Kemampuan Fleksibilitas Kepemimpinan Dinas Kesehatan Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Sosial
Paradigma dalam bahasa Inggris paradigma yang berarti model pola.
Friedrichs mengatakan paradigma sebagai pandangan mendasar dari satu disiplin
ilmu tentang apa yang semestinya dipelajari, a fundamental images a dicipline has
of its subject matter. George Ritzer mendefenisikan paradigma adalah, what is the
subject matter of science. Vardiansyah mendefenisikan, paradigma dalam disiplin
intelektual adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan
mempengaruhi dalam berfikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkahlaku
(kognaktif). Dalam Online Dictionary disebutkan, paradigma dapat juga berarti
seperangkat asumsi, konsep, nilai dan praktek yang diterapkan dalam memandang
realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya dalam disiplin intelektual
(Vardiansyah, 2008). Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus
dipelajari, persoalan-persoalan apa yang harus dijawab, bagaimana menjawabnya,
serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi
yang diperlukan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan tersebut.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat dirangkum bahwa, paradigma
adalah suatu kerangka konseptual, termasuk nilai, teknik dan metode yang
disepakati dan digunakan oleh suatu komunitas dalam memahami atau

mempersepsikan segala sesuatu. Dengan demikian fungsi utama dari paradigma
adalah sebagai acuan dalam mengarahkan tindakan baik tindakan sehari-hari
maupun tindakan ilmiah. Sebagai acuan, maka lingkup suatu paradigma
16
Universitas Sumatera Utara

mencakup berbagai asumsi dasar yang berkaitan dengan aspek ontologis,
epistemiologis, dan metodologis. Dengan perkataan lain paradigma dapat
diartikan sebagai cara berfikir atau cara memahami gejala dan fenomena semesta
yang dianut oleh sekelompok masyarakat (world view). Seorang individu / pribadi
dapat mempunyai sebuah cara pandang yang spesifik tetapi cara pandang itu
bukanlah paradigma, karena paradigma harus dianut oleh suatu komunitas.
Kuhn mengemukakan bahwa paradigma ilmu itu amat beragam.
Keragaman paradigma ini pada dasarnya adalah akibat dari perkembangan
pemikiran filsafat yang berbeda-beda sejak zaman Yunani. Sebab sudah dapat
dipastikan bahwa pengetahuan yang didasarkan pada filsafat Rasionalisme akan
berbeda dengan yang didasarkan Empirisme, dan berbeda pula dengan
Positivisme, Marxisme dan seterusnya, karena masing-masing aliran filsafat
tersebut memiliki cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu serta memiliki
ukuran-ukuran sendiri tentang kebenaran. Menurut Ritzer (1985), perbedaan

aliran filsafat yang dijadikan dasar berpikir oleh para ilmuwan akan berakibat
pada perbedaan paradigma yang dianut. Paling tidak terdapat tiga alasan untuk
mendukung asumsi ini; Pertama, pandangan filsafat yang menjadi dasar ilmuwan
untuk menentukan tentang hakikat apa yang harus dipelajari sudah berbeda;
Kedua, pandangan filsafat yang berbeda akan menghasilkan obyek yang berbeda;
Ketiga, karena obyek berbeda, maka metode yang digunakan juga berbeda.
Perbedaan paradigma itu khususnya terjadi dalam keilmuan sosiologi.
Perbedaan itu terjadi pada dimensi obyek kajian atau what is the subject matter of
sociology. Dengan adanya perbedaan pandangan ini, Ritzer menilai bahwa

Universitas Sumatera Utara

sosiologi merupakan ilmu yang mempunyai beberapa paradigma (multiple
paradigm). Setiap paradigma memiliki obyek kajian, teori, metode analisa yang
berbeda. Meskipun masih banyak terjadi perdebatan penggolongan paradigma
dalam ilmu sosiologi, namun menurut Ritzer, secara garis besar ada tiga
paradigma yang mendominasi dalam keilmuan sosiologi, yakni:
2.1.2 Paradigma Fakta Sosial
Paradigma ini merupakan sumbangsih dari pemikiran Durkheim yang
didasarkan atas karyanya The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide

(1897). Paradigma fakta sosial dirintis Durkheim sebagai antitesis atas tesis
Comte dan Herbert Spencer. Comte dan Herbert Spencer berpendapat bahwa
dunia ide adalah pokok bahasan dalam sosiologi. Dengan tegas pendapat ini
ditolak oleh Durkheim. Menurut Durkheim, dunia ide bukanlah obyek riset dalam
sosiologi. Sebab dunia ide itu hanyalah sebagai suatu konsepsi pikiran dan bukan
sesuatu yang dapat dipandang. Bagi Durkheim, pendapat Comte dan Herbert
Spencer ini menjerumuskan sosiologi pada bidang filsafat dan tidak berdiri
sendiri. Padahal sosiologi adalah ilmu yang berdiri sendiri dan lepas dari bidang
filsafat. Berangkat dari kritik ini, akhirnya Durkheim membangun konsep fakta
sosial sebagai dinding pemisah antara obyek kajian sosiologi dengan filsafat.
Durkheim mengklaim bahwa fakta sosial adalah barang yang nyata dan bukanlah
ide. Fakta sosial tidak dapat dipahami melalui kegiatan spekulatif yang dilakukan
dalam pemikiran manusia. Sebaliknya fakta sosial dipahami melalui kegiatan
penyusunan data nyata yang dilakukan di luar pemikiran manusia.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Durkheim, pokok bahasan sosiologi haruslah mengenai studi
fakta sosial. Pembahasan mengenai paradigma fakta sosial terdiri dari struktur
sosial, dan institusi sosial seperti norma-norma, nilai, adat-istiadat, dan segala

aturan yang bersifat memaksa diluar kehendak manusia. Berarti struktur dan
institusi sosial beserta pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan individu
menjadi subject matter sosiologi. Dengan kata lain, para teoritis yang menganut
paradigma fakta sosial memusatkan pada relasi antara struktur sosial dengan
individu, dan relasi institusi sosial dengan individu. Dengan kata lain, pendorong
tindakan individu pada analisis fakta sosial antara struktur dan institusi sosial
bersifat terpisah.
Masyarakat mengontrol individu. Individu harus beradaptasi terhadap
masyarakat setempat sehingga manusia tidak bisa eksis, yang terjadi dalam
masyarakat poko yang menang. Jadi individu atau masyarakat harus dipaksa
terlebih dahulu sehingga akan muncul kesadaran yaitu norma-norma atau aturan.
Pada studi fakta sosial, Durkheim tidak hanya melihat sesuatu dalam
konteks yang nyata (material) saja, melainkan juga berkaitan dengan sesuatu
diluar materi. Untuk mempermudah memahaminya, Durkheim membagi ranah
fakta sosial menjadi dua bentuk, yaitu:
a. Fakta sosial material, yang terdiri dari sesuatu yang dapat dipahami, dilihat
dan diamati. Inti dari fakta sosial material ini adalah sesuatu yang ada
dunia nyata dan bukanlah imajinatif. Misalnya, bentuk bangunan, hukum
dan peraturan.


