Kebebasan Berpendapat Melalui Media Sosi (1)
KEBEBASAN BERPENDAPAT MELALUI MEDIA SOSIAL DI INDONESIA
Hak asasi manusia merupakan hak-hak yang dimiliki oleh manusia bukan karena
diberikan kepadanya oleh masyarakat yang tertuang dalam hukum positif yang berlaku,
melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia.1 Hak asasi manusia disebut juga
sebagai hak alamiah (natural rights), yaitu hak yang melekat pada manusia terlepas dari
segala adat istiadat atau aturan tertulis. Berikut ini adalah hak-hak yang bertujuan untuk
menjamin martabat setiap manusia, yakni:2
1.
Hak untuk hidup;
2.
Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan atau hukum yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat;
3.
Hak untuk bebas dari perbudakan;
4.
Hak untuk bebas dari pemenjaraan akibat ketidaksanggupan memenuhi kewajiban
kontrak;
5.
Hak untuk bebas dari dinyatakan bersalah atas tindak kriminal yang belum menjadi
hukum pada saat tindakan tersebut dilakukan (prinsip non-retroaktif);
6.
Hak untuk diakui sebagai pribadi hukum; dan
7.
Hak atas kebebasan berpendapat, berkeyakinan, dan beragama.
Kebebasan menyatakan pendapat termasuk dalam hak asasi manusia di mana
kebebasan berpendapat merupakan keadaan bebas untuk mengemukakan isi pikiran melalui
segala media demi terjaminnya martabat manusia. Kebabasan menyatakan pendapat hanya
dimiliki oleh manusia, karena pada dasarnya hanya manusialah yang dikaruniai akal budi,
hati nurani, dan kehendak bebas. Melalui karunia tersebut, manusia dapat memiliki pikiran
apapun dan dapat dengan bebas bertindak untuk mengemukakan isi pikirannya. Maka sesuai
kodratnya sebagai manusia, kebebasan menyatakan pendapat merupakan hak asasi untuk
menyatakan pikirannya baik secara lisan maupun tertulis dengan bebas sebagai pemenuhan
dirinya sebagai manusia.3
Dunia internasional telah berusaha untuk menjunjung hak asasi manusia melalui
pendapat-pendapat tentang hak asasi manusia pasca Perang Dunia II yang tertuang dalam
Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang disahkan pada tahun 1948. UDHR
berisikan mengenai hak asasi manusia di mana kebebasan berpendapat pun menjadi
bagiannya. UDHR memberikan pengakuan terhadap kebebasan berpendapat yang kemudian
1
2
Magnis Suseno, Etika Politik, Cetakan Ketujuh, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, halaman 121.
Rahayu, Hak Asasi Manusia (HAM), Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 2010, halaman 6.
3 Rhona K.M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2010, halaman 11. “Hak
asasi adalah hak yang dimiliki oleh manusia semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia”.
diaplikasikan ke dalam International Covenant of Civil and Political Right (ICCPR) yang
berkenaan dalam pemenuhan hak asasi manusia sebagai strategi untuk menjadikan pendapat
dalam UDHR sebagai hukum yang mengikat bagi negara-negara yang telah meratifikasi
kovenan tersebut. Kovenan ini mengandung hak-hak demokratis yang esensial, kebanyakan
tekait dengan fungsi suatu negara dan hubungannya dengan warga negaranya. Kebebasan
individu untuk meningkatkan kualitas hidup, partisipasi politik dan kebebasan untuk
berekspresi jelas terkait dengan demokrasi dan konsep kebebabsan politik dalam suatu
negara.4
Untuk melindungi hak tersebut, manusia – masyarakat mengadakan kontrak sosial
dengan negara yang berkenaan dengan perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut.
Jikalau penguasa negara mengabaikan kontrak tersebut, maka rakyat di negara itu bebas
untuk menurunkan sang penguasa untuk digantikan dengan penguasa yang sanggup untuk
menghormati hak-hak tersebut. Berdasar kepada konsep pemikiran hukum kodrat dan kontrak
sosial sebagai landasan hak asasi manusia, maka negara memiliki tanggung jawab yang besar
terhadap eksistensi hak rakyatnya. Rakyat memiliki hak asasi yang berlandaskan hukum
kodrat dan pemerintahan dalam hal ini negara, harus menjamin hak asasi rakyatnya. Konsep
pemikiran positivis, menjadikan negara sebagai pihak yang memberikan wewenang dan
jaminan sekaligus batasan secara bersamaan dalam aturan tertulis sebagai legitimasi dari
keberlangsungan penyelenggaraan negara dan hak asasi bagi warga negara. Negara menjadi
pihak yang bertanggung jawab dalam keberlangsungan hak asasi manusia karena rakyat
sudah mengadakan kontrak sosial kepada sang penguasa sebagai perwakilan dari negara. Tak
jarang dijumpai pertentangan antara hak asasi manusia yang satu dengan yang lainnya.
Negara bertanggung jawab untuk menyelesaikannya, salah satu caranya ialah dengan hukum.
