RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI (2)

RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI
Makalah ini di susun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Fiqh
Mu’amalah
Dosen Pengampu : Imam Mustofa, S.H.I., M.SI.

Disusun Oleh:
Suci Kartini (1502100221)

Kelas B
PROGRAM STUDY S1 PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINNGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
2016

A. PENDAHULUAN
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Fiqih Mu’amalah, dan materi
yang akan dibahas mengenai pengertian dan Syarat dan rukun jual Beli.
Disini penulis akan membahas mengenai pengertian jual beli, syarat jual beli
dan rukun jual beli menurut jumhur,ulama,.
Sedangkan mengenai pembahasan dasar hukum jual beli, materi yang

akan dibahas bisa berupa tentang pengertian jual beli pada hadis-hadis nabi,
yang membahas mengenai rukun dan syarat jual beli dan juga bagaimana
kesepakatan para ulama tentang rukun dan syaratnya.
Dalam menyesaikan tugas ini penyusun mengambil beberapa referensi
yang bersumber dari buku maupun jurnal yang membahas mengenai materi
tersebut.
Semoga apa yang penulis sampaikan pada makalah ini dapat bermanfaat
dan bisa terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

B. PENGERTIAN JUAL BELI
Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-ba’I

yang

menurut etimologi berarti menjual atau mengganti. Wahbah al-Zuhaily
mengartikan secara bahasa dengan menukar sesuatu dengan sesuatu yang
lain. Kata al-Ba.i dalam Arab terkadang digunakan untuk pengertian
lawannya, yaitu kata al-Syira (beli).Dengan demikian, kata al-ba’I berarti jual,
tetapi sekalius juga berarti beli.1
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang masing

definisi sama.
Sebagian ulama lain memberi pengertian :

1. Ulama Sayyid Sabiq
Ia mendefinisikan bahwa jual beli ialah pertukaran harta dengan harta
atas dasar saling merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang
dapat dibenarkan. Dalam definisi tersebut harta dan, milik, dengan ganti
dan dapat dibenarkan.Yang dimaksud harta harta dalam definisi diatas
yaitu segala yang dimiliki dan bermanfaat, maka dikecualikan yang bukan
milik dan tidak bermanfaat.Yang dimaksud dengan ganti agar dapat
dibedakan dengan hibah (pemberian), sedangkan yang dimaksud dapat
dibenarkan (ma’dzun fih) agar dapat dibedakan dengan jual beli yang
terlarang.

2. Ulama hanafiyah
Ia mendefinisikan bahwa jual beli adalah saling tukar harta dengan
harta lain melalui Cara yang khusus. Yang dimaksud ulama hanafiyah
dengan kata-kata tersebut adalah melalui ijab qabul, atau juga boleh
melalui saling memberikan barang dan harga dari penjual dan pembeli.


3. Ulama Ibn Qudamah
Menurutnya jual beli adalah saling menukar harta dengan harta
dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.Dalam definisi ini
ditekankan kata milik dan pemilikan, karena ada juga tukar menukar harta
yang sifatnya tidak haus dimiliki seperti sewa menyewa.2
C. RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI
1

Al-Zuhaily Wahbah sebagaimana dikutip oleh Hakam Abas, Al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuh, (Damaskus, 2005), hlm 4
2
Ibid., hlm.4

Sebagai salah satu bentuk transaksi, dalam jual beli harus ada beberapa hal
agar akadnya dianggap sah dan mengikat. Beberapa hal tersebut disebut rukun.
Ulama hanafiyah menegaskan bahwa rukun jual beli hanya satu, yaitu ijab.
Menurut mereka hal yang paling prinsip dalam jual beli adalah saling rela yang
mewujudkan dengan kerelaan untuk saling memberikan barang. Maka jika telah
terjadi ijab, disitu jual beli telah dianggap berlangsung. Tentunya dengan adanya
ijab, pasti ditemukan hal-hal yang terkait denganya, seperti para pihak yang bek

