Dinamika Postpurchase Dissonance pada Konsumen Pria dengan Faktor Harga sebagai Pemicu

(1)

LAMPIRAN 3

INFORMED CONSENT

Pernyataan Pemberian Izin Oleh Responden

Tema Penelitian : Dinamika Postpurchase Dissonance Pada Konsumen Pria dengan Faktor Harga sebagai Pemicu.

Peneliti : Jeremy Bastanta Ginting NIM : 091301031

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancara sebagai responden dalam penelitian mengenai Dinamika HargaSebagai Pemicu Postpurchase

Dissonance Pada Konsumen Pria.

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiaannya. Dengan demikian, saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberi informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Medan, 2013


(2)

LAMPIRAN 4

PEDOMAN WAWANCARA

1) Boleh diceritakan, faktor-faktor apa sajakah yang menurut Anda penting sebelum terjadinya proses pembelian suatu produk?

2) Pembelian produk-produk seperti apa yang menurut Anda penting?

3) Dapatkah Anda ceritakan mengapa faktor harga penting bagi Anda?

4) Coba ceritakan pengalaman Anda membeli produk dengan mempertimbangkan faktor harga nya sebagai faktor yang penting?

5) Pernahkah Anda merasa ragu setelah membeli produk tersebut? Apakah ada peran harga dalam membentuk keraguan tersebut? Coba diceritakan. Bagaimana peran harga dalam memicu keraguan Anda?

6) Dapatkah Anda menceritakan bagaimana cara Anda akhirnya memutuskan untuk membeli produk tersebut?

7) Setelah membeli produk tersebut, dapatkah Anda menceritakan bagaimana Anda mengevaluasi keputusan yang sudah Anda lakukan tersebut?

8) Coba ceritakan, seberapa besar serta bagaimana pengaruh informasi dari orang lain (seperti misalnya penjual produk, teman, atau media massa, dll) pada saat tahap pencarian informasi sampai akhirnya tahap pada setelah pembelian produk?


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Akturan, U. (2009). A Review of Cyber Ethnographic research: A Research

Technique to Analyze Virtual Consumer‟, Boğaziçi Journal, 23(1-2), pp. 1– 18.

Assael, H., (1990). Marketing. Prentice Hall, New Jersey: Englewood Cliffs.

Bakshi, S. (2009). Impact of Gender Consumer Purchase Behavior., Volume No 1, Issue No.9 [On-line] Available FTP: www.abhinavjournal.com. Tanggal diakses 2 Juli 2013.

Barsky, R., F. Juster, M. Kimball and M. Shapiro (1997). „Preference Parameters and

Behavioral Heterogeneity: An Experimental approach in the Health and

Retirement Study,‟ Quarterly Journal of Economics, 112 (2), pp.537-579.

Bauer, R. A. (1960). “Consumer Behavior As Risk Taking”, In D. Cox (ed.), Risk Taking and Information Handling in Consumer Behavior, Harvard

UniversityPress, 23-34.

Block, L. G., and Morwitz, V. G. (1999). Shopping Lists as an External Memory Aid for Grocery Shopping: Influences on List Writing and List Fulfillment.

Journal of Consumer Psychology, 8(4), 343-375.

Chang, T. & Wildt, A. R. (1994). Price, Product Information, and Purchase Intention: An Empirical Study. Journal of the Academy of Marketing Science. Volume 22, No.1,(16-27).

Chou, S. Y., (2012). Online Reviews and Prepurchase Cognitive Dissonace: A Theoretical Framework and Research Propositions. Journal of Emerging


(4)

Cornwell, T. (2007). Theory of Cognitive Dissonance. [On-line] Available FTP:

www.ciadvertising.org/student_account/spring_02/adv382j/wanhsiu/tcornwell /paper1.htm - 28k. Tanggal diakses 6 Oktober 2013

Dickson, P. R., and Sawyer, A. G. (1984). Entry/Exit Demand Analysis. Advances in

Consumer Research, Volume 11, Pages: 617-622.

Diehl, K.., Kornish, L. J., & Lynch, J. G. (2003). Smart Agents: When Lower Search Costs for Quality Information Inc rease Price Sensitivity. Journal of

ConsumerResearch, June 2003, pp. 56–71.

Engel, J. F., Blackwell, R. D., & Miniard, P. W. (1995). Perilaku Konsumen, Edisi

ke-6.(terjemahan). Jakarta: Binarupa Aksara.

Hawkins, D. I., Mothersbaugh, D. L., & Best, R. J. (2007). Consumer Behavior:

Building Marketing Strategy, (10th Edition). New York: The McGraw-Hill

Companies, Inc.

Hadi, A. (2003). Teknik Mengajar Sistematis. Jakarta: Rineka Cipta.

Hoyer, W. D., & MacInnis, D. J. (2010). Consumer Behavior. (5thEdition). USA:

South Western, Cengage Learning.

Jacoby, J. and Jerry C. Olson (1977). Consumer Response to Price: An attitudinal,

Information Processing Perspective in Moving Ahead with Attitude Research.

Y. Wind and P. Greenberg, eds, Chicago: American Marketing Association, 73-86

Jansson-Boyd, C. V. (2010). Consumer Psychology. England: Open University Press. [On-line] Available FTP: http://swa.co.id/business-research/survei-nielsen-produk-perawatan-pria-semakin-menjadi-kebutuhanTanggal diakses 23 Agustus 2013


(5)

Leliana & Suryandari, R. T. (2004). Persepsi Harga dalam Perilaku Belanja Konsumen (Studi Kasus pada Perusahaan Ritel di Surakarta. Jurnal Bisnis & Manajemen, Vol 4, No.2, hal. 111-129

Lichtenstein, D. R., Ridgway, N. M., & Netemeyer, R. G. Price perceptions and Consumer Shopping Behavior: A Field Study. Journal of Marketing

Research, May 1993, pp.234-235.

Lindsey-Mullikin, Joan. (2003), Beyond Reference Price: Understanding Consumers‟ Encounters with Unexpected Prices. Journal of Product and Brand

Management: Pricing Strategy and Practice, 12 (3)

Loudon, D. L., & Bitta, A. J. D. (1993). Consumer Behavior: Concepts &

Applications (4th Edition). Singapore: McGraw-Hill Book Company.

Maharani, M. A. “Marketing to The Emerging Middle Class”. The Marketeers.

Januari 2012. h.32-33

Mitchell, V.W., Walsh, G., (2004). Gender differences in German consumer decision making styles. Journal of Consumer Behavior, 3 (4): 331-346

Monroe K (1990). Pricing: making profitable decisions. New York: McGraw-Hill Inc.

Nazir, M. (2003). Metode Penelitian. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia

O‟Cass, A. and Fenech, T. (2003). Web retailing adoption: Exploring the nature of

internet users web retailing behavior. Journal of Retailing and Consumer

Services, 10, 81-94.

Oliver, R. L. (1997). Satisfaction: A behavioral perspective on the consumer. New York: McGraw-Hill.


(6)

Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Depok: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Sawyer & Alan, G. (1975). Demand Artifacts in Laboratory Experiments in Consumer Research. Journal of Consumer Research, 1(March), 20-30

Schiffman, L. G., & Kanuk, L. L. (1994). Consumer Behavior. (5thEdition).

Singapore: Prentice Hall.

. (2000). Consumer behavior (6th edition).

Singapore: Prentice-Hall International

Situmorang, S., H. (2011). Bisnis, Konsep dan Kasus. Medan: USU Press.

Sweeney, J. C., Hausknecht, D., & Soutar, G. N. (2000). Cognitive Dissonance After Purchase: A Multidimensional Scale. Journal of Psychology &Marketing, 17, (5), 369 – 385

Taufik. “Mencegat Kelas Menengah Indonesia”. The Marketeers. Mei 2012. h. 84-87

Tjiptono, F. (2000). Strategi Pemasaran. Yogyakarta: ANDI.

Van Raaij, W.F., (1991). Companion to Contemporary Economic Thought. London/New York: Routledge.

Zeithaml, V. A. (1988). Consumer Perceptions of Price, Quality, and Value: A Means-End Model Synthesis of Evidence. Journal of Marketing, Vol. 52, 2-22.


(7)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian mengenai dinamika Postpurchase dissonance pada konsumen pria dengan faktor harga sebagai pemicu, menggunakan penelitian kualitatif. Metode penelitian merupakan unsur yang penting dalam suatu penelitian ilmiah, karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Hadi, 2003). Metode penelitian kualitatif ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai dinamika Postpurchase

dissonance pada konsumen pria dengan faktor hargasebagai pemicu.

A. Pendekatan Kualitatif

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menggali dan mendapatkan gambaran yang luas serta mendalam mengenai dinamika Postpurchase

dissonance pada konsumen dimana harga dilihat sebagai faktor pemicu. Alasan

peneliti memilih metode penelitian kualitatif karena peneliti ingin melihat bagaimana dinamika Postpurchase dissonance pada konsumen dimana harga dilihat sebagai faktor pemicu.Metode kualitatif berusaha memahami suatu gejala sebagaimana pemahaman responden yang diteliti, dengan penekanan pada aspek subjektif dari perilaku seseorang. Penelitian kualitatif memungkinkan pemahaman tentang


(8)

kompleksitas perilaku dan penghayatan manusia sebagai mahluk yang memiliki pemahaman tentang hidupnya (Poerwandari, 2007).

