PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL CONTEXTUAL TEAC. pdf

Abul Walid, Pembelajaran……

Edu-Math; Vol 2, Desember 2011

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (CONTEXTUAL TEACHING
AND LEARNING) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
BERPIKIR TINGKAT TINGGI DI SEKOLAH ASRAMA BERBASIS
AGAMA (PONDOK PESANTREN)
Oleh : Abul Walid
Abstraksi
Kendala yang sering terjadi di sekolah berasrama
berbasis agama adalah siswa lebih tertanam kesadaran
yang besar untuk mempelajari materi agama, dan
kecenderungan untuk mendalami pelajaran umum masih
memerlukan dorongan yang besar. Apalagi untuk pelajaran
matematika, siswa belum bisa menghargai matematika
karena kurangnya konteks matematika pada kehidupan
nyata khususnya dalam agama. Kemampuan guru
matematika pada sekolah asrama berbasis agama untuk
menyiapkan perangkat pembelajaran yang mencover
kebutuhan tersebut sangatnya dibutuhkan. Sekolah asrama

berbasis agama memerlukan perlakuan khusus dalam
proses belajar mengajar baik dalam hal metode
pembelajaran, pendekatan pembelajaran, bahan ajar, RPP,
dan penilaian. Hal ini karena kurikulum yang digunakan di
sekolah tidak hanya kurikulum dari pusat seperti KTSP,
tetapi sekolah juga mengembangkan kurikulum agama
secara mandiri sehingga kombinasi tersebut haruslah
disikapi secara tepat dalam pelaksanaan kegiatan belajar
mengajarnya.
Kata Kunci : Pembelajaran konstektual, Kemampuan
berpikir tingkat tinggi, Pondok pesantren
A. Pendahuluan
Berdasarkan UUD 1945 (pasal 31) maka rakyat
Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak.
Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan bertanggung jawab
untuk menyelenggarakan pendidikan melalui lembaga
pendidikan baik lembaga yang dikelola oleh pemerintah atau
dikelola oleh swasta (yayasan) tetapi masih tetap berada dalam

Abul Walid, Pembelajaran……


Edu-Math; Vol 2, Desember 2011

koordinasi pemerintah. Setidaknya ada tiga pilihan pendidikan
yang bisa menjadi pertimbangan masyarakat yaitu pondok
pesantren, sekolah dan madrasah. Ketiga institusi tersebut
mempunyai
tujuan
sama,
namun
berbeda
dalam
pengelolaannya. Diantara ketiga lembaga tersebut, mempunyai
ciri khas dan keunggulan masing-masing. Ketiganya saling
berkompetisi dalam mencetak generasi bangsa. Dalam hal ini
akan kami bahas bagaimana penyelenggaraan pendidikan di
pondok pesantren atau dalam bahasa lain sekolah asrama
berbasis agama khusunya pada pembelajaran matematika.
Pondok pesantren sekolah asrama berbasis agama khusunya
yang telah menggabungkan dua sistem pendidikan yaitu ilmu

umum dan ilmu agama, merupakan lembaga yang akhir-akhir
ini diminati oleh para konsumen pendidikan.
Hal tersebut didasarkan pada alasan bahwa generasi
penerus bangsa ini selain pandai dalam hal ilmu dunia, mereka
juga harus mempunyai bekal agama yang kuat agar menjadi
insan yang kuat dalam agama dan intelektual. Pada
kenyataannya, di sekolah pondok dengan background agama
yang kuat tidak bisa dielakkan bahwa pelajaran umum agak
dikesampingkan oleh sebagian siswa. Hal ini terjadi karena
siswa sudah tertanam ilmu agama yang kuat dan ketertarikan
mereka sangat kuat dalam hal agama. Pada zaman sekarang
ini
mulai
dikembangkan
pondok
pesantren
yang
menyeimbangkan dua sistem pendidikan yaitu pendidikan
regular (ilmu umum) dan ilmu agama. Dengan semakin
terbukanya sistem pendidikan di pondok pesantren maka

keberadaannya di pemerintahan dan masyarakatpun mulai di
posisikan strategis.
Kekurangan dalam hal penyelenggaraan pendidikan
formal khususnya mata pelajaran umum sedikit banyak menjadi
tantangan untuk para pelaksana pendidikan seperti guru dalam
membawa kondisi tersebut menjadi bermakna pula bagi anak
khusunya yang dapat dihubungkan dengan agama. Pendidikan
pada masa sekarang ini lebih mengutamakan pada beberapa
hal berikut:
1. Dasar pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika
lingkungan diciptakan alamiah.

