri filamen akan mengalami penurunan, dan lebih didominasi oleh bakteri

  18,19

  batang negatif Gram. Plak subgingiva yang berhubungan dengan jaringan epitel sulkus gingiva atau poket periodontal mengandung bakteri kokus dan batang negatif Gram, serta sejumlah besar bakteri filamen, bakteri batang berflagel, dan

18 Spirocheta . Plak subgingiva yang tidak melekat ke permukaan gigi maupun jaringan

  23 epitel didominasi oleh bakteri batang negatif Gram dan Spirocheta.

  Lokasi spesifik dari plak secara signifikan dihubungkan dengan penyakit perkembangan gingivitis. Plak supragingiva dan plak subgingiva yang berhubungan dengan permukaan gigi berperan dalam pembentukan kalkulus dan karies pada akar gigi. Sementara itu, plak subgingiva yang berhubungan dengan jaringan pada sulkus gingiva atau poket periodontal berperan dalam menyebabkan kerusakan jaringan yang

  5,18 parah sehingga menyebabkan terjadinya periodontitis.

2.1.3 Proses Pembentukan Plak Dental

  Proses pembentukan plak terdiri dari 3 fase, yaitu pembentukan pelikel pada permukaan gigi, kolonisasi awal bakteri pada pelikel, dan kolonisasi sekunder serta

  18,19 maturasi plak.

2.1.3.1 Pembentukan Pelikel pada Permukaan Gigi

  Pelikel berasal dari protein saliva yang sebagian besar berupa glikoprotein dan melekat ke permukaan jaringan keras rongga mulut, seperti gigi, restorasi, maupun gigi tiruan beberapa saat setelah tindakan pembersihan gigi. Secara klinis, pelikel terlihat sebagai lapisan tipis dengan ketebalan 0,5 µm, licin, tidak berwarna, dan translusen. Fungsi pelikel terutama sebagai agen protektif untuk melindungi permukaan enamel dari aktivitas asam dengan cara membatasi difusi atau penyebaran produk asam dari pemecahan gula. Selain itu, pelikel dapat mengikat ion anorganik seperti fluorida yang akan mendorong terjadinya proses remineralisasi. Pelikel juga

  5,17,19 mengandung faktor antibakteri seperti IgG, IgA, IgM, komplemen, dan lisozim.

  17 Pada awalnya, pelikel merupakan lapisan yang tidak mengandung bakteri.

  Sebaliknya, pelikel berperan sebagai bahan perekat dua sisi, di mana satu sisi melekat ke permukaan gigi dan sisi lainnya menyediakan permukaan lengket yang memfasilitasi perlekatan bakteri pada permukaan gigi melalui komponen-

  5

  komponennya. Pelikel pada permukaan gigi mengandung lebih dari 180 peptida, protein, dan glikoprotein, termasuk keratin, mucin, protein kaya proline, fosfoprotein, protein kaya histidine, dan molekul-molekul lainnya yang berfungsi sebagai reseptor atau sisi perlekatan bagi bakteri. Oleh karena itu, bakteri yang melekat ke permukaan gigi tidak bersentuhan langsung dengan enamel, melainkan melalui interaksi dengan

  18

2.1.3.2 Kolonisasi Awal Bakteri pada Pelikel

  Beberapa jam setelah pembentukan pelikel, bakteri mulai melekat pada

  17

  permukaan luar pelikel. Bakteri melekat ke pelikel melalui struktur seperti rambut yang dinamakan fimbriae atau pili, di mana pada struktur tersebut terdapat molekul adhesin yang akan berikatan dengan reseptor pada pelikel. Protein lektin dapat berikatan dengan struktur karbohidrat spesifik pada glikoprotein pelikel. Interaksi

  5,19

  seperti lektin tersebut juga dilibatkan pada tahap koagregasi bakteri. Namun, komponen saliva yang terdapat pada pelikel juga berperan menghambat perlekatan bakteri melalui penghambatan reseptor bakteri untuk berikatan dengan permukaan pelikel. Selain itu, IgA yang disekresikan oleh kelenjar saliva merupakan antibodi yang paling dominan pada saliva. Oleh karenanya, komposisi saliva dapat berperan sebagai fasilitator maupun inhibitor perlekatan bakteri pada pelikel. Laju alir saliva, tekanan pengunyahan, dan prosedur higene oral juga dapat menyingkirkan bakteri dari rongga mulut. Namun, beberapa bakteri akan bertahan pada pit dan fisur, permukaan gigi yang abnormal dan daerah lainnya yang tidak terkena mekanisme

  19 pembersihan gigi.