Adapun metode yang dipakai dalam pengumpulan data adalah metode studi kasus. Dimana metode studi kasus yang digunakan bersifat eksplanatori, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk menggali penjelasan kausalitas atau sebab akibat yang terkandung di obyek peneliti. Pemilihan metode ini digunakan untuk memperoleh pemahaman utuh dan terintegrasi mengenani interrelasi fakta dan dimensi fenomena tersebut serta karena dalam penelitian ini yaitu dinamikaPostpurchase dissonance pada konsumen pria dengan faktor hargasebagai pemicuharuslah dipandang sebagai suatu proses yang disebabkan tidak hanya sebuah faktor saja, melainkan banyak faktor. Selain itu, bagaimana presepsi individu memandang hargajuga dapat berbeda-beda. Peneliti juga dapat menemukan hal-hal baru dalam dinamika Postpurchase dissonance pada konsumen dimana harga dilihat sebagai faktor pemicu(Poerwandari, 2007).

B. Responden Penelitian

1. Karakteristik Responden Penelitian

Penelitian ini menggunakan duaorang responden dengan ciri sampel sebagai berikut: a. Konsumen pria yang pernah mengalami kondisi postpurchase dissonance dipicu

oleh faktor harga


(9)

c. Pembelian produk untuk pemakaian diri sendiri. Hal ini didasarkan oleh teori Sweeney & Soutar (2003) yang menyatakan salah satu karakteristik postpurchase

dissonance terhadap produk yang digunakan untuk kepentingan individu tersebut.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di berbagai tempat di kota Medan. Hal ini berhubungan dengan masalah praktis yaitu kemudahan dalam pengambilan data, karena baik responden dan peneliti berdomisili di kota Medan.

3.Teknik Pengambilan Responden

Prosedur pengambilan responden penelitian dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan teori atau berdasarkan konstrak operasional (theory based/operational

construct sampling). Patton (dalam Poerwandari, 2007) menjelaskan bahwa

penggunaan prosedur ini berdasarkan teori atau konstrak operasional sesuai dengan studi-studi sebelumnya atau sesuai dengan tujuan penelitian berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.

Dalam penelitian ini, peneliti akan mewawancarai konsumenpria yang telah mengalami postpurchase dissonance yang dipicu oleh faktor harga. Pemilihan sampel berdasarkan teori/konstruk operasional dimensi pengukuran postpurchase dissonance.


(10)

C. Metode Pengumpulan Data

Rancangan penelitian kualitatif bersifat fleksibel, luwes serta terbuka terhadap kemungkinan bagi suatu perubahan serta penyesuaian-penyesuaian ketika suatu proses berjalan. Meskipun tetap menjadi pedoman awal untuk masuk ke lapangan, rancangan penelitian yang disusun tidak membelenggu peneliti untuk tunduk terhadap pedoman awal manakala kenyataan di lapangan menunjukkan kecenderungan yang berbeda dengan yang dipikirkan sebelumnya (Bungin, 2003).

Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka dan luwes, metode keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara. Sedangkan Banister (dalam Poerwandari, 2007), menjelaskan bahwa wawancara merupakan percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.

Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dalam Poerwandari, 2007).

Ada tiga jenis wawancara yang dikemukakan oleh Patton (Poerwandari, 2007), diantaranya adalah wawancara informal, wawancara dengan pedoman umum dan wawancara dengan pedoman terstandar yang terbuka. Dalam penelitian ini, jenis


(11)

wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman umum.

Pada wawancara mendalam, peneliti dapat mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan responden secara utuh dan mendalam. Wawancara

mendalam memberikan kesempatan yang maksimal untuk menggali “background life” seseorang sehingga peneliti mendapatkan gambaran dan dinamika yang hendak

diteliti. Sedangkan wawancara dengan pedoman umum, peneliti menetapkan pedoman umum wawancara sebelum proses wawancara dilakukan, namun tidak menutup kemungkinan akan beralih pada wawancara informal yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat spontan.

D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Untuk mempermudah peneliti dalam mencatat hasil wawancara maka peneliti menggunakan alat bantu berupa alat perekam (tape recorder) dan pedoman wawancara. Penggunaan tape recorder diharapkan tidak ada informasi yang terlewatkan ketika dilakukan wawancara oleh peneliti. Tape recorder tentunya dapat digunakan dengan izin dan sepengetahuan responden. Selain penggunaan tape

recorder, peneliti juga menggunakan pedoman wawancara sebagai alat bantu untuk

mengkategorikan jawaban responden. Pedoman tersebut digunakan untuk mempermudah dalam menganalisa data yang diperoleh. Pedoman wawancara berkaitan dengan masalah yang ingin diungkapkan.


(12)

Peneliti juga melakukan observasi terhadap reaksi responden, lingkungan tempat wawancara berlangsung, tampilan responden dan hal-hal yang dapat memperkaya konteks wawancara. Informasi yang diperoleh hanya digunakan sebagai alat perantara antara apa yang dilihat, didengar dan dirasakan dengan catatan yang diperoleh dari lapangan sebenarnya.

E. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap ini peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan dalam penelitian, diantaranya adalah:

a. Mengumpulkan data yang berhubungan dengan dinamika

postpurchase dissonance pada konsumen pria dengan faktor harga

sebagai pemicu. Peneliti mengumpulkan informasi dan teori-teori yang berkaitan dengan harga dan postpurchase dissonance. Selanjutnya peneliti menentukan karakteristik responden yang akan disertakan dalam penelitian ini. Peneliti juga mengumpulkan fenomena-fenomena yang didapat melalui komunikasi personal dengan sampel.

b. Menyusun pedoman wawancara dan pedoman observasi.

Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian, peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teori yang ada untuk menjadi pedoman wawancara.


(13)

c. Persiapan untuk mengumpulkan data.

Mengumpulkan informasi tentang calon responden penelitian. Setelah mendapatkannya, lalu peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian.

d. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara.

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, peneliti kemudian menghubungi responden, membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki tahap pelaksanaan penelitian.

a. Mengkonfirmasi ulang waktu wawancara.

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden. Percakapan yang berlangsung akan direkam dengan tape recorder mulai dari awal sampai akhir percakapan.

Wawancara dilakukan sebanyak lima kali dengan seorang responden. Keseluruhan wawancara dilakukan di tempat yang


(14)

Tabel 1. Waktu wawancara

No. Responden Tanggal Waktu Tempat

1. I 28 Mei 2013 13.00-13.45 Kantor Responden

I

2. 31 Juli 2013 15.00-15.35

3. 15 September 2013 14.00-14.20

4. 18 Maret 2014 14.00-14.20

5. 29 Maret 2014 11.30-12.00

1. II 11 Juli 2013 17.00-17.30 Taman Kampus

Fakultas Psikologi USU

2. 24 Juli 2013 17.00-17.35

3. 13Oktober 2013 18.00-18.20

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara.

Sebelum melakukan wawancara, reponden diminta untuk memahami tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.

c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim.

Setelah hasil wawancara diperoleh, peneliti memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding dengan memberikan kode-kode pada materi yang telah diperoleh. Koding dilakukan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan


(15)

mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari.

d. Melakukan analisa data.

Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai dibuat kemudian dibuatkan salinannya. Peneliti kemudian menyusun dan menganalisa data dari hasil transkrip wawancara yang telah di koding menjadi sebuah narasi yang baik dan menyusunnya berdasarkan alur pedoman wawancara yang digunakan saat wawancara.

e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran.

Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab rumusan permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi berdasarkan kesimpulan dan data hasil penelitian. Setelah itu, peneliti memberikan saran-saran sesuai dengan kesimpulan, diskusi dan data hasil penelitian.

3. Tahap Pencatatan Data

Semua data yang diperoleh pada saat wawancara direkam dengan alat perekam dengan persetujuan partisipan penelitian sebelumnya. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisa. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam pita suara yang dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di atas kertas.


(16)

F. Metode Analisis Data

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber seperti wawancara, observasi dan sebagainya. Menurut Poerwandari (2007), terdapat beberapa tahapan dalam menganalisa data kualitatif, yaitu:

1. Organisasi Data

Pengolahan dan analisis sesungguhnya dimulai dengan mengorganisasikan data. Dengan data kualitatif yang sangat beragam dan banyak, peneliti berkewajiban untuk mengorganisasikan datanya dengan rapi, sistematis dan selengkap mungkin. Hal-hal yang penting untuk diorganisasikan diantaranya adalah data mentah (catatan lapangan, kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagian (transkripsi wawancara, catatan refleksi peneliti), data yang sudah dibubuhi kode-kode dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.

2. Koding dan Analisis

Langkah penting pertama sebelum analisis dilakukan adalahmembubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematisasikan data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Dengan demikian peneliti akan dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkannya. Peneliti berhak memilih cara melakukan koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang diperolehnya.


(17)

Dugaan adalah kesimpulan sementara. Begitu tema-tema dan pola-pola muncul dari data, untuk meyakini temuannya, selain mencoba untuk terus menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang memberikan gambaran atau fenomena berbeda dari pola-pola yang muncul tersebut. 4. Strategi Analisis

Analisa terhadap data pengamatan sangat dipengaruhi oleh kejelasan mengenai apa yang ingin diungkapkan peneliti melalui pengamatan yang dilakukan. Patton (dalam Poerwandari, 2007), menjelaskan bahwa proses analisis dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata responden sendiri maupun konsep yang dikembangkan oleh peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisis. Analisa yang dilakukan adalah dengan cara menganalisa setiap responden terlebih dahulu yang kemudian diikuti dengan analisa keseluruhan responden.

5. Tahapan Interpretasi

Menurut Kvale(dalam Poerwandari, 2007), interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut.


(18)

BAB IV

HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini, akan diuraikan analisis data dan pembahasan hasil penelitian mengenai dinamika Postpurchase dissonance pada konsumen pria dengan faktor harga pemicu. Bab ini akan dibagi menjadi dua bagian. Pada bagian pertama, akan diuraikan mengenai hasil observasi masing-masing responden, rangkuman hasil wawancara dan analisis data. Sedangkan pada bagian kedua, akan diuraikan interpretasi mengenai hasil penelitian yang diperoleh.

