Tanggung Jawab Individu Terhadap Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Di Mali (Studi Kasus Atas Putusan Icc Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad Al Faqi Al Mahdi) Chapter III V

BAB III
TANGGUNG JAWAB INDIVIDU MENURUT STATUTA ROMA 1998
A. Individu sebagai Subjek Hukum Internasional
Prof.Dr. Boer Mauna dalam bukunya HUKUM INTERNASIONAL : Penegertian,
Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, halaman satu, mengatakan bahwa : ―Pada
umumnya hukum internasional diartikan

sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan

ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara negara-negara dan
subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional.‖ 112
Hukum internasional (international law) atau hukum internasional publik (public
international law) merupakan istilah yang lebih populer digunakan saat ini dibandingkan
istilah Hukum Bangsa-Bangsa (law of nations), hukum antarnegara (Inter state law). Dua
istilah terakhir ini ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan. Hukum
internasional saat ini tidak hanya mengatur hubungan antarbangsa atau antarnegara saja.
Hubungan internasional sudah berkembang pesat sedemikian rupa sehingga subjek-subjek
negara tidaklah terbatas pada negara saja sebagaimana di awal perkembangan hukum
internasional. Berbagai organisasi internasional, individu, perusahaan transnasional, vatican,
belligerency, merupakan contoh –contoh subjek non negara.113 Drs. T. May Rudy, S.H., dalam
bukunya Hukum Internasional 1 juga mengatakan bahwa subjek hukum internasional terdiri

atas Negara, Tahta Suci Vatikan, Palang Merah Internasional, Organisasi Internasional,
Individu , Pemberontak dan pihak dalam sengketa ( belligerent ).114

112

Prof.Dr. Boer Mauna, HUKUM INTERNASIONAL : Penegertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, PT ALUMNI, Bandung, 2011, Hal. 1
113
Sefriani, S.H., M.Hum., HUKUM INTERNASIONAL : SUATU PENGANTAR, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2014, Hal.2
114
Drs. T. May Rudy, S.H., MIR., M.Sc., Hukum Internasional 1, PT Refika Aditama, Bandung, 2006,
Hal. 2-3

Universitas Sumatera Utara

Istilah subjek hukum berasal dari terjemahan bahasa Belanda rechtsubject atau law of
subject (Inggris). Secara umum rechtsubject diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban.,
yaitu manusia dan badan hukum.115 Sebagai subjek hukum, sebagai pembawa hak, manusia
mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan sesuatu tindakan hukum.116 Subjek hukum

internasional adalah pemegang (segala) hak dan kewajiban menurut hukum internasional.117
Secara umum subjek hukum adalah pembawa atau pendukung hak dan kewajiban
dalam hukum. Dalam hukum internasional, manusia atau individu merupakan salah satu
subjek hukum internasional. Hal tersebut menunjukan bahwa manusia atau individu sebagai
subjek hukum internasional memiliki hak dan kewajiban dalam lingkup hukum internasional.
Sering orang bertanya apakah individu juga dapat dianggap sebagai subjek hukum
internasional. Untuk menjawab pertanyaan tersebut terdapat dua konsep yang saling berbeda.
Dengan merujuk pada praktek internasional yang berlaku dan hukum positif, pada umumnya
pakar hukum berpendapat bahwa hukum internasional hanya mengatur hubungan antar negara
dan oleh karena itu individu tidak dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional.
Menurut pendapat mereka hanya negaralah yang merupakan subjek hukum internasional dan
bukan individu.118
Sebaliknya ada juga yang berpendapat terutama Prof. Georges Scelle, pakar hukum
kenamaan dari Prancis bahwa hanya individu yang merupakan subjek hukum internasional.
Para pendukung doktrin ini mendasarkan pandangannya bahwa bukankah tujuan akhir dari
pengaturan-pengaturan konvensional adalah individu dan oleh karena itu dia mendapatkan
perlindungan internasional. Suatu konvensi internasional yang ditandatangani oleh sejumlah

115


Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., HUKUM PERDATA dalam SISTEM HUKUM NASIONAL,
Penerbit Prenada Media Group, Jakarta, 2008, Hal. 40
116
Prof. Drs. C.S.T. Kansil & Christine S.T. Kansil, S.H., M.H., PENGANTAR ILMU HUKUM
INDONESIA, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2011, Hal.99
117
T. May Rudy, Op. Cit., Hal.2
118
Prof.Dr. Boer Mauna, Op. Cit. , Hal. 669

Universitas Sumatera Utara

negara yang berisikan ketentuan bahwa pelayaran atas suatu sungai internasional adalah
bebas, tidak lain berarti sebagai pemberian kebebasan kepada individu-individu, para
pedagang, pemilik kapal, untuk menggunakan sungai tersebut bagi keperluan usaha mereka.
Jadi keseluruhan dari ketentuan internasional mengenai pelayaran menyangkut individuindividu. Ada juga naskah yang mengatur secara langsung keadaan individu seperti konvensikonvensi mengenai tawanan perang (Konvensi-konvensi Den Haag ) yang mengatur perang
dan Konvensi-Konvensi Palang Merah yang semuanya mempunyai tema yang sama yaitu
perlindungan terhadap individu-individu yang lemah, menderita sakit, tidak bersenjata, dan
lain-lainnya. Tidaklah dapat disangkal bahwa perlindungan terhadap individu ini merupakan
tema umum dari pengaturan-pengaturan internasional dan keseluruhan ketentuan-ketentuan

hukum.119
Dalam hukum internasional, ada pakar atau ahli yang berpendapat bahwa satu-satunya
subjek hukum internasional adalah negara. Berlawanan dengan pendapat tersebut, ada
pendapat lain yang menyatakan bahwa subjek hukum internasional hanyalah individu. Hal ini
didasarkan pada tujuan akhir dari hukum internasional adalah untuk kepentingan dan
perlindungan individu. Perbedaan pendapat tersebut, bukan berarti untuk saling menjatuhkan
atau saling menyalahkan pendapat yang lain. Perbedaan pendapat tersebut justru membuat kita
dapat saling melihat kelebihan maupun kelemahan pendapat-pendapat tersebut sehingga
hukum internasional dapat dikembangkan lebih baik lagi. Pada perkembangan selanjutnya,
bahkan bukan hanya negara dan individu saja yang menjadi subjek hukum internasional,
namun juga Organisasi Internasional, Tahta Suci Vatikan, Palang Merah Internasional, dan
Pemberontak ( belligerent ).
Dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi pada paruh ke-2 abad
XX, meningkatnya hubungan kerja sama dan kesalingtergantungan antar negara,
119

