Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Ekuitas Merek Universitas Kristen Satya Wacana: Analisis Deskriptif Kuantitatif T2 912007016 BAB II
Bab II
TELAAH PUSTAKA
2.1 KONSEP BIDANG JASA /SERVICE
Service atau bidang jasa memiliki cakupan yang luas
dan beragam sehingga tidak mudah menemukan definisi yang
dapat mencakup semua aspek. Secara singkat Kotler &
Armstrong (2012) mendefinisikan jasa sebagai suatu produk
yang bersifat intangible/tak berwujud. Sedangkan Lovelock &
Wright (2002) menyatakan bahwa jasa adalah suatu tindakan
atau unjuk kerja yang pada dasarnya bersifat intangible
(meskipun prosesnya mungkin berkaitan erat dengan aspek
fisik), serta biasanya tidak berwujud kepemilikan. Definisi lain
yang juga diajukan oleh Lovelock & Wright (2002) bahwa jasa
adalah
aktivitas
ekonomi
yang
menciptakan
value
dan
menyediakan benefit bagi konsumen pada saat dan di tempat
tertentu atas kehendak pihak penerima jasa tersebut.
Jenis, cakupan, maupun sifat bidang jasa yang beragam
menjadikan suatu produk seringkali tidak dapat dikategorikan
sebagai murni jasa ataupun murni barang/goods. Suatu
produk mungkin lebih dominan sebagai jasa, atau sebaliknya
lebih
dominan
sebagai
barang/goods
sedangkan
aspek
jasa/service hanya sebagai pendukung saja (Mudie & Pirrie,
2006). Gambar berikut ini akan memperjelas konsep tersebut:
21
22
Gambar II.1 Skala Dominasi Elemen Jasa & Barang
Sumber: Shostack, 1982 dalam Mudie & Pirrie, 2006
Bidang
membedakan
jasa
memiliki
jasa/service
karakter
dengan
khusus
yang
barang/goods.
Tabel
berikut ini merangkum berbagai ciri/karakter khusus yang
melekat pada bidang jasa/service :
Tabel II.1 Ciri Khusus Bidang Jasa / Service
CIRI KHUSUS
Tidak terdapat
kepemilikan/ownership.
Unjuk kerja/performance
bersifat tak
berwujud/intangible.
Konsumen banyak terlibat
dalam proses.
KETERANGAN
Konsumen
tidak
memperoleh
kepemilikan permanen atas sesuatu
yang
bersifat
tangible/berwujud.
Meskipun konsumen pada umumnya
berfokus pada hasil akhir, namun
bagaimana perlakuan terhadap mereka
selama proses berlangsung juga ikut
berpengaruh.
Pada umumnya jasa tidak memiliki
fitur fisik yang dapat dirasakan dengan
panca indera calon konsumen sebelum
transaksi
dilaksanakan.
Dapat
dikatakan bahwa pemasar menjual
janji kepada calon konsumen. Benefit
yang diperoleh konsumen juga bukan
pada karakter fisik melainkan lebih
kepada unjuk kerja/performance.
Seringkali konsumen harus banyak
terlibat
atau
bekerjasama
dalam
mewujudkan output/hasil akhir yang
23
Aspek manusia
merupakan bagian yang
penting.
Input maupun output
sangat bervariasi.
Konsumen tidak mudah
mengevaluasi.
Tidak dapat di-inventaris
& mudah
lenyap/perishable.
Inseparability/diproduksi
& dikonsumsi pada waktu
yang kuranglebih
bersamaan.
Variability/heterogeneity
/sifat heterogen
Penyedia jasa/sevice
provider merupakan
faktor yang sangat
penting.
dikehendaki, sekaligus mempengaruhi
proses penciptaan & distribusi jasa
tersebut.
Unjuk kerja/performance suatu jasa
banyak dipengaruhi kualitas manusia
yang terlibat di dalamnya & interaksi
yang terjadi tidak hanya antara pihak
penyedia jasa dengan konsumen, tetapi
kadang-kadang
diperlukan
juga
interaksi antar konsumen.
Penetapan standar serta pengendalian
variasi input maupun output tidak
mudah dilakukan dan berimbas pada
produktivitas, pengendalian kualitas,
serta hasil akhir yang konsisten.
Jasa memiliki atribut yang baru dapat
dirasakan dan dicermati sewaktu
ataupun
setelah
konsumen
mengalaminya, tetapi bahkan setelah
memperoleh hasilnya pun seringkali
tidak mudah bagi konsumen untuk
menilainya.
Jasa
merupakan
sesuatu
yang
berdasarkan unjuk kerja. Fasilitas,
peralatan
&
tenaga
kerja
yang
disiapkan
hanya
menggambarkan
kapasitas,
tidak
menggambarkan
output jasa itu sendiri.
Pada umumnya jasa bersifat real time
& seringkali konsumen harus hadir
secara fisik serta terlibat secara
langsung.
Standarisasi
jasa
relatif
sulit
dilakukam, akan tetapi dari waktu ke
waktu
penyedia
jasa
berupaya
mewujudkan
standarisasi
dengan
berbagai cara.
Persepsi calon konsumen atas penyedia
jasa/provider
merupakan
persepsi
mereka atas jasa itu sendiri.
Sumber : Brown( 2005), Kurtz(2012), Lovelock & Wright (2002), Mudie &
Pirrie (2006).
24
Sama halnya dengan penyedia produk berupa barang,
perusahaan atau organisasi sebagai pihak penyedia jasa
bertujuan
membangun
relasi
yang
menguntungkan
dan
berjangka panjang dengan konsumen. Jasa adalah sesuatu
yang dilaksanakan, bukan diproduksi dan penyampaian jasa
tersebut merupakan periode yang kritis. Disaat suatu jasa
dikonsumsi atau digunakan, pada saat yang kurang lebih
bersamaan, konsumen akan menangkap kesan kualitas serta
mengukur level kepuasan yang akan menjadi landasan
apakah akan melakukan pengkonsumsian ulang atau tidak
serta kesediaan merekomendasikan ke pihak lain (Brown,
2005).
2.2 KONSEP PENGELOLAAN MEREK/ BRAND
MANAGEMENT DAN BRAND AUDIT
2.2.1 BRAND MANAGEMENT
Branding
atau
pengelolaan
brand
mulai
banyak
dipelajari, diteliti, dan diperdalam pada era1980-an. Dalam
kurun waktu sekitar 16 tahun bermunculan berbagai konsep,
teori, dan gagasan mengenai brand dan pengelolaannya.
Sejauh ini, terdapat 7 pendekatan terhadap pengelolaan brand
yang dirangkum dalam tabel berikut ini :
25
Tabel II. 2 Pendekatan terhadap Pengelolaan Brand
JENIS
KATA KUNCI
ASUMSI
manusia ekonomi, teori
transaksi,
bauran
pemasaran (4P).
Keputusan
pengkonsumsian
berdasarkan rasional &
pertukaran
antara
brand dan konsumen
bersifat
linier,
fungsional & berbasis
transaksi.
Brand
mengekspreksikan
identitas yang menyatu
&
koheren,secara
internal
&
eksternal,perusahaan
membangun
brand
dengan identitas visual
& perilaku.
Brand adalah konstrual
kognitif dalam benak
konsumen,
brand
mengendap
dalam
pikiran
konsumen
tetapi pemasar masih
dapat
mengendalikan
brand value creation.
Watak kepribadian/trait
merupakan pendorong
penting
ikatan
emosional antara brand
dengan konsumen.
PENDEKATAN
Pendekatan
Ekonomi
(Economic
Approach)
Pendekatan
Identitas
pengelolaan
brand
korporat, identitas, budaya
perusahaan, visi,citra.
(Identity
Approach)
Pendekatan
Berbasis-
ekuitas merek berbasis
konsumen, citra brand,
asosiasi brand.
