MEWARTAKAN PEMBEBASAN KRISTUS (Telaah dari Perspektif Teologi Feminis)

  (Telaah dari Perspektif Teologi Feminis)

  

Oleh: Dr. Elisabeth Loghe Pati

Abstraksi

  ulisan ini menunjukkan bahwa kaum feminis (perempuan) mempunyai tugas untuk menjadi aktor perubahan dalam sejarah manusia yang makin tidak manusiawi. Kaum feminis dipanggil untuk membuat transformasi sejarah menuju masyarakat yang adil dan makmur, membebaskan yang tertindas dan yang

  T

  tidak memiliki kuasa untuk bersuara. Perubahan sejarah akan terjadi ketika konsep, bahasa, simbol, upacara dan doa yang memerdekakan dalam setiap bentuk pengalaman konkret kaum feminis terwujud dan diterapkan. Hal ini mempertajam pemahaman kita sebagai pengikut Kristus agar kita dapat melihat siapa Allah, siapakah Yesus Kristus dalam hidup kita sebagai agen pastoral.

  

Kata-kata kunci: Misi Gereja, Pembebasan, Teologi Feminis, Hermeneutika Feminis, diskriminasi dan

penindasan.

  Pendahuluan

  Roh Kudus, yang selalu hadir dan berkarya dalam Gereja, senantiasa bergiat untuk mengubah wajah dunia. Dunia kita bukan semata-mata dunia milik kaum pria melainkan juga dunia milik kaum feminis (perempuan). Keberadaan kaum feminis dengan segala kekhasan dan keistimewaannya memberikan kontribusi tersendiri agar dunia ini berimbang sungguh seimbang. Futurolog John Naisbitt pada tahun 1995 telah meramalkan bahwa gerakan kebangkitan kaum feminis sedang dan akan terus terjadi di masa mendatang, khususnya di Asia (Naisbitt, 1995: 236-278). Ia mengatakan bahwa kaum feminis akan muncul dalam pelbagai aktivitas publik seperti teologi, politik, ekonomi, sains dan teknologi. Apa yang digambarkan dan dinyatakan oleh John Naisbitt tersebut bukanlah merupakan suatu yang imajinatif.

  Di bidang teologi kaum feminis “menggugat sejarah” untuk masuk ke dalam kehidupan perempuan, khususnya dalam mengekspresikan iman perempuan. Gugatan ini dalam arti melihat sejarah dengan pandangan baru di mana cerita perempuan juga diakui dan diperhitungkan dalam pengambilan keputusan baik politik, hukum, ekonomi dan sebagainya. Menggugat sejarah berarti mengajak semua orang untuk menyadari realitas hidup, merangkulnya, memrosesnya dan mengolahnya. Realitas hidup menyangkut jutaan dan bahkan miliaran perempuan yang sedang berjuang untuk kehidupan dari aspek yang lain yang selama ini diabaikan, atau dianggap tidak ada. Oleh karena itu, kaum feminis telah mencetuskan satu model teologi yang disebut “Teologi Feminis”. Kaum feminis merumuskan refleksi iman mereka dari pengalaman hidup konkret sebagai perempuan. Sesungguhnya titik tolak lahirnya teologi feminis adalah pengalaman-pengalaman kaum feminis menyangkut penindasan dan tindakan kekerasan, diskriminasi yang ditimpakan ke atas seluruh keberadaan mereka oleh berkanjanganya citra dan rupa-rupa stereotipe tradisional yang merendahkan dan menyepelekan perempuan. Hermenutika feminis menjadi sebuah metode, sebuah pisau penafsiran yang membedah teks-teks Kitab Suci yang telah memenjarakan status dan peran perempuan dalam segala lini kehidupan. Analisis dan interpretasi dari perspektif feminis terhadap Kitab Suci dan tradisi dalam Gereja telah menjadi warta sukacita yang membebaskan bagi kaum feminis sendiri dan juga bagi kaum laki-laki. Gereja dalam hal ini, telah menunjukkan sikap misionernya dalam mewartakan pembebasan Kristus melalui pelayanan kerasulan dalam berbagai aspek kehidupan.