Kutipan dalam setiap bagian analisisakan dilengkapi dengan kode-kode tertentu untuk mempermudah diperolehnya pemahaman yang jelas dan utuh. Contoh kode yang digunakan adalah: (W1.R1/b.100-105/h.6). Maksud kode ini adalah kutipan dari Wawancara I, Responden I, baris 100 sampai 105, verbatimhalaman 6. Berikut dilampirkan tempat dan waktu wawancara kedua responden pada penelitian ini :


(19)

A. Deskripsi Data I

A.1. Identitas Responden I

I. Tabel 2. Deskripsi data RespondenI

1. Nama Responden I

2. Usia 54 tahun

3. Suku Batak Karo

4. Agama Kristen Protestan

5. Pendidikan terakhir S-1

6. Pekerjaan Arsitek

7. Pendapatan 10-20 juta/bulan

8. Hobby Hal yang berhubungan dengan dunia elektronik

A.2. Rangkuman Hasil Observasi

Untuk memahami lebih jelas mengenai keadaan ruangan kantor, peneliti akan menggambarkan terlebih dahulu bagaimana kondisi di sekeliling kantor responden.

A.2.1. Observasi Lingkungan Kantor Responden

Kantor responden merupakan tiga bangunan ruko dua lantai yang saling berdampingan. Ruko yang terletak di bagian paling kiri merupakan tempat responden sehari-hari melakukan aktivitas kerja. Sedangkan dua ruko lainnya digunakan sebagai tempat penyimpanan bahan material bangunan. Kantor ini tepat berhadapan dengan jalan besar. Disamping kanan bangunan ruko ini terdapat warung kecil yang menjual


(20)

kelapa muda, sedangkan di samping kiri bangunan terdapat jalan masuk menuju perumahan yang lebarnya dapat dilalui dua mobil sekaligus.

Sebelum masuk ke kantor responden, peneliti bertemu dengan satuan pengaman yang bertugas di kantor Responden. Setelah itu baru diperobolehkan masuk ke dalam kantor. Sebelum masuk ke dalam kantor, peneliti menjumpai disebelah kiri pintu masuk terdapat tempat pakir sepeda moto yang berada dan tepat disebelah kanannya terdapat satu meja kayu dan satu pasang kursi kayu tempat untuk para satuan pengaman kantor beraktivitas. Pintu masuk ke kantor responden terbuat dari kaca seluruhnya, sehingga aktivitas di dalam kantor dapat terlihat dari luar ruangan dan berlaku sebaliknya.

Setelah masuk di kantor responden, peneliti bertemu dengan salah satu karyawan dan diantar ke pojok ruangan dimana disitu terdapat meja yang berbentuk lingkaran dan mempunyai sepasang kursi. Ruangan pertama yang ditemui setelah masuk di kantor responden ini adalah ruangan yang digunakan pegawai kantor untuk melayani pembeli. Ruangan ini diisi oleh tiga meja pegawai yang berbentuk L, lengkap dengan peralatan kantor seperti komputer, mesin print di setiap meja pegawai tersebut. Tepat di samping kanan meja terdapat pintu masuk ke ruangan berikutnya, Tiap ruangan kantor dipisahkan oleh triplek untuk membuat batas antar ruangan.


(21)

Sekitar lima menit duduk, peneliti dipersilahkan terlebih dahulu melihat ruangan-ruangan yang terdapat di kantor responden. Masuk ke ruangan berikutnya peneliti mendapati tiga buah meja kantor yang digunakan oleh karyawan kantor, meja ini tersusun membentuk dua baris. Selain itu, di ruangan ini terdapat tangga menuju ruangan lantai dua juga pintu masuk ke ruangan kerja responden, tepat di sebelah kiri pintu masuk ruangan kerja responden, terdapat satu buah meja tempat asisten responden bekerja. Di atas meja ini terdapat satu buah komputer, mesin print, dua buah telepon, serta tumpukan kertas yang terletak di atas mesin print.

Setelah melewati ruangan yang kedua, peneliti berencana untuk naik ke lantai dua. Untuk mencapai lantai dua peneliti harus menaiki tangga dimana tepat di depan tangga ini terdapat wastafel, rak gelas dan cangkir, serta dispenser air. Di bawah wastafel terdapat empat buah galon air yang kosong. Sebelum peneliti mencapai ruangan yang terdapat di lantai dua peneliti menemukan satu buah ruangan kosong yang memiliki satu buah jendela. Di dalamnya terdapat kardus, map-map yang berserakan, galon air minum, serta beberapa perangkat keras komputer yang disusun rapi.

Pada lantai dua kantor responden terdapat satu ruangan yang didominasi oleh warna putih, dan diisi oleh tiga buah meja beserta empat kursi. Pada meja yang pertama dan kedua membentuk huruf L dan meja terakhir terpisah dengan kedua meja tersebut. Di atas meja pertama terdapat tumpukan map yang terletak pada satu tempat yang berwarna hijau, sedangkan pada meja kedua terdapat satu buah map berwarna


(22)

hijau yang ditimpa oleh remote pendingin ruangan. Tepat di belakang kedua meja ini terdapat ruangan kosong yang memiliki empat ventilasi udara. Di samping kiri ruangan terdapat sebuah lemari untuk menyimpan berkas dan diatas lemari tersebut terdapat kalender, beberapa map serta kertas-kertas yang tersebar secara tidak beraturan. Di ruangan ini mempunyai tangga yang berhubungan langsung dengan lantai satu bangunan yang berada di sebelah kantor responden.

A.2.2. Observasi Ruangan Kantor Responden

Wawancara kedua dan seterusnya dilakukan pada ruangan ini. Ketika peneliti masuk ke dalam ruangan ini, langsung dipersilahkan duduk di sofa berwarna putih yang tersedia di dalam ruangan kantor responden. Di hadapan sofa ini terdapat meja kecil yang diatasnya terdapat map berwarna merah dan sebuah asbak rokok. Ruangan ini didominasi oleh warna putih, namun langit-langit ruangan ini mempunyai ornamen-ornamen berwarna cerah seperti merah, kuning, putih dan biru yang disusun berbaris. Di samping kiri sofa tempat penulis duduk terdapat sebuah pot bunga yang berada diatas meja kecil. Sedangkan di samping kanan sofa adalah pintu masuk, dimana dibalik pintu masuk ini terdapat karton-karton yang berisikan berkas dan disususun secara bertingkat.

Meja kerja responden tepat berhadapan dengan sofa tempat peneliti duduk. Meja tersebut berwarna coklat kayu dimana pada meja itu terdapat laptop berwarna hitam lengkap dengan mesin print. Selain itu terdapat juga sebuah lampu untuk


(23)

membaca dan kalender tahun 2013. Di dinding dekat meja kerja responden terdapat kertas-kertas dengan tulisan yang ditempel menggunakan isolatip. Di seberang meja kerja responden terdapat sebuah meja yang menghadap sudut ruangan, lengkap dengan sebuah kursi. Di meja ini terdapat buku-buku yang disusun secara bertingkat dan puluhan map serta kertas yang disusun menutupi permukaan meja.

Ruangan Kantor responden mempunyai satu pendingin ruangan dan ruangan ini berbatasan langsung dengan ruangan depan kantor tempat para karyawan bekerja. Pembatas ruangan ini merupakan kaca sehingga aktivitas karyawan responden dapat dilihat dari dalam ruangan. Namun, ketika peneliti ada pada saat itu, pembatas ruangan ini ditutupi oleh tirai jendela.

A.2.3. Observasi Wawancara

1. Wawancara I

Responden pertama bernama Responden I (bukan nama sebenarnya). Responden adalah seorang pria yang berumur 54 tahun. Peneliti berjumpa dengan responden atas saran dari saudara peneliti. Melalui saudara peneliti, peneliti mendapatkan nomor telepon responden.Selama pembicaraan di telepon, peneliti menanyakan beberapa pertanyaan untuk memastikan apakah responden termasuk kriteria yang dicari oleh peneliti. Setelah akhirnya merasa cocok peneliti mendapatkan jadwal wawancarra, waktu serta tempat dilangsungkannya wawancara awal.


(24)

Pada hari yang telah dijanjikan, peneliti telah berada di kantor responden 15 menit lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Ketika pertama kali sampai di kantor responden, peneliti langsung ditemui oleh penjaga keamanan kantor untuk menanyakan keperluan dan hendak bertemu dengan siapa. Peneliti menyebutkan nama responden dan ternyata responden yang dimaksud sedang tidak berada di dalam kantor, sehingga penjaga keamanan mempersilahkan peneliti masuk ke dalam dan menunggu kedatangan responden atau tetap menunggu di luar kantor. Peneliti memutuskan untuk tetap berada di luar untuk menunggu. 10 menit berselang, tiba-tiba peneliti ditelpon oleh responden mengabarkan bahwa pertemuan akan terlambat sekitar 20 menit dan responden sedang berada di jalan menuju kantor. Peneliti kemudian meminta izin kepada penjaga keamanan kantor untuk masuk ke dalam kantor sambil menunggu kedatangan responden. Penjaga keamanan itu langsung mengantar peneliti masuk dan mempersilahkan peneliti duduk di meja yang berbentuk lingkaran yang berada di sudut ruangan.

Beberapa menit kemudian, peneliti melihat mobil Inova hitam masuk ke halaman parkir kantor, kemudian seorang pria memakai kemeja berwarna putih turun dari mobil membawa tas kerja, masuk ke dalam kantor dan menjumpai peneliti. Peneliti yang baru pertama kali berjumpa dengan responden langsung mengucapkan salam perkenalan dengan responden. Responden kemudian menanyakan apakah wawancara langsung bisa dilakukan, dan peneliti mengatakan membutuhkan ruangan yang lebih hening. Responden langsung


(25)

mengajak peneliti untuk naik ke lantai dua, karena di lantai dua terdapat ruangan yang tidak dipakai.