Konsumen
(Customer-Based
Approach)
Pendekatan
Kepribadian
(Personality
kepribadian brand, diri
sendiri/self,
archetypes/pola perilaku
yang ditiru pihak lain.
Approach)
Pendekatan
Relasional
(Relational
Relasi
dengan
kualitas
brand.
antara
brand
konsumen,
relasi
suatu
Brand
dipersepsikan
sebagai partner relasi
yang berkelanjutan.
Komunitas suatu brand,
brandfests/berkumpulnya
para
konsumen
dalam
event
yang
diselenggarakan
pemilik
Relasi
brand
yang
melibatkan
banyak
pihak & diasumsikan
adanya perspektif sosial
suatu brand.
Approach)
Pendekatan
Komunitas
(Community
26
Approach)
brand.
Pendekatan
Globalisasi, budaya pop,
ikon merek, tanpa logo.
Kultural
(Cultural
Approach)
Brand
dipersepsikan
sebagai benda sejarah
budaya
&
dikenal
adanya persepsi budaya
bagi brand.
Sumber : Brown, 2005 & Heding, 2009.
Ketujuh pendekatan tersebut merupakan serangkaian
evolusi, namun dengan munculnya pendekatan baru tidak
berarti pendekatan yang sebelumnya menjadi ‘mati’ atau tidak
digunakan lagi. Dengan kata lain, pendekatan-pendekatan
tersebut bersifat komplemen, bukan substitusi.
Dua pendekatan pertama, yaitu Pendekatan Ekonomi &
Pendekatan Identitas berfokus pada perusahaan sebagai pihak
sender/pengirim
dalam
proses
pengkomunikasian
suatu
brand (periode tahun 1985-1992).
Tahap selanjutnya (periode tahun 1993-1999) yang
diwujudkan
melalui
Pendekatan
Kepribadian
menunjukkan
adanya
Pendekatan
&
pergeseran
Berbasis
Konsumen,
Pendekatan
Relasional,
fokus
ke
arah
pihak
penerima komunikasi brand. Pengumpulan data juga tidak
semata-mata kuantitatif, dimungkinkan adanya gabungan
antara kuantitatif & kualitatif, atau bahkan murni kualitatif.
Dalam periode paling akhir (tahun 2000-2006) muncul
pendekatan baru yang berfokus pada konteks & budaya,
untuk menyikapi perubahan budaya & perubahan teknologi
yang pesat, yang turut mempengaruhi peranan pengelolaan
brand. Perubahan-perubahan tersebut antara lain otonomi
konsumen, ikon suatu brand, gerakan anti-brand, komunitas
27
brand berbasis internet, dan sebagainya.
2.2.2 BRAND AUDIT
Brand audit merupakan suatu pengujian yang
komprehensif
terhadap
suatu
brand
untuk
mengetahui
ekuitas brand tersebut (Keller, 2008). Brand audit berfokus
pada konsumen dan digunakan sebagai suatu alat untuk
menentukan seberapa ‘sehat’ suatu brand dan sekaligus
menunjukkan bagaimana memperbaiki maupun mengangkat
ekuitas merek untuk brand tersebut (Keller 2008).
Heding et al (2009) menyatakan bahwa brand
audit pada umumnya terdiri dari brand inventory dan brand
exploratory. Brand inventory merupakan deskripsi internal
yang
mendetil
mengenai
bagaimana
brand
tersebut
dipasarkan selama ini. Sedangkan brand exploratory adalah
investigasi eksternal mengenai makna brand tersebut bagi
konsumen.
Manfaat brand audit antara lain; 1)melihat adakah
kesenjangan atau ketidaksesuaian antara citra merek/brand
image yang dikehendaki oleh pemilik brand dengan fakta
mengenai brand sesuai persepsi yang ada dalam pemikiran
konsumen,
2)menemukan
kesempatan-kesempatan
untuk
menopang ataupun meningkatkan suatu brand, 3)menemukan
maupun memformulasikan ulang strategi yang tepat untuk
menguatkan brand tersebut (Ford, 2005).
28
2.3
KONSEP EKUITAS MEREK
Brand atau merek adalah sebuah nama yang
memiliki kekuatan untuk memengaruhi pasar, dan kekuatan
tersebut akan terus meningkat apabila semakin banyak orang
yang mengetahuinya, merasa yakin serta mempercayainya
(Kapferer, 2008). Secara umum terdapat dua sudut pandang
bagi brand, yaitu dari perspektif finansiil (Farquhar, Han &
Ijiri 1991; Simon & Sullivan 1993; Doyle 2001) maupun
perspektif konsumen (Aaker 1991; Keller 1993; Shocker,
Srivastava & Rueckert 1994; Chen 2001).
Dari perspektif finansiil, nilai suatu brand diukur dari
aliran dana/cashflow tambahan yang disebabkan oleh brand
tersebut (Kapferer, 2008). Hal tersebut dapat terjadi apabila
konsumen lebih memilih suatu brand, sekalipun brand
tersebut relatif lebih tinggi harganya dibandingkan produk
pesaing.
Konsumen
memiliki
keinginan
membayar
lebih
apabila terdapat keyakinan (belief) mengenai suatu brand
serta terdapat keterikatan (bond) dengan brand tersebut, yang
diyakini sebagai hasil dari upaya-upaya pemasaran tertentu.
Dengan demikian, kedua perspektif tersebut bukanlah dua hal
yang terpisah melainkan berkaitan erat. Ekuitas konsumen
merupakan awal dari ekuitas finansiil suatu brand. Dengan
kata lain, suatu
brand dapat memiliki nilai finansiil karena
29
brand tersebut telah terlebih dahulu memiliki aset yang
terletak dalam benak konsumen, seperti kesadaran merek,
keyakinan atas superioritas merek, keterikatan emosional,
dan sebagainya.
Dari perspektif konsumen, Aaker (1991) mendefinisikan
ekuitas merek sebagai aset merek yang dikaitkan dengan
nama
atau
simbol
suatu
merek,
yang
dapat
bersifat
menambah ataupun mengurangi nilai suatu produk maupun
jasa. Aset-aset merek tersebut oleh Aaker dikelompokkan
dalam dimensi-dimensi kesadaran merek, asosiasi merek,
kualitas yang dipersepsikan, dan loyalitas merek.
Selanjutnya,
Keller
(1993)
memperkenalkan
model
Customer-Based Brand Equity yang merupakan pendekatan
dari perspektif konsumen. Hal ini didasarkan pada keyakinan
Keller bahwa kekuatan suatu brand ada pada apa yang telah
dipelajari, dirasakan, dilihat dan didengar mengenai brand
tersebut, sebagai hasil dari pengalaman konsumen dalam
kurun
waktu
tertentu.
Dengan
kata
lain,
Keller
mendefinisikan Customer-Based Brand Equity sebagai efek
diferensial dari pemahaman konsumen, sebagai respon atas
pemasaran suatu brand (Keller, 1993) Dalam mengukur
ekuitas merek, Keller menggunakan dimensi-dimensi Brand
Image
dan
Brand
Awareness
(yang
terdiri
dari
Brand
Recognition dan Brand Recall ).
