MOTIVASI DAN LINGKUNGAN BELAJAR MAHASISW

MOTIVASI DAN LINGKUNGAN BELAJAR
MAHASISWA DENGAN KEMANDIRIAN BELAJAR
PADA JURUSAN SASTRA INGGRIS DI PERGURUAN TINGGI
DI SURABAYA
Yulius Kurniawan
(michael_yulius@yahoo.com)
Nopita Trihastutie
(nophia2002@yahoo.co.uk)
Universitas Widya Kartika
Jalan Sutorejo Prima Utara II/ 1 Surabaya

Abstrak: Semakin besarnya posisi bahasa Inggris sebagai bahasa internasional utama
membuat semakin banyak institusi perguruan tinggi di Indonesia yang menawarkan gelar
dalam bidang sastra atau pendidikan Bahasa Inggris. Namun, pada kenyataannya, banyak
mahasiswa, termasuk dari jurusan Sastra Inggris, yang kurang dapat berkomunikasi dalam
bahasa Inggris dengan baik. Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan
melihat aspek masukan dari proses pembelajaran tersebut, dengan asumsi bahwa masukan
yang baik cenderung berujung pada luaran yang baik pula. Mengingat bahwa bahasa Inggris
bukanlah bahasa sehari-hari di Indonesia, maka mahasiswa haruslah mengupayakan waktu
belajar mandiri di luar jam kuliah. Kapasitas untuk melakukan hal inilah yang disebut dengan
kemandirian belajar.Namun, karena kapasitas ini lebih bukanlah sesuatu yang alami ada pada

mahasiswa, maka diperlukan suatu upaya untuk melihat lebih lanjut profil mahasiswa yang
mempunyai kapasitas tersebut.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profil mahasiswa dengan kemandirian belajar dari
dua aspek, yaitu motivasi dan lingkungan belajar.Hasil penelitian menunjukkan bahwa
mahasiswa dengan kemandirian belajar cenderung termotivasi secara intrinsik dan memiliki
keluarga dengan pola asuh otoritatif. Hasil ini penting bagi para guru dan sekolah untuk
dapat merancang proses yang kondusif bagi tumbuh kembangnya kapasitas kemandirian
belajar. Hasil ini juga penting bagi orangtua untuk dapat menggunakan pola asuh yang
kondusif bagi pengembangan kapasitas kemandirian belajar.
Kata Kunci: Motivasi, Lingkungan Belajar, Kemandirian Belajar

PENDAHULUAN
Hingga dewasa ini, bahasa Inggris tetap kukuh berperan sebagai bahasa internasional utama
di dunia (Kirkpatrick, 2007).Globalisasi dan kemajuan teknologi membuat peran bahasa
Inggris menjadi semakin signifikan karena berperan sebagai bahasa pengantar utama. Hal ini
membuat pembelajaran bahasa Inggris menjadi semakin penting untuk meningkatkan daya
saing sumber daya manusia suatu negara , termasuk Indonesia, dalam dunia global.
Penguasaan bahasa Inggris diyakini menjadi kunci penting dalam bagi sumber daya manusia
Indonesia untuk dapat mengambil peran dan posisi dalam keseluruhan proses ekonomi dunia.
Namun, sebagaimana jamak terjadi, ternyata masih cukup banyak siswa Indonesia, mulai dari

tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, yang kurang dapat berkomunikasi dalam
bahasa Inggris, termasuk juga para mahasiswa dari jurusan Bahasa Inggris yang seharusnya
sudah mempunyai dasar penguasaan bahasa Inggris yang cukup baik. Salah satu upaya
tersebut adalah dengan melihat kembali konsep pembelajaran mandiri (autonomous
learning). Renandya (2011) menekankan relevansi pembelajaran mandiri sebagai alternatif
untuk peningkatan kompetensi bahasa Inggris siswa; dengan belajar secara mandiri, siswa
akan berinteraksi lebih banyak dengan materi pembelajaran, dalam hal ini bahasa Inggris,
karena mendaya-gunakan waktu di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Perspektif ini
sejalan dengan teori Ellis (1997) tentang masukan (input): masukan yang tepat (secara
kualitas maupun kuantitas) dibutuhkan untuk dapat berhasil dalam proses pembelajaran
bahasa. Dalam konteks mahasiswa jurusan bahasa Inggris, mereka yang mempraktekkan
pembelajaran mandiri mempunyai kemungkinan lebih besar untuk dapat menguasai bahasa
yang dipelajari (dalam hal ini bahasa Inggris), karena memiliki interaksi yang cukup dengan
materi pembelajaran tersebut.
Namun, pada prakteknya, mempromosikan pembelajaran mandiri tidaklah mudah.
Sebagaimana dikatakan oleh Holec (1981), yang dikenal sebagai ‘Bapak Pembelajaran
Mandiri’, seluruh tanggung jawab dalam pembelajaran mandiri terletak pada siswa itu
sendiri: dalam konteks ini, mahasiswa sendiri yang merencanakan, melaksanakan, dan
mengevaluasi hasil pembelajarannya sendiri. Hal seperti ini sangat membutuhkan motivasi
dari mahasiswa itu sendiri, yang pastinya tidaklah sama untuk tiap individu; motivasi yang

