Dinamika Postpurchase Dissonance pada Konsumen Pria dengan Faktor Harga sebagai Pemicu

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Postpurchase Dissonance

A. 1. Pengertian Postpurchase Dissonance
Cornwell (2007) menjelaskan bahwa konsep postpurchase dissonance
adalahkonsep cognitive dissonance yang dikembangkan oleh Leon Festinger pada
tahun 1957. Festinger (Loundon dan Bitta, 1993; Sweeney, Hausknecht, dan
Soutar, 2000) mendefinisikan cognitive dissonance sebagai berikut:
“Cognitive dissonance is as a psychological state which results when a
person perceives that two cognitions (thoughts), both of which he believes
to be true, do not fit together”
Kehadiran disonansi akan menimbulkan tekanan untuk mengurangi atau
menghilangkannya. Setelah diperkenalkannya konsepcognitive dissonance,
banyak ahli telah mengaplikasikannya dalam berbagai jenis penelitian dan yang
paling mencolok terdapat pada penelitian di perilaku konsumen (Chou, 2012).
Dimana cognitive dissonance yang terjadi setelah suatu pembelian, hal inilah
yang dinamakan dengan postpurchase dissonance (Schiffman dan Kanuk, 2004).
Postpurchase dissonance merupakan suatu tahap dari postpurchase consumer
behavior yang dapat dialami oleh setiap konsumen setelah melakukan


prosespembelian suatu produk. Hawkins, Mothersbaugh, & Best (2007)
mendefinisikan postpurchase dissonance sebagai suatu keraguan atau kecemasan

Universitas Sumatera Utara

yang dialamioleh seorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan yang
sulit dan relatif permanen.Keraguan atau kecemasan ini terjadi karena konsumen
tersebut beradadalam suatu keadaan yang mengharuskannya membuat komitmen
yang relatif permanen terhadap sebuah pilihan alternatif dari pilihan alternatif
lainnya yangtidak jadi dipilih oleh konsumen tersebut. Oleh karena itu
kebanyakan pembuatankeputusan terbatas (limited decision making ) tidak akan
menghasilkan

postpurchase

dissonance

karena


konsumen

tidak

mempertimbangkan tampilan tampilanyang menarik yang ada dalam merk atau
produk yang tidak dipilihdimana hal tersebut juga tidak ada dalam produk atau
merk yang dipilih.
Loudon & Bitta (1993) berpendapatbahwa postpurchase dissonance terjadi
sebagai

hasil

dari

perbedaan

antarakeputusan

konsumen


dan

evaluasi

sebelumnya.Hawkins, Mothersbaugh dan Best (2007) menyatakan bahwa
postpurchase dissonance adalah salah satu bentuk keraguan yang terjadi pada

tahap pasca pembelian (postpurchase) suatu produk oleh konsumen. Tahap ini
sangat kritis bagi para konsumen, dimana pada tahap ini konsumen akan
mencaripenguatan (reinforcement) atas keputusan membeli yang telah mereka
lakukan.

Universitas Sumatera Utara

Skema 2. Alur Postpurchase Dissonance dalam pembelian

Pada skema di atas, Hawkins, Mothersbaugh & Best (2007) membuat suatu
diagram yang menggambarkan bagaimana perilaku konsumen yang terjadi
dimulai dari saat pembelian barang, dimana beberapa pembelian diikuti dengan
fenomena yang disebut postpurchase dissonance. Hal ini terjadi ketika kosumen

meragukan kebijakan pembelian (wisdom of purchase) yang telah dilakukan.
Pembelian lainnya diikuti dengan nonuse. Konsumen mengembalikan atau
menyimpan barang tersebut tanpa menggunakannya. Kebanyakan pembelian
akan berakhir pada penggunaan barang, meskipun juga terjadi postpurchase
dissonance pada saat tersebut. Ketidakpuasan mungkin menimbullkan complaint

Universitas Sumatera Utara

behaviors sedangkan kepuasan (satisfaction) dapat memberikan peningkatan dan

pengulangan pembelian kembali dari konsumen.
Berdasarkan skema tersebut, dapat disimpulkan bahwa hadirnya postpurchase
dissonance dapat mempengaruhi motivasi konsumen untuk kembali membeli

produk atau malah menolak sama sekali produk tersebut di masa mendatang. Dari
uraian penjeleasan mengenai postpurchase dissonance dapat disimpulkan bahwa
postpurchase dissonance adalah keraguan yang dialami oleh seorang konsumen

setelah melakukan suatu keputusan pembelian yang sulit dan relatif permanen
terhadap suatu produk.