Universitas Sumatera Utara

b. Fakta sosial non-material, sebenarnya dapat dikatakan suatu ekspresi atau
fenomena yang terkandung dalam din manusia sendiri atas fakta sosial
materialnya, dan ini hanya muncul dalam kesadaran manusia. Misalnya,
moralitas, kesadaran, egoisme, altruisme dan opini.
Dengan demikian, kajian fakta sosial terdiri atas: kelompok, kesatuan
masyarakat tertentu, sistem sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan
sebagainya. Sedangkan teori yang tergabung dalam paradigma ini yaitu, teori
fungsionalisme struktural, teori konflik, teori sistem, dan teori sosiologi makro.
Namun yang dominan dari teori ini yang biasa digunakan oleh para penganut
fakta sosial, yaitu teori fungsionalisme struktural, dan teori konflik. Struktur sosial
menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik serta perbaikanperbaikan dalam masyarakat. Masyarakat berada dalam kondisi statis dan
bergerak dalam kondisi seimbang. Teori konflik dibangun untuk menentang
secara langsung teori sosial. Masyarakat tersebut berada dalam perubahan yang
ditandai pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsurnya.
Secara tegas Durkheim membedakan antara fakta sosial dengan fakta
psikologi, yang berangkat dari asumsi dasarnya mengenai masyarakat sebagai
sistem yang mengikat kehidupan orang-orang dan merupakan lingkungan yang
menguasai segala kehidupan sosial. Fakta psikologi adalah fenomena yang dibawa

manusia sejak lahir, dengan demikian bukan merupakan hasil pergaulan hidup
masyarakat. Fakta sosial tidak dapat diterangkan dengan fakta psikologi, ia hanya
dapat di terangkan dengan fakta sosial, tidak keseluruhan fakta sosial itu
merupakan barang sesuatu yang nyata atau material, sebagian juga berbentuk non

Universitas Sumatera Utara

material misalnya opini, egoisme, yang hanya dapat dinyatakan sebagai barang
sesuatu, tidak dapat diraba, yang hanya ada dalam kesadaran manusia dan dapat
berpengaruh terhadap individu maupun kelompok.
Fakta sosial yang dikemukakan Durkheim juga menjelaskan bahwa
dalam masyarakat terdapat adanya cara bertindak manusia yang umumnya
terdapat pada masyarakat tertentu yang sekaligus memiliki eksistensi sendiri,
dengan cara dan dunianya sendiri terlepas dari manifestasi- manifestasi individu.
Masyarakat secara paling sederhana dipandang oleh Durkheim sebagai kesatuan
integrasi dari fakta-fakta sosial analisa Durkheim terhadap gejala yang terjadi di
dalam masyarakat tidak hanya berhenti sampai disitu. Ia juga mencoba untuk
melihat agama sebagai fakta sosial yang dijelaskannya dengan teorinya tentang
solidaritas sosial dan integrasi masyarakat.
Menurutnya, agama dan masyarakat adalah satu dan sama, agama adalah

cara masyarakat memperlihatkan dalam bentuk fakta sosial non material.Penganut
paradigma ini lebih besar kemungkinannya menggunakan metode interviewkuesioner dan metode perbandingan sejarah ketimbang penganut paradigma lain.
2.1.2 Paradigma Definisi Sosial
Paradigma ini dilandasi analisa Max Weber tentang tindakan sosial
(social action). Perbedaan analisa Weber dengan Durkheim terlihat jelas. Jika
Durkheim memisahkan struktur dan institusi sosial, sebaliknya Weber melihat ini
menjadi satu kesatuan yang membentuk tindakan manusia yang penuh arti atau
makna. Tindakan sosial merupakan tindakan individu yang mempunyai makna
atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain.

Universitas Sumatera Utara

Sebaliknya, tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau obyek fisik
semata tanpa dihubungkan dengan tindakan orang lain bukan suatu tindakan
sosial. Karya Weber membantu menimbulkan minat dikalangan penganut
paradigma ini dalam mempelajari cara atau mendefenisikan situasi sosial mereka,
dan mempelajari pengaruh defenisi sosial terhadap tindakan dan integrasi
berikutnya. Metode observasi adalah metode khusus dalam penelitian penganut
paradigma definisi sosial.
Menurut Weber, mempelajari perkembangan pranata haruslah juga

melihat tindakan manusia. Sebab tindakan manusia merupakan bagian utama dari
kehidupan sosial. Bagi Weber, sosiologi merupakan ilmu yang berusaha
menafsirkan dan memahami tindakan sosial serta berbagai hubungan sosial
sampai kepada penjelasan kausal. Untuk itu, paradigma ini disebut juga sebagai
sosiologi interpretatif. Paradigma definisi sosial didukung oleh beberapa teori,
seperti teori aksi, teori interaksionisme simbolik, teori fenomenologi, teori
etnometodologi dan teori eksistensialisme.
Paradigma ini lahir sebagai respon atas paradigma fakta sosial yang
menganalisis fenomena sosial secara komprehensif. Analisis paradigma ini
menitikberatkan pada tindakan sosial yang dilakukan berdasarkan atas kesadaran
penuh seseorang. Yang dimaksudkan tindakan sosial adalah tindakan yang
dilakukan oleh seseorang yang mengandung makna bagi dirinya sendiri dan
tindakan itu diarahkan pada pihak lain. Tindakan yang diarahkan pada pihak lain
akan mendapatkan respon atau reaksi balik yang berupa tindakan juga.