Negara-negara berusaha untuk mencapai standar pencapaian bersama yang
dikemukakan dalam UDHR melalui penerapan-penerapan yang sesuai dengan ICCPR
sebagai aplikasi dari UDHR. Dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi
konstitusional, Undang-Undang Dasar (UUD) mempunyai fungsi khas yaitu membatasi
kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat
sewenang-wenang. Dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara akan lebih
terlindungi, termasuk kebebasan berpendapat. Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme
yang secara lebih rinci merupakan paham modern terhadap perlindungan warga negara
dengan cara membatasi kekuasaan negara dan memberikan jaminan hak-hak rakyat. 5
4
5
Ibid, halaman 93.
Jazim Hamidi & Malik, Hukum Perbandingan Konstitusi, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2009,
halaman 15.
Konstitusionalisme yang tercermin dalam UUD memiliki penekanan terhadap dua tuntutan,
yakni Rule of Law yang mengajarkan bahwa otoritas hukum secara universal mengatasi
otoritas politik, dan konsep demokrasi dan HAM yang mengajarkan kebebasan sebagai hak
kodrati manusia yang tidak bisa diambil alih.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia (UUD
1945) menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Sebagai negara hukum,
setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan haruslah berdasarkan pada hukum yang
berlaku.6 Dalam negara yang berdasarkan atas hukum, dalam hal ini hukum harus dimaknai
sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Indonesia
sebagai negara hukum, menggunakan konsep demokrasi karena demokrasi dan negara hukum
adalah dua konsep mekanisme kekuasaan dalam menjalankan roda pemerintahan negara.
Kedua konsep tersebut saling berkaitan yang satu sama lainnya dan tidak dapat dipisahkan.
Pada satu sisi demokrasi memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan
prinsip persamaan dan kesederajatan manusia, pada sisi yang lain negara hukum memberikan
patokan bahwa yang memerintah dalam suatu negara bukanlah manusia, tetapi hukum.7
Secara ekplisit, kebebasan berpendapat masyarakat di Indonesia telah dilindungi dan
dijamin oleh hukum berdasarkan Pasal 28C, Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 28F
UUD 1945, tetapi Pasal 28J UUD 1945 berusaha membatasi dengan kata “pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokaratis”. Hal ini mengakibatkan dalam membuat suatu
kebijakan tertulis yang berupa peraturan perundang-undangan harus mengacu kepada hak
asasi manusia yang terdapat dalam UUD. Dalam menjalankan pemerintahan, Indonesia
sebagai negara hukum tentu mengacu pada peraturan perundang-undangan sebagai
implementasi dari asas legalitas yang identik dengan negara hukum.
Undang-undang mengenai hak asasi manusia, pers, kemerdekaan menyampaikan
pendapat, pendidikan tinggi, informasi dan transaksi elektronik, serta KUHP merupakan
ragam peraturan yang menjamin dan membatasi kebebasan berpendapat di Indonesia.
Munculnya undang-undang tersebut sebagai implikasi dari gejolak masyarakat dan
perkembangan zaman yang menuntut pemerintah untuk menentukan kebijakan yang sesuai
dengan masyarakat dalam kebebasan berpendapat. Pemerintah diharapkan mampu untuk
6
7
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2007, halaman 17.
Muntoha, Jurnal Hukum Nomor 3 Volume 16 Juli 2009: Demokrasi dan Negara Hukum, Fakultas Hukum
UII, Yogyakarta, 2009, halaman 379.
mengambil kebijakan berkaitan dengan kebebasan berpendapat dalam masyarakat. Selain
menjamin kebebasan berpendapat, undang-undang tersebut mengatur mengenai pembatasan
kebebasan berpendapat yang sesuai dengan ketentuan UDHR, ICCPR, dan Pasal 28J UUD
1945.
Dalam orde lama (Tahun 1959-1966) dan orde baru (Tahun 1966-1998), pemerintah
Indonesia berusaha membatasi kebebasan berpendapat masyarakat yang direpresentasikan
melalui pers. Pembatasan tersebut berupa peraturan perundang-undangan berkenaan dengan
Surat Izin Terbit (SIT) dan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Kedua instrumen ini
menjadi bagian dari cara pemerintah untuk meredam kebebasan berpendapat yang merugikan
pihak pemerintah. Instrumen tersebut dijadikan alat bagi pemerintah untuk melancarkan
kepentingan-kepentingan pemerintah. Sementara dalam masa reformasi terjadi pergeseran
dengan tidak melakukan pembatasan secara ketat berhubungan dengan kebebasan
berpendapat karena kebebasan berpendapat didasarkan pada kesejahteraan umum dan
ketertiban umum.
Melesatnya perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi
sangat mempengaruhi warna kehidupan manusia dewasa ini. Tentu teknologi merupakan
penemuan maupun perkembangan yang bersifat netral. Netral dalam pengertian memberikan
pengaruh positif dan negatif. Pengaruh yang diperoleh dengan perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi menghasilkan persepktif yang bertentangan, yakni teknologi
informasi dan komunikasi memberikan kemudahan kepada manusia untuk saling bertukar
informasi dan dalam mengaspirasikan pendapat pribadi dan sekaligus teknologi informasi dan
komunikasi juga berperan sebagai permasalahan dalam kehidupan bermasyarakat. Media
sosial menjadi bagian dari kemajuan teknologi dan informasi. Melalui media sosial, setiap
orang dapat secara bebas menyatakan pendapat dan memberikan informasi, baik berupa
fakta, opini, ataupun kabar bohong, penghinaan, pencemaran nama baik, berkenanaan dengan
SARA dan sejenisnya. Gencarnya pengaruh dalam teknologi informasi dan komunikasi
terlihat jelas dalam beragam kenyataan mengenai media sosial yang terjadi dalam dinamika
masyarakat saat ini.