akad, objek jual beli dan nilai tukarnya.
Jumhur ulama menetapkan empat rukun jual beli, yaitu : para pihak yang
bertransaksi (penjual dan pembeli), sighat (lafal ijab qabul), barang yang diperjual
belikan, dan nilai tukar pengganti barang.3
Sementara syarat jual beli ada empat macam, yaitu : syarat terpenuhinya
akad (syurut al-in iqad), syarat pelaksanaan jual beli (syurut al-nafadz), syarat
sah (syurut al-sihhah), dan syarat mengikat (syurut al-luzum). Adanya syaratsyarat ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa jual beli yang dilakukan akan
membawa kebaikan bagi kedua belah pihak dan tidak ada yang dirugikan.
Pertama,syarat terbentuknya akad (syuruth al-in’iqad). Syarat ini
merupakan syarat yang harus dipenuhi masing-masing akad jual beli. Syarat ini
ada empat, yaitu para pihak yang melakukan transaksi atau akad, lokasi atau
tempat terjadinya akad dan objek transaksi. Syarat yang terkait dengan pihak
yang melakukan transaksi atau akad ada dua, yaitu :
1. Pihak yang melakukan transaksi harus berakal atau mumayyiz4. Dengan
adanya syarat ini maka trnsaksi yang dilakukan oleh orang gila maka tidak
sah. Menurut hanafiyah dalam hal ini tidak disyaratkan baliqh, transaksi yang
dilakukan anak kecil yang sudah mumayyiz adalah sah;
2. Pihak yang melakukan transaksi harus lebih dari satu pihak, karena tidak
mungkin akad hanya dilakukan oleh satu pihak, dimana ia menjadi orang
yang menyerahkan dan menerima.

Syarat yang terkait dengan akad hanya satu, yaitu kesesuaian atara ijab dan
qabul. Sementara mengenai syarat dan akad, akad harus dilakukan dalam satu

3

Wahbah al-zuhaili sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa, al-fiqih al-islami wa
adillatuh, (Beirut: dar al-fikr, 2005), V/6
4
Mumayyiz adalah mempunyai kecakapan untuk membedakan mana yang baik dan yang
buruk, mana yang merugikan dan mana yang tidak.

majelis. Sedangkan syarat yang berkaitan dengan barang yang dijadikan objek
transaksi ada empat, yaitu :
1. Barang yang dijadikan transaksi harus benar-benar ada dan nyata. Transaksi
terhadap barang yang belum atau yang tidak ada tidak sah, begitu juga
barang yang belum pasti adanya, seperti binatang yang masih ada di dalam
kandungan induknya;
2. Objek transaksi berupa barang yang bernilai, hala, dan dapat dimiliki, dapat
disimpan dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya serta tidak menimbulkan
kerusakan;

3. Barang yang dijadikan

objek transaksi merupakan hak milik secara sah,

kepemilikan sempurna. Berdasarkan syarat ini maka tidak sah jual belipasir
ditengah padang, jual beli air laut yang masih di laut, atau jual beli panas
matahari, karena tidak adanya kepemilikan yang sempurna;
4. Objek harus dapat diaerahkan pada saat ttransaksi. Berdasarkan syarat ini
maka tidak sah jual beli binatang liar, ikan dilautan tau burung yang berada di
awng karena tidak dapat diserahkan kepada pembeli.
Sementara syarat yang terkait ijab dan qabul ada tiga, yaitu
1. Ijab dan qabul harus dilakukan oleh orang yang cakap hukum. Kedua belah
pihak harus berakal, mumayyiz, tahu akan hak dan kewajibanya.msyarat ini
pada hakikatnya merupakan syarat pihak yang berakad dan bukan sighat
akad. Berkaitan dengan syarat ini, maka media transaksi berupa tulisan atau
isyarat juga harus berasal dari pihak yang mempunyai criteria dan memenuhi
syarat tersebut;
2. Kesesuaian antara qabul dengan