Ibid., Hal. 669-670

Universitas Sumatera Utara


menjamurnya negara-negara baru dalam jumlah yang banyak sebagai akibat dekolonisasi,
munculnya organisasi-organisasi internasional dalam jumlah yang sangat banyak telah
menyebabkan ruang lingkup hukum internasional menjadi lebih luas. Selanjutnya hukum
internasional bukan saja mengatur hubungan antarnegara, tetapi juga subjek-subjek hukum
lainnya seperti organisasi-organisasi internasional, kelompok-kelompok supranasional dan
gerakan-gerakan pembebasan nasional. Bahkan dalam hal-hal tertentu hukum internasional
juga diberlakukan terhadap individu-individu dalam hubungannya dengan negara-negara.120
Memang benar bahwa banyak ketentuan internasional yang menyangkut individuindividu baik dalam bentuk keuntungan-keuntungan yang diberikan maupun kewajibankewajiban yang harus mereka laksanakan. Namun demikian tidak berarti bahwa individuindividu secara otomatis merupakan subjek hukum internasional karena dalam banyak hal,
negara bertindak sebagai layar antara mereka dan hukum internasional. 121 Menyangkut
individu, perkembangan menunjukkan bahwa dewasa ini individu merupakan subjek hukum
internasional (dalam arti yang terbatas) di samping negara. Sebagai subjek hukum, individu
memiliki hak dan kewajiban tertentu dalam hukum internasional. Adalah fakta yang tidak
dapat disangkal bahwa pada saat ini individu dapat dimintai pertanggungjawaban di forum
internasional atas tindakan-tindakannya.

122

Hal tersebut menunjukkan bahwa memang

individu diakui sebagai subjek hukum internasional, namun dalam artian yang terbatas yaitu

sepanjang individu tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban di forum internasional atas
tindakan-tindakannya.
Kasus pertama menyangkut status individu sebagai subjek atau bukan dalam hukum
internasional menurut Alina Kaczorowska adalah Case Concerning Competence of the Courts
of Danzig, Advisory opinion dari Permanent Court of International Justice tahun 1928. Dalam
120120

Prof.Dr. Boer Mauna, Op. Cit. , Hal. 669
Ibid., Hal. 670-671
122
Andrey Sujatmoko, Op. Cit., Hal.214
121

Universitas Sumatera Utara

kasus ini Danzig dan Polandia membuat suatu perjanjian internasional yang mengatur
persyaaratan pekerjaaan bagi pejabat yang bekerja dalam perkeretaapian Danzig mempunyai
hak untuk menuntut penggantian klaim terhadap administrasi perkeretaapian Polandia. Dalam
kasus ini mahkamah menyatakan bahwa suatu perkecualian dari prinsip bahwa individu bukan
subjek hukum internasional dapat timbul apabila maksud dari para pihak dalam suatu

perjanjian adalah memang untuk memberikan hak dan kewajiban pada individu yang
bersangkutan. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa menurut PJIC, pada dasarnya
treaties tidak menimbulkan hak dan kewajiban bagi individu kecuali apabila para pihak
perjanjian bermaksud demikian. 123 Hal tersebut menunjukkan bahwa individu sudah diakui
sebagai subjek hukum internasional yang memiliki hak dan kewajiban namun hanya sebatas
jika para pihak perjanjian dalam hal ini negara yang memang menginginkannya dan
menyepakatinya.
Selanjutnya pasca perang dunia kedua dalam pengadilan ad hoc Nurenberg dan Tokyo
dinyatakan bahwa individu memiliki international personality, mampu menyandang hak dan
kewajiban yang diberikan hukum internasional padanya. Individu bertanggung jawab secara
pribadi, dapat dituntut di pengadilan internasional atas kejahatan perang yang dilakukannya
tanpa dapat berlindung dibalik negaranya. 124
Dampak PD II yang menimbulkan perkembangan baru dalam lapangan hukum
internasional, khususnya di bidang hukum pidana internasional. Di bidang ini muncul prinsip
pertanggungjawaban pidana secara individual (individual criminal responsibility) bagi
individu yang melakukan kejahatan-kejahatan tertentu yang termasuk dalam kategori
kejahatan internasional. Individu yang melakukan kejahatan tersebut dapat dimintai

123
124


Sefriani, S.H., M.Hum.,, Op. Cit. Hal. 146
Ibid., Hal. 147

Universitas Sumatera Utara

pertanggungjawaban di forum pengadilan internasional. Hal ini sekaligus merupakan
pengakuan individu sebagai subjek hukum internasional.125
Dalam putusan yang dibuat oleh Mahkamah Militer Internasional di Nurenberg
dinyatakan, telah lama diakui bahwa hukum internasional mengenakan kewajiban dan
tanggung jawab terhadap para individu. Mereka memiliki kewajiban internasional melebihi
kepatuhan terhadap kewajiban yang dibebankan oleh negaranya. Orang-orang yang melanggar
hukum perang tidak dapat memperoleh kekebalan ketika bertindak atas kewenangan dari
negara, jika negara dalam mensahkan tindakan tersebut bertindak di luar kewenangannya
menurut hukum internasional.126
Pengakuan secara terbatas terhadap individu sebagai subjek hukum internasional
mengalami perkembangan yang nyata sesudah Perang Dunia II. Dalam kerangka konstruksi
regional, Konvensi Eropa mengenai Hak-Hak Asasi Manusia tahun 1959, Perjanjian Roma
1957 dan pada tingkat universal dengan diterimanya The International Convenant on Civil
and Political Rights (ICPR) dan The International Convenant on Economic Social and

Cultural Rights (ICES) di tahun 1966 telah meningkatkan status individu yang bukan hanya
sebagai objek tetapi juga dalam hal-hal tertentu sebagai subjek hukum internasional.127
Peningkatan status individu ini makin lama makin bertambah nyata setelah terjadinya
pembunuhan massal, perbuatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang
dan pelanggaran-pelanggaarn berat HAM lainnya di berbagai tempat di dunia. Kejahatan
perang, kejahatan kemanusiaan dan perbuatan genosida yang terjadi di negara eks Yugoslavia
dari tahun 1992-1999 yang menewaskan sekitar 200.000 orang, kejahatan yang terjadi di
Kamboja selama selama rezim Pol Pot dari tahun 1975-1979 yang menelan korban sekitar
125
126
127

Andrey Sujatmoko, Op. Cit., Hal.216
Andrey Sujatmoko, Op. Cit., Hal 15
Prof.Dr. Boer Mauna, Op. Cit., Hal. 57-58

