Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Ekuitas Merek Universitas Kristen Satya Wacana: Analisis Deskriptif Kuantitatif T2 912007016 BAB I
13
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Ketua Aptisi Jateng (Asosiasi Perguruan Tinggi
Swasta Jawa Tengah) Brojo Sudjono menyatakan
bahwa 50% dari 232 PTS di Jawa Tengah berada
dalam kondisi kritis karena kurangnya jumlah
mahasiswa. Kondisi tersebut sudah dimulai sebelum
tahun 2009. Gambaran selengkapnya dirangkum
dalam tabel berikut ini:
Tabel I.1. Gambaran Kondisi PTS di Jawa Tengah
Prosentase
Jumlah
Kondisi
19,83 %
46 PTS
Masih
bisa
berkembang
30,17 %
70 PTS
Dapat
bertahan
namun stagnan
50 %
116 PTS
Jumlah
mahasiswa
di
bawah ketentuan
ideal
Total:
100 %
Total: 232 PTS
Sumber: Suara Merdeka 10 Oktober 2009, 21 April 2008 & 30 Juli 2004
14
Selanjutnya, tabel berikut ini merangkum
beberapa hal yang diduga kuat menjadi penyebab
atau pencetus kondisi tersebut, yang disarikan dari
berbagai berita dan artikel koran.
Tabel I.2 Penyebab & Pencetus Penurunan Jumlah
Mahasiswa PTS di Jawa Tengah
FAKTOR
KETERANGAN
PENYEBAB/
PENCETUS
Faktor Ekonomi
Imbas dari kondisi makro
khususnya setelah krisis
moneter
serta
kenaikan
bahan bakar minyak, yang
berefek
pada
mahalnya
harga-harga
kebutuhan
hidup.
Faktor Persepsi
Persepsi bahwa PTS adalah
Masyarakat
“kelas dua” dalam kualitas
akademik & dalam layanan
non-akademik.
Persepsi bahwa kuliah di
PTS lebih mahal.
Faktor PTN
Status BHPT (Badan Hukum
(Perguruan Tinggi
Pendidikan Tinggi) untuk
Negeri)
PTN, membuat mekanisme
pasar lebih berpihak pada
PTN.
PTN diijinkan melaksanakan
diferensiasi produk, yaitu
membuka D3 & Program
Ekstensi yang selama ini
menjadi unggulan PTS.
PTN menerima mahasiswa
melebihi kuota.
PTN diijinkan membuka
berbagai jalur penerimaan
mahasiswa
baru
diluar
SPMB (Sistem Penerimaan
Mahasiswa Baru).
Faktor
PTS
Pertumbuhan jumlah PTS
15
(Perguruan
Swasta)
Tinggi
yang
berakibat
pada
ketatnya persaingan antar
PTS sendiri.
Mulai
masuknya
PTS
berlisensi dari luar negeri.
Sumber: Suara Merdeka 21 April 2008, 8 Agustus & 10 Oktober 2009, Kompas
1 Agustus & 11 Agustus 2008.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan perlunya
perguruan tinggi swasta memperoleh gambaran yang
jelas dan nyata mengenai ekuitas merek lembaga
tersebut dari perspektif calon konsumen (siswa SMU
yang merupakan calon konsumen suatu perguruan
tinggi).
Ekuitas merek merupakan dukungan terhadap
nilai
tambah
(incremental
utility)
serta
tingkat
keinginan (desirability) yang diberikan oleh suatu
nama merek (brand name) terhadap suatu produk
(Lassar, Mittal & Sharma, 1995).
Ekuitas merek merupakan aspek yang sangat
penting karena dapat menjadi pembeda, mengapa
konsumen memilih suatu merek (brand) tertentu dan
bukan brand lain, untuk suatu kategori produk
(Keller, 1993).
Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa
terdapat 2 (dua) perspektif dalam membicarakan
ekuitas merek: perspektif konsumen/customer-based
perspective (Keller, 1993; Shocker, Srivastava &
Rueckert,
1994;
Chen,
2001),
dan
perspektif
16
keuangan/financial perspective (Farquhar, Han &
Ijiri, 1991; Kapferer, 2008; Doyle, 2001).
