Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Ekuitas Merek Universitas Kristen Satya Wacana: Analisis Deskriptif Kuantitatif T2 912007016 BAB II

Bab II

TELAAH PUSTAKA
2.1 KONSEP BIDANG JASA /SERVICE
Service atau bidang jasa memiliki cakupan yang luas
dan beragam sehingga tidak mudah menemukan definisi yang
dapat mencakup semua aspek. Secara singkat Kotler &
Armstrong (2012) mendefinisikan jasa sebagai suatu produk
yang bersifat intangible/tak berwujud. Sedangkan Lovelock &
Wright (2002) menyatakan bahwa jasa adalah suatu tindakan
atau unjuk kerja yang pada dasarnya bersifat intangible
(meskipun prosesnya mungkin berkaitan erat dengan aspek
fisik), serta biasanya tidak berwujud kepemilikan. Definisi lain
yang juga diajukan oleh Lovelock & Wright (2002) bahwa jasa
adalah

aktivitas

ekonomi

yang


menciptakan

value

dan

menyediakan benefit bagi konsumen pada saat dan di tempat
tertentu atas kehendak pihak penerima jasa tersebut.
Jenis, cakupan, maupun sifat bidang jasa yang beragam
menjadikan suatu produk seringkali tidak dapat dikategorikan
sebagai murni jasa ataupun murni barang/goods. Suatu
produk mungkin lebih dominan sebagai jasa, atau sebaliknya
lebih

dominan

sebagai

barang/goods


sedangkan

aspek

jasa/service hanya sebagai pendukung saja (Mudie & Pirrie,
2006). Gambar berikut ini akan memperjelas konsep tersebut:
21 
 

22 
 

Gambar II.1 Skala Dominasi Elemen Jasa & Barang

Sumber: Shostack, 1982 dalam Mudie & Pirrie, 2006

Bidang
membedakan


jasa

memiliki

jasa/service

karakter

dengan

khusus

yang

barang/goods.

Tabel

berikut ini merangkum berbagai ciri/karakter khusus yang
melekat pada bidang jasa/service :

Tabel II.1 Ciri Khusus Bidang Jasa / Service
CIRI KHUSUS
Tidak terdapat
kepemilikan/ownership.

Unjuk kerja/performance
bersifat tak
berwujud/intangible.

Konsumen banyak terlibat
dalam proses.

KETERANGAN
Konsumen
tidak
memperoleh
kepemilikan permanen atas sesuatu
yang
bersifat
tangible/berwujud.

Meskipun konsumen pada umumnya
berfokus pada hasil akhir, namun
bagaimana perlakuan terhadap mereka
selama proses berlangsung juga ikut
berpengaruh.
Pada umumnya jasa tidak memiliki
fitur fisik yang dapat dirasakan dengan
panca indera calon konsumen sebelum
transaksi
dilaksanakan.
Dapat
dikatakan bahwa pemasar menjual
janji kepada calon konsumen. Benefit
yang diperoleh konsumen juga bukan
pada karakter fisik melainkan lebih
kepada unjuk kerja/performance.
Seringkali konsumen harus banyak
terlibat
atau
bekerjasama

dalam
mewujudkan output/hasil akhir yang

 
 

23 
 

Aspek manusia
merupakan bagian yang
penting.

Input maupun output
sangat bervariasi.

Konsumen tidak mudah
mengevaluasi.

Tidak dapat di-inventaris

& mudah
lenyap/perishable.

Inseparability/diproduksi
& dikonsumsi pada waktu
yang kuranglebih
bersamaan.
Variability/heterogeneity
/sifat heterogen

Penyedia jasa/sevice
provider merupakan
faktor yang sangat
penting.

