BEYOND THE CLASSROOM Menumbuhkan Studi S (1)

24. BEYOND THE CLASSROOM
Menumbuhkan Studi Sejarah Islam di Luar Kelas
Amelia Fauzia*
Prolog
Selepas subuh di awal Maret 2018, saya mengantar satu grup kecil terdiri dari
mahasiswa dan alumni UIN Jakarta untuk berkeliling di kampus National University of
Singapore (NUS), di Kent Ridge, Singapura. Kebetulan selama dua tahun setengah ini
saya menjadi Visiting Senior Research Fellow di Divisi Religion and Globalisation, pada Asia
Research Institute (ARI), salah satu pusat penelitian terkemuka untuk kajian mengenai
Asia yang ada di bawah NUS. Cukup berat, karena selain dituntut melakukan riset,
fieldwork yang serius serta menghasilkan publikasi internasional yang berkualitas tinggi,
saya harus membagi waktu untuk tetap mengajar dan berkiprah di kampus UIN Jakarta.
Status sebagai peneliti tamu di NUS ini saya manfaatkan untuk membantu menjadi
jembatan bagi mahasiswa, dosen, serta lembaga di lingkungan UIN Jakarta untuk
menambah wawasan, jaringan, serta pengalaman khususnya dari kampus yang pada
tahun 2018 masuk jajaran World Class University pada posisi 15 (menurut versi QS
Global World Ranking) atau posisi 22 (menurut versi THE World University Ranking). ヱ
Sambil berkeliling, saya bercerita dan memberi konteks terhadap hal-hal yg dirasa beda
atau baru dibandingkan dengan kampus UIN.
Setelah sehari sebelumnya melihat perpustakaan, mengunjungi NUS Museum,
menikmati hutan kampus, partisipasi di seminar; saya ajak mereka melihat University

Town, sebuah komplek tambahan di kampus Kent Ridge untuk residential colleges atau
asrama mahasiswa. Selain isinya gedung-gedung apartemen untuk asrama, terdapat pula
fasilitas gym dan kolam renang, lapangan hijau yang bisa dipake untuk konser, olahraga
dan piknik, belasan café dan resto serta foodcourt, minimarket, ruang belajar indoor serta
outdoor yang ada akses wifi serta stop kontak listrik di hampir semua meja dan diberi
penerangan untuk belajar malam hari. Semuanya sangat student friendly dan mendorong
mahasiswa serta pengunjung merasa nyaman dan produktif. Belajar bisa dilakukan
sambil ngadem di bawah pohon, di foodcourt sambil makan sesuai pilihan harga dan
menu, atau di asrama. Terlebih lagi, bahan-bahan riset, buku dan artikel di perpustakaan,
serta materi kuliah, semua bisa diakses online. Urusan administrasi juga online dan sangat
efisien. Saya bilang ke grup kecil UIN ini, kalau kalian ke depan mau membangun
fasilitas universitas, konsep arsitektur, disain dan tata kelola University Town ini sangat
bisa ditiru. Efisien, "green", tidak rumit maintenance, nyaman, dan fungsional. Seorang
mahasiswa SKI, Harun Al-Rasyid, yang ikut kegiatan keliling kampus NUS langsung
*Dr. Amelia Fauzia, MA. adalah Dosen Tetap Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas
Adab dan Humaniora (FAH) UIN Jakarta; juga sebagai Visiting Senior Research Fellow pada Asia
Research Institute (ARI) - National University of Singapore (NUS). Korespondensi surel:
ameliafauzia@uinjkt.ac.id.

Posisi ini dinamis, tergantung banyak factor, khususnya jumlah sitasi. Pernah tahun 2015 NUS

masuk pada posisi 12 menurut versi QS. Lompatan ini luar biasa, padahal tahun 2014 posisi NUS dan
NTU masih di bawah
top 22 dan 39 dalam daftar universitas terbaik di dunia.
https://www.timeshighereducation.com/world-university-rankings/national-university-singapore
dan https://www.topuniversities.com/universities/national-university-singapore-nus. Walau posisi ini
dinamis, namun NUS (dan NTU di Singapura) pada tiga tahun terakhir merupakan dua universitas terbaik
di Asia.

Memotret Dunia, Membangun Peradaban I 157

komentar, "Wah kalau fasilitas seperti ini, mahasiswa akan rajin belajar...!", katanya
dengan bersemangat.

Beyond the Classroom: Sebuah Inspirasi dan Motivasi
Kami terus berkeliling. Di sebelah utara lapangan, di bawah kaca lantai dua yang
menampakkan mahasiswa sedang nge-gym, banner besar terpampang dengan tulisan
"Beyond the Classroom". Di sisi lain ada banner besar tertuliskan Beyond Textbook. Hmm…
“melampaui ruang kelas” dan “melampaui buku pelajaran”? Apa maksudnya? Saya
menjelaskan bahwa di NUS mahasiswa didorong bahwa kuliah itu tidak melulu di kelas
dan tidak melulu terfokus pada buku text. Tapi di lingkungan kampus, mahasiswa