cukup kuat untuk membuat siswa itu mau melakukan keseluruhan proses itu tanpa ada
paksaan atau pengawasan dari pihak lain. Ini sejalan dengan hakekat pembelajaran mandiri
sebagai suatu kapasitas; tergantung dari mahasiswa tersebut apakah akan merealisasikannya
atau tidak. Tidak heran bila kemandirian mahasiswa berbeda satu sama lain.
Mengingat hal tersebut, perlulah kiranya untuk mengetahui jenis motivasi yang dimiliki oleh
mahasiswa dengan kemandirian belajar dan situasi lingkungan belajar mereka yang kondusif
untuk mengembangkan kapasitas tersebut.Dengan mengetahui dua hal tersebut, dapat
diketahui faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi para mahasiswa mandiri tersebut.
Kemandirian Belajar
Walaupun praktek kemandirian belajar sendiri bukanlah hal baru, perhatian khusus pada
bidang ini baru dimulai di era 1960-an. Dalam gejolak politik Eropa saat itu, muncul
pengakuan akan pentingnya pembelajaran sepanjang hayat bagi penduduk yang dewasa.
Maka, Council for Europe’s Modern Language Project mendirikan CRAPEL (Centre de
Recherches et d’Applications en Langues) yang bertugas mengembangkan pendekatan dan
metode untuk membantu penduduk dewasa belajar dengan mandiri.

Holec (1981, hal. 3), pemimpin dari CRAPEL, mendefinisikan kemandirian sebagai the
ability to take charge of one’s own learning (kemampuan untuk mengendalikan proses
belajarnya sendiri). Kemandirian di sini adalah kemampuan mengambil keputusan dan
bertanggung jawab untuk semua keputusan tentang semua aspek pembelajaran, termasuk

penentuan tujuan, materi dan kemajuan pembelajaran, pemilihan metode dan teknik yang
digunakan, serta penentuan prosedur penguasaan dan evaluasi akan apa yang telah dikuasai.
Singkatnya, siswa adalah pihak yang membuat keputusan, mengatur dan mengevaluasi
aktivitas pembelajaran mereka sendiri (Holec, 1981, hal. 3). Maka, siswa yang mandiri
dikenali dari tindakan mereka, yaitu menentukan (sendiri) tujuan pembelajaran, menentukan
(sendiri) materi dan kemajuan pembelajaran, memonitor (sendiri) prosedur serta
mengevaluasi (sendiri) hasil dari proses pembelajaran.
Walaupun penting sebagai fondasi bagi pengembangan teori kemandirian belajar, ada dua
ahli yang memandang perlunya menambahkan beberapa aspek pada definisi tersebut. Little
(1991, dalam Benson, 2001, hal. 49) menekankan pentingnya ‘aspek psikologis’ dari
kemandirian, yaitu sebagai hasil dari proses berpikir yang terjadi sebelumnya. Ia berpendapat
bahwa kemandirian bukanlah tentang bagaimana suatu proses belajar disusun, (melainkan)
hubungan psikologis terhadap proses dan materi pembelajaran, (sehingga) kapasitas akan
kemandirian akan ditunjukkan baik dalam cara siswa belajar maupun dalam cara bagaimana
ia menggunakan apa yang telah ia pelajari dalam konteks yang lebih luas. Di sini dapat
disimpulkan bahwa kemandirian belajar seorang siswa merupakan hasil pilihan siswa yang
terkait erat dengan persepsi mereka terhadap materi atau proses pembelajaran. Di sinilah
terjadi hubungan antara kemandirian belajar dan motivasi belajar dari siswa.
Berikutnya, Benson (2001) menekankan pentingnya aspek sosial kemandirian belajar.Ia
berpendapat bahwa kemandirian belajar bukanlah sesuatu yang terjadi secara individual,

