Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pemerasan “Dwelling Time” di Pelabuhan Belawan

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Setelah berlakunya sistem Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang

merupakan suatu integrasi ekonomi ASEAN dalam menghadapi perdagangan
bebas antar negara-negara ASEAN guna menciptakan pasar tunggal yang
mencakup negara-negara ASEAN sekaligus pusat produksi (production base)
dengan kaitannya pada elemen produk aktivitas ekonomi bebas. Dimana seluruh
negara-negara anggota ASEAN telah menyepakati adanya perjanjian ini.
Masyrakat Ekonomi Asean (MEA) ini dirancang untuk mewujudkan Wawasan
ASEAN 2020 mendatang.
Pembentukan pasar tunggal atau yang diistilahkan dengan Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA) ini memungkinkan suatu negara menjual barang dan/atau
jasa dengan mudah ke negara-negara lain diseluruh Asia Tenggara. Dengan
berlakunya MEA pada 2015 silam maka dunia ekonomi dan perdagangan pada
khususnya mengalami perubahan sistem yang signifikan. Pasar bebas tanpa ada
lagi perlakuan istimewa yang bersifat nasional maupun regional.
Bagi Indonesia beberapa jenis komoditi ekspor sangat mendapat perhatian

dari pemerintah, karena secara umum perekonomian Indonesia tidak lagi
mengandalkan komoditi migas sebagai penyumbang devisa dalam pembangunan.
Itulah sebabnya deregulasi dan debirokratisasi yang pemerintah gulirkan sampai
saat ini diarahkan pada peningkatan dan kemajuan ekspor produk-produk non

1

Universitas Sumatera Utara

2

migas. Tetapi pada saat yang bersamaan terjadi ketimpangan lain yang perlu
segera ditangani dan dibenahi, seperti misalnya perangkat hukumnya.
Pembangunan ekonomi sangat didukung oleh banyaknya perusahaan yang
semakin berkembang dengan menjalankan berbagai bidang usaha. Perusahaan
merupakan setiap betuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat
tetap, terus-menerus, dan didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah
negara Indonesia dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba. Istilah
perusahaan lahir sebagai wujud perkembangan yang terjadi dalam dunia usaha
yang kemudian diakomodir dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

(KUHD). Istilah perusahaan ini tidak dirumuskan secara eksplisit seperti apa yang
terjadi dalam istilah Perdagangan dan Perbuatan Perdagangan 1.
Saat ini, terdapat ketidak sesuaian pasal-pasal yang ada dalam KUHD
dengan perkembangan dalam dunia usaha atau perdagangan. Ketidaksesuaian itu
disebabkan adanya kekurangan dan atau kelemahan yang dikandung oleh definisi
pedagang dan perbuatan perdagangan (perniagaan), sehingga menyebabkan
terbatasnya ruang lingkup usaha yang bisa dilakukan menjadi bagian kajian dalam
hukum dagang. Salah satu ketidaksesuaian tersebut adalah pasal 2 - 5 KUHD2
perihal perdagangan dan perbuatan perniagaan. Dalam pasal 5 KUHD (lama)
menambahkan kegiatan-kegiatan yang termasuk perbuatan perniagaan khususnya
perbuatan perniagaan-perniagaan di laut, seperti perbuatan yang timbul dari

1

H.M.N, Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia I : Pengetahuan

Dasar Hukum Dagang, Djambatan: Jakarta, 1995, Cetakan 11, Hlm. 5.
2

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang


Universitas Sumatera Utara

3

kewajiban-kewajiban menjalankan kapal melayari laut, kewajiban-kewajiban
mengenai tubrukan kapal, tolong-menolong dan menyimpan barang dilaut, dan
lain-lain.
Perusahaan menghasilkan produk barang atau jasa agar dikenal
masyarakat yang kemudian dapat dapat digunakan atau dipakai oleh masyarakat.
Perusahaan berperan dalam menghasilkan barang atau jasa dan selanjutnya
memperdagangkannya kepada konsumen. Proses perdagangan barang dilakukan
oleh perusahaan dengan perjanjian jual beli 3.
Penyerahan barang merupakan kewajiban utama penjual sebagai pelaksana
isi perjanjian atau kontrak jual beli perdagangan yang diikuti dengan lamanya
waktu pengiriman barang tersebut untuk sampai kepada pembeli. Pengiriman
barang sebagi cara penyerahan barang merupakan bagian tak terpisahkan dari
sistem perdagangan. Perlu adanya sarana pengangkutan sebagai penunjang.
Pengangkutan di Indonesia memiliki peranan penting dalam memajukan
dan memperlancar perdagangan dalam maupun luar negeri karena adanya

pengangkutan dapat memperlancar arus barang dari daerah produksi ke konsumen
sehingga kebutuhan konsumen dapat terpenuhi. Hal tersebut dapat dilihat pada
perkembangan dewasa ini terhadap jasa pengangkutan di Indonesia mulai
menunjukkan kemajuan, terbukti dengan ditandainya banyaknya perusahaan
industri yang percaya untuk menggunakan jasa pengangkutan.

