Analisis Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Yang Dikuasi Oleh Salah Satu Pewaris (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 2134 K Pdt 1989)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum waris dalam Islam adalah bagian dari Syariat Islam yang sumbernya
diambil dari Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW, kemudian para ahli hukum
Islam, khususnya para mujtahid dan fuqoha (ahli fikih Islam) mentransformasi
melalui berbagai formulasi waris sesuai dengan pendapatnya masing-masing. Hukum
waris Islam pada dasarnya berlaku untuk seluruh umat Islam didunia. Sungguhpun
demikian corak suatu negara Islam dan kehidupan di negara atau daerah tersebut
memberi pengaruh atas hukum waris di daerah itu.
Perkembangan hukum Islam di Indonesia telah melahirkan Kompilasi Hukum
Islam (KHI), setelah eksistensi Peradilan Agama diakui dengan hadirnya UndangUndang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kehadiran Kompilasi Hukum
Islam ini dilatarbelakangi antara lain karena ketidakpastian dan kesimpangsiuran
putusan Pengadilan terhadap masalah-masalah yang menjadi kewenangannya,
disebabkan dasar acuan putusannya adalah pendapat para ulama yang ada dalam
kitab-kitab fiqih yang sering berbeda tentang hal yang sama antara yang satu dengan
lainnya, sehingga sering terjadi putusan yang berbeda antara satu Pengadilan Agama
dengan Pengadilan Agama lainnya dalam masalah yang sama. Dengan lahirnya

1


Universitas Sumatera Utara

2

Kompilasi Hukum Islam, semua hakim di lingkungan Pengadilan Agama diarahkan
kepada persepsi penegakkan hukum yang sama.1
Apabila terjadi pewarisan disyaratkan untuk pewaris adalah telah meninggal
dunia, baik secara hakiki ataupun hukum. Hal ini sebagaimana telah ditentukan oleh
ulama tentang syarat-syarat terjadinya pewarisan antara lain meninggalnya pewaris
baik secara hakiki, hukmi atau takdiri.2 Selain disyaratkan telah meninggal dunia,
pewaris juga disyaratkan beragama Islam dan mempunyai ahli waris dan harta
peninggalan. Syarat-syarat ini sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam fiqih
mawaris.
Allah SWT telah menciptakan Nabi Adam As dan Hawa sebagai cikal bakal
manusia. Dari keduanya lahirlah manusia lelaki dan perempuan dan semakin cepat
berkembang manusia tersebut lantaran terjadi hubungan perkawinan antara lelaki dan
perempuan sebagai suami isteri, sebagaimana dijelaskan Allah SWT dalam berbagai
ayat dalam Al-Qur’an seperti ayat 1 Surah Annisa, ayat 13 Surah Al-Hujurat, ayat 49
– 50 Surah As Syura, ayat 45 Surah An Najm dan lain sebagainya Menurut ayat di

atas dan ayat-ayat lainnya, Allah SWT yang telah menciptakan manusia lelaki dan

1

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademi Presindi, 1992),

hal. 21.
2

a.
b.

c.

Sayid Sabiq, Figh as Sunnah, Juz III, (Semarang: Toha Putra, 1980), hal. 426.
Mati secara hakiki berarti kematiannya dapat dilihat oleh panca indera dan dapat dibuktikan oleh
alat pembuktian
Mati secara hukmi berarti suatu kematian yang disebabkan karena vonis hakim, baik pada
hakekatnya seseorang benar-benar masih hidup, maupun dalam kemungkinan hidup dan mati,
tapi diyakini sudah mati, misalnya karena bencana alam.

Mati takdiri, kematian yang hanya berdasarkan dugaan saja,

Universitas Sumatera Utara

3

perempuan berikut kelengkapan dan tanda-tandanya sebagai laki laki atau
perempuan.
Sampai saat ini bangsa Indonesia belum mempunyai Undang-Undang yang
mengatur soal waris walaupun telah ada Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974, sehingga masyarakat, dalam hal ini ada yang berdasarkan pada hukum
Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan hukum adat.
Salah satu karakteristik hukum Islam adalah menyedikitkan beban agar
hukum yang ditetapkan oleh Allah ini dapat dilaksanakan oleh manusia agar dapat
tercapai kebahagiaan dalam hidupnya.3
Oleh karena belum adanya unifikasi dalam hukum waris maka sering terjadi
sengketa masalah warisan yang berujung penyelesaiannya di pengadilan. Masalah
warisan ini akan mengenai setiap orang baik apabila ia meninggal dunia (menjadi
pewaris) maupun apabila keluarganya yang meninggal dunia (menjadi ahli waris).
Berbicara tentang seseorang yang meninggal dunia arah dan jalan pikiran kita akan

menuju pada masalah warisan.4
Pesoalan Hukum Waris menyangkut tiga unsur, yaitu: adanya harta
peninggalan atau harta kekayaan pewaris yang disebut warisan, adanya pewaris yaitu
orang yang menguasai atau memiliki harta warisan dan yang mengalihkan atau yang

3

Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
2006), hal. 20
4
Oemar Salim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1987),
hal 1.