Abul Walid, Pembelajaran……

Edu-Math; Vol 2, Desember 2011

2. Belajar akan lebih bermakna jika anak “mengalami” apa
yang dipelajarinya, bukan “mengetahui”nya.
3. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi
terbukti berhasil dalam kompetensi “mengingat” jangka

pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan
persoalan dalam kehidupan jangka panjang
Oleh karena itu dalam jurnal ini akan dibahas bagaimana
pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika akan
meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa pada
sekolah asrama berbasis agama dengan menyajikan konteks
yang nyata dengan kehidupan siswa khusunya di asrama serta
yang ada kaitannya dengan agama. Pembelajaran kontekstual
diharapkan mampu mengajak siswa mengembangkan proses
berpikir yang lebih dari sekedar pemahaman konsep. Siswa
diharapkan mampu berpikir tingkat tinggi untuk menyelesaikan
masalah-masalah matematika dengan pengalaman dan
pengetahuan yang didapat dalam kehidupan nyata.
B. Pondok Pesantren
Apa yang dimaksud dengan kata pondok dan apa pula
dengan pesantren? Kata pondok mengandung makna,
bangunan untuk tempat sementara, biasanya didirikan di
ladang, sawah, hutan dan sebagainya (KBBI, 1988). Dalam
perkembangan selanjutnya kata pondok dapat berarti
bangunan tempat tinggal yang berpetak-petak, berdinding bilik,

beratap rumbia untuk tempat tinggal beberapa keluarga. Ketika
seseorang menumpang di rumah orang lain sebutannya
meminjam kata pondok, menjadi memondok yang dalam
bahasa Belanda disebut ”in de kost”(Wojowasito, 2001).
Tempat memondok disebut ”pondokan” atau ”pemondokan”.
Ada pula yang mengatakan kata itu berasal dari Bahasa Arab –
‫ف ن دوق‬- (funduuq). yang kemudian diucapkan sesuai lidah
Indonesia menjadi pondok.
Sementara itu kata pesantren berasal dari kata santri.
Kata santri berarti ”orang yang mendalami agama Islam atau
juga berarti orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh
dan biasa disebut orang yang saleh.”( Wojowasito, 2001) Dari
kata santri, diberi awalan ”pe” dan akhiran ”an” menjadi
”pesantrian” atau ”pesantren”, yang artinya tempat untuk

Abul Walid, Pembelajaran……

Edu-Math; Vol 2, Desember 2011

tinggal dan belajar para santri (Dhofier, Zamakhsyari, 1985).

Meskipun kata pesantren mengandung makna tempat untuk
tinggal dan belajar para santri, namun sebutan itu masih dirasa
belum cukup. Para santri yang belajar itu kebanyakan
menumpang dalam arti makan, menginap dan belajar
(memondok atau in de kost) di bangunan dalam bentuk
pondok-pondok atau asrama yang ada di lembaga tempat
mereka belajar. Lembaga pendidikan yang memberlakukan
pola penempatan para santri dengan tempat tinggal dalam
pondok-pondok seperti itu kemudian dikenal dengan sebutan
pondok pesantren, disingkat Ponpes dan ada yang menyingkat
menjadi Pontren.
Berawal dari lembaga pendidikan yang mengutamakan
pendidikan agama (Islam), Ponpes berkembang menjadi
lembaga pendidikan yang dinilai tidak kalah dengan lembaga
pendidikan non-pesantren. Usaha-usaha ke arah pembaharuan
dan modernisasi merupakan konsekwensi dari keberadaan
Ponpes di lingkungan yang berkembang menjadi modern.
Meskipun Ponpes telah menjadi lembaga pendidikan
modern, tetapi kesederhanaan, kejuangan, kemandirian,
kebersamaan dan keihlasannya tetap menjadi roh dan

semangat yang dapat mengukuhkan pesantren sebagai
lembaga pendidikan yang tidak lapuk karena hujan dan tidak
lekang karena panas. Demikian tegas Ponpes itu namun
menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat
menerima pengasuh pondok pesantren se-Indonesia, tanggal
21 Mei 2007 yang lalu.
Menurut Hasbullah, seiring dengan berkembangnya
metode pendidikan Islam, pola interaksi sosial para santri, serta
perkembangan budaya ilmu pengetahuan dan teknologi,
lambat laun pesantren berubah dengan mengintegrasikan
antara pola pendidikan yang bersifat tradisional dengan
sekolah formal. Tujuan proses modernisasi pondok pesantren
adalah untuk menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang
ada di pesantren. Perubahan-perubahan yang bisa dilihat di
pesantren modern antara lain: mulai akrab dengan metodologi
ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya,
diversifikasi program dan kegiatan di pesantren makin terbuka

Abul Walid, Pembelajaran……


Edu-Math; Vol 2, Desember 2011

dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat
pengembangan masyarakat (Hasbullah, 1999).
Di tengah-tengah sistem Pendidikan Nasional yang dinilai
selalu berubah-rubah dan biaya pendidikan yang semakin
tinggi apresiasi masyarakat Indonesia terhadap pesantren
makin hari makin besar. Lebih-lebih setelah muncul banyak
pesantren yang berani bergerak melakukan perubahan.
Pesantren itu tidak hanya berkutat dan mempertahankan
otentisitas tradisi pengajarannya yang khas tradisional, dengan
pengajaran yang terpusat pada kitab-kitab klasik dengan
melakukan pembaharuan metodologis, memasukkan materimateri pengetahuan non-agama dalam proses pengajaran dan
sistem manajemen modern maka pesatren menjadi pilihan.
C. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and
Learning)
Kita sering mengamati anak disekitar lingkungan yang
memberikan deskripsi fakta kepada kita bahwa sebelum masuk
dalam pendidikan formal yaitu sekolah, anak lincah, selalu
belajar apa yang diinginkannya dengan gembira, riang,