  Pembebasan: Inti Pewartaan Yesus

  Dalam menjalankan misi pembebasan dengan baik, Yesus berusaha mengenal dan menganalisis konteks secara mendalam. Ia berusaha memahami kenyataan sosial dengan akar-akarnya di dalam tradisi serta dalam berbagai struktur sosial-ekonomi, politik, agama dan budaya (Ambroise, 2000:26). Penampilan Yesus di sinagoga Nazaret mempunyai makna programatis. Di sana Yesus mewartakan utopia tahun rahmat Tuhan yang akan menjadi sejarah pembebasan konkret bagi kaum tertindas dan para tawanan. Dalam khotbah perdana-Nya itu, Yesus mewartakan Allah yang berpihak kepada kaum miskin dan tertindas.

  Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk 4: 18-19; bdk.Yesaya 61: 1).

  Kaum miskin yang sedang berkumpul di sinagoga itu merasakan bahwa ada orang yang berpihak kepada mereka dan mendukung mereka untuk hidup secara bermartabat. Pewartaan Yesus menunjukkan opsi dan komitmen bagi kaum miskin dan tertindas. Opsi dan komitmen Yesus ini tak jarang berkonfrontasi dengan para penguasa tradisi kesalehan masyarakat dan pemimpin publik. Yesus seringkali mendapat tantangan dari elite agama dan politik. Meskipun demikian Yesus tetap setia pada misi dasar kenabian-Nya yakni membebaskan dan menyelamatkan manusia. Yesus di sini tampil sebagai pemberi harapan dan pembebasan bagi orang tertindas dalam pelbagai bidang kehidupan dan pembebasan dari dosa, akar segala bentuk penindasan. Di tengah masyarakat di mana pribadi manusia kurang dihargai dan penindasan terjadi di mana-mana, Yesus mewartakan Allah sebagai sumber segala kebebasan.

  Yesus berpihak kepada masyarakat banyak, penduduk miskin Palestina yang tereksploitasi, dengan mengecam kaum elit. Yesus memperjuangkan pembaruan Israel sebagai umat pilihan Allah, kerajaan Imam dan bangsa yang kudus (Kel. 19:16). Yesus mengancam untuk merubuhkan kenisah, simbol agama dan ekonomi dalam dunia Yahudi dan mengeritik kaum imam kepala yang menyalahgunakan kenisah sebagai alat legitimasi kekuasaan dan kontrol atas massa rakyat. Warta ini disambut hangat oleh orang-orang miskin, orang sakit, orang kecil, pelacur, dan pendosa baik laki-laki maupun perempuan.

  Pada dasarnya, Yesus lebih memihak pada mereka yang terpinggirkan dalam masyarakat dan bahkan Ia mengidentifikasikan diri-Nya dengan rakyat miskin. Di hadapan publik Yesus menantang dan menujukkan struktur sosial yang tidak adil dan serentak menyadarkan orang-orang miskin dan tertindas untuk memperjuangkan pembebasannya. Warta tentang Kerajaan Allah sesungguhnya merujuk pada perubahan masyarakat ke arah masyarakat yang baru tanpa kemiskinan, diskriminasi, dan dominasi di satu pihak, dan dipihak lain kedekatan dengan Allah, sang Pembebas.

  Gereja Mewartakan Pembebasan Kristus

  Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium menegaskan bahwa Gereja sebagai sebuah misteri, adalah “umat yang disatukan berdasarkan kesatuan Bapa dan Putera dan Roh Kudus” (Hardawiryana, 2003:68). Sebagai umat Allah, mereka tidak hanya dipanggil untuk berperan serta di dalam hidup yang menyelamatkan dalam persekutuan Ilahi, tetapi juga menjadi rekan kerja di dalam penyelamatan Allah atas semua ciptaan-Nya. kehidupan Allah Tritunggal. Artinya, Gereja sebagai sakramen keselamatan, suatu tanda dan sarana kehadiran Allah yang menyelamatkan segenap ciptaan-Nya (Kirchberger, 2007:410). Gereja tidak hanya berjalan dalam cinta kasih Allah tetapi berjalan dalam kobaran api semangat pelayanan kerasulan (Hardawiryana, 1993:421).