Berikut
pendekatan
ini
adalah
terhadap
tabel
ekuitas
perspektif konsumen :
rangkuman
merek,
mengenai
khususnya
dari
30
Tabel II. 3
Pendekatan terhadap Ekuitas Merek dari Perspektif
Konsumen
PENCETUS GAGASAN
Aaker (1991)
KONSEP PENGUKURAN
o
Kesadaran Merek (brand awareness)
o
Asosiasi Merek (brand association)
o
Kualitas yang Dipersepsikan (perceived
quality)
Keller (1993)
o
Loyalitas Merek (brand loyalty)
•
Citra merek (brand image)
•
Kesadaran Merek ((brand awareness)
2.3.1 Sub Konsep Brand Awareness (Kesadaran merek)
Pada dasarnya, brand awareness adalah seberapa
konsumen merasa familiar/tidak asing lagi dengan suatu
brand tertentu (Kapferer, 2008; Keller, 1993). Lebih lanjut lagi
dijelaskan
bahwa
kesadaran
merek
adalah
kemampuan
konsumen untuk mengingat kembali bahwa suatu merek
merupakan bagian dari suatu kategori produk. Dengan kata
lain, kesadaran merek menunjukkan seberapa kuat suatu
merek “tertanam” dalam benak konsumen (Aaker, 1991,
Keller, 1993, Pappu, 2005).
Kesadaran merek sangat penting karena pada umumnya
konsumen akan cenderung memilih apa yang familiar dan
dikenal, dibandingkan dengan merek lain yang samasekali
tidak
diketahui.
Bahkan
brand
yang
tidak
disadari
kehadirannya, cenderung tidak masuk dalam pertimbangan
31
konsumen samasekali (Miller & Muir, 2004).
Meskipun demikian, kesadaran merek bukan sekedar
aspek kognitif belaka, melainkan secara tidak langsung
menyiratkan atau menggambarkan berbagai dimensi positif
lainnya,
seperti;
kualitas,
kepercayaan,
kehandalan,
kedekatan, rasio yang baik antara kualitas dengan harga, dan
sebagainya (Kapferer, 2008). Itulah sebabnya, kesadaran
merek dinyatakan sebagai prasyarat bagi
ekuitas merek
berbasis konsumen. Apabila konsumen atau calon konsumen
tidak memiliki kesadaran/awareness terhadap suatu brand
tertentu, maka pembicaraan lebih lanjut mengenai ekuitas
merek bagi brand tersebut menjadi tidak relevan lagi (Heding,
et al 2009).
Aspek kesadaran merek ini diindentifikasikan melalui
brand recognition dan brand recall (Keller, 1993 & Heding, et al
2009). Brand recognition adalah kemampuan konsumen untuk
membedakan suatu brand (yang pernah didengar atau dilihat)
dengan brand lain dalam satu kategori produk. Dengan kata
lain, brand recognition seakan-akan memberikan konfirmasi
bahwa konsumen pernah terekspos pada brand tersebut
(Heding, et al 2009). Brand recall merupakan kemampuan
konsumen untuk mengingat kembali suatu brand tertentu,
apabila diberikan kategori produk dan/atau hal-hal yang
dapat dipenuhi oleh kategori tersebut (Keller, 1993). Melalui
Brand recognition dan/ atau brand recall, pemasar berusaha
menggali top of mind brand dari dalam benak konsumen,
untuk suatu kategori produk tertentu. Brand yang dimaksud
32
harus dapat diidentifikasikan dengan jelas dan benar, baik
melalui
petunjuk
tertentu/aided
maupun
tanpa
petunjuk/non-aided.
2.3.2 Sub Konsep Brand Association (Asosiasi Merek)
Menurut Keller (1993), brand association adalah semua
kesan emosional yang tertanam dalam benak konsumen
mengenai suatu brand. Sedangkan Miller & Muir (2004)
menyatakan
bahwa
asosiasi
merek
adalah
semua
citra
ataupun gagasan yang dikaitkan dengan suatu brand dan
inilah makna suatu brand di mata konsumen.
Brand association atau asosiasi merek terbagi dalam tiga
kategori; attributes/atribut, benefits/manfaat atau keuntungan
dan attitudes/sikap (Heding, et al 2009).
Atribut adalah semua ciri-ciri sifat atau karakter suatu
produk/jasa yang dapat digambarkan oleh konsumen. Dengan
kata lain, atribut adalah segala sesuatu yang menurut
konsumen dimiliki oleh suatu produk/jasa dan berkaitan erat
dengan
pengkonsumsian
produk
atau
pemakaian
jasa
tersebut. Atribut dapat berupa product-related attribut, nonproduct-related attribut (Kapferer, 2008; Miller & Muir, 2004 ).
Product-related
attribute
adalah
asosiasi
langsung
dengan suatu produk/jasa, meliputi atribut yang bersifat fisik
maupun perasaan yang timbul sewaktu mengkonsumsi suatu
produk, baik barang maupun jasa. Sedangkan non-productrelated attribute adalah aspek eksternal yang berkaitan dengan
33
pembelian dan pengkonsumsian suatu produk, baik barang
maupun jasa. Misalnya informasi harga, kemasan produk,
kesan mengenai tipe orang yang mengkonsumsi produk
tersebut, dan kesan mengenai konteks penggunaan produk
tersebut.
Manfaat/benefit merupakan nilai/value yang dilekatkan
oleh konsumen terhadap atribut suatu brand (Heding et al,
2009). Benefit terdiri atas tiga kategori: functional, experiental
dan symbolic.
Functional
benefit/keuntungan
fungsional
adalah
ekspektasi pribadi mengenai apa yang bisa dilakukan suatu
brand. Meskipun hal ini berkaitan dengan fitur-fitur yang
berkaitan
dengan
produk
tersebut,
namun
evaluasinya
bersifat personil. Dengan demikian, functional benefit bersifat
lebih subyektif jika dibandingkan dengan product-related
attribut. Experiental benefit berkaitan dengan keterlibatan
indera kita, seperti; bagaimana rasanya menggunakan brand
tersebut? Kesenangan seperti apa yang didapat berkenaan
dengan pengkonsumsian suatu brand? Berikutnya adalah
symbolic benefit, yaitu ekspresi diri dan bagaimana seseorang
berusaha menunjukkan siapa dirinya melalui penggunaan
suatu brand tertentu.
Aspek terakhir yaitu attitude/sikap menggambarkan
evaluasi konsumen secara menyeluruh terhadap suatu brand
(Ford, 2005).
Brand association secara keseluruhan merupakan unsur
penting
dalam
membicarakan
ekuitas
merek
karena
34
menggambarkan dengan tepat bagaimana citra brand tersebut
dalam benak konsumen. Konsumen diharapkan memiliki
brand association yang bersifat disukai/favorable, kuat/strong
dan unik/unique, terutama jika dibandingkan dengan brand
pesaing (Heding et al, 2009). Bagi konsumen, asosiasi merek
yang
favorable, strong & unique tersebut akan menciptakan
diferensiasi serta menimbulkan alasan pengkonsumsian.
2.3.3
Sub Konsep Perceived Quality
(Kualitas yang
Dipersepsikan)
Persepsi adalah respon seseorang atas stimuli yang
diterimanya
melalui
seluruh
panca
indera-penglihatan,
pendengaran, sentuhan, perasa dan penciuman. Selanjutnya,
penelitian
menunjukkan
bahwa
persepsi
tidak
hanya
dipengaruhi oleh stimuli yang sesungguhnya melainkan juga
tergantung pada apa yang ingin mereka persepsikan (Boone &
Kurtz, 2012). Dengan kata lain, persepsi merupakan hasil
interaksi antara faktor stimulus & faktor individu.
Faktor individu yang dimaksud adalah sikap/attitude
individu tersebut. Sikap/attitude merupakan kecenderungan
evaluasi, emosi, dan tindakan terhadap suatu obyek atau
gagasan, baik positif maupun negatif dan biasanya bertahan
relatif lama (Boone & Kurtz, 2012).
Konsumen memiliki persepsi masing-masing terhadap
jasa yang sedang atau akan digunakan. Perceived quality atau
kualitas
yang
dipersepsikan,
merupakan
dugaan
atau
perkiraan konsumen atas kehebatan suatu brand secara
35
keseluruhan,
jika
dibandingkan
(Zeithaml et al, 1990;
dengan
Keller, 1993;
brand
alternatif
Aaker 1996). Hal ini
sejalan dengan pernyataan Miller & Muir (2004) bahwa
perceived quality adalah penilaian konsumen atas kualitas
yang diharapkan akan diberikan oleh suatu brand.
