Analisis Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Yang Dikuasi Oleh Salah Satu Pewaris (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 2134 K Pdt 1989)

26

BAB II
FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN
SEBAHAGIAN AHLI WARIS MENGUASAI HARTA WARISAN

A. Pengertian Kewarisan
Kata kewarisan berasal dari kata warasa, kata kewarisan banyak digunakan
dalam al-Qur’an dan kemudian di rinci dalam Sunnah Rasulullah SAW hukum Islam
dibangun.24 Dalam literature Indonesia kata kewarisan dengan awalan “ke” dan
akhiran “an” jelas menunjukkan kata benda dan mempunyai makna yang
berhubungan dengan mewarisi, diwarisi dan diwariskan.25
J. Satrio, menyebutkan bahwa Hukum waris adalah peraturan yang mengatur
perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu / beberapa orang
dengan dalam hal ini hukum waris merupakan bagian dari harta kekayaan.26
Idris Djakfar dan Taufik Yahya mendifinisikan bahwa hukum kewarisan ialah
seperangkat ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak dari seseorang yang
telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan
tersebut berdasarkan pada wahyu Ilahi yang terdapat dalam al-Qur'an dan
penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, dalam istilah arab disebut
Faraidl.27


24

M. Yunus Daulay & Nadarlah Naimi. Fiqih Muamalah. (Medan: Ratu Jaya, 2011) hal. 121
Achmad Kuzari, Sistem Asabah (Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta Tinggalan),
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 9.
26
J. Satrio. Hukum Waris, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 19
27
Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam (Jakarta; PT.Dunia
Pustaka Jaya, 1995), hal. 3-4.
25

26

Universitas Sumatera Utara

27

Menurut etimologi atau bahasa kata warasa memiliki beberapa arti: pertama

mengganti, kedua: memberi, ketiga: mewarisi. Sedangkan secara terminology
(istilah), hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan,
mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan itu untuk setiap yang
berhak.28 Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pembagian harta
warisan dari pewaris kepada ahli waris yang masih hidup. Dalam hukum Islam
terdapat beberapa istilah, yaitu, faraidhl, fiqih mawaris, dan lain-lain.29
Waris adalah peraturan–peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan
seseorang yang meninggal dunia kepada para ahli warisnya. Batasan tersebut
menetapkan suatu hal dalam waris, bahwa yang berpindah dalam pewarisan adalah
kekayaan si pewaris.
Hukum waris adalah: “Hukum yang mengatur tentang peralihan harta
kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli
warisnya.”30 Pada asasnya hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan
hukum kekayaan/harta benda saja yang dapat diwaris. Beberapa pengecualian, seperti
hak seorang bapak untuk menyangkal sahnya seorang anak untuk menuntut supaya
dinyatakan sebagai anak sah dari bapak atau ibunya (kedua hak itu adalah dalam
lapangan hukum kekeluargaan).

28
Muhammad Syarbaini al-Khatib. Mughni al-Muhtaj. juz 3. Mustafa al-Baby al-Halaby.

Kairo. hal. 3
29
Suparman Usaman dan Yusuf Somawinata. Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam.
(Jakarta: Gaya Media Parata, 1997), hal. 22
30
Effendi Perangin. Hukum Waris. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 3

Universitas Sumatera Utara

28

A. Pitlo memberikan defenisi hukum waris sebagai berikut:
Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai
kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai perpindahan kekayaan
yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari perpindahan ini bagi orangorang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan
mereka, mapun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga. 31
Hukum waris adalah peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seorang
yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain. Intinya adalah peraturan
yang akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan, yang
bewujud: perpindahan kekayaan si pewaris dan akibat hukum perpindahan tersebut

bagi para ahli waris, baik dalam hubungan antara sesama ahli waris maupun antara
mereka dengan pihak ketiga.32
Pengertian waris menurut beberapa ahli hukum fiqih dapat disebutkan sebagai
berikut:
a.

Menurut Departemen Agama Repubik Indonesia, Hukum Kewarisan Islam
adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi
ahliwaris dan menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris.33

b.

Abdullah Malik Bin As-Sayyid Salim, Ilmu Faraidh ialah ilmu yang
mempelajari kaidah-kaidah fikih dan ilmu hitung yang berkaitan dengan harta

31
A. Pitlo (alih bahasa M. Isa Arief), Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum
Perdata Belanda, (Jakarta: Intermasa, 1971) hal. 2
32

J. Satrio.Op. Cit hal.22.
33
Departemen Agama Republik Indonesia. Bahan Penyuluhan Hukum. (Jakarta: Departemen
Agama Republik Indonesia, 2001) hal. 57

Universitas Sumatera Utara

29

warisan dan orang-orang yang berhak yang mendapatkannya agar masing-masing
orang yang berhak mendapatkan bagian harta warisan yang menjadi haknya.34
Pada asasnya, menurut undang-undang, untuk dapat mewaris orang harus
mempunyai hubungan darah dengan si pewaris. Hubungan darah tersebut dapat sah
atau luar kawin, baik melalui garis ibu maupun garis bapak. Hubungan darah yang
sah adalah hubungan darah yang ditimbulkan akibat dari suatu perkawinan yang sah.
Hubungan darah yang tak sah timbul sebagai akibat hubungan antara seorang lakilaki dan seorang perempuan dan pengakuan anak secara sah. Apa pun itu syaratnya
suatu perkawinan yang sah dan apa yang disebut keturunan luar kawin diatur dalam
hukum keluarga.
B. Sebab-Sebab Mewarisi
Sebelum harta warisan yang ditinggalkan pewaris dibagikan ada beberapa

hal yang harus dilakukan, sebelumnya perlu diketahui bahwa ada yang dikenal harta
peninggalan, dalam terminologi fiqih disebut dengan tirkah. Harta peninggalan adalah
harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi
miliknya maupun hak-haknya. Agar harta peninggalan tersebut dapat dibagi sebagai
harta warisan maka perlu diselesaikan kewajiban-kewajiban tertentu.
Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama
setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah, pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.35

