POLA PENDIDIKAN KELUARGA TERHADAP PRESTA

POLA PENDIDIKAN KELUARGA TERHADAP PRESTASI BELAJAR ANAK
Makalah Ini disusun dalam rangka memenuhi tugas yang di
berikan
Dosen Pembimbing : Ibu Ketty Sumarlina,S.Th,M.Pd.K
Nama
NIM

: Andrew Gilbert Oktori
:

Semester : 1 (satu)
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya sampaikan kepada TUHAN YESUS KRiSTUS
karena atas Kasih NYA saya dapat menyusun makalah ini sesuai
dengan waktunya. Sehubungan dengan berakhirnya waktu tatap
muka Mata Kuliah Dasar-dasar Pendidikan , maka makalah ini
saya susun sebagai pemenuhan tugas semester ganjil ini
terkhusus kepada Ibu Ketty sumarlina selaku dosen pembimbing
Mata Kuliah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua serta memperkaya Ilmu pengetahuan kita tentang dunia
pendidikan yang tidak dapat terpisah dari kehidupan kita semua.

Di samping itu saya menyadari bahwa penyusunan serta
penyajian makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kritik dan saran yang dapat memberikan perbaikan
bagi penyempurnaan makalah ini sangat saya harapkan. Sekian
terima kasih.
Penulis,
Pontianak, 29 oktober 2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan
utama. Disebut sebagai lingkungan pendidikan atau lembaga
pendidikan pertama karena sebelum manusia mengenal lembaga
pendidikan yang lain, lembaga pendidikan inilah yang pertama
ada. Selain itu manusia mengalami proses pendidikan sejak lahir
bahkan sejak dalam kandungan pertama kali adalah dalam
keluarga. Para sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran
penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, di samping
terdapat faktor lingkunga lain, keluarga merupakan wahana

pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Apabila
keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anakanaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar
keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan
keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada
tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu,
setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa
sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah.
Terlebih pada prestasi anak tersebut sendiri di bangku sekolah.
1.2 Pembatasan Masalah
Adapun batasan masalah yang penulis sajikan dalam penelitian
ini mengenai Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Prestasi
Belajar Anak
1.3 Rumusan Masalah
Bagaimanakah kedudukan keluarga sebagai wahana pertama dan
utama pendidikan karakter anak ?

Apa sajakah aspek-aspek penting dalam pendidikan karakter anak
?
Bagaimanakah hubungan antara pola asuh keluarga dengan
prestasi belajar anak


BAB II
ISI ( Pembahasan )
A. KELUARGA SEBAGAI WAHANA PERTAMA DAN UTAMA
PENDIDIKAN KARAKTER ANAK
Para sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran penting
dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, keluarga merupakan
wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak.
Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada
anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar
keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan
keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada
tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Karakter
didefinisikan secaara berbeda-beda oleh berbagai pihak. Sebagian
menyebutkan karakter sebagai penilaian subyektif terhadap
kualitas moral dan mental, sementarayang lainnya menyebutkan
karakter sebagai penilaian subyektif terhadap kualitas mental
saja, sehingga upaya merubah atau membentuk karakter hanya
berkaitan dengan stimulasi terhadap intelektual seseorang
(encaycalopedia.thefreedicationary.caom, 2004). Coon (1983)

mendefinisikan karakter sebagai suatu penilaian subyektif
terhadap kepribadian seseorangyang berkaitan dengan atribut
kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima oleh
masyarakat. Sementara itu menurut Megawangi (2003), kualitas

karakter meliputi sembilan pilar, yaitu (1) Cinta Tuhan dan
segenap caiptaan-Nya; (2) Tanggung jawab, Disiplin dan Mandiri;
(3) Jujur/amanah dan Arif; (4) Hormat dan Santun; (5) Dermawan,
Suka menolong, dan Gotong-royong; (6) Percaaya diri, Kreatif dan
Pekerja keras; (7) Kepemimpinan dan adil; (8) Baik dan rendah
hati; (9) Toleran, cainta damai dan kesatuan. Jadi, orang yang
memiliki karakter baik adalah orang yang memiliki kesembilan
pilar karakter tersebut. Pendidikan karakter perlu dilakukan sejak
usia dini. Erik Erikson yang terkenal dengan teori Psycahososial
Development juga menyatakan hal yang sama. Dalam hal ini
Erikson menyebutkan bahwa anak adalah gambaran awal
manusia menjadi manusia, yaitu masa di mana kebajikan
berkembang secaara perlahan tapi pasti (dalam Hurlocak, 1981).
Dengan katalain, Karakter, seperti juga kualitas diri yang lainnya,
tidak berkembang dengan sendirinya. Perkembangan karakter