Universitas Sumatera Utara

4

mewariskannya, dan adanya waris yaitu orang yang menerima pengalihan atau
penerusan atau pembagian harta warisan itu. 5
Oleh karena masalah warisan tersebut akan mengenai setiap orang apabila ada

diantaranya yang meninggal dunia maka dapat dikatakan bahwa Hukum Waris sangat
penting dalam kehidupan manusia terutama para ahli waris, karena menyangkut
kelangsungan kepemilikan dan pemanfaatan harta warisan, keharmonisan hubungan
keluarga antara ahli waris. Di samping itu juga, status hukum harta tersebut harus
jelas jika hendak berhadapan dengan pengaturan perundang-undangan lain.
Sistem Hukum waris yang berlaku di Indonesia ada 3 (tiga) yaitu, Sistem
Hukum Waris Islam, Sistem Hukum Waris Adat dan Sistem Hukum Waris Perdata.
Ketiga sistem hukum tersebut mempunyai perbedaan yang prinsipil misalnya antara
hukum waris Islam dan hukum waris adat, berbeda dalam hal sistem kekeluargaan,
pengertian kewarisan, harta peninggalan ahli waris, bagian ahli waris, lembaga
penggantian ahli waris dan sistem hibah.
Umat Islam seyogyanya tunduk pada sistem Hukum Islam termasuk dalam hal
waris. Jika dari segi syariah Islam hukumannya adalah wajib, kewajiban ini dapat
dipahami dalam Al-Quran yang menyebutkan orang yang tidak melaksanakan aturan
Allah SWT tersebut sebagai orang-orang yang ingkar, zalim dan fasik sebagaimana
dalam surah Al-Maidah: 44 yang artinya: “. . . Barang siapa yang tidak memutuskan

5

Hilman Hadikusuma,


Hukum Waris Adat, (Bandung: PT. Cipta Aditya Bhakti, 2003)

hal. 3

Universitas Sumatera Utara

5

menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir”6
Dalam surah Al-Maidah: 45 yang artinya:
“. . . Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”7
Dan dalam surah Al-Maidah: 47 yang artinya:
“. . . Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”8
Sementara itu bagaimana sistem Hukum Islam mengatur masalah waris, umat
Islam sendiri kurang mengetahui dan memahaminya. Pengetahuan hukum yang
rendah, serta pemahaman hukum yang salah mengakibatkan sikap terhadap

hukum menjadi salah. 9
Dalam praktiknya penanganan warisan lebih banyak tergantung kepada ahli
warisnya. Namun dalam kenyataannya, cukup banyak harta peninggalan yang
belum dibagikan karena: masalah orang tua, terbatas harta peninggalan;
tentang jenis dan macam harta warisan, pewaris tidak mempunyai keturunan;
para waris belum dewasa, belum ada pewaris pengganti, diantara waris belum
hadir, belum ada waris yang berhak dan belum di ketahuinya piutang
pewaris.10
Agama Islam memerintahkan umatnya untuk mengesahkan pembagian
warisan bila pewaris sudah meninggal dunia. Hal ini didasarkan kepada Hadis Rasul

6

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung: Genna
Risalah Press, 1992), hal 167.
7
Ibid hal. 167
8
Ibid
9

Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, (Bandung: Alumni,
Bandung, 1993), hal. 151.
10
Hilman Hadikusuma Op-Cit hal. 44.

Universitas Sumatera Utara

6

yang artinya: Dari Ibnu Abbas r. a. dari Nabi Muhammad SAW beliau berkata
“Bagilah harta pusaka di antara ahli-ahli waris menurut kitab Allah” (H.R. Muslim
dan Abu Dawud).” 11
Salah satu azas dari Hukum Kewarisan Islam adalah:
Asas Ijbari artinya: Azas yang menciptakan adanya proses peralihan harta dari
orang yang meningal dunia kepada ahli warisnya sesuai dengan ketetapan
Allah SWT. Hal ini tanpa adanya kaitan dengan kemauan pewaris atau ahli
waris. Hal ini terlihat dari Pasal 187 ayat 2 KHI yang berbunyi, “Sisa dari
pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta yang harus dibagikan
kepada ahli waris yang berhak. Adanya kata harus dalam pasal ini
menunjukkan berlakunya Azas Ijbari.

Sejalan dengan hal tersebut di atas terlihat bahwa proses peradilan harta dalam
hukum kewarisan Islam adalah merupakan suatu hal yang wajib dan ketentuan yang
disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah mesti diterima oleh seorang muslim. Harta
warisan yang belum dibagi adalah masih berbentuk kongsi dengan ahli waris yang
lain. Ahli waris yang lain ada hak disitu maka haram dan berdosa menguasai hak
orang lain. Dan perbuatan itu termasuk dalam kategori dzalim (menganiaya orang
lain).
Kendatipun hukum Islam telah menentukan bahagian masing-masing ahli
waris namun Islam juga membenarkan perdamaian dengan jalan mengeluarkan
sebahagian dari haknya ahli waris atas bagian warisan dengan imbalan menerima
sejumlah harta tertentu dari harta warisan atau harta lain.