  Selama 4 sampai 8 jam pertama, sekitar 60%-80% bakteri yang ada merupakan genus Streptococcus. Bakteri lain bersifat aerob yang ada yaitu

  

Haemophillus sp. dan Neisseria sp. Selain itu, terdapat pula bakteri fakultatif anaerob

  yaitu Actinomyces sp. dan Veilonella sp. Bakteri tersebut dikenal dengan koloni primer yang menyediakan sisi perlekatan baru untuk bakteri rongga mulut lainnya. Ketika bakteri melekat ke permukaan pelikel, koloni primer ini akan memulai aktivitas metabolismenya dan memproduksi substansi-substansi yang akan merubah kondisi lingkungan sehingga memengaruhi kemampuan bakteri lainnya untuk bertahan hidup pada biofilm plak dental. Misalnya dengan merubah kondisi

  5,18

  lingkungan aerob menjadi anaerob. Bakteri baru melekat ke bakteri plak yang sudah ada melalui mekanisme molekular kunci dan gembok spesifik, di mana proses bakteri yang memiliki kemampuan membentuk polisakarida ekstraseluler yang memungkinkan bakteri-bakteri tersebut melekat ke permukaan gigi dan bakteri lainnya. Bakteri tersebut yaitu Streptococcus sanguis, Actinomyces viscosus, dan

  

Actinomyces naeslundii. Kedua fase pada tahap pembentukan plak awal ini terjadi

  17 dalam 2 hari.

2.1.3.3 Kolonisasi Sekunder dan Maturasi Plak

  Bakteri pengkoloni sekunder melekat di atas bakteri pengkoloni primer dan memanfaatkan perubahan lingkungan yang terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan dan metabolisme plak. Pada awalnya, bakteri kokus negatif Gram seperti Neisseria

  

sp . dan Veillonella sp. berada pada ruang interstitial yang terbentuk dari interaksi

  bakteri pada tahap sebelumnya. Selanjutnya, setelah 4-7 hari pembentukan plak, jaringan gingiva akan mengalami inflamasi dan perlahan-perlahan terjadi perubahan lingkungan yang menyebabkan perubahan selektif lebih lanjut. Perubahan tersebut mencakup pembukaan krevikular gingiva sebagai jalur pertumbuhan plak dan menginisiasi aliran cairan krevikular gingiva. Kemudian akan terbentuk suplai nutrisi dari serum yang memungkinkan bakteri lain dengan kebutuhan metabolisme berbeda memasuki plak. Bakteri tersebut yaitu jenis batang negatif Gram, seperti Prevotella

  

sp ., Porphyromonas sp., Capnocytophaga sp., Fusobacterium sp., dan Bakteriodes

sp . Interaksi bakteri lebih lanjut terjadi antara jenis bakteri berbeda. Bakteri

  pengkoloni sekunder ini juga membentuk kelompok bakteri utama dari plak

  17

  subgingiva. Selama pematangan plak, terjadi peningkatan massa dan ketebalan plak sebagai hasil dari proliferasi bakteri pada plak. Proses pematangan plak membutuhkan kohesi dari sel-sel bakteri yang dihasilkan dari pembentukan matriks intermikroba yang tersusun dari material saliva, eksudat gingiva, dan substansi

  19 mikroba seperti polisakarida.

2.2 Gingiva

  Gingiva merupakan bagian dari jaringan pendukung gigi atau periodonsium memiliki fungsi utama melindungi jaringan dibawahnya. Secara klinis, gingiva dapat terlihat di dalam rongga mulut, sedangkan struktur periodontal pendukung lainnya yaitu ligamen periodontal, sementum, dan tulang alveolar tidak terlihat, kecuali

  24 sementum jika terjadi resesi gingiva.

  2.2.1 Gambaran Klinis Gingiva

  Gingiva normal dikarakteristikkan oleh beberapa gambaran klinis, antara lain:

2.2.1.1 Warna Gingiva

  Margin gingiva dan gingiva cekat secara umum berwarna koral pink. Hal ini diakibatkan oleh karena adanya suplai vaskular, ketebalan dan derajat keratinisasi epitel, serta sel-sel yang mengandung pigmen. Warna ini bervariasi pada setiap individu dan berhubungan dengan pigmentasi kulit. Warna gingiva lebih terang pada orang berambut pirang dengan kulit kuning langsat daripada orang berambut gelap

  5,24 yang berkulit hitam. Gambar 3. Warna gingiva:

  A. Gingiva normal pada dewasa muda

  B. Gingiva dengan pigmentasi berat pada dewasa paruh 24 baya

  Gingiva cekat dibatasi dari batas mukosa alveolar pada sisi bukal dengan garis mukogingival berbatas jelas. Mukosa alveolar lebih berwarna merah, halus, dan berkilat. Hal ini dikarenakan perbedaan struktur mikroskopis dari gingiva cekat dengan mukosa alveolar, di mana epitelium mukosa alveolar lebih tipis, tidak terkeratinisasi, dan tidak terdiri dari rete pegs. Selain itu jaringan ikat mukosa

  24 alveolar tersusun longgar dan mengandung lebih banyak pembuluh darah.