A. 2. Indikator pengukuran Postpurchase Dissonance
Sweeney, Hausknecht, & Soutar (2000) menjelaskan 3 (tiga) dimensi yang
digunakan untuk mengukur Postpurchase Dissonance, yaitu:
1. Emotional (Kondisi Emosi)
Ketidaknyamanan psikologis yang merupakan konsekuensi dari keputusan
membeli. Keadaan yang tidak nyaman secara psikologis yang dialami oleh
seseorang setelah membeli suatu produk yang dirasakan penting bagi dirinya
mengindikasikan bahwa ia sedang mengalami postpurchase dissonance.
2. Wisdom of Purchase (Kebijaksanaan dalam Pembelian)
Kesadaran individu setelah melakukan pembelian apakah mereka telah
membeli produk yang tepat atau mereka mungkin tidak membutuhkan produk
tersebut. Setelah proses pembelian dilakukan, individu dihadapkan kepada
pertanyaan-pertanyaan seputar keputusan membeli yang telah dilakukan

Universitas Sumatera Utara

apakah keputusan pembelian yang dilakukan memang benar. Jika dia merasa
bahwa produk yang telah dibeli adalah tepat dan berguna, maka individu
cenderung tidak akan mengalami postpurchase dissonance.
3. Concern Over Deal (Kesadaran Setelah Pembelian Dilakukan)

Kesadaran individu setelah proses pembelian telah dilakukan, apakah mereka
telah dipengaruhi oleh agen penjual (sales staff) atau atas dasar pertimbangan
sendiri. Pada saat hendak melakukan pembelian, individu yang melakukan
keputusan membeli atas dasar pertimbangan sendiri (individu merasa bebas
dalam memutuskan pembelian terhadap suatu produk) akan dihadapkan pada
informasi- informasi dari luar diri individu. Kondisi ini dapat membuat
individu mengalami postpurchase dissonance.
Ditambahkan pula oleh Sweeney, Hausknecht, & Soutar (2000) bahwa pada
pengukuran terhadap tarafpostpurchase dissonance konsumen maka ada
sejumlah karakteristik sampel yang harus dipenuhi:
1. Konsumen menganggap keputusan untuk membeli produk tersebut adalah
penting bagi dirinya.
2. Ketika membeli produk tersebut konsumen membelinya atas dasar kemauan
sendiri tanpa adanya tekanan atau paksaan dari orang lain.
3. Produk tersebut tidak dapat dikembalikan lagi apabila telah dibeli.

Universitas Sumatera Utara

A. 3. Faktor-faktor Postpurchase Dissonance
Hawkins. Mothersbaugh, & Best, (2007) menjelaskan beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi postpurchase dissonance, yaitu:
1. The degree of commitment or irrevocability of the decision (Derajat
Komitmen dan Keputusan yang Tidak Dapat Diubah)
Semakin mudah mengubah keputusan, semakin rendah kemungkinan seorang
mengalami kebingungan (dissonance). Hal ini dapat terjadi pada saat membeli
suatu produk yang memiliki banyak alternatif lainnya dimana masing-masing
alternatif memiliki kelebihan ataupun kekurangan yang relatif sama. Dengan
demikian keputusan untuk mengubah pembelian terhadap suatu produk seperti
di atas tidak akan mengarah kepada postpurchase dissonance. Keputusan
yang telah dibuat tidak mungkin lagi untuk diubah oleh konsumen tersebut.

2. The importance of the decision to the consumer (Tingkat Kepentingan
Keputusan oleh Konsumen)
Semakin penting keputusan tersebut bagi konsumen, semakin besar
kemungkinannya mengalami keraguan (dissonance). Keputusan seperti ini
akan membuat seorang konsumen memikirkan secara matang produk yang
hendak dibeli sebelum melakukan pembelian. Oleh karena itu keputusan yang
salah dalam membeli suatu produk akan mengarah kepada keraguan pasca
pembelian (postpurchase dissonance) yang akan dialami oleh konsumen
tersebut.


