PLURALITAS MAKHLUK DAN KEESAAN KHALIK
PLURALITAS MAKHLUK DAN KEESAAN KHALIK
Oleh: Khalid Hasan Minabari
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Realitas kehidupan membuktikan bahwa, tidak satupun ciptaan Tuhan
(Makhluk) yang benar-benar tunggal (unitary), tanpa ada unsur-unsur
perbedaan di dalamnya. Kemajemukan atau pluralitas adalah kepastian
dari Allah SWT. Dengan kata lain al-Qur'an secara alternatif menjelaskan keEsan Khalik dan pluralitas selain Dia. Bahkan Al-Qur’an sendiri merupakan
referensi paling otentik bagi pluratitas.
Mengingkari pluralitas berarti mengingkari hukum alam. Jadi sebenarnya
yang masalah bukan pluralitas, tetapi bagaimana menyikapi adanya pluralitas.
Apakah dapat menghargai, menahormati, memelihara, dan mengembangkan
pluralitas tersebut? Apakah kita mampu toleran terhadap yang lain dan siap untuk
hidup berdapingan secara damai dengan orang lain atau kelompok lain yang
berbeda etnik budaya dan agama? haruskah membenci atau memusuhi orang lain
karena perbedaan etnik, budaya dan agama? Hal tersebut tidak dapat dipungkin
bahwa kesalahpahaman terhadap pluralitas dan menimbulkan efek yang negatif
bagi munculnya kekacauan, permusuhan dan konflik. Bila tidak disadari bahwa
keanekaragaman, kemajemukan, perbedaan dan pluralitas itu sendiri mampu
menjadi faktor permersatu. Hal seperti ini bisa terjadi apabila suatu masyarakat
bersifat ekstrim, otoriter serta tidak mau mengakui adanya pluralitas itu sendiri.
Al-Qur’an merupakan sumber rujukan paling otentik atau pondasi bagi
pluralitas di dalam Islam. Al-Our’an tidak pernah menghendaki manusia menjadi
umat yang satu, yang diatur oleh satu konvensi atau satu gagasan. Tarmiji Taher
menungkapkan pluralitas atau
1
keanekaragaman adalah hukum Tuhan yang
diciptakan agar manusia mensyukuri perbedaan yang ada. Dengan kata lain secara
1
Lihat Tarmizi Taher, Membumikan Ajaran Agama Islam dalam Transformasi Bangsa
(Cet. I ; Jakarta: Hikmah), h.7
teologis pluralitas itu merupakan sunnatullah. 2 Artinya adanya suatu keniscayaan
bersifat natural yang telah ditetapkan dan digariskan oleh Allah untuk senantiasa
berlaku dalam dalam perputaran kosmos, (dunia). Upaya untuk menyeragamkan
manusia ke dalam satu pandangan. system, cara prilaku keyakinan, dan kehidupan
adalah usaha yang sia-sia dan bertentangan dengan ketetapan dan takdir Allah.
Hal itu hanya membawa kepada kesia-siaan dan kegagalan. Contoh, suatu
anggota keluarga adalah bentuk plural dalam kerangka kesatuan dan sehagai
antitesis darinya. Pria dan wanita adalah bentuk
kesatuan jiwa manusia.
pluralitas
dari
kerangka
Bangsa-bangsa dan kabilah-kabilah adalah bentuk
pluralitas jenis manusia.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi permasalahan
makalah ini adalah:
1. Bagaimana konsep pluralitas makhluk di tinjau dari berbagai aspek?
2. Bagaimana konsep ke-Esaan Khalik ditinjau dari perspektif Islam?
3. Bagaimana eksistensi wacana pluralitas agama di Indonesia?
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Ruang lingkup Pluralitas.
2
Sunnatullah, berasal dari bahasa Arab Sunnah Allah yang terdiri dari dua kata, yaitu
kata sunnah dan Allah. Kata sunnah merupakan bentuk tunggal yang artinya jalan, atau cara.
Sedangkan bentuk jamaknya adalah sunnah. Secara leksikal, kata al-sunnah sinonim dengan kata
al-thariqah (metode atau cara), dan al-shirat (jalan: baik jalan yang baik maupun yang buruk).
Lihat Mu’jam al-wasit. (juz I : t.tp:t.th), h. 457.
Dari segi terminologi terdapat beberapa arti sunnah, sebagai berikut: 1). Menurut Tabathabai’I, sunnah adalah al-thariqah al-maslukah fiy al-mujtama’ jalan yang ditempuh oleh
masyarakat. 2) Menurut Rasyid Ridha, sunnah adalah kebiasaan yang dijalankan secara tetap dan
terus menerus. 3). Menurut al Suyuthi, sunnah adalah perbuatan, termasuk di dalamnya yang baik
dan yang buruk terjadi terus menerus di kalangan masyarakat, baik orang mukmin maupun orang
kafir. Lihat Muhammad Husain al-Tabathaba’I, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an Jilid IV (Teheran:
Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1397 H), h. 21 Lihat Rasyid Ridha Tafsir al-Manar, Juz IV (Beirut:
Dar al-Fikr, tth), h. 140. Lihat juga Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Durr al-Manshur, Jilid II, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1983), h. 329
Pluralitas3 antonim dari kata singular, secara umum berarti kejamakan atau
kemajemukan. Dalam Kamus Bahasa Indonesia pluralitas berasal dari kata
”plural” yang berarti jamak atau tidak satu, dalam arti berbeda-beda.4
Pada awalnya tema ini hanya dipahami secara etimologis dan tidak
memiliki konotasi terminologis dan idiom khusus secara filisofis dan sosiologis.
Akan tetapi akhir-akhir ini pluralitas telah menjadi diskursus intlektual dari kedua
perspektif tersebut.
Said Agil al-Munawwar mendefinisikan, pluralitas adalah kondisi obyektif
dalam suatu masyarakat yang terdapat di dalamnya sejumlah kelompok saling
berbeda, baik strata ekonomi, ideology, keimanan serta latar belakang etnis.5
Sejumlah para pakar telah menulis tenting pluralitas. Muhammad Imarah 6
menjelaskan bahwa pluralitas adalah kemajemukan yang didasari oleh keutamaan.
Keunikan, dan kekerasan. Kerena itu pluralitas tidak dapat terwujud atau diadakan
atau terbayangkan keberadaannya, kecuali sebagai antitesis dan sebagai obyek
komparatif, keseragaman, dan kesatuan yang merangkum seluruh dimensinya.
Pluralitas tidak pula dipahami kepada situasi “cerai-berai” dan
“permusuhan” tanpa mempunyai tali persatuan yang mengikat dan merangkum
semua bagian atau pihak. Tidak juga kepada kondisi “cerai-berai” yang sama
sekali tidak memiliki hubungan antar masing-masing pihak.
Secara filosofi, pluralitas dibangun dari prinsip pluralisme, yaitu sikap
pemahaman dan kesadaran terhadap kenyataan adanya kemajemukan, keragaman
merupakan sebuah keniscayaan, sekaligus ikut serta makna signifikansinya dalam
konteks pembinaan dan perwujudan kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah
manusiawi dan bermartabat.7
3
Pluralitas berasal dari bahasa Inggris: plural: yang berarti lebih dari satu. Atau bentuk
jamak. Lihat john M. Echols dan Hasan Shadily Kamus Inggris Indonesia, (Cet. II; Jakarta:
Gramedia. 1996),h. 435
4
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. II; Jakarta:
Balai Pustaka, 2002),h. 883
5
Lihat Said Agil Husain al-Munawwar, Fikih Hubungan Antar Agama (Cet. III; Jakarta:
Ciputat Press, 2005), h. 88
6
Lihat Muhammad Imarah, Al-Islam wat. Ta’addudiyah al-Ikhtilaf wat. Tanawwu fil
thaharil- wihdah. Di terjehkan oleh Abdul hayyie al-Kattanie dengan judul, Islam dan Pluralitas
Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan. (Cet. I; Jakarta: Gema Insani, 1999), h. 9
7
Lihat Agil Munawwar, Op-Cip, h. 89
Secara sosiologis manusia terdiri dari berbagai etnis dan budaya yang
saling berbeda dan mengikatkan dirinya antara satu dengan yang lainnya.
Sehingga pebedaan-perbedaan seperti itu merupakan bagian pluralitas.8
Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa suatu bangsa terdiri dari
berbagai macam suku, masyarakat terdiri dari keluarga-keluarga yang berlainan,
keluarga itu sendiri dari individu-individu yang tidak sama, semuanya
menunjukkan perbedaan namun tetap dalam persatuan.
Dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan, maka dapat dipahami
bahwa semua makhluk ciptaan Tuhan termasuk manusia adalah bersifat pluralistic
yang
dalam
kenyataannya
sebagai
manusia
bahkan
sebagai
individu
sesungguhnya adalah bersifat pluralistic. Dalam artian bahwa setiap individu
memiliki lebih dari satu identitas.
B. Pluralitas Makhluk dalam Berbagai Perspekfif.
Secara realitas jika diperhatikan segala alam yang maujud ini, tanpa
difikirkan lagi bahwa kesemuanya itu adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Namun para pakar Islam filosof Islam tertarik untuk membahas lebih jauh
pluralitas
makhluk
ini
secara
rasional
berdasarkan
hasil
fikiran
mereka.Pembahasan ini banyak dipengaruhi oleh Filosof Yunani seperti Plato
(427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Lalu kemudian dilanjutkan oleh
Neo Platonisme (204-270 M) dengan teori emanasinya. 9 Suatu teori penciptaan
yang belum pernah diajukan oleh filosof lain. Tujuan teori ini untuk menjelaskan
bahwa yang banyak (makhluk) ini tidak menimbulkan pengertian bahwa di dalam
Yang Esa ada banyak. Maksud teori emanasi ini tidak menimbulkan pengertian
pengertian bahwa Tuhan itu sebanyak makhluk.10 Ternyata teori emanasi yang
telah dicetuskan oleh Neo Platonisme mendapat penparuh yang besar terhadap
filosof Islam dan ahli tasawuf.
8
Lihat, Ibid, h. 89
Emanasi: Teori penciptaan yang menjelaskan bahwa semua kenyataan secara pasti
berproses dari asas pokok dari keberadaan yang sempurnahnya satu dan abadi. Alam adalah
pelimpahan dari yang satu dan bergabung padanya untuk kebedaraannya dan keteraturannya tetapi
tidak sama dengannya. Teori ini diibaratkan antara cahaya dan matahari: bahwa makin jauh
matahari semakin berkurang. Lihat Ali Muhdofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan
Teologi (Cet. I; Yogyakarta Gajah Mada, 1996), h. 56
10
Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Cet. V; Bandung: Rosdakarya, 1997), h. 61
9
Filosof Islam yang sangat terkenal dan menganut faham, emanasi. Adalah
al-Farabi (870-950 M). la mencoba untuk menjelaskan bagaimana yang banyak
bisa timbul dari Yang Satu. Menurut al-Farabi bahwa Tuhan sebagai akal berfikir
tentang diriNya dan dari pemikiran ini timbal maujud lain dan seterusnya. 11 Jika
dicermati pendapat kedua folosof tersebut, maka mereka mengakui bahwa ada
Tuhan sebagai wujud pertama sebagai sumber segala yang ada. Hanya saja kedua
filosof tersebut tidak mengakui Tuhan sebagai pencipta menurut kehendakNya.
Adanya wujud benda pertama secara otomatis agar terpancar wujud-wujud lain.
Bukan lagi urusan Tuhan, tetapi semuanya memancar secara otomatis.
Dari penjelasan tersebut, maka dapat dipahami bahwa teori emanasi atFarabi mempunyai pandangan yang mirip dengan hasil teori yang dikemukakan,
oleh Neo Platonisme. Hanya yang membedakan adalah pada benda-benda yang
mengitari bumi.