dididik supaya memiliki skill dan dikenalkan dengan dunia luar yang beragam. Memang
tatap muka dosen-mahasiswa dan buku text itu penting, tapi itu hanya sebagian saja.
Memangnya, tugas membaca dan menulis itu dilakukan di mana? Ya di luar ruang kelas,
dilakukan secara mandiri, di mana saja. “Ruang kelas” lebih banyak menjadi mekanisme
untuk mendapat panduan, bimbingan, melakukan diskusi terstruktur, melaporkan, dan
evaluasi apakah proses belajarnya sudah on the track. Kuliah itu bukanlah datang, duduk
manis di kelas, dan pulang. NUS membuat academic environment bahwa belajar itu di mana
saja, dan kapan saja, dengan bantuan sumber online, tapi tentu saja diberi modal
metodologi dan dipandu agar bisa belajar sendiri tanpa tersesat. Selain fasilitas di
kampus yang dirancang supaya bisa belajar di mana saja, mahasiswa didorong untuk
melakukan pertukaran dan memiliki pengalaman di negara lain. 80 persen dari 38 ribu
mahasiswa NUS pernah ke luar negeri (untuk pertukaran, seminar/summer course,
magang, atau KKN dan kegiatan mahasiswa). Pertukaran budaya itu juga terjadi di
kampus, di mana mahasiswa NUS itu berasal dari setidaknya 100 negara. Bahkan, dosen
dan peneliti NUS adalah top akademisi di bidangnya, di mana 70 persen bukanlah warga
negara Singapura. Di sini terlihat bahwa mahasiswa di arahkan untuk belajar dan tumbuh
di luar kelas dan juga belajar dari keragaman orang, lembaga dan budaya lain.
Tiba-tiba saya jadi teringat kondisi kampus dan mahasiswa di UIN Jakarta, yang
sebetulnya sudah memiliki konsep dan potensi ke arah yang sama (dengan NUS), tapi
belum maksimal. Tidak hanya sekarang, tapi sejak dahulu, 23-28 tahun yang lalu, sejak

saya berkuliah di Fakultas Adab (1990-1995). Dan ternyata saat itu saya lebih banyak
belajar beyond the classroom dan beyond textbook. Saya pernah aktif di paduan suara kampus,
pernah ikut latihan teater kampus sekali, aktif dan jadi ketua di Lembaga Studi Sejarah
Kebudayaan Islam—LS2KI, aktif dan jadi pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
di komisariat Fak Adab, bahkan aktif dan jadi pengurus di organisasi lingkungan hidup
dan kemanusiaan yang bernama Kembara Insani Ibnu Batutah (RANITA). Kelihatan
sepele. Tapi setelah saya berefleksi, ternyata itulah jembatan-jembatan kecil yang
membantu saya bisa lulus dengan cumlaude, bisa berkuliah S2 di Universitas Leiden di
Belanda, membuat pusat kajian dan lembaga kemanusiaan di kampus, dan kemudian
studi S3 di Universitas Melbourne. Keduanya masuk dalam World Class University.
Masak iya sih, aktif di kegiatan-kegiatan itu bisa menunjang perkuliahan? Saya
beri contoh cerita di bawah ini. Saya mendapat nilai A untuk skripsi saya mengenai Ratu
Adil. Ide menulis itu lebih banyak saya dapat dari aktivitas diskusi di LS2KI yang
membuat saya kesengsem dengan pendekatan sejarah sosial, familiar dengan buku-buku
sejarah terbaru, dan kenal dengan beberapa sejarawan besar yang sering saya undang
seminar. Ketika itu tidak ada mata kuliah sejarah sosial di jurusan SKI. Untuk riset dan
memperkuat argumen skripsi itu, saya berhasil mewawancarai Prof Sartono Kartodirdjo,
sejarawan Indonesia paling senior ketika itu yang merupakan guru besar sejarah di
Universitas Gajah Mada (UGM). Sendirian, saya nekad pergi ke Yogya, tanpa ada
Memotret Dunia, Membangun Peradaban I 158


rekomendasi dari siapapun, di era yang tidak ada internet dan email, apalagi media sosial
untuk mewawancarai beliau. Untuk membuat proposal, bukan sesuatu yagn sulit, karena
saya sudah sering lakukan di LS2KI dan HMI. Untuk mencari kontak telpon serta
alamat Prof Sartono serta membuat janji pertemuan, saya sudah “belajar” banyak dari
HMI. Bahkan saya juga “belajar” ilmu mencari dana atau fundraising dari HMI pula,
sehingga dapat biaya untuk perjalanan ke Yogyakarta. Untuk perjalanan dan akomodasi
gratis di Yogya, saya sudah mahir karena ilmu survival didapatkan (baik untuk di tengah
hutan maupun tengah kota) dari RANITA. Kalau hanya kota Yogyakarta, tidak terlalu
masalah. Apalagi saya sudah punya network, pernah camping bareng mahasiswa
pencinta alam Gitapala di kali Kuning (akibat tidak boleh naik Merapi yang ketika itu
sedang “batuk-batuk”), bahkan sudah pernah sampai ke puncak Semeru. Untuk
membuat pertanyaan dan menyakinkan Prof Sartono, sedikit ilmu saya dari LS2KI
sudah cukup lumayan sehingga beliau cukup betah lama berdialog dan menjawab
pertanyaan saya, mahasiswa dari kampus luar yang tidak dikenalnya ini, dengan sabar
dan penuh perhatian. Dan tentu saja, skripsi saya yang baik itu karena bimbingan Pak
Uka Tjandrasasmita dan juga Pak Badri Yatim. Kalau mau dibuat prosentase, ternyata
kontribusi dari “kuliah non-formal” itu cukup besar. Network, wawasan, kerja keras,
serta bimbingan menjadi kunci.
Contoh lain, proses saya bisa mendapat beasiswa studi S2 di Leiden. Saya tidak