Perkembangan teknologi khususnya media sosial telah memfasilitasi manusia dalam
memberikan kemudahan berkomunikasi. Handphone sampai bahkan smartphone, internet,
komputer
merupakan
penunjang
untuk
berkomunikasi.
“connecting
people”
dan
“mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat” adalah slogan yang terdengar dalam
era teknologi. Kedua slogan tersebut mengindikasikan bahwa komunikasi dalam era
teknologi memiliki cakupan yang luas, tidak harus bertemu secara langsung untuk berbicara
tetapi dapat melalui handphone dan internet. Perkembangan teknologi dan informasi serta
kebebasan berpendapat yang dimiliki oleh manusia menghasilkan perkembangan dalam
kebebasan berpendapat melalui media sosial yang menimbulkan ketegangan dalam dinamika
masyarakat, khususnya di Negara Indonesia.
Dalam kekinian, permasalahan berkaitan dengan media sosial di Indonesia semakin
marak terjadi. Beberapa kasus sampai menjadi perkara di pengadilan dan bahkan dalam
proses pemilihan presiden baik saat masa kampanye ataupun sesudah masa kampanye,
banyak opini publik dan juga tim sukses dari calon Presiden yang beredar di media sosial.
Ada banyak tanggapan yang mencuat ke permukaan terkait dengan penggunaan media sosial
tersebut. Beragam tanggapan tersebut antara lain:
1.
menyatakan bahwa media sosial merupakan media untuk menyalurkan opini pribadi
kepada publik;
2.
merupakan sarana untuk menjalankan usaha;
3.
efektif sebagai sarana provokasi dan publikasi;
4.
tidak ada etika dalam penggunaan media sosial; dan
5.
tidak ada hukum yang tegas untuk menindak lanjuti penggunaan media sosial.
Bertolak dari realitas masyarakat, terdapat beberapa kasus dalam media sosial yang
menyita perhatian publik. Antara lain.
1.
Prita Mulyasari8
Prita Mulyasari mengeluhkan tentang perawatan yang diberikan oleh RS OMNI
Internasional Tangerang, pada Agustus 2008 melalui surat pembaca dan e-mail,
yang kemudian beredar ke mailing list, membuatnya dijerat dengan UU ITE,
Pasal 27 ayat 3 serta Pasal 310 dan 311 KUHP. Pelapornya adalah dr Hengky
Gozal dan dr Grace Hilza dari RS Omni Internasional Tangerang. Prita sempat
ditahan selama 20 hari di Lapas Wanita Tangerang dan kemudian ditangguhkan
menjadi tahanan kota. Penahanan Prita sempat mengundang perhatian publik
yang kemudian menciptakan 'Koin untuk Prita'. Pada 29 Desember 2009, Prita
akhirnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Tangerang. Prita tidak
terbukti melakukan pencemaran nama baik RS Omni Internasional.
2.
8
Florence Sihombing menghina Yogyakarta di Path9
Bh./Baranews.co, 25 Status di Media Sosial yang Berujung ke Ranah Hukum, 2014, diakses dari
http://baranews.co/web/read/20541/25.kasus.status.di.media.sosial.yang.berujung.ke.ranah.hukum#.VD7gxf
mSzVY pada tanggal 10 Oktober 2014. Dipilih dua kasus yang tak asing dalam masyarakat sebagai contoh
kasus untuk permasalahan dalam media sosial.
Florence dijerat Pasal 27 ayat 3 UU ITE terkait informasi elektronik yang
dianggap menghina dan mencemarkan nama baik. Meski sudah berkali-kali
meminta maaf, Florence tetap dijerat dengan pasal 27 UU ITE dan ditahan untuk
20 hari ke depan. "Yang bersangkutan resmi ditahan pukul 17.00 WIB," kata
Kabid Humas Polda DIY, AKBP Anny Puji Astuti, kepada merdeka.com, Sabtu
(30/8). Dia menambahkan, polisi sudah mengantongi dua alat bukti untuk sampai
pada kesimpulan menahan Florence. Dua barang bukti itu pun sudah disita
kepolisian. "Barang bukti berupa print out capture dari status-statusnya di Path
dan iPhone. Seperti kita lihat dari status Pathnya, memprovokasi.", tambahnya.
Memang secara luas teknologi informasi dan komunikasi memberikan dampak yang
besar terhadap perspektif masyarakat terutama dalam penggunaan media sosial, tetapi
masyarakat belum mampu untuk mengolah diri dalam menghayati perkembangan teknologi.
Penghayatan tersebut dimaksudkan dalam hal menggunakan teknologi dan mengolah
informasi yang diterima dari media sosial. Secara khusus pernyataan tersebut merujuk pada
peristiwa yang dianggap negatif oleh masyarakat, yakni dalam kasus “Florence Sihombing
hina Yogya di Path”.