dikehendaki, sekaligus mempengaruhi
proses penciptaan & distribusi jasa
tersebut.
Unjuk kerja/performance suatu jasa
banyak dipengaruhi kualitas manusia

yang terlibat di dalamnya & interaksi
yang terjadi tidak hanya antara pihak
penyedia jasa dengan konsumen, tetapi
kadang-kadang
diperlukan
juga
interaksi antar konsumen.
Penetapan standar serta pengendalian
variasi input maupun output tidak
mudah dilakukan dan berimbas pada
produktivitas, pengendalian kualitas,
serta hasil akhir yang konsisten.
Jasa memiliki atribut yang baru dapat
dirasakan dan dicermati sewaktu
ataupun
setelah
konsumen
mengalaminya, tetapi bahkan setelah
memperoleh hasilnya pun seringkali
tidak mudah bagi konsumen untuk

menilainya.
Jasa
merupakan
sesuatu
yang
berdasarkan unjuk kerja. Fasilitas,
peralatan
&
tenaga
kerja
yang
disiapkan
hanya
menggambarkan
kapasitas,
tidak
menggambarkan
output jasa itu sendiri.
Pada umumnya jasa bersifat real time
& seringkali konsumen harus hadir

secara fisik serta terlibat secara
langsung.
Standarisasi
jasa
relatif
sulit
dilakukam, akan tetapi dari waktu ke
waktu
penyedia
jasa
berupaya
mewujudkan
standarisasi
dengan
berbagai cara.
Persepsi calon konsumen atas penyedia
jasa/provider
merupakan
persepsi
mereka atas jasa itu sendiri.


Sumber : Brown( 2005), Kurtz(2012), Lovelock & Wright (2002), Mudie &
Pirrie (2006).

 
 

24 
 

Sama halnya dengan penyedia produk berupa barang,
perusahaan atau organisasi sebagai pihak penyedia jasa
bertujuan

membangun

relasi

yang

menguntungkan

dan

berjangka panjang dengan konsumen. Jasa adalah sesuatu
yang dilaksanakan, bukan diproduksi dan penyampaian jasa
tersebut merupakan periode yang kritis. Disaat suatu jasa
dikonsumsi atau digunakan, pada saat yang kurang lebih
bersamaan, konsumen akan menangkap kesan kualitas serta
mengukur level kepuasan yang akan menjadi landasan
apakah akan melakukan pengkonsumsian ulang atau tidak
serta kesediaan merekomendasikan ke pihak lain (Brown,
2005).

2.2 KONSEP PENGELOLAAN MEREK/ BRAND
MANAGEMENT DAN BRAND AUDIT
2.2.1 BRAND MANAGEMENT
Branding

atau

pengelolaan

brand

mulai

banyak

dipelajari, diteliti, dan diperdalam pada era1980-an. Dalam
kurun waktu sekitar 16 tahun bermunculan berbagai konsep,
teori, dan gagasan mengenai brand dan pengelolaannya.
Sejauh ini, terdapat 7 pendekatan terhadap pengelolaan brand
yang dirangkum dalam tabel berikut ini :

 
 

25 
 

Tabel II. 2 Pendekatan terhadap Pengelolaan Brand
JENIS

KATA KUNCI

ASUMSI

manusia ekonomi, teori
transaksi,
bauran
pemasaran (4P).

Keputusan
pengkonsumsian
berdasarkan rasional &
pertukaran
antara
brand dan konsumen
bersifat
linier,
fungsional & berbasis
transaksi.
Brand
mengekspreksikan
identitas yang menyatu
&
koheren,secara
internal
&
eksternal,perusahaan
membangun
brand
dengan identitas visual
& perilaku.
Brand adalah konstrual
kognitif dalam benak
konsumen,
brand
mengendap
dalam
pikiran
konsumen
tetapi pemasar masih
dapat
mengendalikan
brand value creation.
Watak kepribadian/trait
merupakan pendorong
penting
ikatan
emosional antara brand
dengan konsumen.

PENDEKATAN
Pendekatan
Ekonomi
(Economic
Approach)

Pendekatan
Identitas

pengelolaan
brand
korporat, identitas, budaya
perusahaan, visi,citra.

(Identity
Approach)

Pendekatan
Berbasis-

ekuitas merek berbasis
konsumen, citra brand,
asosiasi brand.

Konsumen
(Customer-Based
Approach)
Pendekatan
Kepribadian
(Personality

kepribadian brand, diri
sendiri/self,
archetypes/pola perilaku
yang ditiru pihak lain.

Approach)
Pendekatan
Relasional
(Relational

Relasi
dengan
kualitas
brand.

antara
brand
konsumen,
relasi
suatu

Brand
dipersepsikan
sebagai partner relasi
yang berkelanjutan.

