ASPEK HUKUM ASPEK HUKUM DAN DAN MANAJEME
ASPEK HUKUM
DAN
MANAJEMEN KONTRAK
PERKEMBANGAN
INDUSTRI JASA KONSTRUKSI
DI INDONESIA
Periode 1945 – 1950
Periode 1951 – 1959
Periode 1960 – 1966
Periode 1967 – 1996
Periode 1997 – 2002
Periode Setelah Belakunya
UU No
No.. 18 Th 1999
Periode 1945 - 1950
Pada periode ini industri jasa konstruksi belum tumbuh
dan berkembang karena negeri kita masih sibuk
menghadapi usaha Belanda yang ingin menjajah
kembali yang dikenal dengan Agresi Belanda.
Perusahaan jasa konstruksi yang ada pada periode ini
kebanyakan adalah perusahaan belanda seperti :
NV de Hollandshe Beton Maatschappij
NV Associatie
NV Nederlandshe Aanneming Maatschappij
NV Volker Aanneming Maatschappij, dll
Perusahaan swasta milik pribumi, diantaranya :
NV KAMID
Pemborong M. Zain, dll
Periode 1951 – 1959
Pada periode ini sistem pemerintahan
menggunakan sistem Kabinet Parlementer,
dimana
kabinet
sering
berganti-ganti,
pemerintahan tidak pernah stabil;
Praktis dalam periode ini industri jasa konstruksi
tetap masih belum bangkit, kalaupun ada masih
berskala kecil.
Perencanaan pembangunan yang definitif
belum ada.
Bentuk kontrak mengacu kepada satu-satunya
ketentuan warisan Belanda, yaitu AV-41
Periode 1960 – 1966
Pada periode ini mulai berkembangnya jasa
konstruksi
Pembangunan langsung dikomando sendiri oleh
Presiden Soekarno dengan nama “Proyekproyek Mandataris” seperti pembangunan :
MONAS
Monumen Pembebasan Irian Barat
Hotel Indonesia
Samudera Beach Hotel
Sarinah
Wisma Nusantara
Jembatan Semanggi
Gelora Senayan, dll
Contoh Proyek Mandataris
Monumen
Nasional
Monumen
Pembebasan Irian Barat
Contoh Proyek Mandataris
Samudera Beach Hotel
Hotel Indonesia
Contoh Proyek Mandataris
Gedung Sarinah
Wisma Nusantara
Contoh Proyek Mandataris
Jembatan Semanggi
Stadion Senayan
Periode 1960 – 1966 (lanjutan ...)
Bentuk kontrak konstruksi masih sangat
sederhana dan belum terlalu rumit.
Para Penyedia Jasa/Kontraktor Pelaksana
umumnya adalah Perusahaan Negara (PN) yang
berasal dari perusahaan milik Belanda yang
dinasionalisasikan oleh pemerintah, seperti :
NV Hollandshe Beton Maatschappij/HBM (sekarang PT.
Hutama Karya)
NV Associatie (sekarang PT Adhi Karya)
NV Nederlandshe Aanneming Maatschappij/NEDAM
(sekarang PT. Nindya Karya),
NV Volker Aanneming Maatschappij (sekarang PT.
Waskita Karya), dll.
Periode 1960 – 1966 (lanjutan ...)
Sampai tahun 1966 bentuk kontrak umumnya Cost
Plus Fee.
Pekerjaan langsung ditunjuk pemerintah (tanpa
tender), sehingga persaingan diantara para
Penyedian Jasa tidak ada sama sekali.
Setelah itu tahun 1966 Pemerintah melarang
kontrak cost plus fee.
Proyek-proyek
umumnya dilaksanakan tidak
mengacu pada suatu rencana yang definitif ,
Orientasi proyek lebih ditujukan pada prestise dan
tidak memberi manfaat yang besar pada
kesejahteraan rakyat, kecuali beberapa proyek
seperti :
Bendungan Jariluhur,
Bendungan Karangkates.
Contoh Proyek Mandataris
Bendungan Jati luhur
Bendungan Karangkates
Periode 1960 – 1966 (lanjutan ...)
Para Penyedia Jasa langsung ditunjuk oleh
Pemerintah (Presiden).
Oleh karena Bung Karno seorang sarjana teknik
sipil yang brilian maka beliau sangat mahir
memilih calon Penyedia Jasa sesuai bidang
keahlian masing-masing. Contohya :
Pekerjaan yang memiliki banyak kandungan beton mutu
tinggi diserahkan kepada PT. Hutama Karya yang
terkenal sebagai ahli beton. (mis : Jembt Semanggi, Jati
luhur, Airport Ngurah Rai)
Pembangunan hotel-hotel diserahkan kepada PT.
Pembangunan Perumahan.
Pembangunan gedung-gedung diserahkan kepada PT.
Adhy Karya, dst.
Periode 1960 – 1966 (lanjutan ...)
Penunjukan secara langsung para Penyedia Jasa untuk
melaksanakan proyek ini menyebabkan tidak adanya
persaingan usaha sama sekali diantara Perusahaan
Negara tersebut.