Al-Farabi tetap mengakui adanya Tuhan, segala yang maujud merupakan
pancaran dari Tuhan, tetapi al-Farabi tidak mengakui adanya kekuasaan Tuhan
untuk menciptakan sesuatu menurut kehendakNya dan kekuasanNya karena hal
itu membawa kepada ketidak sempurnaan termasuk melimpahnya yang banyak
dari diri-Nya secara sekaligus, dan tidak terjadi dalam waktu.12
Selain pendapat filosof tersebut, Syekh Muhammad Abduh (1849-1905
M) berpendapat bahwa terjadinya makhluk yang pluralitas yang dapat disaksikan
oleh mata kepala terletak pada kebebasan Tuhan berbuat. Menurutnya bahwa
Tuhan berbuat dengan kemauan bebas, tidak satupun di antara perbuatanperbuatan dan keherdak-kehendak-Nya dengan segala aktivitasnya meciptakan
makhluk-makhluk-Nya yang timbul karena adanya suatu tekanan. 13 Hal ini sesuai
dengan Surah al-Mu’minun (23): 115
11
Lihat Sirajuddi Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya (Cet. I; Jakarta: Raja
Grafindo 2004), h. 76
12
Lihat Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama,
1999),h. 39
13
Lihat Muhammad Abduh, Risalah Tauhid (Cet. IX; Jakarta Bulan Bintang, 1992), h. 32
Artinya: Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan
dikembalikan kepada kami?14
Inilah yang dimaksudkan bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan tidak
tergantung kepada sesuatu sebab, ia sunyi dari sirat main-main hal itu sangat
mustahil, bahwa segalag perbuatan Tuhan itu sunyi dari hikmah, sekalipun
hikmanya itu tersembunyi dari tanggapan fikiran manusia. Terkadang hikmah
sesuatu itu berbeda lamanya tersembunyi bagi manusia, tetapi kemudian ia
menjadi jelas.
Manurut al-Gazali (1056-111M) Tuhan dalam keEsaanNya menciptakan
sesuatu dari tiada. Sehingga al-Gazali mengkritik pendapat filosof yang
mengatakan bahwa alam tidak bermula (qadim), artinya wujud alam bersamaan
dengan wujud Allah. Kalau dikatakan bahwa Tuhan adalah pencipta dan
menciptakan sesuatu dari tiada dan kalau dikatakan alam tidak bermula, maka
alam bukanlah diciptakan dan dengan demikian Tuhan bukanlah Pencipta.15
Padahal semua umat Islam sepakat bahwa Tuhan Maha pencipta.
Kesimpulannya bahwa segala yang ada di dalam alam ini (maujud) yang
diciptakan oleh Tuhan adalah atas kekuasaan dan kehendak-Nya tanpa campur
tangan dengan orang lain. Lalu bagaimana kaitannya dengan pemeliharaan
pluralitas makhluk, dapat dikatakan bahwa Tuhan pasti sibuk. Sehingga
Muhammad
Abduh
mengatakan
kepentingan-kepentingan
yang
bahwa
dapat
tidak
ada
mmemaksanya
satupun
untuk
di
antara
mengawasi
semuanya.16
Jika ditelusuri sifat Allah al-shamad: (bergantung segala sesuatu). Seluruh
manusia bergantung kepadaNya yang selalu didatangi untuk dimintai pertolongan-
14
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: Toha Putra,
1989),h. 540
15
Lihat Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme (Cet. VII; Jakarta Bulan Bintang,
1990),h. 45 Lihat juga Muhammad Luthfi Lam’ah, tarikh Falsafah al-Islamiy (Beirut: AlMaktabah al-Islamiy, t.tth), h. 74
16
Lihat Muh. Abduh, Risalah, Op-Cit, h. 33
Nya atau untuk menyelesaikan segala, persoalan.17 Ketidaan kekuasaan alam
memaksa Tuhan untuk memelihara-Nya, sedangkan dari segi lain Tuhan menjadi
tempat tergantungan semua makhluk ciptaanya. Padahal kenyatannya bahwa alam
ini tersusun dengan rapih. Terpeliharanya alam ini dari segala yang maujud tiada
lain kecuali Tuhan adalah pemelihara segala alam.
Oleh karena itu Tuhan Maha Pencipta, sehingga pengabdian hanya
kepada-Nya la juga kuasa meniadakan segala ciptan-Nya. Adanya sebagian
makhluk maujud selain dari wujud Tuhan diciptakan dari tiada. Tidak ada hikmah
bagi makhluk yang lain jika benda-benda maujud tersebut lenyap baru akan
diciptakan lagi. Hal ini sesuai dengan Firman Allah al-Qashas (28): 83
Artinya: Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan
apapun yang lain. tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia.
tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala
penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.18
Dalam Islam, ketunggalan diyakini hanya ada pada Zat Allah, Zat wajib
wujud, selain dari dirinya adalah nisbi relatif. Dia merupakan sumber kejamakan,
keragaman dan parsialitas. Meyakini adanya hakekat ketunggalan selain dari zatNya, merupakan kemusyrikan. Dengan demikian keyakinan adanya pluralitas bagi
makhluk adalah bagian dari iman. Hal ini sesuai dengan Firman Allah al-An’am
(6): 38
Artinya. Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burungburung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga)
seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab,
kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.19
17
Lihat Ibnu Qayyim al-jauziyayyah, al-Asma al-Husna, Diterjemahkan oleh Samson
Rahman dengan Judul Nama-nama Indah Allah (Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2000), h. 51
18
Departemen Agama RI. Op-Cit, h. 625
19
Ibid, h. 192
Dari sudut pandang sufistik, dapat dilihat pandangan dan penganut aliran
sufi itu sendiri. Salah seorang sufi yang terkenal yaitu Ibnu Arabi (116-1240 M)
yang menganut faham wahda al-wujud menurutnya seluruh yang ada, walaupun ia
nampak hanya sekedar bayang-bayang dari yang Satu (Tuhan). Seandainya Tuhan
tidak ada yang merupakan sumber bayang-bayang yang lainnya pun tidak ada,
karena seluruh alam ini tidak memiliki wujud dan sebenarnya yang memiliki
wujud hanya Tuhan.20 Pada intinya bahwa ajaran tasawuf Ibnu ‘Arabi
menekankan pengertian kesatuan keberadaan hakikat (unity of existence).21
Lebih lanjut Ibnu ‘Arabi mengungkapkan bahwa Tuhanlah sebenarnya yang
mempunyai wujud hakiki dan yang lain hanya memiliki wujud nisbi serta
bergantung dari wujud selain diriNya, yaitu Tuhan. Semunya akan kembali
kepada Satu yaitu wujud Tuhan. Sehingga nampak dalam pernyataan Ibnu ‘Arabi
sendiri bahwa Maha Suci Zat yang menciptakan segala sesuatu dan Dialah esensi
segalaga sesuatu itu. 2 2
Hubungan wahdat al-wujud dengan pluralitas makhluk yang sangat
signifikan adalah ketika diungkapkan “keadaan hanya ada Satu Diri”. Satu diri
tersebut diuraikan melalui manifestasi. menjadi berlipatgandanya wujud, pribadi
makhluk dan obyek-obyek dalam eksistensi dan bahwasanya “keadaan Satu Diri”
tersebut tiada lain adalah Allah, Tuhan Yang Nyata. Yang absolute (mutlak),
yakni identitas yang tersembunyi dari segala wujud yang banyak adalah cara Dia
mengungkapkan diri dengan keterbatasan keanekaragaman makhluknya
yang
banyak cara-Nya menyembunyikan Diri Sendiri.23
Berdasarka pernyataan-penyataan Ibnu ‘Arabi tersebut, maka dapat
dipahami bahwa ibnu ‘Arabi tidak mengakui penciptaan makhluk dari tiada
menjadi ada. Karena segala yang ada dianggap Tuhan. Olehnya itu dikritik oleh
ahli filsafat Barat sebagai penganut faham Pantheisme. 24 Faham ini sering disalah
20
Lihat R.A. Nicholson, The Mystic of Islam (London: Borton, 1970),h. 79-80
Lihat Dewan Redaksi Ensiklopodi Islam, Ensiklopedi Islam (jilid V; Jakarta: Van
Hoeve, 2001), h. 158
22
Lihat Ibid, h. 158
23
Lihat Cyril Glass, The Consice Ensiklopedi of Islam, Diterjemahkan oleh Gufron A.
Mas’adi dengan judul Ensiklopedi Islam Ringkas (Jakarta Raja Grafindo, 1999), h. 425
24
Patheisme adalah suatu aliran yang menganggap bahwa semua yang ada termuat dalam
Tuhan, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid V(Jakarta; Van Hoeve,
2001),h. 174
21
tafsirkan dengan pengertian sebuah kontinuitas (kelanjutan) atau kesamaan
subsiansi antara alam dan Tuhan. yakni bahwa alam adalah Tuhan yang samar
atau “laksana garis yang dipotong-potong” yang harus disatukan kembali.
Sehingga hal ini menimbulkan puncak kemarahan.
Konsep wandat wujud dalam dunia sufi tidak hanya diungkapkan oleh Ibnu
‘Arabi tetapi banyak ahli-ahli sufi lainnya termasuk Mulla Sadra (1571-1640 M). 25
Mengungkapkan bahwa ke-Esaan wujud dan keanekaragaman yang maujud.
Dimana Yang Esa memanifestasikan diri yang beraneka ragam di dalam Yang
Esa.
Sekalipun
demikian
penetapan
terhadap
ke-Esaan,
wujud
dan
keanekaragaman yang maujud tidak berarti meniadakan prinsip ke-Esaan wujud
dan yang maujud, yang merupakan prisip kaum sufi.
Mulla Sadra berupaya untuk merisintesiskan berbagai pandangan tentang
prinsip metafisika yang paling dalam dan paling tersembunyi, tetapi juga paling
nyata. Dia berusaha menunjukkan bahwa sesunggunya wujud adalah Esa, namun
berbagai determinasi dan cara-cara memandangnya menyebabkan manusia
memahami dunia keaneka ragaman, yang menutupi ke-Esaan Nya. Akan tetapi,
bagi mereka yang memiliki visi spiritual. prinsip wandat al-wujud ini merupakan
kebenaran yang paling nyata dan terbukti, sedangkan keaneka ragaman
tersembunyi darinya.26
Lebih lanjut ditegaskan bahwa keyakinan terhadap kebenaran prinsip
wahdat al-wujud bukan pembahasan yang bersifat rasional, melainkan
berdasarkan pengalaman batin, melaui praktek-praktek dan disiplin spiritual yang
sulit, di samping adanya kerunia Tuhan.27 Oleh karena itu semua orang mampu
mengalami, kecuali orang-orang tertentu yang kehadiran mereka telah terbukti
dalam sejarah.
Setelah dibahas kedua tokoh sufi tersebut, maka apa yang membedakan
wandat al-wujud Ibnu ‘Arabi dan Mulla Sadra. Menurut hemat penulis bahwa
Ibnu ‘Arabi telah menolak penciptaan alam dari tiada menjadi ada. Menurutnya
25
Lihat, Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Sadra (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), h. 42
26
Lihat Ibid, h. 193
27
Lihat Ibid, h. 193
Allah al-Khalk (makhluk) adalah sama dengan Allah al-Haqq (pencipta). Oleh
sebab itu jika pencipta dan ciptaannya sama, maka ajaran tentang penciptaan dari
tiada tidak bermakna. Sedangkan Mulla Sadra mengakui bahwa hanya ada satu
wujud yaitu wujud yang Esa dan tidak ada yang lain tetapi dia tidak, menafikan
keberadaan-keberadaan yang lain. Wujud-wujud yang lain hanyalah manifestasi
dari yang Esa. Jadi wujud yang sesunggunya hanya Satu, bukan banyak.
C. Ke-Esaan Khalik
Dalam kaidah Islam, mentauhidkan Allah, meng-Esakan menyatakan atau
mengakui Yang Maha Esa, merupakan suatu penyucian yang tidak dapat
diungkapkan oleh kata-kata, juga imajinasi rasio dalam mendefinisikan hakekat
Allah serta esensinya. Oleh karena itu yang dilakukan adalah menafikan adanya
suatu yang menyamaiNya.
Umat Islam meyakini bahwa Tuhan adalah Esa tidak mempunyai sekutu
dan tidak ada makhluk yang meyerupainya. Hal ini diungkapkan oleh Reynold A.
Nicholson bahwa Tuhan itu adalah Esa dalam Zat-Nya.28 Tentang eksistensi
Tuhan, Mikon K. Munitz,29 mengungkapkan bahwa Tuhan merupakan puncak dan
mengatasi segala makhluk ciptaannya, termasuk alam ini. Tuhan tidak, sama
dengan alam, tetapi tetap mempunyai hubungan dengan alam dengan melihat
kenyataan bahwa alam ini sangat bergantung pada pemeliharaannya.
Penyataan-pernyataan tersebut dapat dipahami, bahwa makhluk walaupun
bagaimanapun pluralitasnya, tetap merupakan ciptaan Tuhan dan bukan bahagian
dari Tuhan serta makhluk itu dipelihara oleh Tuhan. Pribadi Tuhan adalah segala
kemahasucian-Nya dan terhindar dari macam syirik baik, dari segi penciptaanNya, pemeliharaan-Nya serta pengabdian kepada-Nya.