melainkan terjadi dalam konteks sosial; diperlukan suatu kesepakatan bersama di antara para
siswa tentang materi pembelajaran (Benson, 2001, hal. 49). Maka, proses pembelajaran,
terutama proses pembelajaran bahasa, memerlukan sekelompok siswa untuk belajar bersama,
seperti halnya pembelajaran onlinedi Live Mocha yang sangat mengandalkan kerjasama antar
anggotanya dalam mempelajari suatu bahasa. Ini berujung pada sifat politis dan transformatif
kemandirian (Dewey, Freire dan Illich dalam Benson, 2001, hal. 50).Maka dapat disimpulkan
bahwa siswa mandiri tidaklah terlepas dari lingkungan, namun justru terbuka terhadap
pengaruh lingkungan sekitar mereka.Di sinilah terjadi hubungan antara kemandirian belajar
dan lingkungan belajar.
Secara singkat, konsep kemandirian belajar dalam kaitannya dengan aspek perilaku,
psikologis dan sosial dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1 – Model Kemandirian Belajar (Benson, 2001)

Konsep kemandirian belajar ini relevan dengan peningkatan kemampuan siswa dalam
berbahasa asing, dalam hal ini kemampuan siswa dalam berbahasa Inggris. Menurut
Renandya (2011), salah satu penyebab utama kurangnya kemampuan siswa Indonesia
berbahasa Inggris terletak pada kurangnya inputdalam bahasa Inggris yang memadai. Ini
sejalan dengan teori Ellis (1997, hal. 6-7), yaitu bahwa input adalah salah satu faktor
eksternal yang diperlukan untuk penguasaan bahasa (asing), yakni contoh-contoh dari
penggunaan bahasa (asing) tersebut. Input ini akan diproses siswa dengan menggunakan

Language Acquisition Device (LAD), bagian yang disebut alat pemerolehan bahasa dalam
otak manusia. Input ini berperan sebagai pemicu berfungsinya LAD, seperti ditunjukkan
dalam model komputasi Ellis berikut ini (1997, hal. 35):
Gambar 2 – Model Komputasi Pemerolehan Bahasa Kedua
Input

intake

L2 knowledge

output

Dalam model tersebut, input pertama kali akan disimpan dalam memori jangka pendek
berupa intake. Setelah beberapa lama, intake ini akan tersimpan dalam memori jangka
panjang sebagai L2 knowledge. Proses pengubahan menjadi intake dan L2 knowledge ini
terjadi dalam LAD. Akhirnya, siswa akan menggunakan L2 knowledge untuk menghasilkan
output (luaran) secara lisan maupun tertulis. Maka, merujuk kepada model di atas,
kemandirian belajar akan dapat meningkatkan input bagi para siswa karena mereka akan
menggunakan baik waktu di dalam maupun waktu di luar kelas untuk mempelajari bahasa
asing tersebut, dalam hal ini bahasa Inggris.

Motivasi Belajar
Secara definisi, motivasi berasal dari kata latin ‘movere’ yang berarti ‘bergerak’ (Ushioda,
2008, dalam Griffiths (Ed), 2008, hal. 19). Secara ringkas, Ushioda (2008) kemudian
mendefinisikan motivasi sebagai sesuatu yang menggerakkan orang untuk membuat pilihan
tertentu, melakukan sesuatu, atau untuk tetap melakukan sesuatu. Definisi ini sejalan dengan
definisi Santrock (2009, hal. 460) tentang motivasi: proses yang memberi energi,
mengarahkan dan mempertahankan suatu tindakan. Keduanya, Ushioda dan Santrock, samasama menekankan pada dorongan yang memicu atau mempertahankan suatu tindakan. Maka,
secara ringkas, motivasi dapat dikatakan sebagai suatu dorongan yang membuat orang
melakukan apa yang mereka lakukan. Terkait dengan penelitian ini, motivasi adalah sesuatu
yang mendorong siswa untuk belajar mandiri.
Dalam proses pembelajaran, ada dua jenis utama motivasi: intrinsik dan ekstrinsik (Santrock,
2009, hal. 463). Motivasi intrinsik didefinisikan sebagai melakukan sesuatu karena hal itu
sendiri, atau mempunyai tujuan dalam hal itu sendiri.Misalnya, seorang siswa mempelajari
bidang yang disukainya, yang bertujuan untuk semakin memahami atau menguasai bidang
tersebut. Motivasi ekstrinsik didefinisikan sebagai melakukan sesuatu untuk memperoleh
sesuatu yang lain, misalnya saat seorang siswa belajar untuk memperoleh nilai yang tinggi.
Namun, penelitian yang dilakukan oleh Lepper, Corus dan Iyengar (2005, dalam Santrock,
2009, hal. 463-464) menunjukkan bahwa motivasi intrinsik berkorelasi positif dengan nilai
dan tes terstandarisasi.