2.3.4
Sub
Konsep
Perceived
Price
(Harga
yang
Dipersepsikan)
Dari perspektif konsumen, harga adalah apa yang
diberikan atau dikorbankan untuk memperoleh suatu produk,
baik barang maupun jasa (Monroe dan Krishnan, 1985;
Chapman, 1986). Dalam bidang jasa,“harga” tersebut memiliki
beragam istilah, seperti biaya, ongkos, tarif, honor dan
sebagainya.
Harga atau biaya dalam memperoleh atau menikmati
suatu jasa bersifat relatif dan seringkali menggambarkan
kualitas yang akan diperoleh konsumen. Dengan demikian,
pihak penyedia jasa dapat memiliki berbagai tujuan dalam
penetapan biaya, apakah sebagai sarana
bertahan/survival
dalam bisnis, memaksimalkan profit dan jumlah penjualan,
ataupun sebagai prestige/gengsi (Mc Donald, et al 2011).
Selain itu perlu dibedakan antara objective price (harga
produk yang sesungguhnya) dengan perceived price (harga
yang diperkirakan oleh konsumen) (Maxwell, 2008; Zeithaml
1988). Selanjutnya, beberapa penelitian membuktikan bahwa
konsumen tidak selalu mengetahui atau mengingat harga
yang
sesungguhnya/actual
price.
Sebaliknya,
konsumen
36
cenderung memperkirakan harga dengan cara mereka sendiri
(Zeithaml 1988; Dickson dan Sawyer, 1985).
2.3.5 Sub Konsep Brand Loyalty (Loyalitas Merek)
Brand Loyalty adalah ikatan emosional antara brand
dengan konsumen, yang pada akhirnya dapat mendorong ke
arah pengkonsumsian ulang dan dengan suka rela menjadi
‘duta’ brand yang akan memberikan referensi positif tentang
brand tersebut kepada pihak lain (Miller & Muir, 2004). Brand
Loyalty merupakan kombinasi berbagai elemen, termasuk di
dalamnya tingkat kepuasan konsumen dan brand association
yang positif (Atilgan, 2005). Sementara studi yang dilakukan
oleh Pappu (2005) menggambarkan bahwa persepsi konsumen
atas kualitas akan dikaitkan dengan brand loyalty mereka.
Semakin loyal seorang konsumen terhadap suatu brand,
makin
besar
mempersepsikan
kemungkinan
brand
tertentu
konsumen
sebagai
tersebut
brand
yang
menawarkan kualitas tertinggi, dan sebaliknya.
Terdapat tiga tahapan dalam brand loyalty atau loyalitas
terhadap suatu merek tertentu: brand recognition/pengenalan
merek,
brand
preference/pilihan
merek,
dan
brand
insistence/bertahan pada suatu merek.
Tahap paling awal adalah brand recognition/pengenalan
merek. Bagi produk baru/yang baru saja dilempar ke pasaran,
pengenalan
merek
jelas
diperlukan,
minimal
untuk
menimbulkan awareness/kesadaran merek. Bagi produk yang
bukan produk baru,brand recognition ini juga diperlukan
37
dalam
upaya
mempopulerkan/menjadikan
suatu
produk
menjadi lebih familiar sehingga meningkatkan kemungkinan
pembelian produk.
Tingkatan berikutnya adalah brand preference, dimana
konsumen
mengandalkan
pengkonsumsian
yang
ingatannya
pernah
atas
dialami.
pengalaman
Diharapkan
pengalaman positif tadi akan mendorong konsumen untuk
kembali memilih brand tersebut.
Tingkatan yang paling tinggi dalam loyalty adalah brand
insistence,
dimana
konsumen
bersikap
menolak
brand
lain/brand alternatif dan terus berupaya mencari info yang
lebih luas dan lebih dalam atas brand yang telah menjadi
preference tersebut.
Loyalitas
konsumen
berkaitan
erat
dengan
sikap
konsumen terhadap stimuli dari pesaing. Sebagai mana
dijelaskan
sebelumnya,
menyerbu
konsumen,
dengan
banyaknya
konsumen
akan
stimuli
yang
semakin
giat
menyaring stimuli yang masuk, mana yang akan memperoleh
perhatian dan mana yang akan diabaikan. Konsumen yang
loyal
akan
cenderung
mengabaikan
stimuli
dari
pihak
kompetitor produk barang/jasa yang sejenis.
2.4 NALAR KONSEP
Pendidikan tinggi tergolong jasa yang memiliki karakter
khusus, yaitu:
38
•
Dominasi
aspek
manusia/people
dalam
proses
pendidikan tergolong besar, dengan demikian sifat
intangibility serta inseparability juga sangat besar.
•
Konsumen banyak terlibat dalam proses serta berjangka
waktu
relatif
panjang,
kustomisasi/customized
banyak
serta
terjadi
pertimbangan
konsumen/judgement.
•
Aspek manusia (calon mahasiswa maupun dosen) ikut
menentukan kualitas output.
•
Input & output bisa sangat bervariasi.
•
Keputusan calon konsumen memilih suatu perguruan
tinggi tertentu tergolong high-involvement (keputusan ini
tergolong mahal dan berisiko serta pada umumnya
dikonsumsi hanya satu kali) dan pada umumnya
berkaitan dengan status sosial.
Oleh
karena
itu,
mahasiswa-kerap
calon
konsumen-dalam
mengandalkan
aspek
hal
ini
calon
asosiasi
serta
persepsi.
Asosiasi yang dimaksud disini adalah kecenderungan
meng-asosiasikan aspek yang tangibel (banyaknya fakultas,
kelengkapan fasilitas belajar-mengajar,kemegahan gedung,
besarnya
biaya
kuliah)
hingga
aspek
yang
intangibel
(mutu,gengsi).
Persepsi tidak selalu dipengaruhi oleh stimuli yang
sesungguhnya, melainkan banyak dipengaruhi oleh faktor
individu tersebut. Persepsi individu-dalam hal ini calon
mahasiswa-
berupa
persepsi
mengenai
kualitas
suatu
39
universitas jika dibandingkan universitas lain yang sejenis,
serta persepsi mengenai besarnya biaya kuliah. Kualitas suatu
universitas pada umumnya belum dapat diketahui dengan
pasti karena jasa pendidikan ini belum dialami/dirasakan
oleh
calon
mahasiswa.
Biaya
kuliah
pun
lebih
sering
merupakan persepsi saja karena hanya berwujud perkiraan
calon mahasiswa tersebut.
Selanjutnya, persepsi konsumen tersebut erat kaitannya
dengan loyalty. Persepsi yang positif cenderung mambawa
kepada loyalty yang kian tinggi. Loyalty disini tidak berwujud
pengkonsumsian ulang. Dalam hal jasa pendidikan tinggi yang
belum dialami oleh calon konsumen/calon mahasiswa, loyalty
berwujud keinginan kuliah dan keinginan merekomendasikan
universitas tersebut kepada pihak-pihak lain.
Dengan adanya berbagai karakter unik tersebut, sangat
diperlukan brand audit pendidikan tinggi, khususnya yang
bersifat eksternal. Hal ini sejalan dengan pendapat Ford
(2005) bahwa memahami perilaku konsumen merupakan
salahsatu isu penting dalam memperoleh gambaran yang
diperlukan
dalam
rangka
melaksanakan
brand
audit.
Pemahaman mengenai perilaku konsumen antara lain dapat
diperoleh
melalui
pemahaman
ekuitas
konsumen. Selanjutnya, dengan gambaran
merek
berbasis
ekuitas merek
berbasis konsumen, diharapkan pihak pengelola pendidikan
tinggi dapat menentukan langkah stratejik seperti apa yang
perlu dilakukan.