Universitas Sumatera Utara

3. The difficulty of choosing among alternatives (Kesulitan Mengambil
Keputusan Diantara Sejumlah Alternatif)
Semakin sulit memilih alternatif, semakin tinggi kemungkinan seorang
konsumen mengalami dissonance. Hal ini dikarenakan alternatif yang ada
tidak menawarkan kelebihan-kelebihan lainnya yang tidak ada pada produk
yang hendak dipilih. Atau dengan kata lain alternatif yang ada tidak dapat
menutupi kekurangan yang ada pada produk yang hendak dibeli.

4. The individual’s tendency to experience anxiety (Kecenderungan Individu
Merasa Cemas)
Beberapa individu memiliki tingkatan atau kecenderungan yang berbeda
dalam mengalami rasa cemas. Kecemasan ini dapat disebabkan oleh salah satu
trait kepribadian yang dimiliki oleh seorang konsumen yang merupakan

bawaan dari lahir (nature) ataupun dikarenakan pengaruh lingkungan
(nurture). Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat kecemasan yang dimiliki
oleh seorang individu maka semakin tinggi kemungkinannya mengalami

postpurchase dissonance.

Universitas Sumatera Utara

B. Harga
B. 1. Konsep dan Pengertian Harga
Harga (price) menurut Hawkins. Mothersbaugh, & Best, (2007) adalah jumlah
uang yang harus dikeluarkan (dibayarkan) oleh konsumen, untuk memperoleh
produk barang atau jasa. Tjiptono (2000) menambahkan bahwa harga merupakan
satu-satunya unsur bauran pemasaran yang bersifat fleksibel dan memberikan
pemasukan

atau

lainnya(produk,

pendapatan

bagi


perusahaan,

distribusi,

dan

promosi)

sedangkan
menyebabkan

ketiga

unsur

timbulnya

biaya(pengeluaran).
Tjiptono (2000) menyimpulkan bahwa harga memiliki dua peranan utama
dalam proses pengambilan keputusan para pembeli yaitu:

1. Peranan alokasi dari harga, yaitu fungsi harga dalam membantu para pembeli
untuk memutuskan cara memperoleh manfaat atau utilitas tertinggi yang
diharapkan berdasarkan daya belinya. Dengan demikian, adanya harga dapat
membantu para pembeli untuk memutuskan cara mengalokasikan daya
belinya pada berbagai jenis barang dan jasa. Pembeli membandingkan harga
dari berbagai alternative yang tersedia, kemudian memutuskan alokasi dana
yang dikehendaki.
2. Peranan informasi dari harga, yaitu fungsi harga dalam „mendidik‟ konsumen
menggenai faktor-faktor produk, seperti kualitas. Hal ini terutama bermanfaat
dalam situasi di mana pembeli mengalami kesuilitan untuk menilai faktor

Universitas Sumatera Utara

produk secara objektif. Persepsi yang sering berlaku adalah bahwa harga yang
mahal mencerminkan kualitas yang tinggi.
B. 2. Faktor dalam menetapkan Harga
Menurut Kotler dan Armstrong (dalam Tjiptono, 2000) terdapat dua faktor
dalam menetapkan harga yaitu:
1. Faktor Internal Perusahaan
a. Tujuan Pemasaran Perusahaan
Faktor utama yang menentukan dalam penetapan harga adalah tujuan
pemasaran perusahaan. Tujuan tersebut bisa berupa maksimisasi laba,
mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan, meraih pangsa pasar yang
besar, menciptakan kepemimpinan dalam hal kualitas, mengatasi persaingan,
melaksanakan tanggung jawab sosial, dan lain-lain.
b. Strategi Bauran Pemasaran
Harga hanyalah salah satu komponen dari bauran pemasaran. Oleh karena itu,
harga perlu dikoordinasikan dan saling mendukung dengan bauran pemasaran
lainnya, yaitu produk, distribusi, dan promosi.
c. Biaya
Biaya merupakan faktor yang menentukan harga minimal yang harus
ditetapkan agar perusahaan tidak mengalami kerugian. Oleh karena itu, setiap
perusahaan pasti menaruh perhatian besar pada aspek struktur biaya (tetap dan
variable), serta jenis-jenis biaya lainnya, seperti out-of-pocket cost,
incremental cost, opportunity cost, controllable cost, dan replacement cost.