pada setiap individu dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature)
yang dimulai dari lingkungan keluarga anak tersebut berada dan
faktor lingkungan (nurture). Menurut para developmental
psycahologist, setiap manusia memiliki potensi bawaan yang akan
termanisfestasi setelah dia dilahirkan, termasuk potensi yang
terkait dengan karakter atau nilai-nilai kebajikan. Dalam hal ini,
( Confusius ) seorang filsuf terkenal Cina menyatakan bahwa
manusia pada dasarnya memiliki potensi mencaintai kebajikan,
namun bila potensi ini tidak diikuti dengan pendidikan dan
sosialisasi setelah manusia dilahirkan, maka manusia dapat
berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi (Megawangi,
2003). Oleh karena itu, sosialisasi dan pendidikan anak yang
berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan dimulai dari keluarga
sebagai wahana utama dan pertama, kemudian sekolah, maupun
lingkungan yang lebih luas sangat berperan penting dalam
pembentukan karakter seorang anak. Dalam hal pembinaan
karakter ini sendiri keluarga berperan memberikan pelajaran
mengenai aturan main segala aspek yang ada di dunia ini, serta
memberikan pemahaman mengenai aturan main dalam


hubungan kemasyarakatan. Aturan main disini Menurut Garbarino
& Brofenbrenner (dalam Vasta, 1992), didefinisikan sebagai
aturan-aturan yang menetapkan apa yang salah dan apa yang
benar, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, apa
yang adil dan apa yang tidak adil, apa yang patut dan tidak patut.
sehingga nantinya mampu menanamkan dan mengaplikasikan
aturan main tersebut dalam kehidupan sehari-hari dengan sebaikbaiknya.
B. ASPEK-ASPEK PENTING DALAM PENDIDIKAN KARAKTER ANAK
Dalam membentuk karakter anak diperlukan syarat-syarat
mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Ada tiga
kebutuhan dasar anak yang harus dipenuhi, yaitu maternal
bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental.
1. Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya),
merupakan dasar penting dalam pembentukan karakter anak
karena aspek ini berperan dalam pembentukan dasar
kepercaayaan kepada orang lain (trust) pada anak. Kelekatan ini
membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa
aman sehingga menumbuhkan rasa percaaya.Dengan kata lain,
ikatan emosional yang erat antara ibu-anak di usia awal dapat
membentuk kepribadian yang baik pada anak.

2. Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan anak akan
lingkungan yang stabil dan aman. Kebutuhan ini penting bagi
pembentukan karakter anak karena lingkungan yang berubahubah akan membahayakan perkembangan emosi bayi. normal
bagi seorang bayi untuk mencaari kontak dengan hanya satu
orang (biasanya ibu) pada tahap-tahap awal masa bayi.
Kekacaauan emosi anak yang terjadi karena tidak adanya rasa
aman ini diduga oleh para ahli gizi berkaitan dengan masalah
kesulitan makan pada anak. Tentu saja hal ini tidak kondusif bagi
pertumbuhan anak yang optimal.

3. Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga merupakan
aspek penting dalam pembentukan karakter anak. Menurut pakar
pendidikan anak, seorang ibu yang sangat perhatian (yang diukur
dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus,
menggendong, dan berbicaara kepada anaknya) terhadap anaknya
yang berusia usia di bawah enam bulan akan mempengaruhi
sikap bayinya sehingga menjadi anak yang gembira, antusias
mengeksplorasi lingkungannya, dan menjadikannya anak yang
kreatif.
C. POLA ASUH KELUARGA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN

PRESTASI BELAJAR ANAK
C.1 POLA ASUH DALAM KELUARGA
Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan
(karakter) serta implementasinya terhadap prestasi belajar pada
anak, sangat tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan
orang tua pada anaknya. Pola asuh dapat didefinisikan sebagai
pola interaksi antara anak dengan orangtua yang meliputi
pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain)
dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang dan
lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di
masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan
lingkungannya. Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola
interaksi orang tua dengan anak dalam rangka pendidikan
karakter anak. Secaara umum Hurlocak juga Hardy & Heyes
mengkategorikan pola asuh menjadi tiga jenis yaitu: (1) Pola asuh
otoriter, (2) Pola asuh permisif, dan (3) Pola asuh otoritatif
( demokratis ).
1. OTORITER
Yang dilakukan orang tua:


1) Memberikan tuntutan yang sangat tinggi terhadap kontrol dan
disiplin kepada anak, tanpa memperlihatkan ekspresi cainta dan
kehangatan yang nyata.
2) Menuntut anak untuk mengikuti standar yang ditentukan tanpa
mengizinkan anak untuk mengungkapkan perasaannya.
3) Ingin anak mengikuti kehendaknya tanpa banyak bertanya. 4)
Menutup diri dan menolak adanya diskusi.
Pengaruhnya pada anak:
1) takut memperlihatkan hasil karyanya, karena takut dikritik
yang akan diterimanya.
2) Tidak memiliki keberanian untuk mencaoba hal-hal baru.
3) Tidak memiliki masalah dengan pergaulan kenakalan remaja.
4) Tapi memiliki pribadi yang kurang percaaya diri, ketergantungan
dengan orang tua tinggi, dan lebih mudah mengalami stress.
2. PERMISIF
Yang dilakukan orang tua:
1) Cenderung menghindari konfik dengan anak.
2) Membiarkan anak untuk melakukan apa pun yang diinginkan
oleh anak.
3) Tak memberikan batasan yang jelas apa yang boleh dan apa

yang tidak boleh.
4) Takut memberikan larangan karena dianggap terkesan tidak
mencaintai anak.
Pengaruhnya pada anak:
1)

Merasa boleh berbuat sekehendak hatinya.

2) Memiliki rasa kepercaayaan diri dan kemampuan bersosialisasi
yang caukup besar.
3) Namun akan mudah terseret pada bentuk kenakalan remaja
dan memiliki prestasi sekolah yang rendah. Anak tidak mengerti
norma-norma socaial yang harus dipenuhinya.
4) Anak menjadi bingung, karena ia merasa tidak salah tetapi
mendapat penilaian buruk dari orang lain akibat kurangnya
pemahaman terhadap norma yang dimilikinya.
3. OTORITATIF ( DEMOKRATIS )
Yang dilakukan orang tua:
1)
Memberi kontrol terhadap anak dalam batas-batas tertentu,

dengan tetap memberikan dukungan, kehangatan dan cainta
kepada anak.
2)
Memonitor dan menjelaskan standar dengan tetap
memberikan kebebasan kepada anak untuk berekspresi.
3)
Menghargai prestasi yang telah dicaapai anak, sekecail apa
pun yang telah diperlihatkan oleh anak.
Pengaruhnya pada anak:
1)

Merasa bahwa dia dihargai.

2) Dapat berdiskusi dengan leluasa dengan orang tua tanpa
takuit dikritik atau disalahkan.
3) Merasa bebas mengungkapkan kesulitannya, kegelisahannya
kepada orang tua karena ia tahu bahwa orang tua akan
membantu memberikan jalan keluar tanpa mendiktenya.
4) Tumbuh menjadi individu yang mampu mengontrol dirinya
sendiri, betanggung jawab dan mampu bekerjasama dengan
orang lain.

Pada intinya Pola asuh demokratis mempunyai cairi :
1) Ada kerjasama antara orangtua – anak.
2) Anak diakui sebagai pribadi.
3) Ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua
.4) Ada kontrol dari orangtua yang tidak kaku.
Pola asuh demokratis tampaknya lebih kondusif dalam pendidikan
karakter anak. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Baumrind yang menunjukkan bahwa orangtua
yang demokratis lebih mendukung perkembangan anak terutama
dalam kemandirian dan tanggungjawab. Sementara, orangtua
yang otoriter merugikan, karena anak tidak mandiri, kurang
tanggungjawab serta agresif, sedangkan orangtua yang permisif
mengakibatkan anak kurang mampu dalam menyesuaikan diri di
luar rumah.
Menurut Arkof (dalam Badingah, 1993), anak yang dididik
dengan caara demokratis umumnya caenderung mengungkapkan
agresivitasnya dalam tindakan-tindakan yang konstruktif atau
dalam bentuk kebencaian yang sifatnya sementara saja. Di sisi
lain, anak yang dididik secaara otoriter atau ditolak memiliki
kecaenderungan untuk mengungkapkan agresivitasnya dalam
bentuk tindakan-tindakan merugikan. Sementara itu, anak yang
dididik secaara permisif caenderung mengembangkan tingkah laku
agresif secaara terbuka atau terang-terangan.
Menurut Middlebrook (dalam Badingah, 1993), hukuman fisik
yang umum diterapkan dalam pola asuh otoriter kurang efektif
untuk membentuk tingkah laku anak karena :
(a) menyebabkan marah dan frustasi (dan ini tidak caocaok untuk
belajar)
(b) adanya perasaan-perasaan menyakitkan yang mendorong
tingkah laku agresif

