VISI DAN MISI PENDIDIKAN TINGGI SENI DI

1
VISI DAN MISI PENDIDIKAN TINGGI SENI

DI ERA GLOBALISASI DAN KERAGAMAN BUDAYA LOKAL
Yabu Mallabasa
Fakultas Seni dan Design Universitas Negeri Makassar

Abstrak:Kontak budaya pada era globalisasi yang mengakibatkan interaksi manusia dan
hubungan antarbangsa memperlihatkan kecenderungan berpikir global dan bertindak lokal
hendaknya diperhitungkan sebagai peluang yang signifikan untuk mengokohkan identitas
dan jatidiri bangsa sendiri lewat berbagai pilihan yang tersedia. Kesadaran berbudaya perlu
menjadi bagian situasi kesadaran kultural yang harus ditumbuhkan dalam pendidikan
nasional kita kerena setiap proses persentuhan dan perjumpaan budaya pada hakikatnya
merupakan proses dialektik. Oleh karena itu, harus ada upaya strategis untuk menyiasatinya.
Sementara itu, lulusan pendidikan tinggi seni di Indonesia hingga kini secara umum dapat
dikatakan belum dapat memenuhi harapan masyarakat secara optimal. Solusi alternatif yang
diperlukan adalah upaya untuk mempertemukan kepentingan pendidikan dengan
kepentingan masyarakat.
Abstract: Contact culture in the era of globalization which resulted in human interaction and
relationships between nations show the tendency to think globally and act locally should be
considered as a significant opportunity to strengthen the identity and the identity of the nation

itself through the various options available. Cultural awareness needs to become part of the
cultural consciousness of the situation must be grown in our national education because they each
process contiguity and cultural encounters in essence a dialectical process. Therefore, there
should be a strategic attempt to work around this. Meanwhile, higher education graduates arts in
Indonesia until now, generally speaking, can not meet the expectations of optimum
community. An alternative solution that is needed is an effort to reconcile the interests of
education with the public interest.

A. Pendahuluan
Tujuan penyelenggaraan pendidikan tinggi seni di Indonesia seperti
disebutkan dalam Buku “Paradigma Baru Pendidikan Tinggi Seni Di Indonesia”
(Depdiknas, 2004: 2) bahwa pendidikan tinggi seni di Indonesia harus diarahkan
demi tercapainya kesiapan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki
kemampuan akademik dan profesional yang kreatif-inovatif, dan menyiapkan peserta
didik agar menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan untuk
menerapkan, mengembangkan, dan menyebarluaskan seni dalam upaya
meningkatkan tarap kehidupan sosial dan memperkaya kebudayaan masyarakat.
Jika kita menengok kembali perjalanan panjang pendidikan tinggi seni di
Indonesia, sejauh ini menunjukkan bahwa pemenuhan fungsi edukasional dan
kultural oleh pendidikan tinggi seni masih belum optimal. Sementara itu, perubahan

sosial yang terjadi telah membawa pengaruh yang tidak terhindarkan, baik bagi
kehidupan pada umumnya maupun bagi dunia seni itu sendiri dalam berbagai aspek,
seperti makna, proses kreatif, citarasa, konsep, komunikasi, sosialisasi, fungsi, dan

2
lain sebagainya.
Ada asumsi bahwa sejauh ini, lulusan pendidikan tinggi seni di Indonesia
hingga kini secara umum dapat dikatakan belum dapat memenuhi harapan
masyarakat. Solusi alternatif yang diperlukan adalah upaya untuk mempertemukan
kepentingan pendidikan dengan kepentingan masyarakat. Karya-karya kreatif yang
dihasilkan oleh seniman yang sarjana dan sarjana yang seniman diharapkan mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat, memperkuat identitas bangsa, dan tidak sekedar
memenuhi kebutuhan pasar (Depdiknas, 2004: 8). Dengan cara demikian, hasil
pendidikan seni diharapkan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat
Indonesia dan berguna untuk memperteguh jatidiri bangsa, serta meningkatkan daya
saing bangsa Indonesia.
Di sisi lain, paradigma pendidikan tinggi seni Indonesia hingga kini adalah:
(1) lebih menekankan pada kurikulum yang berbasis isi (content based curriculum),
sedangkan paradigma baru lebih menekankan pada kurikulum yang berbasis
kompetensi (competence based curriculum); (2) lebih menekankan basis tradisi