Komunitas suatu brand,
brandfests/berkumpulnya
para
konsumen
dalam
event
yang
diselenggarakan
pemilik

Relasi
brand
yang
melibatkan
banyak
pihak & diasumsikan
adanya perspektif sosial
suatu brand.

Approach)
Pendekatan
Komunitas
(Community

 
 

26 
 
Approach)

brand.

Pendekatan

Globalisasi, budaya pop,
ikon merek, tanpa logo.

Kultural
(Cultural
Approach)

Brand
dipersepsikan
sebagai benda sejarah
budaya
&
dikenal
adanya persepsi budaya
bagi brand.

Sumber : Brown, 2005 & Heding, 2009.

Ketujuh pendekatan tersebut merupakan serangkaian
evolusi, namun dengan munculnya pendekatan baru tidak
berarti pendekatan yang sebelumnya menjadi ‘mati’ atau tidak
digunakan lagi. Dengan kata lain, pendekatan-pendekatan
tersebut bersifat komplemen, bukan substitusi.
Dua pendekatan pertama, yaitu Pendekatan Ekonomi &
Pendekatan Identitas berfokus pada perusahaan sebagai pihak
sender/pengirim

dalam

proses

pengkomunikasian

suatu

brand (periode tahun 1985-1992).
Tahap selanjutnya (periode tahun 1993-1999) yang
diwujudkan

melalui

Pendekatan

Kepribadian

menunjukkan

adanya

Pendekatan
&

pergeseran

Berbasis

Konsumen,

Pendekatan

Relasional,

fokus

ke

arah

pihak

penerima komunikasi brand. Pengumpulan data juga tidak
semata-mata kuantitatif, dimungkinkan adanya gabungan
antara kuantitatif & kualitatif, atau bahkan murni kualitatif.
Dalam periode paling akhir (tahun 2000-2006) muncul
pendekatan baru yang berfokus pada konteks & budaya,
untuk menyikapi perubahan budaya & perubahan teknologi
yang pesat, yang turut mempengaruhi peranan pengelolaan
brand. Perubahan-perubahan tersebut antara lain otonomi
konsumen, ikon suatu brand, gerakan anti-brand, komunitas
 
 

27 
 

brand berbasis internet, dan sebagainya.
2.2.2 BRAND AUDIT
Brand audit merupakan suatu pengujian yang
komprehensif

terhadap

suatu

brand

untuk

mengetahui

ekuitas brand tersebut (Keller, 2008). Brand audit berfokus
pada konsumen dan digunakan sebagai suatu alat untuk
menentukan seberapa ‘sehat’ suatu brand dan sekaligus
menunjukkan bagaimana memperbaiki maupun mengangkat
ekuitas merek untuk brand tersebut (Keller 2008).
Heding et al (2009) menyatakan bahwa brand
audit pada umumnya terdiri dari brand inventory dan brand
exploratory. Brand inventory merupakan deskripsi internal
yang

mendetil

mengenai

bagaimana

brand

tersebut

dipasarkan selama ini. Sedangkan brand exploratory adalah
investigasi eksternal mengenai makna brand tersebut bagi
konsumen.
Manfaat brand audit antara lain; 1)melihat adakah
kesenjangan atau ketidaksesuaian antara citra merek/brand
image yang dikehendaki oleh pemilik brand dengan fakta
mengenai brand sesuai persepsi yang ada dalam pemikiran
konsumen,

2)menemukan

kesempatan-kesempatan

untuk

menopang ataupun meningkatkan suatu brand, 3)menemukan
maupun memformulasikan ulang strategi yang tepat untuk
menguatkan brand tersebut (Ford, 2005).
 

