Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Pertumbuhan Biomassa dan Kandungan β-Sitosterol Bangun-Bangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) Secara In Vitro

5

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Menurut

Pandey

(2007)

tanaman

bangun-bangun

dapat

diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Plantae; Divisio: Angiospermae;
Sub

Divisio:


Spermatophyta;

Class:

Dicotyledoneae;

Ordo:

Lamiales;

Family: Lamiaceae; Genus: Plectranthus; Spesies: Plectranthus amboinicus
(Lour.) Spreng.
Bangun–bangun mempunyai nama binomial Plectranthus amboinicus
yang dulu dinamakan sebagai Coleus amboinicus, merupakan herba sukulen semi
semak tahunan dengan tinggi 100-120 cm dan tidak berumbi. P. amboinicus
bercabang dan mempunyai bulu-bulu tegak yang halus. Daun berukuran lebar,
berbentuk bulat telur/oval, dan tebal dengan bulu-bulu yang banyak. Bunga-bunga
bertangkai pendek dan berwarna keunguan. P. amboinicus termasuk ke dalam
famili Lamiaceae, mempunyai bau harum seperti oregano yang menyegarkan
(Aziz, 2013).

Tanaman ini berakar tunggang dan tumbuh dari ruas-ruas tanaman yang
menyentuh tanah. Akarnya berkembang baik pada tanah yang gembur dan subur.
Batangnya berbentuk persegi, berkayu lunak, beruas-ruas yang dapat menempel
di tanah, mudah tumbuh, dan mudah patah. Penampang batang berdiameternya
±15 mm, tengah ±10 mm, dan ujung ±5 mm. Batang yang masih muda berambut
kasar. Percabangan tanaman ini simpodial, dan berwarna hijau pucat
(Ramachandran, 1997).
Daunnya tunggal, mudah patah, bulat telur, tepi beringgit, ujung dan
pangkal membulat, berambut, panjang 6,5 - 7 cm, lebar 5,5 - 6,5 cm, panjang

Universitas Sumatera Utara

6

tangkai 2,4 - 3 cm berwarna hijau atau keunguan, pertulangan menyirip dan
berwarna hijau muda. Bagian bawah daun mempunyai banyak rambut glandular
yang menyebabkan tampilan berkilat (Prakash et al., 2012).
Tanaman ini memiliki bunga majemuk, bentuk tandan, berambut halus,
kelopak berbentuk mangkok dan setelah mekar pecah menjadi lima. Putik
panjangnya ± 17 mm, kepala putik berwarna coklat, benang sarinya empat, kepala

sarinya berwarna kuning, dan mahkotanya berbentuk mangkok yang berwarna
keunguan (Ramachandran, 1997).
Bangun-bangun tumbuh dengan baik pada daerah bercurah hujan tinggi
dan sedang antara 800-1200 mm/tahun. Tanaman ini sangat membutuhkan sinar
matahari yang banyak untuk pertumbuhannya, serta mampu hidup pada
ketinggian ± 100 m di atas permukaan laut hingga ± 1200 m di atas permukaan
laut (Prakash et al., 2012).
Kandungan Zat Gizi Tanaman Bangun-bangun
Menurut Damanik et al., (2014) komposisi zat gizi sop daun bangunbangun yang terkandung dalam 150 gram sebagai berikut:
Tabel 1. Kandungan zat gizi sop daun bangun-bangun yang terkandung dalam 150
gram
Zat Gizi
Rata-rata ± SD
Lemak (g)
16,3 ± 4,6
Protein (g)
2,4 ± 0,1
Karbohidrat (g)
5,3 ± 0,3
Air (g)

121,5 ± 14,7
Mineral
Seng
2,8 ± 0,1
Besi
6,8 ± 0,1
Kalsium
393,1 ± 6,5
Magnesium
124,1 ± 6,3
Pottasium
1219,2 ± 80,7

Universitas Sumatera Utara

7

Tanaman ini mengandung fenolik, terpenoid, nitrogen, vitamin, dan
metabolit


sekunder

yang

berfungsi

sebagai

antioksidan,

antimikroba,

anti-inflamasi, antitumor, antimutagen, antikanker, dan diuretik. Kandungan
nutrisi daun bangun-bangun menurut Sahay et al., (2011) adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Kandungan zat gizi daun bangun-bangun
Komponen
Kandungan (% )
Protein
0,6
Vitamin