Komunikasi dan informasi yang memperkecil ruang dan waktu mengakibatkan
peningkatan dan perkembangan dalam aktivitas manusia. Perkembangan tersebut
mengharuskan pembaharuan regulasi yang sesuai dengan perkembangan zaman. Pemerintah
dan badan legislatif telah mensahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya akan disebut UU ITE) disahkan April 2008
yang bertujuan untuk membungkus perkembangan zaman dan menciptakan keharmonisan
dalam bermasyarakat.10 Menurut Catatan Ringkas Tata Kelola dan Praktik Internet di
Indonesia ICT Watch, UU ITE telah menimpa 32 korban yang dianggap melakukan
pencemaran nama baik.11 Aturan tersebut terdapat pada Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE
mengancam siapa pun yang mendistribusikan dokumen atau informasi elektronik yang
bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Di mana setiap orang tidak boleh
secara sengaja dan tanpa hak menyalurkan, menyebarluaskan suatu informasi elektronik dan
atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan, penghinaan dan
pencemaran nama baik, pemerasan dan pengancaman, berita bohong dan menyesatkan, serta
9
Harahap, Lia/Merdeka.com, Florance Resmi ditahan, I-Phone disita, 2014, diakses dari
http://www.merdeka.com/peristiwa/florence-resmi-ditahan-iphone-disita.html pada tanggal 10 Oktober
2014. Sebagai pelengkap informasi terkait Florance.
10 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
11 ICT Watch, Catatan Ringkas Tata Kelola dan Praktik Internet di Indonesia, 2014.
muatan yang menimbulkan rasa kebencian yang didasarkan atas SARA. Perbuatan tersebut
merupakan larangan secara tegas atau pembatasan yang secara eksplisit dalam menikmati hak
kebebasan berpendapat melalui teknologi informatika. Pasal-pasal tersebut pun merambah
kemerdekaan pers dalam melaksanakan fungsi pers melalui sarana teknlogi informasi.
Sungguh tak dapat dipungkiri bahwa pemerintah melalui regulasi tersebut telah
berusaha untuk mengatur realitas berdasarkan dinamika masyarakat sekarang ini.
Permasalahan yang terjadi adalah tolok ukur daripada pencemaran nama baik dan penyebaran
berita bohong atau merupakan sebuah kritik. Pencemaran nama baik berkaitan dengan
informasi yang berupa opini yang diberitakan oleh satu pihak mengenai pihak lain dan
cenderung berisi keburukan pihak lain, namun bukankah itu hanya opini atau luapan
emosional saja? Dampak yang luas dan luar biasa dirasakan oleh para pengguna media sosial
dari berbagai kalangan, di mana pikiran mereka yang membaca mengenai keburukan orang
lain telah terprovokasi baik itu setuju dengan opini ataupun menentang opini tersebut. Maka
sulit untuk membedakan apakah suatu pernyataan yang dikemukakan merupakan opini dan
kritik atau merupakan suatu penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik. Disamping itu,
perspektif masing-masing subjek baik yang menuliskan pernyataan maupun yang
mendapatkan informasi tersebut sangat sering berbeda dan menghasilkan banyak perspektif
dan pergeseran makna. Hal ini dikarenakan tidak jernihnya suatu informasi yang diterima
dari suatu media oleh penerima informasi. Dinamika yang mungkin sering terjadi namun
tidak disadari adalah saat pengguna media sosial mendapatkan suatu informasi dan kemudian
ia memasukkan ulang informasi (re-post) tersebut dari akun media sosial yang ia miliki serta
isi dari informasi tersebut merupakan berisi pencemaran nama baik.
Sementara itu, opini yang tersistematis melalui media sosial di mana muatannya
berunsurkan SARA pun dapat dijadikan sebagai pelanggaran Pasal 28 ayat (2) UU ITE oleh
oknum yang tidak menyukai muatan media sosial tersebut. Namun disisi lain, opini tersebut
dapat membuka pandangan serta wawasan masyarakat, khususnya penggunaan media sosial.
Maka dimungkinkan terjadinya suatu tuntutan yang hanya menilai secara subjektif dan kedua
pasal yang telah dipaparkan disalahgunakan untuk menimbulkan suatu ketegangan dalam
masyarakat seperti memicu konflik sosial. Elastisitas kedua aturan tersebut berujung
kekaburan mengenai maksud sesungguhnya dari pembuat undang-undang.
Maka dapat disimpulkan setidaknya ada dua hal penting yang berhubungan dengan
penegakan hak asasi manusia dalam hukum positif Indonesia. Pertama, sejauh mana hukum
positif Indonesia melindungi hak asasi manusia, sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi
manusia sesuai dengan apa yang tertulis di dalam instrumen hak asasi manusia internasional.
Kedua, sejauh mana ketentuan-ketentuan hak asasi manusia tersebut dihormati dan
dijalankan. Hukum positif Indonesia memberikan berbagai ketentuan yang pada dasarnya
bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia. Hukum sebagai pranata yang mengatur
tingkah laku manusia dalam pergaulan dalam masyarakat dengan ciri khas pemberian sanksi
kepada yang melanggar, menuai dilema. Hukum berhadapan dengan realitas dan berusaha
untuk mengatur realitas yang telah lewat, yang sedang dijalani, dan untuk ke depan. Negara
melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika pun telah mengatur arus komunikasi yang
terjadi di internet dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang berkenaan
dengan kebebasan berpendapat di internet. Tak hanya itu, pihak kepolisian telah
mengeluarkan Surat Edaran Nomor: SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian
(Hate Speech) yang dikeluarkan pada tanggal 8 Oktober 2015 berusaha untuk menangani
ujaran kebencian yang berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas, dan
menimbulkan tindakan diskriminasi, kekerasan, dan atau penghilangan nyawa.