tahu ada beasiswa studi ke Leiden, sehingga mendaftar beasiswa ke negara lain. Namun
Dr Johan Meuleman tahu bahwa saya ingin studi sejarah di Leiden dan memberitahu
mengenai beasiswa ini. Waktu yang sangat mepet, tidak menjadi penghalang, karena saya
sudah memiliki semua kelengkapan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,
termasuk—yang tidak dimiliki oleh kandidat lain untuk waktu singkat adalah adalah hasil
TOEFL dan sertifikat ujian internasional bahasa Belanda. Dua hal ini tidak diwajibkan di
UIN ketika itu, tapi konsisten saya kursus bahasa Inggris dan bahasa Belanda selama
beberapa tahun sepanjang kuliah saya. Saya kenal dekat dengan Pak Meuleman melalui
LS2KI bahkan beliau memberi support ketika tahu saya mengajar kursus bahasa Belanda
untuk mahasiswa di LS2KI. Mungkin orang melihat bahwa ini suatu kebetulan. Tapi
bagi saya tidak. Namun, kebetulan itu akan lebih sering datang dan menjangkau bagi
mereka yang memiliki kapasitas dan network!
Ketika sudah menjadi dosen di Fakultas Adab, dengan sengaja saya selalu
bercerita tentang dunia luar yang saya kunjungi dengan cara gratisan karena dapat
beasiswa dan fellowship itu, selayaknya Ibn Batutah menuliskan di Rihlah-nya untuk
menyemangati mahasiswa agar menguatkan minimal keterampilan bahasa Inggris dan
mengikuti kelompok kajian. Para mahasiswa pun tak kalah bersemangat dan sepaham
bahwa keterampilan bahasa itu sangat penting. Namun semangat mahasiswa ini hanya
sampai pada kata-kata yang tidak masuk ke hati. Ketika saya tanya semester depannya
atau satu tahun kemudian, apakah ada yang belajar bahasa baik itu kursus ataupun via

belajar online yang free, mereka masih pada kondisi yang sama dan berucap 1001 alasan.
Ada satu atau dua yang sudah mulai, selebihnya no action talk and dream only! Ketika ada
peluang summer course dan studi S2 bahkan S3 dari kolega-kolega saya di luar negeri,
sulit sekali saya mendapat kandidat yang mumpuni dari UIN untuk berkompetisi sesuai
persyaratan. Jangankan score TOEFL yang tinggi dan proposal yang keren, untuk ikut
test TOEFL institusional saja tidak pede, dan bingung “hmm, mau studi apa ya?”.
Kesempatan pun hilang.
Sepertinya salah satu sumber kesulitan ini adalah kebanyakan mahasiswa hidup
pada dua dunia yang—sepertinya—berbeda. Mahasiswa yang bergaya aktivis dan
berwawasan merasa terlalu sibuk di kegiatan politik dan kajian kampus sehingga tidak
Memotret Dunia, Membangun Peradaban I 159

ada waktu untuk mengasah keterampilan bahasa mereka, sedangkan masuk kelas ketemu
dosen saja mereka nomer dua-kan. Classroom dianggap tidak penting. Sedangkan
mahasiswa yang rajin dan tekun belajar merasa bahwa kegiatan kampus akan menguras
waktu dan ketakutan kalau tidak masuk kuliah dosen bisa marah dan nanti ujian dapat
nilai jelek. Sesat asumsi. Classroom dan textbook menjadi satu-satunya sumber. Mahasiswa
jenis pertama punya wawasan baik tapi seringkali nilainya pas pasan, tidak bisa ujian
karena absen kurang dan beberapa kasus tidak lulus kuliah. Mahasiswa jenis kedua
memiliki absen yang sangat baik tapi minim wawasan dan seperti beo, fokus pada

menghafal dari buku dan ujaran dosen. Bagi dua tipe mahasiswa ini, keterampilan bahasa
tidak menjadi perhatian. Kalau pun pernah mencoba kursus, hanya bertahan satu atau
dua semester dan berhenti dengan beragam alasan. Memang, kursus itu berat, apalagi
jika tempatnya dianggap jauh, guru dan materi tidak menarik, sehingga yang muncul
adalah kebosanan. Gimana melawan ini semua? Selama lebih dari dua tahun, setidaknya
saya berhasil melawan kemalasan naik angkot dan bis bolak balik dari Ciputat ke Slipi
(kursus bahasa Inggris) atau ke Kuningan (kursus bahasa Belanda di Erasmus Huis),
melawan ketakutan kalau pulang kursus malam, melawan malu karena sering nebeng
mobil teman, melawan kebosanan dengan guru dan materi kursus yang sepertinya itu itu
saja. Persistence itu ada karena saya selalu ingat tujuan akhir, salah satunya untuk bisa
membaca naskah bahasa Inggris dan Belanda, dan sadar bahwa proses ke sana memang
berat. Kesadaran dan keyakinan inilah yang membuat seseorang bisa bertahan.
Kesadaran ini sebenarnya bisa ditumbuhkan di dua jenis mahasiswa di atas, namun
butuh bimbingan dari kampus, agar mahasiswa yang rajin itu juga memiliki wawasan,
dan mahasiswa yang punya segudang aktivitas itu bisa punya perspektif akademik. Inti
hidup itu adalah keseimbangan. Dan salah satu cara keseimbangan itu bisa dilakukan
dengan menumbuhkan studi sejarah beyond the classroom.
Selain ketangguhan (persistence), saya mendapat wawasan dan network dari HMI.
Pemikiran Nurcholish Madjid atau Cak Nur—baik dari mendengar ceramahnya secara
langsung maupun dari membaca karya-karyanya—memberi pengaruh kuat untuk kritis,