Universitas Sumatera Utara

Paradigma ini bertolak dari asumsi bahwa manusia mempunyai
kemampuan yang kreatif, inovatif, dan daya selektif yang kuat, sehingga apa yang
diperbuat bersumber dari dalam dirinya. Tindakan seseorang merupakan cerminan

dari dirinya sendiri dan mereka bebas untuk melakukan perbuatan tanpa
terpengaruh oleh sistem atau struktur sosial di luar dirinya. Diri manusia
merupakan sumber inspirasi terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat
dan tanpa ada sifat-sifat itu tidak akan ada perubahan dalam peradaban manusia.
Jadi menurut paradigma ini, system atau struktur di luar diri manusia tidak
mempunyai kemampuan mempengaruhi potensi dalam diri manusia. Tokoh utama
paradigma ini adalah Max Weber yang telah melahirkan teori Aksi Sosial atau
social action.
Menurut paradigma ini, dalam mengamati tindakan sosial diperlukan
pemahaman atau penafsiran dari tindakan sosial tersebut. Karena itu yang menjadi
perhatian paradigma ini adalah usaha mengungkap apa yang menjadi perhatian
paradigma ini adalah usaha mengungkap apa yang menjadi keinginan dari si aktor
dalam melakukan suatu tindakan dan mengapa ia melakukan tindakan itu.
Sehubungan dengan itu Weber menggunakan istilah verstehen atau interpretative
understanding, yaitu suatu konsep untuk memahami makna sedalam-dalamnya
dari fenomena yang muncul atas tindakan sosial manusia.
Untuk mendapatkan makna dari suatu tindakan sosial, seorang peneliti
harus menempatkan dirinya seolah-olah sebagai actor atau pelaku. Tanpa
mengambil peran seperti itu kemungkinan besar ia sulit mengungkap motif dari
suatu tindakan sosial. Selain itu, peneliti juga harus berupaya memberikan


Universitas Sumatera Utara

interpretasi terhadap tindakan sosial itu sesuai dengan maksud dan tujuan pelaku
atas tindakannya itu.
Tindakan sosial itu adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu
mempunyai makna atau arti subyektif

bagi dirinya dan di arahkan kepada

tindakan orang lain. Sebaliknya tindakan individu yang diarahkan kepada benda
mati atau obyek fisik semata tanpa di hubungkannya dengan tindakan orang lain
bukan merupakan tindakan sosial. Tindakan seorang melempar batu ke sungai itu
bukan tindakan sosial. Tapi tindakan tersebut dapat berubah menjadi tindakan
sosial kalau dengan melemparkan batu tersebut di maksudkannya untuk
menimbulkan reaksi dari orang lain seperti mengganggu seseorang yang sedang
memancing.
Paradigma definisi sosial dikemukakan oleh Weber sebagai studi tentang
tindakan sosial antar hubungan sosial, maksud dari tindakan sosial yakni tindakan
individu yang mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan

kepada orang lain. Sebaliknya tindakan individu yang diarahkan kepada benda
mati atau objek fisik semata tanpa ada hubungan dengan orang lain bukan
merupakan tindakan sosial. Tindakan sosial yang memaknai suatu tindakan
individu tersebut kemudian diarahkan kepada orang lain. Manusia diposisikan
sebagai pelaku yang bebas dan bertanggung jawab, dengan perkataan lain aksi dan
interaksi sosial terjadi karena kemauan manusia itu sendiri. Ada tiga teori dari
paradigma defenisi sosial

yakni teori aksi, teori interaksionisme dan

fenomenologi. Ketiganya mempunyai pandangan bahwa manusia adalah aktor
yang kreatif dari realita sosial. Realita sosial bukan alat yang statis yang

Universitas Sumatera Utara

dipaksakan sepenuhnya oleh fakta sosial, tidak sepenuhnya ditentukan oleh
norma-norma dan nilai yang ada dalam masyarakat.
Bertolak dari konsep dasar tentang tindakan sosial dan antar hubungan
sosial sosial itu Weber mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi sasaran
penelitian sosiologi yaitu :
1. Tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang subyektif.
Ini meliputi berbagai tindakan nyata.
2. Tindakan nyata dan yang bersifat, membatin sepenuhnya dan bersifat
subyektif.
3. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang
sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam.
4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang
lain itu.
Untuk mempelajari tindakan sosial itu Weber menganjurkan melalui
penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding), atau menurut
terminology Weber disebut dengan verstehen. Bila seseorang hanya berusaha
meneliti perilaku (behavior) saja, dia tidak akan meyakini bahwa perbuatan itu
mempunyai arti subyektif dan diarahkan kepada orang lain. Maka yang perlu
dipahami adalah motif dari tindakan tersebut. Menurut Weber ada 2 cara
memahami motif tindakan yaitu: 1) kesungguhan, 2) mengenangkan dan
menyelami pengalaman si aktor. Peneliti menempatkan dirinya dalam posisi si
aktor serta mencoba memahami sesuatu yang dipahami si aktor. Atas dasar

Universitas Sumatera Utara

rasionalitas tindakan sosial, Weber membedakannya dalam empat tipe, dimana
semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah dipahami, empat tipe itu
adalah :
a. Zwerk rational, yakni tindakan sosial murni. Dalam tindakan ini aktor
tidak hanya sekedar menilai cara yang terbaik untuk mencapai
tujuannya tapi juga menentukan nilai dari tujuan itu sendiri.
b. Werktrational action, dalam tindakan tipe ini aktor tidak dapat
menilai apakah cara-cara yang dipilihnya itu merupakan yang paling
tepat untuk mencapai tujuan yang lain. Dalam tindakan ini memang
antara tujuan dan cara-cara mencapainya cenderung menjadi sukar
untuk dibedakan, namun tindakan ini rasional karena pilihan terhadap
cara-cara sudah menentukan tujuan yang diinginkan.
c. Affectual action, adalah tindakan yang dibuat-buat, dipengaruhi oleh
perasaan emosi dan kepura-puraan si aktor. Tindakan ini sukar
dipahami kurang atau tidak rasional.
d. Traditional action, tindakan yang didasarkan atas kebiasaankebiasaan dalam mengerjakan sesuatu di masa lalu saja.
Kedua tipe tindakan yang terakhir sering hanya merupakan tanggapan
secara otomatis terhadap rangsangan dari luar. Karena itu tidak termasuk dalam
jenis tindakan yang penuh arti yang menjadi sasaran penelitian sosiologi.
Konsep kedua dari Weber adalah konsep tentang antar hubungan sosial
(social relationship). Hubungan sosial didefinsikan sebagai tindakan yang
beberapa orang aktor yang berbeda-beda, sejauh tindakan itu mengandung makna