Hak asasi manusia merupakan hak-hak yang dimiliki oleh manusia bukan karena
diberikan kepadanya oleh masyarakat yang tertuang dalam hukum positif yang berlaku,
melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia.1 Hak asasi manusia disebut juga
sebagai hak alamiah (natural rights), yaitu hak yang melekat pada manusia terlepas dari
segala adat istiadat atau aturan tertulis. Berikut ini adalah hak-hak yang bertujuan untuk
menjamin martabat setiap manusia, yakni:2
1.
Hak untuk hidup;
2.
Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan atau hukum yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat;
3.
Hak untuk bebas dari perbudakan;
4.
Hak untuk bebas dari pemenjaraan akibat ketidaksanggupan memenuhi kewajiban
kontrak;
5.
Hak untuk bebas dari dinyatakan bersalah atas tindak kriminal yang belum menjadi
hukum pada saat tindakan tersebut dilakukan (prinsip non-retroaktif);
6.
Hak untuk diakui sebagai pribadi hukum; dan
7.
Hak atas kebebasan berpendapat, berkeyakinan, dan beragama.
Kebebasan menyatakan pendapat termasuk dalam hak asasi manusia di mana
kebebasan berpendapat merupakan keadaan bebas untuk mengemukakan isi pikiran melalui
segala media demi terjaminnya martabat manusia. Kebabasan menyatakan pendapat hanya
dimiliki oleh manusia, karena pada dasarnya hanya manusialah yang dikaruniai akal budi,
hati nurani, dan kehendak bebas. Melalui karunia tersebut, manusia dapat memiliki pikiran
apapun dan dapat dengan bebas bertindak untuk mengemukakan isi pikirannya. Maka sesuai
kodratnya sebagai manusia, kebebasan menyatakan pendapat merupakan hak asasi untuk
menyatakan pikirannya baik secara lisan maupun tertulis dengan bebas sebagai pemenuhan
dirinya sebagai manusia.3
Dunia internasional telah berusaha untuk menjunjung hak asasi manusia melalui
pendapat-pendapat tentang hak asasi manusia pasca Perang Dunia II yang tertuang dalam
Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang disahkan pada tahun 1948. UDHR
berisikan mengenai hak asasi manusia di mana kebebasan berpendapat pun menjadi
bagiannya. UDHR memberikan pengakuan terhadap kebebasan berpendapat yang kemudian
1
2
Magnis Suseno, Etika Politik, Cetakan Ketujuh, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, halaman 121.
Rahayu, Hak Asasi Manusia (HAM), Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 2010, halaman 6.
3 Rhona K.M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2010, halaman 11. “Hak
asasi adalah hak yang dimiliki oleh manusia semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia”.
diaplikasikan ke dalam International Covenant of Civil and Political Right (ICCPR) yang
berkenaan dalam pemenuhan hak asasi manusia sebagai strategi untuk menjadikan pendapat
dalam UDHR sebagai hukum yang mengikat bagi negara-negara yang telah meratifikasi
kovenan tersebut. Kovenan ini mengandung hak-hak demokratis yang esensial, kebanyakan
tekait dengan fungsi suatu negara dan hubungannya dengan warga negaranya. Kebebasan
individu untuk meningkatkan kualitas hidup, partisipasi politik dan kebebasan untuk
berekspresi jelas terkait dengan demokrasi dan konsep kebebabsan politik dalam suatu
negara.4
Untuk melindungi hak tersebut, manusia – masyarakat mengadakan kontrak sosial
dengan negara yang berkenaan dengan perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut.
Jikalau penguasa negara mengabaikan kontrak tersebut, maka rakyat di negara itu bebas
untuk menurunkan sang penguasa untuk digantikan dengan penguasa yang sanggup untuk
menghormati hak-hak tersebut. Berdasar kepada konsep pemikiran hukum kodrat dan kontrak
sosial sebagai landasan hak asasi manusia, maka negara memiliki tanggung jawab yang besar
terhadap eksistensi hak rakyatnya. Rakyat memiliki hak asasi yang berlandaskan hukum
kodrat dan pemerintahan dalam hal ini negara, harus menjamin hak asasi rakyatnya. Konsep
pemikiran positivis, menjadikan negara sebagai pihak yang memberikan wewenang dan
jaminan sekaligus batasan secara bersamaan dalam aturan tertulis sebagai legitimasi dari
keberlangsungan penyelenggaraan negara dan hak asasi bagi warga negara. Negara menjadi
pihak yang bertanggung jawab dalam keberlangsungan hak asasi manusia karena rakyat
sudah mengadakan kontrak sosial kepada sang penguasa sebagai perwakilan dari negara. Tak
jarang dijumpai pertentangan antara hak asasi manusia yang satu dengan yang lainnya.
Negara bertanggung jawab untuk menyelesaikannya, salah satu caranya ialah dengan hukum.
Negara-negara berusaha untuk mencapai standar pencapaian bersama yang
dikemukakan dalam UDHR melalui penerapan-penerapan yang sesuai dengan ICCPR
sebagai aplikasi dari UDHR. Dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi
konstitusional, Undang-Undang Dasar (UUD) mempunyai fungsi khas yaitu membatasi
kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat
sewenang-wenang. Dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara akan lebih
terlindungi, termasuk kebebasan berpendapat. Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme
yang secara lebih rinci merupakan paham modern terhadap perlindungan warga negara
dengan cara membatasi kekuasaan negara dan memberikan jaminan hak-hak rakyat. 5
4
5
Ibid, halaman 93.