dan memahami dinamika Islam di Indonesia. HMI “membantu” saya sampai di seminar
di Universitas Leiden tentang Islam pada masa Orde Baru misalnya, ketika tidak banyak
yang tahu mengenai buku Ahmad Wahib dan Soe Hok Gie, saya bisa berkomentar
panjang lebar, sedikit sok tahu. Tentu saja, bagi aktivis HMI, buku Pergolakan Pemikiran
Islam-nya Ahmad Wahib sudah seperti buku wajib. Saya kenal dekat sosok Soe Hoek Gie
awalnya pun lebih karena melihat batu peringatan di mana dia meninggal di sebuah trek
pendakian sebelum puncak Gunung Semeru. Agak serem sebenarnya, apalagi
suasananya agak gelap dan dengan posisi kemiringan mungkin 60 derajat, tapi batu itu
membuka keingintahuan lebih tentang sosok dan pemikirannya. Jadi wawasan akademis
yang men-support saya di seminar di atas itu adalah perpaduan dari aktivitas saya di HMI
dan RANITA. Lagi-lagi, beyond the classroom dan beyond textbook itu sangat menunjang
aspek riset, wawasan, serta kepercayaan diri saya sebagai akademisi. Jadi kuliah itu pada
hakikatnya bukanlah bagaimana mahasiswa diajar di dalam kelas, tapi bagaimana mereka
tumbuh di luar kelas, dalam lingkungan kampus yang transformatif.
Sumbangan dari classroom dan texbook tentu juga ada. Ya, khususnya bimbingan
dari dosen-dosen yang memiliki pengalaman internasional. Banyak dosen menjadi
inspirasi waktu saya kuliah dulu, misalnya Prof Azyumardi Azra, Prof Hasan Muarif
Ambary, Drs. Uka Tjandrasasmita, Dr Johan Hendrik Meuleman, Dr Badri Yatim, Dr
Abdul Chair, dan Prof Nabilah Lubis yang saya lihat bersentuhan dengan dunia luar
kampus. Diam-diam, kualitas Fakultas Adab itu tinggi, bahkan sejak dahulu sudah punya

dosen tamu--bukan sekedar berkunjung sebentar untuk riset, tapi betul-betul dosen yang

Memotret Dunia, Membangun Peradaban I 160

mengajar selama beberapa tahun. Punya berapakah kita sekarang? Ke depan, pengadaan
dosen tamu (kerjasama dengan universitas kelas dunia, kontrak satu-dua tahun) adalah
investasi jangka panjang untuk lebih efisien mentransformasi kampus. Sumbangan dari
classroom dan textbook atau dari dosen yang memiliki kapasitas transformatif menjadi
sangat penting. Dosen seperti ini yang membuat saya bisa melek sejarah, bisa
membedakan mana Islam sebagai norma ideal dan mana realita sejarah.
Sejarah Islam: Antara Norma Ideal dan Realita Sejarah
Pendekatan sejarah dapat membantu siapapun melihat realita kehidupan masa
lalu untuk dipelajari, dihayati dan digunakan untuk melihat dan menentukan masa kini
dan masa mendatang. Saya teringat dalam satu kuliah sejarah Islam di fakultas Adab,
mungkin pada tahun kedua perkuliahan, kami membahas sejarah Khulafaurrasyidin,
pemerintahan empat khalifah awal yang dianggap ideal. Karena pembahasan detail,
ending tiap khalifah jadi salah satu perhatian, dan kami tercenung bahwa tiga dari empat
khalifah meninggal dengan cara tragis, dibunuh. Ada mahasiswa bertanya, bukankah
ajaran Islam itu mulia dan melarang pembunuhan? Beberapa spekulasi politik, sosial, dan
lainnya pun bermunculan—memang asal bicara, karena tidak ada yang punya bacaan