11

Mukhlis Lubis, Ilmu Pembagian Waris, (Medan: Al-Manar, 2011), hal. 6

Universitas Sumatera Utara

7


Mengenai perdamaian pembagian warisan dalam keluarga disebutkan di Pasal
183 KHI yang berbunyi “Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian
dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya”
Undang-Undang Pengadilan Agama yaitu Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
memberi hak kepada umat Islam untuk memilih pengadilan dalam menyelesaikan
perkara waris, dan umat Islam yang kuat imannya yang mau menyelesaikan secara
syariat Islam di Pengadilan Agama.
Dalam praktik sering dijumpai pelaksanaan pembahagiaan warisan ditundatunda dan harta dibiarkan tetap untuk dalam jangka waktu yang lama bahkan ada
yang sempat dikuasai oleh sebahagian ahli waris, maka akibatnya sewaktu mau
dibagi harta warisan, sebahagian harta warisan tersebut masih dikuasai oleh
sebahagian ahli waris.
Adapun putusan yang dianalisis oleh peneliti adalah putusan No. 2134
K/PDT/1989. Di dalam putusan ini, Majelis Hakim memutuskan menolak
permohonan kasasi dari pemohon kasasi yaitu:
1.

Buyung Musjaya

2.


Nurhadniah

3.

Purnawati

4.

Nursupiati

5.

Mat Syahrul

6.

Zulkaprudin

Universitas Sumatera Utara

8

Adapun yang menjadi lawannya atau adalah adik kandungnya nya sendiri
yaitu Achdarman sebagai tergugat.
Kronologis perkara ini adalah perkawinan poligami yang dilakukan H.
Muhammad Djamil terhadap dua orang istrinya. Istri pertama bernama Sabariah dan
istri kedua bernama Subangliah. Perkawinan dengan istri pertama H. Muhammad
Djamil tidak memiliki harta, sedangkan perkawinan dengan istri kedua barulah
memiliki harta kekayaan.Kedua istri H. Muhammad Djamil lebih dahulu meninggal
dunia dari suaminya. Permasalahan kemudian timbul setelah meninggalnya H.
Muhammad Djamil yang merupakan ayah dari penggugat. Dimana harta sengketa
tetap dikuasai oleh tergugat dan dinikmati hasilnya sendiri tanpa memperbolehkan
para penggugat untuk turut menikmati hasil harta sengketa tersebut karena dilarang
oleh tergugat.
Para penggugat telah berulang kali minta kepada tergugat agar membagi harta
sengketa peninggalan almarhum H. Muhammad Djamil tersebut, para penggugat
juga telah meminta bantuan yang berwenang untuk minta kepada tergugat membagi
harta sengketa tersebut, akan tetapi selalu ditolak oleh tergugat, dimana harta tersebut
adalah harta warisan yang seharusnya dibagi. Hai ini tentu sangat merugikan para
penggugat bahkan tergugat secara menyolok menurunkan hasil perkebunan berupa
buah-buahan untuk keuntungan dirinya sendiri.
Penggugat mengajukan permohonan ke PA Tebing Tinggi untuk menetapkan
dan mengesahkan para ahli waris beserta porsi pembagian ahli waris beserta porsi
pembagian ahli waris dari alm. H. Muhammad Djamil.

Universitas Sumatera Utara

9

Berdasarkan hal tersebut para penggugat menuntut agar supaya Pengadilan
Negeri Lubuk Pakam meletakkan sita jaminan atas harta sengketa tersebut dan
selanjutnya menjatuhkan putusan. Adapun putusan yang dikeluarkan Pengadilan
Negeri Lubuk Pakam adalah:
-

Menyatakan menerima gugatan penggugat-penggugat secara keseluruhan

-

Menyatakan sita jaminan (conservatoir beslag) yang telah dilakukan atas tanah
warisan peninggalan almarhum H. Muhammad Djamil.

-

Menyatakan demi hukum bahwa penetapann PA No. 23/1982 adalah syah dan
berharga.

-

Menghukum tergugat untuk memasukkan uang hasil tanam-tanaman ke dalam
budel harta warisan H. Muhammad Djamil

-

Menyatakan demi hukum tanah beserta hasil warisan alm H. Muhammad Djamil
adalah harta warisan H. Muhammad Djamil yang belum dibagiwariskan.

-

Menyatakan demi hukum bahwa penggugat I, II, III, IV V, Vi, VI, VII berhak
atas harta warisan peninggalan H. Muhammad Djamil menurut bagian legitimi
portie berdasarkan faraid dengan Penetapan Pengadilan Agama T. Tinggi No.
23/1982.

-

Menghukum tergugat untuk menyerahkan bagian hak waris (legitim porsi)
penggugat-penggugat dari warisan peninggalan H. Muhammad Djamil kepada
penggugat-penggugat.

-

Menghukum tergugat untuk membayar uang paksa apabila tergugat lalai dalam
memenuhi keputusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Universitas Sumatera Utara

10

-

Menghukum tergugat untuk membayar biaya-biaya yang timbul.