Sampai di lantai dua, peneliti mendapati suatu ruangan yang kosong dan gelap seketika responden menghidupkan lampu ruangan melalui saklar yang terletak di belakang sebuah meja kerja. Sambil menghidupkan lampu, responden mempersilahkan peneliti mengambil kursi dan duduk berhadapan dengan responden. Sebelum memulai wawancara, peneliti terlebih dahulu menceritakan maksud dan tujuan penelitian serta latar belakang penelitan yang sedang dilakukan. Dan responden sangat terbuka dalam menanggapi pernyataan peneliti, ini disebabkan karena menurut responden, tema penelitian peneliti sangat berkaitan erat dengan kejadian keseharian yang dialami responden.

Mendapat tanggapan yang positif dari responden, peneliti berniat melakukan wawancara awal dengan responden. Sebelum memulai wawancara, peneliti terlebih dahulu meminta izin kepada responden dalam pemakaian alat perekam suara dengan alasan agar proses wawancara dapat berjalan dengan lancar. Responden pun tidak berkeberatan dengan permintaan peneliti dan peneliti meletakkan alat perekam suara tepat di tengah antara responden dengan peneliti.

Pada awal wawancara, responden terlihat fokus dalam menjawab setiap pertanyaan peneliti. Ini dibuktikan adanya tatap mata antara responden dan peneliti ketika berinteraksi. Wawancara berlangsung lancar dan dalam suasana


(26)

santai dan diselingi oleh tawa responden. Responden juga antusias menjawab pertanyaan yang diajukan peneliti karena pertanyaan peneliti menyangkut hal-hal yang menjadi hobinya.

Pada tengah wawancara, karyawan responden datang membawa sebuah teh manis dan diletakkan di samping kiri peneliti. Kemudian responden mempersilahkan peneliti untuk minum dan setelah itu wawancara dilanjutkan kembali. Ketika wawancara sudah hampir berakhir, peneliti mempersilahkan responden untuk bertanya jika ada pertanyaan seputar wawancara, dan ternyata responden bertanya banyak hal terutama bagaimana topik yang diajukan peneliti dapat dijadikan untuk membuat skripsi, kemudian peneliti menjawab dan terjadi semacam proses tanya jawab mengenai topik penelitian yang sedang diteliti. Setelah sekitar lima menit untuk proses tanya jawab, peneliti pun mengakhiri wawancara dengan responden.

Untuk wawancara awal ini, peneliti menganggap tidak ada gangguan yang berarti dalam proses berjalannya wawancara. Suasana ruangan yang hening membantu peneliti berinteraksi dengan responden. Letak ruangan yang di lantai dua juga mengurangi suara mobil yang lalu-lalang di depan kantor responden.

2. Wawancara II

Proses terjadinya wawancara II tidak jauh berbeda dengan wawancara I. Jadwal dan waktu wawancara ditentukan ketika peneliti menghubungi responden


(27)

melalui handphone. Ketika peneliti sudah berada di kantor responden sesuai dengan kesepakatan, tiba-tiba responden menelpon dan membatalkan jadwal wawancara II karena ada urusan pekerjaan yang sifatnya mendadak, dan responden meminta agar wawancara diundur ke hari dan jam yang lain. Dan peneliti pun menyetujuinya.

Pada hari dan jam yang sudah dijanjikan, peneliti pun datang ke kantor. Dan kemudian ditanyai oleh penjaga keamanan kantor seputar keperluan dan hendak bertemu dengan siapa. Peneliti pun menyebutkan nama responden dan seketikan penjaga keamanan kantor itu pun mempersilahkan peneliti duduk sambil menunggu kedatangan responden.

Sekitar 10 menit menunggu, responden yang memakai kemeja biru bergaris putih tipis datang dan menanyakan apakah peneliti sudah lama berada di kantor, dan peneliti mengatakan tidak begitu lama. Kemudian responden mengajak peneliti untuk ke ruangan kantornya dan mengatakan agar wawancara II dilakukan di ruangan tersebut. Sambil berjalan menuju ke ruangan tersebut, responden menyuruh salah satu karyawannya untuk membuat teh manis sebanyak dua buah dan diantar ke kantornya. Begitu sampai di ruangan yang dituju, responden menghidupkan lampu ruangan melalui saklar yang beradai di balik pintu masuk. Responden langsung menuju meja kerjanya dan mempersilahkan peneliti duduk dan langsung memulai proses wawancara II.


(28)

Sebelum proses wawancara II dimulai, peneliti menyampaikan tujuan wawancara II yang akan dilakukan dan ketika memulai wawancara II, dua teh manis diantar ke ruangan diletakkan di samping kanan peneliti. Proses wawancara II pun dapat dikatakan lancar dari awal hingga akhir wawancara. Interaksi tatap mata tetap terjaga selama proses wawancara. Bahasa tubuh responden juga terlihat stabil dan tidak tegang. Wawancara II juga diselingi oleh tawa responden mengenai kebiasaannya dalam membeli barang. Hal ini didukung oleh posisi duduk yang ditunjukkan responden menunjukkan kesan yang santai dan rileks.

Dalam proses wawancara II, hal-hal yang dianggap mengganggu adalah selain adanya nada dering pesan masuk pada handphone responden ketika proses wawancara II, juga suasana ruangan kantor yang tidak sehening ketika wawancara I, karena ruangan kantor responden berbatasan langsung dengan ruangan para karyawan bekerja dan dalam melayani pembeli.

3. Wawancara III

Proses penentuan jadwal dan jam untuk wawancara III sama pada wawancara sebelumnya. Namun pada wawancara III ini, ketika peneliti sudah berada di kantor dan mengabari responden melalui pesan singkat, ternyata responden sudah berada di dalam ruangannya dan menyuruh peneliti untuk langsung masuk ke ruangannya. Ketika masuk dalam ruangannya, responden terlihat sedang mengerjakan sesuatu, dan mempersilahkan peneliti untuk terlebih dahulu duduk


(29)

di sofa, karena ada pekerjaan yang sedang dikerjakan. Di sofa tempat peneliti duduk pun, tersebar kertas-kertas yang berisikan tulisan. Sambil menunggu, responden siap dengan urusannya, peneliti melihat-lihat kembali urutan pertanyaan yang hendak diajukan.

Sekitar 15 menit berselang, responden memanggil peneliti untuk datang ke meja kerjanya dan memulai wawancara III. Kemudian peneliti meninggalkan tas peneliti dan membawa beberapa kertas, pulpen dan alat perekam suara menuju meja kerja responden. Sebelum memulai wawancara III, responden mengutarakan kembali tema-tema pertanyaan yang akan diajukan di wawancara III ini dan menghidupkan alat perekam suara, diletakkan di antara responden dan peneliti.

Pada bagian awal dan tengah wawancara III, suasana wawancara berlangsung dengan lancar begitu juga dengan interaksi tatap mata yang tetap terjaga. Tapi, pada menit ke 20 menjelang akhir wawancara, bahasa tubuh yang ditunjukkan responden adalah melihat ke arah jam tangan serta melihat handphone. Melihat bahasa tubuh tersebut, peneliti pun menanyakan apakah ada urusan pekerjaan yang sedang dikejar, dan ternyata hal itu dibenarkan oleh responden. Hal ini didukung oleh bahasa tubuh responden dimana tangan responden berada di bawah meja sedang memegang handpone sepanjang akhir wawancara. Melihat hal itu, peneliti langsung menutup wawancara III dan mengucapkan terima kasih buat waktu yang telah diluangkan.


(30)

Wawancara III tidak banyak menemui gangguan yang berarti. Namun adanya telepon masuk pada bagian tengah wawancara, sepertinya merusak konsentrasi responden dalam menjawab pertanyaan peneliti. Hal itu dibuktikan adanya perbedaan bahasa tubuh yang ditunjukkan oleh responden setelah melihat daftar panggilan masuk di telepon genggam.

4. Wawancara IV

Proses terjadinya wawancara yang ke-4, hari yang dijadwalkan responden tidak dapat melakukan wawancara karena tiba-tiba mempunyai urusan pekerjaan yang lebih penting sehingga proses wawancara dilakukan pada esok harinya, pada jam yang sudah ditetapkan oleh responden sendiri.

Pada hari yang dijanjikan, peneliti tiba di kantor responden 15 menit lebih cepat dari jam yang dijanjikan kedua pihak. Sebelum masuk ke kantor responden, peneliti terlebih dahulu sudah melihat mobil responden sehingga peneliti langsung bergegas ke dalam kantor responden. Ternyata di ruangan pertama yang biasa dijumpai terjadi perubahan posisi kursi dan meja. Hanya terdapat dua meja saya, meja yang berbentuk lingkaran yang biasanya berada di sisi sudut ruangan menjadi meja yang langsung berhadapan dengan pintu masuk ke dalam kantor. Di meja tersebut responden sudah duduk dan sedang menelpon. Melihat kedatangan peneliti, responden menyiilahkan peneliti duduk tepat di hadapan responden.


(31)

Pada hari itu responden memakai kemeja ungu dengan motif kotak-kotak dengan celana kain berwaran coklat terang. Setelah 3 menit berselang, responden sudah menyelesaikan kegiatan bertelepon dan dari pintu masuk datang seorang perempuan mengantarkan minuman responden. Sambil bertanya mengenai topik wawancara hari ini responden menanyakan pada peneliti untuk memesan minuman. Setelah peneliti memberitahu topik wawancara responden menanyakan agar wawancara dimulai dan masuk ke dalam ruangan kantor responden.