Tuhan dalam konsep Islam adalah Tuhan yang Esa (wahid ahad)3 0 yang
28
Lihat A. Nicholson, Loc-Cit
Lihat Milton K. Munitz, The Way of Phylosophy (New Work: mac Millan co inc,
1979), h. 101
30
Menurut Muhammad Abduh, kata ahad berarti sesuatu yang tunggal dalam zat-Nya,
tidak tersusun dari berbagai substansi yang berbeda-beda. Ia bukan materi dan tidak pula berasl
dari pelbagai unsur non materi. Jadi ia tidak seperti diperkirakan secara keliru oleh sebagian para
ahli agama yang menganggap bahwa Tuhan berasal dari dua unsur aktif, atau tiga unsur yang
menunggal meskipun berbeda-beda. Lihat Muhammad Abduh Tafsir al-Qur’an al-Karim, Op-Cit,
h. 364
29
menjadi tempat bergantung seluruh makhluk (al-samad).31 Dia tidak beranak,
tidak, diperanakan dan tidak ada saingan bagi-Nya.32 Dia tidak serupa dengan
apapun. Al-qur’an melarang orang-orang yang beriman membuat penyerupaan
untuk-Nya. Tidak satupun yang serupa dengan Dia.
Pokok ajaran Islam itu adalah masalah tauhid, sehingga tauhid itu
mengalami tingkatan-tingkatan.33
Pertama, mengucapkan “La ilaha Illallah”tidak ada Tuhan selain Allah” dengan
lisan tanpa keyakinan hati. Seluruh orang munafik berada dalam tauhid seperti
ini.Tauhid ini juga memiliki kehormatan, karena mereka dapat mencapai
kebahagiaan dunia, harta dan darahnya terjaga, serta terjamin keluarga dan anak.
Kedua, Meyakini makna La Ilaha lllallah dengan taklid tanpa megetahui
hakikatnya. Semua orang awam sampai pada derajat ini. Ketiga, yaitu terbukanya
makna La Ilaha Illallah dengan dalil yang kuat sehingga kita mengetahuinya.
Ketiga tingkatan tersebut saling berbeda nilainya. Yang pertama dimiliki oleh ahli
maqalah (ucapan). Yang kedua adalah pemilik akidah. Dan yang ketiga dimiliki
oleh ahli ilmu pengetahuan. Tidak ada dari ketiganya yang menjadi ahli hal.
Pemilik derajat hal ini adalah kaum sufi, bukan ahli pengetahuan atau ucapan.
Keempat, dimiliki bersama pengetahuan. la menjadi ahli hal (penyaksian).
Sembahannya hanyalah Satu (Allah SWT). Sedangkan, orang yang dikalahkan
oleh nafsunya maka sembahannya adalah nafsunya. Sebagaimana Firman:
Artinya. Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai Tuhannya...(al-jatsiyah: 23)
Kelima, tidak saja tauhid dalam batinnya mengalahkan syahwatnya serta nafsunya
sebagai pengikut. Namun, ia juga menghancurkan syahwat dan nafsu itu sama
sekali sehinggga ia tidak pernah menuriti nafsu dalam perbuatan apapun. Keenam,
31
Allah Yang kepadanya bergantung sesuatu. Kata al-samad mengandung pengertian
yang amat luas karena dalam ayat ini menegaskan bahwa kebutuhan apa saja yangb ada dalam
wujud ini tidak akan ditujukan selain kepada Allah, dan tidak seorang yang membutuhkan sesuatu
dalam upaya memenuhi kebutuhanya selain Allah Swt. Segala yang bergantung di dunia ini Dialah
yang menjadikan. Lihat Ibid, h. 366
32
Al-Ikhlas (1-4)
33
Lihat Muhammad Imarah, Op-Cit, h. 57
yaitu tauhid yang mengeluarkan perniliknya dari kekuasaan dirinya secara total
dan mengeluarkannya dari dunia ini, bahkan juga mengeluarkannya dari akhirat,
seperti mengerluarkannya dari ikatan dunia, sehingga tidak ada yang tersisa
dirinya dan hanya mengingat Allah Swt. Ia melupakan dirinya dan hanya
mengingat Allah Swt. Tingkatan terkhir ini menanamkan kondisi ini sebaaai “fana
dalam tauhid” karena segala sesuatu selain al-Haq, adalah fana.
Tauhid pada intinya, orang yang menafikan sembahan selain Allah SWT.
dan merupakan bagian dari tauhid orang yang menafikan maujud selain-Nya,
karena dalam penegasian wujud, berarti penegasiar, sembahan juga. Dan seluruh
tingkatan, tauhid terwujudkan dalam tauhid orang yang menegasikan (menafikan)
sembahan selain Allah Swt. Tauhid dengan seluruh tingkatannya terwuiudkan
dalam tauhid orang yang menegasikan wujud selain Allah Swt. 34 Demikianlah
gambaran tingkatan-tingkatan tauhid yang pada intinya adalah penyerahan diri
sepenuhnya kepada Allah Swt, dan menghilangkan hal-hal yang dapat
mengganggu untuk mengingat kepada Allah.
Tauhid menurut Ibnu Taimiyah, adalah membawa kepada pembebasan dari
berbagai macam kepercayaan palsu, seperti mitologi, yang selalu, membelenggu
manusia. Kepercayaan palsu adalah segala bentuk praktek pemujaan kepada Allah
sehingga tercipta Tuhan-Tuhan palsu.35
Almaududi menyimpulkan bahwa asas terpenting dalam Islam adalah
tauhid. Bahkan seluruh Nabi dan Rasul mempunyai tugas pokok untuk
mengajarkan
tauhid kepada seluruh umat manusia. Ajaran tauhid itu sangat
sederhana, tidak ada Tuhan selai Allah dan Muhammad itu Rasul Allah.
Pernyataan itu mengandung ikrar kesediaan manusia mematuhi kehendak Allah.36
Di pinak lain, al-Fairuqi37 menjelaskan bahwa tauhid sebagai prinsip dasar
Islam karena tauhid adalah esensi Islam. Sebagai landasan bagi pengelolaan hidup
kemasyarakatan dalam Islam, tauhid menurut al-Faruqli membawa kepada tiga
34
Lihat al-Gazali, Fadhail al-Anam min rasa’il Hujjah al-Islam al-Gazali (Tausia;
1972),h. 49
35
Lihat Badr al-Din al-Hanbali, Mukhtasar Fatwa Ibnu Yaimiyah (Beirut: Dar-al-Kutub
al-Taimiyyah, tth), h. 126
36
Lihat Abu’A’la al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan (Bandung: Mizan, 1984), h. 13
37
Lihat Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid (Bandung, 1988), h. 98
aplikasi: Pertama, masyarakat Islam adalah masyarakat yang egalitarian. Kedua,
masyarakat Islam harus mengusahakan aktualisasi kehendak ilahi di semua bidang
yang dapat dijangkaunya dan selanjutnya mengarahkannya kearah yang lebih
baik. Ketiga, masyarakat Islam adalah masyarakat yang bertanggung jawab untuk
merealisasikan kehendak Ilahi.
Dalam al-Qu'ran banyak ayat-ayat yang menunjukkan tentang sifat-sifat
Allah di antaranya: pada Surah al-Hasyr (59): 22,23,24: yang berbunyi:
22. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang
ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
23. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, yang Maha Suci, yang
Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara,
yang Maha perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan,
Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
24. Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk
Rupa, yang mempunyai asmaaul Husna. bertasbih kepadanya apa yang di
langit dan bumi. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Kata al-Malik Quddus yang berarti Tuhan Allah adalah raja Yang Maha
suci. Menurut Quraish Shihab,38 al-Malik mengandung arti penguasaan terhadap,
sesuatu disebabkan oleh kekuatan pengendalian dan keshahihannya. Malik yang
biasanya diterjemahkan sebagai raja adalah menguasai dan menangani perintah
dan larangan, anugrah dan pencabutan. Olehnya itu biasanya kerajaan terarah
kepada manusia tidak kepada barang yang tidak menerima perintah.
Lebin lanjut Imam al Gazali, menafsirkan kata al-Malik yang merupakan
salah satu nama Allah Yang mulia adalah Dia Yang Zat dan sifat-Nya tidak
38
Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-qur’an
Vol. 14 (Cet. I ; Jakarta: Lentera, 2003), h. 136
membutuhkan segala yang wujud, bahkan segala yang wujud butuh kepada-Nya. 39
Jadi semua makhluk yang ada di bumi ini tergantung kepadaNya.
Silanjutnya kata al-Quddus berarti Yang Suci murni atau yang penuh
keberkataan. Menurut al-Gazali al-Quddus adalah Dia Yang Maha Suci dari
segala sifat yang dapat dijangkau oleh indra, dikhayalkan oleh imajinasi atau yang
terlintas dalam naluri dan fikiran. Al-Biqai memahami al-Quddus adalah kesucian
yang tidak menerima perubahan, tidak disentuh oleh kekotoran dan terus-menerus
terpuji dengan langgengnya sifat tersebut.
AI-Mujahid dalam Fathul Qadir yang mengatakan bahwa Dia itu
(alQuddus) adalah Allah Swt. Sebagiamana yang disebutkan juga dalam Surah
al-jumuah: ayat 1.
Artinya: Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi. Raja, yang Maha Suci, yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.40
Kandungan ayat ini adalah bertasbih secara terus menerus kepada Allah
semata. Sejak wujudnya hingga kini dan semua apa yang ada di langit dan di
bumi semua mengakui keagungan dan kebesarannya.
D. Pluralisme Agama di Indonesia
Setelah membicarakan masalah bagimana pendapat para pakar tentang
pluralitas makhluk dan Ke-Esaan Khalik. maka dalam sub masalah ini penulis
memaparkan secara, singkat bagaimana pluralisme agama di Indonesia dan
bagaimana sikap umat Islam dalam memahami pluralisme tersebut. Serta
mengapa hal ini penting? karena kesalahpahaman banyak orang yang selama ini
tentang pluralisme menjadi persolan penting yang harus dicarikan solusinya,
bahkan hampir terancam keberadaannya.
Pada pertengahan tahun 2005 lalu, ketika MUI mengeluarkan fatwa tentang
haram sekularisme, liberalisme dan pluralisme, banyak mendapat apresiasi dari
berbegai elemen masyarakat, dengan alasan bahwa konskwensi logis dari paham
39
40
Lihat, Ibid, h. 136
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op-Cit, h. 932
pluralisme agama adalah pandangan yang relatif terhadap kebenaran dan otentitas
al-Qur’an. Namun tidak sedikit pula dari elemen masyarakat yang mengacamnya
bahkan
menganggap
bahwa
pluralisme
merupakan
suatu
kemestian.
Beberapaalasan yang telah dikemukakan berkaitan dengan kelompok, yang
menganggap pluralisme itu merupakan suatu kemestian: pertama, bahwa
pluralisme itu adalah bukanlah soal bagaimana setiap orang harus sama.
Pluralisme adalah soal menerima keberadaan, menolak diskriminasi terhadap
terhadap kelompok berbeda. Kedua, bahwa kenyataan kita, sebagai manusia
bahkan, sebagai individu sesungguhnya adalah pluralistic. Ketiga pluralisme yang
benar justru mengakui perbedaan diantara agama-agama yang bersedia
menerimanya.41
Menurut Nurcholish Madjid, wacana Islam dan pluralitas yang dimaksud
adalah relevan dengan persoalan toleransi. Pluralitas menghendaki adanya
keselamatan umat manusia dalam menjalani akfivitas keduniaan dalam bentuk,
kemasyakatan dan kebangsaan. Demikian pula dengan masalah toleransi karena
toleransi itu adalah procedural, maka persoalan-persoalan tata cara pergaulan
yang enak antara kelompok yang berbeda-beda yang harus dipahami secara
prinsip.4 2 Oleh karena itu, adanya kewajiban aajaran sebagaimana persoalan
pluralitas, prinsip toleransi adala salah satu asas masyarakat madani yang dicitacitakan.
Gamal al-Banna seorang pluralis43 mengatakan bahwa sudah saatnya seorang
da’i mengetahui bahwa mereka tidak dituntut untuk mengislamkan orang-orang
beragama selain Islam. Dan mereka tidak berhak mengklaim bahwa selain orang
Islam akan masuk neraka, karena kunci-kunci surga bukan di tangan mereka.