Jazim Hamidi & Malik, Hukum Perbandingan Konstitusi, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2009,
halaman 15.
Konstitusionalisme yang tercermin dalam UUD memiliki penekanan terhadap dua tuntutan,
yakni Rule of Law yang mengajarkan bahwa otoritas hukum secara universal mengatasi
otoritas politik, dan konsep demokrasi dan HAM yang mengajarkan kebebasan sebagai hak
kodrati manusia yang tidak bisa diambil alih.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia (UUD
1945) menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Sebagai negara hukum,
setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan haruslah berdasarkan pada hukum yang
berlaku.6 Dalam negara yang berdasarkan atas hukum, dalam hal ini hukum harus dimaknai
sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Indonesia
sebagai negara hukum, menggunakan konsep demokrasi karena demokrasi dan negara hukum
adalah dua konsep mekanisme kekuasaan dalam menjalankan roda pemerintahan negara.
Kedua konsep tersebut saling berkaitan yang satu sama lainnya dan tidak dapat dipisahkan.
Pada satu sisi demokrasi memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan
prinsip persamaan dan kesederajatan manusia, pada sisi yang lain negara hukum memberikan
patokan bahwa yang memerintah dalam suatu negara bukanlah manusia, tetapi hukum.7
Secara ekplisit, kebebasan berpendapat masyarakat di Indonesia telah dilindungi dan
dijamin oleh hukum berdasarkan Pasal 28C, Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 28F
UUD 1945, tetapi Pasal 28J UUD 1945 berusaha membatasi dengan kata “pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokaratis”. Hal ini mengakibatkan dalam membuat suatu
kebijakan tertulis yang berupa peraturan perundang-undangan harus mengacu kepada hak
asasi manusia yang terdapat dalam UUD. Dalam menjalankan pemerintahan, Indonesia
sebagai negara hukum tentu mengacu pada peraturan perundang-undangan sebagai
implementasi dari asas legalitas yang identik dengan negara hukum.
Undang-undang mengenai hak asasi manusia, pers, kemerdekaan menyampaikan
pendapat, pendidikan tinggi, informasi dan transaksi elektronik, serta KUHP merupakan
ragam peraturan yang menjamin dan membatasi kebebasan berpendapat di Indonesia.
Munculnya undang-undang tersebut sebagai implikasi dari gejolak masyarakat dan
perkembangan zaman yang menuntut pemerintah untuk menentukan kebijakan yang sesuai
dengan masyarakat dalam kebebasan berpendapat. Pemerintah diharapkan mampu untuk
6
7
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2007, halaman 17.
Muntoha, Jurnal Hukum Nomor 3 Volume 16 Juli 2009: Demokrasi dan Negara Hukum, Fakultas Hukum
UII, Yogyakarta, 2009, halaman 379.
mengambil kebijakan berkaitan dengan kebebasan berpendapat dalam masyarakat. Selain
menjamin kebebasan berpendapat, undang-undang tersebut mengatur mengenai pembatasan
kebebasan berpendapat yang sesuai dengan ketentuan UDHR, ICCPR, dan Pasal 28J UUD
1945.
Dalam orde lama (Tahun 1959-1966) dan orde baru (Tahun 1966-1998), pemerintah
Indonesia berusaha membatasi kebebasan berpendapat masyarakat yang direpresentasikan
melalui pers. Pembatasan tersebut berupa peraturan perundang-undangan berkenaan dengan
Surat Izin Terbit (SIT) dan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Kedua instrumen ini
menjadi bagian dari cara pemerintah untuk meredam kebebasan berpendapat yang merugikan
pihak pemerintah. Instrumen tersebut dijadikan alat bagi pemerintah untuk melancarkan
kepentingan-kepentingan pemerintah. Sementara dalam masa reformasi terjadi pergeseran
dengan tidak melakukan pembatasan secara ketat berhubungan dengan kebebasan
berpendapat karena kebebasan berpendapat didasarkan pada kesejahteraan umum dan
ketertiban umum.
Melesatnya perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi
sangat mempengaruhi warna kehidupan manusia dewasa ini. Tentu teknologi merupakan
penemuan maupun perkembangan yang bersifat netral. Netral dalam pengertian memberikan
pengaruh positif dan negatif. Pengaruh yang diperoleh dengan perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi menghasilkan persepktif yang bertentangan, yakni teknologi
informasi dan komunikasi memberikan kemudahan kepada manusia untuk saling bertukar
informasi dan dalam mengaspirasikan pendapat pribadi dan sekaligus teknologi informasi dan
komunikasi juga berperan sebagai permasalahan dalam kehidupan bermasyarakat. Media
sosial menjadi bagian dari kemajuan teknologi dan informasi. Melalui media sosial, setiap
orang dapat secara bebas menyatakan pendapat dan memberikan informasi, baik berupa
fakta, opini, ataupun kabar bohong, penghinaan, pencemaran nama baik, berkenanaan dengan
SARA dan sejenisnya. Gencarnya pengaruh dalam teknologi informasi dan komunikasi
terlihat jelas dalam beragam kenyataan mengenai media sosial yang terjadi dalam dinamika
masyarakat saat ini.
