Tanggung Jawab Individu Terhadap Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Di Mali (Studi Kasus Atas Putusan Icc Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad Al Faqi Al Mahdi)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut sifat dasarnya, manusia adalah makhluk bermoral tetapi manusia juga seorang
pribadi. Karena merupakan seorang pribadi maka manusia mempunyai pendapat sendiri,
perasaan sendiri, angan-angan itu manusia berbuat atau bertindak. Dalam hal ini manusia tak
luput dari kesalahan, kekeliruan, baik disengaja maupun tidak. Oleh karena itu, dalam hal ini
manusia harus bertanggung jawab atas dirinya pribadi.7
Manusia sering disebut sebagai makhluk yang bebas; artinya bebas menentukan
dirinya sendiri. Akal dan budi telah menempatkan manusia dalam kedudukann yang
―membahagiakan‖. Di pihak lain akal dan budi memberikan ―beban‖ bagi manusia. Setiap
manusia harus bertanggungjawab terhadap apa yang diperbuatnya. 8
Dalam ajaran agama-agama juga diajarkan bahwa manusia harus bertanggung jawab
secara pribadi atas perbuatan yang dilakukannya. Hal ini dapat kita lihat dari ajaran Agama
Kristen dan ajaran Agama Islam.
Dalam ajaran Agama Kristen, disebutkan dalam Alkitab pada Galatia 6:7 bahwa
―Jangan sesat ! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur
orang, itu juga yang akan dituainya.‖ Maksudnya adalah bahwa Tuhan akan memberikan
ganjaran setimpal atas setiap perbuatan manusia dan manusia wajib menerima ganjaran dari
Tuhan sebagai bentuk pertanggungjawaban.


7
8

Drs. Djoko Widagdho dkk., Ilmu Budaya Dasar, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2010, hal. 146-147
Ibid, halaman 157

Universitas Sumatera Utara

Dalam ajaran Agama Islam juga diajarkan tentang tanggung jawab. Dengan demikian
sesungguhnya sejak lahir makhluk yang namanya manusia itu sudah dibebani tanggung jawab.
Ia harus berbuat baik terhadap sesama makhluk maupun terhadap Tuhan Seru Sekalian Alam.
Lebih-lebih terhadap Tuhan manusia harus berbakti, tunduk dan taat; dengan cara
melaksanakan sebagai konsekuensi atas semua nikmat yang diterima dari-Nya. Bila semua itu
lalai maka kelak di kemudian hari akan mempertanggungjawabkannya di hadapan-Nya.
Karena itu harus kita ingat peringatan Allah : ―Barang siapa yang mengerjakan kebaikan,
walaupun seberat atom, akan merasakan pahalanya; dan barangsiapa mengerjakan kejahatan,
walaupun seberat atom, akan merasakan siksanya.‖ (QS. Az-Zalzalah : 7-8)9
Dalam hukum ada sebuah adagium yang menyatakan bahwa equality before the law.
Arti dari adagium tersebut adalah semua manusia (individu) setara dihadapan hukum.

Manusia sebagai suatu pribadi atau individu sama kedudukannya dihadapan hukum untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Oleh karena itu setiap manusia memiliki tanggung
jawab individu atas perbuatan yang dilakukannya di hadapan hukum.
Adanya

tanggung

jawab

individu

pada

setiap

manusia

untuk

mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan hukum juga terlihat dari lambang hukum.

Lambang hukum adalah Sang Dewi Keadilan atau Dewi Justitia yang diambil dari legenda
Yunani yaitu Dewi Themis dan legenda Romawi yaitu Dewi Fortuna. Rupa dari Dewi
Keadilan yaitu seorang Dewi yang matanya ditutup secarik kain hitam, memegang timbangan
di tangan kanan, dan memegang pedang ditangan kiri. Mata yang ditutup melambangkan
bahwa Dewi Keadilan tidak pandang bulu, menganggap semua manusia setara dalam
kedudukannya dihadapan hukum. Timbangan menunjukan pengukuran terhadap perbuatan

9

Ibid, hal. 159

Universitas Sumatera Utara

manusia dan pedang melambangkan bentuk pertanggungjawaban manusia terhadap perbuatan
yang dilakukannya dihadapan hukum.10
Hal-hal tersebut menunjukan bahwa seluruh manusia memiliki tanggung jawab
individu atas perbuatannya dihadapan hukum. Semua manusia, baik itu Raja atau Kepala
Negara, tentara, pedagang, dan lain sebagainya wajib mempertanggungjawabkan tiap
perbuatannya dihadapan hukum karena semua manusia dihadapan hukum adalah setara.
Tanggung jawab pidana secara individual (individual criminal responsibility)

merupakan prinsip dalam hukum pidana internasional yang secara konsisten diikuti sejak
prinsip ini ditegaskan dalam Mahkamah Militer Internasional Nurnberg. Dapat dikatakan,
bahwa prinsip ini memang sekadar ditegaskan dalam Mahkamah Militer Internasional
Nurnberg, karena prinsip ini sebenarnya sudah dikenal jauh sebelum masa Mahkamah Militer
Internasional Nurnberg. Penelusuran historis yang dilakukan oleh Ciara Damgaard tentang
prinsip tanggung jawab pidana individual dalam kejahatan internasional mengungkapkan
bahwa prinsip ini bahkan sudah dikenal sejak masa Yunani Kuno pada Abad 5 sebelum
Masehi.11
Pengadilan internasional pertama untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang
dilaksanakan sampai dengan tahun 1946 terjadi di Nuremberg (International Military
Tribunal). Kemudian, disusul IMTFE (Timur Jauh) di Tokyo, Tribunal Pidana Internasional
ad hoc (ICTY) untuk Yugoslavia (1993), dan ICTR (Rwanda) (1994). Dua yang terakhir ini
hanya berurusan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida atau kejahatan perang
yang terjadi di wilayah Yugoslavia dan Rwanda. Pada tahun 1998 di Roma mayoritas negara

10

Taufik Firmanto, Themis : Sang Dewi Keadilan, http://www.kompasiana.com/taufik.firmanto/themissang-dewi-keadilan_5510ca5da33311ae2dba9673 , diakses pada tanggal 12 Februari 2017 pada pukul 14.48
WIB.
11

Arie Siswanto, Hukum Pidana Internasional, Yogyakarta, CV Andi, Yogyakarta, 2015, hal. 259-260