  Tugas Gereja yang paling pokok ialah melanjutkan warta pembebasan Kristus di bawah bimbingan Roh Kudus. Sebagai himpunan umat Allah yang dipersatukan dengan Kristus, Gereja merupakan komunitas pembebasan yang mengatasi segala perbedaan etnik, hierarki, kelas sosial dan gender. Gereja berkarya untuk menghadirkan kasih Allah yang tak terbatas, memaklumkan Kerajaan Allah yang berpihak kepada orang miskin dan tertindas, membebaskan para tawanan.

  Nafas misi Gereja tentang pembebasan diembuskan secara tegas dalam Konsili Vatikan II, melalui

  Gaudium et Spes

  No. 1 yang berbunyi: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga” (R. Hardawiryana, 2003:509-510). Gagasan utama dan inti terdalam dari rumusan yang sudah sangat populer itu adalah keterlibatan dan solidaritas Gereja untuk membebaskan kaum miskin dan tertindas. Gereja adalah Gereja hanya jika ia berada bagi yang lain dan terlibat dalam persoalan- persoalan hidup manusia bukan dengan menguasai melainkan dengan melawan segala sesuatu yang bertentangan dengan Kerajaan Allah.

  Gereja bukanlah satu tujuan dalam dirinya sendiri melainkan satu sarana yang transparan bagi Allah. Gereja tidak akan mampu mengomunikasikan kebenaran secara berhasil guna hanya dengan mewartakannya. Ia mesti menghidupi kebenaran itu (Kirchberger, 2004:19). Di sinilah letak tugas misioner Gereja yang selalu berinkarnasi. Gereja diutus untuk menegakkan Kerajaan Allah (Kirchberger, 2004:410-411). Dengan kata lain, Gereja tidak hadir untuk dirinya sendiri, melainkan ada dalam dunia dan melayani dunia dengan mempromosikan kasih dan pembebasan Allah yang telah dinyatakan dalam diri Yesus Kristus.

  Pelaksanaan misi Gereja dalam urusan duniawi, utamanya dilakukan oleh kaum awam. Konsili Vatikan

  II telah menggarisbawahi: Bahkan, situasi sekarang ini jelas memerlukan kerasulan mereka yang lebih intensif dan lebih luas.

  Sebab makin bertambahnya jumlah manusia, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, hubungan- hubungan antarmanusia yang lebih erat, bukan saja memperluas tanpa batas gelanggang kerasulan awam, yang sebagian besar hanya terbuka bagi mereka, melainkan juga menimbulkan maslah-masalah baru, yang menuntut perhatian serta usaha mereka yang cekatan (R. Hardawiryana, 1993:339).

  Gereja, dalam hal ini kaum beriman kristiani yang berkat pembaptisan telah menjadi anggota Tubuh Kristus, ikut mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus. Semua kaum awam yang terhimpun dalam umat Allah tanpa kecuali dipanggil untuk menyumbangkan segenap tenaga demi perkembangan Gereja serta pengudusannya terus-menerus (LG. No.33). Sesungguhnya Gereja mengaku bahwa spiritualitas misi yang disyeringkan oleh awam atau umat beriman teristimewa para katekis. Katekis memiliki aspek yang khusus dalam tugas pewartaan Gereja dan dunia (Bifet, 1994:96-97). Dalam Evangelii Gaudium No. 76, Paus Fransiskus memuji karya yang tulus dan penuh pengabdian dari Gereja demi perbaikan spiritual dan kemanusiaan umat Allah dan berterima kasih kepada para petugas pastoral atas kehadiran dan pelayanan mereka dalam Gereja dan masyarakat. Dia mengakui bahwa semangatnya sendiri untuk memberikan dirinya dengan gembira telah didorong oleh teladan dan inspirasi hidup para misionaris (Adisusanto, 2015:49). Selain kaum minoritas, para pelayan tertahbis, kaum awam sungguh-sungguh menyadari identitas dan perutusan mereka dalam Gereja. Mereka sangat diandalkan karena memiliki citarasa komunitas yang berakar dalam dan setia terhadap tugas amal kasih, katekese, dan perayaan iman lainnya. Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya Redemptoris Missio No. 73 mengakui dan menggarisbawahi peran kaum awam khususnya katekis sebagai berikut:

  Barisan yang pantas dipuji, yang berjasa begitu besar dalam karya misioner di antara para bangsa yakni barisan para katekis baik pria maupun wanita, yang dijiwai semangat merasul, dengan banyak jerih payah memberi bantuan yang istimewa dan sungguh-sungguh perlu demi penyebarluasan iman dan Gereja (Yohanes Paulus II, 1991:85).