-

Keputusan ini dapat dijalankan serta merta walaupun ada banding, kasasi atau
verzet.
Kasus ini akhirnya sampai pada persidangan Mahkamah Agung, dimana

Mahkamah Agung menjatuhkan putusan menguatkan putusan Pengadilan Tinggi
Medan.
Melihat hal tersebut di atas, perlu dikaji bagaimana Analisis Yuridis Terhadap
Pelaksanaan Pembahagian Harta Warisan Yang Dikuasai Oleh Salah Satu Pewaris
(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 2134. K/PDT/1989).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1.

Faktor-faktor apa yang menyebabkan sebahagian ahli waris menguasai harta
warisan?

2.

Bagaimana tindakan hukum yang dilakukan ahli waris yang dikuasai haknya
oleh ahli waris yang lain?

3.

Bagaimana analisis terhadap putusan Mahkamah Agung dalam menyelesaikan
kasus No. 2134. K/PDT/1989?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

11

1.

Untuk

mengetahui

dan

menganalisis

tentang

faktor-faktor

apa

yang

menyebabkan sebahagian ahli waris menguasai harta warisan.
2.

Untuk mengetahui dan menganalisis sikap ahli waris yang dikuasai haknya
oleh ahli waris yang lain.

3.

Untuk mengetahui dan menganalisis tentang putusan Mahkamah Agung dalam
menyelesaikan kasus No. 2134/K/PDT/1989.

D. Manfaat Penelitian
Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna baik secara teoritis
maupun secara praktis.
1.

Secara teoritis, diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan ilmu
hukum terutama dibidang hukum waris khususnya.

2.

Secara praktis, manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman
bagi masyarakat dan pihak pihak yang berkepentingan, serta dapat menjadi
sumbangan kepada pemerintah untuk membuat peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang waris.

E. Keaslian Penelitian
Sepanjang yang diketahui dan berdasarkan atas penelusuran yang dilakukan di
perpustakaan baik di Magister Ilmu Hukum maupun di Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, belum ada penelitian yang membahas
tentang “Analisis Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Yang

Universitas Sumatera Utara

12

Dikuasai Oleh Salah Satu Pewaris (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 2134
K/PDT/1989)”.
Akan tetapi dalam penelusuran tersebut ditemukan ada judul yang
mengangkat tentang pembagian warisan namun permasalahan dan pembahasannya
sangat jauh berbeda.Adapun judul penelitian tesis tersebut adalah :
1.

Pembagian Harta Warisan Pada Suku Melayu ( Studi di Kecamatan Medan
Maimoon Kelurahan Aur). Atas nama Marsella NIM (027011040)

2.

Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum
Islam (Studi kasus putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung No
151/Pdt.G.2006/PTA.Bdg). Atas nama Sahriani NIM (077011084)

3.

Pelaksanaan Pewarisan Menurut Hukum Adat Pada Masyarakat Adat Jawa (Studi
di Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara ) Atas nama
Tulus Parasian Trg NIM ( 097011053 )

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Kerangka teori dalam suatu penelitian hukum memegang peranan yang sangat

penting guna menjadikan dasar pijakan bagi penelitian untuk menentukan arah atau
tujuan penelitian. Teori menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau
proses tertentu terjadi,dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada
fakta fakta yang menunjukan ketidak benarannya.

Universitas Sumatera Utara

13

Kerangka

teoritis bagi suatu penelitian mempunyai beberapa kegunaan

sebagai berikut12:
a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan
fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;
b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta,
membina struktur-struktur konsep-konsep serta memperkembangkan defenisidefenisi;
c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah
diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti;
d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena
telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktorfaktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.
Kemudian dalam membahas mengenai pelaksanaan pembagian harta warisan
yang dikuasai oleh salah satu pewaris, maka dalam penelitian ini digunakanlah teori
keadilan menurut Hukum waris Islam. Adil dalam perspektif Al-Qur’an. Salah satu
nama Allah yang terdapat dalam Asma UL Husna adalah Al – Adil. Biasanya dalam
bahasa Arab Adil diartikan dengan lurus, lawan bengkok. Orang yang adil harus
berjalan lurus dan sikapnya harus menggunakan ukuran yang sama bukan ganda. Bila
dia seorang Hakim, maka dia baru disebut dengan Adil, bila ia tidak berpihak kepada
salah seorang yang berselisih/berperkara. 13
Berbuat adil adalah sifat mulia yang disukai oleh Allah SWT. Secara konsep
keadilah adalah memberikan hak kepada pemiliknya tanpa memihak, tanpa
diskriminasi, kemudian meletakkan sesuatu sesuai porsinya. 14

12

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 121.
Hasballah Thaib & Zamakhsyari Hasballah, Tafsir Tematik Al-Qur’an II, (Medan: Pustaka
Bangsa, 2007), hal. 239
14
“Konsep Adil dalam AL-Qur’an”. http://riwayat. wordpress. com/2007/12/05/konsep-adildalam-al-quran/, diakses tanggal 10 April 2012.
13