budaya tertentu sehingga miskin dalam pengalaman seni tradisi lokal, sedangkan
paradigma baru lebih bersifat multikultural - dimana dialog antarbudaya lebih
dimungkinkan, baik lokal maupun lokal-global; (3) lebih cenderung menghasilkan
lulusan yang lebih berperan sebagai pewaris budaya, sedangkan paradigma baru
pendidikan tinggi seni harusnya lebih diarahkan untuk menghasilkan lulusan yang
berperan sebagai agen perubahan budaya (agent of change) (Depdiknas 2003: 2).
Dalam kondisi demikian, hasil pendidikan tinggi seni di Indonesia boleh
dikatakan belum dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, dan belum
meningkatkan daya saing bangsa Indonesia dalam tataran global.
B. Pembahasan
1. Visi dan Misi Pendidikan Tinggi Seni Indonesia
Pendidikan tinggi seni di Indonesia mempunyai visi dan misi, yakni: (1)
mampu menciptakan, memelihara, dan mengembangkan seni; mampu memperkaya
nilai-nilai kemanusiaan dan lingkungan hidup dalam dimensi kultural dan spritual;
serta peka dan tanggap terhadap fenomena perubahan; (2) menggali, mengkaji, dan
mengolah potensi pluralitas budaya lokal sebagai modal dasar agar mampu bersaing
dalam percaturan global; (3) membangun sikap kritis, reflektif, dan terbuka terhadap

3
beragam pergeseran paradikmatik keilmuan dan keprofesian dalam bidang seni, serta

peduli terhadap permasalahan dalam masyarakat dan lingkungan hidup, dan (4)
meningkatkan pengalaman berkesenian melalui kreasi dan apresiasi karya seni yang
bermutu (Depdiknas, 2004: 15).
Berdasarkan visi dan misi tersebut, pendidikan tinggi seni di Indonesia
bertujuan untuk menghasilkan sarjana/ilmuwan/tenaga profesional/guru di bidang
seni yang peka dan tanggap terhadap masalah sosial budaya melalui berbagai jalur
dan jenjang pendidikan tinggi dengan pemilikan kompetensi, yakni: (1) mampu
mencipta dan mengekspresikan gagasan ke dalam berbagai bentuk karya seni; (2)
mampu mengkaji dan menganalisis beragam fenomena seni dan budaya; (3) mampu
menyajikan karya seni secara kreatif, inovatif, dan profesional; (4) mampu
mengelola beragam kegiatan seni budaya (Depdiknas, 2004: 15). Dengan bekal
kompetensi tersebut, setiap lulusan diharapkan dapat memiliki kemampuan untuk
menyikapi seni, menjaga keserasian dan keseimbangan antara kebutuhan masyarakat
terhadap seni dan penerimaan seni sebagai bagian kehidupan dan budaya
masyarakat; serta mampu mempertanggungjawabkan karyanya secara etik, moral,
dan akademik.
Dalam upaya perwujudan visi dan misi tersebut, sistem pendidikan tinggi seni
atau lembaga pendidikan tinggi lain yang memiliki fakultas/jurusan/program studi
seni hendaknya merupakan suatu sistem pendidikan yang memiliki aspek-aspek
kelembagaan yang bermutu, tenaga pengajar yang kompeten di bidangnya dan

memiliki komitmen yang tinggi terhadap pendidikan tinggi seni; memiliki
mahasiswa yang berkemampuan akademik memadai, bermotivasi tinggi, serta minat
dan bakat yang mendukung; memiliki kurikulum dan materi ajar yang bermutu,
relevan, kontekstual, tepat guna, dan tepat sasaran; serta terdapat dukungan
kelembangaan dan dukungan masyarakat yang memadai. Aspek-aspek tersebut
hendaknya saling berinteraksi secara sinergis dalam strategis pengembangan
pendidikan tinggi seni yang sistematis.
Dengan demikian, pendidikan tinggi seni diharapkan dapat menjadi wadah
pengkajian, pengembangan, dan pelestarian seni dan budaya Indonesia secara
berimbang, baik dalam tataran praktis maupun epistimologis (Depdiknas, 2004).
Dalam posisi ini, pendidikan tinggi seni memiliki peluang yang sangat strategis