  Sesudah Konsili Vatikan II, jumlah katekis, yang merupakan pemberian Roh Kudus sendiri dalam Gereja, semakin meningkat. Para katekis memiliki tanggung jawab penuh dalam tugas pewartaan atau katekese umat dan pembinaan rohani lainnya. Dalam menjalankan tugas katekis sebagai animator katekese umat, perlu menyadari bahwa mereka adalah rekan kerja dan penanggung jawab semua pelayanan pastoral Gereja. Karena itu ada tiga bidang kompetensi seorang katekis yang perlu diperhatikan dalam menjalankan tugasnya sebagai pewarta Sabda Allah (Alberich, 2004:287-290). Pertama, katekis adalah seorang pribadi dan seorang beriman. Tuntutan mendasar seorang katekis ialah mengakui bahwa dia adalah seorang pribadi dan seorang beriman. Seorang katekis merupakan pribadi yang memiliki kedewasaan dan kematangan pribadi. Kematangan pribadi tersebut harus diimbangi oleh spiritualitas yang hidup, dalam arti memiliki iman yang kuat dan kokoh. Kedua, katekis adalah pewarta yang memiliki pengetahuan tentang masalah-masalah pastoral dalam Gereja dan masyarakat. Di sini, seorang katekis tidak cukup hanya memilki pengetahuan secara teoretis tentang teologi dan pastoral melainkan juga perlu memiliki pemahaman yang tepat tentang masalah-masalah pastoral. Pemahaman yang jelas tentang masalah-masalah pastoral membantu umat dan masyarakat untuk merefleksikan Sabda Allah yang membebaskan dari kesulitan dan tantangan yang mereka hadapi. Dengan kata lain, refleksi biblis harus sesuai dengan konteks yang ada. Ketiga, Profesionalisme Katekis. Seorang katekis dalam tugas pewartaannya membutuhkan kompetensi tertentu, seperti pendidikan yang memadai, keahlian dalam berelasi dan berkomunikasi, kemampuan menganimasi kelompok, serta kemampuan memberikan kesaksian hidup yang nyata dari apa yang dipelajari dan diwartakannya pada umat.

  Kerja sama yang baik di antara para pemimpin Gereja dan umat dalam pewartaan Gereja tentang pembebasan, telah menyentuh berbagai isu umat beriman dan masalah-masalah kemanusiaan pada umumnya. Implementasi konkret misi pembebasan Gereja baik pada tingkat Gereja lokal maupun nasional direalisasikan oleh komisi-komisi. Dalam konteks nasional, terdapat 13 Komisi, yakni komisi kerasulan awam, komisi keluarga, komisi kepemudaan, komisi pendidikan, komisi keadilan-perdamaian dan pastoral migran-perantau, komisi karya misionaer, komisi hubungan antragama dan kepercayaan, komisi komunikasi sosial, komisi kateketik, komisi teologi, komisi seminari, komisi liturgi, dan komisi pengembangn sosial dan ekonomi. Juga ada dua lembaga khusus yakni Lembaga Biblika Indonesia (LBI) dan lembaga Pelayanan Krisis dan Rekonsiliasi. Mengajak umat untuk mencintai Kitab Suci merupakan salah satu misi LBI. Sedangkan lembaga kedua yang didirikan pada tahun 1999 untuk tujuan pelayanan Gereja dalam upaya membebaskan manusia yang mengalami krisis kemanusiaan. Perkembangan zaman juga menuntut Gereja untuk memberi perhatian pada kaum perempuan yang rentan terhadap perlakuan diskriminasi dan penindasan, baik fisik maupun psikis. Gereja membentuk satu wadah pelayanan yang disebut Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan. Gereja terlegitimasi melalui konsep dan nilai budaya, agama, dan hukum yang ada dalam masyarakat. Lembaga yang sama juga berfungsi untuk menjawabi persoalan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang korban utamanya ialah kaum perempuan, seperti terungkap dalam kisah-kisah sedih dan tragis tenaga kerja perempuan, baik dalam maupun luar negeri. Ke dalam isu-isu sosial inilah Gereja terpanggil untuk melibatkan diri guna memberikan pelayanan dan advokasi baik kepada yang miskin maupun yang tertindas.