Universitas Sumatera Utara

14

Ada sebagian ulama mendefinisikan Adil dengan menempatkan sesuatu yang
berhak menerimanya, menyerahkan suatu jabatan kepada yang professional. Bila
diserahkan (suatu urusan) kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran.
(HR. Muslim).
Menunda hak orang juga tidak adil. Dari itu Rasul mengatakan: Orang kaya
yang melambat-lambatkan bayar hutang adalah dzhalim. Dzhalim adalah lawan Adil.
Di dalam al Qur’an dijumpai beberapa kata yang mirip dengan adil misalnya
Almizan, Al-Qisthi, misalnya Firman Allah :Artinya:Tegakkan timbangan dengan
adil dan jangan rugikan timbangan. Orang yang adil adalah orang yang lahir dari dia
perbuatan keadilan. Tidak kita ketahui seseorang itu adil kecuali dengan mengetahui
keadilannya.
Sifat adil sangat dekat dengan taqwa, seperti tertuang pada ayat : Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat dengan Taqwa (QS. Al Maidah ayat 8). Keadilan
yang dituntut oleh Al-Qur’an bukan saja dalam proses hukum, tetapi mencakup adil
terhadap diri sendiri. Firman Allah di Surat Al-An’am ayat 152: “Dan apabila kamu
berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil walaupun terhadap keluargamu”.
Kata adil dalam berbagai bentuk dijumpai 28x dalam Al Qur’an dan dalam
berbagai peristiwa. Ini menunjukkan antara satu peristiwa dengan peristiwa lain
berbeda arti adil. Adil yang memiliki arti relatif menurut manusia diperintahkan Allah
SWT

untuk ditegakkan. “Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan

berbuat ihsan (kebaikan)” (QS. An Nahl Ayat 90). Firman Allah: “Katakanlah,
Tuhanku memerintahkan agar menjalankan keadilan”. (QS. 7:29).

Universitas Sumatera Utara

15

Dua puluh delapan kali kata adil dalam Al-Qur’an, tidak satupun yang
dinisbahkan kepada Allah menjadi sifatnya. Ini menunjukkan keadilan Allah tidak
mampu dan tidak boleh dinilai oleh manusia.
Beragam objek keadilan yang dibicarakan dalam kasus-kasus yang terdapat
dalam Al-Qur’an, menunjukkan bahwa pengertian Adil pada satu kasus berbeda
dengan arti adil pada kasus lain.
Keadilan hakiki tidak mampu dilakukan manusia. Hal ini dapat dilihat pada
adil terhadap para isteri yang dipoligami oleh suami. Firman Allah di Surat An Nisa’
ayat 129, yang artinya: “Dan kamu pasti tidak akan dapat berlaku adil diantara
wanita-wanita (isteri-isteri dalam cinta). Walaupun kamu berusaha sekuat tenaga
ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang
kamu cintai) dan membiarkan yang lain terkatung-katung.
Dari itu ulama Fiqih (ahli Hukum) sepakat mengutarakan bahwa adil yang
dituntut bagi para suami yang berpoligami adalah adil pada lahir (nafkah) karena adil
pada hal-hal yang bathin tidak seorangpun mampu.15
Hal demikian menunjukkan bahwa keadilan dalam hukum waris Islam bukan
saja keadilan yang bersifat distributif semata (yang menentukan besarnya forsi
berdasarkan kewajiban yang dibebankan dalam keluarga), akan tetapi juga bersifat
commulatif, yakni bagian warisan juga diberikan kepada wanita dan anak-anak. Hal

15

Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis; Studi
Perbandingan Sistem Hukum Islam, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991), hal. 24.

Universitas Sumatera Utara

16

tersebut berbeda dengan hukum warisan Yahudi, Romawi dan juga hukum adat pra
Islam, bahkan sebagiannya hingga sekarang masih berlaku.16
Di samping itu manusia juga tidak akan mampu berlaku adil terhadap diri
sendiri, kedua orang tuanya, dan saudara-saudara dekat. Hal ini juga dijelaskan Allah
SWT dalam surat An-Nisa’ 135, yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman,
jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapak, kerabatmu. Jika ia (yang tergugat atau terdakwa) kaya atau
miskin maka Allah lebih utama dari keduanya”.
Karena itulah ulama Fiqih mengatakan bila yang berperkara di pengadilan
tidak boleh anak atau saudara yang menjadi hakim dalam kasus orang tua/saudaranya.
Diantara lawan adil adalah ahzalim. Rasul bersabda: “Hati-hatilah terhadap doa orang
yang teraniaya walaupun dia kafir, karena tidak ada pemisah antara doanya dengan
Allah. ”
Sulit seseorang berlaku adil bila dia tidak cerdas hati sanubarinya bersama
kecerdasan intelektualnya. Bila seseorang bertanya apa arti adil maka akan terdapat
perbedaan tanggapan. Adil menurut ulama yang satu akan berbeda dengan ulama
yang lain, tergantung kepada peristiwa kondisi dan dalam situasi bagaimana peristiwa
itu terjadi.
Sebagai pegangan dapat dikatakan bahwa defenisi adil memiliki 4 (empat) arti
yaitu :17

16

Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), hal. 124.