Sehingga sukar untuk mengukur tingkat efisiensi
pekerjaannya.
Kontrak-kontrak konstruksi umumnya masih sangat
sederhana, dapat dikatakan lebih bersifat formalitas
bukannya sebagai pegangan atau acuan bagi Penyedia
atau Pengguna Jasa.
Peran sektor swasta dalam pelaksanaan proyek hampir
tidak ada,
Hampir seluruh proyek milik pemerintah dikerjakan oleh
perusahaan-perusahaan Pemerintah pula.
Pada masa itu tidak ada Penyedia Jasa yang mengajukan
klaim, seolah-olah merupakan suatu hal yang tabu.
Periode 1967 - 1996
Pada periode ini tepatnya tahun 1969, Pemerintah
menerapkan suatu program pembangunan yang
terencana.
Program ini dikenal dengan nama Pembangunan
Jangka Panjang Tahap I (PJPI) 1969 – 1994 yang terdiri
dari 5 (lima) Rencana Pembangunan Lima Tahun
(REPELITA), yaitu :
REPELITA I
REPELITA II
REPELITA III
REPELITA IV
REPELITA V
: 1969 – 1974
: 1974 – 1979
: 1979 – 1984
: 1984 – 1989
: 1989 – 1994
Setelah tahun 1994 kita memasuki Pembangunan
Jangka Panjang Tahap II (PJP II) 1994 – 2019 yang
dimulai dengan Repelita VI : 1994 – 1999.
Periode 1967 – 1996 (lanjutan ...)
Dalam periode ini kira-kira tahun 1970, dikenal
sebagai awal dari kebangkitan industri jasa konstruksi.
Perusahaan-perusahaan konstruksi seperti Hutama
Karya, Adhi Karya, Wijaya Karya, Waskita Karya,
Nindya Karya diubah statusnya dari Perusahaan
Negara (PN) menjadi Persero berbentuk PT dengan
sebutan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pekerjaan/proyek tidak lagi ditunjuk tapi sudah mulai
ditenderkan.
Persaingan sudah mulai tumbuh , sektor swasta sudah
mulai ikut serta.
BUMN-BUMN tidak dapat lagi mengandalkan nama
besar , mereka benar-benar dituntut untuk bersaing
secara profesional bukan saja antar sesama BUMN
tetapi juga dengan perusahaan swasta.
Periode 1967 – 1996 (lanjutan ...)
Dapat dikatakan bahwa keberhasilan PJPI telah
memberikan dampak positif bagi perkembangan
industri jasa konstruksi kita.
Hal ini terbukti dari sumbangan industri jasa
konstruksi dalam Pendapatan Domestik Bruto (PDB)
tahun ke tahun.
Dari data statistik yang diperoleh dari BPS diketahui
bahwa antara tahun 1980 – 1985 kontribusi sektor
jasa konstruksi adalah sebesar 5,55% dari PDB dan
melonjak menjadi 8% (1,5) pada tahun 1985 – 1990.
Apabila sektor industri jasa konstruksi pada tahun
1980 mencapai jumlah Rp 2,5 trilyun dari PDB yang
berjumlah Rp 45,5 trilyun (6%) maka pada tahun 1990
nilainya telah melonjak menjadi Rp 10,7 trilyun dari
jumlah PDB sebesar Rp 195,6 trilyun.
Periode 1967 – 1996 (lanjutan ...)
Tahun 1996 sumbangan industri jasa konstruksi
meningkat lagi menjadi Rp 34,4 trilyun dari jumlah
PDB sebesar Rp 454,5 trilyun (8%) bahkan setahun
sebelum krisisis moneter, yaitu tahun 1996, kontribusi
sektor industri jasa konstruksi mencapai Rp 42 trilyun.
Terlihat bahwa PDB sebesar Rp 45,4 trilyun tahun
1980 meningkat menjadi Rp 454,5 trilyun pada tahun
1995 (naik 10 kali lipat), sedangkan industri jasa
konstruksi yang berjumlah Rp 2,5 trilyun di tahun 1980
melonjak menjadi Rp 34,4 trilyun tahun 1996
(pertumbuhan senilai 15 kali lipat)
Oleh karena itu tidak salah bila dikatakan bahwa
industri jasa konstruksi telah menjadi “mesin
pertumbuhan “ (engine of growth) atau sering kita
dengar dengan istilah “Lokomotif Pembangunan”.
Periode 1997 - 2002
Pada pertengahan tahun 1997 terjadi krisis moneter,
industri jasa konstruksi mengalami goncangan yang sangat
hebat setelah berkembang dengan sangat cepat selama
kurun waktu 30 tahun.
Proyek-proyek mendadak berhenti .
Penguna Jasa tidak mampu menbayar Penyedia Jasa
karena Lembaga-lembaga Pembayaran seperti Bank ikut
ambruk .
Penyedia Jasa terutama dari sektor swasta banyak yang
bangkrut, pengangguran mulai bertambah.