34

Abdullah Malik Bin As-Sayyid Salim. Sahih Fikih Sunnah. Penterjemah Khairul Amru
Harahap dan Faisal Saleh. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hal. 682

Universitas Sumatera Utara

30

Dalam Islam, ahli waris itu ada dua macam, yakni ahli waris nasabiyah yaitu
ahliwaris yang hubungan kewarisannya didasarkan karena hubungan darah

(keturunan atau kekerabatan) yang mana semua ahli waris yang ada pertalian darah
baik laki-laki maupun perempuan dan anak-anak diberi hak menerima bagian
menurut jauh dekatnya kekerabatannya, bahkan bayi yang masih berada dalam
kandungan ibunya pun memiliki hak yang sama dengan yang sudah dewasa. Namun
hal ini berlaku ketentuan hijab.36
Kedua, ahli waris Sababiyah yaitu ahli waris yang kewarsiannya
berdasarkan pernikahan dan memerdekakan budak (hamba sahaya) namun
dikarenakan perbudakan sudah tidak ada pada saat sekarang ini, maka penerapannya
juga sudah tidak berlaku.
Rukun waris Islam ada tiga, yaitu:
a.

Maurus yaitu harta benda yang ditinggalkan oleh pewaris yang bakal diwariskan
pada ahli waris setelah diambil dari biaya perawatan, melunasi utang-utang si
mayit dan setelah melaksanakan wasiat.

b.

Muwaris yaitu orang yang meninggal dunia, baik mati hakiki maupun mati
hukmi. Mati hukmi adalah suatu kematian yang dinyatakan oleh putusan

pengadilan atas dasar beberapa sebab, walaupun dalam arti sesungguhnya ia
belum mati.

35

M. Yunus Daulay & Nadarla Naimi. Op. Cit. hal. 123

36

Ahmad Rofiq. Hukum Islam Di Indonesia. (Jakarta: Rajawali Pers. Cet. ke-2, 1997) hal. 389

Universitas Sumatera Utara

31

c.

Waris yaitu orang yang akan mewarisi harta peninggalan si mawaris lantaran
mempunyai sebab-sebab untuk mempusakai, seperti adanya ikatan perkawinan,
hubungan darah dan adanya perwalian dengan si muwarits. 37

Abdullah Syah membagi sebab-sebab mewarisi itu kepada 4 (empat) sebab,

yaitu perkawinan, kekerabatan, memerdekakan hamba, sumpah setia.
1.

Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar’i) antara seorang lakilaki dan perempuan.

2.

Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara,
paman, dan seterusnya.

3.

Al-wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Yang menjadi penyebab adalah
kenikmatan pembebasan hamba yang dilakukan seseorang.

4.

Sebab sesama Islam (baitul mal). Baitul mal adalah: tempat harta umum kaum

muslimin yang di bawah kekuasaan pemerintah. 38

C. Penghalang Mewarisi
Menurut Kompilasi Hukum Islam39 yang sebagaimana diatur dalam Pasal 173,
seorang terhalang menjadi ahli waris oleh putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dihukum karena:
a.

Dipersalahkan karena telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat para pewaris.
37

Fachtur Rahman. Op.Cit., hal. 36
H. Abdullah Syah dan Amal Hayati, Hukum Waris Islam, (Medan: Wal Ashri Publishing,
2011), hal. 28-30.
39
Moh Muhibin dan Adul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003),
hal. 173.
38


Universitas Sumatera Utara

32

b.

Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris
telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara
atau hukuman yang lebih berat.
Isi dari Pasal 173 KHI40 di atas sama dengan isi dari Pasal 838 KUHPerdata,

akan tetapi dalam Pasal 186 KHI yang dijelaskan oleh H. M. Mawardi Muzamil.
Dalam tulisannya yang berjudul Hikmah Waris dalam Islam mengatakan, “bahwa
seorang laki-laki yang melakukan zina dan mengakibatkan lahirnya anak hasil zina,
maka ia tidak berhak menjadi ahli waris dari anak hasil zinanya, dan anak hasil zina
juga tidak dapat berkedudukan sebagai ahli waris dari laki-laki yang menyebabkan ia
dilahirkan”.
Penghalang, yang kita kenal dengan istilah Al-Hajib, ini ada dua.

40

Mawardi Muzami, “Hikmah Waris dalam Islam”, mawardi.blog.unissula.ac.id/.../hikmahpembagian-harta-kewarisan, diakses tanggal 10 Nopember 2012. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
adalah sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri atas
tiga kelompok materi hukum, yaitu Hukum Perkawinan (170 pasal), Hukum Kewarisan termasuk
wasiat dan hibah (44 pasal) dan Hukum Perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal ketentuan penutup
yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut. KHI disusun melalui jalan yang sangat panjang
dan melelahkan karena pengaruh perubahan sosial politik terjadi di negeri ini dari masa ke masa.
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 pada dasarnya adalah perintah sosialisasi KHI untuk digunakan oleh
instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya. Secara tegas dalam Inpres tersebut
disebutkan bahwa Presiden mengintruksikan kepada Menteri Agama untuk menyeberluaskan KHI.
Demikian pula Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991, ada tiga butir penting disebutkan
dalam keputusan tersebut, yaitu pertama, seluruh intansi pemerintah lainnya yang terkait agar
menyebarluaskan KHI di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan untuk digunakan
oleh intansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah di
bidang hukum tersebut. Kedua, seluruh lingkungan intansi tersebut dalam menyelesaikan masalahmasalah hukum sedapat mungkin menerapkan KHI di samping peraturan perundangan
lainnya. Ketiga; Dirjen Binbaga Islam dan Dirjen BIUH mengkoordinasikan pelaksanaan keputusan
menteri ini dalam bidang tugasnya masing-masing.