Universitas Sumatera Utara

1.700.000 orang dan pada pembantaian suku minoritas Tutsi oleh suku mayoritas Hutu di
Rwanda yang menelan korban sekitar 800.000 jiwa di tahun 1994 telah memperkuat tekad

masyarakat internasional untuk mengambil tindakan tegas dan menghukum para pelaku
berbagai kejahatan kemanusiaan tersebut. Untuk itu telah dibentuk Mahkamah Kriminal
Yugoslavia, Mahkamah Kriminal Rwanda, Sierra Leone dan Kamboja untuk mengadili dan
menghukum para penjahat kemanusiaan tersebut. Lahirnya Mahkamah Pidana Internasional
melalui Statuta Roma bulan Juli 1998 yang dapat mengadili para pelaku genosida, kejahatan
perang dan kejahatan terhadao kemanusiaan merupakan bukti nyata bahwa pada kasus-kasus
tertentu individu-individu pun telah dianggap subjek hukum internasional.128
Dari uraian-uraian tersebut dapat kita simpulkan bahwa individu merupakan subjek
hukum internasional dalam artian terbatas. Secara teori, hal ini dapat kita lihat dari adanya
konvensi-konvensi internasional yang mengatur dan memberikan perlindungan terhadap
individu. Secara praktik, dapat kita lihat dari putusan-putusan pengadilan internasional yang
menghukum individu sebagai pelaku kejahatan internasional. Namun, pengakuan individu
sebagai subjek hukum internasional adalah terbatas pada dimungkinkannya individu dituntut
di hadapan pengadilan internasional untuk bertanggung jawab secara pribadi atas nama diri
sendiri terhadap kejahatan internasional yang dilakukannya.
B. Impunity dalam Hukum Internasional
Kata ―impunity‖ yang ada dalam bahasa Inggris ternyata tidak ditemukan padanannya
dalam bahasa Indonesia resmi, paling tidak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
diterbitkan oleh Balai Pustaka. Beberapa kalangan, terutama para advokat Hak Asasi Manusia
(HAM) menggunakan kata impunitas sebagai padanannya dalam bahasa Indonesia. Kata ini

sendiri juga tidak lazim digunakan publik luas dalam bahasa pergaulan sehari-hari. Kata

128

Prof.Dr. Boer Mauna, Op. Cit., Hal. 58

Universitas Sumatera Utara

―impunity‖ sendiri berasal dari bahasa Latin ―impunitas‖ yang berasal dari akar kata ―impune‖
yang artinya ‗tanpa hukuman‘ 129 . Kata impunite atau impunity (impunitas, dalam serapan
bahasa Indonesia) diasosiasikan dengan situasi pelanggaran berat Hak Asasi Manusia yang
diciptakan atau dipelihara oleh negara atau sebagai hasil dari runtuhnya kekuasaan di sebuah
negara dan pelbagai institusinya.130 Secara umum impunitas dipahami sebagai ―tindakan yang
mengabaikan tindakan hukum terhadap pelanggaran (hak asasi manusia)‖ atau dalam
kepustakaan umum diartikan sebagai ―absence of punishment‖. Dalam perkembangannya
istilah impunity digunakan hampir secara ekslusif dalam konteks hukum, untuk menandakan
suatu proses di mana sejumlah individu luput dari berbagai bentuk penghukuman terhadap
berbagai tindakan illegal maupun kriminal yang pernah mereka lakukan.131
Seiring dengan kemajuan sistem hukum dan tata negara, definisi ―impunity‖ dalam
kerangka hukum internasional di sini adalah ―ketidakmungkinan –de jure atau de facto- untuk
membawa pelaku pelanggaran hak asasi manusia untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya baik dalam proses peradilan kriminal, sipil, administratif atau disipliner
karena mereka tidak dapat dijadikan objek pemeriksaan yang dapat memungkinkan
terciptanya

penuntutan,

penahanan, pengadilan

dan, apabila

dianggap bersalah,

penghukuman dengan hukuman yang sesuai, dan untuk melakukan reparasi kepada korbankorban mereka‖.132
Impunity dapat ditemukan dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Latin, namun dalam
Bahasa Indonesia, impunity dikenal dengan istilah impunitas. Impunity atau impunitas dapat
129

Louis Joinet, MENOLAK IMPUNITAS-Serangkaian Prinsip perlindungan dan pemajuan HAK
ASASI MANUSIA Melalui Upaya memerangi Impunitas Prinsip-prinsip hak korban,Edisi Terjemahan,
KONTRAS, Jakarta, 2005, Hal. i
130
Halili, Pengadilan Hak Asasi Manusia Dan Pelanggengan Budaya Impunitas, JURNAL CIVICS:
Media Kajian Kewarganegaraan, Vol 7 No 1, 2010, Hal. 17. Jurnal dapat diakses pada
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=307209&val=474&title=PENGADILAN%20HAK%20ASA
SI%20MANUSIA%20DAN%20PELANGGENGAN%20BUDAYA%20IMPUNITAS
131
Genevieve Jacques Dalam Daniel Hutagalung, Negara dan Pelanggaran HAM Masa Lalu : Tuntutan
Pertanggungjawaban versus Impunitas, Jurnal Dignitas, Vol. 3 (1) (2005), Hal. 8
132
Louis Joinet, Op. Cit., Hal. i

Universitas Sumatera Utara

kita artikan sebagai peniadaan hukum atau suatu keadaan tidak dihukumnya seseorang atas
kejahatan yang diperbuatnya. Kejahatan yang dilakukan dalam impunity biasanya adalah
kejahatan pelanggaran HAM dan juga kejahatan perang. Dalam hukum internasional, impunity
diartikan sebagai keadaan tidak mampunya negara menangkap, memeriksa, mengadili, bahkan
menghukum pelaku pelanggaran HAM untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya
dihadapan hukum.
Terdapat empat faktor yang memelihara kelangsungan impunitas. Yakni, faktor
kekuasaan, faktor hukum, faktor budaya, dan faktor hubungan internasional yaitu 133 :
1. Faktor Kekuasaan (power factor)
Tidak dihukumnya pelaku kejahatan HAM (impunitas) dapat disebabkan oleh
karena yang bersangkutan adalah orang kuat atau dekat penguasa yang memiliki
kekuasaan. Kekuasaan tersebut dapat saja disalahgunakan untuk melindungi orang
tersebut dari jerat hukum.
2. Faktor Hukum (legal factor)
Faktor hukum dapat juga berperan merawat praktek impunitas. Lemahnya
penegakan hukum dan tidak adanya peraturan hukum membuat pelaku impunitas
enggan untuk diadili dan tidak memiliki dasar hukum untuk diadili.
3. Faktor Budaya
Faktor budaya seperti budaya feodal membuat masyarakat tidak kritis, apatis dan
pesimis terhadap praktek impunitas.
4. Faktor Hubungan Internasional
Kurangnya implementasi perjanjian-perjanjian internasional dan lemahnya tekanan
internasional atas sebuah pelanggarana HAM turut menyebabkan lemahnya itikad
negara untuk menghukum pelaku pelanggaran HAM tersebut. Diperlukan
pengawasan internasional untuk mencegah praktek impunitas.
Praktek impunitas ini telah terjadi sejak berabad yang lalu diantaranya adalah gagalnya
Negara-negara Eropa untuk mengadili Raja Wilhelm II sebagaimana yang direkomendasikan
oleh Perjanjian Versailles, tidak diadilinya Kaisar Hirohito oleh Mahkamah Tokyo atas
keputusan AS, berbagai pengadilan pura-pura yang mengadili serdadu-serdadu rendah dengan
hukuman yang ringan dan melawan hari nurani keadilan masyarakat.134