Krisis moneter tahun 1997 ini menyebabkan pertumbuhan
PDB sebesar – 13,01% dan sektor industri jasa konstruksi –
36,46%.
Industri jasa konstruksi pada tahun 1998 jatuh dan
menurun drastis sejalan dengan hilangnya para investor
dari Indonesia.
Periode 1997 – 2002 (lanjutan ...)
Selanjutnya pada periode 1998 – 2002 praktis industri jasa
kontruksi masih belum berhasil tumbuh/bangkit kembali
walaupun krisis moneter telah berlangsung lebih dari
empat tahun.
Situasi dan kondisi tanah air yang belum kondusif
menyebabkan para calon investor sebagai penyandang
dana belum bersedia menanamkan modalnya kembali ke
Indonesia .
Satu-satunya ajang bagi industri jasa konstruksi yang
mungkin masih dapat diharapkan untuk bangkit kembali
adalah ajang pembangunan di daerah yang berpotensi
(kawasan Indonesia Timur) dan sebagian Sumatera.
Namun dengan adanya Otonomi Daerah, daerah-daerah
yag kaya mulai menunjukkan kemandiriannya antara lain
dengan membuat batasan/aturan yang mempersulit calon
Penyedia Jasa Nasional masuk ke daerah tertentu.
Periode 1997 – 2002 (lanjutan ...)
Sebagai dampak dari krisis moneter tahun 1997 ,
dalam periode tersebut mulai muncul masalah
sehubungan dengan klaim konstruksi yang selama ini
dianggap tabu.
Kondisi menjadi semakin sulit karena banyak sekali
kontrak konstruksi yang cacat hukum, lemah atau
tidak adil dan setara.
Banyak diantara klaim ini akhirnya dapat diselesaikan
melalui Arbitrase (BANI/Ad Hoc).
Pada tahun 1999 Pemerintah membuat peraturan
perundang-undangan
mengenai
industri
jasa
konstruksi, yaitu Undang-undang No. 18 Tahun 1999
tentang Jasa Konstruksi, diikuti dengan 3 (tiga) PP
pelaksananya No. 28, 29, dan 30 Tahun 2000.
Periode Setelah Berlakunya UU No. 18
Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi
Industri Jasa Konstruksi di Indonesia mulai diatur
secara komprehensif, pasca reformasi politik, yaitu
melalui UU No 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi.
Tujuan dari UU No 18 Tahun 1999 adalah :
Memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan
Industri Jasa Konstruksi Nasional
Mewujudkan struktur usaha yang kokoh,
andal,
berdaya saing tinggi,
dan hasil pekerjaan yang
berkualitas
Tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi
Kesetaraan antara pengguna dan penyedia jasa
konstruksi
Kepatuhan pada ketentuan perundangan
Peran masyarakat di bidang jasa konstruksi meningkat
Periode Setelah Berlakunya UU No. 18
Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi
Selanjutnya, terbit Peraturan pelaksananya yang
terdiri dari PP No 28/2000 Tentang Usaha dan Peran
Masyarakat Jasa Konstruksi, PP No 29/2000 Tentang
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, dan PP No 30/2000
Tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi.
Sejak terbitnya UU Jasa Konstruksi dan aturan
turunannya, peran masyarakat
jasa konstruksi
semakin meningkat, antara lain dengan :
Terbentuknya Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi
(LPJK) yang bertujuan untuk mengembangkan kegiatan
jasa konstruksi nasional. dan
Meningkatnya jumlah Pengusaha Jasa Konstruksi dan
jumlah Assosiasi Jasa Konstruksi dalam tubuh LPJK
Periode Setelah Berlakunya UU No. 18 Th 99
Saat ini jumlah asosiasi perusahaan yang menjadi
anggota LPJK sebanyak 39 asosiasi, sedangkan asosiasi
profesi berjumlah 41 asosiasi.
Yang cukup menarik untuk diamati, asosiasi baru yang
muncul bukan saja asosiasi-asosiasi yang lebih
spesialis bidangnya, tetapi juga asosiasi-asosiasi
sejenis yang sudah ada dan bersifat umum.
Padahal sebelum diberlakukannya UU Jasa Konstruksi,
kita hanya mengenal Gapensi dan AKI sebagai asosiasi
perusahaan kontraktor dan Inkindo untuk asosiasi
perusahaan konsultan.
Disinyalir munculnya asosiasi baru bukan karena
kebutuhan anggota, tetapi seringkali karena merupakan
tandingan dari asosiasi yang sudah ada akibat adanya
konflik di tingkat elit pengurus asosiasi.
Periode Setelah Berlakunya UU No. 18 Th 99
Adanya aturan UU Jasa Konstruksi yang membuka
peluang bagi asosiasi yang menjadi anggota LPJK
untuk melakukan sertifikasi, diduga menjadi salah
satu daya tarik berdirinya asosiasi-asoisasi, karena
asosiasi lebih menjadi semacam profit-center
daripada services-center.