TELAAH PUSTAKA
2.1 KONSEP BIDANG JASA /SERVICE
Service atau bidang jasa memiliki cakupan yang luas
dan beragam sehingga tidak mudah menemukan definisi yang
dapat mencakup semua aspek. Secara singkat Kotler &
Armstrong (2012) mendefinisikan jasa sebagai suatu produk
yang bersifat intangible/tak berwujud. Sedangkan Lovelock &
Wright (2002) menyatakan bahwa jasa adalah suatu tindakan
atau unjuk kerja yang pada dasarnya bersifat intangible
(meskipun prosesnya mungkin berkaitan erat dengan aspek
fisik), serta biasanya tidak berwujud kepemilikan. Definisi lain
yang juga diajukan oleh Lovelock & Wright (2002) bahwa jasa
adalah
aktivitas
ekonomi
yang
menciptakan
value
dan
menyediakan benefit bagi konsumen pada saat dan di tempat
tertentu atas kehendak pihak penerima jasa tersebut.
Jenis, cakupan, maupun sifat bidang jasa yang beragam
menjadikan suatu produk seringkali tidak dapat dikategorikan
sebagai murni jasa ataupun murni barang/goods. Suatu
produk mungkin lebih dominan sebagai jasa, atau sebaliknya
lebih
dominan
sebagai
barang/goods
sedangkan
aspek
jasa/service hanya sebagai pendukung saja (Mudie & Pirrie,
2006). Gambar berikut ini akan memperjelas konsep tersebut:
21
22
Gambar II.1 Skala Dominasi Elemen Jasa & Barang
Sumber: Shostack, 1982 dalam Mudie & Pirrie, 2006
Bidang
membedakan
jasa
memiliki
jasa/service
karakter
dengan
khusus
yang
barang/goods.
Tabel
berikut ini merangkum berbagai ciri/karakter khusus yang
melekat pada bidang jasa/service :
Tabel II.1 Ciri Khusus Bidang Jasa / Service
CIRI KHUSUS
Tidak terdapat
kepemilikan/ownership.
Unjuk kerja/performance
bersifat tak
berwujud/intangible.
Konsumen banyak terlibat
dalam proses.
KETERANGAN
Konsumen
tidak
memperoleh
kepemilikan permanen atas sesuatu
yang
bersifat
tangible/berwujud.
Meskipun konsumen pada umumnya
berfokus pada hasil akhir, namun
bagaimana perlakuan terhadap mereka
selama proses berlangsung juga ikut
berpengaruh.
Pada umumnya jasa tidak memiliki
fitur fisik yang dapat dirasakan dengan
panca indera calon konsumen sebelum
transaksi
dilaksanakan.
Dapat
dikatakan bahwa pemasar menjual
janji kepada calon konsumen. Benefit
yang diperoleh konsumen juga bukan
pada karakter fisik melainkan lebih
kepada unjuk kerja/performance.
Seringkali konsumen harus banyak
terlibat
atau
bekerjasama
dalam
mewujudkan output/hasil akhir yang
23
Aspek manusia
merupakan bagian yang
penting.
Input maupun output
sangat bervariasi.
Konsumen tidak mudah
mengevaluasi.
Tidak dapat di-inventaris
& mudah
lenyap/perishable.
Inseparability/diproduksi
& dikonsumsi pada waktu
yang kuranglebih
bersamaan.
Variability/heterogeneity
/sifat heterogen
Penyedia jasa/sevice
provider merupakan
faktor yang sangat
penting.
dikehendaki, sekaligus mempengaruhi
proses penciptaan & distribusi jasa
tersebut.
Unjuk kerja/performance suatu jasa
banyak dipengaruhi kualitas manusia
yang terlibat di dalamnya & interaksi
yang terjadi tidak hanya antara pihak
penyedia jasa dengan konsumen, tetapi
kadang-kadang
diperlukan
juga
interaksi antar konsumen.
Penetapan standar serta pengendalian
variasi input maupun output tidak
mudah dilakukan dan berimbas pada
produktivitas, pengendalian kualitas,
serta hasil akhir yang konsisten.
Jasa memiliki atribut yang baru dapat
dirasakan dan dicermati sewaktu
ataupun
setelah
konsumen
mengalaminya, tetapi bahkan setelah
memperoleh hasilnya pun seringkali
tidak mudah bagi konsumen untuk
menilainya.
Jasa
merupakan
sesuatu
yang
berdasarkan unjuk kerja. Fasilitas,
peralatan
&
tenaga
kerja
yang
disiapkan
hanya
menggambarkan
kapasitas,
tidak
menggambarkan
output jasa itu sendiri.
Pada umumnya jasa bersifat real time
& seringkali konsumen harus hadir
secara fisik serta terlibat secara
langsung.
Standarisasi
jasa
relatif
sulit
dilakukam, akan tetapi dari waktu ke
waktu
penyedia
jasa
berupaya
mewujudkan
standarisasi
dengan
berbagai cara.
Persepsi calon konsumen atas penyedia
jasa/provider
merupakan
persepsi
mereka atas jasa itu sendiri.
Sumber : Brown( 2005), Kurtz(2012), Lovelock & Wright (2002), Mudie &
Pirrie (2006).
24
Sama halnya dengan penyedia produk berupa barang,
perusahaan atau organisasi sebagai pihak penyedia jasa
bertujuan
membangun
relasi
yang
menguntungkan
dan
berjangka panjang dengan konsumen. Jasa adalah sesuatu
yang dilaksanakan, bukan diproduksi dan penyampaian jasa
tersebut merupakan periode yang kritis. Disaat suatu jasa
dikonsumsi atau digunakan, pada saat yang kurang lebih
bersamaan, konsumen akan menangkap kesan kualitas serta
mengukur level kepuasan yang akan menjadi landasan
apakah akan melakukan pengkonsumsian ulang atau tidak
serta kesediaan merekomendasikan ke pihak lain (Brown,
2005).
2.2 KONSEP PENGELOLAAN MEREK/ BRAND
MANAGEMENT DAN BRAND AUDIT
2.2.1 BRAND MANAGEMENT
Branding
atau
pengelolaan
brand
mulai
banyak
dipelajari, diteliti, dan diperdalam pada era1980-an. Dalam
kurun waktu sekitar 16 tahun bermunculan berbagai konsep,
teori, dan gagasan mengenai brand dan pengelolaannya.
Sejauh ini, terdapat 7 pendekatan terhadap pengelolaan brand
yang dirangkum dalam tabel berikut ini :
25
Tabel II. 2 Pendekatan terhadap Pengelolaan Brand
JENIS
KATA KUNCI
ASUMSI
manusia ekonomi, teori
transaksi,
bauran
pemasaran (4P).
Keputusan
pengkonsumsian
berdasarkan rasional &
pertukaran
antara
brand dan konsumen
bersifat
linier,
fungsional & berbasis
transaksi.
Brand
mengekspreksikan
identitas yang menyatu
&
koheren,secara
internal
&
eksternal,perusahaan
membangun
brand
dengan identitas visual
& perilaku.
Brand adalah konstrual
kognitif dalam benak
konsumen,
brand
mengendap
dalam
pikiran
konsumen
tetapi pemasar masih
dapat
mengendalikan
brand value creation.
Watak kepribadian/trait
merupakan pendorong
penting
ikatan
emosional antara brand
dengan konsumen.
PENDEKATAN
Pendekatan
Ekonomi
(Economic
Approach)
Pendekatan
Identitas
pengelolaan
brand
korporat, identitas, budaya
perusahaan, visi,citra.
(Identity
Approach)
Pendekatan
Berbasis-
ekuitas merek berbasis
konsumen, citra brand,
asosiasi brand.