Universitas Sumatera Utara

dan dihubungkan serta diarahkan kepada tindakan orang lain. Tidak semua
kehidupan kolektif memenuhi syarat sebagai antar hubungan sosial, dimana tidak
ada saling penyesuaian (mutual orientation) antara orang yang satu dengan yang
lain meskipun ada sekumpulan orang yang diketemukan bersamaan.
Ada tiga teori yang termasuk ke dalam paradigma definisi sosial ini,
yakni: Teori aksi (action theory), teori interaksionisme simbolik (symbolic
interactionism) dan teori fhenomenologi (fhenomenology). Ketiga teori ini
mempunyai kesamaan ide dasarnya yang berpandangan bahwa manusia adalah
aktor yang aktif dan kreatif dari realitas sosialnya. Artinya tindakan manusia tidak
sepenuhnya ditentukan norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan
sebagainya yang kesemuanya itu tercakup dalam fakta sosial. Manusia
mempunyai cukup banyak kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol dari
fakta sosial.
Di sini pula terletak perbedaan yang sebenarnya antara paradigma
definisi sosial dengan paradigma fakta sosial. Paradigma fakta sosial menganggap
bahwa perilaku manusia dikontrol oleh berbagai norma, nilai-nilai serta sekian
alat pengendalian sosial lainnya. Sedangkan paradigma perilaku sosial (social
behavior) adalah bahwa yang terakhir ini melihat tingkahlaku manusia senantiasa
dikendalikan oleh kemungkinan penggunaan kekuasaan atau kemungkinan
penggunaaan kekuatan (re-enforcement).
Masyarakat sebagai sebuah struktur sosial terdiri atas jaringan hubungan
sosial yang kompleks antara anggota-anggotanya. Satu hubungan sosial antara dua
orang anggota tertentu pada suatu waktu tertentu, di tempat tertentu, tidak

Universitas Sumatera Utara

dipandang sebagai satu hubungan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian
dari satu jaringan hubungan sosial yang lebih luas, yang melibatkan keseluruhan
anggota masyarakat tersebut. Hubungan kedua orang di atas harus dilihat sebagai
bagian dari satu struktur sosial. Inilah prinsip dan objek kajian ilmu sosial,
menurut RB. Individu-individu yang menjadi komponen dari sebuah struktur
sosial bukanlah dilihat dari sudut biologis, yaitu yang terdiri dari sel-sel dan
cairan, tetapi sebagai person yang menduduki posisi, atau status, di dalam struktur
sosial tersebut. (G.Ritzer, 1985)
Penganut paradigma Definisi Sosial cenderung menggunakan metode
observasi dalam penelitian mereka. Alasannya adalah untuk dapat memahami
realitas intrasubjective dan intersubjective dari tindakan sosial dan interaksi sosial.
Namun kelemahan teknik observasi adalah ketika kehadiran peneliti di tengahtengah kelompok yang diselidiki akan mempengaruhi tingkah laku subyek yang
diselidiki itu. Lagi pula tidak semua tingkah laku dapat diamati, seperti tingkah
laku seksual misalnya.
2.1.2.1 Teori Aksi (Action Theory)
Beberapa asumsi dasar fundamental dari Teori Aksi dikemukakan Hinkle
dengan merujuk karya Mac Iver, Znaniecki dan Parson sebagai berikut:
a. Tidakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek
dan dari situasi ekternal dalam posisinya sebagai obyek.
b. Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu, jadi tindakan manusia bukan tanpa tujuan.

Universitas Sumatera Utara

c. Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik, prosedur,
metode serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai
tujuan tersebut.
d. Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tak
dapat diubah dengan sendirinya.
e. Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang
akan, sedang dan yang telah dilakukannya.
f. Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan
timbul pada saat pengambilan keputusan.
g. Studi mengenai antar hubungan sosial memerlukan pemakaian teknik
penemuan yang bersifat subjektif seperti metode verstehen, imajinasi,
sympathetic reconstruction atau seakan-akan mengalami sendiri
(vicarious experience).
Kesimpulan utama yang dapat diambil adalah bahwa tindakan sosial
merupakan suatu proses dimana aktor terlibat dalam pengambilan keputusankeputusan subyektif tentang sarana dan cara untuk mencapai tujuan tertentu yang
telah dipilih, yang kesemua itu dibatasi kemungkinan-kemungkinannya oleh
sistem kebudayaan dalam bentuk norma-norma, ide-ide dan nilai-nilai sosial. Di
dalam menghadapi yang bersifat kendala baginya itu, aktor mempunyai sesuatu di
dalam dirinya berupa kemauan bebas.
2.1.2.2 Teori Interaksionisme Simbolik
Interaksi simbolik berakar dan berfokus pada hakekat manusia sebagai
makhluk relasional. Manusia muncul dari dalam dan melalui interaksi global dan

Universitas Sumatera Utara

luar dirinya. Interaksi itu membutuhkan simbol-simbol tertentu dan simbol itu
biasanya disepakati dalam sekala kecil maupun skala besar, misalnya bahasa,
tulisan, dan simbol-simbol lain yang bersifat dinamis dan unik. Interaksi simbolik
mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia.
Bagi perspektif ini, individu bersikaf aktif, reflektif, dan kreatif, menafsirkan,
menampilkan perilaku yang unik dan sulit diramalkan. (Mulyana, 2009).
Interaksionisme simbolik membedakan antara interaksi adalah organisme
pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan atau struktur sosial dan luar
dirinya oleh karena itu teori berkembang melalui interaksi. Jadi interaksilah yang
dianggap merupakan variabel yang penting dalam menentukan perilaku manusia,
bukan struktur masyarakat.
Interaksionisme simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang
berusaha

mengungkapkan

realitas

perilaku

manusia.

Falsafah

dasar

interaksionisme simbolik adalah fenomenologi. Namun, dibanding penelitian
naturalistik dan etnografi yang juga memanfaatkan fenomenologi, interaksionisme
simbolik memiliki paradigma penelitian tersendiri. Model penelitian ini pun mulai
bergeser dan awalnya jika semula lebih mendasarkan pada interaksi kultural antar
personal, sekarang telah berhubungan dengan aspek masyarakat dan atau
kelompok, karena itu bukan mustahil kalau awalnya lebih banyak dimanfaatkan
oleh penelitian sosial, namun selanjutnya juga diminati oleh peneliti budaya.
Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami budaya lewat perilaku
manusia yang terpantul dalam komunikasi. Interaksi simbolik lebih menekankan
pada makna interaksi budaya sebuah komunitas. Makna esensial akan tercermin