Kondisi semacam itu menyebabkan asosiasi-asosiasi
tidak optimal atau bahkan merasa tidak perlu
melakukan peningkatan profesionalisme anggota.
Karena tanpa menjalankan fungsi pembinaan,
asosiasi-asosiasi
tetap
dibutuhkan
karena
sertifikatnya dapat memenuhi persyaratan dalam
proses pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Periode Setelah Berlakunya UU No. 18 Th 99
Dengan adanya dua kewenangan utamanya LPJK
yakni :
melakukan sertifikasi profesi dan
sertifikasi badan usaha jasa konstruksi,
Dalam praktek di lapangan seringkali kewenangan ini
dijadikan sandaran bagi munculnya perilaku yang
bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1999, antara
lain dalam bentuk hadirnya entry barrier berupa
kesulitan mendapatkan sertifikasi badan usaha
dalam bidang tertentu.
Hal ini ternyata bersumber dari keberadaan LPJK
yang anggotanya selain terdiri dari akademisi dan
Pemerintah yang independen, juga beranggotakan
pelaku usaha.
Periode Setelah Berlakunya UU No. 18 Th 99
Spirit dari UU Jasa Konstruksi adalah :
untuk memberikan arah pertumbuhan dan
perkembangan jasa konstruksi
untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal,
berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi
yang berkualitas,
dimana Asosiasi sebagai ujung tombak dalam
pembinaan profesionalisme penyedia jasa
konstruksi.
Kegundahan tentang perkembangan asosiasi
yang kontra produktif terhadap spirit UU Jasa
Konstruksi, memicu munculnya gagasan perlunya
dilakukan revisi terhadap aturan yang ada.
Rencana Perubahan PP No 28 Th 2000
Pemerintah tampaknya telah menyadari persoalan
yang terjadi dalam industri jasa konstruksi
Untuk itu Pemerintah secara pro aktif saat ini
tengah menyiapkan perubahan terhadap PP No 28
Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Serta
Masyarakat Jasa Konstruksi, yang dianggap menjadi
salah satu sumber munculnya perkembangan yang
tidak kondusif dalam industri jasa konstruksi.
Dengan harapan perbaikan terhadap kebijakan
tersebut dapat mereduksi nilai-nilai negatif
termasuk perilaku yang bertentangan dengan
prinsip persaingan usaha tidak sehat dalam industri
jasa konstruksi.
PP No 04 Th 2010
Terbitnya PP No. 04 Tahun 2010 Tentang
Perubahan PP No. 28 Tahun 2000 Tentang
Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi
merupakan isu yang panas dikalangan asosiasi
jasa konstruksi saat ini.
Banyak muncul pro dan kontra antar asosiasi
yang tergabung dalam LPJK.
Kontroversi tersebut terkait dengan isi PP No.
04 Th 2010 yang oleh sementara pihak dituduh
berupaya memarjinalkan fungsi asosiasi dan
LPJK, dan semakin dominannya fungsi
pemerintah cq Departemen PU dan Pemda.
PP No 04 Th 2010
Isi PP No 04 Th 2010 yang dianggap terkait
dengan hal tersebut antara lain :
1. Pembentukan Sekretariat Lembaga yang
merupakan unit Kerja Pemerintah.
2. Proses sertifikasi melalui Unit sertifikasi yang
dibentuk oleh lembaga. Hal ini dipandang dapat
mengancam peran asosiasi dalam melakukan
sertifikasi.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemilihan pengurus, masa bakti, tugas pokok dan
fungsi, serta mekanisme kerja Lembaga diatur
dalam peraturan Menteri.
Hal ini menunjukan peran pemerintah akan sangat
menentukan proses pembentukan pengurus LPJK.
Dukungan terhadap PP No 04 Th 2010
Inkindo bersama enam asosiasi perusahaan
telah menyatakan dukungannya terhadap
terbitnya PP No 4 Tahun 2010.
Alasan dukungan tersebut adalah karena PP No
04 Tahun 2010 tersebut bertujuan untuk
melakukan penataan terhadap asosiasi dan
penyelenggaraan proses sertifikasi yang
akuntabel,
sehingga usaha jasa konstruksi nasional mampu
bersaing dengan usaha jasa konstruksi asing.
Dukungan terhadap PP No 04 Th 2010
Penataan asosiasi penting dilakukan, karena asosiasi
memiliki fungsi mendasar, yaitu :
untuk melakukan pembinaan anggotanya, baik aspek
profesionalisme, pengembangan pasar, dan perlindungan
maupun penegakkan etika profesi.
Dengan demikian fungsi Asosiasi bukan hanya
memproduksi KTA dan SBU/SKA semata.
Iuran Anggota dan biaya sertifikasi harus dikembalikan
lagi ke anggota dalam bentuk penyelenggaraan
program-program organisasi yang bermanfaat bagi
pengembangan kapasitas anggota.
Pada hakekatnya asosiasi adalah pusat pelayanan
(service-center) bukan pusat keuntungan (profitcenter)
sebagaimana layaknya badan usaha komersial.