Universitas Sumatera Utara

setuju dibentuknya Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang bersifat permanen dengan
statuta yang jelas.12
Berbeda dengan ICTY dan ICTR, ICC merupakan pengadilan yang bersifat tetap
(permanent) dan didirikan berdasarkan suatu perjanjian internasional (treaty), yaitu Statuta
Roma (―The Rome Statute of the International Criminal Court‖) tahun 1998. Statuta ini mulai
berlaku pada tanggal 1 Juli 2002 setelah diratifikasi oleh 60 negara. ICC berkedudukan di Den
Haag (Belanda).13
Salah satu kasus yang ditangani ICC adalah penghancuran benda budaya yang
dilakukan Ahmad al-Faqi al-Mahdi di Mali saat terjadinya konflik bersenjata pada tahun 2012.
Kasus ini menjadi kasus penghancuran benda budaya yang pertama kali disidangkan di
hadapan Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC).14

Disebutkan, Ahmad al-mahdi al-Faqi yang lahir 100 km barat Timbuktu, adalah
anggota gerakan radikal Ansar Dine -sebuah kelompok terkait Alqaidah yang menguasai
sebagian besar wilayah utara Mali pada tahun 2012. Saat berkuasa, kaum militan merusak dan
menghancurkan banyak bangunan dan makam kuno, termasuk masjid yang dianggap tak

sealiran dengan kelompok militan. Selain itu, kelompok ekstremis di Mali tersebut juga
membakar puluhan ribu naskah kuno. Kota Timbuktu yang masuk Warisan Budaya Dunia
Unesco itu di masa lalu pada abad ke-13 sampai abad ke-17 sempat menjadi pusat pengajaran

12

Prof. Dr. Muladi,S.H., Statuta Roma Tahun 1998 Tentang Mahkamah Pidana Internasional Dalam
Kerangka Hukum Pidana Internasional Dan Implikasinya Terhadap Hukum Pidana Nasional, PT Alumni,
Bandung, 2011, hal. 73
13
Andrey Sujatmoko, S.H.,M.H., HUKUM HAM DAN HUKUM HUMANITER, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2016, hal. 214
14
Daftar kasus yang ditangani ICC dapat dilihat pada https://www.icc-cpi.int/Pages/cases.aspx# , yang
mana terakhir dicek penulis pada 12 Februari 2017 pada pukul 16.48 WIB belum ada kasus tentang
penghancuran benda budaya yang ditangani oleh ICC, kecuali kasus penghancuran benda budaya oleh Ahmad alFaqi al-Mahdi.

Universitas Sumatera Utara

Islam. Banyak makam kuno para pendiri kota Timbuktu yang dianggap suci oleh penduduk

setempat, tetapi dianggap syirik oleh kaum ekstremis.15

Pada 22 Agustus 2016, dalam persidangan yang diselenggarakan oleh ICC, Ahmad alFaqi al-Mahdi mengaku bahwa dirinya lah yang menghancurkan makam kota serta masjid
selama pergerakan Islam radikal tahun 2012 silam. Ahmad mengatakan kepada pengadilan
bahwa ia menyesali aksi pengerusakan yang ia lakukan. Maret lalu, Ahmad berperan dalam
kejahatan perang yang secara langsung ditunjuk untuk melakukan penghancuran atas
monumen bersejarah dan bangunan yang didedikasikan untuk keagamaan. ―Melakukan
penghancuran pada benda-benda kebudayaan menjadi senjata terkini yang digunakan dalam
perang,‖ ujar jaksa ICC Fatou Bensouda. 16
Berdasarkan putusan Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal
Court (ICC), Ahmad al-Faqi al-Mahdi akhirnya dihukum penjara selama 9 tahun atas
penghancuran benda budaya yang dilakukannya saat konflik berenjata di Mali. 17 Dalam
putusannya , ICC mengatakan bahwa penghancuran benda budaya saat terjadinya konflik
bersenjata dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang. Oleh sebab itulah, penghancuran
benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata dapat dituntut di hadapan Mahkamah Pidana
Internasional. Hal ini karena berdasarkan Pasal 5 Statuta Roma 1998, kejahatan perang
menjadi salah satu kejahatan internasional yang dapat diadili dihadapan Mahkamah Pidana
Internasional atau International Criminal Court (ICC), disamping tindak pidana genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan agresi.


15

Huminca Sinaga : Pertama Kali, Perusak Cagar Dunia Diseret ke Pengadilan Internasional,
http://www.pikiran-rakyat.com/luar-negeri/2015/09/27/343977/pertama-kali-perusak-cagar-dunia-diseret-kepengadilan-internasional ,diakses pada tanggal 14 Februari 2017 , pukul 19.06 WIB.
16
Annisa Hardjanti : Kini, Penghancuran Peninggalan Sejarah termasuk Kejahatan Perang,
http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/08/kini-penghancuran-peninggalan-sejarah-termasuk-kejahatanperang , diakses pada pukul 21.04 WIB, Pada Tanggal 14 Februari 2017
17
Putusan ICC Tahun 2016 : International Criminal Court, Case Information Sheet, The Prosecutor v.
Ahmad Al Faqi Al Mahdi, ICC-01/12-01/15

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan kasus tersebut, penulis berminat meneliti lebih dalam mengenai
pertanggungjawaban individu terhadap penghancuran benda budaya yang dilakukan saat
terjadinya konflik bersenjata. Oleh sebab itulah penulis memilih judul, ―TANGGUNG
JAWAB INDIVIDU TERHADAP PENGHANCURAN BENDA BUDAYA DALAM
KONFLIK BERSENJATA DI MALI (Studi Kasus Atas Putusan ICC Tahun 2016 Pada
Kejahatan Ahmad al-Faqi al-Mahdi). Skripsi ini akan menguraikan tentang penghancuran
benda budaya yang terjadi dalam konflik bersenjata di Mali dan tanggung jawab yang

dibebankan kepada Ahmad al-Faqi al-Mahdi atas penghancuran benda budaya yang
dilakukannya sesuai dengan putusan yang telah dikeluarkan oleh ICC
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan judul dan latar belakang yang dipaparkan penulis adapun yang menjadi
rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Bagaimana kedudukan benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata ?
2. Bagaimana tanggung jawab individu berdasarkan Statuta Roma 1998 ?
3. Bagaimana putusan ICC terhadap tanggung jawab individu dalam penghancuran benda
budaya saat terjadinya konflik bersenjata di Mali ?
C. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan skripsi pasti memiliki tujuan. Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai
penulis dalam penulisan skripsi ini, antara lain:
1. Untuk mengetahui kedudukan benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata.
2. Untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab individu berdasarkan Statuta Roma
1998.
3. Untuk mengetahui bagaimana putusan ICC terhadap tanggung jawab individu dalam
penghancuran benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata di Mali.