  2.2.1.2 Konsistensi Gingiva

  Gingiva memiliki konsistensi kaku (firm) dan lenting (resilient). Hal ini disebabkan oleh kandungan kolagen pada lamina propria dan perlekatan gingiva ke mukoperiosteum tulang alveolar. Gingiva bebas memiliki konsistensi yang kaku karena mengandung serabut gingiva meskipun tidak melekat ke mukoperiosteum

  5,24 tulang alveolar.

  2.2.1.3 Kontur Gingiva

  Kontur atau bentuk gingiva sangat bervariasi, tergantung pada bentuk dan susunan gigi geligi pada lengkung rahang, lokasi dan besar area kontak proksimal, dan dimensi embrasur gingiva oral maupun vestibular. Margin gingiva mengelilingi gigi seperti kerah baju dan mengikuti pola seperti busur pada permukaan vestibular dan oral. Pola tersebut berbentuk garis lurus sepanjang gigi dengan permukaan relatif datar. Pada gigi yang sangat konveks dalam arah mesio distal, seperti kaninus maksila, atau gigi labioversi pola seperti busur tersebut akan semakin jelas dan posisi gingiva akan berada lebih ke apikal. Sementara itu, gingiva akan lebih datar dan

  5,24 menebal pada gigi lingoversi.

  Gambar 4. Kontur gingiva yang menebal 24

pada gigi linguoversi

  2.2.1.4 Tekstur Permukaan Gingiva

  Tekstur permukaan gingiva cekat yaitu seperti kulit jeruk disebut dengan

  stippled atau stippling, sedangkan tekstur permukaan gingiva bebas yaitu licin. Pola dan perluasan stippling bervariasi antar individu dan antar sisi pada satu individu. Stippling kurang terlihat pada permukaan oral daripada vestibular dan pada beberapa

  orang mungkin tidak dijumpai. Stippling muncul sebagai akibat dari protuberansia

  5,24 dan depresi pada permukaan gingiva.

  2.2.1.5 Posisi Margin Gingiva

  Posisi gingiva menunjukkan level di mana margin gingiva melekat ke permukaan gigi. Ketika gigi erupsi ke rongga mulut, margin gingiva dan sulkus gingiva berada pada puncak mahkota, seiring dengan erupsi gigi posisi margin gingiva dan sulkus gingiva mengarah semakin dekat ke akar gigi. Pada kondisi normal, margin gingiva berada pada atau sedikit ke arah koronal dari batas sementum

  5,24 enamel.

2.3 Gingivitis

  Gingivitis merupakan salah satu jenis penyakit periodontal berupa respon

  5 inflamasi yang menyebabkan kerusakan bersifat reversible pada jaringan gingiva.

  Inflamasi gingiva cenderung terjadi pada daerah papila interdental. Hal ini dikarenakan daerah interdental terlindung dari aktivitas pembersihan rongga mulut, akibatnya plak lebih banyak berakumulasi pada daerah tersebut. Inflamasi gingiva

  17 bermula pada daerah papila interdental dan berlanjut menyebar ke sekitar leher gigi.

  The American Academy of Periodontology mengklasifikasikan penyakit

  gingiva secara garis besar berdasarkan penyebabnya menjadi dua, yaitu penyakit gingiva yang disebabkan oleh plak dental dan lesi gingiva yang bukan disebabkan oleh plak dental. Pengklasifikasian ini telah didiskusikan dalam the 1999

  

International Workshop for the Classification of the Periodontal Disease. Penyakit

  gingiva yang disebabkan oleh plak dental dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor malnutrisi. Sementara itu, lesi gingiva yang bukan disebabkan oleh plak dental terjadi dikarenakan adanya respon inflamasi terhadap beberapa bakteri spesifik, virus, dan jamur, manifestasi penyakit sistemik, reaksi alergi, lesi traumatik, dan reaksi terhadap

  4,25 benda asing.

  Gingivitis yang diinduksi plak dental merupakan hasil interaksi antara mikroorganisme yang terdapat pada biofilm plak, jaringan gingiva, dan sel-sel

  25

  inflamatori. Berdasarkan lokasi dan luasnya daerah yang terkena, gingivitis diklasifikasikan menjadi dua, yaitu gingivitis yang terlokalisir pada beberapa gigi dan gingivitis yang tergeneralisasi pada seluruh rongga mulut. Selain itu, gingivitis dapat terjadi hanya terbatas pada papila interdental ataupun menyebar ke seluruh margin

  4

  gingiva sampai melibatkan seluruh gingiva bebas. Beberapa faktor lokal dapat memengaruhi terjadinya gingivitis, diantaranya pembentukan kalkulus pada mahkota dan akar gigi, kondisi gigi yang berjejal, dan alat ortodontik. Faktor-faktor tersebut berperan dalam mempertahankan plak dental dan mempersulit prosedur higiene oral

  4,25 sehingga mengakibatkan prosedur tersebut menjadi kurang efektif.