Universitas Sumatera Utara

17

1.

Adil dalam arti sama; artinya tidak membedakan antara yang satu dengan yang
lain sebagai contoh Hakim di pengadilan harus memandang sama, menempatkan
tempat yang sama antara penggugat dan tergugat. Maksudnya penggugat dan
tergugat memiliki hak yang sama.
Allah berfirman di Surat An-Nisa’ayat 58 yang artinya: “Apabila kamu
memutuskan perkara diantara manusia, maka hendaklah kamu memutuskannya
dengan adil. ”
Ayat ini memberi petunjuk hakim untuk menempatkan pihak-pihak yang
bersengketa dalam posisi yang sama, misalnya, tempat duduk, cara memanggil
dengan gelar.
Dalam hal ini sulit kita temui terutama bila dalam kasus-kasus politik, baik di
Indonesia atau Negara lainnya. Dari itu Hakim tidak boleh menjadi milik satu
golongan/partai, tapi hakim harus berdiri di atas dan untuk semua golongan.

2.

Adil artinya seimbang dalam arti proporsional, diatur dalam Surat Infithar ayat
6 -7 yang artinya:
“Wahai manusia, apakah yang memberdayakan kamu (berbuat durhaka)
terhadap Tuhanmu yang maha pemurah? yang menciptakan kamu lalu
menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan kamu (menjadikan) susunan
tubuhmu seimbang. ”
Arti keadilan kedua ini biasanya diperlukan pada hukum waris Islam. Misalnya
hak anak laki-laki 2 x bahagian anak perempuan karena tanggung jawab anak
laki-laki lebih berat. Anak laki-laki bakal jadi ayah, bakal jadi suami, tentu saja

17

Ibid, hal. 245

Universitas Sumatera Utara

18

kewajiban mengeluarkan harta lebih banyak dibanding anak perempuan yang
bakal menjadi isteri atau ibu yang selalu mendapatkan haknya dari calon suami
atau anak-anak.
3.

Adil dalam arti hak-hak individu.
Artinya setiap orang memiliki haknya masing-masing. Arti ketiga biasanya
disebut dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Hal ini dapat
dianalogikan sama dengan menempatkan seseorang pada jabatan yang tepat. Hal
ini disebutkan dalam hadits, yang artinya:
“Apabila diserahkan suatu urusan bukan pada ahlinya (yang profesional)
tungguhlah kehancurannya. ” (HR. muslim)
Adil dalam arti lawannya zhalim, yaitu pelanggaran terhadap orang lain. Bahkan
banyak pemimpin kita yang dzhalim karena menempatkan seseorang dalam
jabatan yang tidak dimengertinya karena pengaruh nepotisme.

4.

Keadilan yang keempat adalah keadilan Allah SWT yang tidak mampu akal
manusia untuk memahaminya. Keadilan Allah SWT pada hakikatnya merupakan
rahmat dan kebaikan-Nya.
Definisi Adil berbeda dengan Ihsan,kalau adil artinya menempatkan sesuatu

pada tempatnya sedangkan Ihsan adalah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya
karena memang harus demikian. Sebagai contoh Rasul menolak permohonan sahabat
agar tidak memotong tangan pencuri itu, karena si pemilik harta yang dicuri telah
memaafkannya, Rasul mengatakan:

Universitas Sumatera Utara

19

Hukum potong tangan adalah hak Allah SWT , bukan hak manusia seperti
hukum Qhisas. Allah SWT memerintahkan manusia untuk berlomba-lomba berbuat
kebaikan (QS. An Nisa ayat 95), namun hak seseorang selalu berbeda sesuai dengan
kemampuan dalam berlomba. Tidak sama orang yang mengetahui dengan orang
yang tidak mengetahui (QS. Az-Zumar ayat 9).
Konsep keadilan dalam Al-Quran dan hadis memposisikan diri secara jelas
tanpa kompromi dan diskriminasi, kita diperintahkan semaksimal mungkin untuk
selalu obyektif terhadap keputusan yang akan diambil. Menghindari sikap
sentimen kesukuan, kebencian, dalam memutuskan suatu perkara sehingga dapat
bersikap adil, apabila seseorang berlaku adil maka ia akan lebih dekat kepada
kebajikan yang sempurna, sebaliknya jika tidak berlaku adil maka kebajikan akan
makin jauh dari kehidupan.
Sebelum menilai sesuatu itu adil atau tidak kita harus dapat memperlihatkan
dan mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan kasus yang akan kita nilai.
Manusia sangat berkeinginan meniru nama Allah SWT yang AsmauI Husna,
termasuk meniru dan berlaku adil, namun karena manusia makhluk bukan Khaliq,
pasti tidak akan mampu. Untuk itu manusia sudah dapat dikatakan adil bila dia sudah
dapat melaksanakan segala apa yang diperintahkan Allah SWT menurut
kemampuannya.
Teori kedua yang digunakan dalam penelitian ini yang merupakan pendukung
teori keadilan adalah teori Maslahat. Maslahat secara etimologi atau bahasa berarti