Universitas Sumatera Utara


D. Manfaat Penulisan
Penulis berharap skripsi dapat memberikan manfaat. Adapun manfaat yang ingin penulis
sampaikan dalam penulisan skripsi ini adalah :
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penulis berharap agar skripsi ini memberikan manfaat yaitu sebagai
bentuk penambahan wawasan dan pengetahuan dalam ilmu hukum khususnya hukum
internasional terutama tentang tanggung jawab individu terhadap penghancuran benda budaya
dalam dalam konflik bersenjata dan upaya penyelesaian yang dilakukan oleh ICC
(International Court Criminal).

b. Manfaat Praktis
Secara praktis penulis berharap agar skripsi ini memberikan manfaat yaitu sebagai suatu
pedoman atau bahan referensi pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
secara khusus dan pembaca pada umumnya serta dapat dijadikan bahan referensi bagi pihak
akademisi dalam menambah wawasan dan pengetahuan mengenai tanggung jawab individu
terhadap penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata.
E. Keaslian Penulisan
Penulisan Skripsi ini adalah asli, karena

pemikiran, ide dan gagasan dalam


penelitian ini adalah murni hasil ciptaan penulis sendiri, bukan merupakan hasil ciptaan dari
karya tulis orang lain atau pihak-pihak tertentu. Penulis akan bertanggung jawab penuh atas
keaslian penulisan skripsi ini dan belum pernah ada judul yang sama. Berdasarkan informasi
dan penulusuran kepustakaan yang telah penulis lakukan terhadap hasil penelitian yang pernah
dilakukan di Universitas Sumatera Utara maupun di Universitas lain, belum ada yang pernah

Universitas Sumatera Utara

melakukan penelitian dengan topik yang sama dan studi kasus yang sama, akan tetapi ada
ditemukan penulis dari Universitas Sumatera Utara yang melakukan penelitian dengan topik
yang sama namun studi kasus yang diteliti berbeda.

Adapun judul penelitian yang dilakukan di Universitas Sumatera Utara dengan topik
yang sama namun studi kasus yang diteliti berbeda yaitu :
Nama

: TENGKU DEVY MALINDA

NIM

: 110200209

Judul

: Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan Kemanusiaan
Dalam Konflik Bersenjata Di Wilayah Ituri Republik Kongo
(Studi Kasus Atas Putusan ICC Pada Kejahatan Germain
Katanga)

Penulis juga telah mengajukan pemeriksaan judul skripsi kepada Perpustakaan
Fakultas Hukum USU. Hasil pemeriksaan tersebut adalah tidak ditemukannya karya ilmiah
dengan judul dan studi kasus yang sama yang diperiksa oleh Arsip Perpustakaan Universitas
Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara/ Pusat Dokumentasi dan Informasi
Hukum Fakultas Hukum USU pada tanggal 13 Maret 2017. Dengan demikian penelitian ini
adalah penelitian yang pertama kali dilakukan sehingga keaslian tulisan ini dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Tinjauan Kepustakaan
Skripsi ini memperoleh bahan tulisan nya dari berbagai sumber yang dapat dipercaya
dan dapat dipertanggungjawabkan berupa buku-buku, laporan-laporan dan informasi dari
internet. Untuk itu perlu diberikan penegasan dan pengertian dari judul yang diambil dari
sumber-sumber yang memberikan pengertian terhadap judul ini.

Universitas Sumatera Utara

KONFLIK BERSENJATA
Secara sistematik, konflik bersenjata dapat dibedakan menjadi dua kategori besar,
yakni konflik bersenjata yang bersifat internasional dan konflik bersenjata yang tidak bersifat
internasional/non-internasional (internal atau domestik). Konflik bersenjata dikatakan bersifat
internasional kalau pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut adalah negara berhadapan
dengan negara. Konflik bersenjata dikategorikan sebagai konflik non-internasional kalau yang
berhadapan dalam konflik itu adalah setidaknya salah satunya adalah kelompok bersenjata
bukan negara (non-state armed group).18
Konflik bersenjata internasional pada dasarnya adalah konflik yang terjadi antar
negara, misalnya dua dua negara atau lebih saling bertikai satu sama lain. Misalnya: perang
antara Amerika Serikat dengan Irak, Argentina dengan Inggris, Perang Dunia I dan II. 19
Sedangkan, konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional pada dasarnya adalah
konflik yang terjadi di dalam wilayah negara (internal conflict), misalnya : seperti yang terjadi
di Srilanka antara pihak pemerintah dengan pihak pemberontak Macan Tamil (LTTE), di
Filipina antara pihak pemerintah dengan pihak pemberontak Front Pembebasan Islam Moro
(MILF), di Indonesia antara pihak pemerintah dengan pihak pemberontak Gerakan Aceh
Merdeka (GAM).20
Tanggung Jawab Individu
Dampak PD II yang menimbulkan berbagai persoalan terhadap HAM pada gilirannya
juga menimbulkan perkembangan baru dalam lapangan hukum internasional, khususnya di
bidang hukum pidana internasional. Di bidang ini muncul prinsip pertanggungjawaban pidana
secara individual (individual criminal responsibility) bagi individu yang melakukan kejahatan18

Arie Siswanto, Op. Cit. hal. 147
Andrey Sujatmoko, Op. Cit. hal. 173
20
Ibid, Hal. 173

19

Universitas Sumatera Utara

kejahatan tertentu yang termasuk dalam kategori kejahatan internasional. Individu yang
melakukan kejahatan tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban di forum pengadilan
internasional.21
Secara sederhana, prinsip ini menghendaki agar pelaku kejahatan internasional
memikul tanggung jawab secara pribadi atas kejahatan internasional yang mereka lakukan. Ini
berarti bahwa jabatan formal seorang pelaku kejahatan internasional menjadi tidak relevan
ketika sampai pada penentuan tanggung jawab pidana. Oleh karena itu, ketika menyangkut
sebuah kejahatan internasional, keistimewaan dan kekebalan yang dimiliki oleh seorang
kepala negara atau pejabat pemerintahan yang lain tidak dapat dipergunakan sebagai dalih
untuk lepas dari tanggung jawab pidana. Penegasan prinsip tangung jawab individual ini juga
penting mengingat bahwa kejahatan-kejahatan internasional sering kali dilakukan secara
kelompok. Melalui prinsip pertanggungjawaban pidana secara individual, biarpun sebuah
kejahatan internasional dilakukan secara komunal, masing-masing individu yang berperan
serta dalam kejahatan kelompok itu tetap dapat dipersalahkan secara individu dan harus
memikul konsekuensi pidana secara individual pula. 22 Tanggung jawab pidana secara
individual (individual criminal responsibility) merupakan prinsip dalam hukum pidana
internasional yang secara konsisten diikuti sejak prinsip ini ditegaskan dalam Mahkamah
Militer Internasional Nurnberg.23
Berdasarkan hal tersebut, itu dapatlah kita ketahui bahwa tanggung jawab individu
dalam hukum internasional adalah tanggung jawab yang dikenakan kepada individu yang
melakukan kejahatan internasional.
Kejahatan Internasional