Lingkungan Belajar
Lingkungan belajar yang dimaksud adalah lingkungan di mana siswa banyak menghabiskan
waktunya: keluarga, rekan sebaya, dan sekolah (universitas).
A. Keluarga (Orang Tua)
Mengingat perannya yang sangat besar, maka pembicaraan tentang keluarga pada
penelitian ini dibatasi pada orang tua siswa. Terkait dengan itu, Baumrind (1971, 1996,
dalam Santrock, 2009, hal. 80-81) memaparkan empat bentuk utama pola asuh orang tua,
yaitu:
1. Pola Asuh Otoritarian
Orang tua bertipe ini cenderung bersikap membatasi dan menghukum.Mereka
membuat serangkaian aturan dan mengharuskan anak-anak mereka untuk
menaatinya.Orang tua memberikan batasan-batasan yang tegas dengan hampir tidak
ada negosiasi.Anak-anak dengan orang tua seperti ini cenderung untuk menjadi
kurang (bahkan tidak) kompeten dalam interaksi sosial, mudah khawatir dibandingbandingkan, pasif dan memiliki kemampuan komunikasi yang buruk.Pola asuh ini
bersifat negatif terhadap pengembangan kemandirian anak-anak.
2. Pola Asuh Otoritatif
Orang tua bertipe otoritatif cenderung untuk mendorong anak-anaknya untuk mandiri,
namun masih memberikan batasan-batasan untuk mengendalikan tindakan
mereka.Interaksi mereka bersifat saling memberi di mana orang tua mendidik dan
mendukung anak-anaknya.Anak-anak dengan orang tua seperti ini cenderung menjadi

kompeten secara sosial dan menunjukkan rasa percaya diri yang tinggi.Baumrind
sendiri sangat menyarankan pola asuh ini karena melihat dampak positif yang
dihasilkan.Pola ini bersifat positif bagi pengembangan kemandirian belajar.
3. Pola Asuh Pengabaian (Neglectful)
Orang tua bertipe ini cenderung tidak terlibat dalam kehidupan anak-anaknya. Anakanak ini seringkali merasa bahwa ada sisi lain dari kehidupan orang tuanya yang lebih
penting daripada mereka. Anak-anak yang berasal dari pola asuh seperti ini
cenderung kurang (bahkan tidak) kompeten secara sosial.Mereka cenderung
mengalami kesulitan saat berinteraksi atau membangun relasi dengan teman-teman
sebayanya.Anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh ini cenderung mengalami
kesulitan untuk mengembangkan kemandirian, karena mereka cenderung kekurangan
inisiatif untuk memulai sesuatu dan kreativitas yang dibutuhkan untuk belajar secara
mandiri.
4. Pola Asuh Pemanjaan (Indulgent)
Orang tua bertipe ini cenderung sangat terlibat dengan anak-anaknya, namun tidak
memberikan batasan-batasan bagi tindakan anak-anaknya. Mereka cenderung
membiarkan anak-anak mereka melakukan apa saja yang diinginkan karena berpikir
bahwa dukungan dan minimnya batasan akan membuat anak-anak mereka menjadi
kreatif dan percaya diri. Walaupun hal itu mungkin saja benar, anak-anak tetap saja
tidak mempunyai kendali diri untuk mengendalikan tindakan mereka.Terkait dengan
kemandirian belajar, anak-anak ini mungkin dapat belajar mandiri secara individu,

namun cenderung bermasalah saat belajar atau bekerja dalam kelompok.
Hal kedua yang penting dibahas seputar orang tua adalah tingkat keterlibatan mereka
dalam kehidupan anak-anaknya. Tingkat partisipasi orang tua yang tinggi terhadap

anak-anaknya akan berdampak positif bagi capaian si anak dalam belajar,
sebagaimana disebutkan oleh Anguiano (2004, dalam Santrock, 2009, hal. 86) data
dari National Center for Education Statistics di Amerika (1997, dalam Santrock,
2009, hal. 86) Epstein (2005), serta Sheldon dan Epstein (2005, dalam Santrock,
2009, hal. 88).
B. Rekan Sebaya
Santrock (2009, hal 88) mendefinisikan rekan sebaya sebagai “anak-anak yang
mempunyai usia atau tingkat kematangan yang sama”. Walaupun sekilas hanya dibatasi
pada anak-anak, hal ini juga berlaku hingga pada tingkat universitas, dalam hal ini
mahasiswa pada angkatan yang sama.
Ada dua hal penting terkait dengan rekan sebaya: status rekan sebaya dan pertemanan.
Santrock (2009, hal 88-89) membagi status rekan sebaya menjadi lima: anak yang
populer, anak yang biasa saja, anak yang diabaikan, anak yang ditolak, dan anak yang
kontroversial. Anak yang populer banyak disukai temannya dan jarang dibenci.Anak
yang biasa saja disukai dan tidak disukai secara biasa saja.Anak yang diabaikan adalah
mereka yang jarang disukai temannya, tapi juga tidak dibenci.Anak yang ditolak adalah