3

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti: Bandung,

2010, Hlm. 457

Universitas Sumatera Utara

4

Menurut Purwosutjipto, pengangkutan adalah perjanjian timbal balik
antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari suatu tempat
ketempat yang lain sesuai tujuan tertentu dengan selamat, sedngkan pengirim

mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan

4

. Tujuan diadakannya

pengangkutan adalah untuk memindahkan barang dari tempat asal ketempat
tujuan untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisiensi.
Berdasarkan kondisi umum di Indonesia, moda pengangkutan dapat
diklasifikasikan sebagai berikut : pengangkutan darat (pengengkutan melalui jalan
(raya) dan kereta api), pengangkutan laut dan pengangkutan udara. Perusahaan
yang melakukan jual beli pada praktik perdagangan, biasanya memilih
menggunakan sarana pengangkutan melalui tiga moda pengangkutan tersebut
diatas yaitu darat, laut, dan atau udara. Namun kebanyakan perusahaan lebih
memilih sarana pengangkutan laut dengan sistem peti kemas untuk mengirimkan
barang dagangannya ke tujuan yang telah ditentukan. Pengangkutan laut ini
mempunyai peran yang sangat besar dalam pengangkutan bagi Indonesia, hal ini
dikarenakan dapat memberikan keuntungan-keuntungan sebagai berikut:
1.


Biaya angkutan lebih murah dibandikan dengan moda nagkutan lainnya.

2.

Sanggup membawa penumpang sekaligus mengangkut barang-barang
dengan berat ratusan bahkan ribuan kilo.

4

H.M.N, Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3: Hukum

Pengangkutan, Djambatan: Jakarta, 1991, Hlm. 2.

Universitas Sumatera Utara

5

3.

Meskipun waktu yang ditempuh lebih lama dari moda pengangkutan

udara tetapi bongkar muat barang dapat dilakukan secara cepat.

Pengangkutan laut terjadi karena adanya suatu perjanjian antara kedua
belah pihak, yaitu pihak pemberi jasa pengangkutan dengan pemakai jasa
pengangkutan tersebut. Dengan adanya perjanjian tersebut menyebabkan suatu
tanggung jawab bagi pengangkut yang terletak pada keamanan dan keselamatan
kapal serta muatannya terutama pada saat pelayaran atau selama dalam
pengangkutan. Dalam pengangkatan barang melalui laut ini dikenal beberapa
macam dokumen yang harus menyertainya, diantaranya yang sangat penting
adalah konosemen ( bill of ladind ) yang dikeluarkan oleh si pengangkut.
Dengan demakin meningkatnya frekuensi pengangkutan di laut khususnya
pada pengangkutan barang dari dan keluar negeri maka diperlukan upaya hukum
untuk melindungi kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam pengangkutan laut
melalui pengembangan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum secara tegas
untuk mencerminkan keseimbangan dalam berat ringannya tanggungjawab dan
hak yang timbul dari masing-masing pihak.
Dengan berkembangnya perdagangan di Indonesia yang menggunakan
moda pengangkutan laut, maka transportasi laut sebagai bagian dari sistem
transportasi nasional perlu dikembangkan dalam rangka mewujudkan wawasan
nusantara yang mempersatukan seluruh wilayah Indonesia, termasuk lautan

nusantara sebagai satu kesatuan wilayah NKRI.

Universitas Sumatera Utara

6

Negara Indonesia yang menganut wawasan Nusantara pada hakekatnya,
bahwa

wilayah

nusantara

beserta

udara

diatasnya

dan


laut

yang

menghubungkannya berikut segenap isinya merupakan kesatuan yang utuh dan
menyeluruh. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa negara Indonesia
adalah negara kepulauan, karena bentuk, letak geografis dan kepadatan lalu lintas
pelayaran di kawasan ini menempatkan Indonesia dalam kedudukan yang sangat
penting. Realisasi pengisian wawasan nusantara memuat kemampuan untuk
menegakkan dan memelihara kedaulatan dan hukum negara Indonesia diseluruh
nusantara, khususnya di laut.
Melihat kenyataan bahwa kondisi geografis Indonesia yang merupakan
negara kepulauan dimana wilayah perairan jauh lebih luas dibandingkan dengan
wilayah daratannya maka sudah merupakan hal yang sangat wajar apabila
pembangunan dan pengaturan transportasi laut dewasa ini perlu mendapat
perhatian yang besar. Pembangunan transportasi laut harus mampu menggerakkan
pembangunan nasional dan pembangunan daerah,

dengan mengutamakan


keteraturan kunjungan kapal yang dapat menggairahkan tumbuhnya perdagangan
dan kegiatan pembangunan umumnya. Laut nusantara sebagai lahan usaha
kelautan mengharuskan pentingnya perhatian terhadap transportasi laut yang juga
membutuhkan

penataan

peraturan-peraturan

hukum

yang mengatur dan

mendukung pengembangan usaha transportasi laut dan usaha penunjang yang
terkait dengannya.
Penyerahan barang melalui pengangkutan laut dengan sistem peti kemas
memerlukan sarana-sarana penunjang, terutama yang berkaitan dengan bongkar