Universitas Sumatera Utara

2. Faktor Lingkungan Eksternal
a. Sifat Pasar dan Permintaan
Setiap perusahaan perlu memahami sifat pasar dan permintaan yang
dihadapinya, apakah termasuk pasar persaingan sempurna, persaingan
monopolistic, oligopoly, atau monopoli. Faktor lain yang tidak kalah
pentingnya adalah elastisitas permintaan.
b. Persaingan
Terdapat lima kekuatan pokok yang berpengaruh dalam persaingan suatu
industry, yaitu persaingan dalam industri yang bersangkutan, produk
substitusi, pemasok, pelanggan, dan ancaman pendatang baru. Informasiinformasi yang dibutuhkan untuk menganalisis karakteristik persaingan yang
dihadapi antara lain meliputi:
1) Jumlah perusahaan dalam industri
Bila hanya ada satu perusahaan dalam industri, maka secara teoretis
perusahaan yang bersangkutan bebas menetapkan harganya seberapa pun.
Akan tetapi sebaliknya, bila industri terdiri atas banyak perusahaan, maka
persaingan harga terjadi. Bila produk yang dihasilkan tidak terdiferensiasi,
maka hanya pemimpin industri yang leluasa menentukan perubahan harga.
2) Ukuran relatif setiap anggota dalam industri
Bila perusahaan memiliki pangsa pasar yang besar, maka perusahaan yang
bersangkutan dapat memegang inisiatif perubahan harga. Bila pangsa
pasarnya kecil, maka hanya menjadi pengikut.

Universitas Sumatera Utara

3) Diferensiasi produk
Bila perusahaan berpeluang melakukan diferensiasi dalam industrinya, maka
perusahaan tersebut dapat mengendalikan aspek penetapan harganya, bahkan
sekalipun perusahaan itu kecil dan banyak pesaing dalam industri.
4) Kemudahan untuk memasuki industri yang bersangkutan
Bila suatu industri mudah untuk dimasuki, maka perusahaan yang ada sulit
mempengaruhi atau mengendalikan harga. Sedangkan bila ada hambatan
masuk ke pasar, maka perusahaan yang sudah ada dalam industri tersebut
dapat mengendalikan harga. Hambatan masuk ke pasar dapat berupa:
a) Persyaratan teknologi
b) Investasi modal yang besar
c) Ketidaktersediaan bahan baku pokok/utama
d) Skala ekonomis yang sudah dicapai perusahaan-perusahaan yang telah ada
dan sulit diraih oleh para pendatang baru
e) Kendali atas sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan yang sudah
ada
f) Keahlian dalam pemasaran
c. Unsur-unsur Lingkungan Eksternal Lainnya
Selain faktor-faktor diatas, perusahaan juga perlu mempertimbangkan faktor
kondisi ekonomi (inflasi, resesi, tingkat bunga), kebijakan dan peraturan
pemerintah, dan aspek sosial (kepedulian terhadap lingkungan).

Universitas Sumatera Utara

B.3. Persepsi Harga
Dari perspektif konsumen, harga adalah apa yang diberikan atau dikorbankan
untuk mendapatkan suatu produk (Zeithaml, 1988). Menurut Monroe (1990),
harga pada konsumen merupakan salah satu salah satu isyarat yang digunakan
konsumen dalam proses persepsi, dimana harga akan mempengaruhi penilaian
konsumen tentang suatu produk. Dan pada akhirnya konsumen akan
mengevaluasi berbagai alternatif di kriteria yang berbeda pula dan membuat
keputusan akhir.
Persepsi harga didefinisikan sebagai sesuatu yang diberikan atau dikorbankan
untuk mendapatkan jasa atau produk (Zeithaml, 1988). Dalam memandang suatu
harga konsumen mempunyai beberapa pandangan berbeda. Harga yang
ditetapkan di atas harga pesaing dipandang mencerminkan kualitas yang lebih
baik atau mungkin juga dipandang sebagai harga yang terlalu mahal. Sementara
harga yang ditetapkan di bawah harga produk pesaing akan dipandang sebagai
produk yang murah atau dipandang sebagai produk yang berkualitas rendah
(Leliana dan Suryandari, 2004).
Harga kerap kali menjadi fokus dalam penelitian konsumen karena
kecenderungan berhubungan dengan diagnosis dan dapat digunakan untuk
menyimpulkan tentang atribut lainnya seperti kualitas dan nilai (Hoyer&
MacInnis, 2010). Schiffman & Kanuk (1994) menyatakan bahwa konsumen
melihat harga sebagai indikator kualitas produk. Hoyer & MacInnis (2010)
menambahkan bahwa konsumen membuat kesimpulan atas sebuah produk/jasa