21

Ibid, hal. 216
Ibid, hal. 260-261
23
Arie Siswanto, Op. Cit., hal. 259-260
22

Universitas Sumatera Utara

Menurut Cryer (et al.) , kejahatan internasional (international crime) adalah ―…
offences over which international courts or tribunals have been given jurisdiction under
general international law”. Dari batasan tersebut dapat ditarik gagasan bahwa ‗kejahatan
internasional‘ adalah kejahatan terhadap mana mahkamah atau pengadilan internasional oleh
norma-norma hukum internasional diberi jurisdiksi untuk mengadili. Lebih lanjut, Cryer (et
al.) menyatakan bahwa kejahatan internasional mencakup empat jenis kejahatan inti (core
crimes), yaitu genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against
humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi/kejahatan terhadap
perdamaian (crimesof aggression/crimes against peace).24
Kejahatan Internasional dalam bahasa Inggris yaitu international crimes disebut juga
sebagai tindak pidana internasional. Definisi tentang tindak pidana internasional (kejahatan
internasional atau international crimes) telah dikemukakan oleh Bassiouni (1986:2-3) 25
sebagai berikut :
“International Crimes is any conduct which is designated as a crime in a
multilateral convention will a significant number of state parties to it, provided
the instrumen contuins one of the ten penal characteristics.”
Terjemahan bebas
Tindak pidana internasional adalah setiap tindakan yang ditetapkan di dalam konvensikonvensi multilateral dan diikuti oleh sejumlah tertentu negara-negara peserta, sekalipun di
dalamnya terkandung salah satu dari kesepuluh karakteristik pidana.
Seorang pakar hukum pidana internasional Bassiouni telah menyebutkan terdapat 22
jenis kejahatan internasional yang memenuhi salah satu atau semua karakteristik pidana 26 ,
yaitu

24

Arie Siswanto, Op. Cit., hal.4.
Prof. DR. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M., Pengantar Hukum Pidana Internasional, PT Refika
Aditama, Bandung, 2006, hal. 37
26
Anis Widyawati, S.H., M.H., HUKUM PIDANA INTERNASIONAL, PT Sinar Grafika, Jakarta, 2014,
hal 45-46
25

Universitas Sumatera Utara

Kedua puluh dua tindak pidana internasional tersebut antara lain:
1) Aggression;
2) War crimes;
3) Unlawful Use of Weapons;
4) Crimes Against Humanity;
5) Genocide;
6) Racial Discrimination and Apartheid;
7) Slavery and Related Crimes S. Torture;
8) Unlawful Human Experimentation;
9) Piracy;
10) Aircraft Hijacking;
11) Threat and Use of Force Against Internationally Protected Persons;
12) Taking of Civilian Hostages;
13)Drug Offenses;
14) International Traffic in Obsence Publicaitons;
15)Destruction and/or Theft of National Treasures;
16) Environmental Protection;
17) Theft of Nuclear Materials;
18)Unlawful Use of the Mails;

Universitas Sumatera Utara

19) Interfence of the Submarine Cables;
20) Falsification and Counterfeiting;
21) Bribery of Foreign Public Official;
22) International Traffic in obsence publicaitons;
Selain itu terdapat beberapa cara untuk mengidentifikasi suatu kejahatan sebagai kejahatan
internasional27, yaitu:
1. Tempat terjadinya kejahatan;
2. Kewarganegaraan dari pelaku dan atau korbannya;
3. Korban yang berupa harta benda bergerak dan atau tidak bergerak milik pihak asing;
4. Kombinasi dari ketiga butir tersebut diatas;
5. Tersentuhnya nilai-nilai kemanusiaan universal, rasa keadilan dan kesadaran hukum
umat manusia.
Dilihat dari perkembangan dan asal-usul tindak pidana internasional ini , maka eksistensi
tindak pidana internasional dapat dibedakan dalam28 :
1. Tindak pidana internasional yang berasal dari kebiasaan yang berkembang di dalam
praktik hukum internasional ;
2. Tindak pidana internasional yang berasal dari konvensi-konvensi internasional; dan
3. Tindak pidana internasional yang lahir dari sejarah perkembangan konvensi mengenai
hak asasi manusia.
Tindak pidana internasional yang berasal dari kebiasaan hukum internasional adalah
tindak pidana pembajakan atau piracy, kejahatan perang atau war crimes dan tindak pidana
perbudakan atau Slavery. Tindak pidana internasional yang berasal dari konvensi-konvensi
27
28

Ibid, hal. 48
Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal. 40

Universitas Sumatera Utara

internasional ini secara historis dibedakan antara tindak pidana internasional yang ditetapkan
didalam satu konvensi internasional saja (subject of a single convention) dan tindak pidana
internasional yang ditetapkan oleh banyak konvensi (subject of a multiple conventions).Tindak
pidana internasional yang lahir dari sejarah perkembangan konvensi mengenai hak asasi
manusia merupakan konsekuensi logis akibat Perang Dunia II yang meliputi bukan hanya
korban-korban perang mereka yang termasuk combatant, melainkan juga korban penduduk
sipil (non combatant) yang seharusnya dilindungi dalam suatu peperangan. Salah satu dari
tindak pidana internasional ini ialah crime of genocide sesuai dengan deklarasi PBB tanggal
11 Desember 1946 yang menetapkan genocide sebagai kejahatan menurut hukum
internasional.29
Penetapan tindak pidana internasional atau international crimes tersebut diperkuat di
dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg atau the International Military
Tribunal yang dibentuk segera setelah Perang Dunia II berakhir (1946). Mahkamah ini
ditetapkan oleh negara pemenang Perang Dunia II (Amerika Serikat, Inggris, Prancis, serta
Rusia) dan memiliki yurisdiksi atas tiga golongan kejahatan30 :
1. Crimes against peace atau kejahatan terhadap perdamaian, yang diartikan termasuk
persiapan-persiapan atau pernyataan perang agresi;
2. War crimes atau kejahatan perang atau pelanggaran atas hukum-hukum tradisional dan
kebiasaan dalam peperangan; dan
3. Crimes against humanity yakni segala bentuk kekejaman terhadap penduduk sipil
(noncombatant) selama peperangan berlangsung.
ICC atau International Criminal Court sebagai pengadilan pidana internasional yang
permanen dan independen juga memiliki pandangan tersendiri dalam menetapkan kejahatan
29
30

Ibid, hal. 40
Ibid, hal. 41

Universitas Sumatera Utara

internasional. Hal ini dapat kita lihat dari Pasal 5 Statuta Roma 1998 yang menentukan bahwa
kewenangan ICC untuk mengadili hanya pada 4 jenis kejahatan internasional yaitu genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi.