Sikap seperti ini pelanggaran keras terhadap wewenang Allah. Yang dituntut oleh
para da’i setelah al-Qur’an mengatakan: Hai orang-orang yang beriman, jagalah
41
Disadur dari Majalah”Syir’ah” No.49/VI/Januari 2006, h. 22-38
Nurcholis Madjid, Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam, dalam
Kamaruddin Hidayat (ed), dengan judul Passing Over, Melintasi Batas Agama (Cet. III; jakarta:
Gramedia, 2001), h. 173-178
43
Gamal al-Bannna, al-Ta’addidiyah fi al-Mujtama’al-Islam. Diterjemehkan oleh Taufik
Damas dengan judul Doktrin Pluralisme dalam al-Qur’an (Bekasi: Menara, 2006), h. 38
42
dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi nudharat kepadamu apabila
kamu telah mendapat petunjuk. (al-Maidah: 105)
Para da’i hanya bertugas memperkenalkan Islam kepada mereka lalu
kemudian menyerahkan segalanya kepada mereka. Karena hidayah hanya datang
dari Tuhan.44 Kaum pluralis berkeyakinan bahwa semua pemeluk agama
mempunyai peluang yang sama untuk memperoleh keselamatan dan masuk surga.
Semua agama benar berdasarkan kriteria masing-masing. Ech one is valid within
its particular culture. Mereka percaya bahwa rahmat Allah itu luas. Bahkan
mereka tidak mengerti mengapa ada manusia yang membatasi kasih sayang Tuhan
dan mengapa ada orang yang mengambil alih wewenang Tuhan. Apakah mereka
yang memegang kunci-kunci neraka Apakah mereka yang menenggelamkan
manusia ke dalam neraka atas dasar apa mereka membangun kesimpulan itu?
Bagaimana kesadaran mereka atas atas rahmat Allah yang tidak terbatas yang
akan membalas satu kebaikan dengan tujuh ratus lipat kebaikan? Kasih sayang
seorang ibu hanyalah satu dari seratus kasih sayang Allah. Dia tidak akan
menenggelamkan
manusia
ke
dalam
neraka,
kecuali
manusia-manusia
pembangkan yang berbuat kerusakan dan kezaliman di muka bumi.45
Jalaiuddin Rakhmat, mengatakan sekiranya agama itu valid, maka kenapa
Tuhan repot-repot membikin agama bermacam-macam. Lalu kenapa Tuhan tidak
menjadikan semua agama itu satu saja.46 Apa tujuan penciptaan berbagai agama
itu?
Al-Qur’an menjawab dengan indah:
Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang
terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu
umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat bajikan. Hanya kepada
44
Ibid, h. 39
Jalaluddin Rakhamat, Islam dan Pluralisme Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan (Cet.
I; Jakarta: Serambi, 2006), h. 21
46
Ibid, h. 32-33
45
Allah-lah kembali kamu semuanya. Lalu diberikahukan-Nya kepadamu
apa yang telah kamu perselisihkan itu.
Dari ayat ini jalaluddin Rakhmat menyimpulkan beberapa hal:
1. Agama itu berbeda-beda dari segi aturan hidupnya (sayariat) dan
pandangan hidupnya (akidah). Karna itu pluralisme sama sekali tidak
berarti semua gama itu sama. Perbedaan sudah menjadi kenyataan.
2. Tuhan, tidak menghendaki kamu semua menganut agama yang tunggal.
Keragaman agama itu dimaksudkan untuk menguji kita semua. Ujiannya
adalah seberapa banyak kita memberikan kontribusi kebaikan kepada umat
manusia. Setiap agama disuruh bersaing dengan agama yang lain dalam
memberikan kontribusi kepada kemanusiaan.
3. Semua agama itu kembali kepada Allah, lslam, Hindu, Buddha, Nasrani,
Yahudi kembalinya kepada Allah. Adalah tugas dan wewenang Tuhan
untuk menyelesaikan perbedaan di antara berbagai agama.
Dari beberapa pendapat para pakar tersebut, maka dapat dipahami bahwa
pluraliotas agama, budaya dan tradisi adalah merupakan suatu keniscayaan dan
merupakan suatu kekayaan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Sehingga menuntut
adanya kesadaran agar dapat dipahami dengan sikap toleran dan saling
menghargai, sebab jika tidak, maka akan memicu terjadinya kekerasan dan
penindasan terhadap komunitas lokal yang merasa termarjinalkan.
E. Analisis
Pluralitas makhluk merupakan suatu hal yang sudah menjadi sunnatullah.
Pluralitas tidak hanya terjadi dalam kerangka kesatuan keluarga akan tetapi lebih
dari itu, ada pluralitas peradaban yang mempunyai keunikan masing-masing.
Demikian juga nasionalisme yang, beragam di atas dasar pluralitas hukum yang
kesemuanya nanti akan disatukan oleh kesatuan kemanusiaan yang tidak ada yang
tidak ada perbedaan di antaranya.
Namun tidak bisa juga dipungkiri bahwa, bias dari pluralitas biasa timbul
kekacauan, jika tidak disadari bahwa. kemajemukan, perbedaan dan pluralitas
tidak, memiliki faktor pemersatu. Hal ini bisa timbul ketika suatu kelompok
masyarakata memiliki sikap ekstrim, represif dan otoriter yang tidak ingin
mengakui kemajemukan.
Disamping hal itu, ternyata pluralitas memiliki hikmah, karena suatu
perbedaan bisa berfungsi sebagai pendorong untuk saling berkompetisi dalam
melakukan kebaikan, menciptakan prestasi yang baik, serta sebagai motivator
yang mengevaluasi dan memberikan tuntunan bagi perjalanan bangsa untuk
menggapai kemajuan dan ketinggian.
Tauhid merupakan, inti dari ajaran Islam, yang meyakinkan urnatnya bahwa
Allah adalah satu atau Esa tidak ada syarikat bagi-Nya. Walaupun masalah tauhid
ini merupakan hal pokok keimanan, namun para teolog, filosof dan juga kaum sufi
masih terkadang dijadikan polemic tentang Zat dan sifat-sifat Tuhan. Sehingga
ada sebuah hadis Nabi Saw, berbunyi:
ﺗﻔﻜﺮ ﻮﺍﻓﻰ ﺨﻟﻖ ﺍﻟﻟﻪ ﻮﻻ ﺗﻔﻜﺮ ﻮﺍﻔﻰ ﺬﺍﺗﻪ ﻓﺗﻬﻟﻜﻮﺍ
Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah dan jangan kamu berfikir tentang
Zatnya niscaya kamu celaka.
III. KESIMPULAN
1. Pluralitas makhluk adalah suatu keniscayaan, keharusan sekaligus
sunnatullah. Penolakan terhadap pluralitas makhluk adalah penolakan
terhadap terhadop suatu yang seharusnya terjadi serta kekufuran bagi yang
mengingkarinya. Pluralitas tidak hanya disadari adanya masyarakat yang
majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang
Justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi. Pengakuan,
adanya
pluralitas harus disertai dengan kesadaran yang yang mendalam untuk
bersama-sama membangun suatu pergaulan yang dilandasi penghargaan
atas kemajemukan.
2. Semua makhluk adalah ciptaan Tuhan. Sedangkan alam dan segala isinya
diciptakan oleh Allah, dari tiada dari sebagian akan kembali Kepada tiada.
Hal inilah yang banyak diperselisihkan oleh para filosof tentang alam.
Apakah alam ini baharu atau qadim.
3. Islam menjelaskan Keesaan Khalik dan pluralitas selain Dia. Keesaan
Khalik telah menjadi perbincangan yang kunjung selesai dalam dunia
teologi dan filsafat. Namun demikian semuanya mengakui adanya Tuhan.
Hanya yang membedakan adalah dalam memahami bagamaimana Keesaan
Tuhan itu dalam kaitannya dengan eksistensi Tuhan dari segi Zat dan
Sifatnya.
4. Pluralitas agama di Indonesia tidak mesti dipahami bahwa semua agama
adalah benar. Akan tetapi semua agama pada mulanya penganut prinsip
yang sama, dan bentuk persamaan ini adalah keharusan berpasrah kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Demikian Pula memandang semua agama sama
adalah sesuatu yang mustahil sebab dalam kenyataannya agama yang ada
berbeda-beda dalam banyak hal.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim.
Abduh, Muhammad. Risalah Tauhid, Cet. IX: Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Abduh, Muhammad. Tafsir al-Qur'an a1 Karim juz ‘Amma, Kairo Mesir: Dar
Mathabi Asy-Syabi, t.th.
Al-Banna, Gamal. Al-Ta’dddiyah fi al-Mujtama’al-Islam. Di Terjemahkan oleh
Taufilk dengan Judul Doktrin Pluralitas dalam al-Qur’an Bekasi: Menara, 2006.
Departernen Agama RI, AI-Qur'an dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putra.
1989
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.II;
Jakarta: Balai Pustaka 2002.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid V (Jakarta: Van
Hoeve, 2001
M. Echol, Johs dan Hasaan Shadily. Kamus Inggris Indonesia Cet. XXIII; Jakarta:
Gramedia. 1996.
Al-Faruqi, Ismail Raji, Tauhid, Bandung. Mizan, 1988.
Glass, Cyril. The Consice Enciclopaedi of Isfam. Diterjemahkan oleh oleh Gufron
A. Mas’adi dengan judul Ensiklopedi Islam Ringkas Jakarta: Raja Grafindo,
1999.
A1-Gazali, Fadhil al-Anam min Rasa’il Hujjah al-Islam al-Gazali, Tunisia:,
1972.
Al-Hambali, Badr al-Din. Mukhtasar Fatwa Ibnu Taimiyah, Beirut: Dar-al-Kutub
al-Ilmiyyah. t.th.
Imrah, Muhammad. Al-Islam wat. Ta’addudiyah al-Ikhtilaf wat.Tanawwu fi
Ithharil-Wihdah. Di Terjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattanie dengan
judul, Islam dan Pluralitas perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai
Persatuan, Cet.I; Jakarta: Gema Insani, 1999
Jam’ah, Muhammad Lutfi. Tarikh falsafah al-Islamiy, Beirut: Al Maktabah alIslamy, t.th.
Jauziyyah, Ibnu Qayyim. al-Asma al-Husna, Diterjemahkan oleh Samson Rahman
dengan judul. Nama-nama Indah Allah. Cet I; Jakarta: Pustaka al-Kausar,
2000
Madjid Nurcholish. Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam, dalam
Kamaruddin Hidayat (ed), dengan Judul Passing Over, Melintasi Batas
Agama. Cet. III; Jakarta Gramedia, 2001.
Majala “Syir’ah” No. 49/VI/Januari 2006, h. 22-38
Al-Maududi, Abu A'la. Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Mizan. 1984.
Mudhofir. Ali. Kamus Teori dan Aliran Dalam Filsafat dan Teologi, Cet.I
Yogyakarta: Gaja Mada, 1996.
Al-Munawwar. Said Agil Husin. Fikih Hubungan Antar Agama. Cet. III; Jakarta:
Ciputat Press, 2005.
K. Munitz, Milton K. The Way of Phylosophy, New York: Mac. Millan co inc,
1979.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme. Cet.VII; Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Nasution, Hasyimsah. Filsafat Islam, Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
R.A. Nichoson, The Mystic of Islam, London: Borton, 1970
Nur, Syaifan. Filsafat Wujud Mulla Sadra (Cet. I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002.
Rakhmat, Jalaluddin. Islam dan Pluralime Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan
Cet.I; Jakarta: Serambi, 2006.
Ridha, Rasyid. Tafsir al-Manar. Juz IV Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Shihab, M. Quraish. Tafsur al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-qur’an
Vol. 14 Cet. I; Jakarta: Lentera, 2003.
Sulaiman, Abdul Qasim. Mu’jam al-Wasith, Juz I ; t.th
Al-Suyuthi, Jalal al-Din. al-Durr al-manshur, Jilid II, Beirut: Dar al-Fikr, 1983.
At-Tabatthaba’I, Muhammad Husain. al-Mizan, Fi Tfsir al-Qur’an Jilid IV
Taheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1397 H.
Taher, Tarmizi, Membumikan Ajaran dalam Transformasi Bangsa Cet.I; Jakarta:
Hikmah 1996.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum, Cet. V; Bandung: Rosdakarya, 1997.
Zar,Sirajuddin, Filsafat Islam Filosofi dan Filsafatnya, Cet. I; Jakarta: Raja
Grafindo, 2004.