Universitas Sumatera Utara


7

muat barang. Pentingnya kegiatan bongkar muat dari kapal turun ke kapal ini
dikarenakan adanya kewajiban pengangkut untuk menyerahkan barang kepada
penerima barang maka diperlukan pelabuhan khusus. Kedudukan pelabuhan
sebagai sarana penunjang perdagangan dan penjamin kelancaran arus barang perlu
mempunyai status hukum dan dikelola secara efisien 5. Pelabuhan dalam
menempatkan diri sebagai pintu gerbang perekonomian mutlak harus dapat
memberikan kontribusi antara lain penekanan distribution cost yang berdampak
pada daya beli, daya saing, dan efek multiplier terhadap pertumbuhan dan
pendapatan nasional.
Berdasarkan hirarkinya, Pelabuhan Belawan yang terletak di bagian Barat
Indonesia tepatnya di Kecamatan Medan Belawan, kota Medan Provinsi Sumatera
Utara merupakan pelabuhan dengan tingkat kelas utama yang bernaung dibawah
PT. Pelabuhan Indonesia I ( Pelindo I ) dan merupakan pelabuhan terbesar seSumatera yang berfungsi sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi di
Indonesia khususnya pulau Sumatera. Posisi Pelabuhan Belawan yang strategis
karena pelabuhan ini terletak diantara Perairan Pantai Timur Sumatera ( Selat
Malaka ), Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan Laut Cina
Selatan serta menjadi pintu masuk bagi kegiatan ekonomi beberapa negara di Asia
khususnya Malaysia, Thailand, Singapura dan Hongkong. Hal inilah yang
menjadikan pelabuhan Belawan sebagai pelabuhan yang menjadi gerbang utama
dari masuknya kapal-kapal pengangkut peti kemas sebagai faktor pemicu kegiatan

5

Elfrida Gultom, Hukum Pengangkutan Laut, Literata Lintas Media: Jakarta, 2009, Hlm.

106

Universitas Sumatera Utara

8

perekonomian negara 6. Pada dasarnya kecenderungan sistem pengelolaan
pelabuhan sejalan dengan tatanan, arah, sasaran, dan tuntutan pelayanan
pelabuhan serta perkembangan pola distribusi dan transportasi barang dibutuhkan
adanya aliansi strategic atara penyelenggara pelabuhan dalam hal ini adalah PT.
Pelabuhan Indonesia ( Pelindo I ) dengan APBMI ( Asosiasi Perusahaan Bongkar
Muat Indonesia ) dalam upaya meningkatkan produktivitas, mengoptimalkan
penggunaan fasilitas dan peralatan dalam bentuk kerja sama sejajar ( win-win )
dan saling membutuhkan (sinergi).
Pelabuhan Belawan masih menjadi penghambat arus kegiatan jual beli
perdagangan. Hal ini mengenai syarat penyerahan barang yang erat kaitannya
dengan adanya dwelling time di pelabuhan dalam kegiatan impor. Dalam rangka
mendukung program pemerintah dalam memperlancar arus barang melalui
Belawan dan menurunkan biaya logistik, perlu dilakukan upaya-upaya terpadu
dan terarah. Untuk mengukur keberhasilan program pemerintah tersebut
“Dwelling Time” telah dijadikan sebagai salah satu alat ukur keberhasilan oleh
pemerintah. Dwelling Time tersebut terbagi atas 3 (tiga) bagian yaitu 7 :
1.

Pre-Customs Clearance
Waktu yang diperlukan sejak peti kemas dibongkar dari kapal sampai
dengan importir melakukan penyiapan dokumen Pemberitahuan Impor
Barang (PIB) ke Bea Cukai.

6

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Pelabuhan_Belawan. Diakses pada Tanggal 11Februari
2017 pukul 20.45 WIB
7
Dokumentasi Bea Cukai Belawan. Diakses pada Tanggal 11 Februari 2017 pukul 21.09
WIB.

Universitas Sumatera Utara

9

2.

Customs Clearance
Waktu yang dibutuhkan dari sejak Pemberitahuan Impor Barang (PIB)
diterima sampai dengan diterbitkannya Surat Persetujuan Pengeluaran
Barang (SPPB) oleh Bea Cukai.

3.

Post-Customs Clearance
Waktu yang dibutuhkan dari sejak SPPB sampai dengan pengeluaran
barang impor dari Tempat Penimbunan Sementara (TPS).

Kegiatan bongkar muat barang dari dan ke kapal adalah kegiatan yang
meliputi

stevedoring, cargodoring dan receiving/ delivery di pelabuhan.

Sedangkan perusahaan bongkar muat adalah badan hukum Indonesia yang khusus
didirikan untuk menyelenggarakan dan mengusahakan kegiatan bongkar muat
barang dari dan ke kapal. Didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun
1969 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut, bahwa kegiatan
bongkar muat dari dan ke kapal dilaksanakan oleh perusahaan pelayaran melalui
unit usaha bongkar muat yang merupakan bagian dari perusahaan induk.
Proses dwelling time ini menjadi tidak efisien dalam soal waktu bongkar
muat maupun pengurusan formalitas kepabeanan. Ini dikarenakan waktu dwelling
time di Pelabuhan Belawan terlalu lama yaitu mencapai 6 – 7 (enam sampai tujuh)
hari. 8 Padahal pemerintah pusat berharap dalam proses dwelling time di Belawan
itu hanya dalam waktu 2-3 (dua sampai tiga) hari saja. Pelabuhan yang menjadi
pintu gerbang utama perekonomian suatu daerah bahkan negara ternyata tidak
8

Nasional.kompas.com/read/2016/09/13/12304531/jokowi.marah.dwell.time.pelabuhan.b
elawan.masih.7.hingga.8.hari, (diakses pada tanggal 25 maret 2017, Pukul 15.45 WIB)