133

Halili, Pengadilan Hak Asasi Manusia Dan Pelanggengan Budaya Impunitas, JURNAL CIVICS:
Media Kajian Kewarganegaraan, Vol 7 No 1, 2010, Hal 11.
134
Abdul Hakim G Nusantara, Sebuah Upaya Memutus Impunitas : Tanggung Jawab Komando Dalam
Pelanggaran Berat HAM, Jurnal HAM Komisi Nasional HAM Vol.2 No.2, November 2004, p.viii Dalam

Universitas Sumatera Utara

Dapat kita lihat bahwa impunitas telah terjadi sangat lama dan sering dilakukan oleh
raja dan juga orang yang dekat dengan raja atau penguasa. Hal ini karena kekuasaan yang
mereka miliki sehingga sangat susah menyeret mereka ke pengadilan. Tentu hal ini menyalahi
hukum karena semua dihadapan hukum adalah sama (equality before the law), sehingga
siapapun yang bersalah harus dihukum terlepas dari apapun status maupun jabatannya. Tidak
ada pengistimewaan dalam hukum, siapapun orangnya, baik itu presiden, hakim, pedagang,
petani, dan lain sebagainya, dihadapan hkuum adalah sama.

C. Pengaturan Tanggung Jawab Individu berdasarkan Statuta Roma 1998
Untuk memerangi impunity atau impunitas, maka dunia internasional membuat
pengadilan internasional. Dengan adanya pengadilan internasional, maka lahirlah prinsip
tanggung jawab individu untuk memerangi impunity sekaligus penguatan pengakuan individu
sebagai subjek hukum internasional walaupun secara terbatas. Dengan adanya tanggung jawab
individu maka pelaku kejahatan internasional siapapun orangnya, walaupun kepala negara
atau penguasa, dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui
pengadilan internasional.
Upaya untuk mengadili para penjahat perang setelah PD II kemudian dinyatakan
dalam Perjanjian London (London Agreement) yang dibuat oleh empat negara sekutu
(Amerika, Inggris, Prancis dan Uni Soviet) pada tanggal 8 Agustus 1945. Selanjutnya, hal
tersebut diwujudkan melalui pembentukan dua Pengadilan Militer Internasional (International

http://advokasi.elsam.or.id/assets/2015/09/00000000_Kajian_Ratifikasi-statuta-roma-1998_ELSAM.pdf
Diakses pada tanggal 1 April 2017, pada pukul 00:01 WIB.

,

Universitas Sumatera Utara

Military Tribunal) di Nuremberg (1945) dan Tokyo (1946) untuk mengadili penjahat perang
yang utama.135
Pengadilan Nuremberg telah menjatuhkan pidana mati terhadap tujuh orang terdakwa,
pidana seumur hidup atas tiga orang terdakwa dan pidana penjara dengan lamanya pidana
yang bervariasi atas empat orang terdakwa, dan dibebaskan untuk tiga orang terdakwa. Selain
dari itu, menetapkan enam organisasi yang terlibat di dalam PD II sebagai organisasi
kejahatan dan membebaskan dua organisasi tuduhan. Adapun pengadilan Tokyo telah
menjatuhi pidana mati terhadap tujuh orang terdakwa dan 16 orang terdakwa dijatuhi pidana
semumur hidup serta pidana penjara dengan variasi lamanya pidana terhadap dua orang
terdakwa. 136 Dalam pengadilan Nuremberg dan Tokyo inilah pertama kali dikenal konsep
137

individual criminal responsibility.

Prinsip tanggung jawab individu dalam Piagam Pengadilan Militer Internasional
Nuremberg, dapat kita lihat dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Piagam Pengadilan Militer
Internasional Nuremberg 138 . Pasal 6 Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg,
adalah :
―The Tribunal established by the Agreement referred to in Article 1 here of for
the trial and punishment of the major war criminals of the European Axis countries
shall have the power to try and punish persons who, acting in the interests of the
European Axis countries, whether as individuals or as members of organizations,
committed any of the following crimes. The following acts, or any of them, are crimes
coming within the jurisdiction of the Tribunal for which there shall be individual
responsibility: crimes against peace…; war crimes…;crimes against humanity…;.
Leaders, organizers, instigators and accomplices participating in the formulation or
execution of a common plan or conspiracy to commit any of the foregoing crimes are
responsible for all acts performed by any persons in execution of such plan.‖
Terjemahan Bebas :
135

Audrey Sujatmoko, Op. Cit., Hal. 216
Audrey Sujatmoko, Op. Cit., Hal. 217
137
http://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/09/Tentang-Pengadilan-HAM-Internasional.pdf
Diakses pada tanggal 1 April 2017, pada pukul 01:21 WIB.
138
Piagam Militer Internasional Nuremberg dapat diunduh pada http://www.jura.unimuenchen.de/fakultaet/lehrstuehle/satzger/materialien/img1945e.pdf
136

Universitas Sumatera Utara

Pengadilan didirikan oleh Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
perjanjian untuk melakukan sidang dan memberi hukuman dari para penjahat perang
utama dari negara-negara Eropa Axis, yang mana pengadilan akan memiliki kekuatan
untuk memeriksa dan menghukum orang-orang yang bertindak dalam Negara-negara
Eropa Axis, baik sebagai individu atau sebagai anggota organisasi, melakukan suatu
kejahatan berikut. Semua tindakan-tindakan berikut, atau salah satu dari kejahatan
berikut, adalah kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan yang harus ada tanggung jawab
individu: kejahatan terhadap perdamaian…; kejahatan perang…; kejahatan terhadap
kemanusiaan…;. Pemimpin, penyelenggara, penghasut dan anak buah yang
berpartisipasi dalam perumusan atau pelaksanaan rencana umum atau konspirasi untuk
melakukan salah satu kejahatan tersebut bertanggung jawab untuk semua tindakan
yang dilakukan oleh setiap orang dalam pelaksanaan rencana tersebut.
Pasal 7 Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg, adalah :
―The official position of defendants, whether as Heads of State or responsible
officials in Government Departments, shall not be considered as freeing them from
responsibility or mitigating punishment.‖
Terjemahan Bebas :
Posisi resmi terdakwa, apakah sebagai Kepala Negara atau penanggung jawab
atau para pejabat di Departemen Pemerintah, tidak akan dianggap sebagai
membebaskan mereka dari tanggung jawab atau hukuman yang meringankan.
Tanggung jawab individu dapat kita lihat dari pasal-pasal tersebut yaitu dalam Pasal 6
disebutkan bahwa pelaku kejahatan terhadap tiga jenis kejahatan yaitu kejahatan terhadap
perdamaain, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dituntut
pertanggungjawabannya melalaui pengadilan internasional yaitu Pengadilan Militer
Internasional Nurenberg. Tangggung jawab individu tersebut juga dikuatkan dalam pasal 7
yaitu siapapun orangnya atau apapun jabatan yang diemban individu, baik kepala negara atau
pejabat, yang melakukan kejahatan tersebut harus dihukum dan tidak berhak memperoleh
keringanan hukuman.
Dalam perkembangannya, prinsip tanggung jawab individu diterapkan juga ke dalam
berbagai pengadilan internasional. Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 7 Statuta Pengadilan
Pidana Internasional Ad hoc untuk Bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the