PLURALITAS MAKHLUK DAN KEESAAN KHALIK
Oleh: Khalid Hasan Minabari
NIM. 801 00309083
PROGRAM PASCASARJANA
UIN MAKASSAR
2010
Oleh: Khalid Hasan Minabari
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Realitas kehidupan membuktikan bahwa, tidak satupun ciptaan Tuhan
(Makhluk) yang benar-benar tunggal (unitary), tanpa ada unsur-unsur
perbedaan di dalamnya. Kemajemukan atau pluralitas adalah kepastian
dari Allah SWT. Dengan kata lain al-Qur'an secara alternatif menjelaskan keEsan Khalik dan pluralitas selain Dia. Bahkan Al-Qur’an sendiri merupakan
referensi paling otentik bagi pluratitas.
Mengingkari pluralitas berarti mengingkari hukum alam. Jadi sebenarnya
yang masalah bukan pluralitas, tetapi bagaimana menyikapi adanya pluralitas.
Apakah dapat menghargai, menahormati, memelihara, dan mengembangkan
pluralitas tersebut? Apakah kita mampu toleran terhadap yang lain dan siap untuk
hidup berdapingan secara damai dengan orang lain atau kelompok lain yang
berbeda etnik budaya dan agama? haruskah membenci atau memusuhi orang lain
karena perbedaan etnik, budaya dan agama? Hal tersebut tidak dapat dipungkin
bahwa kesalahpahaman terhadap pluralitas dan menimbulkan efek yang negatif
bagi munculnya kekacauan, permusuhan dan konflik. Bila tidak disadari bahwa
keanekaragaman, kemajemukan, perbedaan dan pluralitas itu sendiri mampu
menjadi faktor permersatu. Hal seperti ini bisa terjadi apabila suatu masyarakat
bersifat ekstrim, otoriter serta tidak mau mengakui adanya pluralitas itu sendiri.
Al-Qur’an merupakan sumber rujukan paling otentik atau pondasi bagi
pluralitas di dalam Islam. Al-Our’an tidak pernah menghendaki manusia menjadi
umat yang satu, yang diatur oleh satu konvensi atau satu gagasan. Tarmiji Taher
menungkapkan pluralitas atau
1
keanekaragaman adalah hukum Tuhan yang
diciptakan agar manusia mensyukuri perbedaan yang ada. Dengan kata lain secara
1
Lihat Tarmizi Taher, Membumikan Ajaran Agama Islam dalam Transformasi Bangsa
(Cet. I ; Jakarta: Hikmah), h.7
teologis pluralitas itu merupakan sunnatullah. 2 Artinya adanya suatu keniscayaan
bersifat natural yang telah ditetapkan dan digariskan oleh Allah untuk senantiasa
berlaku dalam dalam perputaran kosmos, (dunia). Upaya untuk menyeragamkan
manusia ke dalam satu pandangan. system, cara prilaku keyakinan, dan kehidupan
adalah usaha yang sia-sia dan bertentangan dengan ketetapan dan takdir Allah.
Hal itu hanya membawa kepada kesia-siaan dan kegagalan. Contoh, suatu
anggota keluarga adalah bentuk plural dalam kerangka kesatuan dan sehagai
antitesis darinya. Pria dan wanita adalah bentuk
kesatuan jiwa manusia.
pluralitas
dari
kerangka
Bangsa-bangsa dan kabilah-kabilah adalah bentuk
pluralitas jenis manusia.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi permasalahan
makalah ini adalah:
1. Bagaimana konsep pluralitas makhluk di tinjau dari berbagai aspek?
2. Bagaimana konsep ke-Esaan Khalik ditinjau dari perspektif Islam?
3. Bagaimana eksistensi wacana pluralitas agama di Indonesia?
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Ruang lingkup Pluralitas.
2
Sunnatullah, berasal dari bahasa Arab Sunnah Allah yang terdiri dari dua kata, yaitu
kata sunnah dan Allah. Kata sunnah merupakan bentuk tunggal yang artinya jalan, atau cara.
Sedangkan bentuk jamaknya adalah sunnah. Secara leksikal, kata al-sunnah sinonim dengan kata
al-thariqah (metode atau cara), dan al-shirat (jalan: baik jalan yang baik maupun yang buruk).
Lihat Mu’jam al-wasit. (juz I : t.tp:t.th), h. 457.
Dari segi terminologi terdapat beberapa arti sunnah, sebagai berikut: 1). Menurut Tabathabai’I, sunnah adalah al-thariqah al-maslukah fiy al-mujtama’ jalan yang ditempuh oleh
masyarakat. 2) Menurut Rasyid Ridha, sunnah adalah kebiasaan yang dijalankan secara tetap dan
terus menerus. 3). Menurut al Suyuthi, sunnah adalah perbuatan, termasuk di dalamnya yang baik
dan yang buruk terjadi terus menerus di kalangan masyarakat, baik orang mukmin maupun orang
kafir. Lihat Muhammad Husain al-Tabathaba’I, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an Jilid IV (Teheran:
Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1397 H), h. 21 Lihat Rasyid Ridha Tafsir al-Manar, Juz IV (Beirut:
Dar al-Fikr, tth), h. 140. Lihat juga Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Durr al-Manshur, Jilid II, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1983), h. 329
Pluralitas3 antonim dari kata singular, secara umum berarti kejamakan atau
kemajemukan. Dalam Kamus Bahasa Indonesia pluralitas berasal dari kata
”plural” yang berarti jamak atau tidak satu, dalam arti berbeda-beda.4
Pada awalnya tema ini hanya dipahami secara etimologis dan tidak
memiliki konotasi terminologis dan idiom khusus secara filisofis dan sosiologis.
Akan tetapi akhir-akhir ini pluralitas telah menjadi diskursus intlektual dari kedua
perspektif tersebut.
Said Agil al-Munawwar mendefinisikan, pluralitas adalah kondisi obyektif
dalam suatu masyarakat yang terdapat di dalamnya sejumlah kelompok saling
berbeda, baik strata ekonomi, ideology, keimanan serta latar belakang etnis.5
Sejumlah para pakar telah menulis tenting pluralitas. Muhammad Imarah 6
menjelaskan bahwa pluralitas adalah kemajemukan yang didasari oleh keutamaan.
Keunikan, dan kekerasan. Kerena itu pluralitas tidak dapat terwujud atau diadakan
atau terbayangkan keberadaannya, kecuali sebagai antitesis dan sebagai obyek
komparatif, keseragaman, dan kesatuan yang merangkum seluruh dimensinya.
Pluralitas tidak pula dipahami kepada situasi “cerai-berai” dan
“permusuhan” tanpa mempunyai tali persatuan yang mengikat dan merangkum
semua bagian atau pihak. Tidak juga kepada kondisi “cerai-berai” yang sama
sekali tidak memiliki hubungan antar masing-masing pihak.
Secara filosofi, pluralitas dibangun dari prinsip pluralisme, yaitu sikap
pemahaman dan kesadaran terhadap kenyataan adanya kemajemukan, keragaman
merupakan sebuah keniscayaan, sekaligus ikut serta makna signifikansinya dalam
konteks pembinaan dan perwujudan kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah
manusiawi dan bermartabat.7
3
Pluralitas berasal dari bahasa Inggris: plural: yang berarti lebih dari satu. Atau bentuk
jamak. Lihat john M. Echols dan Hasan Shadily Kamus Inggris Indonesia, (Cet. II; Jakarta:
Gramedia. 1996),h. 435
4
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. II; Jakarta:
Balai Pustaka, 2002),h. 883
5
Lihat Said Agil Husain al-Munawwar, Fikih Hubungan Antar Agama (Cet. III; Jakarta:
Ciputat Press, 2005), h. 88
6
Lihat Muhammad Imarah, Al-Islam wat. Ta’addudiyah al-Ikhtilaf wat. Tanawwu fil
thaharil- wihdah. Di terjehkan oleh Abdul hayyie al-Kattanie dengan judul, Islam dan Pluralitas
Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan. (Cet. I; Jakarta: Gema Insani, 1999), h. 9
7
Lihat Agil Munawwar, Op-Cip, h. 89
Secara sosiologis manusia terdiri dari berbagai etnis dan budaya yang
saling berbeda dan mengikatkan dirinya antara satu dengan yang lainnya.
Sehingga pebedaan-perbedaan seperti itu merupakan bagian pluralitas.8
Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa suatu bangsa terdiri dari
berbagai macam suku, masyarakat terdiri dari keluarga-keluarga yang berlainan,
keluarga itu sendiri dari individu-individu yang tidak sama, semuanya
menunjukkan perbedaan namun tetap dalam persatuan.
Dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan, maka dapat dipahami
bahwa semua makhluk ciptaan Tuhan termasuk manusia adalah bersifat pluralistic
yang
dalam
kenyataannya
sebagai
manusia
bahkan
sebagai
individu
sesungguhnya adalah bersifat pluralistic. Dalam artian bahwa setiap individu
memiliki lebih dari satu identitas.
B. Pluralitas Makhluk dalam Berbagai Perspekfif.
Secara realitas jika diperhatikan segala alam yang maujud ini, tanpa
difikirkan lagi bahwa kesemuanya itu adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Namun para pakar Islam filosof Islam tertarik untuk membahas lebih jauh
pluralitas
makhluk
ini
secara
rasional
berdasarkan
hasil
fikiran
mereka.Pembahasan ini banyak dipengaruhi oleh Filosof Yunani seperti Plato
(427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Lalu kemudian dilanjutkan oleh
Neo Platonisme (204-270 M) dengan teori emanasinya. 9 Suatu teori penciptaan
yang belum pernah diajukan oleh filosof lain. Tujuan teori ini untuk menjelaskan
bahwa yang banyak (makhluk) ini tidak menimbulkan pengertian bahwa di dalam
Yang Esa ada banyak. Maksud teori emanasi ini tidak menimbulkan pengertian
pengertian bahwa Tuhan itu sebanyak makhluk.10 Ternyata teori emanasi yang
telah dicetuskan oleh Neo Platonisme mendapat penparuh yang besar terhadap
filosof Islam dan ahli tasawuf.
8
Lihat, Ibid, h. 89
Emanasi: Teori penciptaan yang menjelaskan bahwa semua kenyataan secara pasti
berproses dari asas pokok dari keberadaan yang sempurnahnya satu dan abadi. Alam adalah
pelimpahan dari yang satu dan bergabung padanya untuk kebedaraannya dan keteraturannya tetapi
tidak sama dengannya. Teori ini diibaratkan antara cahaya dan matahari: bahwa makin jauh
matahari semakin berkurang. Lihat Ali Muhdofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan
Teologi (Cet. I; Yogyakarta Gajah Mada, 1996), h. 56
10
Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Cet. V; Bandung: Rosdakarya, 1997), h. 61
9
Filosof Islam yang sangat terkenal dan menganut faham, emanasi. Adalah
al-Farabi (870-950 M). la mencoba untuk menjelaskan bagaimana yang banyak
bisa timbul dari Yang Satu. Menurut al-Farabi bahwa Tuhan sebagai akal berfikir
tentang diriNya dan dari pemikiran ini timbal maujud lain dan seterusnya. 11 Jika
dicermati pendapat kedua folosof tersebut, maka mereka mengakui bahwa ada
Tuhan sebagai wujud pertama sebagai sumber segala yang ada. Hanya saja kedua
filosof tersebut tidak mengakui Tuhan sebagai pencipta menurut kehendakNya.
Adanya wujud benda pertama secara otomatis agar terpancar wujud-wujud lain.
Bukan lagi urusan Tuhan, tetapi semuanya memancar secara otomatis.
Dari penjelasan tersebut, maka dapat dipahami bahwa teori emanasi atFarabi mempunyai pandangan yang mirip dengan hasil teori yang dikemukakan,
oleh Neo Platonisme. Hanya yang membedakan adalah pada benda-benda yang
mengitari bumi.