menggunakan segala sesuatu yang terdapat di sekitarnya,
yang menarik perhatiannya, anak membangun sendiri
pengetahuan dan pemahaman lewat pengalaman nyata seharihari.
Setelah sekolah kita diperlihatkan pula dengan fakta-fakta
yang berbeda dengan sebelumnya yaitu: Anak dipaksa belajar
dengan cara guru, suasana tegang, seringkali tidak bermakna,
seringkali siswa belajar sesuatu tidak menarik perhatiannya,
telah terjadi “penjinakan” pada anak, makin tinggi kelas anak,
makin kurang inisiatif dan keberanian bertanya/mengemukakan
pendapatnya. Mengapa?
Banyak siswa mampu menyajikan tingkat hafalan yang
baik terhadap materi ajar yang diterimanya, tetapi pada
kenyataannya mereka tidak memahaminya, sebagian besar
dari siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang
mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan
dipergunakan/dimanfaatkan. Siswa memiliki kesulitan untuk
memahami konsep akademik sebagaimana mereka biasa
diajarkan yaitu dengan menggunakan sesuatu yang abstrak.

Abul Walid, Pembelajaran……


Edu-Math; Vol 2, Desember 2011

Padahal mereka sangat butuh untuk dapat memahami konsepkonsep yang berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat
pada umumnya dimana mereka akan hidup dan bekerja
(Departemen Pendidikan Nasional).
Bagaimana
menemukan
cara
terbaik
untuk
menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan di dalam mata
pelajaran tertentu, sehingga semua siswa dapat menggunakan
dan mengingat konsep tersebut lebih lama? Bagaimana setiap
mata pelajaran dipahami sebagai bagian yang saling
berhubungan dan membentuk satu pemahaman yang utuh?
Bagaimana seorang guru dapat berkomunikasi secara efektif
dengan siswanya yang selalu bertanya-tanya tentang alasan
dari sesuatu, arti dari sesuatu, dan hubungan dari apa yang
mereka pelajari? Bagaimana guru dapat membuka wawasan
berpikir yang beragam dari siswa, sehingga mereka dapat
mempelajari berbagai konsep dan mampu mengkaitkannya
dengan kehidupan nyata, sehingga dapat membuka berbagai
pintu kesempatan selama hidupnya?
“Tantangan yang dihadapi oleh guru setiap hari dan
merupakan tantangan bagi pengembang kurikulum” yaitu:
Siswa dibantu untuk membangun keterkaitan antara informasi
(pengetahuan) baru dengan pengalaman (pengetahuan lain)
yang telah mereka miliki atau mereka kuasai. Siswa diajarkan
bagaimana mereka mempelajari konsep dan bagaimana
konsep tersebut dapat dipergunakan di luar kelas. Siswa
diperkenankan
untuk
bekerja
secara
bersama-sama
(cooperative). Salah-satu pendekatan pembelajaran yang
mengcover tantangan tersebut adalah strategi pembelajaran
Kontekstual.
1. Definisi Pembelajaran Kontekstual (CTL)
CTL adalah suatu strategi pembelajaran yang
menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara
penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan
menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata
sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya
dalam kehidupan mereka (Sanjaya, 2011). Dari konsep
diatas ada tiga hal yang harus kita pahami

Abul Walid, Pembelajaran……

Edu-Math; Vol 2, Desember 2011

a. CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa
untuk menemukan materi, artinya proses pembelajaran
diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung.
b. CTL mendorong siswa untuk menemukan hubungan
antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan
nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap
hubungan antara pengalaman belajar disekolah dengan
kehidupan nyata.
c. CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya
dalam kehidupan nyata, artinya CTL bukan hanya
mengharapkan siswa dapat memahami materi yang
dipelajarinya, akan tetapi bagai mana materi pelajaran itu
dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan seharihari.
2. Komponen Pembelajaran Kontekstual (CTL)
CTL sebagai pendekatan pembelajaran memiliki 7
komponen atau asas yaitu (Trianto: 2007):
a. Konstruktivisme
Yaitu proses membangun atau menyusun pengetahuan
baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan
pengalaman. Dalam pembelajaran melalui CTL, siswa
didorong untuk mampu mengkonstruksi pengetahuan
sendiri melalui pengalaman nyata.
b. Inkuiri
Yaitu proses pembelajaran didasarkan pada pencarian
dan penemuan melalui proses berfikir secara sistematis.
Dengan demikian guru bukanlah mempersiapkan
sejumlah materi yang harus dihafal, tetapi merancang
pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat
menemukan sendiri materi yang harus dipahami.
c. Bertanya (questioning)
Yaitu proses pembelajaran pertanyaan-pertanyaan yang
dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk
menemukan setiap materi yang dipelajarinya. Untuk itu
kemampuan guru untuk mengembangkan teknik-teknik
bertanya sangat diperlukan.
d. Masyarakat belajar (learning comunity)