Universitas Sumatera Utara

berdasarkan harganya. Sebagai contoh, ada informasi yang menyatakan bahwa
harga dan kualitas berhubungan, sehingga seorang konsumen menyimpulkan
bahwa produk dengan harga tinggi mempunyai kualitas yang tinggi pula.
Konsumen kerap membuat kesimpulan seperti ini ketika mereka percaya bahwa
merek berbeda dalam hal kualitas, dan memilih produk dengan kualitas rendah
itu beresiko dan ketika tidak mempunyai informasi tentang kualitas sebuah merk
merupakan hal yang beresiko.
Hal ini sejalan dengan Hawkins, Mothersbaugh, & Best (2007) yang
menambahkan adanya konsep price-perceived quality pada konsumen saat
membuat kesimpulan. Price-perceived quality ini berangkat dari peribahasa
terkenal “kamu mendapatkan sesuai dengan apa yang kamu bayar.” Konsumen
kerap menyimpulkan bahwa barang dengan harga tinggi mempunyai kualitas
yang lebih tinggi dibanding barang dengan harga yang rendah.
Jacoby dan Olson (1977) membedakan antara harga objektif/objective price
dengan harga yang dikodekan oleh konsumen/perceived price. Dickson dan
Sawyer (1957) menambahkan konsumen jarang mengingat harga sebenarnya dari
suatu produk (objective price). Sebagai gantinya mereka membuat kode harga
dalam cara-cara yang mempunyai arti bagi mereka.

Universitas Sumatera Utara

B.4 . Konsep yang berhubungan dengan persepsi Harga
Lichtenstein, Ridgway & Netemeyer (1993) menjelaskan lima konstruk yang
konsisten dengan persepsi harga dalam peranan negative dan dua konstruk
konsisten dengan persepsi harga dalam peran positif telah diidentifikasi, yaitu:
a. Negative Role of Price
1. Value Consciousness

Persepsi mengenai harga menjadi petunjuk untuk beberapa konsumen dapat
dikarakteristikkan sebagai kesadaran atas perbandingan kualitas yang diterima
terhadap harga yang sudah dibayar dalam transaksi pembelian. Beberapa peneliti
telah mendefenisikan konsep nilai ini, sejalan dengan persepsi yang telah
disebutkan. Akibatnya, value consciousness disini mencerminkan kesadaran akan
harga yang telah dibayar dengan kualitas yang diterima.
2. Price Consciousness

Persepsi mengenai harga menjadi petunjuk untuk beberapa konsumen dapat
dikarakteristikkan sebagai pencerminan dari price consciousness itu sendiri.
Walaupun istilah price consciousness telah dipakai oleh peneliti yang berbeda
untuk menjelaskan beberapa konsep mengenai harga, defenisinya merujuk pada
tingkatan dimana konsumen fokus terhadap pembelian di harga yang rendah.

Universitas Sumatera Utara

3. Coupon proneness

Persepsi terhadap harga juga mempunyai peranan negatif yang dihubungkan
dengan bagaimana petunjuk harga dipresentasikan. Sejalan dengan pandangan
ini, beberapa peneliti mengatakan bahwa penurunan harga dalam bentuk kupon
dapat meningkatkan respon konsumen dibandingkan respon terhadap harga
nonkupon yang lebih rendah. Penemuan ini mengakibatkan peningkatan
penjualan dari harga yang ditawarkan melalui kupon. Coupon proneness
diartikan sebagai peningkatan kecenderungan untuk bereaksi terhadap tawaran
pembelian karena bentuk kupon mempengarhui evaluasi pembelian secara
positif.
4. Sale proneness

Alasan yang mirip dengan coupon proneness mengusulkan terhadap beberapa
konsumen, peningkatan kepekaan kepada harga dalam peran negartif
dihubungkan dengan harga dalam bentuk potongan harga. Karena lebih banyak
evaluasi harga yang positif pada harga pembelian dalam bentuk potongan harga,
persepsi konsumen terhadap harga mempunyai peranan negative dalam
mencerminkan sale proneness. Akibatnya, sale proneness diartikan sebagai
peningkatan kecenderungan untuk merespon terhadap penawaran pembelian
karenabentuk potongan harga, dimana harga yang diberikan mempengaruhi
evaluasi pembelian secara positif.