Al-Farabi tetap mengakui adanya Tuhan, segala yang maujud merupakan
pancaran dari Tuhan, tetapi al-Farabi tidak mengakui adanya kekuasaan Tuhan
untuk menciptakan sesuatu menurut kehendakNya dan kekuasanNya karena hal
itu membawa kepada ketidak sempurnaan termasuk melimpahnya yang banyak
dari diri-Nya secara sekaligus, dan tidak terjadi dalam waktu.12
Selain pendapat filosof tersebut, Syekh Muhammad Abduh (1849-1905
M) berpendapat bahwa terjadinya makhluk yang pluralitas yang dapat disaksikan
oleh mata kepala terletak pada kebebasan Tuhan berbuat. Menurutnya bahwa
Tuhan berbuat dengan kemauan bebas, tidak satupun di antara perbuatanperbuatan dan keherdak-kehendak-Nya dengan segala aktivitasnya meciptakan
makhluk-makhluk-Nya yang timbul karena adanya suatu tekanan. 13 Hal ini sesuai
dengan Surah al-Mu’minun (23): 115
11
Lihat Sirajuddi Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya (Cet. I; Jakarta: Raja
Grafindo 2004), h. 76
12
Lihat Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama,
1999),h. 39
13
Lihat Muhammad Abduh, Risalah Tauhid (Cet. IX; Jakarta Bulan Bintang, 1992), h. 32
Artinya: Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan
dikembalikan kepada kami?14
Inilah yang dimaksudkan bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan tidak
tergantung kepada sesuatu sebab, ia sunyi dari sirat main-main hal itu sangat
mustahil, bahwa segalag perbuatan Tuhan itu sunyi dari hikmah, sekalipun
hikmanya itu tersembunyi dari tanggapan fikiran manusia. Terkadang hikmah
sesuatu itu berbeda lamanya tersembunyi bagi manusia, tetapi kemudian ia
menjadi jelas.
Manurut al-Gazali (1056-111M) Tuhan dalam keEsaanNya menciptakan
sesuatu dari tiada. Sehingga al-Gazali mengkritik pendapat filosof yang
mengatakan bahwa alam tidak bermula (qadim), artinya wujud alam bersamaan
dengan wujud Allah. Kalau dikatakan bahwa Tuhan adalah pencipta dan
menciptakan sesuatu dari tiada dan kalau dikatakan alam tidak bermula, maka
alam bukanlah diciptakan dan dengan demikian Tuhan bukanlah Pencipta.15
Padahal semua umat Islam sepakat bahwa Tuhan Maha pencipta.
Kesimpulannya bahwa segala yang ada di dalam alam ini (maujud) yang
diciptakan oleh Tuhan adalah atas kekuasaan dan kehendak-Nya tanpa campur
tangan dengan orang lain. Lalu bagaimana kaitannya dengan pemeliharaan
pluralitas makhluk, dapat dikatakan bahwa Tuhan pasti sibuk. Sehingga
Muhammad
Abduh
mengatakan
kepentingan-kepentingan
yang
bahwa
dapat
tidak
ada
mmemaksanya
satupun
untuk
di
antara
mengawasi
semuanya.16
Jika ditelusuri sifat Allah al-shamad: (bergantung segala sesuatu). Seluruh
manusia bergantung kepadaNya yang selalu didatangi untuk dimintai pertolongan-
14
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: Toha Putra,
1989),h. 540
15
Lihat Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme (Cet. VII; Jakarta Bulan Bintang,
1990),h. 45 Lihat juga Muhammad Luthfi Lam’ah, tarikh Falsafah al-Islamiy (Beirut: AlMaktabah al-Islamiy, t.tth), h. 74
16
Lihat Muh. Abduh, Risalah, Op-Cit, h. 33
Nya atau untuk menyelesaikan segala, persoalan.17 Ketidaan kekuasaan alam
memaksa Tuhan untuk memelihara-Nya, sedangkan dari segi lain Tuhan menjadi
tempat tergantungan semua makhluk ciptaanya. Padahal kenyatannya bahwa alam
ini tersusun dengan rapih. Terpeliharanya alam ini dari segala yang maujud tiada
lain kecuali Tuhan adalah pemelihara segala alam.
Oleh karena itu Tuhan Maha Pencipta, sehingga pengabdian hanya
kepada-Nya la juga kuasa meniadakan segala ciptan-Nya. Adanya sebagian
makhluk maujud selain dari wujud Tuhan diciptakan dari tiada. Tidak ada hikmah
bagi makhluk yang lain jika benda-benda maujud tersebut lenyap baru akan
diciptakan lagi. Hal ini sesuai dengan Firman Allah al-Qashas (28): 83
Artinya: Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan
apapun yang lain. tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia.
tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala
penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.18
Dalam Islam, ketunggalan diyakini hanya ada pada Zat Allah, Zat wajib
wujud, selain dari dirinya adalah nisbi relatif. Dia merupakan sumber kejamakan,
keragaman dan parsialitas. Meyakini adanya hakekat ketunggalan selain dari zatNya, merupakan kemusyrikan. Dengan demikian keyakinan adanya pluralitas bagi
makhluk adalah bagian dari iman. Hal ini sesuai dengan Firman Allah al-An’am
(6): 38
Artinya. Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burungburung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga)
seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab,
kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.19
17
Lihat Ibnu Qayyim al-jauziyayyah, al-Asma al-Husna, Diterjemahkan oleh Samson
Rahman dengan Judul Nama-nama Indah Allah (Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2000), h. 51
18
Departemen Agama RI. Op-Cit, h. 625
19
Ibid, h. 192
Dari sudut pandang sufistik, dapat dilihat pandangan dan penganut aliran
sufi itu sendiri. Salah seorang sufi yang terkenal yaitu Ibnu Arabi (116-1240 M)
yang menganut faham wahda al-wujud menurutnya seluruh yang ada, walaupun ia
nampak hanya sekedar bayang-bayang dari yang Satu (Tuhan). Seandainya Tuhan
tidak ada yang merupakan sumber bayang-bayang yang lainnya pun tidak ada,
karena seluruh alam ini tidak memiliki wujud dan sebenarnya yang memiliki
wujud hanya Tuhan.20 Pada intinya bahwa ajaran tasawuf Ibnu ‘Arabi
menekankan pengertian kesatuan keberadaan hakikat (unity of existence).21
Lebih lanjut Ibnu ‘Arabi mengungkapkan bahwa Tuhanlah sebenarnya yang
mempunyai wujud hakiki dan yang lain hanya memiliki wujud nisbi serta
bergantung dari wujud selain diriNya, yaitu Tuhan. Semunya akan kembali
kepada Satu yaitu wujud Tuhan. Sehingga nampak dalam pernyataan Ibnu ‘Arabi
sendiri bahwa Maha Suci Zat yang menciptakan segala sesuatu dan Dialah esensi
segalaga sesuatu itu. 2 2
Hubungan wahdat al-wujud dengan pluralitas makhluk yang sangat
signifikan adalah ketika diungkapkan “keadaan hanya ada Satu Diri”. Satu diri
tersebut diuraikan melalui manifestasi. menjadi berlipatgandanya wujud, pribadi
makhluk dan obyek-obyek dalam eksistensi dan bahwasanya “keadaan Satu Diri”
tersebut tiada lain adalah Allah, Tuhan Yang Nyata. Yang absolute (mutlak),
yakni identitas yang tersembunyi dari segala wujud yang banyak adalah cara Dia
mengungkapkan diri dengan keterbatasan keanekaragaman makhluknya
yang
banyak cara-Nya menyembunyikan Diri Sendiri.23
Berdasarka pernyataan-penyataan Ibnu ‘Arabi tersebut, maka dapat
dipahami bahwa ibnu ‘Arabi tidak mengakui penciptaan makhluk dari tiada
menjadi ada. Karena segala yang ada dianggap Tuhan. Olehnya itu dikritik oleh
ahli filsafat Barat sebagai penganut faham Pantheisme. 24 Faham ini sering disalah
20
Lihat R.A. Nicholson, The Mystic of Islam (London: Borton, 1970),h. 79-80
Lihat Dewan Redaksi Ensiklopodi Islam, Ensiklopedi Islam (jilid V; Jakarta: Van
Hoeve, 2001), h. 158
22
Lihat Ibid, h. 158
23
Lihat Cyril Glass, The Consice Ensiklopedi of Islam, Diterjemahkan oleh Gufron A.
Mas’adi dengan judul Ensiklopedi Islam Ringkas (Jakarta Raja Grafindo, 1999), h. 425
24
Patheisme adalah suatu aliran yang menganggap bahwa semua yang ada termuat dalam
Tuhan, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid V(Jakarta; Van Hoeve,
2001),h. 174
21
tafsirkan dengan pengertian sebuah kontinuitas (kelanjutan) atau kesamaan
subsiansi antara alam dan Tuhan. yakni bahwa alam adalah Tuhan yang samar
atau “laksana garis yang dipotong-potong” yang harus disatukan kembali.
Sehingga hal ini menimbulkan puncak kemarahan.
Konsep wandat wujud dalam dunia sufi tidak hanya diungkapkan oleh Ibnu
‘Arabi tetapi banyak ahli-ahli sufi lainnya termasuk Mulla Sadra (1571-1640 M). 25
Mengungkapkan bahwa ke-Esaan wujud dan keanekaragaman yang maujud.
Dimana Yang Esa memanifestasikan diri yang beraneka ragam di dalam Yang
Esa.
Sekalipun
demikian
penetapan
terhadap
ke-Esaan,
wujud
dan
keanekaragaman yang maujud tidak berarti meniadakan prinsip ke-Esaan wujud
dan yang maujud, yang merupakan prisip kaum sufi.
Mulla Sadra berupaya untuk merisintesiskan berbagai pandangan tentang
prinsip metafisika yang paling dalam dan paling tersembunyi, tetapi juga paling
nyata. Dia berusaha menunjukkan bahwa sesunggunya wujud adalah Esa, namun
berbagai determinasi dan cara-cara memandangnya menyebabkan manusia
memahami dunia keaneka ragaman, yang menutupi ke-Esaan Nya. Akan tetapi,
bagi mereka yang memiliki visi spiritual. prinsip wandat al-wujud ini merupakan
kebenaran yang paling nyata dan terbukti, sedangkan keaneka ragaman
tersembunyi darinya.26
Lebih lanjut ditegaskan bahwa keyakinan terhadap kebenaran prinsip
wahdat al-wujud bukan pembahasan yang bersifat rasional, melainkan
berdasarkan pengalaman batin, melaui praktek-praktek dan disiplin spiritual yang
sulit, di samping adanya kerunia Tuhan.27 Oleh karena itu semua orang mampu
mengalami, kecuali orang-orang tertentu yang kehadiran mereka telah terbukti
dalam sejarah.
Setelah dibahas kedua tokoh sufi tersebut, maka apa yang membedakan
wandat al-wujud Ibnu ‘Arabi dan Mulla Sadra. Menurut hemat penulis bahwa
Ibnu ‘Arabi telah menolak penciptaan alam dari tiada menjadi ada. Menurutnya
25
Lihat, Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Sadra (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), h. 42
26
Lihat Ibid, h. 193
27
Lihat Ibid, h. 193
Allah al-Khalk (makhluk) adalah sama dengan Allah al-Haqq (pencipta). Oleh
sebab itu jika pencipta dan ciptaannya sama, maka ajaran tentang penciptaan dari
tiada tidak bermakna. Sedangkan Mulla Sadra mengakui bahwa hanya ada satu
wujud yaitu wujud yang Esa dan tidak ada yang lain tetapi dia tidak, menafikan
keberadaan-keberadaan yang lain. Wujud-wujud yang lain hanyalah manifestasi
dari yang Esa. Jadi wujud yang sesunggunya hanya Satu, bukan banyak.
C. Ke-Esaan Khalik
Dalam kaidah Islam, mentauhidkan Allah, meng-Esakan menyatakan atau
mengakui Yang Maha Esa, merupakan suatu penyucian yang tidak dapat
diungkapkan oleh kata-kata, juga imajinasi rasio dalam mendefinisikan hakekat
Allah serta esensinya. Oleh karena itu yang dilakukan adalah menafikan adanya
suatu yang menyamaiNya.
Umat Islam meyakini bahwa Tuhan adalah Esa tidak mempunyai sekutu
dan tidak ada makhluk yang meyerupainya. Hal ini diungkapkan oleh Reynold A.
Nicholson bahwa Tuhan itu adalah Esa dalam Zat-Nya.28 Tentang eksistensi
Tuhan, Mikon K. Munitz,29 mengungkapkan bahwa Tuhan merupakan puncak dan
mengatasi segala makhluk ciptaannya, termasuk alam ini. Tuhan tidak, sama
dengan alam, tetapi tetap mempunyai hubungan dengan alam dengan melihat
kenyataan bahwa alam ini sangat bergantung pada pemeliharaannya.
Penyataan-pernyataan tersebut dapat dipahami, bahwa makhluk walaupun
bagaimanapun pluralitasnya, tetap merupakan ciptaan Tuhan dan bukan bahagian
dari Tuhan serta makhluk itu dipelihara oleh Tuhan. Pribadi Tuhan adalah segala
kemahasucian-Nya dan terhindar dari macam syirik baik, dari segi penciptaanNya, pemeliharaan-Nya serta pengabdian kepada-Nya.