Universitas Sumatera Utara

melalui komunikasi budaya antar warga setempat. Pada saat berkomunikasi jelas
banyak menampilkan simbol yang bermakna, karenanya tugas peneliti
menemukan makna tersebut.
Hal ini tercermin dari gagasan tokoh sentral teori ini yakni G.H. Mead
yang bermaksud untuk membedakan teori interaksionisme simbolik dengan teori
behavioralisme radikal. Behaviorisme Radikal berpendirian bahwa perilaku
individu adalah sesuatu yang dapat diamati. Mempelajari tinglahlaku (behavior)
manusia secara obyektif dari luar. Penganut behaviorisme cenderung melihat
perilaku manusia itu seperti perilaku binatang dalam arti hanya semata-mata
merupakan hasil rangsangan dari luar.
Menurut Mead, Interaksionisme Simbolik mempelajari tindakan sosial
dengan mempergunakan teknik intropeksi untuk dapat mengetahui sesuatu yang
melatar belakangi tindakan sosial dari sudut aktor dengan pengggunaan bahasa
serta kemampuan belajar yang tidak dimiliki oleh binatang. Menurut teori
Interaksionisme Simbolik, fakta sosial bukanlah sesuatu yang mengendalikan dan
memaksa tindakan manusia. Fakta sosial ditempatkan dalam kerangka simbolsimbol interaksi manusia. Teori ini menolak pandangan paradigma fakta sosial
dan paradigma perilaku sosial (social behavior) yang tidak mengakui arti penting
kedudukan individu. Padahal kenyataannya manusia mampu menciptakan
dunianya sendiri. Ketika teori aksi berhenti di tengah jalan baik secara teoritis
maupun empiris, kalau di lihat dari segi intensitas aplikasi teorinya, maka dalam
keadan kosong itu muncul suatu perspektif baru yang kemudian menjadi kekuatan
utama ilmu sosiologi. Perspektif yang di maksud adalah interaksionisme simbolik.

Universitas Sumatera Utara

Teori ini menolak pandangan paradigma fakta sosial dan paradigma perilaku
sosial dengan alasan yang sama. Keduanya tidak mengakui arti penting
kedudukan individu. Bagi paradigma fakta sosial individu di pandangnya sebaagai
orang yang terlalu mudah di kendalikan oleh kekuatan yang berasal dan luar
dirinya seperti kultur, norma dan peranan-peranan sosial. Sehingga pandangan ini
cenderung mengingkari kenyataan bahwa manusia mempunyai kepribadian
sendiri sedangkan paradigma perilaku sosial melihat tingkah laku manusia
semata- mata di tentukan oleh suatu rangsangan yang datang dari luar dirinya.
Kenyataan bahwa manusia mampu menciptakan dunianya sendiri, di ingkari oleh
kedua paradigma itu. Oleh karena itu mengikuti jalan pikiran penganut
interaksionisme simbolik, pernyataan-pernyataan individu merupakan sebuah
fakta ilmiah.
Teori interaksionisme-simbolik dikembangkan oleh kelompok The
Chicago School dengan tokoh-tokohnya seperti Goerge H.Mead dan Herbert
Blummer. Awal perkembangan interaksionisme simbolik dapat dibagi menjadi
dua aliran/ mahzab yaitu aliran/mahzab Chicago, yang dipelopori oleh oleh
Herbert Blumer, melanjutkan penelitian yang dilakukan George Herbert Mead.
Blumer meyakini bahwa studi manusia tidak bisa diselenggarakan di dalam cara
yang sama dari ketika studi tentang benda mati. Peneliti perlu mencoba empati
dengan pokok materi, masuk pengalamannya, dan usaha untuk memahami nilai
dari tiap orang. Blumer dan pengikutnya menghindarkan kwantitatif dan
pendekatan ilmiah dan menekankan riwayat hidup, autobiografi, studi kasus, buku
harian, surat, dan nondirective interviews. Blumer terutama sekali menekankan

Universitas Sumatera Utara

pentingnya pengamatan peserta di dalam studi komunikasi. Lebih lanjut, tradisi
Chicago melihat orang-orang sebagai kreatif, inovatif, dalam situasi yang tak
dapat diramalkan. masyarakat dan diri dipandang sebagai proses, yang bukan
struktur untuk membekukan proses adalah untuk menghilangkan intisari
hubungan sosial. Menurut H. Blumer teori ini berpijak pada premis bahwa (1)
manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada "sesuatu"
itu bagi mereka, (2) makna tersebut berasal atau muncul dari "interaksi sosial
seseorang dengan orang lain", dan (3) makna tersebut disempurnakan melalui
proses penafsiran pada saat "proses interaksi sosial" berlangsung. "Sesuatu" - alihalih disebut "objek" ini tidak mempunyai makna yang intriksik. Sebab, makna
yang dikenakan pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis.
Bagi H. Blumer, "sesuatu" itu - biasa diistilahkan "realitas sosial" - bisa
berupa fenomena alam, fenomena artifisial, tindakan seseorang baik verbal
maupun nonverbal, dan apa saja yang patut "dimaknakan". Sebagai realitas sosial,
hubungan "sesuatu" dan "makna" ini tidak inheren, tetapi volunteristrik. Sebab,
kata Blumer sebelum memberikan makna atas sesuatu, terlebih dahulu aktor
melakukan

serangkaian

kegiatan

olah

mental:

memilih,

memeriksa,

mengelompokkan, membandingkan, memprediksi, dan mentransformasi makna
dalam kaitannya dengan situasi, posisi, dan arah tindakannya. Dengan demikian,
pemberian makna ini tidak didasarkan pada makna normatif, yang telah dibakukan
sebelumnya, tetapi hasil dari proses olah mental yang terus-menerus
disempurnakan seiring dengan fungsi instrumentalnya, yaitu sebagai pengarahan
dan pembentukan tindakan dan sikap aktor atas sesuatu tersebut. Dari sini jelas

Universitas Sumatera Utara

bahwa tindakan manusia tidak disebabkan oleh "kekuatan luar" (sebagaimana
yang dimaksudkan kaum fungsionalis struktural), tidak pula disebabkan oleh
"kekuatan dalam" (sebagaimana yang dimaksud oleh kaum reduksionis
psikologis) tetapi didasarkan pada pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya
lewat proses yang oleh Blumer disebut self-indication. Menurut Blumer proses
self-indication adalah proses komunikasi pada din individu yang dimulai dari
mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk
bertindak berdasarkan makna tersebut. Dengan demikian, proses self-indication
ini terjadi dalam konteks sosial di mana individu mengantisipasi tindakantindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia memaknakan
tindakan itu.
Interaksi simbolik, menurut Herbert Blumer, merujuk pada... "karakter
interaksi khusus yang berlangsung antar manusia." Aktor tidak semata-mata
bereaksi terhadap tindakan yang lain tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan
setiap tindakan orang lain. Respon aktor baik secara langsung maupun tidak
langsung, selalu didasarkan atas makna penilaian tersebut. Oleh karenanya,
interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran atau
dengan menemukan makna tindakan orang lain. Dalam konteks itu, menurut
Blumer, aktor akan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokan, dan
mentransformasikan makna dalam kaitannya dengan situasi di mana dan ke arah
mana tindakannya.
Teori interaksionisme simbolik sangat menekankan arti pentingnya
"proses mental" atau proses berpikir bagi manusia sebelum mereka bertindak.