  Selanjutnya, di tingkat Gereja lokal, setiap keuskupan telah menerjemahkan misi pembebasan Gereja nasional tersebut sesuai dengan konteks masing-masing. Komisi dan lembaga gerejawi selalu ada dalam koordinasi dan semangat Gereja yang melayani. Demikian pun kongregasi atau tarekat-tarekat religius dan misioner yang ada bekerja sama membangun peradaban dan tatanan dunia yang membebaskan melalui karya kerasulan tarekat atau kongregasi di bidang pendidikan, kesehatan, dan pastoral sosial lainnya.

  Teologi Pembebasan: Bingkai Teologis Feminis

  Teologi feminis dipahami sebagai refleksi kritis atas praksis iman di tengah-tengah situasi hidup konkret kaum perempuan. Teologi feminis yang berkembang pada akhir tahun 1960 bukan sekedar teologi yang dikerjakan kaum perempuan dan bukan juga sekedar mengusung tema perempuan (Andalas, 2009:61). Para teolog feminis, dengan merujuk pada teologi pembebasan telah mengembangkan satu metode berteologi dan tafsir Kitab Suci. Seorang teolog feminis, Elizabeth Fiorenza menyebutnya sebagai “metode pembebasan kritis” (Fiorenza, 1984:34-35). Metode ini lazim disebut sebagai hermeneutika feminis. Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani “hermeneuein” yang berarti menyatakan, menerangkan, membawa kepada pemahaman. Jadi dapat dikatakan bahwa hermeneutika adalah refleksi, sistematisasi dan teori dari sebuah konsepsi tertentu tentang penafsiran teks dan interpretasinya. Dalam hal ini bukan satu metode khusus atau satu kumpulan formula-formula dan aturan-aturan tertentu. Lalu apa yang dimaksudkan dengan hermeneutika feminis? Hermeneutika feminis sesungguhnya mengacu pada teori, seni dan, ketrampilan serta praktik penafsiran Kitab Suci dan teks-teks kuno non Kitab Suci lainnya demi kepentingan kaum perempuan (Fiorenza, 1996:99). Kaum feminis berpikir bahwa Kitab Suci perlu ditafsirkan.

  Ada dua bentuk hermeneutika feminis, yakni hermeneutika kecurigaan dan hermeneutika kenangan. Pertama hermeneutika kecurigaan. Di sini para feminis mengambil sikap curiga sebagai langkah awal dalam upaya menelanjangi dan membuka dampak-dampak mendasar dari patriarkat. Ada tiga penekanan utama dalam hermeneutika ini. Pertama, mencari teks tentang perempuan untuk menentang teks Kitab Suci yang digunakan untuk menindas kaum perempuan. Kedua, menyelidiki Kitab Suci secara umum (bukan hanya teks tentang perempuan) untuk membentuk perspektif teologis yang dapat mengeritik patriarki. Beberapa orang menyebut perspektif ini sebagai “perspektif pembebasan”. Ketiga, menyelidiki teks tentang perempuan untuk belajar dari perjumpaan sejarah dan kisah-kisah perempuan kuno dan modern yang hidup dalam budaya patriakal. Kedua hermeneutika kenangan. Metode ini menegaskan kembali kaum perempuan yang menderita di masa lampau dan penderitaan dari semua orang yang dizalimi lewat perbudakan, pembuangan, dan penganiayaan.