4
untuk menyiapkan individu-individu yang kreatif-inovatif jika dirancang dan
dilaksanakan berdasarkan pendekatan akademis yang menoleransi lingkungan belajar
yang fleksibel, proses pembelajaran yang unik, serta aktivitas dan metode
instruksional yang sahih.
2. Pendidikan Tinggi Seni di Tengah-tengah Keragaman Budaya Lokal
Seperti telah disinggung terdahulu bahwa Indonesia merupakan sebuah
negara maritim yang memiliki keanekaragaman seni budaya sehingga pendidikan

tinggi seni berpeluang untuk mengembangkan identitas keilmuan seni yang khas
Indonesia dengan berbagai warna lokalnya yang kini masih hidup. Keragaman seni
tradisi yang hidup dan berkembang di seputar keberadaan pendidikan tinggi seni
memungkinkan diadakan pengkajian dan pengembangan seni dengan memadukan
keilmuan tradisional dan modern untuk menyongsong seni Indonesia masa depan.
Untuk memenuhi target tersebut, maka pendidikan tinggi seni dan para seniman
harus berani menumbuhkan kesadaran kembali dengan menggali kekayaan budaya
lokal masing-masing dalam upaya menemukan kesenian yang berkarakteristik seni
budaya bangsa sendiri yang berbeda dengan kesenian di kawasan lain. Eksistensi
para empu seni tradisi di Indonesia perlu diberdayakan oleh sivitas akademika demi
pengembangan seni. Sementara perubahan-perubahan yang sedang terjadi akibat
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat merupakan
peluang bagi pendidikan tinggi seni untuk memanfaatkan teknologi pendidikan pada
umumnya, dan Ipteks khususnya (Depdiknas, 2004: 9-10).
Edy Sedyawati (2006: 3) mengemukakan bahwa keanekaragaman budaya di
wilayah Nusantara, termasuk di dalamnya seni merupakan bahan strategis untuk
melatihkan saling apresiasi antarsuku bangsa. Tari-tarian misalnya, seperti sudah
terjadi, dapat dipelajari secara lintas etnik dengan perhatian yang perlu ditingkatkan
berkenaan dengan aspek-aspek teknik dan stilistiknya. Demikian pula musik, dengan
perhatian seksama terhadap sistem nada, organologi, dan gaya-gaya ungkap

musiknya. Tekstil merupakan bidang seni/teknik yang sudah banyak diapresiasi
secara lintas-etnik. Sejumlah upaya telah atau masih harus dilakukan untuk
menumbuhkan kesaling-kenalan antar-etnik secara mendalam. Dengan kesalingkenalan yang mendalam itu maka dapat dikatakan bahwa jatidiri budaya suatu suku
bangsa itu berada juga di dalam pemahaman oleh pihak lain. Dewasa ini justru yang

5
sedang terancam adalah pemahaman budaya pada generasi muda. Banyak diantara
mereka yang hanya akrab dengan bentuk-bentuk budaya populer Barat, tetapi sudah
tidak kenal akan warisan budayanya sendiri.
Singkatnya kesenian adalah salah satu unsur budaya yang strategis untuk
pemertahanan budaya dan sekaligus juga untuk perluasan jelajah. Upacara adat dan
hukum adat, dalam konteks masyarakat yang berubah dewasa ini, kiranya
memerlukan re-interpretasi dan reposisi dalam kehidupan masa kini. Tradisi-tradisi
dapat dilestarikan eksistensinya, tetapi tetap relevan bagi kehidupan, dan tidak ada
salahnya diberi modifikasi dimana perlu. Jadikan tradisi sebagai sesuatu yang indah,
dan bukan sesuatu yang memaksa dan mengekang.
Salah satu pasal dalam Deklarasi Hak Azasi Manusia yang menyatakan
bahwa setiap manusia mempunyai the right to culture yang pada dasarnya dapat
diartikan “untuk mengambil bagian dalam kehidupan berbudaya, dan mendapat
kebahagiaan (bukan siksaan) dari kebudayaan” (Edy Sedyawati, 2006: 3). Dalam

konteks ini, pendidikan tinggi seni atau lembaga pendidikan tinggi lain yang
menyelenggarakan pendidikan seni berpeluang untuk mengembangkan identitas
keilmuan seni yang khas Indonesia dengan berbagai warna lokalnya. Suatu
pendekatan yang mengutamakan penggalian seni tradisi dan budaya lokal yang
sangat beragam itu, kini sedang dikembangkan dan diujicobakan di sekolah-sekolah
umum oleh Lembaga Pendidikan Seni Indonesia (PSN) dengan mencoba menggali
kekayaan seni budaya dan tradisi yang tersebar di Nusantara.
3. Eksistensi Pendidikan Tinggi Seni dalam Konteks Sosial-Budaya yang
Beragam dan Plural
Dalam hubungannya dengan konteks sosial budaya Indonesia yang beragam
itu, Annah Suhaenah S. (1996: 97) berpandangan bahwa: “Saat ini diperlukan
dorongan untuk mengembangkan konsep-konsep pendidikan dengan postulat,
asumsi, dan prinsip yang sesuai dengan kondisi Indonesia, termasuk di dalamnya
konsep pengembangan pendidikan seni yang harusnya mempertimbangkan konteks
sosial dan budaya Indonesia yang sangat beragam dan plural.” Annah Suhaenah
menambahkan bahwa selain aspek-aspek tersebut di atas, juga diperlukan adanya
usaha untuk mendorong pakar-pakar pendidikan melakukan penelitian yang