(ca) akibat-akibat hukuman itu dapat meluas sasarannya, misalnya
anak menahan diri untuk memukul atau merusak pada waktu ada
orangtua tetapi segera melakukan setelah orangtua tidak ada
(d) tingkah laku agresif orangtua menjadi model bagi anak.
Dalam Teori PAR (Parental Acacaeptancae-Rejecation Theory)menunjukkan bahwa pola asuh orang tua, baik yang menerima
(acacaeptancae) atau yang menolak (rejecation) anaknya, akan
mempengaruhi perkembangan emosi, perilaku, sosial-kognitif,
dan kesehatan fungsi psikologisnya ketika dewasa kelak. Dalam
hal ini, yang dimaksud dengan anak yang diterima adalah anak
yang diberikan kasih sayang, baik secaara verbal (diberikan katakata cainta dan kasih sayang, kata-kata yang membesarkan hati,
dorongan, dan pujian), maupun secaara fisik (diberi caiuman, elusan
di kepala, pelukan, dan kontak mata yang mesra). Sementara,
anak yang ditolak adalah anak yang mendapat perilaku agresif
orang tua, baik secaara verbal (kata-kata kasar, sindiran negatif,
bentakan, dan kata-kata lainnya yang dapat mengecailkan hati),
ataupun secaara fisik (memukul, mencaubit, atau menampar). Sifat
penolakan orang tua dapat juga bersifat indifeerencae atau
neglecat, yaitu sifat yang tidak mepedulikan kebutuhan anak baik
fisik maupun batin, atau bersifat undiferentiated rejecation, yaitu
sifat penolakan yang tidak terlalu tegas terlihat, tetapi anak
merasa tidak dicaintai dan diterima oleh orang tua, walaupun
orang tua tidak merasa demikian.
Hasil penelitian Rohner menunjukkan bahwa pola asuh orang tua
yang menerima membuat anak merasa disayang, dilindungi,
dianggap berharga, dan diberi dukungan oleh orang tuanya. Pola
asuh ini sangat kondusif mendukung pembentukan kepribadian
yang pro-sosial, percaaya diri, dan mandiri namun sangat peduli
dengan lingkungannya. Sementara itu, pola asuh yang menolak
dapat membuat anak merasa tidak diterima, tidak disayang,
dikecailkan, bahkan dibencai oleh orang tuanya. Anak-anak yang
mengalami penolakan dari orang tuanya akan menjadi pribadi

yang tidak mandiri, atau kelihatan mandiri tetapi tidak
mempedulikan orang lain. Selain itu anak ini akan caepat
tersinggung, dan berpandangan negatif terhadap orang lain dan
terhadap kehidupannya, bersikap sangat agresif kepada orang
lain, atau merasa minder dan tidak merasa dirinya berharga.
Dari paparan di atas jelas bahwa jenis pola asuh yang diterapkan
orang tua kepada anaknya sangat menentukan keberhasilan
pendidikan karakter anak. Kesalahan dalam pengasuhan anak
akan berakibat pada kegagalan dalam pembentukan karakter
yang baik.
Menurut Megawangi (2003) ada beberapa kesalahan orang tua
dalam mendidik anak yang dapat mempengaruhi perkembangan
kecaerdasan emosi anak sehingga berakibat pada pembentukan
karakternya, yaitu :
1. Kurang menunjukkan ekspresi kasih sayang baik secaara verbal
maupun fisik.
2. Kurang meluangkan waktu yang caukup untuk anaknya.
3. Bersikap kasar secaara verbal, misainya menyindir, mengecailkan
anak, dan berkata-kata kasar.
4. Bersikap kasar secaara fisik, misalnya memukul, mencaubit, dan
memberikan hukuman badan lainnya.
5. Terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif
secaara dini.
6. Tidak menanamkan “good caharacater’ kepada anak.
Dampak yang ditimbulkan dari salah asuh seperti di atas,
menurut Megawangi akan menghasilkan anak-anak yang
mempunyai kepribadian bermasalah atau mempunyai kecaerdasan
emosi rendah.
1.Anak menjadi acauh tak acauh, tidak butuh orang lain, dan tidak
dapat menerima persahabatan. Karena sejak kecail mengalami
kemarahan, rasa tidak percaaya, dan gangguan emosi negatif
lainnya. Ketika dewasa ia akan menolak dukungan, simpati, cainta