 
 

28 
 
 
 

2.3

KONSEP EKUITAS MEREK
Brand atau merek adalah sebuah nama yang

memiliki kekuatan untuk memengaruhi pasar, dan kekuatan
tersebut akan terus meningkat apabila semakin banyak orang
yang mengetahuinya, merasa yakin serta mempercayainya
(Kapferer, 2008). Secara umum terdapat dua sudut pandang
bagi brand, yaitu dari perspektif finansiil (Farquhar, Han &
Ijiri 1991; Simon & Sullivan 1993; Doyle 2001) maupun
perspektif konsumen (Aaker 1991; Keller 1993; Shocker,
Srivastava & Rueckert 1994; Chen 2001).
Dari perspektif finansiil, nilai suatu brand diukur dari
aliran dana/cashflow tambahan yang disebabkan oleh brand
tersebut (Kapferer, 2008). Hal tersebut dapat terjadi apabila
konsumen lebih memilih suatu brand, sekalipun brand
tersebut relatif lebih tinggi harganya dibandingkan produk
pesaing.

Konsumen

memiliki

keinginan

membayar

lebih

apabila terdapat keyakinan (belief) mengenai suatu brand
serta terdapat keterikatan (bond) dengan brand tersebut, yang
diyakini sebagai hasil dari upaya-upaya pemasaran tertentu.
Dengan demikian, kedua perspektif tersebut bukanlah dua hal
yang terpisah melainkan berkaitan erat. Ekuitas konsumen
merupakan awal dari ekuitas finansiil suatu brand. Dengan
kata lain, suatu

brand dapat memiliki nilai finansiil karena
 

 

29 
 

brand tersebut telah terlebih dahulu memiliki aset yang
terletak dalam benak konsumen, seperti kesadaran merek,
keyakinan atas superioritas merek, keterikatan emosional,
dan sebagainya.
Dari perspektif konsumen, Aaker (1991) mendefinisikan
ekuitas merek sebagai aset merek yang dikaitkan dengan
nama

atau

simbol

suatu

merek,

yang

dapat

bersifat

menambah ataupun mengurangi nilai suatu produk maupun
jasa. Aset-aset merek tersebut oleh Aaker dikelompokkan
dalam dimensi-dimensi kesadaran merek, asosiasi merek,
kualitas yang dipersepsikan, dan loyalitas merek.
Selanjutnya,

Keller

(1993)

memperkenalkan

model

Customer-Based Brand Equity yang merupakan pendekatan
dari perspektif konsumen. Hal ini didasarkan pada keyakinan
Keller bahwa kekuatan suatu brand ada pada apa yang telah
dipelajari, dirasakan, dilihat dan didengar mengenai brand
tersebut, sebagai hasil dari pengalaman konsumen dalam
kurun

waktu

tertentu.

Dengan

kata

lain,

Keller

mendefinisikan Customer-Based Brand Equity sebagai efek
diferensial dari pemahaman konsumen, sebagai respon atas
pemasaran suatu brand (Keller, 1993) Dalam mengukur
ekuitas merek, Keller menggunakan dimensi-dimensi Brand
Image

dan

Brand

Awareness

(yang

terdiri

dari

Brand

Recognition dan Brand Recall ).
Berikut
pendekatan

ini

adalah

terhadap

tabel

ekuitas

perspektif konsumen :
 
 

rangkuman

merek,

mengenai

khususnya

dari

30 
 

Tabel II. 3

Pendekatan terhadap Ekuitas Merek dari Perspektif

Konsumen
PENCETUS GAGASAN
Aaker (1991)

KONSEP PENGUKURAN
o

Kesadaran Merek (brand awareness)

o

Asosiasi Merek (brand association)

o

Kualitas yang Dipersepsikan (perceived
quality)

Keller (1993)

o

Loyalitas Merek (brand loyalty)



Citra merek (brand image)



Kesadaran Merek ((brand awareness)

 

2.3.1 Sub Konsep Brand Awareness (Kesadaran merek)
Pada dasarnya, brand awareness adalah seberapa
konsumen merasa familiar/tidak asing lagi dengan suatu
brand tertentu (Kapferer, 2008; Keller, 1993). Lebih lanjut lagi
dijelaskan

bahwa

kesadaran

merek

adalah

kemampuan

konsumen untuk mengingat kembali bahwa suatu merek
merupakan bagian dari suatu kategori produk. Dengan kata
lain, kesadaran merek menunjukkan seberapa kuat suatu
merek “tertanam” dalam benak konsumen (Aaker, 1991,
Keller, 1993, Pappu, 2005).
Kesadaran merek sangat penting karena pada umumnya
konsumen akan cenderung memilih apa yang familiar dan
dikenal, dibandingkan dengan merek lain yang samasekali
tidak

diketahui.