DAN
MANAJEMEN KONTRAK
PERKEMBANGAN
INDUSTRI JASA KONSTRUKSI
DI INDONESIA
Periode 1945 – 1950
Periode 1951 – 1959
Periode 1960 – 1966
Periode 1967 – 1996
Periode 1997 – 2002
Periode Setelah Belakunya
UU No
No.. 18 Th 1999
Periode 1945 - 1950
Pada periode ini industri jasa konstruksi belum tumbuh
dan berkembang karena negeri kita masih sibuk
menghadapi usaha Belanda yang ingin menjajah
kembali yang dikenal dengan Agresi Belanda.
Perusahaan jasa konstruksi yang ada pada periode ini
kebanyakan adalah perusahaan belanda seperti :
NV de Hollandshe Beton Maatschappij
NV Associatie
NV Nederlandshe Aanneming Maatschappij
NV Volker Aanneming Maatschappij, dll
Perusahaan swasta milik pribumi, diantaranya :
NV KAMID
Pemborong M. Zain, dll
Periode 1951 – 1959
Pada periode ini sistem pemerintahan
menggunakan sistem Kabinet Parlementer,
dimana
kabinet
sering
berganti-ganti,
pemerintahan tidak pernah stabil;
Praktis dalam periode ini industri jasa konstruksi
tetap masih belum bangkit, kalaupun ada masih
berskala kecil.
Perencanaan pembangunan yang definitif
belum ada.
Bentuk kontrak mengacu kepada satu-satunya
ketentuan warisan Belanda, yaitu AV-41
Periode 1960 – 1966
Pada periode ini mulai berkembangnya jasa
konstruksi
Pembangunan langsung dikomando sendiri oleh
Presiden Soekarno dengan nama “Proyekproyek Mandataris” seperti pembangunan :
MONAS
Monumen Pembebasan Irian Barat
Hotel Indonesia
Samudera Beach Hotel
Sarinah
Wisma Nusantara
Jembatan Semanggi
Gelora Senayan, dll
Contoh Proyek Mandataris
Monumen
Nasional
Monumen
Pembebasan Irian Barat
Contoh Proyek Mandataris
Samudera Beach Hotel
Hotel Indonesia
Contoh Proyek Mandataris
Gedung Sarinah
Wisma Nusantara
Contoh Proyek Mandataris
Jembatan Semanggi
Stadion Senayan
Periode 1960 – 1966 (lanjutan ...)
Bentuk kontrak konstruksi masih sangat
sederhana dan belum terlalu rumit.
Para Penyedia Jasa/Kontraktor Pelaksana
umumnya adalah Perusahaan Negara (PN) yang
berasal dari perusahaan milik Belanda yang
dinasionalisasikan oleh pemerintah, seperti :
NV Hollandshe Beton Maatschappij/HBM (sekarang PT.
Hutama Karya)
NV Associatie (sekarang PT Adhi Karya)
NV Nederlandshe Aanneming Maatschappij/NEDAM
(sekarang PT. Nindya Karya),
NV Volker Aanneming Maatschappij (sekarang PT.
Waskita Karya), dll.
Periode 1960 – 1966 (lanjutan ...)
Sampai tahun 1966 bentuk kontrak umumnya Cost
Plus Fee.
Pekerjaan langsung ditunjuk pemerintah (tanpa
tender), sehingga persaingan diantara para
Penyedian Jasa tidak ada sama sekali.
Setelah itu tahun 1966 Pemerintah melarang
kontrak cost plus fee.
Proyek-proyek
umumnya dilaksanakan tidak
mengacu pada suatu rencana yang definitif ,
Orientasi proyek lebih ditujukan pada prestise dan
tidak memberi manfaat yang besar pada
kesejahteraan rakyat, kecuali beberapa proyek
seperti :
Bendungan Jariluhur,
Bendungan Karangkates.
Contoh Proyek Mandataris
Bendungan Jati luhur
Bendungan Karangkates
Periode 1960 – 1966 (lanjutan ...)
Para Penyedia Jasa langsung ditunjuk oleh
Pemerintah (Presiden).
Oleh karena Bung Karno seorang sarjana teknik
sipil yang brilian maka beliau sangat mahir
memilih calon Penyedia Jasa sesuai bidang
keahlian masing-masing. Contohya :
Pekerjaan yang memiliki banyak kandungan beton mutu
tinggi diserahkan kepada PT. Hutama Karya yang
terkenal sebagai ahli beton. (mis : Jembt Semanggi, Jati
luhur, Airport Ngurah Rai)
Pembangunan hotel-hotel diserahkan kepada PT.
Pembangunan Perumahan.
Pembangunan gedung-gedung diserahkan kepada PT.
Adhy Karya, dst.
Periode 1960 – 1966 (lanjutan ...)
Penunjukan secara langsung para Penyedia Jasa untuk
melaksanakan proyek ini menyebabkan tidak adanya
persaingan usaha sama sekali diantara Perusahaan
Negara tersebut.
