Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pemerasan “Dwelling Time” di Pelabuhan Belawan

BAB II
PENGATURAN HUKUM NASIONAL TERHADAP TINDAK PIDANA
PEMERASAN / PUNGUTAN LIAR
A. Pungutan Liar
Pungutan liar termasuk dalam kategori kejahatan jabatan, dimana dalam
konsep kejahatan jabatan di jabarkan bahwa pejabat demi menguntungkan diri
sendiri atau orang lain, menyalahgunakan kekuasaannya untuk memaksa
seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerma
pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri 27.
1. Sejarah Tindak Pidana Pungutan Liar
Pungutan liar merupakan suatu gejala sosial yang telah ada di Indonesia,
sejak Indonesia masih dalam masa penjajahan dan bahkan jauh sebelum itu.
Namun penamaan perbuatan itu sebagai perbuatan pungutan liar, secara nasional
baru diperkenalkan pada bulan september 1977, yaitu saat Kaskopkamtib yang
bertindak sebagai Kepala Operasi Tertib bersama dengan Menteri Negara
Penertiban Aparatur Negara dengan gencar melancarkan Operasi Tertib
(OPSTIB), yang menjadi sasaran utamanya adalah pungutan liar.
Pada masa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1977
tentang Operasi Penertiban (1977-1981),dengan tugas membersihkan pungutan
liar, uang siluman, penertiban aparat pemerintah daerah dan departemen. Untuk


27

Moh.Toha Solahuddin, Pungutan Liar Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi,
Paraikatte, Edisi Triwulan III, 2016, Hlm. 2.

31

Universitas Sumatera Utara

32

memperlancar dan mengefektifkan pelaksanaan penertiban ini ditugaskan kepada
Menteri

Negara

Penertiban

Aparatur


Negara,

untuk

mengakomodir

pelaksanaannya dan Pangkopkamtib untuk membantu Departemen/Lembaga
pelaksanaannya

secara

operasional. 28

Istilah

pungutan

liar,


sebenarnya

merupakan istilah politik yang kemudian dipopulerkan lebih lanjut oleh dunia
jurnalistik. Didalam dunia hukum khususnya Hukum Pidana, istilah pungutan liar
dan delik pungutan liar ini tidak dijumpai.
Sesungguhnya, pungli merupakan sebutan untuk semua bentuk pungutan
yang tidak resmi, yang tidak memiliki landasan hukum, maka tindakan pungutan
tersebut disebut sebagai pungutan liar. Dalam pelaksanaannya, perbuatan
pungutan liar ini selalu diikuti dengan tindakan kekerasan atau ancaman
kekerasan terhadap pihak yang berada dalam posisi lemah karena ada
kepentingannya 29.
2. Jenis-jenis Pungutan Liar
Dalam tindak pidana pungutan liar tidak terdapat secara pasti dalam
KUHP, namun dengan demikian pungutan liar juga dapat dikategorikan sebagai
tindakan korupsi, suap, gratifikasi bahkan pemerasan. Hal ini dikarenakan setiap
tindakan pungutan yang dilakukan selalu dibarengi dengan adanya kekerasan dan
ancaman kekerasan yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau perorangan.
28

Wijayanto,dkk., Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek


Pemberantasan, PT.Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2010, Hlm.672.
29

Gilang Andika Gunawan, Skripsi tentang : Tinjauan Kriminologi Terhadap Pungutan

Liar Kepada Pengemudi Angkutan Antar Daerah,Universitas Hasanuddin: Makassar, 2013,
Hlm.19.

Universitas Sumatera Utara

33

Adapun pengelompokan jenis pungutan liar adalah sebagai berikut :
a. Pungutan Liar sebagai Tindak Pidana Korupsi
Bila dilihat lebih dalam, tindakan pungutan liar yang sering terjadi bukan
sekedar pelanggaran hukum biasa. Dimana, pungutan liar tersebut dapat
digolongkan sebagai tindakan korupsi selain pasal pemerasan. Berdasarkan Pasal
1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, pelaku korupsi terbagi dalam tiga kelompok, yakni korporasi, pegawai

negeri, dan perorangan 30.
Dalam hal tindak pidana pungutan liar ini, pegawai negeri atau
peyelenggara negara yang berbuat menguntungkan diri sendiri atau orang lain
dengan menyalahgunakan kekuasaannya dapat diancam dengan hukuman pidana
penjara paling singkat selama 4 (empat) tahun. Hal tersebut ditau dalam Pasal 12 e
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tntang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tindak pidana korupsi pada umumnya merupakan kejahatan yang
memiliki karakteristik tersendiri. Perlu dikemukakan di muka bahwa pada
dasarnya, terdapat banyak karakteristik dari tindak pidana korupsi. Diantara
karakteristik tesebut diantaranya adalah :
a) Tindak pidana korupsi sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime);
b) Tindak pidana korupsi sebagai kejahatan terorganisir (organized crime);
c) Tindak pidana korupsi sebagai kejahatan lintas batas negara yang
terorganisasi (transnasional organized crime);
30