  Prinsip dasar kaum feminis dalam hermeneutika adalah pengalaman kaum perempuanyang sendiri ditindas dan diperlakukan secara diskriminatif. Dalam hal ini, pengalaman perempuan pada dirinya merupakan peristiwa anugerah yaitu kuasa pembebasan dari luar yang telah menerobos ke dalam konteks kebudayaan patriarkal dan memampukan perempuan mengeritik dan menentang penafsiran-penafsiran androsentrisme tentang siapa dan bagaimana mereka. Perlu dipahami bahwa para feminis mendekati Kitab Suci dengan prinsip- prinsip hermeneutik yang bukan hanya menyediakan sumber-sumber yang dapat membangun kesadaran kaum feminis sendiri, melainkan juga sumber-sumber yang semakin meniadakan seksisme. Di sini hermeneutika feminis mampu menyingkirkan balok-balok di mata orang, sehingga kesaksian Kitab Suci tampak di mata mereka. Tanpa hermeneutika feminis, mungkin orang tidak dapat melihat kesaksian Kitab Suci yang autentik untuk selama-lamanya (Russel, 1998:47).

  Demikianlah para pakar Kitab Suci telah mengeritik konstruksi tradisional atas simbol-simbol dan tokoh-tokoh serta menemukan wawasan-wawasan baru tentang pribadi-pribadi ini. Salah satu contoh Elisabeth Dominguez, ahli Kitab Suci perempuan dari Filipina menggugat pandangan yang menempatkan perempuan sebagai ciptaan kedua dan pelayan laki-laki. Sebagian pemeluk pandangan ini mengutip 1Kor 11: 8-9 sebagai pemben arnya: ”Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki”. Menurutnya, pandangan yang menempatkan laki-laki sebagai ciptaan pertama dan tuan atas perempuan menghancurkan inklusivitas. Padahal Allah menghendaki semua ciptaan untuk membangun komunitas. Ia memanggil semua manusia untuk mengekspresikan citra-Nya secara bersama. Individualisme laki-laki dan perempuan yang hendak merefleksikan kemuliaan Allah secara sepihak merupakan pembelokan terhadap rencana Allah. Laki-laki dan perempuan hendaknya hidup bersama sebagai komunitas (Andalas, 2009:61). Kitab Suci juga menunjukkan sejumlah tokoh yang aktif berjuang demi pembebasan Israel. Kita sebut beberapa di antaranya: bidan-bidan Sifra dan Pua (Kel 1: 15-21), Myriam (Kel 15: 20-21), Abigail (1 Sam 25: 2-35), Deborah (Hak 4: 1-5. 31), Ester, dan tentu saja Maria dalam Perjanjian Baru. Terbukti dalam Kitab Suci peran besar para perempuan.

  Mewartakan Pembebasan: Ssatu Penegasan Kritis Refleksi Teologi Feminis

  Aruna Gnanadason menyayangkan kecenderungan untuk mengabaikan kekerasan patriarkat sebagai kerangka analisis ketidakadilan struktural dalam masyarakat. Gnanadason dalam bukunya: No Longer a Secret:

  

The Church and Violence Against Women mengeksplorasi beragam kekerasan terhadap perempuan Asia dan

menilik ulang asumsi teologis yang sering dipakai untuk membenarkannya (Gnanadason, 1996:. 6-7).

  Kemiskinan, penindasan, ketidakadilan, eksploitasi dan marginalisasi, adalah fakta-fakta yang selalu mewarnai sejarah kehidupan manusia. Dari dalam jurang kesengsaraannya, kaum miskin dan tertindas mendambakan perubahan atau pembebasan dari situasi hidupnya. Dambaan kaum miskin dan tertindas akan pembebasan ditanggapi Allah dengan mengutus orang-orang pilihan-Nya (para nabi dalam kitab Perjanjian Lama) dan Yesus Putera-Nya. Para teolog feminis mengaku kembali Kitab Suci sebagai teologi yang membebaskan perempuan, dan Kristus sendiri menjadi tokoh pembebas.