mendalam dari sumber otoritatif. Dengan shortcut, dosen menjelaskan bahwa semua
khalifah itu orang baik, orang terpilih, maka kita harus berbaik sangka, dan tidak perlu
dibahas yang buruk-buruk dari mereka dan juga sejarah Islam. Akhirnya diskusi berhenti
dan sepanjang semester pembahasan menjadi garing karena khawatir mengangkat
keburukan seseorang, sehingga fenomena peperangan, konflik, kekerasan, dan suksesi
kepemimpinan yang melingkungi kerajaan, lepas tidak bisa dipahami oleh saya dan
kawan-kawan mahasiswa. Saya pun lebih banyak tertarik pada sejarah Islam di
Indonesia, dan melupakan ketertarikan pada sejarah Islam awal dan Abad Pertengahan.
Ketika studi S3 di Universitas Melbourne, saya meneliti sejarah kedermawanan
Islam, yaitu praktik-praktik zakat, sedekah dan wakaf. Kuliah S3 ini, sama sekali tidak
ada classroom dan textbook. saya melahap buku-buku yang ditulis oleh sejarawan Muslim,
misalnya Al-Maqrizi, Ibn Khaldun, dan Al-Tabari. Saya berharap banyak bisa
menemukan praktik zakat, sedekah, dan wakaf yang dilakukan pada masa awal sejarah
Islam. Agak kecewa karena ternyata dalam buku-buku sejarah itu, praktik tentang zakat,
sedekah dan wakaf itu sangat sedikit; menemukan satu kata “zakat” seperti menemukan
harta karun di tengah-tengah cerita tentang dunia kerajaan, konflik, peperangan, bahkan
cerita-cerita kekerasan dan pembunuhan. Bayangkan saja, budaya Arab yang sangat kuat
hafalan, bisa bercerita detail jalannya suatu pertempuran yang membuat saya bergidik—
penting bagi ahli dan sejarawan militer dan peperangan, tapi tidak bagi saya yang menulis
tentang sejarah kedermawanan. Saya kecewa karena awalnya ada harapan yang
berlebihan tentang praktik zakat yang klaimnya mengentaskan kemiskinan dan para
khalifah yang ideal—khilaf bahwa mereka adalah manusia. Akhirnya praktik mengenai
zakat, sedekah dan wakaf yang saya cari lebih banyak saya dapatkan dari kitab hadith dan
kitab fikih. Tentang zakat saya temukan dalam buku-buku mengenai perpajakan dan
keuangan negara, di mana zakat hanya menjadi pemasukan sangat kecil ke kas negara,
jauh dari beragam pajak, dan jauh dari yang saya bayangkan.ヲ Lebih shock lagi ketika
membaca laporan Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin bahwa pemungut zakat negara
Misalnya Kitab al-Kharaj ditulis oleh Abu ‘Ubaydillah (w 786), menteri dari khalifah Al-Mahdi.
Abu Yusuf Ya’qub Ibrahim Al-Anshari (w.798) juga menulis Kitab Kharaj—dengan judul yang sama—atas
perintah khalifah Harun Al-Rasyid. Pada abad ke-sembilan Abu ‘Ubaydillah Al-Qasim bin Sallam (w.838),
seorang ahli hukum pada pemerintahan Abbasiyah, menulis buku sejenis dengan judul Kitab Al-Amwal.
Pada abad kesepuluh, Qudama bin Ja’far al-Katib (w.932) menulis kita Al-Kharaj wa Sana’at al-Kitabah.
2