ijab, baik dari sisi kualitas maupun


kuantitas. Pembeli menjawab semua yang di utarakan pembeli. Apabila pihak
pembeli menjawab lebih dari ijab yang di ungkapkan penjual, maka transaksi
tetap sah. Sebaliknya, apabila pembeli menjawab lebih singkat dari ijab yang
diucapkan penjual, maka transaksi tidak sah. Kesesuaian ini termasuk dalam
harga dan system pembayaran;
3. Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis, sekiranya para pihak yang
melakukan transaksi hadir dalam satu tempat secara bersamaan, atau suatu
tempat yang berbeda, namun keduanya saling mengetahui. Artinya
perbedaan tempat bisa di anggap satu majelis atau satu lokasi dan waktu
karena berbagai alasan. Menurut ulama malikiayah, diperbolehkan transaksi

(ijab dan qabul) dilakukan tidak dalam satu tempat. Ulama syafi’iyah dan
hanabiyah mengemukakan bahwa jarak antara ijab dan qabul, tidak boleh
terlalu lama. Adapun transaksi yang dilakukan dengan media surat juga sah,
meskipun pihak-pihak yang bertransaksi tidak berada dalam satu lokasi,
karena ungkapan yang ada dalam surat pada hakikatnya mewakili para
pihak.5
Kedua, syarat berlakunya akibat hokum jual beli (syurut al-nafadz) ada dua,
yaitu:

1. Kepemilikan dan oyoritasnyan. Artinya masing masing pihak yang terlibat
dalam transaksi harus cakap hokum dan merupakan pemilik otoritas atau
kewenangan untuk melakukan penjualan atau pembelian suatu barang.
Otoritas ini dapat diwakilkan kepada orang lain yang juga harus cakap
hukum6.
2. Barang yang menjadi objek transaksi jual beli benar-benar milik sah sang
penjual, attinya tidak tersangkut dengan kepemilikan orang lain.
Ketiga, syarat keabsahan akad jual beli ada dua macam, yaitu syarat umum
dan syarat khusus. Adapun syarat umum adalah syarat-syarat yang telah di
sebutkan di atas dan ditambah empat syarat, yaitu:
1. Barang dan harganya diketahui (nyata);
2. Jual beli tidak boleh bersifat sementara (muaqqad) karena jual beli
merupakan akad tukar menukar untuk perpindahan hak untuk selamanya;
3. Transaksi jual beli harus membawa manfaat, dengan demikian maka tidah
sah jual beli dirham dengan dirham yang sama;
4. Tidak adanya syarat yang dapat merusak transaksi, seperti syarat yang
mengutungkan salah satu pihak. Syarat yang merusak yaitu syarat yang tidak
dikenal dalam syara’dan tidak di perkrnankan secara adat atau kebiasaan
suatu masyarakat.7
Sementara syarat khusus ada lima, yaitu:


5

Imam Mustofa, FIQIH MU’AMALAH Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016),

h.27-28
6

Wahbah al-zuhaili sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa, al-fiqih al-islami wa
adillatuh, (Beirut: dar al-fikr, 2005),…,V/31.
7
Ibid.,V/32

1. Penyerahan barang yang menjadi objek transaksi sekiranya barang tersebut
dapa diserahkan atau barang tidak bergerak dan ditakutkan akan rusak bila
tidak segera diserahkan;
2. Diketahuinya harga awal pada jual beli murabahah, tauliyah, dan wadi’ah;
3. Barang dan harga penggantinya sama nilainya;
4. Terpenuhinya syarat salam, seperti penyerahan uang sebagai modal dalam
jual beli salam;