mereka yang seringkali tidak disukai oleh temannya.Anak yang kontroversial adalah anak
yang seringkali disukai atau tidak disukai oleh teman-temannya.
Untuk pertemanan, Santrock (2009, hal. 89) menekankan pentingnya membangun
hubungan pertemanan antar teman sebaya. Penelitian yang dilakukan oleh Wentzel, Barry
dan Caldwell (2004, dalam Santrock, 2009, hal. 89) menunjukkan bahwa siswa tingkat
enam yang tidak mempunyai teman akan kurang dapat mengembangkan perilaku
prososial (bekerjasama, berbagi, membantu orang lain), mempunyai nilai yang lebih
rendah, dan lebih mudah stres secara emosional dibandingkan mereka yang mempunyai
satu atau dua orang teman. Karenanya, Santrock (2009, hal. 89) berpendapat bahwa akan
lebih menguntungkan bila anak berteman dengan anak-anak yang berorientasi akademik,
punya kemampuan secara sosial, dan mendukung. Sebaliknya, pertemanan dengan anakanak yang nakal akan meningkatkan peluang bagi si anak untuk juga menjadi anak nakal.
Status rekan sebaya dan pertemanan tampaknya akan mempengaruhi pengembangan
kemandirian belajar. Mahasiswa yang mandiri cenderung untuk mempunyai teman-teman
yang juga mandiri.Perlu ditekankan juga bahwa kecenderungan ini tidak lantas berarti
ada hubungan sebab-akibat, tapi lebih menunjukkan kemungkinan untuk
mengembangkan kemandirian belajar anak.
C. Sekolah
Pada umumnya, sekolah mencakup berbagai tingkatan pendidikan, termasuk juga tingkat
universitas.Santrock (2009, hal. 95) mengungkapkan keprihatinannya tentang banyaknya
siswa di Amerika yang lulus dengan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung yang
kurang memadai dan siswa putus sekolah yang kemampuannya kurang memadai untuk
memperoleh pekerjaan yang layak.Salah satu alternatif solusi yang dijalankan adalah
dengan mendorong siswa di Amerika mengikuti kegiatan ekstra kurikuler, yang terbukti
efektif dalam mengurangi jumlah siswa putus sekolah (Fredricks, 2008, dalam Santrock,
2009, hal. 95).Selain itu, Fredricks (2008, dalam Santrock, 2009, hal. 96) juga
menemukan bahwa siswa yang mengikuti ekstra kurikuler juga mendorong mereka untuk
mempunyai nilai yang lebih tinggi, terlibat lebih banyak dalam sekolah, lebih percaya
diri, mengurangi tingkat depresi, kenakalan dan penyalahgunaan obat-obatan. Dengan

kata lain, kegiatan ekstra kurikuler yang bermutu tinggi cenderung mendorong
perkembangan kedewasaan secara positif (Fredricks & Eccles, 2006, dalam Santrock,
2006, hal. 96).
Bagi siswa di Indonesia, permasalahan yang ada juga kurang lebih sama. Peneliti
mendapati mahasiswanya cenderung untuk berorientasi nilai daripada berorientasi
kemampuan.Artinya, mahasiswa cenderung mencari nilai yang tinggi tanpa
mempedulikan kemampuan mereka.Keterangan dari sesama rekan dosen memberikan
masukan bahwa hal ini sudah jamak terjadi. Tidak jarang mahasiswa menggunakan
segala cara untuk memperoleh nilai yang baik, mulai dari mencontek hingga menyuap.
Tidak heran bila cukup sering didapati siswa yang lulus dengan kemampuan yang tidak
memadai.
Data di atas mengindikasikan minimnya dukungan dari universitas di Indonesia untuk
mendorong kemandirian mahasiswa.Namun, ada indikasi awal bahwa universitas
tertolong karena adanya kegiatan ekstra kurikuler.Selain itu, penting juga untuk melihat
sejauh mana dosen dalam mengajar menggunakan aktivitas yang bersifat mendorong
kemandirian mahasiswa.
Penelitian Sebelumnya
Beberapa penelitian sebelumnya menjadi rujukan bagi penelitian ini.Penelitian pertama
adalah penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi (2009). Penelitian kuantitatif ini bertujuan
untuk melihat kemandirian mahasiswa jurusan pendidikan bahasa Inggris di salah satu
universitas swasta di Surabaya, sejauh apakah kemandirian mereka dalam belajar, faktor apa
yang mempengaruhi pembelajaran mandiri mereka dan korelasi antara tingkat kemandirian
dengan prestasi akademik mereka. Kontribusi utama dari penelitian ini adalah kuesioner yang
nantinya diadaptasi menjadi Learning Autonomy Questionnaire (LAQ).
Penelitian kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan (2012).Penelitian studi
kasus ini bertujuan untuk melihat motivasi dan lingkungan belajar mahasiswa jurusan sastra
Inggris di salah satu perguruan tinggi di Surabaya.Hasil penelitian ini adalah bahwa semakin
tinggi tingkat kemandirian mahasiswa, motivasinya semakin bersifat intrinsik.Selain itu juga
didapati bahwa mahasiswa yang mandiri cenderung mempunyai orang tua dengan pola asuh
otoritatif.Penelitian oleh Kurniawan ini memberikan kerangka dasar yang dibutuhkan untuk
menyusun penelitian kali.
Penelitian ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Myartawan, Latief, dan Suharmanto
(2011).Penelitian korelatif ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kemandirian belajar
dan kemampuan berbahasa Inggris mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di
Bali.Hasil menunjukkan bahwa ada korelasi positif yang signifikan antara kemandirian
belajar dan kemampuan berbahasa Inggris.Penelitian ketiga ini menguatkan asumsi dasar
bahwa kemandirian belajar memang mempunyai hubungan yang positif yang signifikan
terhadap kemampuan akademik mahasiswa.