Universitas Sumatera Utara

Tindakan manusia itu sama sekali bukan stimulus - respon, melainkan stimulus proses berpikir - respons. Jadi, terdapat variabel antara atau variabel yang
menjembatani antara stimulus dengan respon, yaitu proses mental atau proses
berpikir, yang tidak lain adalah interpretasi. Teori interaksionisme simbolik
memandang bahwa arti/makna muncul dari proses interaksi sosial yang telah
dilakukan. Arti dari sebuah benda tumbuh dari cara-cara dimana orang lain
bersikap terhadap orang tersebut.
Teori interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang
merupakan kegiatan sosial dinamis sosial manusia. Bagi perspektif ini, individu
bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit
dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah
organisme pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan struktur
yang ada di luar dirinya. Interaksilah yang dianggap variabel penting yang
menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat.
Esensi interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan
ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.
Perspektif ini berupaya untuk memahami perilaku manusia dari sudut pandang
subjek. Teori ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai
proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka
dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi
mereka. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka
atas objek-objek di sekeliling mereka. Dalam pandangan perspektif ini,
sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah

Universitas Sumatera Utara

yang menciptakan dan menegakan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang
menciptakan dan menegakan kehidupan kelompok.
Menurut teoritisi perspektif ini, kehidupan sosial adalah "interaksi
manusia dengan menggunakan simbol-simbol." Penganut interaksionisme
simbolik berpandangan, perilaku manusia adalah produk dari interpretasi mereka
atas dunia di sekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari
atau ditentukan, sebagaimana dianut teori behavioristik atau teori struktural.
Di dalam bukunya yang amat terkenal, yaitu "Symbolic Interactionism;
Perspective, and Method" Herbert Blumer (1969), menegaskan bahwa ada tiga
asumsi yang mendasari tindakan manusia. Tiga asumsi tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Human being act toward things on the basic of the meaning that the things
have for them;
2) The meaning of the things arises out of the social interaction one with one's
fellow;
3) The meaning of things are handled in and modified through an interpretative
process used by the person in dealing with the thing he encounters.
Premis pertama sampai ketiga itu mempunyai pengertian seperti ini.
Pertama, bahwa manusia itu bertindak terhadap sesuatu (apakah itu benda,
kejadian, maupun fenomena tertentu) atas makna yang dimiliki oleh benda,
kejadian, atau fenomena itu bagi mereka. Individu merespon suatu situasi
simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek
sosial (perilaku manusia) berdasarkan makna yang dikandung komponen tersebut
bagi mereka.
Kedua, makna tadi diberikan oleh manusia sebagai hasil interaksi dengan
sesamanya. Jadi, makna tadi tidak inherent, tidak terlekat pada benda ataupun

Universitas Sumatera Utara

fenomenanya itu sendiri, melainkan tergantung pada orang-orang yang terlibat
dalam interaksi itu. Makna dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Negosiasi
itu dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya
objek fisik, tindakan, atau peristiwa (bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan,
atau peristiwa itu) namun juga gagasan yang abstrak. Akan tetapi, nama atau
simbol yang digunakan untuk menandai objek, tindakan, peristiwa, atau gagasan
itu bersifat arbitrer (sembarang). Melalui penggunaan simbol itulah manusia
dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang dunia.
Ketiga, makna tadi ditangani dan dimodifikasi melalui proses interpretasi
dalam

rangka

menghadapi

fenomena

tertentu

lainnya.

Makna

yang

diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan
perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Perubahan interpretasi
dimungkinkan

karena

individu

dapat

melakukan

proses

mental,

yakni

berkomunikasi dengan dirinya sendiri.
Kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan
komunikasi antar individual dan antar kelompok dengan menggunakan simbolsimbol yang di pahami maknanya melalui proses belajar. Tindakan seseorang
dalam proses interaksi itu bukan semata-mata merupakan suatu tanggapan yang
bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya atau dari luar
dirinya. Tetapi tindakan itu merupakan hasil dari pada proses interpretasi terhadap
stimulus, jadi merupakan hasil proses belajar, dalam arti memahami simbolsimbol, dan saling menyesuaikan makna dari simbol-simbol itu. Meskipun normanorma, nilai- nilai sosial dan makna dari simbol-simbol itu memberikan

Universitas Sumatera Utara

pembatasan terhadap tindakannya, namun dengan kemampuan berfikir yang
dimilikinya manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan
tujuan- tujuan yang hendak di capainya.
Beberapa asumsi teori Interaksionisme Simbolik menurut Blumer (1997):
a. Manusia hidup dalam suatu lingkungan simbol-simbol. Manusia memberikan
tanggapan terhadap simbol-simbol melalui proses belajar dan bergaul dalam
masyarakat. Kemampuan manusia berkomunikasi, belajar, serta memahami
simbol-simbol itu merupakan kemampuan yang membedakan manusia dengan
binatang.
b. Melalui simbol-simbol manusia berkemampaun menstimulir orang lain
dengan cara yang mungkin berbeda dari stimuli yang diterimanya dari orang
lain.
c. Melalui komunikasi simbol-simbol dapat dipelajari sejumlah besar arti dan
nilai-nilai, dan karena itu dapat dipelajari cara-cara tindakan orang lain.
d. Terdapat satuan-satuan kelompok yang mempunyai simbol-simbol yang sama
atau akan ada simbol kelompok.
e. Berfikir merupakan proses pencarian kemungkinan yang bersifat simbolis dan
untuk mempelajari tindakan-tindakan yang akan datang, menaksir keuntungan
dan kerugian relativ menurut individual, di mana satu diantaranya dipilih
untuk dilakukan. Kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi
dan komunikasi antar individu dan antar kelompok dengan menggunakan
simbol-simbol yang dipahaminya melalui proses belajar.
Penganut interaksi simbolik berpandangan, perilaku manusia pada