Universitas Sumatera Utara

33

Pertama: Karena sifat, seperti: budak, pembunuh dan berbeda agama. Artinya,
meskipun seseorang termasuk ahli waris anak dari si mayit, tetapi karena anak ini
yang membunuh pewaris (yang mewariskan) tadi, anak ini murtad, atau berstatus
sebagai budak, tetapi orang tadi tidak berhak mendapatkan harta warisan.
Kedua: Terhalang dengan orang. Artinya, ahli waris-ahli waris tertentu menjadi
terkurangi bagiannya atau tidak jadi mendapatkan harta warisan dikarenakan
keberadaan ahli waris lain yang lebih berhak.
Hal-hal yang dapat menyebabkan seseorang terhalang untuk mewarisi
ada tiga macam, yaitu perbudakan, pembunuhan, berlainan agama atau murtad.
a.

Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang untuk mewarisi berdasarkan adanya petunjuk

umum yang menyatakan budak tidak memiliki kecakapan melakukan perbuatan
hukum. Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk
mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak,
secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak
murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal),
atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya,
dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis budak
merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka
tidak mempunyai hak milik.41

41

M. Ali ash-Shabuni. ”Pembagian Waris
/Islam/Waris/Gugur.html , diakses tanggal 27 Maret 2012.

Menurut

Islam.”

http://media.isnet.org

Universitas Sumatera Utara

34

Status budak tidak dapat mempusakai atau hak waris mewarisi. Hal tersebut
disebabkan oleh:
1. Tidak cakap dalam mengurus harta milik
2. Status kekerabatan terhadap keluarganya sudah putus, dan ia diqiyaskan
kepada orang asing, sedangkan mewarisi kepada orang asing itu batal.
b.

Pembunuhan
Bila ada orang yang berhak menerima waris, tetapi orang itu membunuh

orang yang akan mewariskan, misalnya ada anak yang tidak sabar menanti warisan
ayahnya, sehingga ia membunuh ayahnya, maka anak tersebut tidak berhak
mengambil pusaka ayahnya.
Pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap al-muwarris
menyebabkannya tidak dapat mewarisi hartanya. Demikian kesepakatan mayoritas
(jumhur) ulama. Hal tersebut merupakan hal yang cukup beralasan, karena tidak
menutup kemungkinan untuk menguasai harta seseorang membunuh orang lain.
Karena motivasi yang tidak baik tersebut, maka terhadap orang yang membunuh
tidak diperkenankan dan tidak berhak mewarisi harta peninggalannya. Adapun
pembunuh secara tidak sengaja, maka menurut Imam Malik, dia tetap mendapat harta
waris. Sedangkan jumhur ulama berpendapat, pembunuh tidak mendapat harta waris,
baik dengan sengaja atau tidak .
Pada dasarnya pembunuhan itu adalah merupakan tindak pidana kejahatan
namun dalam beberapa hal tertentu pembunuhan tersebut tidak di pandang sebagai

Universitas Sumatera Utara

35

tindak pidana dan oleh karena itu tidak di pandang sebagai dosa. Untuk lebih
mendalami pengertiannya ada baiknya di kategorikan sebagai berikut:42
1.

Pembunuhan secara hak dan tidak melawan hukum, seperti pembunuhan di
medan perang, melaksanakan hukuman mati, dan membela jiwa, harta dan
kehormatan.

2.

Pembunuhan secara tidak hak dan melawan hukum (tindak pidana kejahatan),
seperti: pembunuhan dengan sengaja dan pembunuhan tidak sengaja.
Terhalangnya si pembunuh untuk mendapatkan hak kewarisan dari yang di

bunuhnya, di sebabkan alasan-alasan berikut:
1.

Pembunuhan itu memutuskan silaturrahmi yang menjadi sebab adanya
kewarisan, dengan terputusnya sebab tersebut maka terputus pula musababnya.

2.

Untuk mencegah seseorang mempercepat terjadinya proses pewarisan.

3.

Pembunuhan adalah suatu tindak pidana kejahatan yang di dalam istilah agama di
sebut dengan perbuatan ma’siat, sedangkan hak kewarisan merupakan nikmat ,
maka dengan sendirinya ma’siat tidak boleh di pergunakan sebagai suatu jalan
untuk mendapatkan nikmat.43
Dalilnya, Abu Hurairah Radhiyallahu‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa sallam bersabda. Artinya “Pembunuh tidaklah memperoleh harta waris.44
Jalan tengah dari dua pendapat yang berbeda ini, Syaikh Al-Allamah Muhammad bin
42

Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, hal. 57
Husain Amin Nasution. Hukum Kuarisan Suatu Analisis Komperatif Pemikiran Mujtahid
Dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012)., hal. 67
44
Aunur Rofiq bin Ghufron, “Orang Yang Tidak Berhak Mendapat Harta Waris.” Majalah
As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta.
43

Universitas Sumatera Utara

36

Shalih Al-Utsaimin berkata : “Pembunuhan yang disengaja tidak berdosa apabila
pembunuhan itu seperti membunuh perampok (walaupun itu ahli waris), maka
membunuh perampok (walaupun itu ahli waris), maka tidaklah menghalangi
pembunuhnya mendapatkan harta waris dari yang dibunuh., karena tujuannya untuk
membela diri.45 Demikian juga, misalnya pembunuhan yang disebabkan karena
mengobati atau semisalnya, maka tidaklah menghalangi orang itu untuk mendapatkan
harta waris, selagi dia diizinkan untuk mengobati dan berhati-hati”.
c.