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi


Universitas Sumatera Utara

34

d) Tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana yang berdampak luar biasa
(extra ordinary crime);
e) Tindak pidana korupsi sebagai kejahatan dengan dimensi-dimensi yang
baru (new dimention of crime) 31.
Secara harfiah kata korupsi berarti kebusukan, keburukan, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian, kata-kata/ ucapan yang menghina atau memfitnah.
Kemudian arti kata korupsi ini mengalami pergeseran

dan selanjutnya Lord

Acton menghubungkan korupsi dengan kekuasaan sebagaimana dalam suratnya
kepada Uskup Mandell Creighton tanggal 3 April 1887 yang mengatakan :
“Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely”. Selanjutnya
sekarang secara umum korupsi dikaitkan dengan kekuasaan dan perbuatan yang
merugik an kepentingan publik / masyarakat untuk kepentingan pribadi atau

kelompok tertentu.
Menurut berbagai sumber pengertian korupsi antara lain dimaksud sebagai
berikut :
a) Syed Hussein Alatas : istilah korupsi mencakup tiga tipe fenomena, yaitu
penyuapan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme yang
ketiganya dikaitkan dengan penempatan kepentingan-kepentingan publik
dibawah kepentingan-kepentingan privat dengan pelnggaran normanorma tugas dan kesejahteraan.
b) H.A Brasz : ciri yang terpenting dari korupsi adalah pemakaian
wewenang dan kekuasaan formal secara tersembunyi dengan dalih
31

Kristian dan Yopi Gunawan, Tindak Pidana Korupsi : Kajian Terhadap Harmonisasi
antara Hukum Nasional dan The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC),Refika
Aditama: Bandung, 2015, Hlm. 48.

Universitas Sumatera Utara

35

menurut hukum. Tujuan yang sebenarnya hendak dicapai dengan

meyalahgunakan kekuasaan dan wewenang selalu disembunyikan.
c) Black’s Law Dictionary : Korupsi adalah suatu perbuatan yang dilakukan
dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai
dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain (to give some
advantage inconsintent with official duty and the rights of others).
Perbuatan dari seorang pejabat/ kepercayan yang secara melanggar
hukum dan secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk
dirinya sendiri atau untuk orang lain berlawanan dengan kewajibannya
dan hak-hak dari pihak-pihak lain.
d) Menurut Transparency International : korupsi mencakup perilaku dari
pejabat-pejabat disektor publik, apakah politikus atau pegawai negeri, di
mana mereka secara tidak benar dan secara melanggar hukum memerkaya
diri sendiri atau pihak lain yang dekat dengan mereka dengan cara
menyalah gunakan kewenangan publik yang dipercayakan kepada mereka
(by the misuse of the public power entrastrust them) 32.
Menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 merumuskan korupsi ke dalam 30 bentuk/ jenis tindak
pidana korupsi yang dapat dikelompokkan sebagai berikut :
Pertama : Korupsi yang terkait dengan keuangan negara, yaitu melawan
hukum untuk memperkaya diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara;


32

R. Dyatmiko Soemadihardjo, Mencagah dan Memberantas Korupsi, Prestasi Pustaka
Publisher: Jakarta, 2008, Hlm. 187.

Universitas Sumatera Utara

36

menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan dapat
merugikan keuangan negara.
Kedua : Korupsi yang terkait dengan suap menyuap, yaitu menyuap
pegawai negeri; memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya;
pegawai negeri menerima suap; pegawai negeri menerima hadiah yang
berhubungan dengan jabatannya; menyuap hakim; menyuap advokat; hakim dan
advokad yang menerima suap; hakim yang menerima suap; advokad yang
menerima suap.
Ketiga : Korupsi yang terkait penggelapan dalam jabatan, yaitu pegawai
negeri yang mengelapkan uang atau membiarkan penggelapan; pegawai negeri

yang memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi; pegawai negeri merusak
bukti; pegawai negeri yang membiarkan orang lain merusakkan bukti; pegawai
negeri yang membantu orang lain merusakkan bukti.
Keempat : Korupsi yang terkait dengan perbuatan pemerasan, yaitu
pegawai negeri memeras; pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain.
Kelima : Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang, yaitu pemborong
berbuat curang; pengawas proyek membiarkan perbuatan curang; rekanan
TNI/POLRI berbuat

curang; pengawas rekanan TNI/POLRI membiarkan

perbuatan curang; penerima barang TNI/POLRI membiarkan perbuatan curang;
pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain.
Keenam : Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam
pengadaan, yaitu pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusny.

Universitas Sumatera Utara

37


Ketujuh : Korupsi yang terkait dengan gratifikasi yaitu, pegawai negeri
menerima gratifikasi dan tidak melapor ke KPK.
Selain tujuh kelompok jenis tindak pidana korupsi tersebut, maka masih
ada 6 (enam) tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi,
yaitu merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi; tidak memberi keterangan
atau memberi keterangan yang tidak benar; bank yang tidak memberikan
keterangan rekening tersangka; saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan
atau memberi keterangan palsu; orang yang memegang rahasia jabatan tidak
memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu; saksi membuka identitas
pelapor 33.

b. Pungutan Liar sebagai Pemerasan
Pemerasaan sebagaimana diatur dalam Buku II Bab XXIII KUHP
sebenarnya terdiri dari dua macam tindak pidana pemerasan (afpersing) dan
tindak pidana pengancaman (afdreiging), kedua macam tindak pidana tersebut
mempunyasi sifat yang sama, yaitu suatu perbuatan yang bertujuan memeras
orang lain. Justru karna sifatnya yang sama itulah kedua tindak pidana ini biasa
diatur dalam bab yang sama.
Blackmail (pemerasan) adalah cara untuk mendapatkan suatu properti dari
orang lain dengan menggunakan ancaman dimasa mendatang, ancaman luka fisik,
kerusakan properti, atau ancaman untuk menimbulkan rasa malu ataupun tuntutan
atas tindak pidana. Dalam Black’s Law Dictionary, Blackmail diartikan sebagai
33

Memahami Untuk Membasmi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Cetakan Kedua :
Jakarta, September 2006.