2.3.1 Patogenesis Gingivitis

  Perkembangan gingiva yang sehat menjadi gingivitis terbagi menjadi 3 fase, yaitu fase initial lesion, fase early lesion, dan fase established lesion, namun antara

  4,22 satu fase dengan fase selanjutnya tidak terdapat batasan yang terlalu jelas.

2.3.1.1 Initial Lesion

  Perubahan yang terjadi pada fase initial lesion hanya dapat dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopik. Oleh sebab itu, tahap ini disebut juga dengan gingivitis subklinis. Perubahan jaringan terjadi pada epitel penyatu dan jaringan ikat dari margin gingiva bebas dalam 2-4 hari setelah akumulasi plak pada sulkus gingiva. Respon inflamasi akut pada fase ini ditandai dengan dilatasi pembuluh darah sehingga meningkatkan aliran darah ke area inflamasi. Selanjutnya, leukosit terutama neutrofil (polymorphonuclear neutrophil/PMN) meninggalkan pembuluh darah yang keluar dari pembuluh kapiler menuju jaringan ikat disekitarnya menyebabkan edema pada jaringan. Selain itu, peningkatan migrasi leukosit ke epitel penyatu

  4,5,22 menyebabkan peningkatan cairan sulkular pada sulkus gingiva.

  Limfosit T berperan mempertahankan keseimbangan respon terhadap infeksi bakteri. Namun, aktivasi sistem imun menyebabkan degenerasi kolagen dan

  4

  perubahan pada sel epitel. Degenerasi kolagen menyebabkan berkurangnya kandungan kolagen di dalam jaringan ikat gingiva yang terinflamasi dan hilangnya

  5 kolagen yang mendukung epitel penyatu bagian koronal.

2.3.1.2 Early Lesion

  Berbeda dengan fase sebelumnya, pada fase ini perubahan jaringan sudah dapat dideteksi secara klinis dalam 4-14 hari setelah akumulasi plak pada sulkus gingiva. Akumulasi plak pada sulkus gingiva menyebabkan gangguan perlekatan epitel penyatu bagian koronal pada gigi. Akibatnya, epitel tersebut akan kehilangan

  5 kontak dengan permukaan gigi. Pada fase ini, respon yang terjadi masih berupa respon inflamasi akut. Aliran darah terus mengalami peningkatan. Selain itu, protein plasma dan leukosit tetap

  4,5

  bermigrasi menuju jaringan ikat. Begitu juga halnya dengan jumlah limfosit T yang meningkat dan terlokalisir pada jaringan ikat di bawah epitel sulkus gingiva. Peningkatan eksudat tersebut menyebabkan edema pada jaringan gingiva dan warna gingiva menjadi merah. Selanjutnya, serabut kolagen perivaskular pada jaringan ikat mengalami kerusakan akibat inflamasi dan digantikan oleh plasma darah dan sel inflamatori. Hal ini yang menyebabkan perubahan konsistensi jaringan gingiva menjadi lebih lunak dan spongius. Kerusakan serabut kolagen yang melekat pada jaringan ikat gingiva dan hilangnya stippling mengakibatkan tampilan gingiva menjadi kilat. Selain itu, perdarahan gingiva mungkin terjadi saat dilakukan

  4,5,22 probing .

   Established Lesion

  Jika prosedur higiene oral yang memadai tidak juga dilakukan, fase early

  

lesion akan berkembang menjadi fase established lesion dalam 15-21 hari. Pada fase

  ini, perbedaan yang jelas terlihat pada jenis sel darah putih melalui pemeriksaan histopatologis, di mana limfosit B dan T berada pada jumlah yang seimbang. Hal ini mengindikasikan terjadinya kerusakan jaringan akibat reaksi inflamasi. Limfosit B dapat melepaskan limfokinase yang menambah kerusakan jaringan. Selain itu,

  4

  kerusakan pada jaringan ikat kolagen juga semakin meningkat. Sel basal epitel penyatu mulai melakukan replikasi dan epithelial ridge meluas ke jaringan ikat. Hal ini dikarenakan terjadinya kerusakan pada serabut gingiva yang menghasilkan

  

4,5

ruangan untuk pertumbuhan jaringan epitel.

  Pada fase inflamasi kronis, tubuh berusaha untuk memperbaiki kerusakan jaringan dengan membentuk serabut kolagen baru. Peningkatan deposisi serabut kolagen ini menyebabkan jaringan gingiva mengalami pembesaran dan perubahan konsistensi menjadi fibrous. Jumlah serabut kolagen yang meningkat akan menyamarkan warna gingiva yang merah menjadi kurang merah. Selain itu, banyaknya jumlah sel darah di dalam pembuluh darah gingiva mengakibatkan aliran

  5

  darah mengalami penurunan, sehingga warna gingiva dapat menjadi kebiruan. Pada fase ini terjadi peningkatan kedalaman probing yang dapat disebabkan edema pada jaringan menyebabkan bergesernya margin gingiva ke arah koronal sehingga menambah kedalaman probing. Pada ketiga fase gingivitis, tidak terjadi migrasi epitel penyatu ke arah apikal, tidak terdapat kerusakan serabut ligamen periodontal, dan

  

4,5

tulang alveolar tidak mengalami kerusakan.