Asam askorbat
0,003
Tiamin
0,00008
Mineral
Kalsium
0,158
Fosfor
0,016
Kalium
0,138
Natrium
0,0047
Magnesium
0,088
Logam
Besi
0,262
Seng
0,0003

Tembaga
0,00012
Kromium
0,000022
Serat total
1,87
Fitat
0,00092
Oksalat
0,02
Klorofil-a
0,44 ± 0,13
Klorofil-b
0,29 ± 0,10
Xanthofil
0.356 mg/g berat kering
α- karoten
0.157 mg/g berat kering
β- karoten
0.0035 mg/g berat kering

Metabolit Sekunder Tanaman Bangun-bangun
Produk metabolisme detoksifikasi ini diduga akibat kemampuan tumbuhan
menghasilkan senyawa kimia sebagai senjata untuk mempertahankan diri dari
serangan hama dan faktor lingkungan yang terjadi pada tumbuhan. Jenis senyawa
metabolit sekunder yang dimetabolisme tergantung pada faktor biogenetik
tumbuhan. Senyawa kimia tersebut seperti alkaloid, flavonoid, triterpenoid, tanin,

Universitas Sumatera Utara

8

dan saponin. Senyawa-senyawa ini berperan sebagai bahan aktif yang dapat
kemungkinan dapat menghambat pertumbuhan bakteri (Darminto et al., 2009).
Konsentrasi metabolit sekunder dan komposisinya dipengaruhi oleh faktor
internal (genetik, kondisi kesehatan tanaman, umur) dan faktor eksternal
(lingkungan). Ekspresi sintesis senyawa metabolit sekunder tergantung pada
tahap perkembangan organ yang menghasilkannya. Hal-hal yang menentukan
keberhasilan produksi biomassa adalah sumber karbohidrat, suplai nitrogen,
kalium, vitamin dan ZPT (Fancy dan Rumpel, 2008).
Perbedaan morfologi pada tanaman yakni ada senyawa-senyawa tertentu

yang disintesis atau diakumulasikan hanya oleh organ atau jaringan tertentu.
Misalnya nikotin disintesis oleh bagian akar tembakau, kemudian diangkut
(ditranslokasikan) ke daun untuk disimpan. Pembentukan morfin tidak dapat
terjadi, karena bentuk sel yang tidak teratur pada kultur tersebut. Tetapi ada juga
senyawa-senyawa yang tidak membutuhkan organ atau jaringan khusus untuk
menghasilkan metabolit sekunder, misalnya derivat shikonin, resin, opium dan
lain sebagainya. Mengingat reserpin terlokalisasi sebagian besar pada bagian akar
tanaman R. serpentina di alam, maka kemungkinan akumulasinya di dalam kultur
in vitro tidak dapat terjadi karena organ penyimpanannya yang berupa akar tidak
tersedia di dalam kultur kalus tersebut. Perbedaan aktivitas biosintesis, perbedaan
bentuk dan fungsi sel merupakan faktor lain yang juga berpengaruh terhadap
sintesis metabolit sekunder (Dalimoenthe, 1987).
Daun tanaman bangun-bangun mengandung butylaniside, -caryophyllene,
carvacrol, 1-8-cineole, p-cymene, ethylsalicylate, eugenol, limonene, myrcene,
-pinenes, -selenene, terpinene, terpinen-4-ol, thymol, verbenone (minyak atsiri),

Universitas Sumatera Utara

9


apigenin,

chrysoeriol,

5,4-dihydroxy-6,7-dimethoxy-flavone

(cirsimaritin),

eriodictyol, 6-methoxy-genkawanin, luteolin, quercetin, salvigenin, taxifolin,
oxaloacetic acid, crategolic, euscaphic, 2-3-dihydro-olean-12-en-28-oic, pomolic,
oleanolic, tormentic, 2α,3 α,19 α,23 α-tetrahydroxyurs-12-en-28-oic, ursolic
acids, β-sitosterol dan -D-glucoside (Pullaiah, 2006).
Bahan alam, termasuk terpenoid, dari dahulu telah dipakai di dalam bidang
farmasi, pertanian, dan pemakaian komersil lain, seperti pengobatan kanker.
Terpen dengan berat molekul kecil selalu digunakan untuk parfum dan pemberi
rasa. Steroid dianggap berasal dari terpenoid, karena pada jalur biosintesisnya,
steroid diturunkan dari squalene, yang juga merupakan senyawa pembentuk
triterpene. Beta-sitosterol adalah sterol yang ditemukan pada tanaman yang
merupakan subkomponen utama kelompok sterol yang dikenal sebagai pitosterol.
Senyawa ini berwarna putih dan memiliki struktur kimia yang sangat mirip