Memotret Dunia, Membangun Peradaban I 161

sudah jarang ditemukan di berbagai negeri Islam. Mengapa konsep zakat yang bagus itu
tidak berjalan baik di kerajaan? Dan para khalifah itu kan seharusnya menjalankan
norma ajaran Islam, kenapa bisa membunuh, kenapa bermewahan dan ada yang punya
selir sampai ratusan? Itu pertanyaan sederhana saya. Sering berdialog dengan Ibn
Khaldun via Muqaddimah, memberi saya pencerahan bahwa yang kita lihat adalah
fenomena sekelumit sejarah manusia, bagian dari banyak peradaban besar dunia, yang
tidak lepas dari keterpengaruhan dari atau keterhubungan dengan peradaban lain.
Sebagai penganut kepercayaan yang sama, kita harus bisa meletakkan mana fakta dan
mana harapan, dan tetap obyektif. Namun, tetap saja sedikit ada rasa senang ketika tahu
ternyata bukanlah zakat tidak dipraktikkan, tapi praktik zakat itu dilakukan oleh
masyarakat, dan jarang dikelola oleh kerajaan.
Dari pengalaman di atas, ternyata saya belajar metodologi ilmu sejarah, tidak dari
classroom, tapi dari buku-buku sejarah. Selain tentang meletakkan perspektif dan harapan
pribadi, saya melihat historiografi pada masa itu didominasi oleh penulisan sejarah
sebagai fenomena politik yang berfokus pada raja dan elit, sehingga minim sekali cerita
tentang zakat. Sejarah masyarakat biasa, atau sejarah sosial, baru menguat pada abad ke19. Jadi wajar jika buku sejarah awal Islam itu isinya demikian, dengan Muqaddimah
sebagai pengecualian. Dan realita kehidupan masyarakat masa itu yang penuh dengan
dunia peperangan bukan eksklusif masyarakat Muslim saja.
Ibnu Khaldun dan sejarawan Muslim lain memberi saya pencerahan agar
bersikap kritis terhadap apa yang kita kaji dan tulis, bagaimana ilmu sejarah bisa
membuat kita memahami mana realita dan mana idealisme. Mungkin kita bisa merujuk
pada ujaran Nabi yang mengatakan akan menegakkan hukum potong tangan bagi
pencuri, sekalipun itu dilakukan oleh anaknya sendiri, Fatimah. Artinya, jika Nabi
menulis sejarah, beliau akan bersikap profesional sekalipun yang dituliskan adalah
peristiwa yang buruk bahkan dilakukan oleh anaknya sendiri.
Itu sepertinya prinsip yang dianut oleh ilmuwan seperti Ibn Khaldun dan AlTabari sehingga bisa menulis dengan profesional. Tulisan-tulisan mereka dipuji dan
menjadi buku referensi berabad-abad setelah mereka tiada. Sejarawan Muslim bisa
bersikap obyektif melihat sejarah komunitas nya dan bisa menempatkan idealisme dan
harapan pada sisi lain. Jika pun ada realita yang dianggap tidak ideal sesuai dengan ajaran
Islam khususnya oleh Muslim masa kontemporer, misalnya bagaimana tiga dari
khulafaurrasyidin berakhir dengan tragis, bagaimana pengikut Ali bin Abi Thalib bisa
berperang dengan pengikut Aisyah istri Nabi, mereka bisa obyektif menganalisa pada
budaya dan politik sejarah manusia Abad Pertengahan itu. Sejarawan Muslim
menempatkan fenomena yang dikajinya sebagai fenomena manusia (bukan malaikat
yang sempurna) tanpa perlu ditutup-tutupi. Toh jika ditutupi pun kajian menjadi
dipaksakan, tidak sesuai metodologi, dan hasilnya bisa missleading.
Saya beri contoh, yaitu adanya gerakan politik yang meng-idolakan sistem
khilafah untuk digunakan sebagai sistem pemerintahan pada masa kontemporer. Sistem
khilafah yang seperti apa yang mau diambil? Sejarah Islam sudah memiliki ratusan
khalifah dan banyak ragam sistem khilafah. Peng-idola-an itu perlu basis kuat pada
pengetahuan mengenai kompleksitas sejarah kekhalifahan, dan tidak saja merujuk pada
narasi sejarah yang subyektif yang melihat tokoh khalifah yang dianggap ideal, tapi lupa
pada ratusan khalifah yang tidak ideal, entah itu melakukan korupsi, membunuh anggota
keluarga, memiliki ratusan selir, dst—selayaknya yang dilakukan oleh raja-raja yang ada
di berbagai belahan dunia pada abad-abad itu. Sistem khilafah tidak monolitik, ada
pemerintahan Khulafaurrasyidun yang dianggap sangat demokratis tapi hanya pada
sekup wilayah yang kecil, ada khalifah di bawah dinasti (keturunan) Umayyah dan
Memotret Dunia, Membangun Peradaban I 162

Abbasiyah yang bertahan cukup lama, ada pula khilafah yang berbasis pemahaman Syiah
seperti Dinasti Fatimiyah, berbasis etnis/ras, dan lainnya. Komunitas Muslim di Turki
sudah meniadakan sistem khilafah berdasarkan rasionalisasi mereka untuk
mentransformasi masyarakatnya menjadi modern. Dan negara yang berbasis kerajaan
Islam—seperti Saudi Arabia, Kuwait, Qatar, tidak jauh dari sistem khalifah yang turun
temurun selayaknya dinasti. Jadi, sistem khilafah seperti apa yang mau dirujuk? Ini
sekedar contoh bahwa kurangnya pemahaman sejarah bisa membawa kita pada masa
depan yang berbeda. Oleh karenanya pengembangan masyarakat Muslim perlu dibangun
di atas pondasi sejarah yang obyektif. Dan Fakultas Adab, Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam, memiliki kontribusi penting untuk ini. Narasi sejarah yang diajarkan
di sekolah, di perkuliahan, dan organisasi, perlu merujuk pada narasi sejarah yang
berpijak pada realita, yang kritis, seperti yang ditulis oleh sejarawan Muslim semisal Ibn
Khaldun. Sehingga cita-cita dan upaya membangun masyarakat Muslim bisa dilakukan
secara lebih rasional dan profesional.
Kegagalan mengakui realita sejarah sebagai sebuah fenomena masyarakat Muslim
itulah yang kemudian memunculkan apa yang disebut-sebut para ahli sebagai fenomena
ketidaksingkronan antara norma ajaran dan realitas sejarah dalam masyarakat Muslim.
Kegagalan ini akan lebih kompleks lagi karena norma ajaran itu tidak monolitik namun
beragam akibat interpretasi yang dipengaruhi oleh kondisi sosial, politik, ekonomi
masyarakat. Sejarawan, memiliki lebih banyak potensi untuk bisa melihat dan memahami
fenomena masyarakat, dibanding dengan ilmu-ilmu lain. Namun studi sejarah yang kuat
ini tidak bisa hanya belajar dari dalam ruang kelas dan dari textbook. Ia harus berinteraksi
dengan ilmu-ilmu lain, berdiskusi dengan mahasiswa dan dosen dari universitas atau
budaya lain, dan mengadu analisa dengan teori-teori lain. Sejarah Islam yang seperti ini
perlu “gaul”, tidak saja dari konsep kurikulum, dari pengajar (misalnya dosen tamu), dari
pengajaran yang dilakukan, dan dari pembelajaran yang tumbuh di luar kelas.
Epilog