  Beratnya beban penindasan dan diskriminasi yang dialami kaum feminis mendorong mereka untuk menyerukan pertolongan dari Allah sebagai kekuatan yang membebaskan mereka. Teriakan kaum feminis membuktikan bahwa mereka membutuhkan perubahan situasi mereka. Protes atas ketidakadilan dan penindasan menjadi awal pembebasan. Desakan atau protes yang demikian, menurut George V. Pixley, menuntut dua syarat mutlak dalam setiap gerakan revolusioner (Pixley, 1987:16). Pertama, kesadaran bahwa situasi yang ada tidak dapat ditoleransi, bukan karena gerakan tersebut merupakan sesuatu yang aksidental, melainkan karena strukturnya. Karena itu situasi penderitaan yang dialami kaum feminis adalah sesuatu yang tidak dapat ditoleransi. Refleksi teologis kaum feminis mengungkapkan kesadaran awal akan adanya situasi penindasan itu menuju pembebasan. Kedua, kesadaran akan perlunya perubahan struktural, yakni melalui organisasi. Dari perskeptif teologi, keterlibatan aktif dari kaum feminis menemukan dasarnya yang paling kuat dalam pemahaman manusia sebagai pribadi yang merupakan citra Allah. Allah adalah Pembebas, Tuhan yang aktif, yang berkarya, mencipta dan melindungi, serta merawat ciptaan. Sebab itu, sebagai seorang pribadi perempuan juga tidak hanya memiliki hak, melainkan juga panggilan untuk secara aktif terlibat dalam usaha untuk membebaskan, melindungi, dan merawat kehidupan.

  Gagasan seperti ini memberikan landasan pemikiran yang semakin besar kepada Gereja sebagai sarana dan tanda penyelamatan Allah yang mewartakan misi pembebasan Kristus. Di sini, Gereja tidak saja bersikap terbuka, melainkan juga mendorong perubahan pola pikir demi munculnya inisiatif-inisiatif yang lebih mendukung kegiatan aktif kaum feminis. Gereja adalah agen pastoral yang membebaskan dan menciptakan kesetaraan dan keadilan. Beberapa dokumen terakhir dari Gereja Katolik seperti ensiklik Mulieris Dignitatem dari Yohanes Paulus II (1988), Surat Kepada Keluarga-keluarga dari Yohanes Paulus II (1994), Amanat Yohanes Paulus II tentang Kedamaian dan Keluarga (1994), berbicara banyak tentang tema-tema di atas.. Dan ketika berbicara secara eksplisit tentang keterlibatan umat beriman dalam ranah politik, sama sekali tidak dibuat pembedaan antara politisi laki-laki dan perempuan. Politik bukan lagi wilayah yang hanya dibenarkan bagi laki- laki.

  Dokumen-dokumen Gereja di atas sesungguhnya menyiratkan bahwa Gereja mengakui sumbangan yang sangat dibutuhkan dari kaum feminis bagi masyarakat melalui kepekaan, intuisi, dan serangkaian ketrampilan perempuan, yang biasanya mereka miliki dalam taraf lebih daripada laki-laki. Paus Fransiskus, dalam seruan apostoliknya mengatakan, bahwa ia dengan senang hati mengakui bahwa banyak perempuan berbagi tanggung jawab pastoral dengan para imam, baik lewat bantuan membimbing orang-orang, keluarga-keluarga serta kelompok-kelompok tertentu, maupun lewat sumbangan-sumbangan refleksi teologis yang baru (EG. No. 103). Lebih lanjut paus menyadari pentingnya ruang yang memberikan kesempatan yang lebih berpengaruh kepada kaum perempuan di dalam hidup bergereja. Jaminan akan satu “tempat yang nyaman” bagi kaum perempuan untuk mengekspresikan diri apa adanya, termasuk di berbagai arena publik. Tempat yang nyaman ini sesungguhnya adalah satu system serta struktur yang adil bagi kaum perempuan, baik dalam ranah Gereja, maupun dalam masyarakat.

  Teologi feminis tidak terbatas pada rupa-rupa minat dan persoalan kaum feminis melainkan bertalian dengan teologi-teologi yang lain serta refleksi dari kelompok tertindas lainnya. Dengan menekankan pentingnya “keutuhan” sebagai kategori basis teologi, maka teologi feminis membuka dirinya kepada aliran-aliran dalam teologi pembebasan. Teologi feminis membebaskan teologi dari pengandaian-pengandaian adrosentris dan cara pikir patriarkal dan serentak secara imajinatif merancang kembali teologi dari sudut pandang yang saling menghargai dan komunitas manusia yang inklusif.