Universitas Sumatera Utara

Former Yugoslavia139 atau ICTY dan Pasal 6 Statuta Pengadilan Pidana Internasional Ad hoc
untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda140 atau ICTR, yaitu
1. A person who planned, instigated, ordered, committed or otherwise aided and
abetted in the planning, preparation or execution of a crime referred to in articles
2 to 5 of the present Statute, shall be individually responsible for the crime.
2. The official position of any accused person, whether as Head of State or
Government or as a responsible Government official, shall not relieve such person
of criminal responsibility nor mitigate punishment.
3. The fact that any of the acts referred to in articles 2 to 5 of the present Statute was
committed by a subordinate does not relieve his superior of criminal responsibility
if he knew or had reason to know that the subordinate was about to commit such
acts or had done so and the superior failed to take the necessary and reasonable
measures to prevent such acts or to punish the perpetrators thereof.
4. The fact that an accused person acted pursuant to an order of a Government or of
a superior shall not relieve him of criminal responsibility, but may be considered
in mitigation of punishment if the International Tribunal determines that justice so
requires.

Terjemahan Bebas :
1. Seseorang yang merencanakan, menghasut, memerintahkan, berkomitmen atau
membantu dan bersekongkol dalam perencanaan, persiapan atau pelaksanaan
kejahatan dimaksud dalam artikel 2 sampai 5 dari Statuta ini, harus secara individu
bertanggung jawab atas kejahatan itu.
2. Posisi resmi dari setiap orang yang dituduh, apakah sebagai Kepala Negara atau
Pemerintah atau sebagai pejabat pemerintah yang bertanggung jawab, tidak akan
membebaskan orang tersebut dari tanggung jawab pidana atau mengurangi
hukuman.
3. Fakta bahwa salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam artikel 2 sampai 5
dari Statuta ini dilakukan oleh seorang bawahan tidak membebaskan atasannya
dari tanggung jawab pidana jika ia tahu atau seharusnya tahu bahwa bawahan itu
mau melakukan tindakan seperti atau telah melakukannya dan atasan tidak
mengambil tindakan yang diperlukan dan masuk akal untuk mencegah tindakan
tersebut atau untuk menghukum pelakunya.
4. Kenyataan bahwa seorang terdakwa bertindak sesuai dengan perintah dari
Pemerintah atau dari atasan tidak akan membebaskannya dari tanggung jawab
pidana, tetapi dapat dipertimbangkan dalam mitigasi hukuman jika Pengadilan
Internasional menentukan bahwa keadilan sehingga membutuhkan.
Seperti yang telah disebutkan di latar belakang atau pendahuluan dalam skripsi ini
bahwa ICC merupakan pengadilan yang bersifat tetap (permanent) dan didirikan berdasarkan
suatu perjanjian internasional (treaty), yaitu Statuta Roma (―The Rome Statute of the
139

Statuta International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia dapat diunduh pada
http://www.icty.org/x/file/Legal%20Library/Statute/statute_sept09_en.pdf
140
Statuta
International
Criminal
Tribunal
for
Rwanda
Dapat
diunduh
pada
http://www.icls.de/dokumente/ictr_statute.pdf

Universitas Sumatera Utara

International Criminal Court‖) tahun 1998. Statuta ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2002
setelah diratifikasi oleh 60 negara. ICC berkedudukan di Den Haag (Belanda).
ICC berdasarkan Statuta Roma 1998 141 juga dibentuk untuk memutuskan rantai
kekebalan hukum atau impunity bagi para pelaku yang melakukan kejahatan berdasarkan
statuta ini. Hal ini dapat dilihat dalam pembukaan atau Preumbule Statuta Roma 1998, yaitu
―Determined to put an end to impunity for the perpetrators of these crimes and thus to
contribute to the prevention of such crimes,..‖.
Dalam memerangi impunity tersebut, ICC berdasarkan Statuta Roma 1998 menganut
prinsip tanggung jawab individu agar siapapun pelakunya, baik itu kepala negara maupun
pejabat, dapat diadili dan dihukum atas kejahatan internasional yang menjadi yurisdiksi ICC
yang dilakukan individu tersebut. Pengaturan tanggung jawab individu dalam Statuta Roma
1998 dapat kita lihat pada Pasal 25 Statuta Roma 1998.
Pasal 25 Statuta Roma 1998 menyebutkan bahwa, :
Individual criminal responsibility
1. The Court shall have jurisdiction over natural persons pursuant to this Statute.
2. A person who commits a crime within the jurisdiction of the Court shall be
individually responsible and liable for punishment in accordance with this Statute.
3. In accordance with this Statute, a person shall be criminally responsible and liable for
punishment for a crime within the jurisdiction of the Court if that person:
(a) Commits such a crime, whether as an individual, jointly with another or
through another person, regardless of whether that other person is criminally
responsible;
(b) Orders, solicits or induces the commission of such a crime which in fact occurs
or is attempted;
(c) For the purpose of facilitating the commission of such a crime, aids, abets or
otherwise assists in its commission or its attempted commission, including
providing the means for its commission;
(d) In any other way contributes to the commission or attempted commission of
such a crime by a group of persons acting with a common purpose. Such
contribution shall be intentional and shall either:
i. Be made with the aim of furthering the criminal activity or
criminal purpose of the group, where such activity or
141

Statuta Roma 1998 dapat diunduh pada https://www.icc-cpi.int/nr/rdonlyres/ea9aeff7-5752-4f84be94-0a655eb30e16/0/rome_statute_english.pdf, terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dapat diunduh pada
http://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/10/Statuta-Roma.pdf

Universitas Sumatera Utara

purpose involves the commission of a crime within the
jurisdiction of the Court; or
ii. Be made in the knowledge of the intention of the group to
commit the crime;
(e) In respect of the crime of genocide, directly and publicly incites others to
commit genocide;
(f) Attempts to commit such a crime by taking action that commences its execution
by means of a substantial step, but the crime does not occur because of
circumstances independent of the person's intentions. However, a person who
abandons the effort to commit the crime or otherwise prevents the completion
of the crime shall not be liable for punishment under this Statute for the
attempt to commit that crime if that person completely and voluntarily gave up
the criminal purpose.
4. No provision in this Statute relating to individual criminal responsibility shall affect
the responsibility of States under international law.