Dari
perspektif
keuangan,
ekuitas
merek
menggambarkan kemampuan brand dalam fungsinya
sebagai penggerak aliran dana/cash flow (Doyle,
2001). Sedangkan dari perspektif konsumen, ekuitas
merek diartikan sebagai sekumpulan aset yang
terkait dengan suatu nama dan simbol merek, yang
mampu menambah (atau mengurangi) nilai/value
yang disediakan oleh suatu produk atau jasa kepada
konsumen
(Aaker,
1996).
Konsep
yang
serupa
dinyatakan oleh Keller bahwa ekuitas merek berbasis
konsumen
merupakan
efek
pembeda
dari
pengetahuan merek terhadap respon konsumen atas
upaya pemasaran suatu produk.
Konsep brand maupun brand equity yang
merupakan bagian dari konsep marketing, dapat
pula diaplikasikan pada bidang jasa, termasuk jasa
pendidikan. Bidang jasa memiliki karakter yang
khusus (tangibility, perishability, inseparability dan
heterogeneity atau variability) sehingga memerlukan
penekanan khusus pada proses, manifestasi fisik,
serta persepsi positif (Palmer 2000, Zeithaml 2000).
Beberapa penelitian mengenai ekuitas merek
berbasis konsumen yang diterapkan pada bidang
17
jasa antara lain dilakukan oleh Cobb Walgren et al
(1995),
Pappu
(2005),
Yoo
&
Donthu
(2001),
Washburn & Plank (2002), Atilgan (2005), dan Kim &
Kim (2004). Penelitian tersebut membahas industri
hospitality
(hotel
berbintang
dan
restoran).
Sedangkan
penelitian yang lebih spesifik mengenai
school branding berfokus pada peringkat program S1
Jurusan Marketing dan Komunikasi di Jakarta (Mix
Marketing Xtra, 2009 & Mix Marketing Interaction
Xperience
2011)
School/Magister
serta
peringkat
Management
di
Business
Indonesia
(Swa
Sembada, 2009).
Universitas
Kristen
Satya
Wacana
(UKSW)
sebagai salahsatu perguruan tinggi swasta di Jawa
Tengah
nampaknya
tidak
mengalami
fenomena
penurunan jumlah mahasiswa secara signifikan dan
kontinyu yang mampu mengancam kelangsungan
lembaga, seperti yang dialami oleh mayoritas PTS di
Jawa Tengah seperti dijabarkan dalam tabel 1.1.
Gambaran
mengenai
jumlah
input
mahasiswa
Universitas UKSW adalah sebagai berikut:
Tabel I.3. Jumlah Input Mahasiswa UKSW (2007-2012)
Tahun
Jumlah Mahasiswa
2007
3161
2008
3003
2009
3391
2010
3471
2011
3201
18
2012
3570
Sumber: Data Admisi UKSW
Data tersebut menunjukkan bahwa dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun berturut-turut (20072012)
jumlah
input
mahasiswa
relatif
stabil.
Meskipun demikian, fenomena penurunan jumlah
mahasiswa yang terjadi dalam lingkungan eksternal
organisasi UKSW tidak dapat diabaikan begitu saja,
dan justru harus disikapi secara proaktif agar dapat
mengatasi atau bahkan mengubah fenomena yang
nampaknya tak terhindarkan, yang terjadi dalam
lingkungan eksternalnya (Kotler & Armstrong, 2011).
Selain
itu,
dilaksanakan
sejauh
brand
ini
di
management
UKSW
yang
belum
bersifat
menyeluruh, yaitu pengukuran tingkat ‘kesehatan’
brand
atau
brand
audit,
yang
meliputi
brand
inventory dan brand exploratory (Heding et al, 2009).
Brand
inventory
merupakan
deskripsi
internal
mengenai bagaimana tepatnya brand dipasarkan
selama ini, dan brand exploratory menunjuk pada
investigasi
eksternal
konsumen
(dalam
tentang
hal
ini
bagaimana
calon
calon
mahasiswa)
memaknai brand tersebut.