Bahkan

brand

yang

tidak

disadari

kehadirannya, cenderung tidak masuk dalam pertimbangan
 
 

31 
 

konsumen samasekali (Miller & Muir, 2004).
Meskipun demikian, kesadaran merek bukan sekedar
aspek kognitif belaka, melainkan secara tidak langsung
menyiratkan atau menggambarkan berbagai dimensi positif
lainnya,

seperti;

kualitas,

kepercayaan,

kehandalan,

kedekatan, rasio yang baik antara kualitas dengan harga, dan
sebagainya (Kapferer, 2008). Itulah sebabnya, kesadaran
merek dinyatakan sebagai prasyarat bagi

ekuitas merek

berbasis konsumen. Apabila konsumen atau calon konsumen
tidak memiliki kesadaran/awareness terhadap suatu brand
tertentu, maka pembicaraan lebih lanjut mengenai ekuitas
merek bagi brand tersebut menjadi tidak relevan lagi (Heding,
et al 2009).
Aspek kesadaran merek ini diindentifikasikan melalui
brand recognition dan brand recall (Keller, 1993 & Heding, et al
2009). Brand recognition adalah kemampuan konsumen untuk
membedakan suatu brand (yang pernah didengar atau dilihat)
dengan brand lain dalam satu kategori produk. Dengan kata
lain, brand recognition seakan-akan memberikan konfirmasi
bahwa konsumen pernah terekspos pada brand tersebut
(Heding, et al 2009). Brand recall merupakan kemampuan
konsumen untuk mengingat kembali suatu brand tertentu,
apabila diberikan kategori produk dan/atau hal-hal yang
dapat dipenuhi oleh kategori tersebut (Keller, 1993). Melalui
Brand recognition dan/ atau brand recall, pemasar berusaha
menggali top of mind brand dari dalam benak konsumen,
untuk suatu kategori produk tertentu. Brand yang dimaksud
 
 

32 
 

harus dapat diidentifikasikan dengan jelas dan benar, baik
melalui

petunjuk

tertentu/aided

maupun

tanpa

petunjuk/non-aided.

2.3.2 Sub Konsep Brand Association (Asosiasi Merek)
Menurut Keller (1993), brand association adalah semua
kesan emosional yang tertanam dalam benak konsumen
mengenai suatu brand. Sedangkan Miller & Muir (2004)
menyatakan

bahwa

asosiasi

merek

adalah

semua

citra

ataupun gagasan yang dikaitkan dengan suatu brand dan
inilah makna suatu brand di mata konsumen.
Brand association atau asosiasi merek terbagi dalam tiga
kategori; attributes/atribut, benefits/manfaat atau keuntungan
dan attitudes/sikap (Heding, et al 2009).
Atribut adalah semua ciri-ciri sifat atau karakter suatu
produk/jasa yang dapat digambarkan oleh konsumen. Dengan
kata lain, atribut adalah segala sesuatu yang menurut
konsumen dimiliki oleh suatu produk/jasa dan berkaitan erat
dengan

pengkonsumsian

produk

atau

pemakaian

jasa

tersebut. Atribut dapat berupa product-related attribut, nonproduct-related attribut (Kapferer, 2008; Miller & Muir, 2004 ).
Product-related

attribute

adalah

asosiasi

langsung

dengan suatu produk/jasa, meliputi atribut yang bersifat fisik
maupun perasaan yang timbul sewaktu mengkonsumsi suatu
produk, baik barang maupun jasa. Sedangkan non-productrelated attribute adalah aspek eksternal yang berkaitan dengan
 
 