  2.3.2 Gambaran Klinis

  Respon inflamasi sebagai mekanisme perlawanan terhadap bakteri pada biofilm plak menghasilkan perubahan pada gingiva bebas, gingiva cekat, maupun

  5

  papila interdental. Perubahan-perubahan tersebut diantaranya:

2.3.2.1 Perubahan Warna Gingiva menyebabkan warna gingiva pada fase inflamasi akut menjadi lebih merah.

  Perubahan warna ini tersebar pada daerah margin gingiva dengan tampilan seperti bintik-bintik. Sementara itu, pada fase inflamasi kronis warna gingiva menjadi merah kebiruan atau merah keunguan dikarenakan jumlah sel darah yang terlalu banyak pada pembuluh darah sehingga menyebabkan terjadinya venous stasis atau aliran darah yang melambat. Perubahan warna ini terjadi dimulai dari papila interdental dan

  5,26 margin gingiva kemudian menyebar ke gingiva cekat.

  Gambar 5. Gingivitis difus tergeneralisasi yang melibatkan margin gingiva, papila 26

interdental, dan gingiva cekat

2.3.2.2 Perdarahan Saat Probing

  Perdarahan gingiva saat probing dapat dengan mudah dideteksi secara klinis dan merupakan tanda yang lebih dahulu muncul daripada perubahan warna gingiva. Oleh karena itu, perdarahan saat probing merupakan tanda yang penting untuk mendiagnosis dan mencegah fase gingivitis berikutnya. Gingiva yang terinflamasi menghasilkan perubahan histopatologis, yaitu kapiler yang mengalami dilatasi, epitel sulkular yang menipis dan disertai ulserasi, serta posisinya yang mendekati permukaan sehingga stimulus ringan yang sebenarnya tidak berbahaya

  5,26 mengakibatkan pecahnya kapiler dan terjadi perdarahan pada gingiva.

  Gambar 6. Perdarahan saat probing:

A. Gingivitis oedematous ringan, prob dimasukkan ke dasar sulkus gingiva.

  26 B. Perdarahan terjadi setelah beberapa detik.

2.3.2.3 Perubahan Konsistensi Gingiva

  Pada fase inflamasi akut, jaringan ditandai dengan konsistensi yang lunak atau

  

spongius dikarenakan serabut kolagen perivaskular pada jaringan ikat mengalami

kerusakan akibat inflamasi dan digantikan oleh plasma darah dan sel inflamatori.

  Ketika jaringan gingiva tersebut diberikan tekanan menggunakan prob, jaringan ini

  5

  akan mudah tertekan dan meninggalkan bekas selama beberapa detik. Pada fase inflamasi kronis, perubahan destruktif menghasilkan jaringan edema dan perubahan reparatif ditandai dengan terbentuknya jaringan fibrotik terjadi secara berdampingan. Konsistensi gingiva pada fase ini ditentukan oleh jumlah jaringan edema atau

  26 jaringan fibrous yang paling dominan.

  2.3.2.4 Perubahan Kontur Gingiva

  Pada jaringan yang terinflamasi, gingiva bebas yang awalnya datar mengalami pembengkakan dikarenakan edema jaringan pada leher gigi. Selain itu, papila interdental dapat berubah bentuk menjadi bulbous atau blunted. Papila yang berbentuk bulbous mengalami pembengkakan dan memiliki tampilan yang menonjol keluar dari ruangan interproksimal, sedangkan papila yang berbentuk blunted

  5 memiliki bentuk yang datar, namun tidak mengisi ruangan interproksimal.

  2.3.2.5 Perubahan Tekstur Permukaan Gingiva

  Hilangnya stippling pada permukaan gingiva merupakan tanda awal gingivitis. Pada fase inflamasi kronis, permukaan gingiva dapat menjadi halus dan kilat atau keras dan bernodul-nodul, tergantung perubahan cairan eksudat atau

  26

  jaringan fibrotik yang paling dominan. Peningkatan cairan yang berasal dari respon

  5 kilat.

  

Gambar 7. Gingivitis kronis disertai dengan

pembengkakan, hilangnya stippling, 26 dan diskolorisasi

2.3.2.6 Perubahan Posisi Margin Gingiva

  Perubahan posisi margin gingiva ke arah koronal dapat menjadi salah satu tanda klinis gingivitis. Perubahan posisi ini dapat disebabkan oleh pembesaran jaringan gingiva. Posisi margin gingiva dapat dikaitkan dengan kedalaman probing. Hal ini dikarena pada semua fase gingivitis tidak disertai dengan kehilangan perlekatan epitel penyatu, sehingga perubahan posisi gingiva ke arah koronal akan

  5 menambah kedalaman probing.