Universitas Sumatera Utara

38

“a threatening demand made without justification” 34 dan sering kali dianggap
sinonim dengan extortion dan kebanyakan yurisdiksi telah mengganti istilah lama
“blackmail” dengan “extortion”.
Beberapa yurisdiksi mempersyaratkan adanya properti yang didapatkan
untuk dapat dinyatakan telah melakukan tindak kejahatan pemerasan. Yurisdiksi
lain hanya mempersyaratkan adanya ancaman dan bukti bahwa terdakwa
bermaksud melakukan ancaman, dan membuat korban merasa ketakutan.
Karenanya syarat yang harus dipenuhi untuk dapat disebut tindak pidana
pemerasan adalah adanya ancaman akan bahaya dimasa mendatang. Sifat bahaya
yang ditimbulkan oleh ancaman bebeda antara yurisdiksi satu dengan yang
lainnya, tetapi semuanya menyebutkan adanya penganiayaan fisik, kerusakan
properti, penghancuran reputasi, tuduhan kriminal atau penyalahgunaan jabatan
pemerintah. Ancaman yang dilakukan, tentu saja harus cukup serius dan atau
tidak sungguh-sungguh dapat dinilai berdasarkan standar umum yang lazim.
Sebagai contoh kasus blackmail dilakukan oleh mantan hakim ketua
pengadilan Tinggi negara bagian New York yang mengancam seorang perempan.
Perempuan tersebut mengakhiri hubungan gelap dengan sang hakim, dan sang
hakim mengancam akan menjual foto-foto cabul sang perempuan dengan kekasih
barunya jika sang perempuan menolak memberikan uang kepada sang hakim.
Dalam kasus ini, yang terjadi adalah ancaman akan kehancuran reputasi, dan
bukan penyalahgunaan kewenangan petugas pemerintah, yang menjadi ancaman
di masa mendatang.
34

http://m.hukumonline.com/berita/baca/bahasa-hukum-tindak-pidana-pemerasan.
Diakses pada Tanggal 14 Mei 2017 pukul 21.55 WIB

Universitas Sumatera Utara

39

Meskipun saat ini telah dianggap sinonim, blackmail dan extortion
memiliki sejarah yang berlainan. Blackmail berasal dari istilah Eropa untuk
meyebut uang ataupun bayaran (Prancis maile, gael mal, Jerman Mahl).
Sedangkan kata “black” sendiri diyakini merefleksikan sifat pembayaran tersebut
yang ilegal dan juga mungkin merujuk pada logam tempat terjadi transaksi
pembayaran. Biasanya digunakan tembaga atau logam dasar lain, bukan
menggunakan perak (logam putih). Dengan kemajuan uang kertas, logam tidak
lagi sering digunakan sebagai bentuk pembayaran, namun istilah “blackmail”
tetap digunakan hingga kini.
Extortion awalnya hanya terbatas pada tindak pengambilan properti secara
ilegal atau penyalahgunaan jabatan pemerintah atau berbagai posisi resmi lainnya.
Hukum extortion Amerika, yang dinamakan Hobbs Act (1946), mendefinisikan
extortion sebagai sebuah kejahatan yang terjadi “dibawah perlindungan hak
resmi”. Dalam hukum ini harus dijelaskan bahwa seorang petugas pemerintah
secara tidak patut meminta pembayaran kepada pihak lain dengan imbalan adanya
tindakan resmi secara eksplisit ataupun janji. Sebuah contoh kasus extortion
melibatkan seorang mantan walikota di New Jersey yang telah dinyataan bersalah
atas tindak pemerasan dengan meminta uang sebesar $150.000 dari para
kontraktor yang berusaha mendapatkan peluang bisnis di kota tersebut, dan
walikota mengetahui tentang proyek bisnis yang mereka dapatkan.
Pemerasan melibatkan bentuk ketakutan, ancaman, ataupun paksaan yang
digunakan untuk mendapatkan kepemilikan barang atau manfaat yang dicari.
Pemerasan juga berbeda dengan perampokan, karena perampokan sejenis

Universitas Sumatera Utara

40

pencurian dengan menggunakan kekerasan atau penganiayaan secara langsung,
sedangkan extortion meliputi ancaman dimasa mendatang. Blackmail dan
extortion biasanya mencakup ancaman verbal, tetapi ancaman nonverbal pun
dapat memenuhi tututan asal maknanya jelas dan tidak ambigu 35.
c. Uang Perlindungan
Pemerasan telah lama dikaitkan dengan kejahatan terorganisasi. Tindak
kriminal ini dijadikan sebagai sumber pendapatan bagi kelompok kejahatan
terorganisasi. “Uang Perlindungan,” yang memungkinkan kelompok kriminal
mendapatkan uang dari seorang korban dengan imbalan pemeras tidak melakukan
kerusakan kepada bisnis, tempat konstruksi, atau pada para pegawai. Ketika
seorang korban menolak membayar, maka akan terjadi kerusakan, dan seringkali
korban akan menyerah dan terpaksa membayar. Terdapat banyak bukti yang
menunjukkan kelompok kejahatan terorganisasi yang menguasai serikat
konstruksi, hotel, restoran, industri pembuangan limbah garmen, dan sampah.
Beberapa kelompok kriminal yang ada di kota New York, misalnya, telah
menguasai berbagai korporasi yang bergerak dalam berbagai bidang industri dan
karena itu mampu bekerja secara sistematis dalam memeras dengan cara meminta
uang imbalan atas kontrak atau dengan cara menjamin kemanan pegawai atau
menjamin pengiriman barang dari berbagai gangguan.
Di Indonesia, berbagai usaha berskala kecil dilaporkan harus membayar
setoran tidak resmi hingga 20 persen dari pendapatan kotor tahunan mereka untuk
mendapatkan izin dan menghindari gangguan dari pemerintah. Sulit diketahui
35

Jay S. Albanese, Kejahatan Terorganisasi (Organized Crime) Akar dan
Perkembangannya, Prenada Media Group: Jakarta, 2016, Hlm. 76.