33 
 

pembelian dan pengkonsumsian suatu produk, baik barang
maupun jasa. Misalnya informasi harga, kemasan produk,
kesan mengenai tipe orang yang mengkonsumsi produk
tersebut, dan kesan mengenai konteks penggunaan produk
tersebut.
Manfaat/benefit merupakan nilai/value yang dilekatkan
oleh konsumen terhadap atribut suatu brand (Heding et al,
2009). Benefit terdiri atas tiga kategori: functional, experiental
dan symbolic.
Functional

benefit/keuntungan

fungsional

adalah

ekspektasi pribadi mengenai apa yang bisa dilakukan suatu
brand. Meskipun hal ini berkaitan dengan fitur-fitur yang
berkaitan

dengan

produk

tersebut,

namun

evaluasinya

bersifat personil. Dengan demikian, functional benefit bersifat
lebih subyektif jika dibandingkan dengan product-related
attribut. Experiental benefit berkaitan dengan keterlibatan
indera kita, seperti; bagaimana rasanya menggunakan brand
tersebut? Kesenangan seperti apa yang didapat berkenaan
dengan pengkonsumsian suatu brand? Berikutnya adalah
symbolic benefit, yaitu ekspresi diri dan bagaimana seseorang
berusaha menunjukkan siapa dirinya melalui penggunaan
suatu brand tertentu.
Aspek terakhir yaitu attitude/sikap menggambarkan
evaluasi konsumen secara menyeluruh terhadap suatu brand
(Ford, 2005).
Brand association secara keseluruhan merupakan unsur
penting

dalam

membicarakan
 

 

ekuitas

merek

karena

34 
 

menggambarkan dengan tepat bagaimana citra brand tersebut
dalam benak konsumen. Konsumen diharapkan memiliki
brand association yang bersifat disukai/favorable, kuat/strong
dan unik/unique, terutama jika dibandingkan dengan brand
pesaing (Heding et al, 2009). Bagi konsumen, asosiasi merek
yang

favorable, strong & unique tersebut akan menciptakan

diferensiasi serta menimbulkan alasan pengkonsumsian.

2.3.3

Sub Konsep Perceived Quality

(Kualitas yang

Dipersepsikan)
Persepsi adalah respon seseorang atas stimuli yang
diterimanya

melalui

seluruh

panca

indera-penglihatan,

pendengaran, sentuhan, perasa dan penciuman. Selanjutnya,
penelitian

menunjukkan

bahwa

persepsi

tidak

hanya

dipengaruhi oleh stimuli yang sesungguhnya melainkan juga
tergantung pada apa yang ingin mereka persepsikan (Boone &
Kurtz, 2012). Dengan kata lain, persepsi merupakan hasil
interaksi antara faktor stimulus & faktor individu.
Faktor individu yang dimaksud adalah sikap/attitude
individu tersebut. Sikap/attitude merupakan kecenderungan
evaluasi, emosi, dan tindakan terhadap suatu obyek atau
gagasan, baik positif maupun negatif dan biasanya bertahan
relatif lama (Boone & Kurtz, 2012).
Konsumen memiliki persepsi masing-masing terhadap
jasa yang sedang atau akan digunakan. Perceived quality atau
kualitas

yang

dipersepsikan,

merupakan

dugaan

atau

perkiraan konsumen atas kehebatan suatu brand secara
 
 

35 
 

keseluruhan,

jika

dibandingkan

(Zeithaml et al, 1990;

dengan

Keller, 1993;

brand

alternatif

Aaker 1996). Hal ini

sejalan dengan pernyataan Miller & Muir (2004) bahwa
perceived quality adalah penilaian konsumen atas kualitas
yang diharapkan akan diberikan oleh suatu brand.

2.3.4

Sub

Konsep

Perceived

Price

(Harga

yang

Dipersepsikan)
Dari perspektif konsumen, harga adalah apa yang
diberikan atau dikorbankan untuk memperoleh suatu produk,
baik barang maupun jasa (Monroe dan Krishnan, 1985;
Chapman, 1986). Dalam bidang jasa,“harga” tersebut memiliki
beragam istilah, seperti biaya, ongkos, tarif, honor dan
sebagainya.
Harga atau biaya dalam memperoleh atau menikmati
suatu jasa bersifat relatif dan seringkali menggambarkan
kualitas yang akan diperoleh konsumen. Dengan demikian,
pihak penyedia jasa dapat memiliki berbagai tujuan dalam
penetapan biaya, apakah sebagai sarana

bertahan/survival

dalam bisnis, memaksimalkan profit dan jumlah penjualan,
ataupun sebagai prestige/gengsi (Mc Donald, et al 2011).
Selain itu perlu dibedakan antara objective price (harga
produk yang sesungguhnya) dengan perceived price (harga
yang diperkirakan oleh konsumen) (Maxwell, 2008; Zeithaml
1988). Selanjutnya, beberapa penelitian membuktikan bahwa
konsumen tidak selalu mengetahui atau mengingat harga
yang

sesungguhnya/actual

price.
 