Pada Pasal 25 Statuta Roma 1998 dapat kita ketahui bahwa prisip tanggung jawab
individu diatur dalam Statuta Roma 1998, yaitu :
1. Berdasarkan Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 1 dan 4, Mahkamah Pidana
Internasional memiliki kewenangan atau yurisdiksi hanya terhadap individu atau
person bukan negara,sehingga dalam hal ini hanya individu yang dapat dikenakan
tanggung jawab. Individu tidak dapat berlindung dibalik negara dan tanggung
jawab individu tersebut tidak dapat dialihkan menjadi tanggung jawab negara.
Individu harus bertanggung jawab secara individual terhadap perbuatannya.
2. Berdasarkan Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 2, individu hanya dapat dapat
dikenakan tanggung jawab dan dihukum atas kejahatan-kejahatan internasional
yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Kejahatan-kejahatan
internasional yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dapat kita
lihat pada Pasal 5 ayat 1 Statuta Roma 1998 yaitu, kejahatan genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.
3. Berdasarkan Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3 Seseorang atau individu yang
dapat dikenakan tanggung jawab individu dan dapat dihukum atas kejahatan

Universitas Sumatera Utara

internasional yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, apabila
individu tersebut :
a) Berdasarkan Huruf a Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3
Melakukan kejahatan, baik itu sendiri, bersama-sama dengan orang lain,
ataupun melalui orang lain. Dalam hal ini individu tersebut harus
bertanggung jawab terhadap kejahatan yang dilakukannya, walaupun
individu tersebut melakukannya bersama orang lain ataupun dalam
perantaraan melalui orang lain. Mahkamah Pidana Internasional tidak
mengenal tanggung jawab kolektif atau bersama dan tanggung jawab
individu tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Individu harus
bertanggung jawab secara individual atas kejahatan yang diperbuatanya
sesuai dengan perannya dalam melakukan kejahatan tersebut.
b) Berdasarkan Huruf b Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3
Memerintahkan, mengusahakan, mendorong dilakukannya kejahatan atau
percobaan kejahatan dapat dikenakan tanggung jawab individu dan dapat
dihukum.
c) Berdasarkan Huruf c Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3
Mempermudah

terjadinya

kejahatan

atau

percobaan

dengan

cara

membantu, kerja sama atau persengkongkolan, dan juga memberikan
sarana dan fasilitas untuk melakukan kejahatan.
d) Berdasarkan Huruf d Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3
Memberikan kontribusi bagi terjadinya kejahatan atau percobaan yang
dilakukan oleh sekelompok orang atas tujuan bersama. Kontribusi tersebut
harus dilandasi dengan kesengajaan dan dilakukan dengan tujuan untuk
mewujudkan kejahatan tersebut sebagai tujuan bersama atau dapat juga

Universitas Sumatera Utara

karena dilakukan berdasarkan pengetahuan atas niat dari kelompok tersebut
untuk melakukan kejahatan.
e) Berdasarkan Huruf e Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3
Khusus untuk kejahatan genosida, secara langsung atau tidak langsung
mengahasut atau membujuk orang lain melakukan genosida.
f) Berdasarkan Huruf f Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3
Walaupun kejahatan tersebut tidak terjadi, individu tersebut tetap dapat
dihukum dan dikenakan tanggung jawab individu kecuali individu tersebut
benar-benar secara sukarela dan kesadaran menarik diri atau meninggalkan
dari tujuan terwujudnya kejahatan tersebut dengan cara mencegah
terwujudnya kejahatan tersebut.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengaturan tanggung
jawab individu dalam Statuta Roma 1998 dapat kita temukan dalam Pasal 25 Statuta Roma
1998 yang pada intinya menyatakan bahwa siapapun yang dengan salah satu atau lebih dari
cara-cara berikut: melakukan; memerintahkan; membantu; bekerja sama; memberikan fasilitas
dan atau menghasut; baik secara pribadi maupun berkelompok; pada kejahatan internasional
yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional yaitu kejahatan genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi, dapat dikenakan tanggung
jawab individu dan dihukum berdasarkan Statuta Roma 1998.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
PUTUSAN ICC TERHADAP TANGGUNG JAWAB INDIVIDU DALAM
PENGHANCURAN BENDA BUDAYA SAAT TERJADINYA KONFLIK
BERSENJATA DI MALI
A. Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Sebagai Kejahatan Perang
―Perang‖ tampaknya sudah menjadi kata yang umum dan lazim dipergunakan secara
luas dalam berbagai konteks situasi. Namun, sebagai sebuah terma hukum internasional, ada
pemahaman spesifik tentang perang. Meski begitu, sampai saat ini tidak ada defenisi spesifik
tentang perang yang diberikan oleh norma hukum internasional. Dengan demikian, sejauh ini
defenisi tentang perang lebih banyak bersumber dari pendapat-pendapat akademisi dengan
mempertimbangkan praktik negara-negara.142
Oppenheim berpendapat bahwa perang adalah, ―…a contention between two or more
States through their armed forces, for the purpose of overpowering each other and imposing
such conditions of peace as the victor pleases.‖ Seorang ahli hukum internasional yang lain,
Dinstein dengan berlandaskan defenisi perang oleh

Oppenheim tersebut, berpendapat bahwa perang memiliki unusr-unsur sebagai berikut :143
a. Ada permusuhan di antara setidaknya dua negara;
b. Ada penggunaan angkatan bersenjata oleh negara-negara yang terlibat;
c. Ada tujuan untuk mengalahkan negara yang menjadi musuh
d. Tujuan mengalahkan musuh secara simetris ada pada negara-negara yang terlibat
Hal tersebut menunjukkan bahwa pengertian perang belum didefenisikan secara
mutlak dalam hukum internasional. Defenisi perang seringkali dimaknai secara sempit, yaitu
bahwa perang hanya melibatkan negara-negara dalam konflik bersenjata antar negara.

142
143

Ari Siswanto Op. Cit., Hal. 146
Ibid, Hal. 147

Universitas Sumatera Utara

Secara sistematik, konflik bersenjata dapat dibedakan menjadi dua kategori besar,
yakni konflik bersenjata yang bersifat internasional dan konflik bersenjata yang tidak bersifat
internasional/non-internasional (internal atau domestik). Konflik bersenjata dikatakan bersifat
internasional kalau pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut adalah negara berhadapan
denngan negara. Konflik bersenjata dikategorikan sebagai konflik non-internasional kalau
yang berhadapan dalam konflik itu adalah setidaknya salah satunya adalah kelompok
bersenjata bukan negara (non-state armed group).144
Hal tersebut menunjukkan bahwa defenisi perang yang dimaknai secara sempit yaitu
konflik bersenjata antara negara melawan dengan negara, adalah salah satu dari wujud konflik
bersenjata berupa konflik bersenjata internasional. Secara luas, perang tidak hanya melibatkan
antara negara melawan negara. Tetapi perang juga dapat melibatkan antara negara melawan
bukan negara, contohnya perang saudara atau perang sipil dan perang negara melawan
pemberontak atau kelompok ekstrimis. Perang tersebut dapat dikategorikan sebagai konflik
bersenjata non-internasional. Sehingga, pemaknaan perang secara luas dapat disebut dengan
istilah konflik bersenjata yang terdiri dari konflik bersenjata internasional dan konflik
bersenjata non internasional.
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang
menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal
250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa keinsyarafan
bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu merugikan umat manusia, sehingga
kemudian mulailah orang mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuanketentuan yang mengatur perang antara bangsa-bangsa. Selanjutnya beliau mengatakan,
bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum internasional moderen sebagai