2.4 Oil Pulling

  Oil pulling atau oil swishing merupakan salah satu bentuk pengobatan

  10 Ayurveda yang dilakukan dengan berkumur menggunakan minyak nabati. Oil pulling telah digunakan secara luas sebagai pengobatan tradisional yang berasal dari

  India untuk mencegah berbagai penyakit sistemik dan rongga mulut. Selain itu, oil

  

pulling dibicarakan di buku pengobatan Ayurveda, yaitu Charaka Samhita dan

  Susrutha Arthashastra, serta dikenal dengan sebutan Kavala Gandoosha atau Kavala Graha. Pengobatan Ayurveda sangat tergantung pada tumbuhan, tanaman, minyak,

  9,13,27

  dan rempah-rempah yang digunakan sebagai obat-obatan. Beberapa metode untuk mempertahankan kebersihan mulut yang terdapat di dalam pengobatan (Jihwanirlekhana), berkumur (Gandusha dan Kavala), mengunyah sirih (Tambula Sevana), dan membersihkan muka (Mukha Prakshalana). Meskipun oil pulling telah dikenal sejak tahun 3000 SM, konsep ini baru diperkenalkan kembali oleh Dr. F.

  27-29 Karach pada tahun 1990 di Rusia.

2.4.1 Prosedur Berkumur dengan Metode Oil Pulling

  Prosedur melakukan terapi oil pulling secara umum hampir sama seperti layaknya menggunakan obat kumur. Sebanyak satu sendok makan atau kurang lebih 10-15ml minyak sayuran dimasukkan ke dalam mulut sampai mulut terisi setengah penuh. Minyak tersebut kemudian dihisap, ditarik, dan didorong melalui gigi-gigi dari kiri ke kanan, dari depan ke belakang, dan sebaliknya. Terapi oil pulling umumnya dilakukan selama 8-10 menit atau sampai mulut terasa penuh. Ketika berada di dalam mulut, minyak akan bercampur dengan saliva, berubah dari minyak yang kental menjadi cair, berwarna putih seperti susu, dan berbusa. Selanjutnya, minyak tersebut dibuang dari dalam mulut. Terapi oil pulling kemudian diikuti dengan tindakan menyikat gigi dan membilas mulut dengan air selama beberapa

  10,11,13 kali.

  Ada beberapa instruksi yang harus diikuti selama melakukan terapi oil

  

pulling . Oil pulling sebaiknya dilakukan pada pagi hari. Selain itu, terapi ini

  dilakukan dalam posisi duduk dengan dagu tegak. Terapi ini dapat dilakukan maksimal tiga kali sehari pada kasus adanya penyakit akut. Tidak terdapat kontra indikasi untuk melakukan oil pulling kecuali untuk anak-anak dibawah umur 5 tahun karena ditakutkan cairan tersebut teraspirasi atau tertelan. Terapi oil pulling juga

  6,11 dapat dilakukan oleh wanita hamil dan menstruasi.

2.4.2 Manfaat Oil Pulling

  Berkumur dengan metode oil pulling dipercaya memiliki manfaat bagi kesehatan sistemik maupun rongga mulut. Di dalam kesehatan sistemik, terapi oil sistemik mulai dari sakit kepala, migrain, hipertensi, diabetes, asma, bronkitis, trombosis pada arteri, kelainan darah yang bersifat kronis seperti leukemia, artritis, paralisis neurofisiologi, eksema, gastroentritis, peritonitis, meningitis, penyakit jantung iskemik, penyakit liver, gangguan pernafasan dan ginjal, gangguan hormonal

  6,8,11

  pada wanita, dan memperlambat proses penuaan. Sementara itu, di dalam kesehatan rongga mulut terapi oil pulling dianggap sebagai salah satu cara untuk menghambat bakteri, jamur, dan organisme lainnya yang berbahaya bagi mulut, gigi, gusi, dan tenggorokan. Oleh karena itu, terapi oil pulling dipercaya berpotensi mengurangi pembentukan plak dan terjadinya gingivitis serta karies. Manfaat lain dari terapi oil pulling yaitu mencegah bau mulut, tenggorokan kering, bibir pecah-

  9,27,29 pecah, dan xerostomia.

  Penelitian yang dilakukan oleh Amith dkk selama 45 hari, menunjukkan bahwa terapi oil pulling menggunakan minyak bunga matahari signifikan menurunkan skor plak dan gingivitis. Asokan dkk melakukan penelitian klinis dan mikrobiologi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terapi oil pulling menggunakan minyak wijen sangat efektif mencegah gingivitis yang disebabkan oleh

  6,9

  plak. Penelitian lain yang dilakukan oleh Saravanan menunjukkan bahwa terapi oil

  

pulling mengurangi skor plak dan gingiva serta jumlah koloni bakteri secara

  13 signifikan.