Perkembangan teknologi khususnya media sosial telah memfasilitasi manusia dalam
memberikan kemudahan berkomunikasi. Handphone sampai bahkan smartphone, internet,
komputer
merupakan
penunjang
untuk
berkomunikasi.
“connecting
people”
dan
“mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat” adalah slogan yang terdengar dalam
era teknologi. Kedua slogan tersebut mengindikasikan bahwa komunikasi dalam era
teknologi memiliki cakupan yang luas, tidak harus bertemu secara langsung untuk berbicara
tetapi dapat melalui handphone dan internet. Perkembangan teknologi dan informasi serta
kebebasan berpendapat yang dimiliki oleh manusia menghasilkan perkembangan dalam
kebebasan berpendapat melalui media sosial yang menimbulkan ketegangan dalam dinamika
masyarakat, khususnya di Negara Indonesia.
Dalam kekinian, permasalahan berkaitan dengan media sosial di Indonesia semakin
marak terjadi. Beberapa kasus sampai menjadi perkara di pengadilan dan bahkan dalam
proses pemilihan presiden baik saat masa kampanye ataupun sesudah masa kampanye,
banyak opini publik dan juga tim sukses dari calon Presiden yang beredar di media sosial.
Ada banyak tanggapan yang mencuat ke permukaan terkait dengan penggunaan media sosial
tersebut. Beragam tanggapan tersebut antara lain:
1.
menyatakan bahwa media sosial merupakan media untuk menyalurkan opini pribadi
kepada publik;
2.
merupakan sarana untuk menjalankan usaha;
3.
efektif sebagai sarana provokasi dan publikasi;
4.
tidak ada etika dalam penggunaan media sosial; dan
5.
tidak ada hukum yang tegas untuk menindak lanjuti penggunaan media sosial.
Bertolak dari realitas masyarakat, terdapat beberapa kasus dalam media sosial yang
menyita perhatian publik. Antara lain.
1.
Prita Mulyasari8
Prita Mulyasari mengeluhkan tentang perawatan yang diberikan oleh RS OMNI
Internasional Tangerang, pada Agustus 2008 melalui surat pembaca dan e-mail,
yang kemudian beredar ke mailing list, membuatnya dijerat dengan UU ITE,
Pasal 27 ayat 3 serta Pasal 310 dan 311 KUHP. Pelapornya adalah dr Hengky
Gozal dan dr Grace Hilza dari RS Omni Internasional Tangerang. Prita sempat
ditahan selama 20 hari di Lapas Wanita Tangerang dan kemudian ditangguhkan
menjadi tahanan kota. Penahanan Prita sempat mengundang perhatian publik
yang kemudian menciptakan 'Koin untuk Prita'. Pada 29 Desember 2009, Prita
akhirnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Tangerang. Prita tidak
terbukti melakukan pencemaran nama baik RS Omni Internasional.
2.
8
Florence Sihombing menghina Yogyakarta di Path9
Bh./Baranews.co, 25 Status di Media Sosial yang Berujung ke Ranah Hukum, 2014, diakses dari
http://baranews.co/web/read/20541/25.kasus.status.di.media.sosial.yang.berujung.ke.ranah.hukum#.VD7gxf
mSzVY pada tanggal 10 Oktober 2014. Dipilih dua kasus yang tak asing dalam masyarakat sebagai contoh
kasus untuk permasalahan dalam media sosial.
Florence dijerat Pasal 27 ayat 3 UU ITE terkait informasi elektronik yang
dianggap menghina dan mencemarkan nama baik. Meski sudah berkali-kali
meminta maaf, Florence tetap dijerat dengan pasal 27 UU ITE dan ditahan untuk
20 hari ke depan. "Yang bersangkutan resmi ditahan pukul 17.00 WIB," kata
Kabid Humas Polda DIY, AKBP Anny Puji Astuti, kepada merdeka.com, Sabtu
(30/8). Dia menambahkan, polisi sudah mengantongi dua alat bukti untuk sampai
pada kesimpulan menahan Florence. Dua barang bukti itu pun sudah disita
kepolisian. "Barang bukti berupa print out capture dari status-statusnya di Path
dan iPhone. Seperti kita lihat dari status Pathnya, memprovokasi.", tambahnya.
Memang secara luas teknologi informasi dan komunikasi memberikan dampak yang
besar terhadap perspektif masyarakat terutama dalam penggunaan media sosial, tetapi
masyarakat belum mampu untuk mengolah diri dalam menghayati perkembangan teknologi.
Penghayatan tersebut dimaksudkan dalam hal menggunakan teknologi dan mengolah
informasi yang diterima dari media sosial. Secara khusus pernyataan tersebut merujuk pada
peristiwa yang dianggap negatif oleh masyarakat, yakni dalam kasus “Florence Sihombing
hina Yogya di Path”.