144

Ibid, hal 147-148

Universitas Sumatera Utara

suatu sistem hukum yang berdiri sendiri di mulai dengan tulisan-tulisan mengenai hukum
perang.145
Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut hukum perang, atau hukum
sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. Atau
sama tuanya dengan perang itu sendiri. Umumnya aturan-aturan tentang perang itu termuat
dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Aturan –aturan ini antara lain terdapat dalam
ajaran agama Budha, Konfusius, Yahudi, Kristen dan Islam. Bahkan pada masa 3000-1500
SM ketentuan-ketentuan ini sudah ada pada bangsa Sumeria, Babilonia dan Mesir Kuno.
Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war).146
Sepanjang

sejarah

peradaban

manusia,

manusia

selalu

berusaha

untuk

mempertahankan dirinya terhadap konflik dengan sesama manusia lainnya sehingga terjadilah
perang. Dikarenakan akibat-akibat perang yang sangat dahsyat dan merugikan umat manusia,
manusia lalu membuat pembatasan, peraturan dan ketentuan dalam perang untuk
meminimalisir akibat perang tersebut. Pembatasan, peraturan dan ketentuan dalam perang
menghasilkan hukum perang yang digunakan sebagai pedoman dalam berperang. Dalam
perkembangannya, istilah hukum perang mengalami perubahan dari hukum sengketa
bersenjata, hingga pada saat ini dikenal sebagai hukum humaniter internasional dan menjadi
cabang dari khasanah hukum internasional . Pemaknaan defenisi perang yang luas
mengakibatkan hukum humaniter internasional berlaku bagi tiap jenis konflik bersenjata, baik
itu konflik bersenjata internasional maupun konflik bersenjata non-internasional.
Hukum Humaniter Internasional sebagai cabang dari hukum internasional juga
memiliki sumber hukum yang sama dengan hukum internasional. Sumber Hukum Humaniter
Internasional dapat kita lihat pada Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional yaitu
meliputi : perjanjian internasional (treaty), hukum kebiasaan internasional (customary
145

Sulaiman Hamid, S.H. dan H. Bachtiar Hamzah, S.H., Hukum Humaniter Internasional, Penerbit
USU Press, Medan, 1998, Hal.26
146
Arlina Permanasari dkk., Op. Cit., hal. 1

Universitas Sumatera Utara

international law), prinsip-prinsip umum hukum (general principles of law), yurisprudensi
(judicial decisions) dan doktrin (doctrine) atau pendapat para ahli yang telah diakui
kepakarannya atau reputasinya (teaching of the most highly qualified publicists).147
Substansi hukum humaniter internasional dapat dibedakan menjadi dua kelompok
utama yang saling berkaitan, yakni kelompok Hukum Den Haag (the Law of the Hague) dan
kelompok Hukum Jenewa (the Law of Geneva). Secara substantif, Hukum Den Haag lebih
banyak berisi norma tentang perilaku dalam perang dan sarana serta cara yang diperbolehkan
dalam perang (conduct of war and permissible means and methods of war). Sementara itu,
Hukum Jenewa lebih banyak memuat perlindungan terhadap korban perang yang berada
dalam penguasaan musuh (protection of war victims in enemy hands). Secara konsisten,
substansi kedua kelompok norma tersebut sejalan dengan tujuan utama hukum humaniter
internasional, yakni untuk memanusiawikan perang/konflik bersenjata.148
Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat kita ketahui bahwa sumber hukum humaniter
internasional terdapat pada Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional. Sumber hukum
humaniter internasional tersebut dapat dibedakan menjadi dua kelompok utama, yakni
kelompok Hukum Den Haag (the Law of the Hague) yang mengatur tentang cara-cara
berperang dan kelompok Hukum Jenewa (the Law of Geneva) yang mengatur tentang
perlindungan korban perang. Adapaun, Hukum Humaniter Internasional dibuat bukanlah
untuk meniadakan perang atau konflik bersenjata melainkan untuk memanusiawikan perang
atau meminimalisir korban dan kerugian perang atau konflik bersenjata.
Secara sederhana, ―kejahatan perang‖ berpangkal dari tindakan yang melanggar
hukum dan kebiasaan dalam konflik bersenjata. Istilah ―kejahatan perang‖ sendiri sebenarnya
agak menyesatkan. Kata ―perang‖ dalam istilah itu bisa mengarahkan orang untuk
menganggap bahwa kejahatan perang hanya dapat terjadi dalam kondisi perang yang dimaknai
147

Audrey Sujatmoko, Op. Cit., hal. 169
148
Ari Siswanto, Op. Cit., hal.151-152

Universitas Sumatera Utara

secara sempit, yakni konflik bersenjata internasional (antar negara) yang berskala luas.
Padahal, konsep ―perang‖ yang tidak mengalami banyak perkembangan berbanding terbalik
dengan konsep ―hukum perang‖ yang mengalami banyak perkembangan yang sampai pada
akhirnya berkembang menjadi hukum humaniter internasional yang mana tidak hannya
mengatur konflik bersenjata internasional saja, tapi juga mengatur konflik bersenjata noninternasional. Sehingga, dengan pemahaman tersebut , istilah ―kejahatan perang‖ lebih tepat
dipahami bukan sebagai pelanggaran serius terhadap hukum perang (dalam arti sempit),
melainkan pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional.149
Hal tersebut menunjukkan, bahwa kejahatan perang tidak cocok dipahaami hanya
sebagai pelanggaran hukum perang dalam arti sempit yang hanya melibatakan negara
melawan negara atau konflik bersenjata internasional saja. Kejahatan perang, harus dipahami
secara luas, tidak hanya pelanggaran dalam konflik bersenjata internasional, tapi juga
pelanggaran dalam konflik bersenjata non-internasional. Sehingga, pada intinya, dapat
dikatakan bahwa kejahatan perang adalah pelanggaran serius terhadap hukum humaniter
internasional.
Kejahatan perang adalah salah satu dari kejahatan internasional yang menjadi
yurisdiksi atau kewenangan ICC. Hal ini dapat kita lihat berdasarkan Pasal 5 Statuta Roma
1998 yang menjelaskan bahwa kejahatan-kejahatan yang menjadi yuridiksi ICC adalah
kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi.
Pengaturan kejahatan perang dalam Statuta Roma 1998 dapat kita temukan dalam Pasal 8
Statuta Roma 1998 sebagaimana disebutkan bahwa :
1. Mahkamah mempunyai jurisdiksi berkenaan dengan kejahatan perang pada khususnya
apabila dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau sebagai bagian
dari suatu pelaksanaan secara besar-besaran dari kejahatan tersebut.
2. Untuk keperluan Statuta ini, ―kejahatan perang‖ berarti:
(a) Pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949,
yaitu masing-masing dari perbuatan berikut ini terhadap orang-orang atau hak149