Berlainan Agama
Terhadap orang yang berlainan agama, maka hal tersebut dalam Islam menjadi

penghalang mewarisi. Semisal seorang muslim tidak dapat mewarisi harta
peninggalan orang yang beragama non Islam. Adapun dasar hukumnya adalah hadis
Rasulullah SAW yang artinya: Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir, dan
orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam. 46
Tidak dapat saling mewarisi antara dua orang pemeluk agama yang berbeda.
Dalam hal ini nabi Muhammad SAW. ketika membagikan harta warisan paman
beliau, Abu Thalib, orang yang cukup berjasa dalam perjuangan nabi SAW, yang
meninggal sebelum masuk Islam, oleh nabi harta warisannya hanya dibagikan kepada
anak-anaknya yang masih kafir, yaitu, ‘Uqail dan Talib. Sedangkan terhadap anakanaknya yang sudah masuk Islam, yaitu Ali dan Ja’far, tidak diberi bagian.

45

Ibid
Muhammad Nafis. “Warisan Bagi Non Muslim dan Murtad.” http://www.pa-barabai.ptabanjarmasin.go.id/index.php?content=mod_artikel&id=45, diakses tanggal 10 Maret 2012.
46

Universitas Sumatera Utara

37

D. Hak dan Kewajiban Ahli Waris
Apabila bercerita tentang hak dan kewajiban ahli waris, maka dapat diperinci
setelah harta warisan tersebut terbuka, dimana ahli waris diberi suatu hak untuk
menentukan sikap terhadap harta warisan dan juga kewajibannya. Sejauh mana hakhak ahli waris dalam menentukan sikap terhadap harta warisan tersebut dapat dilihat
sebagai berikut:47
1.

Menerima secara penuh, yaitu dapat dilakukan secara tegas dan diam-diam,
secara tegas yaitu jika penerimaan tersebut dituangkan ke dalam akte yang
memuat penerimaannya sebagai ahli waris yang sah.

2.

Secara diam-diam yaitu jika ia melakukan dengan suatu perbuatan

3.

Mengambil atau menjual juga melunasi hutang-hutang si pewaris.

4.

Menerima dengan reserves ( hak untuk menukar)

5.

Hak untuk menolak.48
Kompilasi hukum Islam mengatur kewajiban yang harus dijalankan ahli waris

terhadap pewaris yang tertuang dalam Pasal 175 (1) KHI terdiri dari:
1.

Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.

2.

Menyelesaikan hutang-hutang baik berupa pengobatan, perawatan, termasuk
kewajiban pewaris maupun penagih piutang.

3.

Menyelesaikan wasiat pewaris. Batas wasiat telah diatur oleh hukum Islam yaitu
tidak boleh lebih dari sepertiga harta peninggalan.
47

M. Idris Ramulyo. Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 46
48
Ibid, hal. 46

Universitas Sumatera Utara

38

4.

Membagi warisan diantara ahli waris yang berhak. 49
Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya

terbatas pada jumlah atau nilai harta yang ditinggalkannya. Ketentuan ini terdapat
pada Pasal 175 (2) Kompilasi Hukum Islam. Menurut Kompilasi Hukum Islam
tertuang dalam Pasal 174, kelompok/ golongan ahli waris terdiri dari:
a.

Menurut hubungan darah:
1. Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, paman dan kakek.
2. Golongan perempuan: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.

b.

Apabila semua ahli waris masih ada, maka yang berhak menerima warisan hanya
anak, ayah, ibu, duda atau janda.
Hukum Islam menentukan yang berhak mendapatkan harta warisan ke dalam

25 (dua puluh lima) orang, yaitu 15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan.
15 (lima belas) orang laki–laki terdiri dari:
1.

Anak Laki-laki.

2.

Cucu Laki-laki.

3.

Bapak.

4.

Kakek.

5.

Saudara Laki-laki seibu sebapak.

6.

Saudara Laki-laki sebapak saja.

7.

Saudara Laki-laki seibu saja.

8.

Ponakan Laki-laki kandung.
49

Lihat Pasal 175 (1) KHI

Universitas Sumatera Utara

39

9.

Ponakan Laki-laki sebapak saja

10. Paman kandung
11. Paman sebapak.
12. Sepupu Laki-laki kandung.
13. Sepupu Laki-laki sebapak.
14. Suami.
15. Laki-laki yang memerdekakan mayat dari perbudakan.
Sedangkan ke 10 (sepuluh) orang ahli waris perempuan adalah:
1.

Anak Perempuan.

2.

Cucu perempuan.

3.

Ibu.

4.

Nenek pihak ayah.

5.

Nenek pihak ibu.

6.

Saudara perempuan seibu sebapak.

7.

Saudara perempuan sebapak saja.

8.

Saudara perempuan seibu saja.

9.

Istri.

10. Perempuan yang memerdekakan si mayat dari perbudakan.
Apabila semua ahli waris ada (hal ini sangat jarang terjadi), ada sederetan ahli
waris yang tidak mungkin terkena hujub hirman. Mereka terdiri dan enam orang yang
akan tetap mendapatkan hak waris. Keenam orang tersebut adalah:
1.

Anak kandung laki-laki.

Universitas Sumatera Utara

40

2.

Anak kandung perempuan.

3.

Ayah.

4.

Ibu.

5.

Suami/istri.
Bila orang yang mati meninggalkan salah satu atau bahkan semuanya, maka

mereka ini pasti mendapat warisan. Sebab tidak ada penghalang antara mereka
dengan almarhum yang meninggal dunia
E. Kewajiban Menyegerakan Pembagian Warisan
Masalah waktu menyegerakan, maka beberapa ulama menyepakati hal ini,
sebab dikhawatirkan akan timbul masalah dikemudian hari jika pembagian waris
berlama-lama, dan juga mempertimbangkan faktor lain. Bahkan ada anjuran kepada
pemilik harta, untuk membuat wasiat semasa hidupnya, agar sepeninggal nanti, ahli
warisnya harus menyegerakan membaginya secara syar'i, jika tidak maka bisa
terancam dosa.
Hukum Islam di Indonesia itu dibagi menjadi dua:
a.