 

Sebaliknya,

konsumen

36 
 

cenderung memperkirakan harga dengan cara mereka sendiri
(Zeithaml 1988; Dickson dan Sawyer, 1985).

2.3.5 Sub Konsep Brand Loyalty (Loyalitas Merek)
Brand Loyalty adalah ikatan emosional antara brand
dengan konsumen, yang pada akhirnya dapat mendorong ke
arah pengkonsumsian ulang dan dengan suka rela menjadi
‘duta’ brand yang akan memberikan referensi positif tentang
brand tersebut kepada pihak lain (Miller & Muir, 2004). Brand
Loyalty merupakan kombinasi berbagai elemen, termasuk di
dalamnya tingkat kepuasan konsumen dan brand association
yang positif (Atilgan, 2005). Sementara studi yang dilakukan
oleh Pappu (2005) menggambarkan bahwa persepsi konsumen
atas kualitas akan dikaitkan dengan brand loyalty mereka.
Semakin loyal seorang konsumen terhadap suatu brand,
makin

besar

mempersepsikan

kemungkinan
brand

tertentu

konsumen
sebagai

tersebut

brand

yang

menawarkan kualitas tertinggi, dan sebaliknya.
Terdapat tiga tahapan dalam brand loyalty atau loyalitas
terhadap suatu merek tertentu: brand recognition/pengenalan
merek,

brand

preference/pilihan

merek,

dan

brand

insistence/bertahan pada suatu merek.
Tahap paling awal adalah brand recognition/pengenalan
merek. Bagi produk baru/yang baru saja dilempar ke pasaran,
pengenalan

merek

jelas

diperlukan,

minimal

untuk

menimbulkan awareness/kesadaran merek. Bagi produk yang
bukan produk baru,brand recognition ini juga diperlukan
 
 

37 
 

dalam

upaya

mempopulerkan/menjadikan

suatu

produk

menjadi lebih familiar sehingga meningkatkan kemungkinan
pembelian produk.
Tingkatan berikutnya adalah brand preference, dimana
konsumen

mengandalkan

pengkonsumsian

yang

ingatannya
pernah

atas

dialami.

pengalaman
Diharapkan

pengalaman positif tadi akan mendorong konsumen untuk
kembali memilih brand tersebut.
Tingkatan yang paling tinggi dalam loyalty adalah brand
insistence,

dimana

konsumen

bersikap

menolak

brand

lain/brand alternatif dan terus berupaya mencari info yang
lebih luas dan lebih dalam atas brand yang telah menjadi
preference tersebut.
Loyalitas

konsumen

berkaitan

erat

dengan

sikap

konsumen terhadap stimuli dari pesaing. Sebagai mana
dijelaskan

sebelumnya,

menyerbu

konsumen,

dengan

banyaknya

konsumen

akan

stimuli

yang

semakin

giat

menyaring stimuli yang masuk, mana yang akan memperoleh
perhatian dan mana yang akan diabaikan. Konsumen yang
loyal

akan

cenderung

mengabaikan

stimuli

dari

pihak

kompetitor produk barang/jasa yang sejenis.
 

2.4 NALAR KONSEP
Pendidikan tinggi tergolong jasa yang memiliki karakter
khusus, yaitu:

 
 

38 
 



Dominasi

aspek

manusia/people

dalam

proses

pendidikan tergolong besar, dengan demikian sifat
intangibility serta inseparability juga sangat besar.


Konsumen banyak terlibat dalam proses serta berjangka
waktu

relatif

panjang,

kustomisasi/customized

banyak

serta

terjadi

pertimbangan

konsumen/judgement.


Aspek manusia (calon mahasiswa maupun dosen) ikut
menentukan kualitas output.



Input & output bisa sangat bervariasi.



Keputusan calon konsumen memilih suatu perguruan
tinggi tertentu tergolong high-involvement (keputusan ini
tergolong mahal dan berisiko serta pada umumnya
dikonsumsi hanya satu kali) dan pada umumnya
berkaitan dengan status sosial.