Universitas Sumatera Utara

41

seberapa jauh jangkauan kejahatan blackmail dan extortion karena para korban
berada pada tekanan dan kemungkinan besar tidak akan mau melaporkan kondisi
mereka.
Suatu penelitian tentang industri konstruksi di kota New York menemukan
bahwa hanya ada batasan tipis antara penyuapan dengan pemerasan. Misalnya
saja, terkadang para kontraktor bisnis konstruksi secara sukarela memberikan
setoran kepada para inspektur bangunan untuk mendapatkan persetujuan
pembangunan (yang dikategorikan sebagai penyuapan oleh kontraktor). Namun
pada kesempatan lain, sang inspektur mengancam menahan atau membatalkan
persetujuan tersebut untuk mendapatkan uang imbalan dari kontraktor (
dikategorikan sebagai pemerasan oleh inspektur ). Tidak pernah jelas apakah
pembayaran semacam ini atau pembayaran lain kepada petugas pemerintah
sebagai bentuk imbalan atau kepada para jabat korporasi untuk menjamin
keamanan pekerja dilakukan karena ancaman atau secara sukarela diberikan oleh
korban untuk mempercepat proses konstruksi. Sejalan dengan hal itu, sebuah
survei viktimisasi bisnis yang diadakan di tiga lingkungan dengan angka kriminal
tertinggi di kota-kota di Iggris menemukan bahwa ajakan untuk ikut serta dalam
kejahatan terorganisasi adalah sesuatu yang umum terjadi dan bahwa berbagai
bisnis sering kali berhubungan dengan kejahatan terorganisasi dengan sukarela.
Pada beberapa kasus ditemukan bahwa para korban bersedia membayar setoran
uang kepada kelompok kejahatan terorganisasi yang berkuasa untuk mendapatkan
perlindungan agar terhindar dari berbagai tindak kriminal individu atau geng lokal
secara terus-menerus. Sebuah kasus yang sama juga terjadi di Asia, ketika negara

Universitas Sumatera Utara

42

seperti Jepang, Korea, Thailand, dan Indonesia menghadapi permasalahan
infiltrasi kejahatan terorganisasi kedalam sektor bisnis legal melalui ancaman,
paksaan, ataupun korupsi 36.

B. Pengaturan Mengenai Pungutan Liar / Pemerasan Dalam KUHP
Jauh sebelum kita mengenal istilah pungutan liar KUHP (Kitab UndangUndang Hukum Pidana) telah mengidentifikasi transaksi haram ini ke dalam
beberapa istilah, seperti : pemerasan, melawan hukum dan menyalahgunakan
wewenang 37. Adapun penjelasan beberapa pasal di dalam KUHP yang dapat
mengakomodir perbuatan pungutan liar adalah sebagai berikut :
1. Pasal 368 KUHP
(1) Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hak, memaksa orang dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan, supaya orang itu memberikan sesuatu
barang, yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang
itu sendiri kepunyaan orang lain atau supaya orang itu membuat utang
atau menghapuskan piutang, dihukum karena memeras, dengan
hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun”.
(2) Ketentuan dalam ayat kedua, ketiga dan keempat dari pasal 365
berlaku bagi kejahatan itu.

Dari rumusan tersebut di atas, dapat dilihat bahwa pada pemerasan ini
selain ada ketentuan umumnya (bentuk pokoknya), ada pula bentuk-bentuk
khususnya, dalam hal ini hanyalah bentuk yang memberatkan saja. Sesuai dengan

36

Ibid, Hlm.78

37

Moh. Toha Solahuddin, Op.cit. Hlm. 3.

Universitas Sumatera Utara

43

pasal 365 (2), (3), dan (4), maka dilihat dari segi ancaman pidananya, pemerasan
yang diperberat ada 3 bentuk 38.

a. Pemerasan dalam Bentuk Pokok
Rumusan pasal 368 ayat (1) sebagai rumusan dari pengertian pemerasan
itu terdapat unsur-unsur objektif meliputi perbuatan memaksa, yang dipaksa
seseorang, upaya memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dan
tujuan,

sekaligus

menggunakan

merupakan

upaya

kekerasan

akibat
atau

dari

perbuatan

ancaman

memaksa

kekerasan,

yaitu

dengan
orang

menyerahkan benda, orang memberi utang, orang menghapus piutang, dan unsurunsur subjektif meliputi dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain dan dengan melawan hukum.
Sebagian unsur-unsur tersebut diatas, yaitu unsur kekerasan dan ancaman
kekerasan telah dibicarakan dalam pencurian terlebih dahulu. Akan dibahas di sini
hanyalah terhadap unsur-unsur yang belum dibicarakan. 39