Universitas Sumatera Utara

10

terlepas dari masalah yang melibatkan oknum – oknum tertentu dalam meraup
keuntungan dengan menekan keuntungan perusahaan yang menggunakan jasa
pengangkutan laut. Salah satu dari permasalahan yang terjadi di pelabuhan
Belawan ialah pungutan liar atau sering disingkat pungli maupun pemerasan
dengan ancaman. 9 Pungutan liar tersebut sering melibatkan mereka yang tidak
bertanggungjawab dengan mengatasnamakan kegiatannya itu demi kelancaran dan
keamanan bagi para perusahaan yag menggunakan jasa pengangkutan laut.
Didorong oleh

alasan itulah para pengusaha yang mau tidak mau harus

memberikan pungutan-pungutan yang diminta oleh oknum tersebut.
Pungutan liar adalah sebutan untuk semua bentuk pungutan yang tidak
resmi dan yang tidak mempunyai landasan hukum, maka tindakan pungutan
tersebut dinamakan sebagai pungutan liar (pungli). Pungutan liar juga merupakan
suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau Pegawai Negeri atau Pejabat
Negara dengan cara meminta pembayaran sejumlah uang yang tidak sesuai atau
tidak berdasarkan peraturan yang berkaitan dengan pembayaran tersebut. Dalam
pelaksanaannya, pelaku pungli selalu diikuti dengan tindakan kekerasan ataupun
ancaman kekerasan terhadap pihak yang berada dalam posisi lemah karena adanya
kepentingan.
Itulah sebabnya, pungli cenderung mengarah pada tindakan pemerasan
yang di dalam hukum pidana merupakan perbuatan yang dilarang atau tindakan
melawan hukum. Meskipun ia tahu bahwa melakukan pengancaman adalah salah
satu perbuatan yang melanggar hukum dan melanggar norma-norma yang ada
9

m.viva.co.id/berita/nasional/830756-dua-tersangka-dwelling-time-di-belawan-dibekuk
(diakses pada tanggal 25 Maret 2017 pada pukul 16.05 WIB)

Universitas Sumatera Utara

11

dalam masyarakat tetapi tetap saja kejahatan ini masih banyak ditemukan, apalagi
dinegara-negara berkembang seperti Indonesia yang sangat multi kompleks dan
tentunya semakin kompleks kebutuhan manusia maka semakin tinggi tingkat
kriminalitasnya. Karena dalam memperoleh kebutuhan yang bersifat primer
terkadang seseorang melakukan jalan pintas dengan melakukan perbuatan yang
melawan hukum seperti kejahatan pungutan liar ataupun pemerasan dengan
ancaman kekerasan.
Berdasarkan catatan dari dokumen perserikatan bangsa-bangsa tentang
upaya pemberantasan korupsi, pungutan liar merupakan pungutan tidak resmi,
permintaan, penerimaan segala pembayaran, hadiah atau keuntungan lainnya,
secara langsung atau tidak langsung, oleh pejabat publik atau wakil yang dipilih
dari suatu negara dari perusahaan swasta atau publik termasuk perusahaan
transnasional atau individu dari negara lain yang dikaitkan dengan maksud untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu tugas yang berkaitan dengan suatu
transaksi komersial internasional. Perbuatan yang dilakukan oleh pegawai negeri
atau penyelenggara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum terdapat dalam rumusan korupsi Pasal 12 huruf e
menunjuk pada pasal 423, dan pasal 12 huruf f, rumusannya diambil dari pasal
425 ayat (1) KUHP.
Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi telah diatur berbagai macam
ataupun jenis tindak pidana korupsi. Pungutan liar yang sebagaimana telah
disebutkan di atas bahwasannya juga merupakan salah satu jenis dari tindakan

Universitas Sumatera Utara

12

yang mengarah pada tindakan koruptif. Pungutan liar lahir dari tingginya tingkat
ketidakpastian pelayanan sebagai akibat dari adanya prosedur pelayanan yang
panjang dan melelahkan menjadi penyebab dari semakin banyaknya masyarakat
yang menyerah ketika berhadapan dengan pelayanan publik yang korupsi. Hal ini
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat cenderung semakin
toleran terhadap praktik pungutan liar dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Dapat dikatakan antara sadar ataupun tidak, pungli telah bersemayam
dalam jiwa masyarakat Indonesia, karena hampir setiap pelayanan publik seperti
pelayanan pajak, perizinan, investasi, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP),
Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan, Izin Mendirikan
Bangunan (IMB), transportasi, akta, sertifikat tanah, air, telepon dikenakan tarif
yang sebenarnya tidak patut untuk dikenakan biaya yang besar, proses dwelilng
time salah satunya.
Pungutan liar semakin marak terjadi utamanya dikalangan masyarakat,
karena adanya proses pembiaran, baik secara politik, hukum maupun sosial.
Secara politik, suburnya pungutan liar karena tingkah laku pemerintah dan
aparatnya. Bahkan apa yang dilakukan sekelompok orang dalam memungut
retribusi liar karena legitimasi oleh tingkah laku oknum aparat. Apalagi,
pemungut retribusi liar itu kadang menggunakan pakaian dan mengatasnamakan
suatu lembaga seolah-olah terlihat resmi.
Dalam dimensi sosial, gejala pungutan liar ini tampaknya telah menjadi
aturan sosial yang diformalkan. Apalagi pemahaman terhadap praktik pungutan
liar dan premanisme menjadi bercampur aduk. Masyarakat semakin sulit