dengan kolesterol (Nasution, 2013).
Manfaat Bahan Aktif Tanaman Bangun-bangun
Tanaman P. amboinicus dipercaya baik secara turun-temurun maupun
yang sudah terbukti uji keilmiahannya dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas
ASI karena daun P. amboinicus mengandung Fe 3,28 g/100 g, pada batang 3,95
mg/100 g dan pada ranting mengandung 2,01 mg/100 g. Beta-sitosterol dapat
meningkatkan kadar hormon prolaktin untuk memproduksi ASI, merangsang
hormon desitosin untuk memacu pengeluaran dan pengaliran ASI serta memiliki
efek laktogogum yang dapat meningkatkan jumlah dan mutu ASI karena
mengandung hormon fitosterol (Kristina dan Syahid, 2014).

Universitas Sumatera Utara

10

Penelitian yang dilakukan oleh Sihombing (2006) yang memberikan daun
bangun-bangun pada tikus telah membuktikan bahwa tumbuhan tersebut
mengandung zat besi dan karotenoid yang tinggi. Kadar FeSO4 pada daun bangunbangun dapat diandalkan sebagai sumber besi non-heme bagi ibu menyusui.
Tanaman bangun-bangun dipercaya dapat meningkatkan dan mengembalikan
stamina ibu, meningkatkan produksi ASI, serta membersihkan daerah rahim.
P. amboinicus adalah salah satu komponen farmakoseutika dalam fraksi
sterol yang mempunyai banyak manfaat yakni, mengemulsi lemak, mengurangi
tingkat kolesterol dalam tubuh, mencegah kanker, menormalkan gula darah pada
penderita diabetes tipe II, mencegah leukemia limfositik dan dapat meningkatkan
kekebalan atlet yang sering menderita tekanan kekebalan dan mengurangi respon
inflamasi selama masa latihan dan kompetisi (Nasution, 2013).
Penggunaan tanaman bangun-bangun secara tradisional telah tersebar di
Indonesia dan negara tropis lainnya seperti Malaysia, India, Brazil, Kuba, dan
Karibia sejak ratusan tahun yang lalu. P.amboinicus biasa digunakan untuk
mengobati beragam penyakit dan gangguan kesehatan. Dalam pengobatan
tradisional, P. amboinicus dan P. barbartus dapat mengobati sekitar 68% kategori
penyakit dan gangguan kesehatan yang dapat diobati oleh genus Plectranthus
sendiri. Beberapa kategori tersebut di antaranya berkaitan dengan pencernaan,
gangguan atau penyakit kulit, pernapasan, infeksi, demam, genito-urinary,
otot-tulang, dan lain-lain. Tanaman ini juga dilaporkan digunakan sebagai bahan
aditif makanan dan material untuk membersihkan rambut dan badan
(Lukhoba et al., 2005).

Universitas Sumatera Utara

11

P. amboinicus juga berperan sebagai komponen zat-zat gizi. Menurut
Warsiki et al., (2009) mengkonsumsi daun P. amboinicus meningkatkan mineral
dalam susu, seperti zat besi, kalium, seng, magnesium dan meningkatkan berat
badan bayi. Tanaman tersebut mengandung unsur mineral mikro yakni, Cu, B dan
Zn yang berperan penting dalam penyusunan struktur tubuh dan proses fisiologis
ternak, baik untuk pertumbuhan maupun pemeliharaan kesehatan.
Kultur Jaringan
Teknik kultur jaringan adalah teknik dimana suatu sel atau irisan jaringan
tanaman yang disebut eksplan secara aseptik diletakkan dan dipelihara dalam
medium padat atau cair yang cocok dan dalam keadaan steril. Dengan cara
demikian sebagian sel pada permukaan irisan tersebut akan mengalami proliferasi
dan membentuk