Universitas Sumatera Utara

dasarnya adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka,
jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana
dianut oleh teori behavioristik atau teori struktural. Perilaku dipilih sebagai hal
yang layak dilakukan berdasarkan cara individu mendefinisikan situasi yang ada.
Orang mampu melakukan modifikasi atau mengubah makna dan simbol yang
mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka
atas situasi.
Secara ringkas interaksi simbolik didasarkan pada premis-premis
tersebut:
1. Individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan,
termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan
makna yang dikandung, komponen-komponen lingkungan tersebut bagi
mereka. Ketika mereka menghadapi suatu situasi, respon mereka tidak bersifat
mekanis. Tidak pula ditentukan oleh faktor-faktor eksternal. Respon mereka
bergantung pada bagaimana mereka mendefenisikan situasi yang dihadapi
dalam interaksi sosial. Jadi individulah yang dipandang aktif untuk
menentukan lingkungan mereka sendiri.
2. Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada
objek, melainkan dinegoisasikan melalui pengguna bahasa. Negoisasi itu
dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya
objek fisik tindakan atau peristiwa (bahkan tanpa kehadiran objek fisik,
tindakan atau peristiwa itu). Namun juga gagasan yang abstrak.

Universitas Sumatera Utara

3. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu kewaktu
sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.
Perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses
mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Manusia membayangkan
atau merencanakan apa yang akan mereka lakukan (Mulyana, 2008).
Menurut Blumer (1997) ada beberapa premis interaksionisme simbolik
yang yang perlu dipahami peneliti sosial (budaya), yaitu sebagai berikut: pertama:
manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan kepada mereka.
Dalam suatu kerumunan yang memiliki simbol yang bermakna khusus. Kedua:
dasar interaksionisme simbolik adalah makna yang berasal dari, atau muncul dari
interaksi sosial seseorang dengan orang lain. Kebudayaan sebagai suatu sistem
makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan, dan
didefenisikan dalam konteks orang yang berinteraksi. Ketiga: dari interaksionisme
simbolik, makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang
digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dihadapi.
Disamping tiga premis tersebut, Muhajir (2000) menambahkan tujuh lagi
proposisi yakni pertama: perilaku manusia itu mempunyai makna dibalik yang
menggejala. Kedua: pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumbernya kedalam
interaksi sosial. Ketiga, komunitas manusia itu merupakan proses yang
berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier dan tidak terduga. Keempat,
pemaknaan berlaku menurut penafsiran fenomenologi, yaitu sejalan dengan
tujuan, maksud, dan bukan berdasarkan mekanik. Kelima, konsep mental manusia
berkembang secara dialektik.

Universitas Sumatera Utara

Keenam, perilaku manusia itu wajar, konstruktif, dan kreatif, bukan
elementer-reaktif. Ketujuh, perlu menggunakan metode introspeksi simpatetik,
menekankan pendekatan intuitif untuk menangkap makna.
Melalui premis dan proporsi dasar diatas, muncul tujuh prinsip
interaksionisme simbolik, yaitu :
1. Simbol dan interaksi menyatu. Karena itu tidak cukup seorang
peneliti hanya merekam fakta, melainkan harus sampai pada konteks.
2. Karena simbol bersifat personal diperlukan pemahaman tentang jati
diri pribadi subjek penelitian.
3. Peneliti sekaligus mengkaitkan antara simbol pribadi dengan
komunitas budaya yang mengitarinya.
4. Perlu direkam situasi yang melukiskan simbol.
5. Metode perlu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya.
6. Perlu menangkap makna dibalik fenomena.
7. Ketika memasuki lapangan, sekedar mengarahkan pemikiran subjek,
akan lebih baik.
Memang harus disadari bahwa interaksionis simbolik tetap memiliki
berbagai kelemahan dasar. Antara lain, seringkali model penelitian ini kurang
memperhatikan masalah emosi dan gerak bawah sadar manusia dalam interaksi
interaksionisme simbolik lebih memahami hal-hal yang konkret dalam interaksi
dan ditafsirkan, padahal di balik jiwa manusia terdapat gelombang besar yang
kadang-kadang tidak nampak. Namun demikian, interaksionis simbolik tetap
memiliki kekuatan empiris yang patut dipuji. Di samping itu, melalui pemaknaan

Universitas Sumatera Utara

simbol berdasarkan interkasi, berarti penafsiran selalu berada pada konteksnya.
Menurut Ritzer, kesimpulan utama yang perlu diambil dari substansi
teori interaksionisme simbolik adalah sebagai berikut. Kehidupan bermasyarakat
itu terbentuk melalui proses komunikasi dan interaksi antar individu dan antara
kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui
proses belajar. Tindakan seseorang dalam proses interaksi itu bukan semata-mata
merupakan suatu tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang
dari lingkungannya atau dari luar dirinya, melainkan dari hasil sebuah proses
interpretasi terhadap stimulus. Jadi jelas, bahwa hal ini merupakan hasil proses
belajar, dalam arti memahami simbol-simbol, dan saling menyesuaikan makna
dari simbol-simbol tersebut. Meskipun norma-norma, nilai-nilai sosial dan makna
dari simbol-simbol itu memberikan pembatasan terhadap tindakannya, namun
dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya, manusia mempunyai kebebasan
untuk menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya.
Singkatnya, bahwa symbolic interactionist (para pengikut teori interaksionisme
simbolik) memberi dasar penalaran bahwa, there is a 'minding process that
interveness between stimulus and response. It is this mental process, and not
simply the stimulus, that determines how a man will react (Ritzer, 1980).
Sebenarnya, dalam pandangan mereka, Interaksi Simbolik lebih
dipengaruhi oleh pendekatan nominalis dan bahkan tidak konsisten dengan
realisme filosofis. Pemikiran nominalis adalah bahwa meskipun fenomena levelmakro itu ada, mereka tidak memiliki “efek yang independen dan menentukan
atas kesadaran dan atas perilaku individu”. Lebih tepatnya lagi, pandangan itu,