Hukum Islam yang bersifat normatif, yaitu yang berkaitan dengan aspek ibadah
murni, yang pelaksanaannya sangat tergantung kepada iman dan kepatuhan umat
Islam Indonesia kepada agamanya.

b.

Hukum Islam yang bersifat yuridis formal, yaitu yang berkaitan dengan aspek
muamalat (khususnya bidang perdata dan dipayakan pula dalam bidang pidana

Universitas Sumatera Utara

41

sekalipun sampai sekarang masih dalam tahap perjuangan), yang telah menjadi
bagian dari hukum positif di Indonesia.50
Pembagian harta warisan harus segera dilaksanakan setalah pewaris
meninggal, tidak boleh ditunda-tunda, kecuali jika ada keadaan tertentu yang tidak
memungkinkan, misal karena rumahnya belum laku dijual, atau ada ahli waris yang
masih bayi/kecil, atau ada ahli waris yang banci, atau ada ahli waris yang
hilang/tertawan, maka ada bagian yang dibekukan untuk sementara hingga diketahui
keadaannya. Harta warisan adalah sepenuhnya milik para ahli warisnya, karena itu
tidak boleh mengambil/menguasai harta milik mereka. Segeralah ditunaikan jika
mereka menginginkannya disegerakan, jangan sampai karena lama tidak dibagikan,
akhirnya muncul kecurigaan dan kebencian dari para ahli waris, karena sesungguhnya
mereka bisa jadi sangat membutuhkan harta tersebut.
Menyegerakan

pembagian

harta

warisan

memiliki

hikmah.

Untuk

menghindari adanya konflik, maka sebaiknya apabila orang tua yang bijaksana,
apalagi memiliki harta yang cukup banyak, seharusnya dibuat surat wasiat (testamen)
di hadapan Notaris agar tidak menimbulkan persengketaan di antar ahli waris
kemudian hari.51
Penundaan pembagian harta warisan seringkali terjadi manakala sang pewaris
wafat masih meninggalkan istri, yakni ibu dari anak-anaknya. Maka anak-anak

50

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1991), hal. 54
51
Hasil wawancara dengan Bapak Dr. Manahan, MP, Sitompul SH, M. Hum, Hakim
Pengadilan Tinggi Medan, tanggal 05 Januari 2013.

Universitas Sumatera Utara

42

enggan atau merasa tidak enak untuk menyampaikan kepada ibunya tersebut, agar
harta warisan segera dibagikan. Atau bisa juga karena sebab-sebab lainnya, misalnya
ada salah satu rumah yang masih ditinggali oleh kerabatnya yang lain. Untuk itu,
perlu adanya sikap bijaksana juga dari sang ibu, sesungguhnya harta warisan itu
memang milik dan hak para ahli warisnya, diantaranya anak-anaknya. Orang yang
paling dihormati tersebut diharapkan memberi pengertian ilmu faraid kepada mereka
semua agar tidak terjadi perselisihan.
Mungkin dalam kenyataannya ada komentar yang negatif dari sebagian
masyarakat. Kuburan belum kering sudah meributkan bagi waris, demikian kira-kita
komentar itu.Sehingga sebagian kita agak segan untuk segera membagi harta warisan
milik orang tua mereka. Padahal masalahnya bukan urusan kuburan sudah kering atau
belum. Tetapi karena di dalam syariah Islam ada keharusan untuk menetapkan status
hukum suatu harta. Tidak boleh ada harta yang tanpa tuan. Karena ada banyak kaitan
hukum di belakangnya.
Sebagai contoh yang sederhana, kaitannya dengan masalah zakat. Kalau harta
itu tidak segera dibagikan dan ditetapkan pemiliknya, maka siapa yang berkewajiban
untuk membayar zakat? Apakah almarhum yang ada di kuburan? Ataukah anak
tertua? Atau anak yang sudah menikah? Tentu ini menjadi kendala.
Juga ketika harus ada biaya perawatan atas harta, misalnya kendaraan dan
sejenisnya. Maka siapa yang harus menanggungnya? Tentu ini akan kembali menjadi
sumber konflik. Sebenarnya dalam pembagian warisan, masalahnya sederhana saja.
Asalkan semua ahli waris sejak kecil sudah dididik dengan pendidikan yang Islami

Universitas Sumatera Utara

43

dan dikenalkan ilmu pembagian warisan, maka insyaallah masalahnya mudah sekali.
Sebab sejak masih kecil mereka sudah tahu berapa nilai prosentase hak waris yang
bakal menjadi miliknya. Tidak perlu ada perbedaan pendapat dalam pembagian
warisan.
Perbedaan pendapat dalam pembagian warisan terjadi umumnya karena anakanak tidak dididik secara Islami. Kepada mereka tidak pernah dikenalkan ilmu
faraidh (bagi waris). Mereka dibiarkan tumbuh dengan sistem jahiliyah yang jauh dari
nilai Islam. Bukti pertama kegagalan seorang ayah atas tanggung-jawabnya mendidik
anak secara Islami adalah ketika anak-anaknya ribut dan memperebutkan warisan.
Keributan itu muncul tatkala mereka berbeda pandangan tentang metode apa yang
akan dipakai dalam pembagian warisan itu. Yang satu maunya pakai hukum adat,
yang satunya pakai hukum barat, lalu yang lain pakai perasaan dan begitu seterusnya.
Perbedaan ini muncul karena sejak dini mereka tidak pernah dikenalkan pada
hukum waris Islam. Padahal boleh jadi mereka orang yang berpendidikan dan tidak
awan dengan matematika, ilmu hitung dan sejenisnya. Tetapi karena fitrahnya tidak
pernah terbina dengan baik, ketika membagi warisan, masuklah nilai-nilai asing ke
dalam kehidupan mereka. Dan timbullah pertengkaran.52
Shiddiq al-Gharyani dalam bukunya ‘Fatawa Muamalat asy-Syaiah’ berkata,
‘Menunda dan memperlama proses pembagian harta warisan akan mengakibatkan
kelupaan, keteledoran, dan kehilangan, atau terjadi pemanfaatan harta warisan oleh

52

Ahmad Sarwat. Harta Warisan Harus Segera Dibagikan, http://www. Rumah fiqih.com
/ust/e2.php?id=1185788956 , diakses tanggal 20 Juni 2012.