Hal-hal
tersebut
diatas,
berkaitan dengan investigasi
khususnya
yang
eksternal, mendorong
penulis untuk mencari gambaran mengenai masing
19
masing
dimensi
ekuitas
konsumen/customer-based
awareness,
brand
merek
brand
association,
berbasis
equity
(brand
perceived
quality,
perceived price, dan brand loyalty) pada Universitas
Kristen Satya Wacana (UKSW) dari perspektif calon
konsumen konsumen (calon mahasiswa).
1.2 PERUMUSAN MASALAH
Masalah yang hendak diteliti adalah masalah
ekuitas merek (brand equity) Universitas Kristen
Satya Wacana (UKSW) – Salatiga, Jawa Tengah.
Ekuitas merek dalam konteks ini adalah ekuitas dari
perspektif
konsumen
yang
dilihat
dari
sudut
pandang calon konsumen, yaitu siswa SMU kelas
tiga/kelas XII di Salatiga dan sekitarnya.
1.3 PERSOALAN PENELITIAN
Bagaimanakah
ekuitas
merek
Universitas
Kristen Satya Wacana (UKSW) dari perspektif calon
konsumen (calon mahasiswa) yang diwakili oleh
siswa-siswa SMU di seputar Salatiga?
1.4
TUJUAN PENELITIAN
20
Untuk
memperoleh
gambaran
mengenai
masing-masing dimensi customer-based brand equity
(brand
awareness,
brand
association,
perceived
quality, perceived price dan brand loyalty) terhadap
Universitas Kristen Satya Wacana dari perspektif
siswa-siswa SMU di seputar Salatiga.
1.5
MANFAAT PENELITIAN
Dari aspek keilmuan, penelitian ini diharapkan
dapat memperkuat teori mengenai ekuitas merek dari
perspektif konsumen di bidang jasa, khususnya jasa
pendidikan tinggi
Dari
aspek
praktis,
penelitian
ini
dapat
memberikan kontribusi dalam memperoleh informasi
ataupun
gambaran
mengenai
merek/brand
status
Selanjutnya,
informasi
sebagai
masukan
dari
perspektif
tersebut
dalam
status
suatu
konsumen.
dapat
dikelola
keputusan-keputusan
stratejik, baik di bidang pemasaran maupun bidang
keuangan suatu perguruan tinggi swasta.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Ketua Aptisi Jateng (Asosiasi Perguruan Tinggi
Swasta Jawa Tengah) Brojo Sudjono menyatakan
bahwa 50% dari 232 PTS di Jawa Tengah berada
dalam kondisi kritis karena kurangnya jumlah
mahasiswa. Kondisi tersebut sudah dimulai sebelum
tahun 2009. Gambaran selengkapnya dirangkum
dalam tabel berikut ini:
Tabel I.1. Gambaran Kondisi PTS di Jawa Tengah
Prosentase
Jumlah
Kondisi
19,83 %
46 PTS
Masih
bisa
berkembang
30,17 %
70 PTS
Dapat
bertahan
namun stagnan
50 %
116 PTS
Jumlah
mahasiswa
di
bawah ketentuan
ideal
Total:
100 %
Total: 232 PTS
Sumber: Suara Merdeka 10 Oktober 2009, 21 April 2008 & 30 Juli 2004
14
Selanjutnya, tabel berikut ini merangkum
beberapa hal yang diduga kuat menjadi penyebab
atau pencetus kondisi tersebut, yang disarikan dari
berbagai berita dan artikel koran.
Tabel I.2 Penyebab & Pencetus Penurunan Jumlah
Mahasiswa PTS di Jawa Tengah
FAKTOR
KETERANGAN
PENYEBAB/
PENCETUS
Faktor Ekonomi
Imbas dari kondisi makro
khususnya setelah krisis
moneter
serta
kenaikan
bahan bakar minyak, yang
berefek
pada
mahalnya
harga-harga
kebutuhan
hidup.
Faktor Persepsi
Persepsi bahwa PTS adalah
Masyarakat
“kelas dua” dalam kualitas
akademik & dalam layanan
non-akademik.
Persepsi bahwa kuliah di
PTS lebih mahal.
Faktor PTN
Status BHPT (Badan Hukum
(Perguruan Tinggi
Pendidikan Tinggi) untuk
Negeri)
PTN, membuat mekanisme
pasar lebih berpihak pada
PTN.