Universitas Sumatera Utara

13

membedakan mana yang retribusi, mana pungutan liar dan mana yang
premanisme. Dengan kondisi ini, pungutan liar itu menjadi semacam organized
crime yang muncul dalam bentuk pengemis yang premanistik. Maka, dengan
melihat gejala yang terjadi ini maka cara untuk mengatasinya adalah tidak lain
dengan penegakan hukum yang tegas, khususnya terhadap pelaku pungutan liar.
Guna mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian,
Pemerintah pusat telah menetapkan reformasi hukum tahap I yang di fokuskan
pada lima program prioritas, yakni : pemberantasan pungutan liar, pemberantasan
penyelundupan, percepatan pelayanan SIM, STNK, BPKB dan SKCK, relokasi
lapas dan perbaikan layanan hak paten, merk dan desain.
Dengan maraknya tindak pidana pungutan liar atau pemerasan yang
terjadi di Indonesia khususnya di Pelabuhan Belawan, pemerintah meningkatkan
efektifitas pemberantasan pungutan liar atau pemerasan ini dengan mengeluarkan
Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih
Pungutan Liar atau disingkat SATGAS SABER PUNGLI. Bedasarkan Perpres
Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar bahwa
praktik pungutan liar telah merusak sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara sehingga perlu upaya pemberantasan secara tegas, terpadu, efektif,
efisien, dan mampu menimbulkan efek jera serta dalam upaya pemberantasan
pungutan liar ini perlu dibentuk Satgas Saber Pungli. 10
10

MENKOPOLHUKAM, Satgas Saber Pungli, Disampaikan Pada Acara : Konferensi

Nasional Pemberantasan Korupsi Tahun 2016 Óptimalisasi Pelayanan Publik”, Jakarta, 1
Desember 2016

Universitas Sumatera Utara

14

Mencermati fenomena diatas sebagai bentuk keprihatinan terhadap
bobroknya pelayanan di pelabuhan serta maraknya aksi pungutan liar dalam
proses dwelling time, maka saya tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut
dalam sebuah penelitian skripsi “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap
Pelaku Pemerasan “Dwelling Time” di Pelabuhan Belawan”.

B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat di rumuskan permasalahan

sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan hukum nasional terhadap pelaku tindak
pidana pemerasan/ pungutan liar ?
2. Analisis hukum pidana terhadap Putusan Pengadilan Negeri
Nomor : 664/Pid.B/2017/PN-MDN (dengan terdakwa Mafrizal,
bersama Sabam Parulian Manalu dan Frans Holmes Sitanggang).
3. Bagaimana

pertanggungjawaban

pidana

terhadap

pelaku

pemerasan dalam proses “Dwelling Time” di Pelabuhan Belawan?

C.

Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum di Indonesia terhadap pelaku
tindak pidana pemerasan/ pungutan liar.

Universitas Sumatera Utara

15

2. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana penerapan hukum
terhadap Putusan Pengadilan yang diberikan terhadap pelaku
pemerasan di Pelabuhan Belawan.
3. Untuk mempelajari dan mengetahui pertanggungjawaban pidana
dari palaku pemerasan serta upaya yang dilakukan oleh pihak
penegak hukum dan seluruh pihak terkait untuk menanggulangi
tindak pidana pemerasan/ pungutan liar.

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu :
1. Agar hasil penelitian ini memberikan sumbangsih teortis bagi
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, dalam hal ini
perkembangan dan kemajuan ilmu hukum secara umum.
2. Agar hasil penelitian ini dijadikan referensi tambahan bagi para
akademisi, penulis dan kalangan yang berminat dalam bidang kajian
yang sama.
3. Untuk mendapatkan data dan informasi mengenai pertanggungjawaban
pidana dari palaku pemerasan serta upaya yang dilakukan oleh pihak
yang berwajib dalam meminimalisir terjadinya Pungutan Liar yang
dilakukan di Pelabuhan Belawan.

D.

Keaslian Penulisan
Karya tulis ini adalah asli sebab tidak ada judul dan pembahasan yang

sama dalam rangka penulisan skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban

Universitas Sumatera Utara

16

Pidana Terhadap Pelaku Pemerasan “Dwelling Time” Di Pelabuhan Belawan”.
Selain dengan membaca media cetak dan makalah yang berhubungan dengan
judul penulis dan ketentuan peraturan perundang-undangan, penulis juga
melakukan riset atau penelitian langsung ke kantor Kepolisian Daerah Sumatera
Utara guna mendapatkan bahan dan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi
ini.
Kalaupun ada kutipan atau pendapat dalam penulisan ini, semata-mata
adalah sebagai faktor dan pelengkap dalam usaha menyusun dan menyelesaikan
tulisan ini, karena hal tersebut memang sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan
penulisan ini.
Demikian penulisan ini dapat dipertanggungjawabkan keasliaanya dan
belum pernah ada judul yang sama, mirip bahkan persis, demikian juga dengan
pembahasan yang diuraikan berdasarkan pemeriksaan oleh Perpustakaan Cabang
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara / Pusat Dokumentasi dan Informasi
Hukum Fakultas Hukum USU tertanggal 20 April 2017.

E.

Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana merupakan salah satu terjemahan dari bahasa Belanda

yaitu “Het Strafbaar feit” yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan berarti :
a. Perbuatan yang dapat atau boleh dihukum
b. Peristiwa pidana
c. Perbuatan pidana, dan

Universitas Sumatera Utara

17

d. Tindak pidana
Istilah ini terdapat dalam Wvs Belanda, dengan demikian juga Wvs Hindia
Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud
dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha memberikan
arti dan isi dari istilah itu, sayangnya sampai kini belum ada keseragaman
pendapat 11.
Beberapa pendapat para ahli hukum mengenai istilah “ Het strafbaar feit”
antara lain:
1. Simons
Menurut Simons “Een Strafbaar Feit” adalah suatu tindakan atau
perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, yang
bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld)
oleh seorang yang mampu bertanggungjawab. Yang kemudian dibagi dalam dua
golongan unsur, yaitu: unsur-unsur objektif yang berupa tindakan yang dilarang
atau diharuskan, akibat keadaan atau masalah tertentu, dan unsur subjektif yang
berupa kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab dari petindak. Simons
menyatakan bahwa delik adalah suatu tindakan melawan hukum yang telah
dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat
dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu
perbuatan yang dapat dihukum.
Adapun alasan Simons apa sebabnya delik itu harus dirumuskan seperti yang
disebutkan di atas karena :
11