Konsumen
(Customer-Based
Approach)
Pendekatan
Kepribadian
(Personality
kepribadian brand, diri
sendiri/self,
archetypes/pola perilaku
yang ditiru pihak lain.
Approach)
Pendekatan
Relasional
(Relational
Relasi
dengan
kualitas
brand.
antara
brand
konsumen,
relasi
suatu
Brand
dipersepsikan
sebagai partner relasi
yang berkelanjutan.
Komunitas suatu brand,
brandfests/berkumpulnya
para
konsumen
dalam
event
yang
diselenggarakan
pemilik
Relasi
brand
yang
melibatkan
banyak
pihak & diasumsikan
adanya perspektif sosial
suatu brand.
Approach)
Pendekatan
Komunitas
(Community
26
Approach)
brand.
Pendekatan
Globalisasi, budaya pop,
ikon merek, tanpa logo.
Kultural
(Cultural
Approach)
Brand
dipersepsikan
sebagai benda sejarah
budaya
&
dikenal
adanya persepsi budaya
bagi brand.
Sumber : Brown, 2005 & Heding, 2009.
Ketujuh pendekatan tersebut merupakan serangkaian
evolusi, namun dengan munculnya pendekatan baru tidak
berarti pendekatan yang sebelumnya menjadi ‘mati’ atau tidak
digunakan lagi. Dengan kata lain, pendekatan-pendekatan
tersebut bersifat komplemen, bukan substitusi.
Dua pendekatan pertama, yaitu Pendekatan Ekonomi &
Pendekatan Identitas berfokus pada perusahaan sebagai pihak
sender/pengirim
dalam
proses
pengkomunikasian
suatu
brand (periode tahun 1985-1992).
Tahap selanjutnya (periode tahun 1993-1999) yang
diwujudkan
melalui
Pendekatan
Kepribadian
menunjukkan
adanya
Pendekatan
&
pergeseran
Berbasis
Konsumen,
Pendekatan
Relasional,
fokus
ke
arah
pihak
penerima komunikasi brand. Pengumpulan data juga tidak
semata-mata kuantitatif, dimungkinkan adanya gabungan
antara kuantitatif & kualitatif, atau bahkan murni kualitatif.
Dalam periode paling akhir (tahun 2000-2006) muncul
pendekatan baru yang berfokus pada konteks & budaya,
untuk menyikapi perubahan budaya & perubahan teknologi
yang pesat, yang turut mempengaruhi peranan pengelolaan
brand. Perubahan-perubahan tersebut antara lain otonomi
konsumen, ikon suatu brand, gerakan anti-brand, komunitas
27
brand berbasis internet, dan sebagainya.
2.2.2 BRAND AUDIT
Brand audit merupakan suatu pengujian yang
komprehensif
terhadap
suatu
brand
untuk
mengetahui
ekuitas brand tersebut (Keller, 2008). Brand audit berfokus
pada konsumen dan digunakan sebagai suatu alat untuk
menentukan seberapa ‘sehat’ suatu brand dan sekaligus
menunjukkan bagaimana memperbaiki maupun mengangkat
ekuitas merek untuk brand tersebut (Keller 2008).
Heding et al (2009) menyatakan bahwa brand
audit pada umumnya terdiri dari brand inventory dan brand
exploratory. Brand inventory merupakan deskripsi internal
yang
mendetil
mengenai
bagaimana
brand
tersebut
dipasarkan selama ini. Sedangkan brand exploratory adalah
investigasi eksternal mengenai makna brand tersebut bagi
konsumen.
Manfaat brand audit antara lain; 1)melihat adakah
kesenjangan atau ketidaksesuaian antara citra merek/brand
image yang dikehendaki oleh pemilik brand dengan fakta
mengenai brand sesuai persepsi yang ada dalam pemikiran
konsumen,
2)menemukan
kesempatan-kesempatan
untuk
menopang ataupun meningkatkan suatu brand, 3)menemukan
maupun memformulasikan ulang strategi yang tepat untuk
menguatkan brand tersebut (Ford, 2005).
28
2.3
KONSEP EKUITAS MEREK
Brand atau merek adalah sebuah nama yang
memiliki kekuatan untuk memengaruhi pasar, dan kekuatan
tersebut akan terus meningkat apabila semakin banyak orang
yang mengetahuinya, merasa yakin serta mempercayainya
(Kapferer, 2008). Secara umum terdapat dua sudut pandang
bagi brand, yaitu dari perspektif finansiil (Farquhar, Han &
Ijiri 1991; Simon & Sullivan 1993; Doyle 2001) maupun
perspektif konsumen (Aaker 1991; Keller 1993; Shocker,
Srivastava & Rueckert 1994; Chen 2001).
Dari perspektif finansiil, nilai suatu brand diukur dari
aliran dana/cashflow tambahan yang disebabkan oleh brand
tersebut (Kapferer, 2008). Hal tersebut dapat terjadi apabila
konsumen lebih memilih suatu brand, sekalipun brand
tersebut relatif lebih tinggi harganya dibandingkan produk
pesaing.
Konsumen
memiliki
keinginan
membayar
lebih
apabila terdapat keyakinan (belief) mengenai suatu brand
serta terdapat keterikatan (bond) dengan brand tersebut, yang
diyakini sebagai hasil dari upaya-upaya pemasaran tertentu.
Dengan demikian, kedua perspektif tersebut bukanlah dua hal
yang terpisah melainkan berkaitan erat. Ekuitas konsumen
merupakan awal dari ekuitas finansiil suatu brand. Dengan
kata lain, suatu
brand dapat memiliki nilai finansiil karena
29
brand tersebut telah terlebih dahulu memiliki aset yang
terletak dalam benak konsumen, seperti kesadaran merek,
keyakinan atas superioritas merek, keterikatan emosional,
dan sebagainya.
Dari perspektif konsumen, Aaker (1991) mendefinisikan
ekuitas merek sebagai aset merek yang dikaitkan dengan
nama
atau
simbol
suatu
merek,
yang
dapat
bersifat
menambah ataupun mengurangi nilai suatu produk maupun
jasa. Aset-aset merek tersebut oleh Aaker dikelompokkan
dalam dimensi-dimensi kesadaran merek, asosiasi merek,
kualitas yang dipersepsikan, dan loyalitas merek.
Selanjutnya,
Keller
(1993)
memperkenalkan
model
Customer-Based Brand Equity yang merupakan pendekatan
dari perspektif konsumen. Hal ini didasarkan pada keyakinan
Keller bahwa kekuatan suatu brand ada pada apa yang telah
dipelajari, dirasakan, dilihat dan didengar mengenai brand
tersebut, sebagai hasil dari pengalaman konsumen dalam
kurun
waktu
tertentu.
Dengan
kata
lain,
Keller
mendefinisikan Customer-Based Brand Equity sebagai efek
diferensial dari pemahaman konsumen, sebagai respon atas
pemasaran suatu brand (Keller, 1993) Dalam mengukur
ekuitas merek, Keller menggunakan dimensi-dimensi Brand
Image
dan
Brand
Awareness
(yang
terdiri
dari
Brand
Recognition dan Brand Recall ).
Berikut
pendekatan
ini
adalah
terhadap
tabel
ekuitas
perspektif konsumen :
rangkuman
merek,
mengenai
khususnya
dari
30
Tabel II. 3
Pendekatan terhadap Ekuitas Merek dari Perspektif
Konsumen
PENCETUS GAGASAN
Aaker (1991)
KONSEP PENGUKURAN
o
Kesadaran Merek (brand awareness)
o
Asosiasi Merek (brand association)
o
Kualitas yang Dipersepsikan (perceived
quality)
Keller (1993)
o
Loyalitas Merek (brand loyalty)
•
Citra merek (brand image)
•
Kesadaran Merek ((brand awareness)
2.3.1 Sub Konsep Brand Awareness (Kesadaran merek)
Pada dasarnya, brand awareness adalah seberapa
konsumen merasa familiar/tidak asing lagi dengan suatu
brand tertentu (Kapferer, 2008; Keller, 1993). Lebih lanjut lagi
dijelaskan
bahwa
kesadaran
merek
adalah
kemampuan
konsumen untuk mengingat kembali bahwa suatu merek
merupakan bagian dari suatu kategori produk. Dengan kata
lain, kesadaran merek menunjukkan seberapa kuat suatu
merek “tertanam” dalam benak konsumen (Aaker, 1991,
Keller, 1993, Pappu, 2005).