Dari uraian-uraian tersebut dapat dikatan bahwa pada intinya kejahatan internasional
mengandung :
1. Merupakan tindak pidana yang diakui sebagai kejahatan internasional oleh masyarakat
internasional melalui konvensi internasional maupun hukum kebiasaan internasional.
2. Dapat dituntut pertanggungjawabannya melalaui pengadilan internasional.
3. Menyentuh perasaan kemanusiaan sehingga menjadi keprihatinan dunia internasional.
ICC
PBB telah menyadari bahwa diperlukan sebuah mekanisme permanen pengadilan bagi
para pelaku dan penjahat HAM sejak tahun 1948. Pemikiran ini diambil berdasarkan
pengalaman pengadilan Nuremberg dan Tokyo yang mengadili kejahatan perang di masa
perang dunia. Wacana tentang mekanisme permanen ini semakin membesar saat dibentuknya
ICTY dan ICTR. Sebenarnya ide tentang sebuah pengadilan pidana internasional telah dimulai
sejak tahun 1937 oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB) – kemudian menjadi PBB.31
Pada 17 Juli 1998, di dalam sebuah Konferensi Diplomatik PBB di Roma, menjadi
embrio terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional. Konferensi ini kemudian menghasilkan
sebuah perjanjian multilateral yaitu Statuta Roma yang merupakan dasar berdirinya

31

Erikson Hasiholan Gultom, S.H., Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional Dan Peradilan
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur, PT Tatanusa, Jakarta, 2006, hal. 2

Universitas Sumatera Utara

Mahkamah tersebut. Dari 160 negara yang ikut, hanya 55 wakil negara yang menandatangani
statuta ini. … Tidak mudah untuk membuat badan peradilan ini terwujud karena dibutuhkan
sebanyak 60 negara yang meratifikasi statuta. Pada akhirnya, 1 Juli 2002, statuta ini telah
diratifikasi oleh 60 negara dan secara otomatis statuta ini berlaku.32
Seperti yang telah disebutkan di latar belakang atau pendahuluan dalam skripsi ini
bahwa ICC merupakan pengadilan yang bersifat tetap (permanent) dan didirikan berdasarkan
suatu perjanjian internasional (treaty), yaitu Statuta Roma (―The Rome Statute of the
International Criminal Court‖) tahun 1998. Statuta ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2002
setelah diratifikasi oleh 60 negara. ICC berkedudukan di Den Haag (Belanda). Tujuan
didirikannya ICC dapat kita temukan dalam penggalan pembukaan Statuta Roma 1998, adalah
:
Bertekad untuk memutuskan rantai kekebalan hukum (impunity) bagi para
pelaku kejahatan ini dan dengan demikian memberi sumbangan kepada
dicegahnya kejahatan tersebut;
Memutuskan untuk menjamin penghormatan abadi bagi diberlakukannya
keadilan internasional;
Dengan tujuan tersebut diharapkan ICC dapat menghukum siapapun, bahkan seorang
Kepala Negara yang seringkali memiliki kekebalan hukum (impunity). Hal ini juga agar
keadilan internasional dapat terwujud dan dihormati.
International Criminal Court atau Mahkamah Pidana Internasional merupakan
pengadilan internasional yang mengadili individu yang berumur minimal 18 yang melakukan
kejahatan internasional berdasarkan Statuta Roma 1998. Hal ini dapat kita lihat pada Pasal 26
Statuta Roma 1998 yang menyatakan bahwa ―Tidak dimasukkannya Jurisdiksi atas orangorang dibawah delapan belas tahun‖.

32

Ibid, Hal. 2-3

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan Pasal 5 ayat 1 Statuta Roma 1998, Jurisdiksi Mahkamah terbatas pada
kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan.
Mahkamah mempunyai jurisdiksi sesuai dengan Statuta berkenaan dengan kejahatankejahatan berikut: (a) Kejahatan genosida; (b) Kejahatan terhadap kemanusiaan; (c) Kejahatan
perang; (d) Kejahatan agresi.
Hal ini menunjukkan bahwa ICC atau Mahkamah Pidana Internasional hanya dapat
mengadili individu yang melakukan salah satu atau lebih kejahatan-kejahatan internasional
berikut yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan
kejahatan agresi. Selain daripada kejahatan-kejahatan tersebut tidak dapat dituntut dan diadili
melalui Mahkamah Pidana Internasional atau ICC.
Mengenai yurisdiksi temporal atau waktu terhadap dapatnya ICC melaksanakan
yurisdiksi atau kewenangannya dapat kita lihat pada Pasal 11 dan 12 ayat 3 Statuta Roma
1998.
Pasal 11 Statuta Roma 1998
1. Mahkmah mempunyai jurisdiksi hanya berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan
setelah berlakunya Statuta ini.
2. Kalau suatu Negara menjadi pihak dari Statuta ini setelah Statuta ini mulai berlaku,
Mahkmah dapat melaksanakan jurisdiksinya hanya berkenaan dengan kejahatan yang
dilakukan setelah diberlakukannya Statuta ini untuk Negara tersebut, kecuali kalau
Negara tersebut telah membuat suatu deklarasi berdasarkan pasal 12, ayat 3.
Pasal 12 ayat 3 Statuta Roma 1998
3. Kalau penerimaan suatu Negara yang bukan pihak dari Statuta ini disyaratkan
berdasarkan ayat 2, Negara tersebut dapat, dengan deklarasi yang disampaikan kepada
Panitera, menerima pelaksanaan jurisdiksi oleh Mahkamah berkenaan dengan
kejahatan yang dipersoalkan. Negara yang menerima bekerja sama dengan Mahkamah
tanpa ditunda-tunda lagi atau perkecualian sesuai dengan Bagian 9.