Ibid, hal 165-166

Universitas Sumatera Utara

milik yang dilindungi berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa yang
bersangkutan:
(i)
Pembunuhan yang dilakukan dengan sadar;
(ii)
Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk
percobaan biologis;
(iii) Secara sadar menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius
terhadap badan atau kesehatan;
(iv)
Perusakan meluas dan perampasan hak-milik, yang tidak
dibenarkan oleh kebutuhan militer dan dilakukan secara tidak sah dan
tanpa alasan;
(v)
Memaksa seorang tawanan perang atau orang lain yang
dilindungi untuk berdinas dalam pasukan dari suatu Angkatan
Perang lawan;
(vi)
Secara sadar merampas hak-hak seorang tawanan perang atau
orang lain yang dilindungi atas pengadilan yang jujur dan adil;
(vii) Deportasi tidak sah atau pemindahan atau penahanan tidak sah;
(viii) Menahan sandera.
(b) Pelanggaran serius lain terhadap hukum dan kebiasaan yang dapat diterapkan
dalam sengketa bersenjata internasional, dalam rangka hukum internasional
yang ditetapkan, yaitu salah satu perbuatan-perbuatan berikut ini:
(i)
Secara sengaja melancarkan serangan terhadap sekelompok penduduk
sipil atau terhadap setiap orang sipil yang tidak ikut serta secara
langsung dalam pertikaian itu;
(ii)
Secara sengaja melakukan serangan terhadap objek-objek sipil, yaitu,
objek yang bukan merupakan sasaran militer;
(iii) Secara sengaja melakukan serangan terhadap personil, instalasi,
material, satuan atau kendaraan yang terlibat dalam suatu bantuan
kemanusiaan atau misi penjaga perdamaian sesuai dengan Piagam
Perserikatan Bangsa- Bangsa, sejauh bahwa mereka berhak atas
perlindungan yang diberikan kepada objek-objek sipil berdasarkan
hukum internasional mengenai sengketa bersenjata;
(iv)
Secara sengaja melancarkan suatu serangan dengan mengetahui bahwa
serangan tersebut akan menyebabkan kerugian insidentil terhadap
kehidupan atau kerugian terhadap orang-orang sipil atau kerusakan
terhadap objek-objek sipil atau kerusakan yang meluas, berjangkapanjang dan berat terhadap lingkungan alam yang jelas-jelas terlalu
besar dalam kaitan dengan keunggulan militer keseluruhan secara
konkret dan langsung dan yang dapat diantisipasi;
(v)
Menyerang atau membom, dengan sarana apa pun, kota-kota, desa,
perumahan atau gedung yang tidak dipertahankan atau bukan objek
militer;
(vi)
Membunuh atau melukai seorang lawan yang, setelah meletakkan
senjata atau tidak mempunyai sarana pertahanan lagi, telah
menyerahkan diri atas kemauannya sendiri;
(vii) Memanfaatkan secara tidak benar bendera gencatan senjata, atau
bendera atau lencana dan seragam militer dari pihak lawan atau milik
Perserikatan Bangsa-Bangsa, maupun tanda-tanda khusus dari
Konvensi Jenewa, yang menyebabkan kematian atau luka-luka serius
pada individu-individu tertentu;

Universitas Sumatera Utara

(viii)

Pemindahan, secara langsung atau tidak langsung, oleh Pasukan
Pendudukan terhadap sebagian dari penduduk sipilnya sendiri ke
wilayah yang didudukinya, atau deportasi atau pemindahan semua atau
sebagian dari wilayah yang diduduki itu baik di dalam wilayah itu
sendiri maupun ke luar wilayah tersebut;
(ix)
Secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung-gedung yang
digunakan untuk tujuan-tujuan keagamaan, pendidikan, kesenian,
keilmuan atau sosial, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempattempat di mana orang-orang sakit dan terluka dikumpulkan, sejauh
bahwa tempat tersebut bukan objek militer;
(x)
Membuat orang-orang yang berada dalam kekuasaan suatu pihak yang
bermusuhan menjadi sasaran perusakan fisik atau percobaan medis atau
ilmiah dari berbagai jenis yang tidak dapat dibenarkan oleh perawatan
medis, gigi atau rumah sakit dari orang yang bersangkutan ataupun
yang dilakukan tidak demi kepentingannya, dan yang menyebabkan
kematian atau sangat membahayakan kesehatan orang atau orang-orang
tersebut;
(xi)
Membunuh atau melukai secara curang orang-orang yang termasuk
pada bangsa atau angkatan perang lawan;
(xii) Menyatakan bahwa tidak akan diberikan tempat tinggal bagi para
tawanan;
(xiii) Menghancurkan atau merampas hak-milik lawan kecuali kalau
penghancuran atau perampasan tersebut dituntut oleh kebutuhan perang
yang tak dapat dihindarkan;
(xiv) Menyatakan penghapusan,

Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Di Wilayah Ituri Republik Kongo(Studi Kasus Atas Putusan Icc Pada Kejahatan Germain Katanga)

11 111 118

Tinjauan Konvensi Jenewa 1949 Atas Dugaan Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Non Internasional di Suriah

2 80 104

Tanggung Jawab Individu Terhadap Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Di Mali (Studi Kasus Atas Putusan Icc Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad Al Faqi Al Mahdi)

0 0 15

Tanggung Jawab Individu Terhadap Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Di Mali (Studi Kasus Atas Putusan Icc Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad Al Faqi Al Mahdi)

0 1 2

Tanggung Jawab Individu Terhadap Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Di Mali (Studi Kasus Atas Putusan Icc Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad Al Faqi Al Mahdi)

0 0 27

Tanggung Jawab Individu Terhadap Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Di Mali (Studi Kasus Atas Putusan Icc Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad Al Faqi Al Mahdi)

2 3 40

Tanggung Jawab Individu Terhadap Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Di Mali (Studi Kasus Atas Putusan Icc Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad Al Faqi Al Mahdi)

1 6 7

Tanggung Jawab Individu Terhadap Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Di Mali (Studi Kasus Atas Putusan Icc Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad Al Faqi Al Mahdi)

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum internasional, termasuk - Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Di Wilayah Ituri Republik Kongo(Studi Kasus Atas Putusan Icc Pada

0 0 21

Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Di Wilayah Ituri Republik Kongo(Studi Kasus Atas Putusan Icc Pada Kejahatan Germain Katanga)

0 1 10