Universitas Sumatera Utara

20

sesuatu yang mendatangkan kebaikan, keselamatan, faedah atau kegunaan dan
manfaat.18
Imam Al-Ghazali mengemukakan tolak ukur yang menjadi dasar utama dalam
menentukan Maslahat adalah Syariat yang diarahkan untuk memelihara pencapaian
tujuan syariat Islam yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal,
memelihara keturunan dan memelihara harta.19 Namun Ibnu Asyura mengatakan
yang termasuk dalam tujuan Syariat Islam adalah memelihara lingkungan dan
ketertiban umum. Maslahat berarti mengambil manfaat dan menolak kemudharatan
dalam rangka memelihara tujuan Syariat Islam. Esensi Maslahat terletak pada
terciptanya kebaikan dan kesenangan serta terhindar dari kerusakan dalam kehidupan
manusia.
Secara normatif Maslahat merujuk pada keadaan yang seharusnya ada yaitu
hanya mengedapankan sifat positif dalam kehidupan berupa kebaikan, kenyamanan
serta kedamaian dengan menolak berbagai sisi negative yang menimbulkan
kerusakan, bahaya serta kerugian bagi kehidupan manusia. Aspek normatif Maslahat
itu harus dapat diwujud nyatakan dalam tujuan empiris sehingga keberadaanya
dirasakan dan dialami oleh masyarakat.
Kemaslahatan dijelmakan ke dalam hukum untuk dapat mewujudkan
kehidupan yang bahagia, damai sesuai dengan keberadaan Islam sebagai rahmat bagi

18

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1995), hal. 634.
19
H .Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam Bagian Pertama, (Jakarta: Logos Wahana
Ilmu, 1997), hal.142.

Universitas Sumatera Utara

21

seluruh alam. Peranan Maslahat dalam menentukan hukum dapat menyelesaikan
sengketa warisan yang dikuasai oleh sebagian ahli waris. Kemaslahatan senantiasa
bersandar pada syariah dan hanya dapat diaplikasikan dalam bidang muamalah bukan
pada ibadah yang telah ditentukan tata caranya dalam Syariat Islam. Kemaslahatan
mirip dengan Utilitarianisme hanya saja Utilitarianisme terbatas pada kebahagian
dunia saja.Sedangkan Maslahat mencakup kemaslahatan diakhirat.
Hasbi Ashiddieqy mengemukakan bahwa hukum Islam mempunyai tiga
karakter yang merupakan ketentuan yang tidak berubah, yakni : pertama, takamul
yaitu sempurna, bulat dan tuntas. Maksudnya bahwa hukum Islam membentuk umat
dalam suatu ketentuan yang bulat, walaupun mereka berbeda-beda bangsa dan
berlainan suku, tetapi mereka satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kedua,
wasathiyat (harmonis), yakni hukum Islam menempuh jalan tengah, jalan yang
seimbang dan tidak berat sebelah, tidak berat kekanan dengan mementingkan
kejiwaan dan tidak berat kekiri dengan mementingkan perbedaan. Hukum Islam
selalu mnyelaraskan diantara kenyataan dan fakta dengan ideal dari cita-cita. Ketiga,
Harakah (dinamis), yakni hukum Islam mempunyai kemampuan bergerak dan
berkembang, mempunyai daya hidup dan dapat membentuk diri sesuai dengan
perkembangan dan kemajuan zaman. Hukum Islam terpencar dari sumber yang luas
dan dalam, yang memeberikan kepada manusia sejumlah hukum yang positif dan
dapat dipergunakan pada setiap tempat dan waktu.20

20

Hasbi Ash-Shiddiqy, Filsafat Hukum Islam, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2001),
hal. 105-10

Universitas Sumatera Utara

22

2.

Konsepsi
Sebelum membahas mengenai penelitian ini, maka harus dahulu memahami

istilah-istilah yang muncul dalam penelitian ini. Perlu dibuat defenisi konsep tersebut
agar makna variabel yang diterapkan dalam topik ini tidak menimbulkan perbedaan
penafsiran.
Konsepsi yang akan diajukan dalam tesis ini adalah:
a.

Analisis yuridis adalah penyelidikan, penjabaran sekaligus pemecahan secara
hukum terrhadap suatu peristiwa atau permasalahan yang timbul untuk
mengetahui keadaan yang sebenarnya.

b.

Harta Warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama
setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya,
biaya pengurusan jenazah (tajhis), pembayaran utang dan pemberian untuk
kerabat. 21
Harta warisan yang dikuasai berarti harta yang ditinggal mati oleh si pemilik
dan seluruhnya dipegang oleh ahli waris baik kepemilikannya maupun fisiknya.

c.

Pewaris adalah seseorang yang telah meninggal dan meninggalkan harta benda
untuk keluarga yang masih hidup. 22

d.

Ahli waris merupakan orang yang berhak mendapat harta peninggalan dari
pewaris atau orang yang sudah meninggal.