Abul Walid, Pembelajaran……

Edu-Math; Vol 2, Desember 2011

Yaitu CTL dilakukan dengan menerapkan pembelajaran
berkelompok. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok
yang anggotanya bersifat heterogen, baik dilihat dari
kemampuan dan kecepatan belajarnya, maupun dilihat
dari bakat dan minatnya.
e. Pemodelan (modelling)
Yaitu pembelajaran dengan memperagakan sesuatu
sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa.
Proses modeling tidak terbatas pada guru saja akan
tetapi guru dapat memanfaatkan siswa sebagai model.
Dengan modeling, siswa dapat terhindar dari
pembelajaran
yang
teoritis-abstrak
yang
dapat
memungkinkan terjadinya verbalisme.
f. Refleksi (reflection)
Yaitu pada akhir pembelajaran berikan kesempatan
kepada siswa untuk mengingat kembali apa yang telah
dipelajarinya. Biarkan secara bebas siswa menafsirkan
pengalamannya sendiri, sehingga ia dapat menyimpulkan
tentang pengalaman belajarnya.
g. Penilaian nyata (authentic assesment)
Yaitu keberhasilan pembelajaran tidak hanya ditentukan
oleh perkembangan kemampuan intelektual saja, akan
tetapi perkembangan seluruh aspek. Penilaian diperlukan
untu mengetahui apakah pengalaman siswa memiliki
pengaruh positif terhadap perkembangan intelektual
maupun mental siswa. Penilaian ini dilakukan secara
terus
menerus
selama
kegiatan
pembelajaran
berlangsung, tekanannya diarahkan pada proses belajar.
3. Karakteristik Pembelajaran Kontekstual (CTL)
Terdapat lima karakteristik penting dalam proses
pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL.
a. Dalam
CTL,
pembelajaran
merupakan
proses
pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activiting
Knowledge)
b. Pembelajaran yang kontektual adalah belajar dalam
rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru
(acquiring knowledge)
c. Pemahaman pengetahuan (Understanding knowledge)

Abul Walid, Pembelajaran……

Edu-Math; Vol 2, Desember 2011

d. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman terwebut
(applying knowledge).
e. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap
strategi pengembangan pengetahuan.
Belajar bagi anak adalah proses penyempurnaan
skema yang telah ada (asimilasi) atau proses pembentukan
skema (akomodasi), dengan demikian tugas guru adalah
memfasilitasi (mempermudah) agar anak mampu melakukan
proses asimilasi dan prossses akomodasi.
D. Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi
Menurut Krulik & Rudnick (1999) proses berpikir tingkat
tinggi merupakan kemampuan memproses pengetahuan dan
pengalaman yang terdiri dari beberapa tahapan berpikir yaitu
recall (menghafal/mengingat) and reasoning (bernalar/logika).
Reasoning terbagi dalam beberapa tahapan yaitu Basic
(dasar), Critical (kritis) dan Creative (kreatif). Berikut ini uraian
yang lebih lengkap dari tahapan berpikir tingkat tinggi antara
lain:
1. Recall. Tingkat berfikir paling rendah adalah keterampilan
menghafal (recall thinking) yang terdiri atas keterampilan
yang hampir otomatis atau refleksif. Siswa diberikan latihan
untuk menghafal dasar-dasar aritmatika seperti penjumlahan
dan perkalian. 3×6=18, 2+5=7 atau bahkan mengingat
alamat atau nomor HP seseorang. Pada kelas-kelas awal
siswa berusaha keras untuk menghafal fakta-fakta ini
2. Basic. Level berfikir selanjutnya adalah keterampilan dasar
(basic thinking). Meliputi memahami konsep-konsep seperti
penjumlahan, pengurangan dan sebagainya termasuk
aplikasinya dalam soal-soal. Contoh, dari konsep perkalian
adalah mencari harga total 12 kilogram beras bila harga
perkilnya adalah Rp 6.350
3. Critical. Berfikir kritis adalah berfikir yang memeriksa,
menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dari
situasi
atau
masalah.
Termasuk
di
dalamnya
mengumpulkan,
mengorganisir,
mengingat,
dan
menganalisa informasi. Berfikir kritis termasuk kemampuan
membaca dengan pemahaman dan mengidentifikasi materi