kalus. Apabila kalus yang terbentuk dipindahkan ke dalam

medium diferensiasi yang cocok maka akan terbentuk tanaman kecil yang disebut
planlet. Dengan teknik kultur jaringan ini hanya dari satu irisan kecil suatu
jaringan tanaman dapat dihasilkan kalus yang dapat menjadi planlet dalam jumlah
yang besar (Panjaitan, 2005).
Kultur jaringan sering disebut juga perbanyakan tanaman secara in vitro,
yaitu budidaya tanaman yang dilaksanakan dalam botol-botol dengan media
khusus dan alat-alat yang serba steril. Sistem perbanyakan tanaman dengan kultur
jaringan ini dapat menghasilkan tanaman baru dalam jumlah yang banyak dan
dalam waktu yang singkat. Tanaman baru yang dihasilkan mempunyai sifat-sifat
biologis yang sama dengan sifat induknya. Sistem budidaya jaringan juga
memiliki keuntungan lain yaitu penghematan tenaga, waktu, tempat dan biaya
(Prasetyo, 2009).

Universitas Sumatera Utara

12

Konsep dasar ini adalah mutlak dalam pelaksanaan kegiatan kultur
jaringan karena hanya dengan sifat totipotensi ini, sel, jaringan, organ yang
digunakan akan mampu tumbuh dan berkembang sesuai arahan dan tujuan
budidaya ini vitro yang dilakukan. Umumnya sifat totipotensi lebih banyak
dimiliki oleh bagian tanaman yang masih juvenil, muda dan banyak dijumpai pada
daerah-daerah meristem tanaman. Tetapi tidak menutup kemungkinan bagian
tanaman yang sudah dewasa bila mendapat lingkungan yang cocok akan
bertotipotensi hingga mampu tumbuh dan berkembang. Pada keadaan tersebut
bisa terjadi karena secara in vitro tanaman mampu melakukan aktifitas
dediferensiasi yaitu proses perkembangan balik dari bagian dewasa tanaman
menjadi sekelompok sel yang terus menerus membelah (kalus) atau bisa pula
menjadi zigot (Santoso dan Nursandi, 2004).
Teknik kultur jaringan menuntut syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi
dalam pelaksanaannya. Syarat pokok pelaksanaan kultur jaringan adalah
laboratorium dengan segala fasilitasnya. Laboratorium harus menyediakan alatalat kerja, sarana pendukung terciptanya kondisi aseptic terkendali dan fasilitas
dasar seperti, air, listrik dan bahar bakar (Prasetyo, 2009).
Wetherell (1982) browning merupakan terjadinya warna cokelat pada
jaringan yang baru dipotong. Hal ini disebabkan karena terjadinya reaksi antara
senyawa fenolik yang diproduksi jaringan dengan oksigen. Collin dan Edwards
(1998) menambahkan bahwa senyawa fenolik diproduksi sebagai respon atas
kondisi stress yang dialami oleh tanaman. Senyawa ini bersifat racun dan dapat
menyebabkan kematian pada jaringan tanaman.

Universitas Sumatera Utara

13

Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh (ZPT) didefinisikan sebagai senyawa organik bukan
nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil yang disintesiskan pada bagian tertentu
tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman dimana zat tersebut
menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis dan morfologis. Auksin
berperan dalam berbagai aspek pertumbuhan dan perkembangan tanaman antara
lain pembesaran sel, penghambatan mata tunas sampong, aktivitas sel kambiun,
dan pertumbuhan akar. Auksin sintentik yang biasa digunakan dalam kultur in
vitro adalah 2,4 D, NAA, dan pikloram (Wattimena et al., 1992). ZPT dalam
tanaman

bekerja saling berinteraksi

sehingga merupakan

suatu

sistem

yang digunakan dalam perkembangan tanaman, namun pengaruhnya tidak
dapat digeneralisasikan. ZPT yang umum digunakan untuk menumbuhkan
organ-organ baru dalam kultur in-vitro adalah golongan auksin dan sitokinin
(Shofiyani dan Purnawanto, 2010).
Pada tahap induksi kalus perlu ada penambahan ZPT seperti auksin.
Menurut Yelnititis dan Komar (2010) kalus dapat diinduksi dari eksplan potongan
daun yang dikulturkan pada perlakuan 2,4 D. Induksi kalus diawali dengan
penebalan eksplan pada bagian potongan dan di daerah yang mengalami pelukaan.
Penebalan tersebut merupakan interaksi eksplan dengan media tumbuh, zat
pengatur tumbuh dan lingkungan tumbuh sehingga ekspan bertambah besar.
Auksin adalah zat pengatur tumbuh yang mempunyai sifat mampu
mengatur berbagai proses yang menyangkut pertumbuhan dan pemanjangan sel
(Shofiyani dan Purnawanto, 2010). Senyawa yang paling sering digunakan
adalah asam 2,4-diklorofenoksiasetat (2,4-D) dan asam naftalenasetat (NAA).