6
“membumi”, yaitu dengan melihat konteks manusia dan budaya lndonesia yang

plural tanpa kehilangan orientasi sebagai negara kesatuan.
Kontak budaya pada era globalisasi yang mengakibatkan interaksi manusia
dan hubungan antarbangsa memperlihatkan kecenderungan berpikir global dan
bertindak lokal hendaknya diperhitungkan sebagai peluang yang signifikan untuk
mengokohkan identitas dan jatidiri bangsa sendiri lewat berbagai pilihan yang
tersedia. Kesadaran berbudaya perlu menjadi bagian situasi kesadaran kultural yang
harus ditumbuhkan dalam pendidikan nasional kita kerena setiap proses persentuhan
dan perjumpaan budaya pada hakikatnya merupakan proses dialektik. Oleh karena
itu, harus ada upaya strategis untuk menyiasatinya. Dalam sejumlah kasus tatkala
yang tradisional bersentuhan dengan yang modern, jika tidak disiasati secara strategis
dan tidak dioposisikan secara dialektis, dalam kenyataannya banyak aspek budaya
lokal tradisional yang mengalami disposisi atau paling tidak menjadi gagap
(Dekniknas, 2004). Penyelenggaraan pendidikan yang baik merupakan salah satu
jalan yang tersedia untuk itu, termasuk di dalamnya penyelenggaraan pendidikan
seni.
Harus diakui pula bahwa budaya modern menawarkan banyak hal, tetapi
tidak sebanding dengan yang didistorsi dan diporak-porandakan. Bangsa Indonesia
memiliki pengalaman sejarah yang cukup untuk ini, misalnya terdistorsinya nilainilai budaya etnik-lokal tertentu, yang kemudian terimplikasikan dalam berbagai
bentuk peradaban. Oleh karena itu pengutamaan kecendikiaan lewat pendidikan seni
sebagai proses pembudayaan menjadi penting. Prinsip etika dan kebenaran moral

yang berasal dari cita-cita peradaban dan warisan kecendikiaan yang berakar pada
budaya sendiri harus ditanamkan. Pendidikan seni harus dirancang dan dilaksanakan
secara baik agar peluang yang begitu besar itu dapat dicapai.
Salah satu kecenderungan yang tampak dari dinamika kehidupan manusia
dewasa ini adalah perubahan-perubahan yang disebabkan oleh upaya-upaya manusia
di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlangsung kian cepat. Perubahanperubahan tersebut terasa besar sekali pengaruhnya dalam berbagai aspek kehidupan,
termasuk di dalamnya adalah pengaruhnya yang tidak terhindarkan pada kehidupan
seni, baik dalam hal ekspresi maupun apresiasinya. Konsekuensinya pada sebagian
kasus, seni bukan lagi sekedar interpretasi kehidupan yang berdasar pada idealisme

7
keseimbangan dan harmoni sebagai salah satu pakem dalam proses penciptaan yang
secara konvensional, melainkan bergeser ke arah kehidupan itu sendiri dengan segala
permasalahannya.
Masuknya beragam unsur budaya asing dalam kehidupan kebudayaan
bangsa-bangsa lain melalui media cetak dan elektronik, telah memberi warna dan
corak tersendiri pada sendi-sendi kehidupan berkesenian sebagai bagian integral
kehidupan budaya yang tengah berada dalam proses transisi dan transformasi.
Merembesnya nilai-nilai baru yang avant garde, yang acapkali bertentangan dengan
nilai-nilai etnik-tradisional, juga merupakan keniscayaan. Di samping itu,