Sehingga sukar untuk mengukur tingkat efisiensi
pekerjaannya.
Kontrak-kontrak konstruksi umumnya masih sangat
sederhana, dapat dikatakan lebih bersifat formalitas
bukannya sebagai pegangan atau acuan bagi Penyedia
atau Pengguna Jasa.
Peran sektor swasta dalam pelaksanaan proyek hampir
tidak ada,
Hampir seluruh proyek milik pemerintah dikerjakan oleh
perusahaan-perusahaan Pemerintah pula.
Pada masa itu tidak ada Penyedia Jasa yang mengajukan
klaim, seolah-olah merupakan suatu hal yang tabu.
Periode 1967 - 1996
Pada periode ini tepatnya tahun 1969, Pemerintah
menerapkan suatu program pembangunan yang
terencana.
Program ini dikenal dengan nama Pembangunan
Jangka Panjang Tahap I (PJPI) 1969 – 1994 yang terdiri
dari 5 (lima) Rencana Pembangunan Lima Tahun
(REPELITA), yaitu :
REPELITA I
REPELITA II
REPELITA III
REPELITA IV
REPELITA V
: 1969 – 1974
: 1974 – 1979
: 1979 – 1984
: 1984 – 1989
: 1989 – 1994
Setelah tahun 1994 kita memasuki Pembangunan
Jangka Panjang Tahap II (PJP II) 1994 – 2019 yang
dimulai dengan Repelita VI : 1994 – 1999.
Periode 1967 – 1996 (lanjutan ...)
Dalam periode ini kira-kira tahun 1970, dikenal
sebagai awal dari kebangkitan industri jasa konstruksi.
Perusahaan-perusahaan konstruksi seperti Hutama
Karya, Adhi Karya, Wijaya Karya, Waskita Karya,
Nindya Karya diubah statusnya dari Perusahaan
Negara (PN) menjadi Persero berbentuk PT dengan
sebutan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pekerjaan/proyek tidak lagi ditunjuk tapi sudah mulai
ditenderkan.
Persaingan sudah mulai tumbuh , sektor swasta sudah
mulai ikut serta.
BUMN-BUMN tidak dapat lagi mengandalkan nama
besar , mereka benar-benar dituntut untuk bersaing
secara profesional bukan saja antar sesama BUMN
tetapi juga dengan perusahaan swasta.
Periode 1967 – 1996 (lanjutan ...)
Dapat dikatakan bahwa keberhasilan PJPI telah
memberikan dampak positif bagi perkembangan
industri jasa konstruksi kita.
Hal ini terbukti dari sumbangan industri jasa
konstruksi dalam Pendapatan Domestik Bruto (PDB)
tahun ke tahun.
Dari data statistik yang diperoleh dari BPS diketahui
bahwa antara tahun 1980 – 1985 kontribusi sektor
jasa konstruksi adalah sebesar 5,55% dari PDB dan
melonjak menjadi 8% (1,5) pada tahun 1985 – 1990.
Apabila sektor industri jasa konstruksi pada tahun
1980 mencapai jumlah Rp 2,5 trilyun dari PDB yang
berjumlah Rp 45,5 trilyun (6%) maka pada tahun 1990
nilainya telah melonjak menjadi Rp 10,7 trilyun dari
jumlah PDB sebesar Rp 195,6 trilyun.
Periode 1967 – 1996 (lanjutan ...)
Tahun 1996 sumbangan industri jasa konstruksi
meningkat lagi menjadi Rp 34,4 trilyun dari jumlah
PDB sebesar Rp 454,5 trilyun (8%) bahkan setahun
sebelum krisisis moneter, yaitu tahun 1996, kontribusi
sektor industri jasa konstruksi mencapai Rp 42 trilyun.
Terlihat bahwa PDB sebesar Rp 45,4 trilyun tahun
1980 meningkat menjadi Rp 454,5 trilyun pada tahun
1995 (naik 10 kali lipat), sedangkan industri jasa
konstruksi yang berjumlah Rp 2,5 trilyun di tahun 1980
melonjak menjadi Rp 34,4 trilyun tahun 1996
(pertumbuhan senilai 15 kali lipat)
Oleh karena itu tidak salah bila dikatakan bahwa
industri jasa konstruksi telah menjadi “mesin
pertumbuhan “ (engine of growth) atau sering kita
dengar dengan istilah “Lokomotif Pembangunan”.
Periode 1997 - 2002
Pada pertengahan tahun 1997 terjadi krisis moneter,
industri jasa konstruksi mengalami goncangan yang sangat
hebat setelah berkembang dengan sangat cepat selama
kurun waktu 30 tahun.
Proyek-proyek mendadak berhenti .
Penguna Jasa tidak mampu menbayar Penyedia Jasa
karena Lembaga-lembaga Pembayaran seperti Bank ikut
ambruk .
Penyedia Jasa terutama dari sektor swasta banyak yang
bangkrut, pengangguran mulai bertambah.