  Penutup

  Misi pembebasan dapat terwujud jika manusia yang adalah agen pembebasan sudah terbebaskan dari ikatan belenggu yang memenjarakan hidupnya. Berkat karya Roh Kudus yang selalu hadir dalam Gereja yang senantiasa bergiat untuk membarui segala sesuatu, kaum feminis kini mulai mengedepankan pengalaman- pengalaman mereka menyangkut penindasan, diskriminasi, dan tindak kekerasan yang berkanjang dalam rupa dan citra stereotip tradisional tentang kaum perempuan dalam budaya patriarkal. Juga berkat banyak kaum laki- laki dalam Gereja yang terbuka terhadap karya Roh Kudus, kaum perempuan dibantu untuk angkat bicara dan menemukan ajang yang tepat di mana dan lewat mana suara mereka bisa didengarkan. De facto kaum feminis mampu memberikan sumbangan penting demi kemajuan dan perkembangan kehidupan dan relasi antarmanusia serta nilai-nilai rohaninya. Hal ini sudah terbukti selama berabad-abad dalam peran perempuan sebagai ibu, saudari, isteri, dan anak puteri. Karena itu, segala upaya untuk menjaga agar ketrampilan dan keahlian kaum perempuan tetap hanya terbatas di rumah saja, merupakan tindakan menyekat cakupan pengaruh perempuan untuk memperkaya kemanusiaan di bidang kehidupan yang lebih luas, dan yang efektifnya setara, seperti di bidang politik, ekonomi, budaya, dan keagamaan.

  Daftar Rujukan:

Alberich, Emilio and Jerome Vallabaraj. 2004. Comunicating A Faith that Transforms, A Handbook of Fundamental

Catechetics. Kristu Jyoiti Publicatiions, India. Andalas, Mutiara P. 2009. Lahir dari Rahim. Kanisius, Yogyakarta. Ambroise Y. dan R.G. I. Lobo. 2000. Transformasi Sosial Gaya Yesus. Dalam Y. M. Florisan. LPBAJ, Maumere. Bifet, Juan Esquerda. 1994. Spirituality for A Missionary Church. Pontificia Universitá Urbaniana.

Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja (Ad Gentes), No. 15. Dalam R. Hardawiryana. Pen. 1993. Dokumen Konsili

Vatikan II. Penerbit Obor, Jakarta.

Dekrit tentang Kerasulan Awam (Apostolicam Actuositatem) No. 1. Dalam R. Hardawiryana. Pen. 1993. Dokumen

Konsili Vatikan II. Penerbit Obor, Jakarta. Fiorenza, Elizabeth ShÜssler. 1996. Feminist Hermeneutics. Westminster John Knox Press, Louiville. ______. 1984. For Women in Men’s World: A Critical Feminist Theology of Liberation. Dalam Concilium.

Gnanadason, Aruna. 1996. No Longer a Secret: The Chruch and Violence Against Women. WCC Publications. Geneva.

Kirchberger, Georg. 2007. Allah Menggugat, Sebuah Dogmatik Kristiani. Penerbit Ledalero, Maumere.

Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini (Gaudium et Spes) “, dalam R. Hardawiryana. Penterj. 2003

  Dokumen Konsili Vatikan II. Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta.

Naisbitt, John. 1995. Megatrends Asia: Delapan Megatrend Asia yang Mengubah Dunia, dalam Danan Priyatmoko &

Wandi S. Bratta. Penterj. Gramedia, Jakarta.

  

Paus Fransiskus XIV. 2015. Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (Sukacita Injil), F. X. Adisusanto dan Bernadeta Harini

Tri Prasasti. Penerj. Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta. Pixley, G. V. 1987. On Exodus, a Liberation Perpective. Orbis Books, Maryknoll, New York. Russel, Letty M. (Ed.). 1998. Perempuan dan Tafsiran Kitab Suci. Kanisius, Yogyakarta.

Yohanes Paulus II. 1991. Redemptoris Missio. Ensiklik Tugas Perutusan Sang Penebus. Departemen Dokumentasi dan

Penerangan KWI, Jakarta.