21

Lihat Pasal 1 tentang Ketentuan Umum Point e Kompilasi Hukum Islam.
Rhia. “Hukum Kewarisan Islam”. http://edukasi. kompasiana. com/2011/09/30/hukumkewarisan-Islam/, diakses tanggal 2 April 2012
22

Universitas Sumatera Utara

23

e.

Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan
Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah
dan pengaruh-pengaruh lain.23

G. Metode Penelitian
Sebagai suatu penelitian ilmiah maka kegiatan penelitian dinilai dari
pengumpulan data sampai pada analisis data yang dilakukan dengan memperhatikan
nilai nilai serta kaidah kaidah ilmiah guna menjawab persoalan hukum yang dihadapi.
1.

Sifat dan Jenis Penelitian
Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, artinya dalam

penelitian akan menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisa terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan atas pembagian harta warisan yang dikuasai oleh
salah satu pewaris.
Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode
penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu
penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sebagai pijakan normatif, yang berawal dari
premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimasudkan
untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran
induk (teoritis).
2. Sumber Data
Sumber data berasal dari penelitian kepustakaan (library research) yang
diperoleh dari:
23

Lihat Pasal 1 angka (2) UU No, 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No, 3
Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.

Universitas Sumatera Utara

24

a.

Bahan hukum primer, yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan ketentuan hukum waris yaitu Kompilasi Hukum Islam (Inpres
No. 1 Tahun 1991), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989
tentang Pengadilan Agama, UU Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung,

Putusan

Mahkamah Agung Nomor 2134. K/PDT/1989.
b.

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan hukum
primer, misalnya, buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan, tulisan para
ahli, makalah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan
dengan penelitian ini.

c.

Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan hukum
primer dan sekunder untuk memberikan informasi tentang bahan-bahan
sekunder, misalnya majalah, surat kabar, kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia
dan website.

3.

Alat Pengumpul Data
Dalam penelitian tesis ini dipegunakan alat pengumpulan data dengan cara

sebagai berikut :
a. Studi dokumen atau penelitian kepustakaan (library research). Pengumpulan
data dilakukan dengan cara menghimpun data yang berasal dari kepustakaan,
berupa buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah, majalah-majalah, peraturan
perundang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti

Universitas Sumatera Utara

25

serta tulisan-tulisan yang terkait dengan hukum waris. Dokumen ini
merupakan sumber informasi yang penting.
b. analisis secara langsung kepada informan dengan menggunakan pedoman
analisis yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Wawancara dilakukan
terhadap informan yakni 2 (dua) orang hakim, yaitu Hakim Pengadilan
Agama Medan yaitu Drs.H.Mohd Hidayat Nassery selaku Ketua Majelis
Hakim dan Bapak Dr. Manahan, MP. Sitompul, SH, M. Hum, sebagai Hakim
pada Pengadilan Tinggi Medan, guna melengkapi data yang diperlukan dalam
penelitian ilmiah, serta demi kesempurnaan tesis ini.
4.

Analisis Data
Pada penelitian yang bersifat deskriptip analitis digunakan metode pendekatan

yuridis normatif, maka metode analisis data yang akan dipergunakan adalah metode
kualitatif.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa analisis data akan dilakukan
dengan

pendekatan

kualitatif,

pemilihan

metode

kualitatif

ini

karena

mempertimbangkan bahwa dalam penelitian ini data yang akan diperoleh sukar
diukur dengan angka – angka.
Dengan dilakukannya analisis data maka dapat ditarik kesimpulan dengan
memakai analisa deduktif, yaitu dengan cara berfikir yang dimulai dari hal – hal yang
bersifat umum untuk selanjutnya menuju kepada hal – hal yang bersifat khusus dalam
menjawab segala permasalahan yang ada dalam suatu penelitian sehingga
memungkinkan menghasilkan kesimpulan yang menjawab segala permasalahan yang
telah ditetapkan.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

6 131 94

Analisis Terhadap Keabsahan Putusan Perceraian Dan Pembagian Harta Bersama Yang Dikeluarkan Oleh Hakim Dari Negara Lain (Singapura) Terhadap Warga Negara Indonesia (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 612 K/Pdt/2003), 2012

5 77 142

Analisis Yuridis Pembagian Harta Bersama Milik Orang Tua Yang Dilakukan Anak Di Kala Kedua Orang Tua Masih Hidup (Putusan MA Tanggal 27 OktobeR 2004, NO. 1187 K/PDT/2000)

2 36 152

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 k/ag/1999)

0 55 136

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122

Analisis Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Yang Dikuasi Oleh Salah Satu Pewaris (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 2134 K Pdt 1989)

0 0 16

Analisis Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Yang Dikuasi Oleh Salah Satu Pewaris (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 2134 K Pdt 1989)

0 0 2

Analisis Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Yang Dikuasi Oleh Salah Satu Pewaris (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 2134 K Pdt 1989)

0 3 27

Analisis Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Yang Dikuasi Oleh Salah Satu Pewaris (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 2134 K Pdt 1989)

0 7 5