Tuhan dalam konsep Islam adalah Tuhan yang Esa (wahid ahad)3 0 yang
28
Lihat A. Nicholson, Loc-Cit
Lihat Milton K. Munitz, The Way of Phylosophy (New Work: mac Millan co inc,
1979), h. 101
30
Menurut Muhammad Abduh, kata ahad berarti sesuatu yang tunggal dalam zat-Nya,
tidak tersusun dari berbagai substansi yang berbeda-beda. Ia bukan materi dan tidak pula berasl
dari pelbagai unsur non materi. Jadi ia tidak seperti diperkirakan secara keliru oleh sebagian para
ahli agama yang menganggap bahwa Tuhan berasal dari dua unsur aktif, atau tiga unsur yang
menunggal meskipun berbeda-beda. Lihat Muhammad Abduh Tafsir al-Qur’an al-Karim, Op-Cit,
h. 364
29
menjadi tempat bergantung seluruh makhluk (al-samad).31 Dia tidak beranak,
tidak, diperanakan dan tidak ada saingan bagi-Nya.32 Dia tidak serupa dengan
apapun. Al-qur’an melarang orang-orang yang beriman membuat penyerupaan
untuk-Nya. Tidak satupun yang serupa dengan Dia.
Pokok ajaran Islam itu adalah masalah tauhid, sehingga tauhid itu
mengalami tingkatan-tingkatan.33
Pertama, mengucapkan “La ilaha Illallah”tidak ada Tuhan selain Allah” dengan
lisan tanpa keyakinan hati. Seluruh orang munafik berada dalam tauhid seperti
ini.Tauhid ini juga memiliki kehormatan, karena mereka dapat mencapai
kebahagiaan dunia, harta dan darahnya terjaga, serta terjamin keluarga dan anak.
Kedua, Meyakini makna La Ilaha lllallah dengan taklid tanpa megetahui
hakikatnya. Semua orang awam sampai pada derajat ini. Ketiga, yaitu terbukanya
makna La Ilaha Illallah dengan dalil yang kuat sehingga kita mengetahuinya.
Ketiga tingkatan tersebut saling berbeda nilainya. Yang pertama dimiliki oleh ahli
maqalah (ucapan). Yang kedua adalah pemilik akidah. Dan yang ketiga dimiliki
oleh ahli ilmu pengetahuan. Tidak ada dari ketiganya yang menjadi ahli hal.
Pemilik derajat hal ini adalah kaum sufi, bukan ahli pengetahuan atau ucapan.
Keempat, dimiliki bersama pengetahuan. la menjadi ahli hal (penyaksian).
Sembahannya hanyalah Satu (Allah SWT). Sedangkan, orang yang dikalahkan
oleh nafsunya maka sembahannya adalah nafsunya. Sebagaimana Firman:
Artinya. Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai Tuhannya...(al-jatsiyah: 23)
Kelima, tidak saja tauhid dalam batinnya mengalahkan syahwatnya serta nafsunya
sebagai pengikut. Namun, ia juga menghancurkan syahwat dan nafsu itu sama
sekali sehinggga ia tidak pernah menuriti nafsu dalam perbuatan apapun. Keenam,
31
Allah Yang kepadanya bergantung sesuatu. Kata al-samad mengandung pengertian
yang amat luas karena dalam ayat ini menegaskan bahwa kebutuhan apa saja yangb ada dalam
wujud ini tidak akan ditujukan selain kepada Allah, dan tidak seorang yang membutuhkan sesuatu
dalam upaya memenuhi kebutuhanya selain Allah Swt. Segala yang bergantung di dunia ini Dialah
yang menjadikan. Lihat Ibid, h. 366
32
Al-Ikhlas (1-4)
33
Lihat Muhammad Imarah, Op-Cit, h. 57
yaitu tauhid yang mengeluarkan perniliknya dari kekuasaan dirinya secara total
dan mengeluarkannya dari dunia ini, bahkan juga mengeluarkannya dari akhirat,
seperti mengerluarkannya dari ikatan dunia, sehingga tidak ada yang tersisa
dirinya dan hanya mengingat Allah Swt. Ia melupakan dirinya dan hanya
mengingat Allah Swt. Tingkatan terkhir ini menanamkan kondisi ini sebaaai “fana
dalam tauhid” karena segala sesuatu selain al-Haq, adalah fana.
Tauhid pada intinya, orang yang menafikan sembahan selain Allah SWT.
dan merupakan bagian dari tauhid orang yang menafikan maujud selain-Nya,
karena dalam penegasian wujud, berarti penegasiar, sembahan juga. Dan seluruh
tingkatan, tauhid terwujudkan dalam tauhid orang yang menegasikan (menafikan)
sembahan selain Allah Swt. Tauhid dengan seluruh tingkatannya terwuiudkan
dalam tauhid orang yang menegasikan wujud selain Allah Swt. 34 Demikianlah
gambaran tingkatan-tingkatan tauhid yang pada intinya adalah penyerahan diri
sepenuhnya kepada Allah Swt, dan menghilangkan hal-hal yang dapat
mengganggu untuk mengingat kepada Allah.
Tauhid menurut Ibnu Taimiyah, adalah membawa kepada pembebasan dari
berbagai macam kepercayaan palsu, seperti mitologi, yang selalu, membelenggu
manusia. Kepercayaan palsu adalah segala bentuk praktek pemujaan kepada Allah
sehingga tercipta Tuhan-Tuhan palsu.35
Almaududi menyimpulkan bahwa asas terpenting dalam Islam adalah
tauhid. Bahkan seluruh Nabi dan Rasul mempunyai tugas pokok untuk
mengajarkan
tauhid kepada seluruh umat manusia. Ajaran tauhid itu sangat
sederhana, tidak ada Tuhan selai Allah dan Muhammad itu Rasul Allah.
Pernyataan itu mengandung ikrar kesediaan manusia mematuhi kehendak Allah.36
Di pinak lain, al-Fairuqi37 menjelaskan bahwa tauhid sebagai prinsip dasar
Islam karena tauhid adalah esensi Islam. Sebagai landasan bagi pengelolaan hidup
kemasyarakatan dalam Islam, tauhid menurut al-Faruqli membawa kepada tiga
34
Lihat al-Gazali, Fadhail al-Anam min rasa’il Hujjah al-Islam al-Gazali (Tausia;
1972),h. 49
35
Lihat Badr al-Din al-Hanbali, Mukhtasar Fatwa Ibnu Yaimiyah (Beirut: Dar-al-Kutub
al-Taimiyyah, tth), h. 126
36
Lihat Abu’A’la al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan (Bandung: Mizan, 1984), h. 13
37
Lihat Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid (Bandung, 1988), h. 98
aplikasi: Pertama, masyarakat Islam adalah masyarakat yang egalitarian. Kedua,
masyarakat Islam harus mengusahakan aktualisasi kehendak ilahi di semua bidang
yang dapat dijangkaunya dan selanjutnya mengarahkannya kearah yang lebih
baik. Ketiga, masyarakat Islam adalah masyarakat yang bertanggung jawab untuk
merealisasikan kehendak Ilahi.
Dalam al-Qu'ran banyak ayat-ayat yang menunjukkan tentang sifat-sifat
Allah di antaranya: pada Surah al-Hasyr (59): 22,23,24: yang berbunyi:
22. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang
ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
23. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, yang Maha Suci, yang
Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara,
yang Maha perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan,
Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
24. Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk
Rupa, yang mempunyai asmaaul Husna. bertasbih kepadanya apa yang di
langit dan bumi. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Kata al-Malik Quddus yang berarti Tuhan Allah adalah raja Yang Maha
suci. Menurut Quraish Shihab,38 al-Malik mengandung arti penguasaan terhadap,
sesuatu disebabkan oleh kekuatan pengendalian dan keshahihannya. Malik yang
biasanya diterjemahkan sebagai raja adalah menguasai dan menangani perintah
dan larangan, anugrah dan pencabutan. Olehnya itu biasanya kerajaan terarah
kepada manusia tidak kepada barang yang tidak menerima perintah.
Lebin lanjut Imam al Gazali, menafsirkan kata al-Malik yang merupakan
salah satu nama Allah Yang mulia adalah Dia Yang Zat dan sifat-Nya tidak
38
Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-qur’an
Vol. 14 (Cet. I ; Jakarta: Lentera, 2003), h. 136
membutuhkan segala yang wujud, bahkan segala yang wujud butuh kepada-Nya. 39
Jadi semua makhluk yang ada di bumi ini tergantung kepadaNya.
Silanjutnya kata al-Quddus berarti Yang Suci murni atau yang penuh
keberkataan. Menurut al-Gazali al-Quddus adalah Dia Yang Maha Suci dari
segala sifat yang dapat dijangkau oleh indra, dikhayalkan oleh imajinasi atau yang
terlintas dalam naluri dan fikiran. Al-Biqai memahami al-Quddus adalah kesucian
yang tidak menerima perubahan, tidak disentuh oleh kekotoran dan terus-menerus
terpuji dengan langgengnya sifat tersebut.
AI-Mujahid dalam Fathul Qadir yang mengatakan bahwa Dia itu
(alQuddus) adalah Allah Swt. Sebagiamana yang disebutkan juga dalam Surah
al-jumuah: ayat 1.
Artinya: Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi. Raja, yang Maha Suci, yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.40
Kandungan ayat ini adalah bertasbih secara terus menerus kepada Allah
semata. Sejak wujudnya hingga kini dan semua apa yang ada di langit dan di
bumi semua mengakui keagungan dan kebesarannya.
D. Pluralisme Agama di Indonesia
Setelah membicarakan masalah bagimana pendapat para pakar tentang
pluralitas makhluk dan Ke-Esaan Khalik. maka dalam sub masalah ini penulis
memaparkan secara, singkat bagaimana pluralisme agama di Indonesia dan
bagaimana sikap umat Islam dalam memahami pluralisme tersebut. Serta
mengapa hal ini penting? karena kesalahpahaman banyak orang yang selama ini
tentang pluralisme menjadi persolan penting yang harus dicarikan solusinya,
bahkan hampir terancam keberadaannya.
Pada pertengahan tahun 2005 lalu, ketika MUI mengeluarkan fatwa tentang
haram sekularisme, liberalisme dan pluralisme, banyak mendapat apresiasi dari
berbegai elemen masyarakat, dengan alasan bahwa konskwensi logis dari paham
39
40
Lihat, Ibid, h. 136
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op-Cit, h. 932
pluralisme agama adalah pandangan yang relatif terhadap kebenaran dan otentitas
al-Qur’an. Namun tidak sedikit pula dari elemen masyarakat yang mengacamnya
bahkan
menganggap
bahwa
pluralisme
merupakan
suatu
kemestian.
Beberapaalasan yang telah dikemukakan berkaitan dengan kelompok, yang
menganggap pluralisme itu merupakan suatu kemestian: pertama, bahwa
pluralisme itu adalah bukanlah soal bagaimana setiap orang harus sama.
Pluralisme adalah soal menerima keberadaan, menolak diskriminasi terhadap
terhadap kelompok berbeda. Kedua, bahwa kenyataan kita, sebagai manusia
bahkan, sebagai individu sesungguhnya adalah pluralistic. Ketiga pluralisme yang
benar justru mengakui perbedaan diantara agama-agama yang bersedia
menerimanya.41
Menurut Nurcholish Madjid, wacana Islam dan pluralitas yang dimaksud
adalah relevan dengan persoalan toleransi. Pluralitas menghendaki adanya
keselamatan umat manusia dalam menjalani akfivitas keduniaan dalam bentuk,
kemasyakatan dan kebangsaan. Demikian pula dengan masalah toleransi karena
toleransi itu adalah procedural, maka persoalan-persoalan tata cara pergaulan
yang enak antara kelompok yang berbeda-beda yang harus dipahami secara
prinsip.4 2 Oleh karena itu, adanya kewajiban aajaran sebagaimana persoalan
pluralitas, prinsip toleransi adala salah satu asas masyarakat madani yang dicitacitakan.
Gamal al-Banna seorang pluralis43 mengatakan bahwa sudah saatnya seorang
da’i mengetahui bahwa mereka tidak dituntut untuk mengislamkan orang-orang
beragama selain Islam. Dan mereka tidak berhak mengklaim bahwa selain orang
Islam akan masuk neraka, karena kunci-kunci surga bukan di tangan mereka.