Untuk misi “gaul” inilah, saya membawa mahasiswa UIN Jakarta sedikit
melangkah meniru Ibnu Batutah untuk bisa melihat dunia yang lebih luas, tidak sekedar
kampus Ciputat saja. Entah melanglang ke Australia, dengan cara bertemu langsung atau
via skype dengan dosen dan mahasiswa di sana, atau dengan perjalanan kecil ke kampus
seperti NUS. Dr Minako Sakai, kolega riset saya di UNSW Canberra, sudah beberapa
kali masuk ke kelas yang saya ampu di Ciputat, dan saya pun pernah masuk ke kelas yang
diampunya di Canberra. Melalui sykpe, saya pernah menunjukkan bahwa pada jam 11
malam, perpustakaan universitas Leiden masih penuh dengan mahasiswa yang sibuk
belajar, belum lagi fasilitas perpustakaan yang membuat iri sekaligus juga semangat.
Kegiatan seperti ini hanya skop kecil saja dari beyond the classroom, dan akan lebih baik jika
dilakukan terstruktur melalui program fakultas dan universitas untuk bisa menciptakan
sarjana yang tidak kalah dengan universitas-universitas kelas dunia. Saya yakin, apabila
segenap sivitas akademika UIN Jakarta, khususnya Fakultas Adab dan Humaniora
(FAH), mampu bergerak bersama-sama dalam idealitas dan sinergitas yang solid, cittacita menjadi sebuah Perguruan Tinggi berkarakter dan berkelas dunia akan tercapai.
Semoga…!!!

Memotret Dunia, Membangun Peradaban I 163

KONTRIBUSI FAH UNTUK BANGSA

Memotret Dunia
Membangun Peradaban

Tim Penulis Antologi

Editor:
Halid

Memotret Dunia, Membangun Peradaban I i

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Kontribusi FAH untuk Bangsa
MEMOTRET DUNIA MEMBANGUN PERADABAN
Tim Penyusun Antologi FAH
Dr. Halid, M.Ag. (Ketua)
Minatur Rokhim, M.A. (Sekretaris)
Moh. Supardi, M.Hum. (Anggota)
Dr. Zakiya Darojat, MA. (Anggota)
M. Agus Suriadi, M.Hum. (Anggota)
Dr. M. Adib Misbachul Islam, M.Hum. (Anggota)
Dr. Ita Rodiah, M.Hum. (Anggota)
Akhmad Zakky, M.Hum. (Anggota)
Penyunting dan Layout
Ahmadi Sahmi Sitompul
Akhmad Yusuf, S.Hum.
Desain Cover
Ucup Tepong
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang
All Rights Reserved
Cetakan 1, Juni 2018
ISBN: 978-602-790-814-7
Hak Cipta “Kontribusi FAH untuk Bangsa: Memotret Dunia Membangun
Peradaban” milik Adabia Press
Diterbitkan oleh:
Adabia Press
Fakultas Adab dan Humaniora (FAH)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. Tarumanegara, Pisangan, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten 15419 Telp.
021-22741771 / 021-7443329
Website: fah.uinjkt.ac.id / Email: fah@uinjkt.ac.id

Memotret Dunia, Membangun Peradaban I ii

Kontribusi FAH untuk Bangsa
MEMOTRET DUNIA MEMBANGUN PERADABAN

DAFTAR ISI
PENGANTAR DEKAN FAH -» iii
Prof. Dr. Sukron Kamil
DAFTAR ISI -» ix
BAGIAN PERTAMA
ASPIRASI DAN REFLEKSI
1.
2.
3.
4.
5.
6.

7.
8.
9.
10.
11.

12.
13.
14.
15.

Penginterdisiplineran Studi Kebahasainggrisan -» 1
Abdurrosyid
Rusabesi: Geliat Intelektualisme Sastra di Luar Kampus -» 13
Akhmad Zakky
Program Studi Kebudayaan Islam Asia Timur Sebuah Keniscayaan -» 17 Darsita S
Menyoal Permenristekdikti No.20 Tahun 2017: Reward atau Punishmen…? - » 22
Frans Sayogie
Mengajar [Sejarah] Islam di Fakultas Adab: Refleksi Diri -» 29
Fuad Jabali
Kampus, Teknologi, dan Manajemen: Belajar Mengantisipasi Perubahan, Bukan
Menghadapi Masalah -» 46
Halid
Pendaran Imajinatif via The Linguist Club: Quo Vadis Jurusan Sastra Inggris -» 56
Hilmi Akmal
Antara Dosen, Mahasiswa, dan Bahasa Inggris -» 61
Ida Rosida
Diskusi Dosen Sastra Inggris Menegangkan tapi Mengasyikkan -» 65
Inayatul Chusna
Hendak Ke Mana Adab…? Catatan Seorang Alumni -» 69
Jajang Jahroni
Kontribusi Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam dalam Penguatan Institusi
FAH UIN Jakarta -» 73
M. Ma’ruf Misbah
Prodi Tarjamah Mengembangkan Inovasi, Menduniakan Prestasi -» 78
Moch. Syarif Hidayatullah
Gedung Baru Harapan Baru -» 83
Moh. Supardi
Dari Depok ke Depag: Romantika Belajar Ilmu Perpustakaan -» 89 Mukmin
Suprayogi
Mengawal Teknologi: Peranan FAH UIN Jakarta dalam Memanusiakan Peradaban » 97
Parhan Hidayat
Memotret Dunia, Membangun Peradaban I iii