METODE PENELITIAN
Penelitianini pada dasarnya dilakukan untuk menjawab dua pertanyaan berikut:
a. Jenis motivasi apa yang mendorong mahasiswa untuk mandiri? (MOTIVASI)
b. Lingkungan belajar apa yang dimiliki mahasiswa mandiri ini? (LINGKUNGAN)
Mengingat untuk menjawab dua pertanyaan tersebut diperlukan pemahaman mendalam
tentang motivasi dan lingkungan belajar mahasiswa mandiri, desain yang dipilih adalah studi
kasus.Untuk identifikasi mahasiswa mandiri, peneliti menggunakan LAQ.Dari mahasiswa
mandiri ini, peneliti mewawancari beberapa orang untuk menggali motivasi dan lingkungan
belajar mereka. Model desain penelitian adalah sebagai berikut:
Gambar 3 - Model Desain Penelitian

KEMANDIRIAN
Mahasiswa mana yang mandiri?

YA

TIDAK

Mahasiswa ini mandiri
WAWANCARA BEBERAPA DARI MEREKA

Mahasiswa ini tidak
mandiri
DISISIHKAN

MOTIVASI

LINGKUNGAN

Motivasi jenis apa
yang mereka miliki?

Lingkungan belajar
macam apa yang
mereka miliki?

Partisipan Penelitian
Peserta penelitian adalah para mahasiswa jurusan sastra Inggris dari berbagai universitas di
Surabaya, Indonesia. Untuk meningkatkan fokus penelitian, maka jurusan sastra Inggris yang
dipilih adalah jurusan yang minimal terakreditasi B dan dapat diakses oleh peneliti. Ada 4
universitas dengan kategori tersebut yang akhirnya terlibat dalam penelitian ini, yaitu
Universitas Widya Kartika, Universitas 17 Agustus, Universitas Dr. Soetomo dan Universitas
Airlangga.
Instrumen Penelitian
Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Table 3 – Instrumen Penelitian
Hal
KEMANDIRIAN
MOTIVASI
LINGKUNGAN

Data
Opini
Opini
Opini

Sumber Data
Students
Students
Students

Instrumen Penelitian
LAQ
Interview Protocol
Interview Protocol

a. Learning Autonomy Questionnaire (LAQ)
LAQ diadaptasi dari kuesioner yang dikembangkan oleh Wahyudi (2010), yang didesain
dan telah digunakan untuk menentukan tingkat kemandirian mahasiswa, terdiri dari 20

item pertanyaan skala Likert dengan 4 pilihan: sangat tidak setuju (1), tidak setuju (2),
setuju (3) dan sangat setuju (4). Interpretasi dilakukan dengan membandingkan rata-rata
skor dengan tabel berikut ini:
Tabel 4 – Kriteria Interpretasi LAQ
Tingkat Kemandirian
Interpretasi
Mahasiswa
Tingkat 1
Tidak Mandiri – Pembelajaran sangat dipengaruhi
(rata-rata: 1 – 1.999)
faktor eksternal
Tingkat 2
Kurang Mandiri - Pembelajaran sebagian besar
(rata-rata: 2 – 2.999)
dipengaruhi faktor eksternal
Tingkat 3
Mandiri - Pembelajaran sebagian besar dipengaruhi
(rata-rata: 3 – 3.999)
faktor internal
Tingkat 4
Sangat Mandiri – Pembelajaran sepenuhnya
(rata-rata: 4)
dipengaruhi faktor internal