kecenderungan paradigmatik, materialistik, dan hedonik menjadi dominan di tengah
masyarakat yang makin konsumeristik yang ujung-ujunnya sampai pada pemiskinan
spiritual. Oleh karena itu, sudah saatnya paradigma pendidikan tinggi seni
diperbaharui agar menjadi lebih dinamis dan responsif terhadap perubahanperubahan itu, serta kecenderungan-kecenderungan yang sedang terjadi, baik secara
internal dalam dunia kesenian itu sendiri, maupun secara eksternal dalam kaitannya
dengan kehidupan yang mengakomodasikannya demi mempertahankan dan
mengembangkan eksistensi pendidikan tinggi seni.
Banyaknya masalah dan tantangan yang dihadapi dalam kehidupan di era
globalisasi ini, menuntut manusia berikhtiar menemukan cara-cara baru untuk
mengatasi secara kreatif masalah-masalah yang multi dimensional itu. Untuk itu, apa
yang diberikan dalam pendidikan formal hendaknya betul-betul relevan bagi peserta
didik untuk dapat memasuki perubahan-perubahan yang terjadi dan dapat survive
secara kultural - dimana perubahan-perubahan terjadi dengan amat cepatnya.
Pendidikan harus berorientasi ke masa depan. Peserta didik harus dibekali
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang memungkinkannya untuk mandiri
sehingga dapat memberikan kontribusi yang bermakna bagi pembangunan bangsa
dan negara.
C. Penutup
Sebagai penutup dari makalah ini, penulis menyimpulkan bahwa dengan
perkembangan pembangunan di era informasi dan industrialisasi yang makin cepat,
luas, dan kompleks memacu pula berkembangnya kebutuhan-kebutuhan akan tenaga
profesional, terampil, dan menguasai Ipteks. Kondisi demikian menuntut lembaga

8
pendidikan tinggi harus tanggap dalam mencermati perkembangan tersebut dalam
mempersiapkan lulusannya, termasuk di dalamnya lembaga pendidikan tinggi seni di
Indonesia.
Mengingat peran strategis pendidikan tinggi seni dalam kehidupan berbudaya
sangatlah penting, maka reformasi terhadapnya menjadi begitu penting untuk segera
dilakukan. Rancangan kurikulum, proses pembelajaran, pengembangan tenaga
pengajar, fasilitas pembelajaran, serta fokus penelitian pendidikan tinggi seni di
Indonesia memerlukan paradigma baru, yakni paradigma yang memperhatikan dan
mengacu kepada realitas budaya yang ada. Dengan demikian, pendidikan tinggi seni
hendaknya diarahkan pada keserasian dan keseimbangan antara kebutuhan
masyarakat terhadap seni demi tercapainya kesiapan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan profesional yang kreatif dan
inovatif dalam bidang seni, memiliki kemampuan menerapkan, mengembangkan,
dan menyebarluaskan seni dalam upaya meningkatkan taraf kehidupan sosial dan
memperkaya kebudayaan bangsa.
D. Pustaka Rujukan
Depdiknas, 2003. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kesenian
SMP , Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Depdiknas, 2004. Paradigma Baru Pendidikan Tinggi Seni di Indonesia, Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Suhaenah S., Annah, 1996. “Refleksi Menuju Paradigma Baru Ilmu Pendidikan”
dalam Buku Reorientasi Ilmu Pendidikan di Indonesia, Jakarta: IKIP
Muhammadiyah, Jakarta Press, halaman 93-99.
Primadi Tabrani, 1999. “Jati Diri Pendidikan Seni Rupa Indonesia”, Makalah
disampaikan dalam rangka Kongres Mahasiswa Seni Rupa Indonesia, 16
November 1999 di Bandung.
Sedyawati, Edy. 2006. “Keanekaragaman Budaya dan Seni di Wilayah Nusantara:
Sebagai Bahan Strategis untuk Melatihkan Saling Apresiasi Antarsuku
Bangsa.” Makalah disampaikan pada Penresmian Himpunan Budaya
Sulsel di Marannu Hotel pada tanggal …. 2006.
Yabu M, 2001 “Mencari Jati Diri Pendidikan Seni di Indonesia.” Artikel dalam
Jurnal PINISI, FBS UNM, Makassar, Volume 4, Tahun 2001.
Yabu M, 2003a. “Kesenian dan Fenomena Sosial-Budaya: Sebuah Tinjauan,”
Kumpulan Makalah tidak dipublikasikan.
Yabu M, 2003b. “Kesenian sebagai Komoditi dan Problematika Budaya Global”
(Sebuah Tinjauan), Kumpulan Makalah tidak dipublikasikan.

9
Yabu M, 2005 “Pendidikan Kesenian di Sekolah dalam Kurikulum Berbasis
Kompetensi.” Makalah disajikan dalam Pelatihan Peningkatan Kompetensi
Guru KTK SMP se-Kab. Gowa pada tanggal 29 Desemeber 2005 di Aula SMK
Negeri 2 Sombaopu Kabupaten Gowa.

_______, 2001. Pendidikan Seni Rupa dan Desain dalam Menghadapi Era
Informasi, Jurnal FSRD ITB, Bandung, Edisi I/2001, halaman 24-29.