Kesadaran merek sangat penting karena pada umumnya
konsumen akan cenderung memilih apa yang familiar dan
dikenal, dibandingkan dengan merek lain yang samasekali
tidak
diketahui.
Bahkan
brand
yang
tidak
disadari
kehadirannya, cenderung tidak masuk dalam pertimbangan
31
konsumen samasekali (Miller & Muir, 2004).
Meskipun demikian, kesadaran merek bukan sekedar
aspek kognitif belaka, melainkan secara tidak langsung
menyiratkan atau menggambarkan berbagai dimensi positif
lainnya,
seperti;
kualitas,
kepercayaan,
kehandalan,
kedekatan, rasio yang baik antara kualitas dengan harga, dan
sebagainya (Kapferer, 2008). Itulah sebabnya, kesadaran
merek dinyatakan sebagai prasyarat bagi
ekuitas merek
berbasis konsumen. Apabila konsumen atau calon konsumen
tidak memiliki kesadaran/awareness terhadap suatu brand
tertentu, maka pembicaraan lebih lanjut mengenai ekuitas
merek bagi brand tersebut menjadi tidak relevan lagi (Heding,
et al 2009).
Aspek kesadaran merek ini diindentifikasikan melalui
brand recognition dan brand recall (Keller, 1993 & Heding, et al
2009). Brand recognition adalah kemampuan konsumen untuk
membedakan suatu brand (yang pernah didengar atau dilihat)
dengan brand lain dalam satu kategori produk. Dengan kata
lain, brand recognition seakan-akan memberikan konfirmasi
bahwa konsumen pernah terekspos pada brand tersebut
(Heding, et al 2009). Brand recall merupakan kemampuan
konsumen untuk mengingat kembali suatu brand tertentu,
apabila diberikan kategori produk dan/atau hal-hal yang
dapat dipenuhi oleh kategori tersebut (Keller, 1993). Melalui
Brand recognition dan/ atau brand recall, pemasar berusaha
menggali top of mind brand dari dalam benak konsumen,
untuk suatu kategori produk tertentu. Brand yang dimaksud
32
harus dapat diidentifikasikan dengan jelas dan benar, baik
melalui
petunjuk
tertentu/aided
maupun
tanpa
petunjuk/non-aided.
2.3.2 Sub Konsep Brand Association (Asosiasi Merek)
Menurut Keller (1993), brand association adalah semua
kesan emosional yang tertanam dalam benak konsumen
mengenai suatu brand. Sedangkan Miller & Muir (2004)
menyatakan
bahwa
asosiasi
merek
adalah
semua
citra
ataupun gagasan yang dikaitkan dengan suatu brand dan
inilah makna suatu brand di mata konsumen.
Brand association atau asosiasi merek terbagi dalam tiga
kategori; attributes/atribut, benefits/manfaat atau keuntungan
dan attitudes/sikap (Heding, et al 2009).
Atribut adalah semua ciri-ciri sifat atau karakter suatu
produk/jasa yang dapat digambarkan oleh konsumen. Dengan
kata lain, atribut adalah segala sesuatu yang menurut
konsumen dimiliki oleh suatu produk/jasa dan berkaitan erat
dengan
pengkonsumsian
produk
atau
pemakaian
jasa
tersebut. Atribut dapat berupa product-related attribut, nonproduct-related attribut (Kapferer, 2008; Miller & Muir, 2004 ).
Product-related
attribute
adalah
asosiasi
langsung
dengan suatu produk/jasa, meliputi atribut yang bersifat fisik
maupun perasaan yang timbul sewaktu mengkonsumsi suatu
produk, baik barang maupun jasa. Sedangkan non-productrelated attribute adalah aspek eksternal yang berkaitan dengan
33
pembelian dan pengkonsumsian suatu produk, baik barang
maupun jasa. Misalnya informasi harga, kemasan produk,
kesan mengenai tipe orang yang mengkonsumsi produk
tersebut, dan kesan mengenai konteks penggunaan produk
tersebut.
Manfaat/benefit merupakan nilai/value yang dilekatkan
oleh konsumen terhadap atribut suatu brand (Heding et al,
2009). Benefit terdiri atas tiga kategori: functional, experiental
dan symbolic.
Functional
benefit/keuntungan
fungsional
adalah
ekspektasi pribadi mengenai apa yang bisa dilakukan suatu
brand. Meskipun hal ini berkaitan dengan fitur-fitur yang
berkaitan
dengan
produk
tersebut,
namun
evaluasinya
bersifat personil. Dengan demikian, functional benefit bersifat
lebih subyektif jika dibandingkan dengan product-related
attribut. Experiental benefit berkaitan dengan keterlibatan
indera kita, seperti; bagaimana rasanya menggunakan brand
tersebut? Kesenangan seperti apa yang didapat berkenaan
dengan pengkonsumsian suatu brand? Berikutnya adalah
symbolic benefit, yaitu ekspresi diri dan bagaimana seseorang
berusaha menunjukkan siapa dirinya melalui penggunaan
suatu brand tertentu.
Aspek terakhir yaitu attitude/sikap menggambarkan
evaluasi konsumen secara menyeluruh terhadap suatu brand
(Ford, 2005).
Brand association secara keseluruhan merupakan unsur
penting
dalam
membicarakan
ekuitas
merek
karena
34
menggambarkan dengan tepat bagaimana citra brand tersebut
dalam benak konsumen. Konsumen diharapkan memiliki
brand association yang bersifat disukai/favorable, kuat/strong
dan unik/unique, terutama jika dibandingkan dengan brand
pesaing (Heding et al, 2009). Bagi konsumen, asosiasi merek
yang
favorable, strong & unique tersebut akan menciptakan
diferensiasi serta menimbulkan alasan pengkonsumsian.
2.3.3
Sub Konsep Perceived Quality
(Kualitas yang
Dipersepsikan)
Persepsi adalah respon seseorang atas stimuli yang
diterimanya
melalui
seluruh
panca
indera-penglihatan,
pendengaran, sentuhan, perasa dan penciuman. Selanjutnya,
penelitian
menunjukkan
bahwa
persepsi
tidak
hanya
dipengaruhi oleh stimuli yang sesungguhnya melainkan juga
tergantung pada apa yang ingin mereka persepsikan (Boone &
Kurtz, 2012). Dengan kata lain, persepsi merupakan hasil
interaksi antara faktor stimulus & faktor individu.
Faktor individu yang dimaksud adalah sikap/attitude
individu tersebut. Sikap/attitude merupakan kecenderungan
evaluasi, emosi, dan tindakan terhadap suatu obyek atau
gagasan, baik positif maupun negatif dan biasanya bertahan
relatif lama (Boone & Kurtz, 2012).
Konsumen memiliki persepsi masing-masing terhadap
jasa yang sedang atau akan digunakan. Perceived quality atau
kualitas
yang
dipersepsikan,
merupakan
dugaan
atau
perkiraan konsumen atas kehebatan suatu brand secara
35
keseluruhan,
jika
dibandingkan
(Zeithaml et al, 1990;
dengan
Keller, 1993;
brand
alternatif
Aaker 1996). Hal ini
sejalan dengan pernyataan Miller & Muir (2004) bahwa
perceived quality adalah penilaian konsumen atas kualitas
yang diharapkan akan diberikan oleh suatu brand.