Sikap seperti ini pelanggaran keras terhadap wewenang Allah. Yang dituntut oleh
para da’i setelah al-Qur’an mengatakan: Hai orang-orang yang beriman, jagalah
41
Disadur dari Majalah”Syir’ah” No.49/VI/Januari 2006, h. 22-38
Nurcholis Madjid, Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam, dalam
Kamaruddin Hidayat (ed), dengan judul Passing Over, Melintasi Batas Agama (Cet. III; jakarta:
Gramedia, 2001), h. 173-178
43
Gamal al-Bannna, al-Ta’addidiyah fi al-Mujtama’al-Islam. Diterjemehkan oleh Taufik
Damas dengan judul Doktrin Pluralisme dalam al-Qur’an (Bekasi: Menara, 2006), h. 38
42
dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi nudharat kepadamu apabila
kamu telah mendapat petunjuk. (al-Maidah: 105)
Para da’i hanya bertugas memperkenalkan Islam kepada mereka lalu
kemudian menyerahkan segalanya kepada mereka. Karena hidayah hanya datang
dari Tuhan.44 Kaum pluralis berkeyakinan bahwa semua pemeluk agama
mempunyai peluang yang sama untuk memperoleh keselamatan dan masuk surga.
Semua agama benar berdasarkan kriteria masing-masing. Ech one is valid within
its particular culture. Mereka percaya bahwa rahmat Allah itu luas. Bahkan
mereka tidak mengerti mengapa ada manusia yang membatasi kasih sayang Tuhan
dan mengapa ada orang yang mengambil alih wewenang Tuhan. Apakah mereka
yang memegang kunci-kunci neraka Apakah mereka yang menenggelamkan
manusia ke dalam neraka atas dasar apa mereka membangun kesimpulan itu?
Bagaimana kesadaran mereka atas atas rahmat Allah yang tidak terbatas yang
akan membalas satu kebaikan dengan tujuh ratus lipat kebaikan? Kasih sayang
seorang ibu hanyalah satu dari seratus kasih sayang Allah. Dia tidak akan
menenggelamkan
manusia
ke
dalam
neraka,
kecuali
manusia-manusia
pembangkan yang berbuat kerusakan dan kezaliman di muka bumi.45
Jalaiuddin Rakhmat, mengatakan sekiranya agama itu valid, maka kenapa
Tuhan repot-repot membikin agama bermacam-macam. Lalu kenapa Tuhan tidak
menjadikan semua agama itu satu saja.46 Apa tujuan penciptaan berbagai agama
itu?
Al-Qur’an menjawab dengan indah:
Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang
terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu
umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat bajikan. Hanya kepada
44
Ibid, h. 39
Jalaluddin Rakhamat, Islam dan Pluralisme Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan (Cet.
I; Jakarta: Serambi, 2006), h. 21
46
Ibid, h. 32-33
45
Allah-lah kembali kamu semuanya. Lalu diberikahukan-Nya kepadamu
apa yang telah kamu perselisihkan itu.
Dari ayat ini jalaluddin Rakhmat menyimpulkan beberapa hal:
1. Agama itu berbeda-beda dari segi aturan hidupnya (sayariat) dan
pandangan hidupnya (akidah). Karna itu pluralisme sama sekali tidak
berarti semua gama itu sama. Perbedaan sudah menjadi kenyataan.
2. Tuhan, tidak menghendaki kamu semua menganut agama yang tunggal.
Keragaman agama itu dimaksudkan untuk menguji kita semua. Ujiannya
adalah seberapa banyak kita memberikan kontribusi kebaikan kepada umat
manusia. Setiap agama disuruh bersaing dengan agama yang lain dalam
memberikan kontribusi kepada kemanusiaan.
3. Semua agama itu kembali kepada Allah, lslam, Hindu, Buddha, Nasrani,
Yahudi kembalinya kepada Allah. Adalah tugas dan wewenang Tuhan
untuk menyelesaikan perbedaan di antara berbagai agama.
Dari beberapa pendapat para pakar tersebut, maka dapat dipahami bahwa
pluraliotas agama, budaya dan tradisi adalah merupakan suatu keniscayaan dan
merupakan suatu kekayaan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Sehingga menuntut
adanya kesadaran agar dapat dipahami dengan sikap toleran dan saling
menghargai, sebab jika tidak, maka akan memicu terjadinya kekerasan dan
penindasan terhadap komunitas lokal yang merasa termarjinalkan.
E. Analisis
Pluralitas makhluk merupakan suatu hal yang sudah menjadi sunnatullah.
Pluralitas tidak hanya terjadi dalam kerangka kesatuan keluarga akan tetapi lebih
dari itu, ada pluralitas peradaban yang mempunyai keunikan masing-masing.
Demikian juga nasionalisme yang, beragam di atas dasar pluralitas hukum yang
kesemuanya nanti akan disatukan oleh kesatuan kemanusiaan yang tidak ada yang
tidak ada perbedaan di antaranya.
Namun tidak bisa juga dipungkiri bahwa, bias dari pluralitas biasa timbul
kekacauan, jika tidak disadari bahwa. kemajemukan, perbedaan dan pluralitas
tidak, memiliki faktor pemersatu. Hal ini bisa timbul ketika suatu kelompok
masyarakata memiliki sikap ekstrim, represif dan otoriter yang tidak ingin
mengakui kemajemukan.
Disamping hal itu, ternyata pluralitas memiliki hikmah, karena suatu
perbedaan bisa berfungsi sebagai pendorong untuk saling berkompetisi dalam
melakukan kebaikan, menciptakan prestasi yang baik, serta sebagai motivator
yang mengevaluasi dan memberikan tuntunan bagi perjalanan bangsa untuk
menggapai kemajuan dan ketinggian.
Tauhid merupakan, inti dari ajaran Islam, yang meyakinkan urnatnya bahwa
Allah adalah satu atau Esa tidak ada syarikat bagi-Nya. Walaupun masalah tauhid
ini merupakan hal pokok keimanan, namun para teolog, filosof dan juga kaum sufi
masih terkadang dijadikan polemic tentang Zat dan sifat-sifat Tuhan. Sehingga
ada sebuah hadis Nabi Saw, berbunyi:
ﺗﻔﻜﺮ ﻮﺍﻓﻰ ﺨﻟﻖ ﺍﻟﻟﻪ ﻮﻻ ﺗﻔﻜﺮ ﻮﺍﻔﻰ ﺬﺍﺗﻪ ﻓﺗﻬﻟﻜﻮﺍ
Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah dan jangan kamu berfikir tentang
Zatnya niscaya kamu celaka.
III. KESIMPULAN
1. Pluralitas makhluk adalah suatu keniscayaan, keharusan sekaligus
sunnatullah. Penolakan terhadap pluralitas makhluk adalah penolakan
terhadap terhadop suatu yang seharusnya terjadi serta kekufuran bagi yang
mengingkarinya. Pluralitas tidak hanya disadari adanya masyarakat yang
majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang
Justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi. Pengakuan,
adanya
pluralitas harus disertai dengan kesadaran yang yang mendalam untuk
bersama-sama membangun suatu pergaulan yang dilandasi penghargaan
atas kemajemukan.
2. Semua makhluk adalah ciptaan Tuhan. Sedangkan alam dan segala isinya
diciptakan oleh Allah, dari tiada dari sebagian akan kembali Kepada tiada.
Hal inilah yang banyak diperselisihkan oleh para filosof tentang alam.
Apakah alam ini baharu atau qadim.
3. Islam menjelaskan Keesaan Khalik dan pluralitas selain Dia. Keesaan
Khalik telah menjadi perbincangan yang kunjung selesai dalam dunia
teologi dan filsafat. Namun demikian semuanya mengakui adanya Tuhan.
Hanya yang membedakan adalah dalam memahami bagamaimana Keesaan
Tuhan itu dalam kaitannya dengan eksistensi Tuhan dari segi Zat dan
Sifatnya.
4. Pluralitas agama di Indonesia tidak mesti dipahami bahwa semua agama
adalah benar. Akan tetapi semua agama pada mulanya penganut prinsip
yang sama, dan bentuk persamaan ini adalah keharusan berpasrah kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Demikian Pula memandang semua agama sama
adalah sesuatu yang mustahil sebab dalam kenyataannya agama yang ada
berbeda-beda dalam banyak hal.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim.
Abduh, Muhammad. Risalah Tauhid, Cet. IX: Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Abduh, Muhammad. Tafsir al-Qur'an a1 Karim juz ‘Amma, Kairo Mesir: Dar
Mathabi Asy-Syabi, t.th.
Al-Banna, Gamal. Al-Ta’dddiyah fi al-Mujtama’al-Islam. Di Terjemahkan oleh
Taufilk dengan Judul Doktrin Pluralitas dalam al-Qur’an Bekasi: Menara, 2006.
Departernen Agama RI, AI-Qur'an dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putra.
1989
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.II;
Jakarta: Balai Pustaka 2002.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid V (Jakarta: Van
Hoeve, 2001
M. Echol, Johs dan Hasaan Shadily. Kamus Inggris Indonesia Cet. XXIII; Jakarta:
Gramedia. 1996.
Al-Faruqi, Ismail Raji, Tauhid, Bandung. Mizan, 1988.
Glass, Cyril. The Consice Enciclopaedi of Isfam. Diterjemahkan oleh oleh Gufron
A. Mas’adi dengan judul Ensiklopedi Islam Ringkas Jakarta: Raja Grafindo,
1999.
A1-Gazali, Fadhil al-Anam min Rasa’il Hujjah al-Islam al-Gazali, Tunisia:,
1972.
Al-Hambali, Badr al-Din. Mukhtasar Fatwa Ibnu Taimiyah, Beirut: Dar-al-Kutub
al-Ilmiyyah. t.th.
Imrah, Muhammad. Al-Islam wat. Ta’addudiyah al-Ikhtilaf wat.Tanawwu fi
Ithharil-Wihdah. Di Terjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattanie dengan
judul, Islam dan Pluralitas perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai
Persatuan, Cet.I; Jakarta: Gema Insani, 1999
Jam’ah, Muhammad Lutfi. Tarikh falsafah al-Islamiy, Beirut: Al Maktabah alIslamy, t.th.
Jauziyyah, Ibnu Qayyim. al-Asma al-Husna, Diterjemahkan oleh Samson Rahman
dengan judul. Nama-nama Indah Allah. Cet I; Jakarta: Pustaka al-Kausar,
2000
Madjid Nurcholish. Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam, dalam
Kamaruddin Hidayat (ed), dengan Judul Passing Over, Melintasi Batas
Agama. Cet. III; Jakarta Gramedia, 2001.
Majala “Syir’ah” No. 49/VI/Januari 2006, h. 22-38
Al-Maududi, Abu A'la. Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Mizan. 1984.
Mudhofir. Ali. Kamus Teori dan Aliran Dalam Filsafat dan Teologi, Cet.I
Yogyakarta: Gaja Mada, 1996.
Al-Munawwar. Said Agil Husin. Fikih Hubungan Antar Agama. Cet. III; Jakarta:
Ciputat Press, 2005.
K. Munitz, Milton K. The Way of Phylosophy, New York: Mac. Millan co inc,
1979.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme. Cet.VII; Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Nasution, Hasyimsah. Filsafat Islam, Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
R.A. Nichoson, The Mystic of Islam, London: Borton, 1970
Nur, Syaifan. Filsafat Wujud Mulla Sadra (Cet. I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002.
Rakhmat, Jalaluddin. Islam dan Pluralime Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan
Cet.I; Jakarta: Serambi, 2006.
Ridha, Rasyid. Tafsir al-Manar. Juz IV Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Shihab, M. Quraish. Tafsur al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-qur’an
Vol. 14 Cet. I; Jakarta: Lentera, 2003.
Sulaiman, Abdul Qasim. Mu’jam al-Wasith, Juz I ; t.th
Al-Suyuthi, Jalal al-Din. al-Durr al-manshur, Jilid II, Beirut: Dar al-Fikr, 1983.
At-Tabatthaba’I, Muhammad Husain. al-Mizan, Fi Tfsir al-Qur’an Jilid IV
Taheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1397 H.
Taher, Tarmizi, Membumikan Ajaran dalam Transformasi Bangsa Cet.I; Jakarta:
Hikmah 1996.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum, Cet. V; Bandung: Rosdakarya, 1997.
Zar,Sirajuddin, Filsafat Islam Filosofi dan Filsafatnya, Cet. I; Jakarta: Raja
Grafindo, 2004.
PLURALITAS MAKHLUK DAN KEESAAN KHALIK
Oleh: Khalid Hasan Minabari
NIM. 801 00309083
PROGRAM PASCASARJANA
UIN MAKASSAR
2010