Dari pasal 11 dan 12 ayat 3 tersebut diatas dapat kita ketahui waktu terhadap dapatnya
ICC melaksanakan kewenangannya yaitu :

Universitas Sumatera Utara

1. ICC dapat menerapkan yurisdiksi atas kejahatan internasional yang dilakukan
individu setelah ditetapkannya Statuta Roma 1998 pada tanggal 1 Juli 2002.
2. Untuk negara-negara yang baru bergabung menjadi anggota ICC setelah penetapan
Statuta Roma 1998 (1 Juli 2002), ICC dapat menerapkan yurisdiksinya di negara
tersebut hanya pada kejahatan internasional yang dilakukan individu setelah negara
tersebut melakukan ratifikasi Statuta Roma 1998.
3. Terhadap kejahatan internasional yang dilakukan individu sebelum negara tersebut
melakukan ratifikasi Statuta Roma 1998, ICC dapat menerapkan yurisdiksinya
dengan syarat negara tersebut melakukan deklarasi kepada ICC melalui Panitera
ICC yang menyatakan bahwa negara tersebut menerima pelaksanaan jurisdiksi
oleh ICC berkenaan dengan kejahatan internasional yang dilakukan individu
sebelum proses ratifikasi Statuta Roma 1998 terjadi tetapi juga kejahatan tersebut
dilakukan harus setelah ditetapkannya Statuta Roma 1998 pada tanggal 1 Juli
2002.
Hal tersebut diatas menunjukkan bahwa ICC menerapkan prinsip non-retroactif dalam
melaksanakan yurisdiksinya. Prinsip non-retroactif tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 24
ayat 1 Statuta Roma 1998 yang menyatakan bahwa ― Tidak seorang pun bertanggung jawab
secara pidana berdasarkan Statuta ini atas perbuatan yang dilakukan sebelum diberlakukannya
Statuta ini.‖ Pengecualian terhadap prinsip non-retroactif tersebut hanya berlaku pada saat suatu

negara memberikan deklarasi persetujuan kepada ICC untuk tidak menerapkan prinsip nonretroactif berdasarkan Pasal 12 ayat 3 Statuta Roma 1998.
Mengenai siapa-siapa saja yang dapat meminta ICC untuk melaksanakan yurisdiksinya
atau pemeriksaan terhadap dugaan kejahatan internasional , dapat kita lihat pada Pasal 13
Statuta Roma 1998 yang menyatakan bahwa :

Universitas Sumatera Utara

―Mahkamah dapat melaksanakan jurisdiksinya berkenaan dengan kejahatan yang
dicantumkan dalam pasal 5 sesuai dengan ketentuan Statuta ini, kalau:
(a) Suatu situasi (kasus) di mana satu atau lebih kejahatan yang tampak telah
dilakukan itu diteruskan kepada Penuntut Umum oleh suatu Negara Pihak
sesuai dengan pasal 14;
(b) Suatu situasi (kasus) di mana satu atau lebih kejahatan yang tampak telah
dilakukan tersebut diteruskan kepada Penuntut Umum oleh Dewan
Keamanan yang bertindak berdasarkan Bab VII Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa; atau
(c) Penuntut Umum dapat memprakarsai suatu penyelidikan berkenaan dengan
kejahatan tersebut sesuai dengan pasal 15.‖
Dari Pasal 13 Statuta Roma 1998, kita dapat melihat bahwa ICC dapat melaksanakan
yurisdiksinya atas dugaan peristiwa kejahatan internasional berdasarkan salah satu atau lebih
dari berikut ini yaitu :
1. Permintaan negara anggota ICC.
2. Rekomendasi dari Dewan Keamanan PBB.
3. Inisiatif ICC sendiri.
Selanjutnya, Pasal 12 ayat 2 Statuta Roma 1998 menentukan bahwa pelaksanaan
yurisdiksi ICC atas dugaan kejahatan internasional yang dirujuk oleh suatu negara anggota
kepada ICC atau yang berdasarkan inisiatifnya ICC sendiri, ICC dapat menerapkan
yurisdiksinya jika satu atau lebih negara-negara berikut sudah menjadi Negara Pihak atau
negara anggota dari Statuta Roma 1998 atau telah menerima jurisdiksi ICC 33 :
1. Negara tempat terjadinya kejahatan internasional, atau negara tempat pendaftaran
kapal atau pesawat udara kalau kejahatan dilakukan di atas kapal atau pesawat
terbang.
2. Negara tempat tersangka pelaku kejahatan internasional menjadi warganya.
Berdasarkan ketentuan tersebut yaitu Pasal 12 ayat 2 Statuta Roma 1998, dapat diketahui
bahwa sepanjang suatu peristiwa dugaan kejahatan internasional yang diminta oleh negara
pihak atau negara anggota ICC diperiksa oleh ICC atau yang diselidiki berdasarkan inisiatif
ICC sendiri, ICC dapat melaksanakan kewenangannya atas siapa pun (baik warga dari negara

33

Pasal 12 ayat 2 Statuta Roma 1998

Universitas Sumatera Utara

anggota maupun bukan), sepanjang kejahatan internasional tersebut dilakukan di wilayah
negara anggota ICC dan ICC juga dapat melaksanakan kewenangannya terhadap kejahatan
internasional di wilayah negara manapun (baik wilayah negara anggota maupun bukan),
sepanjang pelakunya adalah warga negara dari negara anggota ICC.
Namun, jika ada suatu peristiwa dugaan kejahatan internasional dimana dilakukan di
wilayah negara yang bukan negara pihak atau negara anggota ICC dan pelakunya juga tidak
berasal dari suatu negara anggota ICC, ICC tetap dapat menjalankan kewenangannya hanya
jika ada rekomendasi dari Dewan Keamanan PBB. Hal ini dapat kita lihat dari Pasal Pasal 13
ayat 2 Statuta Roma 1998.
Mahkamah Pidana Internasional memiliki hubungan dengan Perserikatan BangsaBangsa, karena terbentuknya Mahkamah ini tidak bisa terlepas dari prakarsa PBB melalui
Majelis Umum dengan peranan oleh Komisi Hukum Internasional. Mahkamah ini tidak
berada di bawah atau sebagai bagian (bagian utama, bagian subsider ataupun bagian khusus)
dari PBB, sehingga dapat dikatakan bahwa Mahkamah berada di luar sistem PBB dengan
kedudukannya sejajar atau setara dengan PBB. Hal ini berdasarkan perjanjian antara
Mahkamah dan PBB yang tertuang dalam Pasal 2 Statuta Roma tahun 1998.34
Oleh karena itulah, hubungan Mahkamah Pidana Internasional dengan PBB adalah
setara. PBB melalui Dewan Keamanan hanya dapat memberikan rekomendasi terkait adanya
dugaan tindak pidana kejahatan internasional kepada Mahkamah Pidana Internasional.
Mahkamah Pidana Internasional juga dalam menanggapi rekomendasi tersebut hanya sebagai
saran. Mahkamah Pidana Internasional dapat menerima rujukan tersebut namun dapat juga
menolak rujukan tersebut. Hal ini karena tentu saja, berdasarkan Pasal 1 Statuta Roma 1998,