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada: Jakarta,
2010, Hlm.67

Universitas Sumatera Utara

18

1) Untuk adanya delik syaratnya harus terdapat suatu tindakan yang
dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, dimana
pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban tersebut telah dinyatakan
sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
2) Agar suatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus
memenuhi semua unsur dalam delik sebagaimana yang dirumuskan
dalam undang-undang.
3) Setiap delik sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban
menurut undang-undang itu, pada hakekatnya merupakan suatu tindakan
melawan hukum. 12
2. Van Hamel
Van Hamel merumuskan “Strafbaar feit” itu sama dengan yang
dirumuskan oleh Simons, hanya ditambahkannya dengan kalimat “tindakan mana
bersifat dapat dipidana” 13.
3. Pompe
Pompe merumuskan “Strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran kaidah (
penggangguan ketertiban hukum), terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan
untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum
dan menjamin kesejahteraan umum.

12

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Abadi:
Bandung, 1997, Hlm. 185
13
E.Y Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan
Penerapannya, Storia Grafika: Jakarta, 2012, Hlm.205.

Universitas Sumatera Utara

19

Sampai saat ini masih ditemukan adanya perbedaan pendapat mengenai
ajaran sifat melawan hukum dalam kajian hukum pidana antara sifat melawan
hukum formil (formiele wederrechtelijkheid) dan melawan hukum materil
(materiele wederrechtelijkheid) 14. Berikut ini akan dijelaskan lebih mendetail
mengenai perbedaan keduanya.

a) Sifat melawan hukum formil
Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum secara formil apabila
perbuatan itu bertentangan dengan ketentuan uandang-undang (hukum tertulis).
Berdasarkan pengertian ini, maka suatu perbuatan bersifat melawan hukum adalah
apabila telah dipenuhi semua unsur yang disebut dalam rumusan delik.
Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh D. Schaffmeister bahwa sifat
melawan hukum dalam arti formil bermakna bahwa suatu perbuatan telah
memenuhi semua rumusan delik dari undang-undang. Dengan kata lain
terdapatnya perbuatan melawan hukum secara formil apabila semua bagian yang
tertulis dari rumusan suatu tindak pidana itu telah terpenuhi 15.

b) Sifat melawan hukum materil
Sedangkan dalam pengertian melawan hukum secara materil, suatu
perbuatan disebut sebagai perbuatan melawan hukum tidaklah hanya sekedar

14

Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru: Jakarta,

1987, Hlm. 7.
15

D. Schaffmeister et.al, Hukum Pidana, Liberti: Yogyakarta, 2004, Hlm. 39

Universitas Sumatera Utara

20

bertentangan dengan ketentuan hukum tertulis saja. Dismping memenuhi syaratsyarat formil yaitu, memenuhi semua unsur yang disebut dalam rumusan delik,
perbuatan haruslah benar-benar dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang
tidak boleh atau tidak patut dilakukan. Dengan demikian suatu perbuatan
dikatakan sebagai melawan hukum adalah apabila perbuatan dipandang tercela
dalam suatu masyarakat.
Sifat melawan hukum materil berarti suatu tindak pidana itu telah
melanggar atau membahayakan kepentingan umum yang hendak dilindungi oleh
pembentuk undang-undang dalam rumusan tindak pidana tertentu 16. Bersifat
melawan hukum materil bahwa tidak hanya bertentangan dengan hukum yang
tertulis tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis.
Seperti telah disinggung diatas, istilah TINDAK dari TINDAK PIDANA
adalah merupakan singkatan dari TINDAKAN atau PETINDAK. Artinya ada
orang yang melakukan suatu tindakan, sedangkan orang yang melakukan itu
dinamakan petindak. Mungkin suatu tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja,
tetapi dalam banyak hal sesuatu tindakan tertentu hanya mungkin dilakukan oleh
seorang dari suatu golongan jenis kelamin saja, atau seseorang dari suatu
golongan yang bekerja pada negara/ pemerinta (pegawai negeri, militer, nahkoda
dan sebagainya) atau seseorang dari golongan lainnya. Jadi status seseorang
petindak harus ditentukan apakah ia salah dari “barangsiapa”, atau seseorang dari
suatu golongan tertentu. Bahwa jika ternyata kemudian petindak itu tidak hanya

16

Ibid, Hlm. 41

Universitas Sumatera Utara

21

orang (natuurlijk-persoon) saja melainkan juga suatu badan hukum akan
dibicarakan kemudian.
Dengan demikian dapat dirumuskan pengertian dari tindak pidana sebagai
: suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang (atau
diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan
hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang mampu
bertanggungjawab) 17.

2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Menurut kamus besar bahasa Indonesia “Tanggung Jawab” adalah
keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut,
dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya) 18. Pidana adalah kejahatan (tentang
pembunuhan, perampokan dan sebagainya) 19.
Selanjutanya pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban dan
pidana, merupakan ungkapan-ungkapan yang terdengar dan digunakan dalam
kehidupan sehari-hari, dalam moral, agama dan hukum. Tiga hal ini berkaitan
dengan yang lain, dan berakar pada suatu keadaan yang sama, yaitu adanya suatu
pelanggaran terhadap suatu pelanggaran dan suatu sistem aturan-aturan.
Pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan persoalan keadilan.