b. Penggalian Motivasi: Wawancara Partisipan
Peneliti mewawancarai partisipan mandiri untuk menggali motivasi mereka. Bentuk
wawancara adalah semi-structured menggunakan interview protocol, yang dikembangkan
dengan teori motivasi sebagai dasar utama guna melihat tipe motivasi mahasiswa:
motivasi intrinsik atau ekstrinsik. Karena keterbatasan waktu, wawancara yang sedianya
direkam menjadi dicatat dengan field notes.
c. Penggalian Lingkungan Belajar: Wawancara Partisipan
Wawancara akan dilakukan hanya pada para partisipan mandiri, termasuk tentang dosen
dan orang tua. Ini dilakukan karena semua pertanyaan ini adalah pertanyaan yang
memang dapat dijawab oleh partisipan.Interview protocol dikembangkan dengan teori
tentang lingkungan belajar dari Santrock sebagai dasar utama. Wawancara akan direkam
sebagai bukti dengan seijin partisipan.
Prosedur Pengumpulan Data
Pertama, peneliti menggunakan LAQ untuk menentukan kelompok mahasiswa yang
mandiri.Kemudian peneliti berfokus pada kelompok mahasiswa mandiri ini untuk
mengumpulkan data tentang motivasi dan lingkungan belajar mereka.Sedianya, peneliti
hendak mewawancarai mahasiswa mandiri dengan skor LAQ tertinggi dan terendah dari tiap
universitas.Namun, sehubungan adanya partisipan yang tidak dapat dikontak atau tidak
bersedia, akhirnya peneliti mewawancarai mahasiswa mandiri yang bersedia diwawancarai
dan yang dapat dikontak.
Prosedur Analisa Data
Analisa dilakukan terhadap dua jenis data yang diperoleh dari penelitian ini: data kuantitatif
dari LAQ dan data kualitatif dari hasil wawancara dengan prosedur berikut:
a. Analisa Data Kuantitatif
Data dari LAQ akan dihitung untuk mencari rata-rata dengan kuantifikasi pilihan peserta
(Sangat Tidak Setuju=1, Tidak Setuju=2, Setuju=3, Sangat Setuju=4). Norma interpretasi
dari nilai rata-rata sesuai dengan Tabel 4.
b. Analisa Data Kualitatif
Peneliti akan mewawancarai sebagian kecil dari mahasiswa mandiri untuk memahami
motivasi dan lingkungan belajar mereka. Analisa akan dilakukan berdasarkan model dari
Creswell (2012) sebagai berikut:

Gambar 4– Adapatasi Model Analisa Data Kualitatif dari Creswell
Coding teks untuk tema dalam
laporan penelitian

Coding teks untuk deskripsi
dalam laporan penelitian

Coding data
Bersamaan
Membaca data secara keseluruhan
(untuk memperoleh gambaran umumnya)
Iterative
Menyiapkan data untuk dianalisa
(transkripsi data rekaman wawancara)
Pengumpulan data
(rekaman wawancara)

HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahap pertama penelitian ini adalah dengan mengidentifikasi para mahasiswa dengan
kemandirian belajar melalui aplikasi Learning Autonomy Questionnaire (LAQ).Tahap kedua
adalah dengan mewawancarai sejumlah mahasiswa tersebut sebagai sampel untuk
mengetahui seperti jenis motivasi dan lingkungan belajar yang mereka miliki.Perijinan untuk
pelaksanaan penelitian di masing-masing universitas dilakukan pada bulan Agustus
2014.Tahap pertama dilaksanakan pada bulan September dan awal Oktober 2014.Tahap
kedua dilakukan pada bulan Oktober 2014.
a. Penyebaran LAQ
Kuesioner disebarkan di 4 universitas di Surabaya dengan jurusan Sastra Inggris, yaitu
Universitas Widya Kartika, Universitas 17 Agustus, Universitas Dr. Soetomo, dan
Universitas Airlangga. Secara keseluruhan ada 223 mahasiswa yang mengisi LAQ.Dari
jumlah tersebut, 124 mahasiswa mempunyai kemandirian belajar, 91 mahasiswa kurang
memiliki kemandirian belajar, dan 8 kuesioner tidak valid. Keterangan detil dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 5 – Hasil Penyebaran LAQ
Universitas
Widya Kartika Sby
17 Agustus Sby
Dr. Soetomo Sby
Airlangga Sby
Total/ Average