Oleh

karena

itu,

mahasiswa-kerap

calon

konsumen-dalam

mengandalkan

aspek

hal

ini

calon

asosiasi

serta

persepsi.
Asosiasi yang dimaksud disini adalah kecenderungan
meng-asosiasikan aspek yang tangibel (banyaknya fakultas,
kelengkapan fasilitas belajar-mengajar,kemegahan gedung,
besarnya

biaya

kuliah)

hingga

aspek

yang

intangibel

(mutu,gengsi).
Persepsi tidak selalu dipengaruhi oleh stimuli yang
sesungguhnya, melainkan banyak dipengaruhi oleh faktor
individu tersebut. Persepsi individu-dalam hal ini calon
mahasiswa-

berupa

persepsi
 

 

mengenai

kualitas

suatu

39 
 

universitas jika dibandingkan universitas lain yang sejenis,
serta persepsi mengenai besarnya biaya kuliah. Kualitas suatu
universitas pada umumnya belum dapat diketahui dengan
pasti karena jasa pendidikan ini belum dialami/dirasakan
oleh

calon

mahasiswa.

Biaya

kuliah

pun

lebih

sering

merupakan persepsi saja karena hanya berwujud perkiraan
calon mahasiswa tersebut.
Selanjutnya, persepsi konsumen tersebut erat kaitannya
dengan loyalty. Persepsi yang positif cenderung mambawa
kepada loyalty yang kian tinggi. Loyalty disini tidak berwujud
pengkonsumsian ulang. Dalam hal jasa pendidikan tinggi yang
belum dialami oleh calon konsumen/calon mahasiswa, loyalty
berwujud keinginan kuliah dan keinginan merekomendasikan
universitas tersebut kepada pihak-pihak lain.
Dengan adanya berbagai karakter unik tersebut, sangat
diperlukan brand audit pendidikan tinggi, khususnya yang
bersifat eksternal. Hal ini sejalan dengan pendapat Ford
(2005) bahwa memahami perilaku konsumen merupakan
salahsatu isu penting dalam memperoleh gambaran yang
diperlukan

dalam

rangka

melaksanakan

brand

audit.

Pemahaman mengenai perilaku konsumen antara lain dapat
diperoleh

melalui

pemahaman

ekuitas

konsumen. Selanjutnya, dengan gambaran

merek

berbasis

ekuitas merek

berbasis konsumen, diharapkan pihak pengelola pendidikan
tinggi dapat menentukan langkah stratejik seperti apa yang
perlu dilakukan.

 
 

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Christian Entrepreneurship T2 912010027 BAB II

0 1 59

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Culture Shock dan Adaptasi Budaya Mahasiswa Timor Leste di Universitas Kristen Satya Wacana T2 912013013 BAB II

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Ekuitas Merek Universitas Kristen Satya Wacana: Analisis Deskriptif Kuantitatif T2 912007016 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Ekuitas Merek Universitas Kristen Satya Wacana: Analisis Deskriptif Kuantitatif T2 912007016 BAB IV

0 0 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Ekuitas Merek Universitas Kristen Satya Wacana: Analisis Deskriptif Kuantitatif T2 912007016 BAB V

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Ekuitas Merek Universitas Kristen Satya Wacana: Analisis Deskriptif Kuantitatif

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Ekuitas Merek Universitas Kristen Satya Wacana: Analisis Deskriptif Kuantitatif

0 0 10

T1__Full text Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Spedagi: Studi Sosiologis Peran Aktor dalam Memfasilitasi Pembangunan Pasar Papringan Melalui Modal Sosial pada Masyarakat Desa Carubanabupaten Temanggung T1 Full text

0 1 28

T1 Abstract Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Spedagi: Studi Sosiologis Peran Aktor dalam Memfasilitasi Pembangunan Pasar Papringan Melalui Modal Sosial pada Masyarakat Desa Carubanabupaten Temanggung

0 0 1

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Pembelajaran Berbasis Kontekstual Bidang Studi Pendidikan Agama Kristen di SMA Kristen Satya Wacana Salatiga T2 BAB II

0 1 26