Universitas Sumatera Utara

5. Price mavenism

Persepsi terhadap harga dalam peranannya yang negative dapat berhubungan
dengan keinginan untuk diinformasikan mengenai harga pasaran dengan tujuan
untuk memberikan informasi kepada orang lain. Pernyataan ini didukung oleh
Feick dan Price(1987, p.85), bahwa siapapun yang menunjukkan konsumen
dijelaskan

sebagai

market

mavens,

karena

keinginan

mereka

untuk

diinformasikan tentang pasar sehingga mereka dapat meneruskan informasi
kepada orang lain. Price mavenism diartikan sebagai tingkatan dimana seorang
individu adalah sumber informasi mengenai harga dari banyak produk dan
tempat untuk berbelanja di tempat yang harganya paling rendah, memulai diskusi
dengan konsumen dan berekasi terhadap permintaan konsumen untuk informasi
harga pasaran.
b. Positive Role of Price
1. Price-quality schema

Untuk beberapa konsumen, petunjuk harga dapat dipersepsikan dalam peranan
positif karena disimpulkan bahwa tingkatan harga berhubungan dengan tingkatan
kualitas produk secara positif. Untuk konsumen yang mempunyai pandangan
seperti ini, mereka melihat harga yang lebih tinggi lebih disukai karena persepi
dari peningkatan kualitas. Dalam kenyataanya, jenis konsumen seperti ini lebih

Universitas Sumatera Utara

cenderung membayar dalam harga yang lebih tinggi, perilaku mereka dikatakan
sebagai price-seeking.
Banyak bukti yang menyatakan harga sebagai indikator dari kualitas produk
bervariasi dari situasi dan produk yang sedang dievaluasi, penemuan dari
beberapa penelitian juaga mendukung bahwa konsumen cenderung menggunakan
harga sebagai indikator umum tentang kualitas produk. Sehingga, price-quality
schema adalah kepercayaan umum terhadap berbagai kategori produk bahwa

tingkatan petunjuk harga berhubungan secara positif terhadap dtingkatan kualitas
produk.
2. Prestige sensitivity

Hampir sama dengan persepsi dari petunjuk harga berdasarkan sinyal terhadap
pembeli mengenai kualitas produk adalah persepsi terhadap harga berdasarkan
kesimpulan tentang bagaimana sinyal tersebut terhadap orang lain mengenai
pembeli. Sehingga prestige sensitivity diartikan sebagai persepsi harga
berdasarkan perasaan unggul dan status dimana harga yang tinggi merupakan
sinyal kepada orang lain terhadap pembeli.
C. Perilaku Konsumen Pria
Bakshi (2009) mengatakan konsumen pria dalam melihat suatu produk lebih
berfokus pada fungsi utama dari pada suatu produk dibanding fungsi
sekundernya. Hal ini sangat berbeda dengan perempuan yang dikatakan kegiatan

Universitas Sumatera Utara

berbelanja merupakan kebutuhan sosial. Dalam tahap pencarian informasi, pria
cenderung ke tanda-tanda atau petunjuk yang mencolok dan kurang
komprehensif dibandingkan perempuan. Kecenderungan pria adalah berfokus
pada sumber informasi dan topik tertentu.
Block dan Morwitz (1999) mengatakan kemungkinan produk yang sudah
dibeli sudah direncanakan sebelumnya lebih rendah terjadi pada pria dibanding
wanita. Kecenderungan ini terjadi karena konsumen pria membuat keputusan
pembelian berdasarkan kebutuhan saat itu dan sejauh mana barang atau jasa akan
memenuhi kebutuhan yang dirasakan. Dalam pengambilan keputusan, pria
didominasi oleh fakta dan data dibanding wanita dimana wanita lebih cenderung
bereaksi lebih kuat terhada interaksi personal dengan agen penjual.
Bakshi (2009) juga menambahkan adanya kecenderungan pria untuk lebih
bersifat analitis dan logis pada tahap setelah pembelian, karena pria yang pada
umumnya mempunyai fokus pada kualitas nilai dan suatu produk tidak jarang
tetap mengevaluasi keputusan pembelian. Hal ini dikarenakan mereka ingin
merasakan percaya diri dengan pilihan mereka dan meyakinkan bahwa produk
tersebut akan memenuhi kebutuhan mereka. Situmorang (2011), menjelaskan
terdapat lima jenis tipe konsumen pria, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

a. Metroseksual
Meski banyak yang bilang tipe ini sudah mati, pria kota kaya berumur 20
sampai 50 tahun ini jelas berbelanja, bahkan lebih dari sekedar membeli.
Mereka tak hanya mencari barang yang diperlukan, tapi mengisi
konsumerismenya dengan makna, kualitas, dan keindahan yang lebih dalam.
Misalnya, mereka memandang sandal selop sebagai karya seni, perawawatan
tubuh/salon bukan hal yang tabu/memalukan, dsb., penampilan menjadi ciri
khas mereka. Berkat metroseksual, pemasaran untuk pria tak akan sama lagi.
b. Maturiteen