5. Salah satu dari barang yang ditukar bukan utang piutang.8
Selain syarat diatas, ada syarat tambahan yang menentukan keabsahan sebuah
akad setelah syarat terbentuknya akad terpenuhi. Syarat tambahan ini ada empat
macam, yaitu:
1. Pernyataan kehendak harus dilakukan secara bebas, tanpa pelaksanaan dari
pihak manapun;
2. Penyerahan objek transaksi jual beli tidak menimbulkan bahaya;
3. Bebas dari gharar;
4. Bebas dari riba.
Syarat-syarat keabsahan diatas menentukan sah tidaknya sebuah akad jual
beli. Apabila sebuah akad tidak memenuhi syarat-syarat tersebut meskipun rukun
dan syarat terbentuknya akad sudah terpenuhi akad sah tidak sah. Akad
semacam ini dinamakan akad fasid. Menurut ulama kalangan hanafiah akad
fasid adalah akad yang menurut syara’ sah pokoknya, tetapi tidak sah sifatnya.
Artinya akad yang telah memenuhi rukun dan syarat terbentuknya tetapi belum
memenuhi syarat keabsahanya.9
Keempat, syarat mengikat dalam akad jual beli.10 Sebuah akad yang sudah
memenuhi rukun dan syarat sebagaimana dijelaskan di atas, belum tentu
membuat akad tersebut dapat mengikat para pihak yang telah melakukan akad.
Ada syarat yang menjadikanya mengikat para pihak yang melakukan akad jual

beli:
1. Terbebas dari sifat atau syarat yang pada dasarnya tidak mengikat para
pihak;

8

Ibid.,V/43-44
Ibnu Nujaim sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa, al-Asybah wa al-Nashair,
(Beirut: dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1985), hal. 337.
10
Wahbah al-Zuhaili, al-fiqih al-islami…, V/44-45
9

2. Terbebas dari khiyar, akad yang masih tergantung dengan hak khiyar baru
mengikat ketika hak khiyar telah berahir, selama hak khiyar blm berahir,
maka akad tersebut belum mengikat.
Apapun bentuk jual beli, apapun cara dan media transaksinya, maka harus
memenuhi syarat dan rukun.

D. RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI
Dalam buku Rukun Dan Syarat Jual Beli yang dikutip oleh Hakam
Abas, Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga
jual beli itu dpat dikatakan sah oleh syara’.Dalam menentukan rukun jual beli
terdapat perbedaan pendapat ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama. Rukun
jual beli .
Menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab qabul, ijab adalah
ungkapan membeli dari pembeli, dan qabul adalah ungkapan menjual dari
penjual. Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah
kerelaan (ridha) kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli.Akan
tetapi, karena unsur kerelaan itu merupakan unsur hati yang sulit untuk
diindra sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan indikasi yang menunjukkan
kerelaan itu dari kedua belah pihak. Indikasi yang menunjukkan kerelaan
kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli menurut mereka boleh
tergambar dalam ijab dan qabul, atau melalui cara saling memberikan barang
dan harga barang.11
Akan tetapi jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat,
yaitu :
1. Ada orang yang berakad (penjual dan pembeli).
2. Ada sighat (lafal ijab qabul).
3. Ada barang yang dibeli (ma’qud alaih)
4. Ada nilai tukar pengganti barang.
Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai
tukar barang termasuk kedalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.

11

Nasrun Haroen, fiqh muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama. 2007), hlm. 7.

Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang
dikemukakan jumhur ulama diatas sebagai berikut :
a. Syarat-syarat orang yang berakad
Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu
harus memenuhi syarat, yaitu :
1. Berakal sehat, oleh sebab itu seorang penjual dan pembeli harus memiliki
akal yang sehat agar dapat meakukan transaksi jual beli dengan keadaan
sadar. Jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal dan orang
gila, hukumnya tidak sah.
2. Atas dasar suka sama suka, yaitu kehendak sendiri dan tidak dipaksa
pihak manapun.
3. Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda, maksudnya
seorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai
penjual sekaligus sebagai pembeli.
E. Syarat yang terkait dalam ijab qabul

1. Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
2. Qabul sesuai dengan ijab. Apabila antara ijab dan qabul tidak sesuai
maka jual beli tidak sah.

3. Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. Maksudnya kedua belah
pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topic yang
sama.12
F. Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan
Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan sebagai
berikut :
1. Suci, dalam islam tidak sah melakukan transaksi jual beli barang najis,
seperti bangkai, babi, anjing, dan sebagainya.
2. Barang yang diperjualbelikan merupakan milik sendiri atau diberi kuasa
orang lain yang memilikinya.
3. Barang yang diperjualbelikan ada manfaatnya. Contoh barang yang tidak
bermanfaat adalah lalat, nyamauk, dan sebagainya. Barang-barang
seperti ini tidak sah diperjualbelikan. Akan tetapi, jika dikemudian hari

12

Ibid, hlm. 9.

barang ini bermanfaat akibat perkembangan tekhnologi atau yang
lainnya, maka barang-barang itu sah diperjualbelikan.
4. Barang yang diperjualbelikan jelas dan dapat dikuasai.
5. Barang yang diperjualbelikan dapat diketahui kadarnya, jenisnya, sifat,
dan harganya.
6. Boleh diserahkan saat akad berlangsung.13
G. Syarat-syarat nilai tukar (harga barang)
Nilai tukar barang yang dijull (untuk zaman sekarang adalah uang) tukar
ini para ulama fiqh membedakan al-tsaman dengan al-si’r.Menurut mereka,
al-tsaman adalah harga pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat
secara actual, sedangkan al-si’r adalah modal barang yang seharusnya
diterima para pedagang sebelum dijual ke konsumen (pemakai).Dengan
demikian, harga barang itu ada dua, yaitu harga antar pedagang dan harga
antar pedagang dan konsumen (harga dipasar).
Syarat-syarat nilai tukar (harga barang) yaitu :
1. Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
2. Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukumseperti
pembayaran dengan cek dan kartu kredit. Apabila harga barang itu
dibayar kemudian (berutang) maka pembayarannya harus jelas.
3. Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang
maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan
oleh syara’, seperti babi, dan khamar, karena kedua jenis benda ini tidak
bernilai menurut syara’.14
Menurut ulama Hanafiyah rukun jual beli hanya satu, yaitu ijab (ungkapan
membeli dari pembeli) dan kabul (ungkapan menjual dari penjual). Menurut
mereka, yang menjadi rukun dari jual beli itu hanyalah kerelaan (rida/taradhi)
kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli. Akan tetapi, jumhur ulama
menyatakan bahwa syarat dan rukun jual beli itu ada empat, yaitu:
Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain(penjual dan pembeli).
1. Ada shighat(lafal ijab dan kabul)
2. Ada barang yang dibeli.
13

MS. Wawan Djunaedi, Fiqih, (Jakarta : PT. Listafariska Putra, 2008), hlm. 98

14

Drs. Ghufron Ihsan. MA, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Prenada Media Grup, 2008), hlm.

35

3. Ada nilai tukar pengganti barang
4. Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan
nilai tukar barang termasuk kedalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun
jual beli.15

15

Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2010), hlm.78

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, Jakarta: Prenadamedia Group, 2010
Al-Zuhaily Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Damaskus, 2005
Drs. Ghufron Ihsan. MA, Fiqh Muamalat, Jakarta : Prenada Media Grup, 2008
Ibnu Nujaim, al-Asybah wa al-Nashair, Beirut: dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1985
Imam Mustofa, FIQIH MU’AMALAH Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers, 2016
MS. Wawan Djunaedi, Fiqih, (Jakarta : PT. Listafariska Putra, 2008), hlm. 98
Nasrun Haroen, fiqh muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama. 2007)
Wahbah al-zuhaili, al-fiqih al-islami wa adillatuh, Beirut: dar al-fikr, 2005