Di dalam ruangan kantor responden, khususnya di meja kerja terdapat banyak kertas yang menutupi meja kerja responden. Sebelum mempersilahkan duduk, responden terlebih dahulu merapikan kertas-kertas yang terdapat di atas meja kemudian mengajak responden untuk duduk. Sebelum memulai, peneliti terlebih dahulu meminta izin untuk memakai mesin perekam suara serta memberikan gambaran besar mengenai topik yang akan ditanyakan.

Selama proses wawancara, responden mampu menjawab pertanyaan peneliti dengan rileks. Proses komunikasi dua arah terjalin dengan baik, hubungan kontak mata jarang terputus serta tidak ada hambatan serius yang dirasakan peneliti selama wawancara dilakukan dari awal wawancara hingga sampai penutupan wawancara. Posisi tubuh yang ditunjukkan responden juga menunjukkan kesan yang rileks dan santai, serta posisi tangan sekali-sekali bergerak ketika responden menjawab pertanyaan peneliti.


(32)

5. Wawancara V

Pada wawancara yang ke-5, sebelumnya responden dan peneliti belum membuat janji terlebih dahulu mengingat jadwal aktivitas kerja responden yang padat sehingga dalam wawancara yang ke-5 bergantung pada kesiapan waktu responden untuk melakukan wawancara. Seperti sebelumnya, peneliti terlebih dahulu menanyakan kesiapan waktu responden dan langsung mendapatkan kabar. Peneliti langsung bergerak menuju kantorresponden.

Ketika tiba di kantor responden, tidak seperti biasanya, responden tidak berada di bagian depan kantor. Sehingga peneliti langsung masuk ke dalam ruangan kantor responden, ternyata responden berada di dalam ruangan kerjanya. Di ruang kerja responden sendiri terlihat penuh dengan berkas-berkas kertas, terkhususnya di meja kerja responden. Peneliti dipersilahkan masuk dan duduk. Responden pada siang itu memakai kemeja biru dengan motif kotak kecil. Sambil menanyakan sekitar wawancara, responden terlihat membersihkan meja kerja yang penuh dengan kertas. Setelah peneliti menyampaikan maksud dan tujuan wawancara, responden pun langsung meminta agar wawancara dimulai.

Selama wawancara berlangsung, tidak ada kendala berarti yang ditemui oleh peneliti. Kontak mata tetap terjaga selama wawancara berlangsung, responden pun menjawab pertanyaan peneliti dengan rileks, dilihat dari bahasa tubuhnya. Pada akhir wawancara responden meminta peneliti agar menghentikan sebentar


(33)

proses wawancara, karena ada telepon yang masuk. Selain itu selama wawancara terdengar 2-3 dering pada handphone yang lain menandakan adanya pesan masuk. Setelah semua pertanyaan yang telah disiapkan ditanyakan, maka peneliti mengucapkan terima kasih kepada responden karena telah meluangkan waktu untuk melakukan wawancara.

A.3. Rangkuman Hasil Wawancara

A.3.1.Dimensi Postpurchase Dissonance

1. Dimensi Emotional

Setelah pembelian produk laptop Toshiba tersebut, Responden I mengakui bahwa timbul perasaan tidak nyaman seusai membeli barang dan meninggalkan toko. Perasaan tidak nyaman ini dirasakan Responden I dari sesudah membeli sampai sebelum menggunakan produk tersebut.

“Ada, setelah membeli barang itu, dan setelah meninggalkan toko, biasanya ada semacam keraguan(perasaan tidak nyaman).” (W1.R1/b.67-70/h.2)

“Biasanya dari saya beli sampai saya memakainya. Disitulah perasaan yang tidak enak saya rasa. Setelah saya pakai ternyata tidak seperti itu, karena yang saya beli ini ternyata sudah bagus.” (W1.R1/b.298-306/h.7)

Perasaan tidak nyaman yang dirasakan Responden I setelah membeli produk Laptop Toshiba tersebut diakui oleh Responden I sebagai perasaan seperti menyesal dengan keputusan pembelian, selain itu perasaan bahwa diri Responden I adalah seorang yang bodoh karena telah melakukan pembelian produk yang lari


(34)

dari rencana awal pembelian juga disertai perasaan suntuk dan kecewa yang dirasakan secara berulang kali.

“Iya, perasaan apalah..merasa bersalah, salah beli lah, jadi perasaan itu salah beli kecewa.” (W3.R1/b.26-29/h.28)

“Bodohnya aku ini, hanya sekejap bisa berubah, jadi menyesali diri kan.

Kalau kasus yang satu lagi sama juga kan, jadi kesimpulannya selalu salah

beli.” (W3.R1/b.344-348/h.36)

“Cuma sebentarnya perasaan itu, tapi berulang. Perasaan tidak enak, suntuk itu terasa kali. Salah beli selalu..salah beli selalu.. tetapi begitunya terus, bagaimana lagi dibuat hahahahha..” (W3.R1/b.157-162/h.32)

Selain adanya perasaan tidak nyaman, Responden I merasa menyesal atas keputusan pembelian yang telah dilakukan. Ini dikarenakan Responden I belum mengetahui informasi keseluruhan mengenai produk yang sudah dibeli, menyebabkan ketakutan tersendiri jika produk yang sudah dibeli tidak memenuhi harapannya.

“Iya, cemana lah lebih tinggi pula, padahal udah saya pelajari, belum tentu nanti dia hang atau pun gini…” (W3.R1/b.120-136/h.36)

“Iya, perubahan itu, sebenarnya yang saya sesali, kenapa lah saya rubah ini, di

rumah udah matang saya pikirkan, kenapa tiba dipengaruhi mau padahal ini

belum tentu..” (W3.R1/b.262-266/h.34) 2. Dimensi Wisdom of Purchase

Pada pembelian produk elektronik secara umum, Responden I mengakui bahwa kerap kali pertanyaan seputar keputusan muncul mengenai pembelian yang baru dilakukannya.


(35)

“Iya ada, setelah membeli kan, lah kenapa ya saya beli yang ini, kenapa yang ngga itu saja, tapi tetap sejenis barangnya.” (W1.R1/b.97-102/h.3)

Namun setelah digali lebih lanjut, Responden I menyatakan bahwa pada pembelian produk laptop, hampir tidak pernah muncul pertanyaan apakah produk tersebut akan memenuhi kebutuhannya atau tidak. Hal ini didorong karena pada setiap pembelian produk laptop, Responden I berada di dalam kebutuhan yang sangat mendesak sehingga pembelian produk laptop selalu didasari oleh tahap pencarian informasi yang panjang.

“Itu saya berpikir selalu, soal itu saya memang tidak ragu dalam skema ini lihat bagian kedua ini wisdom of purchase saya tidak pernah ragu karena saya pikir itu udah benar tapi faktor emosi tadi dan concern over deal nah keduanya ini membuat saya tidak nyaman. Perasaan bersalah dalam diri atau

merasa dibodohin.” (W4.R1/b.2236-246/h.44)

Hmm.. hanya saya terkadang berpikir saya. Mungkin wisdom of purchase tidak ada masalah. Tapi terkadang saya berpikir juga dengan keadaan yang sering berulang ini, mengapa begitu saya. Tapi terkadang saya juga berpikir

ntah saya membeli barang yang tidak saya butuhkan?” (W4.R1/b.299 -308/h.45)

“Jadi untuk kasus Toshiba tidak ada, memang saya memerlukan. Memang butuh, kalaupun dibilang hotel memang waktu itu butuh. Tapi terkadang saya berpikir seperti itu, terus dipikirkan lagi saya pikir ngga mungkin karena saya membeli barang yang saya butuhkan. Karena saya mau belajar juga ya kenapa saya seperti itu. Kok saya tiap beli barang begini. Kok terjadi hal yang itu tadi ya penyesalan setelah pembelian. Tapi sampai sekarang saya jalani

sajalah karena setelah saya gunakan tidak ada masalah.” (W4.R1/b.311 -328/h.46)

Munculnya dimensi Wisdom of purchase di dalam diri Responden I setelah pembelian diakui Responden I terjadi pada pembelian produk elektronik lain seperti kamera dan handphone. Dalam kasuk pembelian produk kamera, biasanya


(36)

melakukan keputusan pembelian produk kamera, Responden I kerap mempertanyakan apakah produk yang sudah dibelinya akan memenuhi kebutuhan, karena fitur yang ditawarkan produk kamera tersebut mirip dengan produk kamera yang sudah dimiliki sebelumnya.

“Setelah beli, ada..kamera pun pernah.. ceritanya udah saya beli ada kamera saya udah ada kamera saya kan soalnya saya kolektor juga, jadi saya beli, kenapalah saya beli ini, apalah gunanya saya beli ini pun, toh sudah ada yang mirip seperti ini. Kalau laptop ngga, karena itu tadi kamera ada saya simpan, jadi ketika saya beli, untuk apa saya beli, miripnya sama yang satu itu kan. Pernah saya seperti itu. Kalau laptop enggalah..kalau hp ngga, karena bisa dijual atau dikasi. Kameran kan saya simpan. Untuk apalah ini kan miripnya, sia-sia aja ini..ada..kenapa? karena sudah ada yang mirip, sikit beda

modelnya, ambil, padahal setelah dipakai sama ajanya sepertinya.”

(W5.R1/b.382-405/h.58)

Sehingga terkadang dalam pembelian kamera, Responden I merasa kecewa dengan keputusan pembeliannya. Hal ini dikarenakan setelah produk kamera digunakan, fasilitas yang didapat tidak jauh berbeda dengan kamera yang sudah dimilik atau kemampuan produk tidak sesuai dengan yang diharapkan Responden I sebelumnya. Kekecewaan yang dirasakan mengakibatkan Responden I berhenti menggunakan kamera tersebut dan menyimpannya (discontinued use).