Remaja pria ini lebih pintar, bertanggung jawab, matang, dan pragmatis
dibanding remaja pria pada generasi sebelumnya. Pengamat budaya
berpendapat kepercayaan diri mereka tumbuh berkat orang tua generasi baby
boomer yang memperlakukan anak-anak layaknya teman. Lantaran akrab
dengan teknologi, mereka sangat terampil dengan riset online dan kerap
bersikap seperti konsultan belanja di rumah. Mereka tak pernah lepas dari
internet. Aktivitas para remaja ini pun membuat mereka punya pandangan
radikal. Perusahaan yang punya merk seperti Adidas, Sony dan Unilever
terbukti sukses menuruti kemauan remaja-remaja ini.

Universitas Sumatera Utara

c. Pria Modern
Tidak masuk retro ataupun metro, mereka ada di tengah. Para pria ini adalah
konsumen matang usia 20-an dan 30-an tahun, pembeli yang lebih besar dari pada
generasi sebelumnya tapi juga gemar olah raga. Mereka merasa nyaman dengan
perempuan tapi tidak menganggap belanja dengan wanita itu menyenangkan.
Anggap saja begini: pelembab dan gel rambut masih bisa diterima tapi manicure
rasanya agak berlebihan.
d. Sang Ayah
Adakah tipe pria lain yang terabaikan selain mereka? Begitu pria menikah
dan punya anak, mereka berhenti belanja. Sekalinya belanja, mereka palingpaling menjadi seperti ayah yang meminta saran anaknya untuk tampil keren.
Tapi pra pria ini cenderung berada dalam tahun-tahun pendapatan. Plus, mereka
sering terlihat sedang mendorong kereta bayi dan membeli popok, seperti halnya
para ibu.
e. Retroseksual
Jika metroseksual mendukung etos wanita, retroseksual justtru menentang.
Para tradisionalis ini telah menjjalani kekacauan kultur dan konsumerisme yang
sama dengan pria modern dan metroseksual, tapi retro menolak feminisme dan
dengan senang hati menikmati perilaku para tradisonal. Ia merindukan
bagaimana segala sesuatu dilakukan pada masa lalu.

Universitas Sumatera Utara

D. Dinamika Postpurchase Dissonance pada konsumen pria dengan
faktor hargasebagaipemicu.
Proses pembelian produk merupakan proses yang mempunyai beberapa
tahapan sampai akhirnya seseorang mengambil keputusan pembelian. Hoyers dan
MacInnis (2010) menyatakan bahwa faktor harga merupakan salah satu faktor
yang berpengaruh kritis terhadap pengenalan, penggunaan, dan pengambilan
keputusan pembelian.
Setelah melakukan pembelian, konsumen pada umumnya tetap mengevaluasi
keputusan mereka. Hal ini dikarenakan mereka ingin merasa nyaman atas pilihan
mereka dan meyakinkan bahwa produk tersebut dapat memenuhi kebutuhan.
Kenyamanan yang dicapai konsumen adalah ketika konsumen merasa bahwa apa
yang dikeluarkan untuk mendapat sesuatu sama dengan kualitas yang diperoleh
dari barang tersebut. Bentuk evaluasi ini membutuhkan pemikiran analitis, yang
khususnya dimiliki oleh konsumen pria. Hal ini didukung oleh Bakhsi
(2009),dimana konsumen pria cenderung bersifat analitis terhadap keputusan
pembelian yang telah diambilnya. Sehingga konsumen pria membandingkan
apakah biaya yang dikeluarkan sebanding dengan kualitas produk yang dia
dapatkan. Dimana hal ini kemudian disebut sebagai analisis harga.
Harga oleh Jacoby dan Olson (1977) dibedakan antaraobjective price dan
perceived price. Objective price merupakan harga aktual (objektif) dan perceived
price merupakan harga yang disandikan oleh konsumen. Harga aktual (objektif)