17

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit, Hlm. 211.

18

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Balai Pustaka: Jakarta, 1991, Hlm. 1006

19

Ibid, Hlm.776

Universitas Sumatera Utara

22

Pertanggungjawaban

pidana

lahir

dengan

diteruskannya

celaan

(verwijtbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai
tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, yang secara subjektif
kepada pembuat yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena
perbuatan tersebut. Dasar dari adanya tindak pidana adalah asas legalitas,
sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti
bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan
dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai
kesalahan bilamana melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia
dapat dicela oleh karena perbuatannya tersebut. 20
Beberapa masalah yang muncul dalam aspek pertanggungjawaban pidana,
antara lain mengenai asas kesalahan (Culpabilitas) yang tidak dicantumkan secara
tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tetapi hanya
disebutkan dalam Memorie van Toelichting (MvT) sebagai penjelasan WvS. 21
Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan
pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana, didalamnya terkandung
makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya itu. Jadi apabila dikatakan
orang bersalah melakukan sesuatu tindk pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat
dicela atas perbuatannya.

20

Penjelasan Palas 31 RUU KUHP 1999-2000, Hlm. 22

21

Harrys pratama dan Usep Sepullah, Teori dan Praktik Hukum Acara Pidana

Khusus,Pustaka Setia: Bandung, 2016, Hlm.57.

Universitas Sumatera Utara

23

Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan (schuldvorm) dapat juga dikatakan
keslahan dalam arti yuridis, yang berupa 22:
1. Kesengajaan,
2. Kealpaan
Unsur-unsur kesalahan (dalam arti yang seluas-luasnya), ialah:
a. adanya kemampuan bertanggungjawab si pembuat; keadaan jiwa si
pembuat harus normal,
b. hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); ini disebut bentuk-bentuk
kesalahan,
c. tidak adanya alasan-alasan yang menghapus kesalahan atau tidak
adanya alasan pemaaf.
Pertanggungjawaban pidana, ada suatu pandangan yaitu pandangan
monistis dan pandangan dualistis. Pandangan yang monistis antara lain
dikemukakan oleh Simons yang merumuskan strafbaar feit sebagai perbuatan
yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum,
dilakukan oleh seoarang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab
atas perbuatannya. Menurut aliran monisme unsur strafbaar feit itu meliputi baik
unsur-unsur perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur-unsur
pembuat yang lazim disebut unsur subjektif. Oleh karena dicampur antara unsur
perbuatan dan pembuat, maka dapat disimpulkan bahawa strafbaar feit adalah

22

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni: Bandung, 1985, Hlm.89.

Universitas Sumatera Utara

24

sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap
bahwa kalau terjadi strafbaar feit maka pasti pelakunya dipidana. 23
Penganut pandangan monistis tentang strafbaar feit atau criminal act
berpendapat, bahwa unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut
pembuat delik yang meliputi:
a.

kemampuan bertanggungjawab

b. kesalahan dalm arti luas, sengaja dan atau kealpaan
c.

tidak ada alasan pemaaf

Pandangan dualistis yang pertama menganutnya adalah Herman
Kontorowicz, dalam tahun 1933 dalam bukunya dengan judul “Tut und Schuld”
dimana beliau menentang kebenaran pendirian mengenai kesalahan (Schuld) yang
ketika berkuasa, yang oleh beliau dinamakan “Objektive Schuld”, oleh karena
kesalahan

dipandang

sebagai

sifat

dari

padakelakuan.

Untuk

adanya

Strafvoraussetzungen (syarat-syarat dari penjatuhan pidana terhadap pembuat)
diperlukan lebih dahulu adanya pembuktian Strafbaar Handlung (perbuatan
pidana), lalu sesudahnya itu dibuktikan schuld atau kesalahan subjektif pembuat.24
Pandangan dualistis ini memudahkan dalam melakukan suatu sistematika
unsur-unsur mana dari suatu tindak pidana yang masuk dalam perbuatan dan yang
masuk ke dalam pertanggungjawaban pidana (kesalahan). Sehingga hal ini

23

Muladi, Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana,
Kencana, Jakarta, 2010, Hlm. 61
24
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Bina
Aksara, jakarta, 1983, Hlm.22

Universitas Sumatera Utara

25

mempunyai dampak positif dalam menjatuhkan suatu putusan dalam proses
pengadilan (Hukum Acara Pidana) 25.
Masalah pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan unsur
kesalahan, menurut Sauer ada tiga pengertian dasar dalam hukum pidana, yaitu:
1. sifat melawan hukum (unrecht);
2. kesalahan (schuld);
3. pidana (strafe)

Barda

Nawawi

Arief,

menyatakan

bahwa

untuk

adanya

pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu siapa yang dinyatakan
sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana tertentu.
Dalam

KUHP

sendiri

tidak

memberikan batasan,

KUHP

hanya

merumuskannya secara negatif yaitu mempersyaratkan kapan seseorang dianggap
tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan menurut
ketentuan

pasal

44

ayat

(1)

KUHP

seseorang

tidak

dapat

dimintai

pertanggungjawabannya atas suatu perbuatan karena dua alasan yaitu:
a. karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan
b. jiwanya terganggu karena penyakit

Orang dalam keadaan demikian, bila melakukan tindak pidana tidak boleh
dipidana. Berdasarkan keterangan diatas, maka dapat kita tarik kesimpulan
25

Muladi, Dwidja Priyatno, Op.Cit, Hlm. 55

Universitas Sumatera Utara

26

mengenai pengertian pertanggungjawaban pidana yatu kemampuan seseorang
baik secara mental maupun jasmani untuk menanggung konsekuensi dari
perbuatan yang dilakukannya sesuai dengan undang-undang.