1) Perbuatan memaksa (dwingen)
Undang-undang tidak menerangkan tentang apa yang dimaksud dengan
memaksa. Perbuatan memaksa adalah berupa perbuatan (aktif dan dalam hal ini

38

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Cetakan Ketiga, Media Nusa

Creative : Malang, Juni 2016, Hlm. 52.
39

Ibid

Universitas Sumatera Utara

44

menggunakan cara kekerasan atau ancaman kekerasan) yang sifatnya menekan
(kehendak atau kemauan) pada orang, agar orang ini melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan kehendak orang itu sendiri.
Dari pengertian memaksa yang demikian itu dalam kaitannya dengan
pemerasan dapat diterangkan sebagai berikut. Seseorang (petindak) mempunyai
suatu keinginan, keinginan mana berupa : agar orang menyerahkan benda, atau
orang lain memberi utang, ataupun menghapuskan piutang. Keinginan itu tidak
akan terwujud apabila ia memintanya begitu saja, karena keinginan itu
bertentangan antara kehendak petindak dengan kehendak orang itu (korban).
Keinginan korban untuk tidak menyerahkan benda, tidak memberi utang maupun
tidak untuk menghapus piutang harus dikalahkan/ditundukkan, agar kehendak
petindak yang dipenuhi. Untuk itu haruslah dilakukan dengan cara memaksa
dengan cara demikian ini membawa akibat bagi korban seperti rasa takut, cemas
dan hal ini menjadikan dirinya tidak berdaya. Keadaan ketidakberdayaan inilah
yang menyebabkan korban menyerahkan benda dan lain sebagainya tadi, sesuatu
yang dikehendaki petindak.
Kini dapat disimpulkan bahwa perbuatan memaksa dalam pemerasan itu
adalah suatu perbuatan berupa kekerasan atau ancaman kekerasan yang bersifat
menekan yang dilakukan pada seseorang, yang dapat menimbulakn rasa takut atau
rasa cemas, menyebabkan ketidakberdayaan,sehingga orang itu dengan terpaksa
memberikan benda, memberikan hutang dan menghapuskan piutang, suatu yang
dikehendaki petindak dan bertentangan dengan kemauan itu sendiri. 40

40

Ibid., Adami Chazawi.Hlm. 53

Universitas Sumatera Utara

45

2) Perbuatan memaksa ditujukan pada orang
Orang di sini, baik pemilik benda maupun bukan, juga tidak harus orang
yang menyerahkan benda, yang memberi hutang maupun yang menghapuskan
piutang. Orang yang menerima paksaan, tidak harus sama dengan orang yang
menyerahkan benda, yang memberi hutang maupun yang menghapuskan piutang.

3) Upaya kekerasan dan ancaman kekerasan
Perbuatan memaksa adalah berupa perbuatan materiil (perbuatan jasmani),
karenanya harus aktif, dan juga berupa perbuatan yang bersifat abstrak. Perbuatan
yang bersifat abstrak ini akan menjadi lebih konkret sifatnya dan lebih terbatas
wujudnya, setelah dihubungkan dengan upaya atau cara melakukannya yakni
dengan kekerasan dan ancaman kekerasan. Mengenai pengertian kekerasan dan
ancaman kekerasan perhatian kembali pencurian dengan kekerasan yang telah
dibicarakan terdahulu.

4) Tujuan yang sekaligus merupakan akibat dari perbuatan memaksa, yaitu
orang menyerahkan benda, orang memberikan hutang dan atau menghapus
piutang
Disebut sebagai tujuan, oleh karena perbuatan memaksa ditujukan pada 3
akibat tersebut (disebut akibat konstitutif), yang sebelum perbuatan itu dilakukan,
dalam diri petindak terdapat suatu pikiran/kesadaran bahwa untuk mencapai
terdapat suatu pikiran/kesadaran bahwa untuk mencapai maksud menguntungkan

Universitas Sumatera Utara

46

diri sendiri maupun diri orang lain itu (unsur subjektif pemerasan), harus
terjadinya orang menyerahkan barang, orang memberi hutang, atau orang
menghapuskan piutang.
Tiga unsur akibat ini adalah berupa unsur objektif, dan berupa indikator
dari selesai/terjadinya kejahatan pemerasan. Apabila perbuatan memaksa sudah
terjadi, tetapi akibat tidak ada atau belum timbul, maka terjadi percobaan
pemerasan, dan apabila akibatnya sudah timbul maka selesailah pemerasan.
Untuk selesai atau timbulnya pemerasan, tidak bergantung pada perbuatan
petindak, tapi justru pada perbuatan orang lain (korban), apakah korban
melakukan perbuatan menyerahkan atau tidak, walaupun petindak telah
melakukan perbuatan memaksa. Perbuatan menyerahkan benda adalah unsur
akibat konstitutif sebagaimana telah dijelaskan diatas.
Menyerahkan barang adalah berupa perbuatan yang dilakukan korban
karena terpaksa, berupa perbuatan membawa suatu benda dengan mengalihkan
kekuasaan atasnya, yang pada umumnya ke dalam kekuasaan petindak. Dikatakan
pada umumnya, oleh karena bisa juga kekuasaan atas benda tersebut beralih ke
tangan orang suruhan petindak.
Perbuatan menyerahkan benda dikatakan selesai apabila menurut
kenyataannya kekuasaan atas benda tersebut telah lepas dari kekuasaan korban
dan secara mutlak beralih ke dalam kekuasaan petindak. Dapat disebut benda
tersebut telah nyata-nyata beralih kekuasaannya ke tangan petindak, apabila
petindak sudah dapat melakukan segala sesuatu perbuatan terhadap benda itu
tanpa melalui perbuatan lain terebih dulu.