Universitas Sumatera Utara

produk yang ditemukan konsumen akan lebih tinggi, lebih rendah, atau sama
dengan harga referensi yang dibuat oleh konsumen, sedangkan harga referensi
(reference price) merupakan suatu standar internal yang dibandingkan dengan

harga produk yang ditemukan (Lindsey-Mullikin, 2003). Berdasarkan konsep
tentang harga referensi (price reference) dapat diketahui bahwa konsumen
mengevaluasi harga secara komparatif (Monroe, 2003). Harga referensi dibentuk
berdasarkan memori terhadap pengalaman-pengalaman pembelian sebelumnya,
persepsi terhadap stimulus yang ada (kontekstual), gabungan dari pengalaman
yang berhubungan (temporal), dan informasi dari orang lain (Van Raaij, 1991).
Zeithaml (1988) mengatakan konsumen terkadang tidak mengingat objective
price dari suatu produk melainkan mereka mengingatnya sebagai harga yang

“mahal” atau “murah”.Harga yang dianalisa oleh konsumen pria merupakan
perceived price dan menghasilkan berbagai persepsi mengenai harga (price
perception). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Lichtenstein,

Ridgway & Netemeyer (1993), dimana penelitian tersebut menghasilkan lima
konstruk yang konsisten dengan persepsi harga.
Bakhsi (2009) menambahkan, adanya kecenderungan pria berfokus pada
kualitas produk membuat adanya satu persepsi antara harga dengan kualitas yaitu
price-perceived quality. Hal ini didukung oleh studi sebelumnya yang dilakukan

oleh Olson dan Jacoby (dalam Chang & Wildt,1994) juga mengindikasikan
bahwa persepsi kualitas produk dipengaruhi juga oleh faktor harga dan atributatribut dalam suatu produk. Sawyer dan Dickson (1984) dan Zeithmal (1988)

Universitas Sumatera Utara

menemukan bahwa faktor harga tidak berhubungan dengan persepsi terhadap
nilai (value perception) melainkan secara jelas terbukti bahwa adanya hubungan
kuat antara faktor harga dan persepsi kualitas (price-perceived quality).
Menurut assimilation-contrast theory ketika responden dihadapkan dengan
sebuah harga yang baru, harga baru akan dapat diterima respondenatau malah
ditolak. Ketika konsumen dihadapkan dengan sebuah harga diluar kisaran level
kesesuaian yang ia miliki atau level of acceptance terhadap harganya maka
konsumen tersebut akan mengalami cognitive dissonance.
Festinger (1957) mencetuskan teori cognitive dissonance, menyediakan
suatu kerangka berpikir yang berguna untuk mengevaluasi keadaan-keadaan,
dimana konsumen menemukan bahwa harga yang sudah dibayarkan ternyata
berbeda dengan reference price, sehingga membentuk dissonance. Disonansi
yang terbentuk akibat keputusan pembelian disebut sebagai postpurchase
dissonance.Postpurchase Dissonance merupakan salah satu bentuk cognitive
dissonance, dimana seseorang mengalami ketidaknyamanan psikologis berupa

kecemasan atau keraguan pasca pembelian karena ketidaksesuaian antara
ekspektasi dengan kenyataan produk (Schiffman dan Kanuk, 2000).
Faktor harga yang menjadi salah satu indikator kualitas produk, dimana hal
ini merupakan fokus pada konsumen pria sehingga membuat suatu bentuk
analisis terhadap faktor tersebut. Dimana di saat reference price tidak sesuai
dengan perceived price makan konsumen pria akan mengalami postpurchase
dissonance.

Universitas Sumatera Utara

Kerangka Teoritis
Faktor Harga

Pembelian

Analisa Harga
Konsumen Pria:
-

-

-

Fokus pada
kualitas dan
efisiensi
produk
Cenderung
untuk
kebutuhan
pada saat itu
Kecenderun
gan sebagai
makhluk
ekonomis

Postpurchase
Dissonance

Price perception
(Lichtenstein, Ridgway,
& Netemeyer, 1993)

Dimensi PPD (Sweeney,
Hausknecht, & Soutar, 2000):

Dinamika Postpurchase dissonance pada konsumen pria dengan faktor harga
sebagai pemicu.
Universitas Sumatera Utara