PTN diijinkan melaksanakan
diferensiasi produk, yaitu
membuka D3 & Program
Ekstensi yang selama ini
menjadi unggulan PTS.
PTN menerima mahasiswa
melebihi kuota.
PTN diijinkan membuka
berbagai jalur penerimaan
mahasiswa
baru
diluar
SPMB (Sistem Penerimaan
Mahasiswa Baru).
Faktor
PTS
Pertumbuhan jumlah PTS
15
(Perguruan
Swasta)
Tinggi
yang
berakibat
pada
ketatnya persaingan antar
PTS sendiri.
Mulai
masuknya
PTS
berlisensi dari luar negeri.
Sumber: Suara Merdeka 21 April 2008, 8 Agustus & 10 Oktober 2009, Kompas
1 Agustus & 11 Agustus 2008.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan perlunya
perguruan tinggi swasta memperoleh gambaran yang
jelas dan nyata mengenai ekuitas merek lembaga
tersebut dari perspektif calon konsumen (siswa SMU
yang merupakan calon konsumen suatu perguruan
tinggi).
Ekuitas merek merupakan dukungan terhadap
nilai
tambah
(incremental
utility)
serta
tingkat
keinginan (desirability) yang diberikan oleh suatu
nama merek (brand name) terhadap suatu produk
(Lassar, Mittal & Sharma, 1995).
Ekuitas merek merupakan aspek yang sangat
penting karena dapat menjadi pembeda, mengapa
konsumen memilih suatu merek (brand) tertentu dan
bukan brand lain, untuk suatu kategori produk
(Keller, 1993).
Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa
terdapat 2 (dua) perspektif dalam membicarakan
ekuitas merek: perspektif konsumen/customer-based
perspective (Keller, 1993; Shocker, Srivastava &
Rueckert,
1994;
Chen,
2001),
dan
perspektif
16
keuangan/financial perspective (Farquhar, Han &
Ijiri, 1991; Kapferer, 2008; Doyle, 2001).
Dari
perspektif
keuangan,
ekuitas
merek
menggambarkan kemampuan brand dalam fungsinya
sebagai penggerak aliran dana/cash flow (Doyle,
2001). Sedangkan dari perspektif konsumen, ekuitas
merek diartikan sebagai sekumpulan aset yang
terkait dengan suatu nama dan simbol merek, yang
mampu menambah (atau mengurangi) nilai/value
yang disediakan oleh suatu produk atau jasa kepada
konsumen
(Aaker,
1996).
Konsep
yang
serupa
dinyatakan oleh Keller bahwa ekuitas merek berbasis
konsumen
merupakan
efek
pembeda
dari
pengetahuan merek terhadap respon konsumen atas
upaya pemasaran suatu produk.
Konsep brand maupun brand equity yang
merupakan bagian dari konsep marketing, dapat
pula diaplikasikan pada bidang jasa, termasuk jasa
pendidikan. Bidang jasa memiliki karakter yang
khusus (tangibility, perishability, inseparability dan
heterogeneity atau variability) sehingga memerlukan
penekanan khusus pada proses, manifestasi fisik,
serta persepsi positif (Palmer 2000, Zeithaml 2000).
Beberapa penelitian mengenai ekuitas merek
berbasis konsumen yang diterapkan pada bidang
17
jasa antara lain dilakukan oleh Cobb Walgren et al
(1995),
Pappu
(2005),
Yoo
&
Donthu
(2001),
Washburn & Plank (2002), Atilgan (2005), dan Kim &
Kim (2004). Penelitian tersebut membahas industri
hospitality
(hotel
berbintang
dan
restoran).
Sedangkan
penelitian yang lebih spesifik mengenai
school branding berfokus pada peringkat program S1
Jurusan Marketing dan Komunikasi di Jakarta (Mix
Marketing Xtra, 2009 & Mix Marketing Interaction
Xperience
2011)
School/Magister
serta
peringkat
Management
di
Business
Indonesia
(Swa
Sembada, 2009).