Mandiri

Kurang
Mandiri

Tidak
Valid

Total

Ratio
Kemandirian

20
41
29
34
124

16
31
18
26
91

0
5
0
3
8

36
77
47
63
223

56%
53%
62%
54%
56%

b. Wawancara
Dari mahasiswa dengan kemandirian belajar, total 20 mahasiswa telah diwawancarai,
dengan rincian 6 mahasiswa dari Universitas Widya Kartika, 5 mahasiswa dari
Universitas 17 Agustus, 6 mahasiswa dari Universitas Dr. Soetomo dan 3 mahasiswa dari

Universitas Airlangga. Wawancara ini dilakukan dengan menyesuaikan kesediaan serta
jadwal mahasiswa yang bersangkutan.
Dari hasil analisa wawancara, didapati bahwa mahasiswa dengan tingkat kemandirian yang
lebih tinggi cenderung mempunyai motivasi yang lebih bersifat intrinsik.Motivasi-motivasi
seperti ingin meneruskan studi, menggunakan bahasa Inggris sebagai sarana untuk lebih
mengembangkan usaha hingga menyukai bahasa Inggris itu sendiri merupakan motivasi yang
mempunyai kecenderungan lebih berasal dari dalam.Hal ini menunjukkan konsistensi dengan
ciri-ciri motivasi intrinsik (Santrock, 2009).
Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa lingkungan belajar yang konsisten dimiliki oleh
mahasiswa-mahasiswa dengan kemandirian belajar adalah orangtua yang dengan pola asuh
otoritatif.Dalam hal ini, orangtua memberi ruang bagi anak-anaknya untuk memilih dan
bertindak, namun tetap memberikan batasan-batasan yang jelas.Hal ini sesuai dengan ciri-ciri
orangtua otoritatif (Santrock, 2009).

KESIMPULAN DAN SARAN
Dari penelitian ini dari laporan ini dapat simpulkan bahwa jenis motivasi utama bagi
mahasiswa yang mempunyai kemandirian belajar adalah motivasi
intrinsik.Untuk
lingkungan belajar, dapat disimpulkan bahwa lingkungan belajar yang konsisten
mempengaruhi adalah orangtua dengan pola asuh otoritatif.
Mengingat sulit untuk memastikan kesediaan partisipan untuk wawancara dan membuat janji
wawancara dengan partisipan, maka disarankan untuk penelitian sejenis berikutnya untuk
mengatur waktu sedemikian rupa sehingga wawancara dapat dilakukan pada hari itu juga.
Pilihan lain adalah menghilangkan wawancara dan mengembangkan kuesioner yang dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian sebanyak mungkin sehingga wawancara tidak
diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA
Benson, P. (2001). Teaching and Researching Autonomy in Language Learning. Essex, UK:
Pearson Education, p.7-8, 47-58.
Cotterall, S. (2008). Autonomy and Good Language Learner. In C. Griffiths (Ed.), Lessons
from Good Language Learner (pp. 110-120). Cambridge, UK: Cambridge University:
110 - 120.
Creswell, J.W. (2012). Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating
Quantitative and Qualitative Research. Fourth Edition. MA: Pearson, p.206-210,
236-264.
Ellis, R. (1997). Second Language Acquisition.Oxford Introductions to Language Study.
Oxford, UK: Oxford University, p.3-6, 31-35, 43-49, 66, 73-74, 83-86.
Holec, H. (1981). Autonomy and Foreign Language Learning. Oxford, UK: Pergamon, p. 18.

Kirkpatrick, A. (2007). World Englishes: Implications for International Communication and
English Language Teaching. Cambridge, UK: Cambridge University.
Kurniawan, Y. (2012). Motivation and Learning Environment of Autonomous Learners of an
English Department.Unpublished Thesis.
LiveMocha Community (www.livemocha.com)
Myartawan, I P.N.W., Latief, M.A. & Suharmanto (2013).The Correlation between Learner
Autonomy and English Proficiency of Indonesian EFL College Learners.TEFLIN
Journal, Vol. 24, Number 1, January 2013. Malang, Indonesia
Santrock, J.W. (2009). Educational Psychology.Fourth Edition. NY: McGraw-Hill, p.80-97,
122, 458-499.
Renandya, W.A. (2011). A General Lecture. Surabaya, Indonesia: WIdya Mandala Catholic
University
Ushioda, E. (2008). Motivation and Good Language Learner. in C. Griffiths (Ed.), Lessons
from Good Language Learner (pp. 19-34). Cambridge, UK: Cambridge University:
19 - 38.
Wahyudi, W. (2010).Learning Autonomy of English Education Study Program Students in
Widya Mandala Catholic University Surabaya.Unpublished Thesis.