  Berkumur dengan metode oil pulling tidak hanya berperan dalam mencegah dan menyembuhkan berbagai penyakit tetapi juga memiliki kelebihan dibandingkan berkumur dengan obat kumur komersial yang ada. Minyak nabati yang digunakan tidak mengandung bahan kimia dan alkohol, tidak menyebabkan stein pada permukaan gigi, tidak menimbulkan sisa rasa yang menetap lama, tidak menimbulkan reaksi alergi, meskipun keefektifan dan mekanisme aksinya belum jelas. Selain itu, terapi ini dianggap menarik dan inovatif karena pemakaiannya yang sederhana, harganya yang murah, mudah didapatkan, tidak perlu membeli produk yang beraneka ragam, tidak perlu mencampurkan berbagai produk, ataupun menggunakan banyak

  6,10,11 suplemen.

2.4.3 Jenis Minyak yang dapat Digunakan dalam Oil Pulling

  Beberapa jenis minyak yang dapat digunakan dalam terapi oil pulling di antaranya minyak bunga matahari, minyak wijen, minyak zaitun, minyak kelapa, dan

  9-12

  minyak kacang. Minyak wijen mengandung konsentrasi asam lemak tak jenuh ganda yang tinggi dan merupakan sumber vitamin E yang baik. Selain itu, tanaman wijen mengandung komponen lignan, yaitu sesamol, sesamin, dan sesamolin. Minyak bunga matahari juga diketahui efektif digunakan dalam terapi oil pulling. Bunga matahari kaya akan kandungan vitamin E dan rendah akan kandungan lemak jenuh. Minyak kelapa dapat digunakan dalam terapi oil pulling karena mengandung asam

  12 laurat yang terbukti bersifat antimikroba.

2.5 Minyak Kelapa

  Minyak kelapa berdasarkan cara ekstraksinya digolongkan menjadi 2 jenis yaitu, minyak kelapa murni atau VCO (Virgin Coconut Oil) dan minyak kelapa komersil atau RBD (Refined, Bleached and Deodorized) coconut oil. Minyak kelapa komersil diproses melalui cara kering di mana daging buah kelapa akan dikeringkan terlebih dahulu menjadi kopra. Kopra kemudian dilakukan proses pengepresan untuk mendapatkan ekstrak minyak kelapa. Selanjutnya, ekstrak minyak kelapa ini perlu dilakukan proses penyulingan (refining), pemutihan (bleaching) dan penghilangan

  

16,30

bau (deodorizing) agar dapat dikonsumsi.

2.5.1 Taksonomi Tanaman Kelapa

  31 Secara taksonomi, tanaman kelapa diklasifikasikan sebagai berikut:

  Kingdom : Plantae (Tumbuhan) Subkingdom : Viridaeplantae (Tumbuhan hijau) Infrakingdom : Streptophyta (Tanaman darat) Divisi : Tracheophyta (Tumbuhan berpembuluh) Subdivisi : Spermatophyta (Tumbuhan berbiji) Infradivisi : Angiosperma (Tumbuhan berbunga) Superordo : Lilianae Ordo : Arecales Famili : Arecaceae Genus : Cocos L.

  Spesies : Cocos nucifera L.

  32 Gambar 8. Buah kelapa dan minyak kelapa

2.5.2 Mekanisme Aksi Berkumur dengan Metode Oil Pulling Menggunakan Minyak Kelapa

  Kemampuan menghambat pembentukan plak melalui berkumur dengan metode oil pulling dikarenakan sifat kekentalan dari minyak kelapa, di mana melalui sifat kekentalan tersebut dapat menghambat adhesi bakteri dan koagregasi plak. Mekanisme lainnya yang mungkin yaitu proses saponifikasi atau proses pembentukan lapisan seperti sabun. Sabun merupakan agen emulsifikasi yang berperan sebagai agen pembersih yang baik sehingga akan menyingkirkan plak dan sel skuamosa

  6,9,12 superfisial yang rusak.

  Minyak kelapa mengandung substansi bioaktif yaitu tocopherols, tocotrienols,

phytosterols, phytostanols, phospholipids, flavonoids dan polyphenols lainnya.

  

Tocopherols dan tocotrienols merupakan agen antioksidan yang berperan dalam

  mengurangi injuri radikal bebas. Tocotrienols memiliki kemampuan antioksidan yang yang lebih efektif dalam mengurangi peroksidasi lemak dan oksidasi protein.

  

Phytosterols diketahui dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah terutama Low

Density Lipid (LDL), mengurangi gejala pembesaran prostat, memperbaiki kontrol

  gula darah pada penderita diabetes, mengurangi inflamasi pada pasien penderita penyakit autoimun, seperti rhematoid arthritis dan lupus. Phytostanols merupakan bentuk phytosterols jenuh yang juga berperan dalam menurunkan kadar kolesterol.

  

Phenols dapat mempengaruhi proses karsinogenesis melalui beberapa mekanisme,

  salah satunya dengan mencari bahan karsinogen atau radikal bebas. Flavonoids berperan sebagai antivirus, anti-alergi, antiplatelet, anti-inflamasi, antitumor, dan

  16 antioksidan.