Universitas
Kristen
Satya
Wacana
(UKSW)
sebagai salahsatu perguruan tinggi swasta di Jawa
Tengah
nampaknya
tidak
mengalami
fenomena
penurunan jumlah mahasiswa secara signifikan dan
kontinyu yang mampu mengancam kelangsungan
lembaga, seperti yang dialami oleh mayoritas PTS di
Jawa Tengah seperti dijabarkan dalam tabel 1.1.
Gambaran
mengenai
jumlah
input
mahasiswa
Universitas UKSW adalah sebagai berikut:
Tabel I.3. Jumlah Input Mahasiswa UKSW (2007-2012)
Tahun
Jumlah Mahasiswa
2007
3161
2008
3003
2009
3391
2010
3471
2011
3201
18
2012
3570
Sumber: Data Admisi UKSW
Data tersebut menunjukkan bahwa dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun berturut-turut (20072012)
jumlah
input
mahasiswa
relatif
stabil.
Meskipun demikian, fenomena penurunan jumlah
mahasiswa yang terjadi dalam lingkungan eksternal
organisasi UKSW tidak dapat diabaikan begitu saja,
dan justru harus disikapi secara proaktif agar dapat
mengatasi atau bahkan mengubah fenomena yang
nampaknya tak terhindarkan, yang terjadi dalam
lingkungan eksternalnya (Kotler & Armstrong, 2011).
Selain
itu,
dilaksanakan
sejauh
brand
ini
di
management
UKSW
yang
belum
bersifat
menyeluruh, yaitu pengukuran tingkat ‘kesehatan’
brand
atau
brand
audit,
yang
meliputi
brand
inventory dan brand exploratory (Heding et al, 2009).
Brand
inventory
merupakan
deskripsi
internal
mengenai bagaimana tepatnya brand dipasarkan
selama ini, dan brand exploratory menunjuk pada
investigasi
eksternal
konsumen
(dalam
tentang
hal
ini
bagaimana
calon
calon
mahasiswa)
memaknai brand tersebut.
Hal-hal
tersebut
diatas,
berkaitan dengan investigasi
khususnya
yang
eksternal, mendorong
penulis untuk mencari gambaran mengenai masing
19
masing
dimensi
ekuitas
konsumen/customer-based
awareness,
brand
merek
brand
association,
berbasis
equity
(brand
perceived
quality,
perceived price, dan brand loyalty) pada Universitas
Kristen Satya Wacana (UKSW) dari perspektif calon
konsumen konsumen (calon mahasiswa).
1.2 PERUMUSAN MASALAH
Masalah yang hendak diteliti adalah masalah
ekuitas merek (brand equity) Universitas Kristen
Satya Wacana (UKSW) – Salatiga, Jawa Tengah.
Ekuitas merek dalam konteks ini adalah ekuitas dari
perspektif
konsumen
yang
dilihat
dari
sudut
pandang calon konsumen, yaitu siswa SMU kelas
tiga/kelas XII di Salatiga dan sekitarnya.
1.3 PERSOALAN PENELITIAN
Bagaimanakah
ekuitas
merek
Universitas
Kristen Satya Wacana (UKSW) dari perspektif calon
konsumen (calon mahasiswa) yang diwakili oleh
siswa-siswa SMU di seputar Salatiga?
1.4
TUJUAN PENELITIAN
20
Untuk
memperoleh
gambaran
mengenai
masing-masing dimensi customer-based brand equity
(brand
awareness,
brand
association,
perceived
quality, perceived price dan brand loyalty) terhadap
Universitas Kristen Satya Wacana dari perspektif
siswa-siswa SMU di seputar Salatiga.
1.5
MANFAAT PENELITIAN
Dari aspek keilmuan, penelitian ini diharapkan
dapat memperkuat teori mengenai ekuitas merek dari
perspektif konsumen di bidang jasa, khususnya jasa
pendidikan tinggi
Dari
aspek
praktis,
penelitian
ini
dapat
memberikan kontribusi dalam memperoleh informasi
ataupun
gambaran
mengenai
merek/brand
status
Selanjutnya,
informasi
sebagai
masukan
dari
perspektif
tersebut
dalam
status
suatu
konsumen.
dapat
dikelola
keputusan-keputusan
stratejik, baik di bidang pemasaran maupun bidang
keuangan suatu perguruan tinggi swasta.