34

Anis Widyawati, S.H., M.H., opcit, hal. 150

Universitas Sumatera Utara

Mahkamah Pidana Internasional adalah lembaga pengadilan internasional yang independen
dan permanen dalam menyidik dan mengadili tindak pidana kejahatan internasional.
Dengan berbagai kewenangan yang dimiliki ICC, bukan berarti ICC menjadi
―Pengadilan Dunia" atau pengadilan yang dapat melanggar batas-batas kedaulatan suatu
negara. Didirikannya ICC atau Mahkamah Pidana Internasional tidaklah bermaksud untuk
menggantikan yurisdiksi nasional yang dilaksanakan oleh pengadilan nasional di setiap
negara.
Dalam Pasal 1 Statuta Roma 1998, disebutkan bahwa :
―Dengan ini Mahkamah Pidana Internasional (selanjutnya disebut
―Mahkamah‖) dibentuk. Mahkamah ini merupakan suatu lembaga permanen
dan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan jurisdiksinya atas orang-orang
untuk kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional,
sebagaimana dicantumkan dalam Statuta ini, dan merupakan pelengkap
terhadap jurisdiksi kejahatan nasional. Kewenangan dan fungsi Mahkamah ini
diatur oleh ketentuan-ketentuan Statuta ini.‖
Dalam Pembukaan Statuta Roma 1998, juga disebutkan bahwa :
―Menekankan bahwa Mahkamah Pidana Internasional yang dibentuk di
bawah Statuta ini akan merupakan pelengkap dari jurisdiksi pidana nasional;‖
Dalam Pasal 1 Statuta Roma tahun 1998 dan Pembukaan Statuta Roma tahun 1998
tersebut diatas memberikan penjelasan bahwa Mahkamah Pidana Internasional menganut
prinsip pelengkap atau komplementer (complementary principle). Prinsip pelengkap ini berarti
Mahkamah Pidana Internasional merupakan pelengkap dari pengadilan nasional. Hal ini
sekaligus menunjukkan bahwa Mahkamah Pidana Internasional menghormati kedaulatan tiaptiap negara. Berdasarkan prinsip pelengkap tersebut, Mahkamah Pidana Internasional hanya
dapat aktif jika dalam suatu kasus, sistem pengadilan nasional negara yang bersangkutan tidak
mampu dan atau enggan bahkan tidak mau menerapkan yurisdiksi nasionalnya.

Universitas Sumatera Utara

Kriteria terhadap ketidakmampuan dan ketidakinginan pengadilan nasional suatu
negara dalam menerapkan yurisdiksinya untuk mengadili warga negaranya yang melakukan
kejahatan internasional dapat kita lihat dalam Pasal 17 ayat 2 dan 3 Statuta Roma 1998, yang
menyatakan bahwa :
1. Pasal 17 ayat 2 Statuta Roma 1998
Untuk menentukan ketidaksediaan (keengganan atau ketidakinginan) dalam suatu
kasus tertentu, Mahkamah mempertimbangkan, dengan mengingat prinsip-prinsip
proses yang seharusnya yang diakui oleh hukum internasional, apakah satu atau
lebih dari yang berikut ini ada, dan dapat diterapkan:
a) Langkah-langkah hukum sudah atau sedang dilakukan atau keputusan
nasional diambil untuk tujuan melindungi orang yang bersangkutan dari
tanggung jawab pidana atas kejahatan yang berada di bawah jurisdiksi
Mahkamah sebagaimana tercantum dalam pasal 5;
b) Ada suatu penangguhan yang tidak dapat dibenarkan dalam langkahlangkah hukum yang dalam keadaan itu tidak sesuai dengan maksud untuk
membawa orang yang bersangkutan ke depan Mahkmah;
c) Langkah-langkah hukum dulu atau sekarang tidak dilakukan secara mandiri
atau tidak memihak, dan langkah-langkah tersebut dilakukan dengan cara
di mana, dalam hal itu, tidak sesuai dengan maksud untuk membawa orang
yang bersangkutan ke depan Mahkmah.
2. Pasal 17 ayat 3 Statuta Roma 1998
Untuk menentukan ketidakmampuan dalam suatu kasus tertentu, Mahkamah
mempertimbangkan apakah, disebabkan oleh keruntuhan menyeluruh atau
sebagian besar dari sistem pengadilan nasionalnya, Negara tersebut tidak mampu
menghadirkan tertuduh atau bukti dan kesaksian yang perlu atau sebaliknya tidak
dapat melaksanakan langkah-langkah hukumnya.

Posisi individu yang strategis dalam suatu negara, seperti kepala negara atau pejabat,
sangat memungkinkannya untuk menyalahgunakan kekuasaan yang ada pada dirinya agar
pengadilan nasionalnya tidak mampu dan atau tidak ingin mengadili dirinya atas kejahatan
internasional yang telah dilakukannya. Hal inilah yang membuat individu seperti seperti
kepala negara atau pejabat sering menikmati kekebalan hukum yang pada akhirnya menjadi
sebuah kebiasaan yang disebut sebagai impunity. Dalam menjawab tantangan tersebut ICC
hadir untuk memutuskan rantai impunitas (impunity) agar siapapun yang melakukan kejahatan
internasional dapat diadili dan juga dihukum sepanjang pengadilan nasional tersebut tidak

Universitas Sumatera Utara

mampu dan atau tidak ingin menerapkan yurisdiksinya. ICC hadir sebagai pelengkap
pengadilan nasional berkenaan dengan prinsip pelengkap atau (complementary principle) yang
dianut oleh ICC sesuai dengan Pasal 1 Statuta Roma 1998 .
Sehingga berdasarkan hal tersebut, Mahkamah Pidana Internasional atau ICC dibentuk
bukan untuk menggantikan pengadilan nasional suatu negara, namun adalah sebagai
pelengkap. ICC hanya dapat aktif baik itu karena permintaan negara pihak, rekomendasi dari
Dewan Keamanan PBB, maupun atas inisiatif ICC sendiri, jika sistem pengadilan nasional
suatu negara tidak mampu dan atau enggan bahkan tidak mau menerapkan yurisdiksi
nasionalnya untuk mengadili pelaku kejahatan internasional
G. Metode penelitian
Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan terencana yang dilakukan dengan
metode ilmiah, bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran ataupun
ketidakbenaran dari suatu gejala atau hipotesa yang ada. 35

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penelitian hukum merupakan suatu kegiatan
ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan
untuk

mempelajari

satu

atau

beberapa

gejala

hukum

tertentu

dengan

jalan

menganalisasnya.Kecuali itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta
hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahanpermasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan. 36

35

Suratman,S.H., M.H. dan H. Philips Dillah, S.H., M.H., METODE PENELITIAN HUKUM, CV
Alfabeta, Bandung, 2013, hal. 34
36
Soerjono Soekanto dalam Suratman dan H. Philips Dillah , Ibid, hal. 38