Universitas Sumatera Utara

14

Asam indolasetat (IAA) menginduksi pembelahan sel, tetapi senyawa ini tidak
stabil dan dapat diuraikan oleh enzim yang dibebaskan oleh sel. Baik 2,4 D
maupun NAA tidak mudah terurai oleh enzim-enzim yang dikeluarkan sel dan
stabil pada pemanasan dengan otoklaf (Wetter dan Constabel, 1991).
Menurut Wattimena et al. (1992), sitokinin mempengaruhi berbagai proses
fisiologis di dalam tanaman terutama mendorong pembelahan sel. Peran sitokinin
dalam kultur in vitro mempunyai dua peran penting yaitu merangsang pembelahan
sel serta pembentukan dan perbanyakan tunas aksilar dan tunas adventif,
tetapi kadar sitokin yang optimum ini dapat menghambat pertumbuhan dan
pembentukan akar. Salah satu jenis ZPT dari golongan sitokinin yang sering
dipakai dalam kultur jaringan yaitu kinetin. Kinetin bersifat tahan terhadap
degradasi dan harganya lebih murah. Penelitian dengan pengaruh kinetin 1 mg/l
mampu mendorong pembentukan kalus pada tanaman Cattleya sp dengan eksplan
berupa daun muda (Santoso dan Nursandi, 2004).
Biomassa Akar
Biomassa yang dihasilkan pada kultur jaringan sangat tergantung pada
kecepatan sel-sel tersebut membelah diri, memperbanyak diri yang dilanjutkan
dengan pembesaran sel. Kecepatan sel membelah dapat dipengaruhi oleh adanya
kombinasi auksin-sitokinin tertentu dalam konsentrasi yang tertentu tergantung
pada tanamannya, juga faktor-faktor luar seperti intensitas cahaya dan temperatur
(Wattimena et al., 1992).
Penambahan auksin atau sitokinin ke dalam media kultur dapat
meningkatkan konsentrasi zat pengatur tumbuh endogen di dalam sel, sehingga
menjadi faktor pemicu dalam proses tumbuh dan perkembangan jaringan

Universitas Sumatera Utara

15

(Lestari, 2011). Pada penelitian Mahadi, et al (2013) menunjukkan bahwa NAA
dan Kinetin berpengaruh nyata terhadap jumlah akar eksplan buah Naga
(Hylocereus costaricensis). Rataan jumlah akar eksplan buah Naga tertinggi pada
perlakuan 0,4 ppm NAA dan 4 ppm kinetin. Hal ini diduga bahwa interaksi
antagonis antara auksin dan sitokinin merupakan salah satu cara tumbuhan dalam
mengatur derajat pertumbuhan akar dan tunas.
Menurut Conger (1980), terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan perbanyakan dengan eksplan yaitu genotip eksplan, ukuran eksplan,
jaringan asal eksplan dan umur fisiologi eksplan. Tidak semua jaringan tanaman
memiliki kemampuan yang sama untuk berdiferensiasi. Wetherell (1982)
menambahkan bahwa tanaman yang memiliki hubungan kekerabatan yang dekat
pun belum tentu menunjukkan respon in vitro yang sama.
Biomassa Kalus
Biomassa kalus adalah bobot yang didapat pada kalus dengan pemberian
zat pengatur tumbuh. Puteri (2014) menyimpulkan bahwa perbedaan tersebut
memiliki pengaruh berbeda terhadap eksplan yang ditanam pada media MS yang
dimodifikasi dengan pemberian konsentrasi ZPT NAA dan BAP yang berbeda
dan sifat determinasi yang berbeda dari setiap sel eksplan. Pengaruh tersebut
terlihat pada biomassa kalus yang ditimbang dari masing-masing perlakuan.
Kultur kalus pada prinsipnya adalah suatu upaya lanjut mengembangkan
atau memelihara kalus dari hasil kultur sebelumnya. Tujuan yang bisa dicapai
dengan menguasai kultur kalus, misalnya dapat menjamin kesinambungan kerja
kultur, menjadi sarana bank plasma nutfah yang efisien, dan digunakan untuk
tujuan memproduksi senyawa metabolit sekunder (Santoso dan Nursandi, 2004).