F.

Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang dasarkan pada

metode, sistematikan dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisanya, juga
diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalah-permaslahan yang
timbul didalam gejala yang bersangkutan.

a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian Normatif-empiris. Penelitian
hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif
(kodifikasi atau undang-undang) secara in action pada setiap peristiwa hukum
tertentu yang terjadi dalam masyarakat 26. Penelitan ini mengkaji pemberlakuan
ketentuan hukum normatif dalam praktik pungutan liar di pelabuhan belawan.
b. Sumber Data
Sumber data yang berkaitan dengan permasalahan dan pendekatan masalah
yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

26

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti: Bandung,
2004, Hlm. 134

Universitas Sumatera Utara

27

1) Data Primer
Pada penelitian ini data primer bersumber dari lokasi penelitian
berdasarkan wawancara, yaitu kegiatan pengumpulan data primer
yang bersumber langsung dari informan di Kepolisian Daerah
Sumatera Utara.
2) Data Skunder
Data normatif umumnya berupa ketentuan-ketentuan undangundang yang menjadi tolak ukur terapan. Data skunder terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat
seperti peraturan perundang-undangan, perjanjian, dan peraturan
lain yang masih berhubungan dengan masalah yang akan
dibahas dalam penelitian ini.
b. Bahan hukum skunder, yaitu semua publikasi tentang hukum
yang merupakan dokumen tidak resmi, termasuk skripsi, tesis,
dan disertasi hukum; kamus-kamus hukum; jurnal-jurnal
hukum; dan komentar-komentar atas putusan hukum.
c. Bahan hukum tertier, yaitu petunjuk dan penjelasan mengenai
bahan hukum primer atau bahan hukum skunder yang berasal
dari kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar, dan sebgainya.
Bahan non hukum yang dapat digunakan apabila dipandang
perlu

sepanjang

mempunyai

relevansi

dengan

objek

permasalahan yang akan diteliti.

Universitas Sumatera Utara

28

c. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dengan metode pengumpulan data antara lain:
1. Studi pustaka, diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang
bersumber

dari

peraturan

perundang-undangan,

buku-buku,

dokumen resmi, publikasi dan hasil penelitian yang berkaitan
dengan pungutan liar.
2. Wawancara, data lapangan sebagai data penunjang diperoleh
melalui informasi dan pendapat-pendapat dari informan yang
ditentukan.
d. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan Pelabuhan Belawan serta
Kepolisian Daerah Sumatera Utara guna memenuhi kebutuhan data lapangan yang
diperoleh. Alasan pemilihan lokasi penelitian adalah Pelabuhan Belawan
merupakan tempat terjadinya tindak pidana pungutan liar dan Kepolisian Daerah
Sumatera Utara merupakan Pihak yang berwenang dalam menangani kasus
pungutan liar yang terjadi di Pelabuhan Belawan.
e. Analisis Data
Analisis data yang digunakan secara kualitatif, yaitu menguraikan dan
menjelaskan data dalam bentuk kalimat yang baik dan benar sehingga mudah
dibaca dan diinterpretasikan terhadap data primer dan data sekunder. Deskriptif
tersebut meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang

Universitas Sumatera Utara

29

dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang
dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek
kajian untuk ditarik kesimpulan sehingga memperoleh jawaban terhadap
permasalahan penelitian.
G.

Sistematikan Penulisan
Adapun sisematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. BAB I. PENDAHULUAN :
Merupakan bab Pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan,
tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
2. BAB II. PENGATURAN HUKUM NASIONAL TERHADAP TINDAK
PIDANA PEMERASAN/PUNGUTAN LIAR :
Dalam bab ini diuraikan sejarah pungli, jenis-jenis pemerasan / pungutan
liar dan pengaturan-pengaturan hukum mengenai pemerasan / pungutan
liar berdasarkan KUHP dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
3. BAB III. ANALISIS KASUS PEMERASAN/PUNGUTAN LIAR DI
PELABUHAN BELAWAN :
Bab ini merupakan pembahasan yang menguraikan analisa dari kasus
posisi terjadinya pemerasan/pungutan liar di pelabuhan belawan.

Universitas Sumatera Utara

30

4. BAB

IV.

PERTANGGUNGJAWABAN

PIDANA

TERHADAP

PELAKU TINDAK PIDANA PEMERASAN / PUNGUTAN LIAR
DALAM PROSES DWELLING TIME DI PELABUHAN BELAWAN :
Bab ini membahas mengenai tingkat perbuatan pemerasan di wilayah
Polda Sumut, upaya penanggulangan terjadinya penerasan (pungli) di
wilayah

Polda

Sumut

khususnya

Pelabuhan

Belawan,

serta

pertanggungjawaban pelaku pemerasan (pungli) di pelabuhan Belawan.
5. BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN :
Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, yang berisi
kesimpulan dari bab-bab yang sudah dibahas sebelumnya sekaligus
memuat saran-saran yang berkaitan dengan maslah yang dibahas.

Universitas Sumatera Utara