Universitas Sumatera Utara

47

Tentang memberi hutang, yang dimaksudkan bukan semata-mata
memperoleh pinjaman uang atau membuat perjanjian hutang, melainkan
mempunyai pengertian yang lebih luas, yakni berupa mengadakan segala
perjanjian yang menyebabkan ia (korban) harus membayar sejumlah uang.
Misalnya seseorang dipaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk
membeli suatu benda, karena takut ia membeli benda itu. Disini timbul akibat
korban membayar sejumlah uang, yaitu harga barang itu.
Begitu juga dengan menghapuskan piutang, tidak semata-mata berarti
meniadakan pembayaran dari yang berhutang sejumlah uang dari pinjammeminjam uang kepada yang berpiutang, melainkan mempunyai arti yang lebih
luas, yakni emnghapuskan perikatan hukum yang sudah ada yang berakibat
(dianggap) hapusnya kewajiban hukum untuk menyerahkan sejumlah uang kepada
pihak korban.
Apakah pemerasan ini berupa tindak pidana formil ataukah tidak pidana materiil?
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang melarang untuk
melakukan perbuatan tertentu. Sedangkan tindak pidana materiil adalah tindak
pidana yang melarang menimbulkan suatu akibat tertentu.
Dalam hal ini apabila melihat dari sudut perbuatam, yaitu perbuatan
memaksa, maka pemerasan ini adalah berupa tindak pidana formil. Ada persoalan
berkenaan

dengan

selesainya

suatu

tindak

pidana

formil.

Untuk

selesainya/timbulnya tindak pidana formil bergantung pada selesai/terjadinya
perbuatan yang dilarang yang dirumuskan dalam redaksinya.

Universitas Sumatera Utara

48

Namun pada pemerasan (begitu juga pada pengancaman dan penipuan),
belum cukup untuk selesainya kejahatan itu hanya oleh karena selesainya
melakukan perbuatan yang dilarang saja, melainkan harus pula dari perbuatan itu
sudah timbul akibat yang dilarang, yakni benar-benar benda yang di maksud
sudah diserahkan, dan lain sebagainya. Dari sudut ini pemerasan adalah berupa
tindak pidana materiil. 41

5) Maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain degan melawan
hukum
Yang dimaksud dengan menguntungkan diri sendiri, ialah menambah
sejumlah kekayaan seseorang dari kekayaan yang sudah ada. Penambahan
kekayaan ini baik untuk dirinya sendiri maupun bagi orang lain, yang dalam
pemerasan tidak harus telah terwujud. Yang menjadi syarat bagi telah terjadinya
atau selesainya pemerasan bukan pda terwujudnya penambahan kekayaan itu,
melainkan pada apakah dari perbuatan memaksa itu telah terjadi penyerahan
barang oleh seseorang ataukah belum. Menguntungkan diri adalah maksud dari
petindak saja, dan tidak harus telah terwujud, maksud mana sudah ada dalam
dirinya sebelum melakukan perbuatan memaksa. Ini merupakan unsur kesalahan
dalam pemerasan.
Sedangkan maksud menguntungkan diri sendiri dan orang lain dengan
melawan hukum, ialah si petindak sebelum melakukan perbuatan memaksa dalam
dirinya telah ada suatu kesadaran bahwa maksud menguntungkan (menambah

41

Ibid., Adami Chazawi.Hlm.58

Universitas Sumatera Utara

49

kekayaan) bagi diri sendiri atau orang lain dengan memaksa seseorang itu adalah
bertentangan dengan hukum.
Ada persamaan dan perbedaan antara pemerasan dan pencurian dengan
kekerasan (pasal 365 ayat 1).
a. Mengenai upaya kekerasan dan ancaman kekerasan
Persamaannya : pada kedua kejahatan ini masing-masing memiliki unsur
kekerasan dan ancaman kekerasan.
Perbedaannya : kekerasan dan ancaman kekerasan pada pemerasan ditujukan
pada orang menyerahkan benda, memberi hutang dan menghapuskan piutang.
Sedangkan

pada

pencurian

dengan

kekerasan

ditujukan

untuk

mempersiapkan, mempermudahpencurian, atau dalam hal tetangkap tangan
memungkinkan untuk melarikan diri atau menguasai benda yang dicuri.
b. Mengenai objek kejahatan.
Persamaannya : masing-masing berobjek benda.
Perbedaannya : pada pemerasan objek itu lebih luas, termasuk juga suatu
perjanjian (memberi hutang dan menghapuskan piutang).
c. Mengenai penyebab beralihnya kekuasaan benda
Persamaannya : untuk selesainya dua kejahatan itu disyaratkan pada telah
beralihnya benda ke tangan petindak.
Perbedaannya : pada pemerasan beralihnya kekuasaan benda ke tangan
petindak disebabkan oleh perbuatan orang lain. Sesangkan pada pencurian

Universitas Sumatera Utara

50

dengan kekerasan adalah disebabkan oleh perbuatannya sendiri, yaitu
perbuatan mengambil. 42