Universitas Sumatera Utara

Metode ilmiah diperlukan untuk menguji kebenaran dari suatu karya tulis. Hal ini agar
karya tulis ilmiah tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis. Metode penelitian yang
dipergunakan dalam penulisan skripsi ini terdiri dari:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif,
hal ini karena penelitian ini ditujukan untuk meneliti norma-norma hukum yang
berlaku baik itu perangkat hukum maupun putusan-putusan pengadilan selain itu
diteliti juga buku-buku, literatur, jurnal, bahan internet dan bahan-bahan lainnya yang
berkaitan dengan maksud dan tujuan dari penyusunan skripsi ini. Penelitian ini bersifat
Deskriptif-Analitis,

yaitu

penulis

menjelaskan

hal-hal

yang dapat

menjadi

permasalahan dan kemudian menganalisisnya dengan berdasarkan bahan hukum agar
diperoleh jawaban, keterangan dan kesimpulan yang jelas terhadap permasalahanpermasalahan tersebut.
2. Bahan Hukum
Pada penelitian hukum normatif, data sekunder sebagai sumber/bahan informasi
dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum
tertier. 37 Dalam penulisan skripsi ini, sumber data yang digunakan berupa data
sekunder yang terdiri atas:
a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum
mengikat dan dapat menjadi landasan utama yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini, seperti putusan ICC, Statuta Roma 1998, Konvensi Den Haag dan
peraturan hukum lainnya.

37

Ibid, hal. 51

Universitas Sumatera Utara

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang mendukung dan dapat
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku dan
pendapat para ahli hukum,
c. Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang dapat memberikan informasi
tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti

jurnal

hukum, artkel, bahan internet, dan lain sebagainya.
3. Alat Pengumpul Data
Nama lain dari penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum doktriner, juga
disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian hukum
doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturanperaturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Dikatakan sebagai
penelitian perpustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak
dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. 38 Untuk
mengumpulkan data dalam mendukung penulisan skripsi ini, penulis menggunakan
cara kepustakaan atau Library Research, yaitu mengumpulkan data yang dibutuhkan
dengan melakukan penelitian dari berbagai sumber buku yang terdapat di
perpustakaan, norma hukum, studi putusan, jurnal hukum, internet, dan lain
sebagainya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

4. Analisis Data
Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi
putusan, jurnal hukum dan lain sebagainya maka hasil penelitian ini menggunakan
metode analisa kualitatif. Analisa kualitatif adalah pemaparan terhadap teori-teori yang

38

Ibid, hal. 51

Universitas Sumatera Utara

dikemukakan sehingga teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat
dijadikan keterangan dan kesimpulan pada skripsi ini.
H. Sistematika Penulisan
Karya tulis yang baik haruslah disusun secara sistematis. Skripsi ini diuraikan dalam 5
bab, dimana tiap-tiap bab terbagi atas beberapa sub bab untuk mempermudah dalam
memamparkan pembahasan dari skripsi ini. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :
BAB I: PENDAHULUAN
Bab I dalam penulisan skripsi ini adalah bab pengantar yang merupakan gambaran
umum yang terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat
Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan
Sistematika Penulisan.
BAB II : KEDUDUKAN BENDA BUDAYA SAAT TERJADINYA KONFLIK
BERSENJATA
Bab II dalam penulisan skripsi ini adalah bab yang membahas secara umum
mengenai benda budaya dalam konflik bersenjata. Di uraikan dari defenisi dan
pengertian benda budaya, sejarah penghancuran benda budaya dalam konflik
bersenjata dan kedudukan benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata.
BAB III : TANGGUNG JAWAB INDIVIDU MENURUT STATUTA ROMA
1998
Bab III dalam penulisan skripsi ini adalah bab yang membahas tentang tanggung
jawab individu. Diuraikan dari kedudukan individu sebagai subjek hukum
internasional, impunity dalam hukum internasional dan bagaimana pengaturan
tanggung jawab individu berdasarkan Statuta Roma 1998.
BAB IV : PUTUSAN ICC TERHADAP TANGGUNG JAWAB INDIVIDU

Universitas Sumatera Utara

DALAM PENGHANCURAN BENDA BUDAYA SAAT TERJADINYA
KONFLIK BERSENJATA DI MALI
Bab IV dalam penulisan skripsi ini adalah bab yang membahas tentang

putusan

ICC dalam kasus penghancuran benda budaya oleh Ahmad al-Faqi al-Mahdi saat
terjadinya konflik bersenjata di Mali. Diuraikan dari pengkategorian penghancuran
benda budaya dalam konflik bersenjata sebagai kejahatan perang, latar belakang
penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata di Mali, dan putusan ICC
terhadap Ahmad Al Faqi Al Mahdi dalam penghancuran benda budaya saat
terjadinya konflik bersenjata di Mali
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab V dalam penulisan skripsi ini adalah bab penututp yang memuat kesimpulan
dari keseluruhan materi dalam skripsi ini dan juga dilengkapi dengan saran-saran
yang diharapkan berguna dan bermanfaat dimasa yang akan datang.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Di Wilayah Ituri Republik Kongo(Studi Kasus Atas Putusan Icc Pada Kejahatan Germain Katanga)

11 111 118

Tinjauan Konvensi Jenewa 1949 Atas Dugaan Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Non Internasional di Suriah

2 80 104

Tanggung Jawab Individu Terhadap Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Di Mali (Studi Kasus Atas Putusan Icc Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad Al Faqi Al Mahdi)

0 0 15

Tanggung Jawab Individu Terhadap Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Di Mali (Studi Kasus Atas Putusan Icc Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad Al Faqi Al Mahdi)

0 1 2

Tanggung Jawab Individu Terhadap Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Di Mali (Studi Kasus Atas Putusan Icc Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad Al Faqi Al Mahdi)

2 3 40

Tanggung Jawab Individu Terhadap Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Di Mali (Studi Kasus Atas Putusan Icc Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad Al Faqi Al Mahdi) Chapter III V

0 0 54

Tanggung Jawab Individu Terhadap Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Di Mali (Studi Kasus Atas Putusan Icc Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad Al Faqi Al Mahdi)

1 6 7

Tanggung Jawab Individu Terhadap Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Di Mali (Studi Kasus Atas Putusan Icc Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad Al Faqi Al Mahdi)

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum internasional, termasuk - Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Di Wilayah Ituri Republik Kongo(Studi Kasus Atas Putusan Icc Pada

0 0 21

Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Di Wilayah Ituri Republik Kongo(Studi Kasus Atas Putusan Icc Pada Kejahatan Germain Katanga)

0 1 10