Abul Walid, Pembelajaran……

Edu-Math; Vol 2, Desember 2011

yang dibutuhkan dan tidak dibutuhkan. Ini juga berarti
mampu menarik kesimpulan dari data yang diberikan dan
mampu menentukan ketidak konsistenan dan pertentangan
dalam sekelompok data. Berfikir kritis adalah analitis dan
refleksif.
4. Creative. Berfikir kreatif sifatnya orisinil dan reflektif. Hasil
dari keterampilan berfikir ini adalah sesuatu yang kompleks.
Kegiatan yang dilakukan di antaranya menyatukan ide,
menciptakan ide baru, dan menentukan efektifitasnya.
Berfikir kreatif meliputi juga kemampuan menarik
kesimpulan yang biasanya menelorkan hasil akhir yang baru
(Idris harta, 2009).
E. Pembelajaran
Kontekstual
dalam
Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Di Sekolah Asrama
Berbasis Agama (Pondok Pesantren)
Pembelajaran
kontekstual
dalam
meningkatkan
kemampuan tingkat tinggi dilndasi atas komponen atau asas
CTL yang memfasilitasi siswa dalam mengembangkan
kemampuan berfikir tingkat tingginya dan didukung oleh kondisi
pesantren yang menanam kan sikap kesederhanaan,
kejuangan, kemandirian, kebersamaan dan keihlasan.
Pertama, Konstruktivisme: Yaitu proses membangun atau
menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa
berdasarkan pengalaman. Dalam pembelajaran melalui CTL,
siswa didorong untuk mampu mengkonstruksi pengetahuan
sendiri melalui pengalaman nyata. Melalui kontruktivismme
diasumsikan akan memiliki kreatifitas yang sifatnya orisinil dan
reflektif melalui kegiatan menyatukan ide, menciptakan ide
baru, dan menentukan efektifitasnya. Berfikir kreatif (Cretive
Thinking) meliputi juga kemampuan menarik kesimpulan yang
biasanya menelorkan hasil akhir yang baru.
Kedua, Inkuiri: Yaitu proses pembelajaran didasarkan
pada pencarian dan penemuan melalui proses berfikir secara
sistematis. Dengan demikian guru bukanlah mempersiapkan
sejumlah materi yang harus dihafal, tetapi merancang
pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan
sendiri materi yang harus dipahami, melalui inkuiri diasumsikan
akan meningkatkan kemampuan memeriksa, menghubungkan,

Abul Walid, Pembelajaran……

Edu-Math; Vol 2, Desember 2011

dan mengevaluasi semua aspek dari situasi atau masalah.
Termasuk di dalamnya mengumpulkan, mengorganisir,
mengingat, dan menganalisa informasi, serta kemampuan
menarik kesimpulan dari data yang diberikan dan mampu
menentukan ketidak konsistenan dan pertentangan dalam
sekelompok data. Ini sesuai dengan tahapan berfikir kritis
(Critical Thinking).
Ketiga, Bertanya: Yaitu proses pembelajaran pertanyaanpertanyaan yang dapat membimbing dan mengarahkan siswa
untuk menemukan setiap materi yang dipelajarinya. Untuk itu
kemampuan guru untuk mengembangkan teknik-teknik
bertanya sangat diperlukan. Keadaan dan kondisi pesantren
yang warganya terdisri dari guru (ustadz) dan santri yang
tinggal bersamaan dalam satu lingkungan pesantren
memberikan kesempatan pada mereka melakukan kegiatan
interaktif dengan kkintensitas yang tinggi. Kegiatan ini di
asumsikan
dapat
memfasilitasi
dalam
meningkatkan
kemampuan basic thinking, critical thinking, pada akhirnya
sangat memungkinan terbentuknya pemikiran yang kreatif
(creative thinking).
Keempat, Masyarakat belajar: Yaitu CTL dilakukan
dengan menerapkan pembelajaran berkelompok. Siswa dibagi
dalam kelompok-kelompok yang anggotanya bersifat
heterogen, baik dilihat dari kemampuan dan kecepatan
belajarnya, maupun dilihat dari bakat dan minatnya.
Lingkungan pesantren sangat memungkinkan siswa untuk
memiliki komunitas belajar dengan anggota yang heterogen
baik dari segi gender, sosial, akademik dan budaya, mengingt
komunitas dalam pesantren terdiri dari dari berbagai daerah
asal santri dan ustadz yang beragam.
Melalaui komunitas atau masyarakat belajar diasumsikan
dapat meningkatka kemampuan bekerja sama dalam
membangun pengetahuan melalui kegiatan yang dilakukan
bersama di antaranya menyatukan ide-ide, menciptakan ide
baru, dan menentukan efektifitasnya. Melalui masyarakat
belajar juga dapat meningkatkan kemampuan menarik
kesimpulan yang biasanya menelorkan hasil akhir yang baru,
ini mencirikan siswa yang memilki kemampuan berfikir kreativ
(creative thinking).