2. Pasal 423 KUHP
“Pegawai negeri yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa orang lain untuk menyerahkan sesuatu,
melakukan suatu pembayaran, melakukan pemotongan terhadap suatu
pembayaran atau melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi sendiri,
dipidana denagn pidana penjara selama-lamanya enam tahun”
Tindak pidana yang daiatur dalam pasal 423 KUHP maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum di dalam
rumusan pasal 423 KUHP itu merupakan bijkomend oogmerk. Sehingga oogmerk
atau maksud tersebut tidak perlu telah terlaksana pada waktu seorang pelaku
selesai melakukan perbuatan-perbuatan yang terlarang di dalam pasal ini 43.
Dari rumusan ketentuan pidana yangdiatur dalam Pasal 423 KUHP di atas,
dapat diketahui bahwa yang dilarang di dalam pasal ini adalah perbuatanperbuatan dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa orang lain :
a. Untuk menyerahkan sesuatu;
b. Untuk melakukan suatu pembayaran;
c. Untuk

menerima

pemotongan

yang

dilakukan

terhadap

suatu

pembayaran;
d. Untuk melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi pelaku.
42

Ibid., Adami Chazawi.Hlm.59

43

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Grafika : Jakarta,

2006, Hlm.318.

Universitas Sumatera Utara

51

Perbuatan-perbuatan dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa orang
lain untuk menyerahkan sesuatu, melakukan suatu pembayaran, menerima
pemotongan yang dilakukan terhadap suatu pembayaran dan melakukan suatu
pekerjaan untuk pribadi pelaku itu merupakan tindak-tindak pidana materiil,
hingga orang baru dapat berbicara tentang selesai dilakukannya tindak-tindak
pidana tersebut, jika akibat-akibat yang tidak di kehendaki oleh undang-undang
karena perbuatan-perbuatan itu telah timbul atau telah terjadi. Karena tidak
diberikannya kualifikasi oleh undang-undang mengenai tindak-tindak pidana yang
diatur dalam Pasal 423 KUHP, maka timbullah kesulitan di dalam praktik
mengenai sebutan apa yang harus diberikan pada tindak pidana tersebut 44.
Sejak diperkenalkannya kata pungutan liar oleh pejabat negara, tindaktindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 423 KUHP sehari-hari disebut sebagai
pungutan liar. Pemakaian kata pungutan liar itu ternyata membuat akibat yang
sifatnya merugikan bagi penegakan hukum di Indonesia, karena orang kemudian
mempunyai kesan bahwa menurut hukum itu seolah-olah terdapat gradasi
mengenai perbuatan-perbuatan memungut uang dari rakyat yang dilarang oleh
undang-undang, yakni dari tingkat yang seolah-olah harus di tuntut menurut
hukum pidana yang berlaku, sedang dewasa ini biasa disebut pungutan liar itu
memang jarang membuat para pelakunya diajukan ke pengadilan untuk diadili,
melainkan

cukup

dengan

diambilnya

tindakan-tindakan

disipliner

atau

administratif terhadap mereka, padahal kita semua mengetahui bahwa yang
disebut pungutan liar itu sebenarnya merupakan tindak pidana korupsi seperti
44

P.A.F Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana
Korupsi, Sinar Grafika : Jakarta, 2009, Hlm. 390

Universitas Sumatera Utara

52

antara lain diatur dalam Pasal 12 huruf e dan f Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

C. Pengaturan Pungutan Liar/ Pemerasan dalam Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pemerasan yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah pemerasan
yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang memenuhi
unsur dalam Pasal 12 huruf e dan huruf f Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan ketentuan-ketentuan
tersebut, tindak pidana korpsi yang berkaitan dengan pemerasan dapat
dikelompokkan atau digolongkan menjadi beberapa bentuk, yaitu :

1.

Pemerasan oleh Pegawai Negeri
Tindak pidana korupsi bentuknya yang pertama berkaitan dengan tindak

pidana korupsi yang berkaitan dengan pemerasan adalah pemerasan yang
dilakukan oleh pegawai negeri. Hal ini diatur secara tegas dan jelas dalam Pasal
12 huruf e Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang perubahan atas UndangUndang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
meyatakan :

Universitas Sumatera Utara

53

Pasal 12 huruf e
“Dipidana denga pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara palin
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) : pegawai negeri atau
peyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau
menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu
bagi dirinya sendiri”.
Pasal di atas mengatur bahwa pegawai negeri yang melakukan pemerasan
dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Dilihat dari
sejarahnya, ketentuan pasal ini beral dari Pasal 423 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yang kemudian diadopsi dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c
Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan diadopsi kembali dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta dirumuskan kembali
dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Selanjutnya, untuk menentukan apakah suatu perbuatan termasuk dalam
tindak pidana korupsi seperti yang diatur dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka harus memenuhi unsurunsur berikut ini :
a) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
b) Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau oramg lain;

Universitas Sumatera Utara

54

c) Secara melawan hukum;
d) Memaksa seseorang;
e) Memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan
potongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f) Dengan menyalahgunakan kekuasaan 45.

2.

Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang Memeras Pegawai Negeri
atau Penyelenggara Negara Lainnya
Bentuk tindak pidana korupsi yang kedua berkaitan dengan tindak pidana

korupsi yang berhubungan dengan pemerasan adalah perbuatan pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang memeras pegawai negeri atau penyelenggara
negra lainnya. Hal ini di atur secara tegas dalam Pasal 12 huruf f Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Tentan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 12 huruf f
“Dipidana denga pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara palin
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) : pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang pada waktu menjalan tugas, meminta,
menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum
tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal
tersebut bukan merupakan utang.
Rumusan pasal di atas adalah rumusan tindak pidana korupsi yang belum
pernah diatur pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun
45

Kristian dan Yopi Gunawan, Op.cit. Hlm.174.