Universitas Sumatera Utara

44

mereka yang tidak berhak, juga berarti memakan harta dengan cara yang bathil, atau
menyia-nyiakan harta dan meremehkan hak orang lain. Ini semua merupakan
persoalan yang perlu diwaspadai, sebab seringkali menimbulkan persoalan serius
seperti konflik, permusuhan, dan putusnya tali persaudaraan
F. Konsep Keadilan dalam Pembagian Warisan
Keadilan merupakan salah satu asas (doktrin) dalam hukum waris Islam, yang
disimpulkan dari kajian mendalam tentang prinsip-prinsip dasar yang terkandung
dalam hukum tentang kewarisan. Dari berbagai ketentuan dalam hukum kewarisan
Islam, setidaknya ada lima azas (doktrin) yang disepakati sebagai sesuatu yang
dianggap menyiasati hukum kewarisan Islam, yaitu bersifat ijbari, bilateral,
individual, keadilan yang berimbang dan akibat kematian.53
Asas-asas hukum kewarisan Islam dapat digali dari ayat-ayat hukum
kewarisan serta sunnah Nabi Muhammad SAW. Asas-asas hukum kewarisan Islam
terdiri dari:
1.

Asas Ijbari
Asas ijbari dalam hukum waris berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang
telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup tanpa ada perbuatan
hukum, atau pernyataan kehendak dari si pewaris, bahkan si pewaris semasa
hidupnya tidak dapat menolak atau menghalangi terjadinya peralihan tersebut.54

2.

Asas Bilateral
53

Ahmad Rofik, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 6.
Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup, 2006), hal. 207
54

Universitas Sumatera Utara

45

Maksudnya bahwa seseorang menerima hak warisan dari kedua belah pihak garis
kerabat, yaitu keturunan perempuan maupun laki-laki.
3.

Asas Individual
Asas individual berarti setiap ahli waris secara individu berhak atas bagian
warisannya tanpa terikat dengan ahli waris lainnya.

4.

Asas Keadilan berimbang
Asas ini maksudnya adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban dan
keseimbangan antatara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.

5.

Kewarisan semata akibat kematian
Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya sematamata disebabkan karena kematian.55
Hal yang paling menonjol dalam pembahasan tentang keadilan menyangkut

hukum. Kewarisan Islam adalah tentang hak sama-sama dan saling mewarisi
antara laki-laki dan perempuan serta perbandingan 2 : 1 (baca 2 banding 1)
antara porsi laki-laki dan perempuan.56
Asas keadilan dalam hukum Kewarisan

Islam mengandung

pengertian

bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh dan harta warisan
dengan kewajiban atau beban kehidupan yang harus ditanggungnya/ditunaikannya
diantara para ahli waris, karena itu arti keadilan dalam hukum waris Islam

55

Suhrawardi K. Lubis. dan Komis Simanjuntak. Hukum Waris Islam¸ (Jakarta: Sinar
Grafika, 1995) hal. 35.
56
Ali Parman. Kewarisan Dalam Al-Qur'an; Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir
Tematik. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), hal. 90

Universitas Sumatera Utara

46

bukan diukur dari kesamaan tingkatan antara ahli waris, tetapi ditentukan berdasarkan
besar- kecilnya beban atau tanggung jawab yang diembankan kepada mereka, dtinjau
dari keumuman keadaan/kehidupan manusia.57
Jika dikaitkan dengan definisi keadilan yang dikemukakan Amir Syarifuddin
sebagai "keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang
diperoleh dengan keperluan dan kegunaan" , atau perimbangan antara beban dan
tanggung jawab diantara ahli waris yang sederajat, maka akan dilihat bahwa keadilan
akan nampak pada pelaksanaan pembagian harta warisan menurut Islam.
Rasio perbandingan 2 : 1, tidak hanya berlaku antara anak laki-laki dan
perempuan saja, melainkan juga berlaku antara suami isteri, antara bapak-ibu serta
antara saudara laki -laki dan saudara perempuan, yang kesemuanya itu mempunyai
hikmah apabila dikaji dan diteliti secara mendalam.58
Dalam kehidupan masyarakat muslim, laki-laki menjadi penanggung jawab
nafkah untuk keluarganya, berbeda dengan perempuan. Apabila perempuan tersebut
berstatus gadis/ masih belum menikah, maka ia menjadi tanggung jawab orang tua
ataupun walinya ataupun saudara laki-lakinya.
Sedangkan setelah seorang perempuan menikah, maka ia berpindah akan
menjadi tanggung jawab suaminya (laki-laki). Syari'at Islam tidak mewajibkan
perempuan untuk menafkahkan hartanya bagi kepentingan dirinya ataupun kebutuhan

57

Ahmad Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam: Syafi'i, Hazairin dan KHI, (Pontianak:
Romeo Grafika, 2003), hal. 25.
58
Cholil Umam, Agama Menjawab Tantangan Berbagai Masalah Abad Modern, (Surabaya:
Ampel Suci, 1994), hal. 101.