16. Tata Krama Mahasiswa Dulu dan Kini -» 103
Pita Merdeka
17. Mewujudkan Pendidikan Ilmu Perpustakaan Bermutu di UIN Jakarta -» 108
Pungki Purnomo
18. Menata Manajemen Fakultas Yang Lebih Demokratis: Sebuah Otokritik -» 114
Saefudin
19. Urgensi Peningkatkan Kualitas Prodi di Tengah Keterbatasan -» 120
Saiful Umam
20. Integrasi Ilmu, Kontekstualisasi, dan “Mimpi” World Class University -» 126
Sukron Kamil
21. Membangun Wisdom Sebuah Perjalanan Fikri Yanmu dalam Menepis Mitos -» 138
Usep Abdul Matin
22. Kuasailah Bahasa, Dunia dalam Genggamanmu: Sebuah Refleksi Alumni Fakultas
Adab dan Humaniora -» 144
Yaniah Wardani
23. ASN: Antara Profesi dan Pengabdian -» 152
Zubair
BAGIAN KEDUA
KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN
24. Beyond The Classroom: Menumbuhkan Studi Sejarah Islam di Luar Kelas -» 157
Amelia Fauzia
25. Saya, Mahasiswa, dan Sejarah -» 164
Awalia Rahma
26. Menakar Kurikulum Terintegrasi Keilmuan, Keislaman, dan Keindonesiaan Program
Studi Bahasa dan Sastra Arab FAH UIN Jakarta -» 171
Cahya Buana
27. Kegagalan Pengajaran Bahasa Inggris -» 178
Duha Hadiansyah
28. Kepekaan Linguistik, Ujaran Kebencian, dan Komunikasi dalam Dakwah Islam -»
185
Irfan Abu Bakar
29. Perpustakaan Baru Harapan Baru -» 192
Lolytasari
30. Belajar Sastra Inggris: Memaksimalkan Perpustakaan sebagai Sumber Pembelajaran
-» 199
Maria Ulfa
31. Bahasa dan Sastra Arab: Memperkuat Basis Keilmuan, Merespon Tantangan Dunia
Kerja -» 206
Mugy Nugraha
32. Perpustakaan FAH: Perkembangan dan Kontribusinya dalam Mendukung
Tridharma Perguruan Tinggi -» 213
Muhammad Azwar
33. Belajar Sambil Meneliti: Sebuah Refleksi Diri dalam Proses Pembelajaran di
Program Studi Sastra Inggris -» 220
Memotret Dunia, Membangun Peradaban I iv

Muhammad Farkhan
34. Kebutuhan Bahan Ajar Bahasa Arab Berbasis Budaya Menggunakan Multimedia
Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Timur Tengah -» 227
Nuruddin
35. FAH dan Ulama Betawi: Mencari Sinergi dalam Penguatan Kurikulum Lokal -» 234
Saidun Derani
36. ICT dalam Kehidupan Saya sebagai Dosen dan Penerjemah Profesional -» 241
Saifullah Kamalie
BAGIAN KETIGA
ALUMNI, KONTRIBUSI, DAN PROFESI
37. Misteri Dibalik 3 Persoalan Fakultas Adab dan Humaniora -» 248
Abdullah
38. Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Catatan Memoar Seorang Alumni » 255
Abd. Wahid Hasyim
39. Perjumpaan Ide dan Aktivisme Memoar Seorang Alumni Fakultas Adab di Tengah
Transisi IAIN Menuju UIN -» 262
Arief Rahman Hakim
40. Pergulatanku dalam Aktivitas Intra dan Ekstra Kurikuler (1974 – 1978 dan 1981 –
1982) -» 269
Budi Sulistiono
41. Perjalanan Menabur Ombak Kaligrafi -» 276
Didin Sirojuddin AR
42. Pustakawan Muslim Yang Lahir dari Rahim FAH UIN Jakarta -» 283
Fahma Rianti
43. Fakultas Adab: Mahasiswa, Alumni, dan Kontribusi -» 290
Hadiyan
44. FAH, Karier, dan Pergaulan Civitas Academica Dunia: Refleksi FAH Kekinian
Menuju World Class University -» 297
Ita Rodiah
45. Jejak Langkah Dinamika Alumni dalam Pengembaraan Intelektualisme -» 304
Agus Suriadi
46. Cintaku Jatuh pada Prodi Bahasa dan Sastra Arab -» 311
Husni Tamrin
47. Program Studi Bahasa dan Sastra Arab FAH UIN Jakarta 1997-2018 -» 318
Minatur Rokhim
48. ‘Menjual’ Islam dan Humaniora: Refleksi Seorang Dosen Filologi -» 325
Oman Fathurahman
49. Masa Depan Itu Bernama Fakultas Adab -» 332
Setyadi Sulaiman
50. Adab Bertransformasi -» 339
Sudarnoto Abdul Hakim
51. Tersesat di Jalan Yang Benar: Sebuah Refleksi Diri -» 346
Zakiya Darojat

Memotret Dunia, Membangun Peradaban I v