Universitas Sumatera Utara

55

undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebelumnya. Pasal
12 huruf f Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi
mengatur bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang memeras
pegawai negeri atau penyelenggara negara lainnya dapat di kategorikan sebagai
tindak pidana korupsi. Untuk menentukan suatu perbuatan termasuk dalam
rumusan pasal ini maka harus memenuhi unsur-unsur berikut ini:
a) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
b) Pada waktu menjalan tugas;
c) Meminta, menerima, atau memotong pembayaran;
d) Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada
kas umum;
e) Seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas
umum mempunyai utang kepadanya;
f) Diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang 46.

D. Faktor-Faktor

Penyebab

Terjadinya

Tindak

Pidana

Pungutan

Liar/Pemerasan
Pada dasarnya faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana pungutan
liar, pemerasan dan korupsi adalah sama. Dimana, secara umum terjadinya
pungutan liar, pemerasan dan korupsi disebabkan oleh :

46

Ibid, Hlm. 176.

Universitas Sumatera Utara

56

1. Adanya ketidakpastian pelayanan sebagai akibat adanya prosedur
pelayanan yang panjang dan melelahkan sehingga masyarakat menyerah
ketika berhadapan dengan pelayanan publik yang korup.
2. Penyalahgunaan wewenang, jabatan atau kewenangan yang ada/ melekat
pada seseorang.
3. Faktor ekonomi. Penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup atau
tidak sebanding denga tugas/jabatan yang diemban membuat seseorang
terdorong untuk melakukan pungli.
4. Faktor kultural dan budaya organisasi, yang terbentuk dan berjalan terus
menerus di suatu lembaga agar pungutan liar dan penyuapan, dapat
menyebabkan pungutan liar sebagai hal biasa.
5. Terbatasnya sumber daya manusia.
6. Lemahnya sistem kotrol dan pengawasan oleh atasan 47.

Baharudin Lopa menyatakan bahwa lemahnya sistem merupakan salah
satu sebab terjadinya tindak pidana korupsi di berbagai sektor 48. Tidak dapat
disangkal bahwa lemahnya mekanisme di berbagai sektor birokrasi dewasa ini
seperti dikeluhkan oleh pengusaha nasional termasuk pengusaha kecil maupun
pengusaha asing karena masih banyaknya mata rantai yang mereka lalui untuk
47

Widyo Pramono, Delik Pungutan Liar Dalam Layanan Publik, Disampaikan Pada :

Workshop “Peran APIP dlam Pencegahan Pungutan Liar Pada Layanan Publik”, Inspektorat
Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta, 12 Januari 2017.
48

Baharudin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Kompas: Jakarta, 2001,

Hlm. 15

Universitas Sumatera Utara

57

memperoleh izin atau fasilitas-fasilitas tertenti 49. Keadaan yang kurang
menggembirakan ini, dalam praktiknya menyebabkan suburnya suap menyuap
dan pemberian komisi sebagai salah satu bentuk perbuatan tindak pidana korupsi,
bahkan tanpa berliku-likunya mekanisme administrasi, tindak pidana korupsi ini
tetap saja berlangsung.
Disamping beberapa hal di atas, penyebab terjadinya tindak pidana
pungutan liar, pemerasan dan korupsi antara lain disebabkan karena beberapa hal
berikut ini 50 :
1. Lemahnya pendidikan agama dan etika;
2. Kolonialisme
Suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang
diperlukan untuk membendung tindak pidana korupsi;
3. Kurangnya pendidikan akan etika dan moral
Perkara-perkara tindak pidana korupsi di Indonesia banyak dilakukan oleh
para koruptor yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi dan
terpelajar. Oleh karenanya perlu dilakukan berorientasi pada nilai-nilai
etika, nilai-nilai moral, dan nilai-nilai kemanusiaan;
4. Tidak adanya sanksi yang keras dan tegas;
5. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku antikorupsi.
Situasi lingkungan yang “kondusif” bagi seseorang untuk melakukan
tindak pidana korupsi akan menyebabkan seseorang tergiur untuk
melakukan perbuatan serupa, yakni melakukan tindak pidana korupsi;
49

Ibid.

50

Kristian dan Yopi Gunawan, Op.cit. Hlm. 57.

Universitas Sumatera Utara

58

6. Struktur pemerintahan;
7. Keadaan masyarakat.
Tindak pidana korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan keadaan
masyarakat secara keseluruhan 51.

Sebagaimana

telah

dikemukakan

pada

bagian

sebelumnya,

akar

permasalahan tindak pidana korupsi tidak hanya dikarenakan faktor kemiskinan
dan ekonomi atau rendahnya tingkat pendidikan melainkan disebabkan beberapa
faktor, baik internal maupun eksternal, misalnya lemahnya pendidikan agama dan
etika, lingkungan yang subur untuk pelaku, struktur pemerintahan dan birokrasi
yang memungkinkan dilakukannya tindakan terebut, sifat tamak manusia, gaya
hidup yang konsumtif, penghasilan yang kurang mencukupi, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pungutan
liar, pemerasan dan korupsi tidak semata-mata dapat dilakukan dengan
pembentukan peraturan perundang-undangan melainkan harus pula dilakukan
dengan membenahi faktor-faktor sosial yang lain 52.

51

Ibid. Hlm. 58.

52

Ibid, Hlm. 72

Universitas Sumatera Utara