“Setelah beli, ada..kamera pun pernah.. ceritanya udah saya beli ada kamera saya udah ada kamera saya kan soalnya saya kolektor juga, jadi saya beli, kenapalah saya belini, apalah gunanya saya beli ini pun, toh sudah ada yang mirip seperti ini. Kalau laptop ngga, karena itu tadi kamera ada saya simpan, jadi ketika saya beli, untuk apa saya beli, miripnya sama yang satu itu kan. Pernah saya seperti itu. Kalau laptop enggalah..kalau hp ngga, karena bisa dijual atau dikasi. Kamera kan saya simpan. Untuk apalah ini kan miripnya, sia-sia aja ini..ada..kenapa? karena sudah ada yang mirip, sikit beda

modelnya, ambil, padahal setelah dipakai sama ajanya sepertinya.”


(37)

“Ya adalah mubazir aja kita rasa. setelah beli ada ragu namun setelah pakai

pun ragu, kenapalah beli yang ini.” (W5.R1/b.409-412/h.60)

“Eh…paling itu kamera yang canon itulah. Tapi yang terakhir ini saya ga

suka, jarang saya pakai kan terjadi dia berulang. Malah yang pocket saya pakai terus sampai sekarang bukan yang terbaru itu. Eh..artinya terjadi

pengulangan lagi seperti itu, kurang senang dengan yang baru itu.”

(W5.R1/b.327-337/h.58)

Responden I menambahkan postpurchase dissonance yang dirasakannya ketika setelah membeli produk elektronik tidak muncul ketika ia membeli suatu produk yang sedang diberi potongan harga (discount). Hal ini diakuinya karena pembelian tersebut bukan berdasarkan kebutuhan namun hanya karena produk tersebut sedang berada diberi potongan harga yang tinggi, sehingga Responden I merasa sayang jika tidak membeli produk tersebut.

“Ya sering, walaupun saya tidak perlu, ya saya ambil, itu sering, contohnya senter, padahal tidak perlu, tapi karena harganya banting sekali, saya ambil.” (W1/R1/b.221-229/h.6)

“Engga, biasanya senter gitu kan, itu ga ada masalah karena itu kan istilahnya

untuk enjoy saja hahaha iya, pas murah sepertiga harga taunya kita harganya

itu tapi sepertiga.” (W5.R1/b.468-473/h.61)

“Ngga ada, ngga jadi pikiran memang, dan itu ga jadi pikiran memang, kadang-kadang udah hilang pun tapi kalau hp kamera saya simpan dan rawat

itu.” (W5.R1/b.476-481/h.61) 3. Dimensi Concern over Deal

Adanya kesadaran yang dirasakan oleh Responden I setelah membeli produk bahwa keputusannya telah dipengaruhi oleh bujukan agen penjual. Kenyataan bahwa ternyata Responden I akhirnya membeli produk yang berada di luar


(38)

rencana, membuat Responden I merasa keputusannya merupakan suatu kesalahan dan membuat keraguan pasca pembelian.

“Tapi setelah saya ambil itu, muncul keraguan setelah membayar, setelah saya tinggalkan toko itu muncul keraguan. Kenapa yang ini? Kenapa ngga yang saya set dari rumah tadi. Kenapa ngga saya bikin dari rumah tadi.” (W2.R1/b.194-200/h.15)

“Ya itu tadi saya bilang dipengaruhi itu. Kan jelas saya berubah karena ada pengaruh di toko itu. Ada pengaruh dari penjualnya ada juga pengaruh dari barang-barang yang muncul disitu….kalo laptop itu penjual itu yang

mempengaruhi saya.” (W2.R1/b.268-270/h.16)

“Karena kalau yang 12 itu sudah dipikir matang-matang. Tapi sama aja yang udah matang pun gitulah. Karena sebelumnya udah ada persiapan merasa

salah beli juga.” (W3.R1/b.107-116/h.30)

Selain adanya bujukan dari agen penjual, Responden I juga dihadapkan informasi di luar dirinya seperti tampilan-tampilan produk yang belum pernah diliat sebelumnya dan banyaknya pilihan alternatif produk yang tersedia dimana kualitasnya, menurut Responden I, lebih bagus daripada produk yang direncanakan. Adanya informasi-informasi baru tentang produk sejenis yang dicari Responden I membuat Responden I mudah merubah rencana pembeliannya. Sehingga walaupun sematang apapun rencana pembelian yang telah dibuat Responden I terhadap suatu produk, keputusan pembelian biasanya dipengaruhi oleh faktor situasional ketika berada di toko tersebut.

“Sering, ya berubahlah, tidak seperti yang saya rencanakan sebelumnya. Jadi kalo saya ingat yang sebelumnya, lebih banyak pilihan saya ditentukan ketika saya berada di toko tersebut dengan faktor-faktor harga, kemampuan dan merknya.” (W1.R1/b.338-350/h.8)


(39)

“Kalau mereka ya biasa lah, memberikan barang yang lebih bagus, lebih baru

supaya pembelinya ngga kecewa. Gitunya penjual semua. Ini sedikitlah beda harga katanya, tapi lebih bagus dan terbaru ini, jauh ini tertinggal ini udah sistem ini. Kan, pasti diberikannya keunggulan-keunggulan seperti itu.” (W3.R1/b.212-221/h.33)

“Setelah ke toko, ya itu tadi ada memang waktu itu Toshiba yang lebih tinggi, jadi yang lebih tinggi itu, saya pikir pun bagus juga, karena dia lebih tinggi sedikit kinerjanya diaripada yang saya pilih itu yang saya pilih itu pun saya anggap udah hebat kan. Ternyata setelah di toko ada yang lebih hebat. Saya ambil itu.” (W2.R1/b.182-192/h.14)

“Yah sekali-sekali lah, mengapalah kawan itu ngomong. Ada juga hahaha(tertawa) kenapa lah kudengar dia ngomong, walaupun aku ga menyalahkan dia. Merasa ada pengaruh dari penjual tadi. Kenapa pula

ngomong anak ini. Bukannya kusalahkan. Merasa dipengaruhin lah.”

(W3.R1/b.225-233/h.33)

Munculnya perasaan salah beli yang dirasakan Responden I ternyata dipicu oleh faktor harga, dimana Responden I pada pembelian produk laptop tersebut merasa overbudget. Perbedaan jumlah uang yang akhirnya dikeluarkan untuk mendapatkan produk tersebut dirasa signifikan dengan yang direncanakan membuat Responden I merasakan ada yang salah dengan pembeliannya.

“Ehh..Itu ada, memang lebih tinggi dia harganya. Cuma pengaruh harga itu

dalam arti kata lebih mahal ini, jangan-jangan yang tadi saya rencanakan dari rumah udah bagusnya itu, kenapalah saya ambil ini, lebih mahal lagi. Kalau

kamera tidak ada, tidak ada masalah.” (W2.R1/b.339-346/h.18)

“Sebenarnya ngga, karena rencana memang ambil produk yang 12 juta itu,

udah jelas dari rumah tekad itu karena sudah dipelajari dari rumah, diliat speknya ini mantap ini. Ternyata di toko itu ada yang lebih. Kan gitu, ada yang lebih dengan harga yang lebih mahal. Dan sekejap saya lihat itu mantap dan uang pun lagi ada. Ya udahlah ambil saja. Keluar dari toko menyesal,

aduh kenapa lah ini tadi dibeli.” (W3.R1/b.91-103/h.30)

Namun perasaan salah beli ini berangsur-angsur hilang setelah penggunaan produk. Hal ini disebabkan oleh adanya rasa puas yang dirasakan Responden I


(40)

setelah menggunakan laptop ini. Rasa puas setelah penggunaan produk yang baru dibeli biasanya dirasakan pada produk laptop. Hal ini didukung oleh pernyataan Responden I seperti berikut:

“Kalau laptop pada umumnya tidak ada masalah. memang pas dia. Walau ragu karena harga, tetapi setelah pakai saya bersyukur saya bisa pakai itu. Yang banyak sekali masalah di handphone dan kamera” (W5.R1/b.190 -197/h.55)

“Laptop aman, ga pernah setelah memakai saya kecewa, biasanya sampai

laptop ga sanggup lagi. Lama saya pakai dan jarang saya beli laptop.”

(W5.R1/b.217-222/h.56)

“Ga lama lah, setelah saya pakai langsung enak dia, woaaa saya ga ada keraguan lagi. Sampai sekarang satu laptop pun ga ada salah beli saya kira tapi kalau kamera dan hp saya sendiri merasa saya salah beli. Karena setelah

saya pakai ternyata ga pas seperti yang saya butuhkan.” (W5.R1/b.311 -321/h.58)

“Ya ada..ya setelah meninggalkan toko, waktu kita menego tidak ada masalah apa-apa. Semacam ada rasa ragu, ya ada rasa menyesal. Menyesal lah kenapa diambil ini tadi..tapi itu setelah sampai dirumah, ketika dipakai, ngga ada lagi masalah itu, udah hilang. Karena uda kita pakai barang itu, bagus juganya

kan.” (W2.R1/b.298-307/h.17)

A.3.2. Dinamika postpurchase dissonance pada responden dengan faktor harga sebagai pemicu.

Munculnya kondisi postpurchase dissonance pada responden pada pembelian produk laptop Toshiba dipicu oleh faktor harga laptop seharga 16 juta. Sebelum terjadinya pembelian, responden sudah terlebih dahulu melewati tahap-tahap untuk mencapai keputusan pembelian, dimulai dari pengenalan kebutuhan,


(41)

pencarian informasi, evaluasi alternatif pilihan sehingga keputusan akhir jatuh pada produk laptop Toshiba seharga 12 juta. Namun ketika sudah sampai di toko, banyaknya produk sejenis yang ditawarkan serta kelebihan-kelebihan dibanding produk yang sudah direncanakan membuat responden mengubah keputusan pembelian dengan membeli produk seharga 16 juta.