Komunikasi dan informasi yang memperkecil ruang dan waktu mengakibatkan
peningkatan dan perkembangan dalam aktivitas manusia. Perkembangan tersebut
mengharuskan pembaharuan regulasi yang sesuai dengan perkembangan zaman. Pemerintah
dan badan legislatif telah mensahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya akan disebut UU ITE) disahkan April 2008
yang bertujuan untuk membungkus perkembangan zaman dan menciptakan keharmonisan
dalam bermasyarakat.10 Menurut Catatan Ringkas Tata Kelola dan Praktik Internet di
Indonesia ICT Watch, UU ITE telah menimpa 32 korban yang dianggap melakukan
pencemaran nama baik.11 Aturan tersebut terdapat pada Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE
mengancam siapa pun yang mendistribusikan dokumen atau informasi elektronik yang
bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Di mana setiap orang tidak boleh
secara sengaja dan tanpa hak menyalurkan, menyebarluaskan suatu informasi elektronik dan
atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan, penghinaan dan
pencemaran nama baik, pemerasan dan pengancaman, berita bohong dan menyesatkan, serta
9
Harahap, Lia/Merdeka.com, Florance Resmi ditahan, I-Phone disita, 2014, diakses dari
http://www.merdeka.com/peristiwa/florence-resmi-ditahan-iphone-disita.html pada tanggal 10 Oktober
2014. Sebagai pelengkap informasi terkait Florance.
10 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
11 ICT Watch, Catatan Ringkas Tata Kelola dan Praktik Internet di Indonesia, 2014.
muatan yang menimbulkan rasa kebencian yang didasarkan atas SARA. Perbuatan tersebut
merupakan larangan secara tegas atau pembatasan yang secara eksplisit dalam menikmati hak
kebebasan berpendapat melalui teknologi informatika. Pasal-pasal tersebut pun merambah
kemerdekaan pers dalam melaksanakan fungsi pers melalui sarana teknlogi informasi.
Sungguh tak dapat dipungkiri bahwa pemerintah melalui regulasi tersebut telah
berusaha untuk mengatur realitas berdasarkan dinamika masyarakat sekarang ini.
Permasalahan yang terjadi adalah tolok ukur daripada pencemaran nama baik dan penyebaran
berita bohong atau merupakan sebuah kritik. Pencemaran nama baik berkaitan dengan
informasi yang berupa opini yang diberitakan oleh satu pihak mengenai pihak lain dan
cenderung berisi keburukan pihak lain, namun bukankah itu hanya opini atau luapan
emosional saja? Dampak yang luas dan luar biasa dirasakan oleh para pengguna media sosial
dari berbagai kalangan, di mana pikiran mereka yang membaca mengenai keburukan orang
lain telah terprovokasi baik itu setuju dengan opini ataupun menentang opini tersebut. Maka
sulit untuk membedakan apakah suatu pernyataan yang dikemukakan merupakan opini dan
kritik atau merupakan suatu penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik. Disamping itu,
perspektif masing-masing subjek baik yang menuliskan pernyataan maupun yang
mendapatkan informasi tersebut sangat sering berbeda dan menghasilkan banyak perspektif
dan pergeseran makna. Hal ini dikarenakan tidak jernihnya suatu informasi yang diterima
dari suatu media oleh penerima informasi. Dinamika yang mungkin sering terjadi namun
tidak disadari adalah saat pengguna media sosial mendapatkan suatu informasi dan kemudian
ia memasukkan ulang informasi (re-post) tersebut dari akun media sosial yang ia miliki serta
isi dari informasi tersebut merupakan berisi pencemaran nama baik.
Sementara itu, opini yang tersistematis melalui media sosial di mana muatannya
berunsurkan SARA pun dapat dijadikan sebagai pelanggaran Pasal 28 ayat (2) UU ITE oleh
oknum yang tidak menyukai muatan media sosial tersebut. Namun disisi lain, opini tersebut
dapat membuka pandangan serta wawasan masyarakat, khususnya penggunaan media sosial.
Maka dimungkinkan terjadinya suatu tuntutan yang hanya menilai secara subjektif dan kedua
pasal yang telah dipaparkan disalahgunakan untuk menimbulkan suatu ketegangan dalam
masyarakat seperti memicu konflik sosial. Elastisitas kedua aturan tersebut berujung
kekaburan mengenai maksud sesungguhnya dari pembuat undang-undang.
Maka dapat disimpulkan setidaknya ada dua hal penting yang berhubungan dengan
penegakan hak asasi manusia dalam hukum positif Indonesia. Pertama, sejauh mana hukum
positif Indonesia melindungi hak asasi manusia, sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi
manusia sesuai dengan apa yang tertulis di dalam instrumen hak asasi manusia internasional.
Kedua, sejauh mana ketentuan-ketentuan hak asasi manusia tersebut dihormati dan
dijalankan. Hukum positif Indonesia memberikan berbagai ketentuan yang pada dasarnya
bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia. Hukum sebagai pranata yang mengatur
tingkah laku manusia dalam pergaulan dalam masyarakat dengan ciri khas pemberian sanksi
kepada yang melanggar, menuai dilema. Hukum berhadapan dengan realitas dan berusaha
untuk mengatur realitas yang telah lewat, yang sedang dijalani, dan untuk ke depan. Negara
melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika pun telah mengatur arus komunikasi yang
terjadi di internet dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang berkenaan
dengan kebebasan berpendapat di internet. Tak hanya itu, pihak kepolisian telah
mengeluarkan Surat Edaran Nomor: SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian
(Hate Speech) yang dikeluarkan pada tanggal 8 Oktober 2015 berusaha untuk menangani
ujaran kebencian yang berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas, dan
menimbulkan tindakan diskriminasi, kekerasan, dan atau penghilangan nyawa.