2.3.4
Sub
Konsep
Perceived
Price
(Harga
yang
Dipersepsikan)
Dari perspektif konsumen, harga adalah apa yang
diberikan atau dikorbankan untuk memperoleh suatu produk,
baik barang maupun jasa (Monroe dan Krishnan, 1985;
Chapman, 1986). Dalam bidang jasa,“harga” tersebut memiliki
beragam istilah, seperti biaya, ongkos, tarif, honor dan
sebagainya.
Harga atau biaya dalam memperoleh atau menikmati
suatu jasa bersifat relatif dan seringkali menggambarkan
kualitas yang akan diperoleh konsumen. Dengan demikian,
pihak penyedia jasa dapat memiliki berbagai tujuan dalam
penetapan biaya, apakah sebagai sarana
bertahan/survival
dalam bisnis, memaksimalkan profit dan jumlah penjualan,
ataupun sebagai prestige/gengsi (Mc Donald, et al 2011).
Selain itu perlu dibedakan antara objective price (harga
produk yang sesungguhnya) dengan perceived price (harga
yang diperkirakan oleh konsumen) (Maxwell, 2008; Zeithaml
1988). Selanjutnya, beberapa penelitian membuktikan bahwa
konsumen tidak selalu mengetahui atau mengingat harga
yang
sesungguhnya/actual
price.
Sebaliknya,
konsumen
36
cenderung memperkirakan harga dengan cara mereka sendiri
(Zeithaml 1988; Dickson dan Sawyer, 1985).
2.3.5 Sub Konsep Brand Loyalty (Loyalitas Merek)
Brand Loyalty adalah ikatan emosional antara brand
dengan konsumen, yang pada akhirnya dapat mendorong ke
arah pengkonsumsian ulang dan dengan suka rela menjadi
‘duta’ brand yang akan memberikan referensi positif tentang
brand tersebut kepada pihak lain (Miller & Muir, 2004). Brand
Loyalty merupakan kombinasi berbagai elemen, termasuk di
dalamnya tingkat kepuasan konsumen dan brand association
yang positif (Atilgan, 2005). Sementara studi yang dilakukan
oleh Pappu (2005) menggambarkan bahwa persepsi konsumen
atas kualitas akan dikaitkan dengan brand loyalty mereka.
Semakin loyal seorang konsumen terhadap suatu brand,
makin
besar
mempersepsikan
kemungkinan
brand
tertentu
konsumen
sebagai
tersebut
brand
yang
menawarkan kualitas tertinggi, dan sebaliknya.
Terdapat tiga tahapan dalam brand loyalty atau loyalitas
terhadap suatu merek tertentu: brand recognition/pengenalan
merek,
brand
preference/pilihan
merek,
dan
brand
insistence/bertahan pada suatu merek.
Tahap paling awal adalah brand recognition/pengenalan
merek. Bagi produk baru/yang baru saja dilempar ke pasaran,
pengenalan
merek
jelas
diperlukan,
minimal
untuk
menimbulkan awareness/kesadaran merek. Bagi produk yang
bukan produk baru,brand recognition ini juga diperlukan
37
dalam
upaya
mempopulerkan/menjadikan
suatu
produk
menjadi lebih familiar sehingga meningkatkan kemungkinan
pembelian produk.
Tingkatan berikutnya adalah brand preference, dimana
konsumen
mengandalkan
pengkonsumsian
yang
ingatannya
pernah
atas
dialami.
pengalaman
Diharapkan
pengalaman positif tadi akan mendorong konsumen untuk
kembali memilih brand tersebut.
Tingkatan yang paling tinggi dalam loyalty adalah brand
insistence,
dimana
konsumen
bersikap
menolak
brand
lain/brand alternatif dan terus berupaya mencari info yang
lebih luas dan lebih dalam atas brand yang telah menjadi
preference tersebut.
Loyalitas
konsumen
berkaitan
erat
dengan
sikap
konsumen terhadap stimuli dari pesaing. Sebagai mana
dijelaskan
sebelumnya,
menyerbu
konsumen,
dengan
banyaknya
konsumen
akan
stimuli
yang
semakin
giat
menyaring stimuli yang masuk, mana yang akan memperoleh
perhatian dan mana yang akan diabaikan. Konsumen yang
loyal
akan
cenderung
mengabaikan
stimuli
dari
pihak
kompetitor produk barang/jasa yang sejenis.
2.4 NALAR KONSEP
Pendidikan tinggi tergolong jasa yang memiliki karakter
khusus, yaitu:
38
•
Dominasi
aspek
manusia/people
dalam
proses
pendidikan tergolong besar, dengan demikian sifat
intangibility serta inseparability juga sangat besar.
•
Konsumen banyak terlibat dalam proses serta berjangka
waktu
relatif
panjang,
kustomisasi/customized
banyak
serta
terjadi
pertimbangan
konsumen/judgement.
•
Aspek manusia (calon mahasiswa maupun dosen) ikut
menentukan kualitas output.
•
Input & output bisa sangat bervariasi.
•
Keputusan calon konsumen memilih suatu perguruan
tinggi tertentu tergolong high-involvement (keputusan ini
tergolong mahal dan berisiko serta pada umumnya
dikonsumsi hanya satu kali) dan pada umumnya
berkaitan dengan status sosial.
Oleh
karena
itu,
mahasiswa-kerap
calon
konsumen-dalam
mengandalkan
aspek
hal
ini
calon
asosiasi
serta
persepsi.
Asosiasi yang dimaksud disini adalah kecenderungan
meng-asosiasikan aspek yang tangibel (banyaknya fakultas,
kelengkapan fasilitas belajar-mengajar,kemegahan gedung,
besarnya
biaya
kuliah)
hingga
aspek
yang
intangibel
(mutu,gengsi).
Persepsi tidak selalu dipengaruhi oleh stimuli yang
sesungguhnya, melainkan banyak dipengaruhi oleh faktor
individu tersebut. Persepsi individu-dalam hal ini calon
mahasiswa-
berupa
persepsi
mengenai
kualitas
suatu
39
universitas jika dibandingkan universitas lain yang sejenis,
serta persepsi mengenai besarnya biaya kuliah. Kualitas suatu
universitas pada umumnya belum dapat diketahui dengan
pasti karena jasa pendidikan ini belum dialami/dirasakan
oleh
calon
mahasiswa.
Biaya
kuliah
pun
lebih
sering
merupakan persepsi saja karena hanya berwujud perkiraan
calon mahasiswa tersebut.
Selanjutnya, persepsi konsumen tersebut erat kaitannya
dengan loyalty. Persepsi yang positif cenderung mambawa
kepada loyalty yang kian tinggi. Loyalty disini tidak berwujud
pengkonsumsian ulang. Dalam hal jasa pendidikan tinggi yang
belum dialami oleh calon konsumen/calon mahasiswa, loyalty
berwujud keinginan kuliah dan keinginan merekomendasikan
universitas tersebut kepada pihak-pihak lain.
Dengan adanya berbagai karakter unik tersebut, sangat
diperlukan brand audit pendidikan tinggi, khususnya yang
bersifat eksternal. Hal ini sejalan dengan pendapat Ford
(2005) bahwa memahami perilaku konsumen merupakan
salahsatu isu penting dalam memperoleh gambaran yang
diperlukan
dalam
rangka
melaksanakan
brand
audit.
Pemahaman mengenai perilaku konsumen antara lain dapat
diperoleh
melalui
pemahaman
ekuitas
konsumen. Selanjutnya, dengan gambaran
merek
berbasis
ekuitas merek
berbasis konsumen, diharapkan pihak pengelola pendidikan
tinggi dapat menentukan langkah stratejik seperti apa yang
perlu dilakukan.