Abul Walid, Pembelajaran……

Edu-Math; Vol 2, Desember 2011

Kelima, Pemodelan: Yaitu pembelajaran dengan
memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh
setiap siswa. Proses modeling tidak terbatas pada guru saja
akan tetapi guru dapat memanfaatkan siswa sebagai model.
Dengan modeling, siswa dapat terhindar dari pembelajaran
yang teoritis-abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya
verbalisme. Pemodelan dalam lingkungan pesantren tidak
hanya dapat dilakukan oleh guru dalam kelas saja, tetapi juaga
dapt dilakukan diluar kelas melalui kegiatan yang dilakukan
diluar jam pelajaran di asrama.
Pemodelan tidak hanya terbatas pada konten pelajaran
saja, tetapi bisa diterapkan dalam penanaman nilai dan
karakter siswa dalam menjalani aktivitas di pesantren. Guru
dapat memberikan model yang mengandung nilai positif
kepada siswa setiap waktu tanpa dibatasi jarak antara siswa
dan guru, karena secara bersamaan mereka tinggal
dilingkungan yang sama. Melalui pemodelan secara kongkrit
akan meningkatkan kemampuan memahami konsep-konsep
dan aplikasinya yang terdapat dalam tahap berfikir dasar (basic
thinking) sebagai modal dalam rangka meningkatkan
kemampuan berfikir kritis dan kreatif.
Keenam, Refleksi: Yaitu pada akhir pembelajaran
diberikan kesempatan kepada siswa untuk mengingat kembali
apa yang telah dipelajarinya. Biarkan secara bebas siswa
menafsirkan pengalamannya sendiri, sehingga ia dapat
menyimpulkan tentang pengalaman belajarnya. Melalui asas
pembelajaran kontekstual ini membiasakan siswa dalam
membangun pemeahaman konsep serta aplikasinya,
memeriksa, menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek
dari situasi atau masalah. Termasuk di dalamnya
mengumpulkan, mengorganisir, mengingat, dan menganalisa
informasi serta kemampuan membaca dengan pemahaman
dan mengidentifikasi materi yang dibutuhkan dan tidak
dibutuhkan. Ini juga berarti mampu menarik kesimpulan dari
data yang diberikan dan mampu menentukan ketidak
konsistenan dan pertentangan dalam sekelompok data. Pada
akhirnya memberikan pembekalan dalam kemampuan menarik
kesimpulan yang biasanya menelorkan hasil akhir yang baru
(critical and creative thinkng).

Abul Walid, Pembelajaran……

Edu-Math; Vol 2, Desember 2011

Ketujuh,
Penilaian
nyata:
Yaitu
keberhasilan
pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh perkembangan
kemampuan intelektual saja, akan tetapi perkembangan
seluruh aspek. Penilaian diperlukan untu mengetahui apakah
pengalaman siswa memiliki pengaruh positif terhadap
perkembangan intelektual maupun mental siswa. Penilaian ini
dilakukan secara terus menerus tidak hanya selama kegiatan
pembelajaran berlangsung, tetapi dalam lingkungan pesanten
juga memfasilitasi penilaian dilakukan diluar proses
pembelajaran dikelas karena siswa dan guru dapat berinteraksi
kapanpun dalam lingkungan pesantren.
Penilaian nyata ini tidak hanya ditekankan atau diarahkan
pada proses belajar dikelas saja, tetapai pada proses interaksi
yan terjadi di luar kelas yaitu di lingkungan pesantren yang
secara nyata guru dapat mengmatinya secara langsung.
Melalui evaluasi atau penilaian nyata Secara berkelanjutan dan
dinamis, secara akademis akan sangat memfasilitasi
perkembangan kemampuan mengingat (recall thinking),
kemampuan memahami konsep dan aplikasinya (basic
thinking), kemampuan menarik kesimpulan dari data yang
diberikan dan kemampuan menentukan ketidak konsistenan
dan pertentangan dalam sekelompok data (critical thinking) dan
kemampuan menciptakan ide-ide baru, dan menentukan
efektifitasnya yang semua itu termuat dalam kemampuan
berfikir tingkat tinggi.
F.

Aplikasi Pembelajaran Kontekstual dalam Pembelajaran di
Sekolah Asrama Berbasis Agama
Berdasarkan latar belakang pembelajaran matematika
dijelaskan dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika
hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai
dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan
masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing
untuk menguasai konsep matematika. Berangkat dari latar
belakang tersebut, berikut akan diberikan contoh pembelajaran
dalam pengenalan konsep dengan meberikan masalah yang
sesuai dengan situasi (contextual problem).
1. Pendahuluan

Abul Walid, Pembelajaran……

Edu-Math; Vol 2, Desember 2011

a. Guru menjelaskan kompetensi yang harus dicapai serta
manfaat dari proses pembelajaran dan pentingnya materi
pelajaran yang akan dipelajari dengan mengajukan
permasalahan pada dunia nyata (real world) tentang suku
banyak atau polinom
b. Guru menjelaskan prosedur pembelajaran CTL
1) Siswa dibagi kedalam beberapa kelompok, dengan
anggota kelompok heterogen (kemampuan, gender,
bakat, minat dan motivasi)
2) Tiap kelompok ditugaskan untuk menyiapkan
selembar karton berukuran 24 cm x 16 cm, Pojoknya
dipotong untuk membuat sebuah kotak terbuka,
sehingga pemotongannya berupa persegi (Alkrismanto. 2003).
3) Kelompok pertama, ditugaskan memotong setiap
pojoknya 1 cm
4) Kelompok kedua, Ditugaskan memotong setiap
pojoknya 2 cm
5) Dilanjutkan dengan kelompok-kelompok lain hingga
setiap kelompok mendapatkan tugas.
6) Setiap kelompok selanjutnya ditugaskan mencari
panjang kotak, lebar kotak, dan volume kotak setelah
dipotong disetiap pojoknya.
c. Guru melakukan tanya jawab sekitar tugas yang harus
dikerjakan oleh siswa. Karena siswa dalam lingkungan
pesantren, siswa diberikan kebebasan dalam dalam
menyelesaikan tugas-tugas mereka dengan cara
berdiskusi dan bertanya kepada teman maupun kakak
kelas mereka yang mengetahui penyelesain masalah
terebut.
2. Inti
a. Di lapangan
1) Siswa melakukan kegiatan sesuai dengan tugas dan
kelompok masing-masing. Keuntungan yang diperoleh
oleh siswa di lingkungan pesantren adalah mereka
sangat memungkinkan berdiskusi dan melakukan
tanya jawab dengan teman atau kaka kelas mereka
yang menguasai masalah tersebut, sehinga terjadi
interaksi antar siswa.