Universitas Sumatera Utara

47

anak-anaknya, meskipun ia tergolong mampu/kaya, jika ia telah bersuami, sebab
memberi nafkah (tempat tinggal, makanan dan pakaian) keluarga merupakan
kewajiban yang dibebankan syara' kepada suami (laki-laki setelah ia menikah).
Di Indonesia pernah dikemukakan wacana yang menyatakan perbandingan
2 : 1 bukan ketentuan yang bersifat pasti dan tetap, sehingga dapat dikompromikan,
diantaranya Zainuddin Sardar yang menyatakan bahwa setiap rumusan hukum yang
terdapat pada nash Al-Qur' an dan Hadits terdiri dan unsur-unsur :
a.

Unsur Normatif yang bersifat abadi dan universal, berlaku untuk semua tempat
dan waktu serta tidak berubah dan tidak dapat diubah.

b.

Unsur Hudud yang bersifat elastis sesuai dengan keadaan waktu, tempat dan
kondisi sebagaimana kaidah.59
Oleh karena itu yang abadi dan universal ialah dalam hukum waris Islam

diantaranya norma tentang hak dan kedudukan anak laki-laki dan perempuan untuk
mewarisi harta warisan orang tua. Sedangkan mengenai besarnya bagian dalam
perbandingan

laki-laki

dan

perempuan

dalam

segala

tingkatan

yang

sederajat merupakan aturan hudud yang dapat dilenturkan. Meski demikian, pada
kenyataannya rumusan Pasal 176 KHI yang dijadikan hukum materil di lingkungan
Peradilan Agama, ketentuan 2 : 1 tidak bergeser.
Ketentuan 176 KHI yang tetap mempertahankan porsi 2:1 antara anak lakilaki dan anak perempuan dilatarbelakangi para penyusun ataupun ahli hukum Islam
yang terlibat dalam penyusunan pasal 176 KHI meyakini ketentuan ayat tersebut
59

Zainuddin Sardar, Masa Depan Islam, (Bandung: Pustaka, 1987), hal. 123

Universitas Sumatera Utara

48

bersifat Sarih/tafsil dan gath'i, berdasarkan pada teori standar konvensional yang
menyebutkan "perbedaan jumlah bagian anak perempuan dengan anak laki-laki
berdasarkan hukum imbalan dan tanggung jawab, seperti yang telah diuraikan di
atas. 60
Kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh bidang ilmu-ilmu sosial
memberi pengaruh pandangan para sarjana hukum terutama yang berpandangan
hukum bukan hanya dilihat dari legitimasinya, melainkan hukum dipandang juga dari
segi efektivitasnya. Hukum tidak hanya mengatur dalam prosedur hukum saja tetapi
hukum melihat apa yang dikehendaki oleh masyarakatnya.
Hal yang terpenting dalam hukum adalah bagaimana hukum itu dilaksanakan
di dalam masyarakat. Hukum dibuat untuk kepentingan masyarakat apabila hukum
itu tidak dilaksanakan oleh masyarakat lagi maka hukum tersebut tidak dapat
dikatakan hukum lagi. Hukum yang adil adalah hukum yang dapat dilaksanakan oleh
masyarakat. Tetapi konsep mengenai keadilan oleh sebagian masyarakat masih jauh
panggangan dari api yang artinya hukum itu tidak sesuai dengan apa yang
diinginkan. Sehingga muncul berbagai makna tentang keadilan
Dalam hukum w a ri s Islam juga ditentukan bagian Ibu dan bapak yang
berhak mewarisi berhak mewarisi bersama anak dengan keturunannya, dalam arti
Ibu dan bapak sama-sama mewarisi dengan porsi yang berimbang, yakni sama-sama
memperoleh 1/6 dari harta warisan, apabila pewaris meninggalkan anak laki-laki.

60

ibid

Universitas Sumatera Utara

49

Jika tidak ada, maka ibu mendapat 1/3 dan untuk bapak sisanya 2/3, karena bapak
mempunyai kewajiban dan tanggung jawab memberi nafkah untuk ibu.
Walaupun dalam hukum waris Islam ditentukan porsi 1 : 1 (satu banding
satu) antara bagian ayah dan bagian ibu, yakni sama-sama memperoleh 1/6 bagian,
akan tetapi dalam pelaksanaan dan penerapannya masih memperhatikan keadilan
atas dasar hak dan kewajiban, yakni beban dan tanggung jawab laki-laki lebih besar
dibanding perempuan.
G. Penyebab Sebagian Ahli Waris Menguasai Harta Warisan Yang Belum
Dibagi
Suatu perkara perdata itu diajukan oleh pihak yang bersangkutan kepada
pengadilan untuk mendapatkan pemecahan atau penyelesaian. Pemeriksaan perkara
memang diakhiri dengan putusan, akan tetapi dengan dijatuhkan putusan saja
belumlah selesai persoalannya. Putusan itu harus dapat dilaksanakan atau dijalankan.
Suatu putusan pengadilan tidak ada artinya apabila tidak dapat dilaksanakan.
Kasus waris merupakan kasus yang seringkali muncul setelah pewaris
meninggal. Kasus-kasus yang terjadi adalah tentang perebutan harta waris antara ahli
waris, yang muncul dengan keinginan untuk memiliki sebagian besar atau seluruh
harta warisan yang ditinggalkan.
Namun dalam kejadian ini, kasus waris yang diangkat tidak sampai pada
perebutan harta warisan, melainkan penyalahgunaan harta warisan sebelum terlebih
dahulu harta waris itu dibagi. Sesuai dengan kronologi kasus di atas, apabila ada ahli
waris yang ingin memanfaatkan harta warisan sesuai dengan kehendaknya, maka