Universitas Sumatera Utara

“Memahami individu sendiri sebagai agen yang secara eksistensi bebas yang bisa
menerima,menolak, memodifikasi, atau sebaliknya,‘menegaskan’ norma, peran,
kepercayaan masyarakat, dan sebagainya, sesuai dengan kepentingan dan rencana
mereka sendiri pada waktu itu”. Sebaliknya, dalam pandangan realisme sosial,
lebih menekankan pada masyarakat dan bagaimana itu bisa membentuk dan
mengendalikan proses mental individu. Lebih tepatnya mungkin sebagai agen
bebas; para pelaku sadar bahwa perilaku mereka dikendalikan oleh komunitas
yang lebih luas. (Ahmadi, 2005 : 303)
2.1.2.3 Teori Fenomenologi (Phenomenological Sociology)
Persoalan pokok yang hendak yang diterangkan oleh teori ini justru
menyangkut persoalan pokok ilmu sosial sendiri, yakni bagaimana kehidupan
bermasyarakat itu dapat terbentuk. Ada empat unsur pokok dari teori
fenomenologi yaitu :
a. Perhatian terhadap aktor dengan memahami makna tindakan aktor
yang ditujukan kepada dirinya sendiri.
b. Memusatkan perhatian kepada kenyataan yang penting atau pokok
dan kepada sikap. yang wajar atau alamiah (natural attitude). Teori
ini jelas bukan bermaksud fakta sosial secara langsung. Tetapi proses
terbentuknya fakta sosial itulah yang menjadi pusat perhatiannya.
Artinya bagaimana individu ikut serta dalam proses pembentukan dan
pemeliharaan fakta-fakta sosial yang memaksa mereka itu.
c. Memusatkan

perhatian

kepada

masalah

makro.

Maksudnya

mempelajari proses pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial

Universitas Sumatera Utara

pada tingkat interaksi tatap muka untuk memahaminya dalam
hubungannya dengan situasi tertentu.
d. Memperhatikan pertumbuhan, perubahan dan proses tindakan.
Berusaha memahami bagaimana keteraturan dalam masyarakat
diciptakan dan dipelihara dalam pergaulan sehari-hari. Norma-norma
dan aturan-aturan yang mengendalikan tindakan manusia dan yang
memantapkan struktur sosial dinilai sebagai hasil interpretasi si aktor
terhadap kejadian-kejadian yang dialaminya.
2.1.2.4 Etnometodologi
Istilah etnometodologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti "metode"
yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari.
"Kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat dan rangkaian prosedur
dan pertimbangan (metode) yang dengannya masyarakat bisa dapat memahami,
mencari tahu, dan betindak berdasarkan situasi dimana mereka menemukan diri
mereka sendiri." ( Blumer 1997)
Etnometodologi memusatkan perhatian pada kehidupan sehari-hari.
Etnometodologi sebagai realitas objektif yang terdapat fakta sosial didalamnya.
Etnometodologi mencari capaian praktis yang dihasilkan pada tingkat lokal dan
endogen. Hal ini, dapat diorganisasikan secara ilmiah, dilaporkan secara reflektif,
berkesinambungan, pencapaian praktis, selalu, hanya, pasti dan menyeluruh, tanpa
henti dan tanpa peluang menghindar, melampaui, atau menunda.
Para aktornya menekankan pada analisis maupun cara yang diberikan dan
diterima (atau di tolak) oleh orang lain. Dalam menganalisis penjelasan para pakar

Universitas Sumatera Utara

etnometodologi menganut pendirian ketak acuhan etno metodologis. Artinya,
mereka tidak menilai sifat dasar penjelasan, tetapi lebih menganalisis penjelasan
itu dilihat dari sudut pandang bagaimana cara penjelasan itu digunakan dalam
tindakan praktis. Mereka memperhatikan penjelasan dan metode yang digunakan
pembicara dan pendengar untuk mengajukan, memahami dan menerima atau
menolak penjelasan.

2.2 Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan kemampuan memengaruhi suatu kelompok
kearah tercapainya sasaran.Seorang pemimpin akan diakui manakala berhasil
memengaruhi dan mampu mengarahkan bawahannya untuk mencapai tujuan
organisasi. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pemimpin memiliki tiga pola
dasar gaya kepemimpinan, yaitu mementingkan pelaksanaan tugas, mementingkan
hubungan kerjasama, dan mementingkan hasil yang dapat dicapai (Rivai, 2004).
Kepemimpinan

juga

dibatasi

sebagai

proses

mengarahkan

dan

memengaruhi aktivitas-aktivitas tentang pekerjaan anggota kelompok. Implikasi
penting dalam hal ini ialah kepemimpinan melibatkan pendistribusian kekuasaan
pemimpin dengan anggota secara seimbang karena anggota bukanlah tanpa daya
dan adanya kemampuan menggunakan bentuk kekuasaan yang berbeda dalam
memengaruhi tingkah laku pengikutnya melalui berbagai cara (Bambang, 2012).
Menurut Bass (1997), kepemimpinan menyangkut hal-hal untuk mengatasi
perubahan yang tidak dikehendaki dalam organisasi. Pemimpin menetapkan arah
dengan mengembangkan suatu visi tentang masa depan, mengkomunikasikannya
kepada setiap orang, dan mengilhami orang-orang dalam mengatasi segala

Universitas Sumatera Utara

rintangan. Perilaku pemimpin yang istimewa ialah (1) kemampuan memberi
inspirasi bersama (inspirational motivation),yaitu memberi gambaran ke masa
depan dan membantu orang lain dan (2) kemampuan membuat pemecahan
(idealized influence), yaitu memberi keteladanan dan merencanakan keberhasilankeberhasilan kecil. Semuanya untuk memahami transformational leadership,
yaitu pemimpin mentransformasikan bawahan melalui caraidealized influence,
inspirational motivation, intelectual stimulation, dan individualized consideration.
Menurut Terry (1999) berpendapat bahwa seorang pemimpin ditingkat
individu terlibat dalam pemberian nasihat, bimbingan inspirasi, dan pemberian
motivasi kepada bawahan. Pemimpin membangun tim, menciptakan kesatuan dan
menyelesaikan perselisihan ditingkat kelompok, mempengaruhi dan tidak
memaksa, dan mampu membujuk bawahan untuk bertindaksecara sukarela dalam
mencapai tujuan. Dalam pengertian mendasar, kepemimpinan berada dibarisan
terdepan, mampu menggerakkan, dan terampil berkomunikasi untuk mengarahkan
orang lain tentang jalan yang harus ditempuh.
Robbins (2001) mengusulkan empat pendekatan kepemimpinan. Pertama,
kepemimpinan atribusi, yakni kepemimpinan semata-mata ialah atribusi yang
dibuat orang bagi individu-individu lain. Kedua, kepemimpinan karismatik, yakni
para pengikut membuat atribusi dari kemampuan pemimpin yang heroik atau luar
biasa jika mereka mengamati perilaku-perilaku tertentu. Ketiga, kepemimpinan
transaksional vs kepemimpinan transformasional: kepemimpinan transaksional,
yaitu pemimpin memandu/memotivasi pengikut dalam penegakan tujuan dengan
memperjelas peran dan tuntutan tugas, tetapi kepemimpinan transformasional,

Universitas Sumatera