dan respons positif lainnya dari orang di sekitarnya. la kelihatan
sangat mandiri, tetapi tidak hangat dan tidak disenangi oleh
orang lain.
2. Secaara emosiol tidak responsif, dimana anak yang ditolak akan
tidak mampu memberikan cainta kepada orang lain.
3. Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti orang baik
secaara verbal maupun fisik.
4. Menjadi minder, merasa diri tidak berharga dan berguna.
5. Selalu berpandangan negatif pada lingkungan sekitarnya,
seperti rasa tidak aman, khawatir, minder, cauriga dengan orang
lain, dan merasa orang lain sedang mengkritiknya.
6. Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau tidak tahan
terhadap stress, mudah tersinggung, mudah marah, dan sifat
yang tidak dapat dipreaiksi oleh orang lain.
7. Keseimbangan antara perkembangan emosional dan
intelektual. Dampak negatif lainnya dapat berupa mogok belajar,
dan bahkan dapat memicau kenakalan remaja, tawuran, dan
lainnya.
8. Orang tua yang tidak memberikan rasa aman dan terlalu
menekan anak, akan membuat anak merasa tidak dekat, dan
tidak menjadikan orang tuannya sebagai ”role model” Anak akan
lebih percaaya kepada “peer group”nya sehingga mudah
terpengaruh dengan pergaulan negatif.
C.2 PRESTASI ANAK
Poerwanto (1986:28) memberikan pengertian prestasi belajar
yaitu “hasil yang dicaapai oleh seseorang dalam usaha belajar
sebagaimana yang dinyatakan dalam raport.” Selanjutnya Winkel
(1996:162) mengatakan bahwa “prestasi belajar adalah suatu
bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seseorang siswa
dalam melakukan kegiatan belajarnya sesuai dengan bobot yang
dicaapainya.” Sedangkan menurut S Nasution (1996) prestasi
belajar adalah kesempurnaan yang dicaapai seseorang dalam
berfikir, merasa dan berbuat. Prestasi belajar dikatakan sempurna

apabila memenuhi tiga aspek yakni kognitif, afektif dan
psikomotor, sebaliknya dikatakan prestasi kurang memuaskan
jika seseorang belum mampu memenuhi target dalam ketiga
kriteria tersebut. Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat
dijelaskan bahwa prestasi belajar merupakan tingkat kemampuan
siswa yang dimiliki siswa dalam menerima, menolak dan menilai
informasi-informasi yang diperoleh dalam proses belajar
mengajar. Prestasi belajar seseorang sesuai dengan tingkat
keberhasilan sesuatu dalam mempelajari materi pelajaran yang
dinyatakan dalam bentuk nilai atau raport setiap bidang studi
setelah mengalami proses belajar mengajar. Prestasi belajar
adalah dapat diketahui setelah diadakan evaluasi. Hasil evaluasi
dapat memperlihatkan tentang tinggi atau rendahnya prestasi
belajar siswa.
C.3 PENGARUH POLA ASUH TERHADAP PRESTASI SISWA
Dari 10 responden yaitu siswa dengan ranking 5 besar di sekolah
usia antara 14 sampai dengan 17 tahun , yang kami beri
questionnaire maka diperoleh kesimpulan bahwa 100 % mereka
memahami peranan orang tua ideal dan 90 % menyatakan bahwa
orang tua mereka merupakan sosok orang tua yang ideal buat
mereka karena bagi mereka orang tua adalah yang memberikan
kasih sayang, mendidik, mengarahkan dan membimbing mereka
menjadi anak yang lebih baik dan bermanfaat. Penanaman sikap
disiplin, menerima apa adanya, memberikan motivasi berprestasi
serta aspek spiritual kepada anak diakui merupakan dasar
pembentukan karakter anak berprestasi. Aspek psikis dan
spiritual pada anak yang dihasilkan oleh orang tua dengan pola
asuh otoritatif sangat menunjang secaara signifikan prestasi anak.
Responden menyatakan 100 % orang tua mereka menanamkan
sikap – sikap seperti tersebut diatas dan mereka juga memahami
alasan sikap orang tua menanamkan perilaku tersebut kepada
mereka. Kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan di luar sekolah
yang mereka ikuti dan mendapatkan prestasi selain kegiatan