Krisis moneter tahun 1997 ini menyebabkan pertumbuhan
PDB sebesar – 13,01% dan sektor industri jasa konstruksi –
36,46%.
Industri jasa konstruksi pada tahun 1998 jatuh dan
menurun drastis sejalan dengan hilangnya para investor
dari Indonesia.
Periode 1997 – 2002 (lanjutan ...)
Selanjutnya pada periode 1998 – 2002 praktis industri jasa
kontruksi masih belum berhasil tumbuh/bangkit kembali
walaupun krisis moneter telah berlangsung lebih dari
empat tahun.
Situasi dan kondisi tanah air yang belum kondusif
menyebabkan para calon investor sebagai penyandang
dana belum bersedia menanamkan modalnya kembali ke
Indonesia .
Satu-satunya ajang bagi industri jasa konstruksi yang
mungkin masih dapat diharapkan untuk bangkit kembali
adalah ajang pembangunan di daerah yang berpotensi
(kawasan Indonesia Timur) dan sebagian Sumatera.
Namun dengan adanya Otonomi Daerah, daerah-daerah
yag kaya mulai menunjukkan kemandiriannya antara lain
dengan membuat batasan/aturan yang mempersulit calon
Penyedia Jasa Nasional masuk ke daerah tertentu.
Periode 1997 – 2002 (lanjutan ...)
Sebagai dampak dari krisis moneter tahun 1997 ,
dalam periode tersebut mulai muncul masalah
sehubungan dengan klaim konstruksi yang selama ini
dianggap tabu.
Kondisi menjadi semakin sulit karena banyak sekali
kontrak konstruksi yang cacat hukum, lemah atau
tidak adil dan setara.
Banyak diantara klaim ini akhirnya dapat diselesaikan
melalui Arbitrase (BANI/Ad Hoc).
Pada tahun 1999 Pemerintah membuat peraturan
perundang-undangan
mengenai
industri
jasa
konstruksi, yaitu Undang-undang No. 18 Tahun 1999
tentang Jasa Konstruksi, diikuti dengan 3 (tiga) PP
pelaksananya No. 28, 29, dan 30 Tahun 2000.
Periode Setelah Berlakunya UU No. 18
Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi
Industri Jasa Konstruksi di Indonesia mulai diatur
secara komprehensif, pasca reformasi politik, yaitu
melalui UU No 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi.
Tujuan dari UU No 18 Tahun 1999 adalah :
Memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan
Industri Jasa Konstruksi Nasional
Mewujudkan struktur usaha yang kokoh,
andal,
berdaya saing tinggi,
dan hasil pekerjaan yang
berkualitas
Tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi
Kesetaraan antara pengguna dan penyedia jasa
konstruksi
Kepatuhan pada ketentuan perundangan
Peran masyarakat di bidang jasa konstruksi meningkat
Periode Setelah Berlakunya UU No. 18
Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi
Selanjutnya, terbit Peraturan pelaksananya yang
terdiri dari PP No 28/2000 Tentang Usaha dan Peran
Masyarakat Jasa Konstruksi, PP No 29/2000 Tentang
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, dan PP No 30/2000
Tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi.
Sejak terbitnya UU Jasa Konstruksi dan aturan
turunannya, peran masyarakat
jasa konstruksi
semakin meningkat, antara lain dengan :
Terbentuknya Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi
(LPJK) yang bertujuan untuk mengembangkan kegiatan
jasa konstruksi nasional. dan
Meningkatnya jumlah Pengusaha Jasa Konstruksi dan
jumlah Assosiasi Jasa Konstruksi dalam tubuh LPJK
Periode Setelah Berlakunya UU No. 18 Th 99
Saat ini jumlah asosiasi perusahaan yang menjadi
anggota LPJK sebanyak 39 asosiasi, sedangkan asosiasi
profesi berjumlah 41 asosiasi.
Yang cukup menarik untuk diamati, asosiasi baru yang
muncul bukan saja asosiasi-asosiasi yang lebih
spesialis bidangnya, tetapi juga asosiasi-asosiasi
sejenis yang sudah ada dan bersifat umum.
Padahal sebelum diberlakukannya UU Jasa Konstruksi,
kita hanya mengenal Gapensi dan AKI sebagai asosiasi
perusahaan kontraktor dan Inkindo untuk asosiasi
perusahaan konsultan.
Disinyalir munculnya asosiasi baru bukan karena
kebutuhan anggota, tetapi seringkali karena merupakan
tandingan dari asosiasi yang sudah ada akibat adanya
konflik di tingkat elit pengurus asosiasi.
Periode Setelah Berlakunya UU No. 18 Th 99
Adanya aturan UU Jasa Konstruksi yang membuka
peluang bagi asosiasi yang menjadi anggota LPJK
untuk melakukan sertifikasi, diduga menjadi salah
satu daya tarik berdirinya asosiasi-asoisasi, karena
asosiasi lebih menjadi semacam profit-center
daripada services-center.