“Harganya karena saya rasa dari 12 ke 16 cukup besar.tapi waktu dijelaskan

itu, saya pikir wajar, wajarnya harga lebih, speknya lebih tinggi, kemampuan yang lebih tinggi, vga nya lebih tinggi. Nah..jadi sekitar sebelum membeli saya sudah yakin, kalau memang ini sudah pas. Tapi setelah dibayar keluar dari toko, timbul rasa perasaan salah beli saya ini. Mengapalah dibeli yang ini

ya. Yang 12 pun sudah bagus ya.” (W3.R1/b.51-63/h.29)

Timbulnya postpurchase dissonance yang dirasakan responden adalah hasil dari analisis harga yang timbul setelah pembelian produk laptop Toshiba.. Pada pembelian produk Laptop Toshiba seharga 16 juta, terdapat beberapa analisis harga yang muncul. Analisis harga yang pertama adalah perbedaan sejumlah uang yang direncanakan untuk membeli dengan jumlah uang yang akhirnya digunakan untuk membeli produk/overbudget. Hal ini, menurut penuturan responden, sangat berpengaruh signifikan dalam membentuk keraguan yang dialaminya setelah pembelian.

“Tidak, sesudah membeli kan ragu. Kenapalah kubeli ini, kenapa ngga yang tadi aja, harganya lebih murah lagi. Jadi berarti kan penambahan harga 4 juta

terlalu signifikan saya rasa.” (W2.R1/b.378-384/h.19)

“Ngga, Cuma kemahalan jadinya. Kenapa lah kubeli jadi lebih mahal 4 juta,


(42)

Besarnya perbedaan jumlah uang yang dibayar membuat responden merasa usaha pencarian informasi yang selama ini dilakukan menjadi sia-sia.

“Yah saya rasa sia-sia aja toh tadi yang 12 ini saya sudah pelajari. Udah cukupnya tadi ngapainlah ambil yang mahal ini orang saya udah pelajari sebelumnya bahwa itu udah sesuai dengan kebutuhan dan kinerja nya sudah

dipelari dan canggihnya tapi kan gitu.” (W2.R1/b.497-504/h.22)

“Nah setelah membeli timbul aja dia perasaan itu, kenapa ngga barang yang sudah saya cari, inilah yang terbaik inilah kebutuhan saya. Kenapalah saya

ambil yang satu ini, lebih mahal lagi.” (W2.R1/b.519-524/h.22)

“Karena kalau saya pikirkan kalau tadi misalnya saya beli sesuai dengan saya rencanakan, sudah memenuhi sebenarnya. Ngapain saya harus buang-buang lagi biaya itu seperti perasaan mubazir. Karena sebelumnya sudah memenuhi tapi saya ambil yang lebih tinggi karena ada faktor penjual. Jadinya saya ambil sehingga ada perasaan penyesalan soal harga tadi. Karena toh sebelumnya yang direncanakan sudah cukup ngapain lah dibuang lagi uang lebihnya itu. Padahal belum tentu mutunya..kan ada keraguan seperti itu.tapi toh sudah terjadi pembelian.. mau apalagi hahaha. Jadi yang ada penyesalan..salah beli, tapi akhirnya begitu tadi setelah saya pakai hilang

sendirinya perasaan itu tadi.” (W4.R1/b.335-341/h.46)

“Yah besarlah karena yang 12 itu pun sudah besar pada waktu itu sudah mahal sekali, tambah lagi empat kan sudah harga itu sudah besar bagi saya. Untuk

harga laptop sudah mahal itu.” (W4.R1/b.375-380/h.47)

Tingginya harga yang dibayar juga membuat responden merasa telah membayar melebihi dari kemampuan produk yang sudah dibayar (overpriced). Walaupun sebelum membayar, responden telah diberitahu oleh penjual kelebihan-kelebihan produk dibanding produk awal yang sudah direncanakan, setelah pembelian responden tetap merasa perbedaan harga tersebut tidak diimbangi kualitas produk yang sudah dibeli.

“Yah, waktu itu ada produk baru Toshiba ini, yang kinerja lebih bagus. Jadi sebenarnya hampir sama ini, tapi ini ada kecepatannya yang lebih


(43)

tinggi,waktu itu masalah memori lebih besar, vga nya lebih besar itu yang membuat saya berpikir ini berarti lebih bagus ya ya padahal yang sebelumnya saya udah cukupnya sebenarnya kebutuhan yang Toshiba yang dibawahnya itu.” (W2.R1/b.273-384/h.16)

“Ada perasaan seperti itu. Walaupun tokonya saya yakin harganya ini ga mungkin salah karena toko ini saya sangat tahu, toko yang saya masukin ini sudah saya kenal jadi harga produknya wajar. Jadi tetap saja saya memikirkan

apakah tidak terlalu mahal setelah pembelian.” (W4.R1/b.200-209/h.41) Munculnya perasaan overpriced pada responden karena disebabkan oleh beberapa alasan. Alasan yang pertama adalah responden menilai, besarnya jumlah uang yang dikeluarkan tidak sepadan dengan kualitas yang didapat dari produk tersebut. Kualitas yang dimaksud oleh responden dilihat dari fasilitas-fasilitas produk, seperti kinerja dan kemampuan.

“Kalau harga ini maksudnya, mungkin artinya ga sepadan saya rasa harganya ini dengan yang saya ambil ini.” (W2/R1/b.204-207/h.15)

Hal ini disebabkan oleh kualitas produk dirasa responden (perceived quality) tidak seimbang dengan pengorbanan yang dikeluarkan dalam bentuk uang. Sehingga menyebabkan perasaan salah mengambil keputusan pada saat pembelian.

“Itu makanya saya bilang tadi, mungkin ga berdiri sendiri uang itu, terkait

dengan kinerja itu. Karena saya pikir toh, sikitnya bedanya mungkin ini. Ngapainlah saya ganti, padaha udah saya pilih yang itu.” (W2.R1/b.378 -384h.19)

Alasan selanjutnya adalah adanya pengalaman responden dengan pembelian produk yang melibatkan pembelian produk dengan harga yang tinggi. Responden pernah melakukan pembelian produk laptop dimana setelah di kemudian hari,


(44)

responden mengetahui dari temannya bahwa barang tersebut dapat dibeli dengan harga yang jauh lebih murah. Hal ini menyebabkan rasa trauma responden terhadap harga produk. Pengalaman tentang harga ini berpengaruh secara signifikan pada responden dalam membentuk keraguan yang dirasakan responden setelah pembelian.

“Setelah saya menggunakan, tanya sama kawan, dia beli ngga segitu.

Mungkin itu menjadi semacam trauma dalam hati. Tapi itu kejadiannya setelah uda dipakai, berhari-hari ketemu sama kawan, berapa belinya.kok gitu, dimana belinya..nah ternyata tokonya itu barang mahal. Menyesal kemudian

lah.” (W2/R1/b.428-437/h.20)

“Mungkin saya rasa ada pengaruh pengalaman masa lalu itu. Jadi pernah ada

rasa salah beli, terlalu mahal yang saya beli itu.” (W4.R1/b.211-215/h.43)

“Ada itu ya membentuk sekali keraguan karena takut salah. Seperti

pengalaman sebelumnya dan itu membekas dalam hati saya.” ( W4.R1/b.135-139/h.41)

Kedua alasan ini menjadi latar belakang mengapa responden merasakan pembelian yang overpriced pada pembelian produk laptop tersebut. Analisis harga selanjutnya yang muncul pada diri responden adalah adanya resiko yang dirasakan atas pembelian produk/perceived risk. Besarnya jumlah uang yang dibayarkan ditambah minimnya informasi yang dipunyai responden terhadap produk yang dibeli membuat responden merasakan resiko-resiko atas keputusan pembelian, dimana kemudian resiko-resiko ini menyebabkan tergganggunya aspek emosional responden setelah pembelian.

“Rasanya seperti, saya merasa kok, bagaimana ini nanti kalo ga sesuai dengan yang saya harapkan.” (W1.R1/b.72-77/h.2)


(45)

“Ya karena itu tadi, mungkin disitu perasaan saya itukan belum saya tau pasti, padahal yang 12 tadi sudah saya pelajari, kawan-kawan pun bilang bagus, saya takut nanti ga sesuai dengan harapan. Mungkin nanti ga sesuai, rugi

nanti.” (W3.R1/b.173-179/h.32)

”Harga…Yah mungkin ada, tapi sebenarnya ga pasti saya itu. Cuma saya

merasa mengapa yang ini saya ambil. Karena saya dirumah saya sudah ada persiapan, udah tau yang 12 ini pun uda mantap saya rasa. Cuma setelah diambil 16 itu mengapalah ini diambil ya padahal yang dari rumah uda mantap, kalau yang ini belum jelas, tapi itulah perasaan semacam itu, ada

perasaan kecewa..salah beli lah istilahnya.” (W3.R1/b.33-41/h.29)

Terdapat dua jenis resiko yang dirasakan responden pasca pembelian produk laptop Toshiba tersebut. Resiko pertama menurut responden adalah situasi ketika produk yang sudah dibeli tidak mampu memenuhi harapan responden dari segi kemampuan dan ketahanan. Minimnya informasi yang dipunyai responden dibanding informasi produk laptop sebelumnya (yang direncanakan) membuat responden meragukan kemampuan produk tersebut.