Abul Walid, Pembelajaran……

Edu-Math; Vol 2, Desember 2011

2) Siswa mencatat hal yang mereka temukan dalam
kegiatan mereka sesuai dengan alat observasi yang
telah mereka tentukan sebelumnya.
b. Di kelas
1) Siswa mendiskusikan hasil temuan mereka sesuai
dengan kelompoknya masing-masing.
2) Siwa mendiskusikan hasil temuan mereka keseluruh
kelompok dikelas, sehingga terjadilah kegiatan
eksplorasi, elaaborasi dan konfirmasi yang dikemas
dalam diskusi kelompok dan antar kelompok.
3) Diperoleh hasil sebagai berikut darui setiap kelompok:
Panjang potongan =
1
2 3
4 5
6
7
Tinggi kotak (cm)
Panjang kotak (cm)
… … … … … … …
Lebar kotak (cm)
… … … … … … …
3
Volume kotak (cm )
… … … … … … …
Dengan memisalkan panjang potongan dengan
variabel x, secara bersama-siswa mampu mebuat
model matematikanya berbentuk sebagai berikut:

8




Panjang potongan =
tinggi kotak (cm)

1

2

3

4

5

6

7

8

x

Panjang kotak (cm)

















(24-x)

Lebar kotak (cm)

















(16-x)

















x(24-x)(16-x)

3

Volume kotak (cm )

4) Tampak bahwa baik panjang, lebar, maupun volume
berbeda-beda sesuai ukuran persegi pemotong
dipojoknya.
5) Dikatakan bahwa panjang, lebar, dan volume kotak
yang terjadi merupakan fungsi panjang persegi
pemotongnya.
6) Permasalahan
yang
muncul,
berapa ukuran
pemotongannya agar volumenya 540 cm2, dan berapa
ukuran pemotongannya agar volumenya maksimum.?
Dengan menyelasaikan perklalian pada variabel dan
konstanta pada baris volume kotak, siswa akan menemukan
bentuk polinom pangkat tiga. Setelah siswa melakukan setiap
kegiatan diatas secara otomatis mereka telah mengenal
polinom pangkat tiga melalui konteks yang nyata.

Abul Walid, Pembelajaran……

Edu-Math; Vol 2, Desember 2011

G. Contoh
Masalah
Pengenalan
Pecahan
yang
Dikombinasikan dengan Ilmu Agama
Dalam hal ini, siswa akan dikenalkan masalah-masalah
matematika konsep pecahan yang berkaitan dengan ilmu
agama khususnya hukum waris.
Langkah pembelajaran :
1. Siswa bekerja secara berkelompok, masing-masing
kelompok terdiri dari 6 siswa.
2. Guru memberikan intruksi mengenai pemecahan masalah
yang akan diberikan, dengan memanfaatkan lingkungan
pesantren siswa diberikan kebebasan dalam mencari
jawaban
diantaranya
dengan
menanyakan
solusi
permasalahan kepada guru yang memiliki kompetensi pada
bidangnya, dalam hal ini guru agama.
3. Guru memberi masalah yang berbeda untuk tiap kelompok.
a. Kelompok 1
Seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan
warisan sebesar Rp 48.000.000,-. Ahli warisnya ada 4
orang, yang terdiri dari: istri, satu ibu kandung (janda),
dua anak kandung (1 laki-laki dan 1 perempuan).
Bagaimana pembagian warisannya dan berapa uang
yang didapat masing-masing ahli waris?
Jawab:
Ibu (yang janda) mendapat bagian karena ada anak.
1
Sementara istri mendapat bagian
karena ada anak.
Sedang bagian anak laki-laki 8dan bagian anak
perempuan adalah 2 : 1.
Bagian Ibu adalah

Bagian Istri adalah

Bagian Anak adalah
Karena perbandingan bagian anak laki-laki
perempuan adalah 2:1 maka dapat dihitung:
Bagian anak laki-kali adalah