Kondisi semacam itu menyebabkan asosiasi-asosiasi
tidak optimal atau bahkan merasa tidak perlu
melakukan peningkatan profesionalisme anggota.
Karena tanpa menjalankan fungsi pembinaan,
asosiasi-asosiasi
tetap
dibutuhkan
karena
sertifikatnya dapat memenuhi persyaratan dalam
proses pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Periode Setelah Berlakunya UU No. 18 Th 99
Dengan adanya dua kewenangan utamanya LPJK
yakni :
melakukan sertifikasi profesi dan
sertifikasi badan usaha jasa konstruksi,
Dalam praktek di lapangan seringkali kewenangan ini
dijadikan sandaran bagi munculnya perilaku yang
bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1999, antara
lain dalam bentuk hadirnya entry barrier berupa
kesulitan mendapatkan sertifikasi badan usaha
dalam bidang tertentu.
Hal ini ternyata bersumber dari keberadaan LPJK
yang anggotanya selain terdiri dari akademisi dan
Pemerintah yang independen, juga beranggotakan
pelaku usaha.
Periode Setelah Berlakunya UU No. 18 Th 99
Spirit dari UU Jasa Konstruksi adalah :
untuk memberikan arah pertumbuhan dan
perkembangan jasa konstruksi
untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal,
berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi
yang berkualitas,
dimana Asosiasi sebagai ujung tombak dalam
pembinaan profesionalisme penyedia jasa
konstruksi.
Kegundahan tentang perkembangan asosiasi
yang kontra produktif terhadap spirit UU Jasa
Konstruksi, memicu munculnya gagasan perlunya
dilakukan revisi terhadap aturan yang ada.
Rencana Perubahan PP No 28 Th 2000
Pemerintah tampaknya telah menyadari persoalan
yang terjadi dalam industri jasa konstruksi
Untuk itu Pemerintah secara pro aktif saat ini
tengah menyiapkan perubahan terhadap PP No 28
Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Serta
Masyarakat Jasa Konstruksi, yang dianggap menjadi
salah satu sumber munculnya perkembangan yang
tidak kondusif dalam industri jasa konstruksi.
Dengan harapan perbaikan terhadap kebijakan
tersebut dapat mereduksi nilai-nilai negatif
termasuk perilaku yang bertentangan dengan
prinsip persaingan usaha tidak sehat dalam industri
jasa konstruksi.
PP No 04 Th 2010
Terbitnya PP No. 04 Tahun 2010 Tentang
Perubahan PP No. 28 Tahun 2000 Tentang
Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi
merupakan isu yang panas dikalangan asosiasi
jasa konstruksi saat ini.
Banyak muncul pro dan kontra antar asosiasi
yang tergabung dalam LPJK.
Kontroversi tersebut terkait dengan isi PP No.
04 Th 2010 yang oleh sementara pihak dituduh
berupaya memarjinalkan fungsi asosiasi dan
LPJK, dan semakin dominannya fungsi
pemerintah cq Departemen PU dan Pemda.
PP No 04 Th 2010
Isi PP No 04 Th 2010 yang dianggap terkait
dengan hal tersebut antara lain :
1. Pembentukan Sekretariat Lembaga yang
merupakan unit Kerja Pemerintah.
2. Proses sertifikasi melalui Unit sertifikasi yang
dibentuk oleh lembaga. Hal ini dipandang dapat
mengancam peran asosiasi dalam melakukan
sertifikasi.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemilihan pengurus, masa bakti, tugas pokok dan
fungsi, serta mekanisme kerja Lembaga diatur
dalam peraturan Menteri.
Hal ini menunjukan peran pemerintah akan sangat
menentukan proses pembentukan pengurus LPJK.
Dukungan terhadap PP No 04 Th 2010
Inkindo bersama enam asosiasi perusahaan
telah menyatakan dukungannya terhadap
terbitnya PP No 4 Tahun 2010.
Alasan dukungan tersebut adalah karena PP No
04 Tahun 2010 tersebut bertujuan untuk
melakukan penataan terhadap asosiasi dan
penyelenggaraan proses sertifikasi yang
akuntabel,
sehingga usaha jasa konstruksi nasional mampu
bersaing dengan usaha jasa konstruksi asing.
Dukungan terhadap PP No 04 Th 2010
Penataan asosiasi penting dilakukan, karena asosiasi
memiliki fungsi mendasar, yaitu :
untuk melakukan pembinaan anggotanya, baik aspek
profesionalisme, pengembangan pasar, dan perlindungan
maupun penegakkan etika profesi.
Dengan demikian fungsi Asosiasi bukan hanya
memproduksi KTA dan SBU/SKA semata.
Iuran Anggota dan biaya sertifikasi harus dikembalikan
lagi ke anggota dalam bentuk penyelenggaraan
program-program organisasi yang bermanfaat bagi
pengembangan kapasitas anggota.
Pada hakekatnya asosiasi adalah pusat pelayanan
(service-center) bukan pusat keuntungan (profitcenter)
sebagaimana layaknya badan usaha komersial.