akademik mereka, dari 10 responden menyatakan 50 % mereka
mengikuti dan berprestasi dan 50 % mereka tidak mengikuti
dengan alasan di sekolah tidak terdapat ekstrakurikuler.
Penghargaan terhadap prestasi anak juga dilakukan oleh orang
tua dengan pola asuh otoritatif walaupun hanya dengan ucaapan
selamat atas prestasi yang mereka peroleh. Sikap orang tua
tersebut akan memberikan efek psikologis bahwa mereka merasa
dihargai eksistensinya dan menjadikan mereka lebih termotivasi
untuk berprestasi lebih baik lagi.
Ketika anak mempunyai masalah dengan sekolah, hubungan
dengan seseorang dan lingkungannya, responden menyatakan 40
% mereka lebih suka/nyaman membicaarakannya dengan orang
tua karena orang tua lebih bisa menyimpan rahasia pribadi dan
memberikan solusi, nasehat untuk membantu menyelesaikan
masalah. Sedangkan 60 % mereka lebih suka caurhat dengan
temannya dengan alasan karena teman atau sahabat mereka
menjadi tempat berbagi caerita dan menjadi kepercaayaan mereka.
Orang tua dengan pola asuh otoritatif bersikap responsif terhadap
kebutuhan anak dan mendorong anak untuk menyatakan
pendapat atau pertanyaan. Dari 10 responden 100 % mereka
menyatakan bahwa orang tua mereka mau mendengarkan
pendapat, solusi dan berdiskusi terhadap suatu hal atau masalah.
Sikap orang tua tersebut akan memberikan efek rasa percaaya diri
anak terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi. Dengan berdiskusi memberikan
ruang bagi orang tua untuk memberikan penjelasan tentang
dampak perbuatan yang baik dan buruk bagi anak dan anak pun
memahami sikap dan alasan orang tua terhadap mereka.
Sehingga hal ini akan memberikan kepercaayaan anak terhadap
orang tua bahwa mereka mendukung sepenuhnya aktivitas
mereka dan harapan akan menjadi orang yang berhasil dan
bermanfaat.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN DAN SARAN
Keluarga merupakan lingkungan sekaligus wadah yang pertama
dan utama yang memiliki peran yang sangat penting dalam
menentukan kerakter sekaligus prestasi anak. Hal ini meliputi
upaya yang dapat dilakukan oleh orang tua dalam mengajarkan
aturan main yang berlaku dalam kehidupan di dunia maupun di
dalam kehiduoan bermasyarakat melalui pola-pola interaksi yang
berlangsung antara orangtua dengan anak atau yang lebih
dikenal dengan pola asuh. Pola asuh yang berbeda antara
orangtua masing-masing anak akan berprngaruh pada hasil
karakter yang terbentuk dalam diri anak yang bersangkutan. Ada
yang berdampak positif dan juga negatif tergantung pola mana
yang dipilih orangtua tersebut. Setelah didasarkan dengan
penelitian yang ada pola sauh demokratis lebih berdampak positif
di banding pola asuh yang lain.
Sebagai saran yang ingin saya sampaikan mungkin dalam
mendidik anak orang tua dapat melakukan hal-hal berikut sebagai
pertimbangan, yaitu antara lain :
Harus disertai kasih sayang
Tanamkan disiplin yang membangun
Luangkan waktu kebersamaan dengan keluarga
Ajarkan salah benar
Kembangkan sikap saling menghargai
Perhatikan dan dengarkan pendapat anak
Membantu mengatasi masalah
Melatih anak mengenal diri sendiri dan lingkungnan

Mengembangkan kemandirian
Memahami keterbatasan pada anak
Menerapkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.