Bagian anak perempuan adalah

dan

Abul Walid, Pembelajaran……

Edu-Math; Vol 2, Desember 2011


b. Kelompok 2
Jika ada laki-laki yang meninggal memiliki WARISAN Rp.
30.000.000,00 dan mempunyai anggota keluarga sebagai
berikut: 4 anak perempuan, sepasang orang tua dan 1
istri. Bagaimana pembagian warisannya? Berapa yang
didapat masing-masing ahli waris?
c. Kelompok 3
Seorang suami meninggal dunia dengan mewariskan Rp.
40.000.000,- dan meninggalkan seorang istri, saudara
kandung, dan 2 anak kandung (laki-laki). Bagaimana
pembagiannya?
d. Kelompok 4
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ayah
kandung, ibu kandung, serta saudara kandung. Dia
mewariskan harta sebesar Rp. 34.000.000,-. Bagaimana
pembagian warisannya?
4. Perwakilan kelompok maju untuk mempresentasikan
jawaban hasil diskusi kelompok.
5. Kelompok yang lain memberikan tanggapan dan masukan
dari hasil presentasi.
6. Guru bersama siswa membahas hasil presentasi
H. Penutup
Pendidikan yang mampu membawa kepada
pengamalan ilmu untuk masyarakat dan agama merupakan
idaman keberhasilan pendidikan di Indonesia. Pendidikan
yang diselenggarakan selama ini masih terlihat condong
pada masalah-masalah yang bersifat dunia saja. Siswa
berkompetisi dan bersaing untuk mencapai keberhasilan
dalam pelajaran. Akibat dari hal tersebut adalah semakin
rendahnya moral anak bangsa dan kurang terbentuknya
karakter pada diri anak. Hal ini dapat dilihat bahwa banyak
kejadian yang melanda siswa kita mulai depresi karena
tidak lulus UN, perkelahian antar pelajar, kenakalan
remaja, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, akhir-akhir ini
masyarakat tertarik untuk mengirim putra putrinya
menuntut ilmu di tempat yang bisa memadukan pendidikan
umum dan agama yaitu salah satunya di sekolah full day

Abul Walid, Pembelajaran……

Edu-Math; Vol 2, Desember 2011

atau boarding yang berbasis agama. Para orang tua lebih
merasa aman dan percaya bahwa anak mereka bisa
terbentuk karakternya tetapi juga tetap bisa unggul dalam
hal pelajaran umum.
Oleh sebab itu, dibutuhkan penggunaan pendekatan
pembelajaran kontekstual dengan berbasiskan masyarakat
untuk meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi
siswa pada sekolah asrama berbasis agama. Sangatlah
mungkin bahwa pendidikan matematika di Indonesia akan
sejajar bahkan melebihi pendidikan matematika di Negaranegara maju yang menerapkan pembelajaran bermakna.
Terlebih Indonesia yang kaya akan budaya, mempunyai
karakter yang kuat dan latar belakang agama yang bagus
sudah seharusnya mampu membawa pembelajaran
khususnya matematika menjadi sesuatu yang sangat dekat
dengan kehidupan bermasyarakat dan agama sehingga
dapat dirasakan maknanya oleh siswa.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Pembelajaran Kontekstual. Direktorat Pembinaan
Sekolah Menengah Pertama.
______. 2006. Pembelajaran Berbasis Kontekstual. Depertemen
Pendidikan Nasional
______. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Al-krismanto. 2003. Beberapa Teknik, Model, dan Strategi dalam
Pembelajaran Matematika. Yogyakarta : PPPG Matematika.
Dhofier, Zamakhsyari. 1985. Tradisi Pesantren: Studi Tentang
Pandangan Hidup Kyai. Jakarta : LP3ES.
Hasbullah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia : Lintasan
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pondok_pesantren.
Idris Harta. 2009. Higher Order Thinking Skills. PUSKUR
Depdiknas.

Abul Walid, Pembelajaran……

Edu-Math; Vol 2, Desember 2011

Krulik, S & Rudnick. 1999. Innovative Tasks to Improve Critical- and
Creative-Thinking Skills. Developing Mathematical Reasoning
in Grades K-12 .
S. Wojowasito. 2001 . Kamus Umum Belanda-Indonesia. PT. Ichtiar
Baru van Hove.
Sanjaya, Wina. 2011. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar
Proses Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media.
Trianto. 2007. Model–model Pembelajaran Inovatif Berorientasi
Konstruktivisme. Jakarta : Prestasi Pustaka.

Dokumen yang terkait

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF

2 5 46

STUDI PERBANDINGAN HASIL BELAJAR DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DITINJAU DARI PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

6 77 70

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) DENGAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL)

11 75 34

ANALISIS HASIL BELAJAR FISIKA SISWA SMP DITINJAU DARI SKILL ARGUMENTASI ILMIAH SISWA PADA PEMBELAJARAN EKSPERIMEN DI LABORATORIUM NYATA DAN MAYA

4 85 57

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING(PBL) DAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP INVESTIGATION (GI)

6 62 67

MENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA REALIA DI KELAS III SD NEGERI I MATARAM KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN PELAJARAN 2011/2012

21 126 83

PENGARUH KEMAMPUAN AWAL MATEMATIKADAN MOTIFBERPRESTASI TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

8 74 14

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL PADA SISWA KELAS VI SD NEGERI 1 SINAR MULYA KECAMATAN BANYUMAS KAB. PRINGSEWU

43 182 68

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62