Universitas Sumatera Utara

50

seharusnya para ahli waris segera mengurus pembagian harta warisan segera setelah
si pemilik harta meninggal.
Putusan Mahkamah Agung No. 2134 K/Pdt/ 1989 menjadi salah satu kasus
yang terjadi, dimana salah satu pihak ahli waris menguasai harta warisan. Kronologis
kasus dapat diuraikan berawal dari H. Muhammad Djamil sebagai pewaris (pemilik
harta) memiliki 4 (empat) orang anak sebagai ahli waris. Harta warisan terdiri dari
beberapa bidang tanah yang saat ini dikuasai oleh salah satu anaknya yang bernama
Achdarman, yang juga sekaligus merupakan salah satu ahli waris. Achdarman adalah
anak ke empat dari perkawinan H. Muhammad Djamil denga istrinya yang bernama
Subangliah . Subangliah lebih dulu meninggal dari H. Muhammad Djamil.
Dari perkawinan antara H. Muhammad Djamil dengan Subangliah inilah
kehidupan perekonomian rumah tangga mereka mulai meningkat dan dipenuhi harta.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya bidang tanah yang saat ini dikuasai oleh
Achdarman. Achdarman menganggap bahwasanya beberapa bidang tanah yang saat
ini dikuasainya adalah harta dari peninggalan ibunya yang belum terbagi.
Pada biasanya sebahagian ahli waris menguasai harta warisan yang belum
dibagi karena:
1.

Dia merasa lebih berhak membaginya karena dia anak tertua

2.

Ingin diselesaikan secara adat

3.

Ingin dibagi secara damai

Universitas Sumatera Utara

51

4.

Karena dia merasa bahagian dia lebih sedikit dari ahli waris yang lain.61
Pada kasus di atas, harta warisan berupa 11 (sebelas) bidang tanah beserta

tanaman yang tumbuh di atasnya dikuasai oleh Achdarman. Achdarman mulai
menguasai harta warisan tersebut sejak H. Muhammad Djamil meninggal dunia.
Penguasaan harta warisan ini dilakukan Achdarman karena Achdarman merasa
bahwa harta warisan yang ditinggalkan adalah merupakan harta warisan
H. Muhammad Djamil beserta ibunya yang merupakan istri kedua dari Subangliah,
sehingga Achdarman merasa lebih berhak dari saudara-saudara lainnya.
Diketahui bahwa H. Muhammad Djamil mulai memiliki harta yang banyak
sejak perkawinan kedua, sehingga Achdarman menganggap bahwa dia lah yang
berhak memiliki harta warisan paling banyak dari ahli waris lainnya. Para pewaris
lainnya mencoba melakukan beberapa upaya agar Achdarman mau membagi harta
tersebut namun Achdarman tetap bersikeras untuk tidak mau membaginya. Setelah
jalan musyawarah tidak menemukan titik terang akhirnya para pewaris lainnya
menempuh jalur hukum dengan melayangkan surat gugatan ke pengadilan, dengan
maksud agar menemukan jalan keluar yang terbaik.
Berdasarkan hasil analisis dengan Hakim Pengadilan Tinggi Medan, yang
menjadi alasan ahli waris hingga dia bisa menguasai harta warisan kadangkala hanya
kebetulan saja. Kalau dihukum adat biasanya karena anak yang paling kecil diberikan
haknya lebih dari anak-anak yang lainnya dan biasanya mendapat rumah yang

61

Hasil diskusi bimbingan dengan Bapak Hasballah Thaib, di Medan

Universitas Sumatera Utara

52

ditempati. Jika secara accidentil biasanya siapa yang memelihara dan merawat orang
tua, dialah yang mendapat harta, apabila harta belum dibagi. 62
Selain itu memang ada beberapa alasan khusus bagi pelaku untuk menguasai
harta warisan, biasanya karena:
1.

Pelaku ingin menikmati harta itu sendiri

2.

Serakah

3.

Dia merasa anak paling tua dan paling lama merawat orang tuanya. 63
Alasan-alasan di atas juga digunakan Achdarman untuk menguasai dan tidak

mau membagi harta warisan yang dikuasainya. Padahal harta tersebut merupakan
harta milik orang tuanya, artinya saudara-saudaranya juga berhak atas harta tersebut,
jika orang tuanya meninggal dunia.

62

Hasil wawancara dengan Bapak Dr. Manahan, MP, Sitompul SH, M. Hum, Hakim
Pengadilan Tinggi Medan, tanggal 05 Januari 2013.
63
Hasil wawancara dengan Bapak Dr. Manahan, MP, Sitompul SH, M. Hum, Hakim
Pengadilan Tinggi Medan, tanggal 05 Januari 2013.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

6 131 94

Analisis Terhadap Keabsahan Putusan Perceraian Dan Pembagian Harta Bersama Yang Dikeluarkan Oleh Hakim Dari Negara Lain (Singapura) Terhadap Warga Negara Indonesia (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 612 K/Pdt/2003), 2012

5 77 142

Analisis Yuridis Pembagian Harta Bersama Milik Orang Tua Yang Dilakukan Anak Di Kala Kedua Orang Tua Masih Hidup (Putusan MA Tanggal 27 OktobeR 2004, NO. 1187 K/PDT/2000)

2 36 152

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 k/ag/1999)

0 55 136

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122

Analisis Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Yang Dikuasi Oleh Salah Satu Pewaris (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 2134 K Pdt 1989)

0 0 16

Analisis Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Yang Dikuasi Oleh Salah Satu Pewaris (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 2134 K Pdt 1989)

0 0 2

Analisis Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Yang Dikuasi Oleh Salah Satu Pewaris (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 2134 K Pdt 1989)

4 9 25

Analisis Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Yang Dikuasi Oleh Salah Satu Pewaris (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 2134 K Pdt 1989)

0 7 5