Universitas Sumatera Utara

16

Beberapa kalus ada yang mengalami pembentukan lignifikasi sehingga
kalus tersebut mempunyai tekstur yang keras dan kompak. Namun ada kalus yang
tumbuh terpisah-pisah menjadi fragmen-fragmen yang kecil, kalus yang demikian
dikenal dengan kalus remah (friable). Warna kalus dapat bermacam-macam
tergantung dari jenis sumber eksplan itu diambel, seperti warna kekuningkuningan, putih, hijau, kuning kejingga-jingaan (karena adanya pigmen antosianin
ini terdapat pada kalus kortek umbi wortel) (Shofiyani dan Purnawanto, 2010).
Kalus remah dapat diperoleh dengan memanipulasi medium, misalnya
dengan mengatur macam dan perbandingan zat pengatur tumbuh, dapat pula
dengan pergantian medium cair dan lain sebagainya. Kalus yang terbentuk dapat
menunjukkan bahwa keberadaan kalus mempunyai aktifitas pembelahan yang
sangat tinggi, hal ini bisa dilihat dari penyerapan warna yang cukup tinggi. Tentu
saja semua itu sangat tergantung pada jenis tanaman, macam bahan, medium
dasar dan lingkungan lain (Santoso dan Nursandi, 2004).
Kemampuan pembentukkan kalus dari jaringan juga tergantung dari umur
fisiologi dari jaringan waktu diisolasi, musim pada waktu bahan tanaman
diisolasi, bagian tanaman yang dipakai, dan jenis tanaman. Suatu sifat yang
diamati dalam jaringan yang membentuk kalus adalah bahwa pembelahan sel
tidak terjadi pada semua sel dalam jaringan asal, tetapi hanya sel di lapisan
perisfer yang membelah terus menerus sedangkan sel-sel di tengah tetap quiscent.
Faktor-faktor yang menyebabkan inisiasi pembelahan sel hanya terbatas di lapisan
luar dari jaringan kalus, yaitu: ketersesediaan oksigen yang lebih tinggi, keluarnya
gas CO2, kesediaan hara yang lebih banyak, penghambat yang bersifat folatik
lebih capat menguap, dan cahaya (Shofiyani dan Purnawanto, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Isolasi Senyawa Flavonoida Dari Daun Tumbuhan Bangun-Bangun(Plectranthus Amboinicus (Lour.) Spreng.)

17 99 75

Karakteristik Pertumbuhan Vegetatif, Kandungan Sterol dan Klorofil dari Beberapa Aksesi Tanaman Bangun-Bangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng)

1 9 80

Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Pertumbuhan Biomassa dan Kandungan β-Sitosterol Bangun-Bangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) Secara In Vitro

2 13 73

Karakteristik Pertumbuhan Vegetatif, Kandungan Sterol dan Klorofil dari Beberapa Aksesi Tanaman Bangun-Bangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng)

0 0 12

Karakteristik Pertumbuhan Vegetatif, Kandungan Sterol dan Klorofil dari Beberapa Aksesi Tanaman Bangun-Bangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng)

0 0 2

Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Pertumbuhan Biomassa dan Kandungan β-Sitosterol Bangun-Bangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) Secara In Vitro

0 0 12

Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Pertumbuhan Biomassa dan Kandungan β-Sitosterol Bangun-Bangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) Secara In Vitro

0 1 2

Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Pertumbuhan Biomassa dan Kandungan β-Sitosterol Bangun-Bangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) Secara In Vitro

0 0 4

Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Pertumbuhan Biomassa dan Kandungan β-Sitosterol Bangun-Bangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) Secara In Vitro

0 1 4

Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Pertumbuhan Biomassa dan Kandungan β-Sitosterol Bangun-Bangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) Secara In Vitro

0 0 17