  Sekitar 92,92 ± 0,56 % dari kandungan asam lemak pada minyak kelapa berupa asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid/SFAs), terdiri dari asam kaprilat 6,21 ± 0,34 %; asam kaprat 6,15 ± 0,21 %; asam laurat 51,02 ± 0,71 %; asam miristat 18,94 ± 0,63%; asam palmitat 8,62 ± 0,50 %; asam stearat 1,94 ± 0,17 %. Sisanya berupa asam lemak tak jenuh (Unsaturated Fatty Acids/UFAs) sebesar 7,12 ± 0,51 %

  15

  yang terdiri dari asam oleat 5,84 ± 0,50 % dan asam linoleat 1,28 ± 0,18 %. Asam kaprilat, kaprat, dan laurat tergolong asam lemak rantai sedang (Medium Chain Fatty

  

Acid/MCFAs) yang memiliki aktivitas antivirus, antifungi, antibakteri, dan

  33

  antiprotozoa. Asam linoleat merupakan salah satu asam lemak tak jenuh ganda yang paling penting pada makanan manusia karena dapat mencegah penyakit

  34

  kardiovaskular. Kandungan asam lemak tak jenuh tersebut dipercaya menurunkan peroksidasi lemak dan memiliki sifat anti-inflamasi. Kemampuan menurunkan peroksidasi lemak dan sifat antioksidan pada minyak kelapa mampu mengurangi injuri radikal bebas yang dihasilkan dari proses fagositosis bakteri oleh neutrofil. Sifat anti-inflamasi dan kemampuan mengurangi injuri radikal bebas tersebut akan

  6,35 mengurangi inflamasi gingiva.

2.6 Kerangka Teori

  Asam Laurat

  Universitas Sumatera Utara

  Mengurangi inflamasi gingiva Penurunan jumlah koloni bakteri

  Mengurangi injuri radikal bebas

  Antioksidan Asam Linoleat

  Mengurangi peroksidasi lemak

  Tak jenuh Anti inflamasi

  Antibakteri Asam Oleat

  Berkumur dengan Metode Oil Pulling Menggunakan Minyak Kelapa Agen pembersih

  Viskositas Hidrolisis alkali Hambat adhesi bakteri

  Asam Kaprilat

  Tocotrienols Flavonoids Tocopherols

  Asam lemak Jenuh

  Kemis Skor gingivitis menurun

  Hambat pembentukan plak Mekanis

  Saponifikasi Agen pengemulsi

  Cegah koagregasi plak

  Asam Kaprat

2.7 Kerangka Konsep Variabel Bebas: Variabel Terikat:

  Minyak kelapa yang  Skor indeks plak dikumur dengan metode oil  Skor indeks gingiva

  pulling Variabel Terkendali: Variabel Tak Terkendali:

   Volume minyak kelapa  Diet  Lama berkumur dengan metode oil pulling  Frekuensi berkumur dengan metode oil pulling  Frekuensi dan waktu menyikat gigi  Metode menyikat gigi 

Dokumen yang terkait

Gambaran Maloklusi dan Kebiasaan Buruk Pada Anak Sindroma Down Usia 6-18 Tahun di SLB-C Kota Medan

0 0 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sindrom Down 2.1.1 Definisi dan Karakteristik Sindrom Down - Gambaran Maloklusi dan Kebiasaan Buruk Pada Anak Sindroma Down Usia 6-18 Tahun di SLB-C Kota Medan

0 1 15

6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kriptografi

0 0 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pernafasan Normal - Perbedaan Nilai Skeletal Dalam Arah Vertikal Antara Pola Pernafasan Normal Dan Pernafasan Melalui Mulut Pada Pasien Di Klinik Ortodonti Rsgmp Fkg Usu Tahun 2009-2013

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pasar Modal - Studi Empiris Terhadap Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Return Saham Perusahaan yang Indeks LQ45 di Indonesia

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Studi Empiris Terhadap Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Return Saham Perusahaan yang Indeks LQ45 di Indonesia

0 0 11

Studi Empiris Terhadap Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Return Saham Perusahaan yang Indeks LQ45 di Indonesia

0 0 11

II. PENGETAHUAN GIZI - Hubungan Pengetahuan Gizi dan Pola Makan Remaja Putri Dengan Kejadian Anemia Di SMP Negeri 2 Kota Pinang Kabupaten Labuhan Batu Selatan Tahun 2014

0 0 47

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja Putri - Hubungan Pengetahuan Gizi dan Pola Makan Remaja Putri Dengan Kejadian Anemia Di SMP Negeri 2 Kota Pinang Kabupaten Labuhan Batu Selatan Tahun 2014

0 10 23

HUBUNGAN PENGETAHUAN GIZI DAN POLA MAKAN PADA REMAJA PUTRI DENGAN KEJADIAN ANEMIA DI SMP NEGERI 2 KOTA PINANG KABUPATEN LABUHAN BATU SELATAN TAHUN 2014

0 0 16