“Kalau ngga mengapa menyesal pasti ada penyebabnya kan? Kan ga mungkin menyesal itu ga ada dasarnya. Pasti ada. Ada ekspektasi kita lebih tapi kita

menyesal takut sesuai ga harapan. Padahal dirumah sudah dipersiapkan.”

(W4.R1/b.120-136/h.31)

“Iya, perubahan itu, sebenarnya yang saya sesali, kenapa lah saya rubah ini, di rumah udah matang saya pikirkan, kenapa tiba dipengaruhi mau padahal ini belum tentu. Sampai di rumah, ternyata mantap setelah dipakai. Habis dibeli

itu aja masalahnya.” (W3.R1/b.262-266/h.34)

“Yah itu mungkin juga karena keputusan diambil dalam waktu yang singkat. Bukan seperti yang kita rencanakan sebelumnya. Jadi takut tidak sesuai,

karena lari dari rencana sebelumnya.” (W4.R1/b.111-117/h.41)

Resiko selanjutnya yang dirasakan responden adalah kerugian finansial yang dirasakan responden setelah melakukan pembayaran. Hal ini dilatarbelakangi oleh besarnya jumlah uang dibayar responden untuk produk yang belum


(46)

diketahui informasinya secara menyeluruh membuat responden merasakan semacam kerugian atas pembelian produk tersebut.

“Iya, cemana lah lebih tinggi pula, padahal udah saya pelajari, belum tentu

nanti dia hang atau pun gini. Bodohnya aku ini, hanya sekejap bisa berubah, jadi menyesali diri kan. Kalau kasus yang satu lagi sama juga kan, jadi

kesimpulannya selalu salah beli.” (W3.R1/b.341-343/h.36)

”Yah pasti itu muncul selalu dalam pemikiran saya, kenapa..karena yang saya beli inikan diluar dari budget saya. Yang saya rencakan..jadi saya merasa

rugilah karena yang saya rencanakan bukan seperti ini.” (W4.R1/b.121 -128/h.41)

Resiko-resiko yang dirasakan responden menjadi pemicu terganggunya aspek emosional responden seperti merasa diri sendiri adalah seorang yang bodoh, munculnya rasa menyesal setelah pembelian, perasaan tidak nyaman setelah keluar dari toko, serta perasaan bersalah dalam diri. Dimana aspek-aspek emosional tersebut merupakan salah satu dimensi postpurchase dissonance.

A.4. Gambaran umum pembelian produk

Responden I adalah seorang pria berdarah Batak Karo bertubuh kurus, berkulit coklat, mempunyai tinggi badan sekitar 170 cm dan menggunakan kacamata berwarna kuning keemasan dalam kesehariannya. Responden I sudah berkeluarga dan sekarang bekerja sebagai seorang arsitek di perusahaan swasta dan menjadi dosen di salah satu universitas swasta di kota Medan.

Responden I biasanya melakukan pembelian produk elektronik seperti laptop, handphone dan kamera karena tuntutan pekerjaan disertai hobby/kegemarannya


(47)

dalam bidang elektronik. Dalam bekerja sehari-hari bahkan tidak jarang membawa lebih dari dua buah handphone untuk membantu dalam hal berkomunikasi. Khusus pada produk kamera, Responden I bahkan mempunyai koleksi tersendiri akan produk yang satu ini, hobi mengoleksi kamera sudah dimulainya sejak usianya masih muda. Pembelian produk elektronik, diakui responden I, jauh menyita perhatiannya dibanding pembelian produk lain seperti pakaian, aksesoris atau parfum.

Pola pembelian produk elektronik pada responden I selalu dimulai dengan adanya kebutuhan yang dirasakan. Dalam bidang pekerjaan misalnya, membutuhkan grafis pada laptop untuk mempermudah pekerjaan di lapangan. Sehingga, tawaran potongan harga terhadap produk-produk elektronik tidak terlalu mempengaruhi dalam pembelian karena berangkat dari kebutuhan yang dirasakan sebelumnya. Selain itu, dalam melihat harga, responden I mempunyai batasan harga tersendiri untuk setiap produk elektronik. Untuk produk laptop, jika harganya sudah berada diatas kisaran harga 6 juta (7, 8, 9, dst) maka responden I mengatakan produk itu sudah berharga mahal. Lain halnya dengan produk kamera, jika berharga 10 juta keatas, maka harga kamera itu sudah dirasa mahal oleh responden I.

Setelah adanya kebutuhan tadi, Responden I biasanya melakukan pencarian informasi mengenai produk yang dibutuhkannya melalui media cetak seperti majalah, koran atau media internet. Tidak jarang, Responden I juga mencari


(48)

informasi melalui pendapat rekan sekerja atau orang-orang yang mempunyai pengalaman memakai produk yang sedang dicari. Setelah mendapatkan range harga produk tersebut, disinilah faktor harga berperan penting. Apabila range harga masih sesuai dengan budget plan yang disiapkan oleh Responden I maka, tidak butuh waktu yang lama, Responden akan segera ke toko untuk membelinya. Namun, apabila masih belum sesuai biasanya Responden I menunggu sampai

budgetnya mencukupi. Menurut Responden I tahap-tahap sebelum pembelian ini

sering memakan waktu yang lama hingga berminggu-minggu, lamanya pencarian informasi tergantung juga pada besarnya harga produk yang akan dibeli.

Secara umum, Responden I jarang ditemani ketika hendak membeli suatu produk (khususnya elektronik), baik dari anggota keluarga maupun rekan sekerja. Menurut Responden I keberadaan orang yang menemani tidak mempunyai pengaruh yang besar dalam keputusan pembelia, selain hanya bersifat menemani tetapi juga rencana pembelian yang sudah direncanakan Responden I sebelumnya dirasa sudah bulat dan tidak mungkin dipengaruhi lagi.

Rencana pembelian yang sudah disiapkan Responden I selama berhari-hari, diakui Responden I, sering kali berubah ketika sudah berada di tempat atau toko yang menjual produk tersebut. Hal ini dikarenakan ketika berada di toko banyaknya informasi baru, baik dari yang dilihat sendiri ditambah bujukan dari penjual, mengenai kelebihan produk lain yang tidak dimiliki oleh pilihan produk Responden I sebelumnya. Sehingga akhirnya Responden I membeli produk yang


(49)

berbeda dari produk yang direncanakan dari segi harga maupun fitur-fitur produk. Pembelian seperti ini membuat Responden I merasakan keraguan setelah pembelian. Contohnya pada pembelian kamera yang dilakukan pada bulan Desember 2013, sebelum ke toko rencana pembelian adalah produk kamera

pocket dengan budget harga 4 juta, namun ketika sampai di toko, produk yang

dibeli adalah produk kamera SLR dengan harga 8 juta. Perubahan keputusan pembelian oleh Responden I dipengaruhi oleh tawaran penjual dengan cara menawarkan produk yang lebih mahal dengan alasan kemampuan produknya yang lebih tinggi.

Pada umumnya pembelian produk elektronik mengakibatkan keraguan pada Responden I setelah pembelian, hal ini tidak dirasakan Responden I ketika membeli produk lain seperti pakaian ataupun parfum. Hal ini dikarenakan menurut Responden I, pembelian produk diluar elektronik tidak terlalu membutuhkan usaha dan waktu jika dibanding dengan produk elektronik.

Hal ini terjadi pada pembelian produk yang menjadi kasus yang diangkat oleh peneliti. Pada awalnya Responden I hendak berencana membeli produk laptop Toshiba yang harganya berkisar 12 juta. Proses pencarian informasi pun diakui Responden I memakan waktu yang cukup lama, sekitar satu minggu, dikarenakan adanya tahap evaluasi terhadap produk-produk sejenis dengan merk yang berbeda yang menjadi pertimbangan dan ditambah informasi/pengalaman dari teman seprofesi. Ketika sudah sampai di toko elektronik, Responden I ternyata melihat


(50)

produk laptop Toshiba yang lain dengan harga yang lebih tinggi, yaitu 16 juta. Kemudian Responden I diberikan informasi mengenai laptop tersebut oleh agen penjualnya. Tambahan informasi dari penjual serta bujukan berupa kelebihan-kelebihan yang ditawarkan produk tersebut dibandingkan produk awal yang hendak dibeli membuat Responden I dengan mudahnya mengubah rencana pembelian. Akhirnya, Responden I membeli produk laptop Toshiba yang harganya 16 juta tersebut.

“Setelah ke toko, ya itu tadi ada memang waktu itu Toshiba yang lebih tinggi, jadi yang lebih tinggi itu, saya pikir pun bagus juga, karena dia lebih tinggi sedikit kinerjanya daripada yang saya pilih itu yang saya pilih itu pun saya anggap udah hebat kan. Ternyata setelah di toko ada yang lebih hebat. Saya

ambil itu.” (W2.R1/b.182-190/h.14)

“Ya itu tadi saya bilang dipengaruhi itu. Kan jelas saya berubah karena ada pengaruh di toko itu. Ada pengaruh dari penjualnya ada juga pengaruh dari barang-barang yang muncul disitu…. Ga ada saya bandingkan itu tapi ketika saya liat di toko itu. Wah ini termasuk bagus ya,mantap nampaknya nah..disitu saya dipengaruhi. Jadi bukan oleh penjualnya, kalo laptop itu penjual itu yang mempengaruhi saya.” (W2.R1/b.216-230/h.16)

Timbulnya keraguan-keraguan setelah pembelian yang dirasakan Responden I, biasanya akan berangsur-angsur hilang seiring kepuasan yang dirasakan setelah pemakaian produk. Pada produk laptop secara khusus, hampir tidak pernah ada Responden I mengalami penyesalan setelah pemakaian produk tersebut dikarenakan produk tersebut dirasa sudah memenuhi kebutuhan Responden I. Kasus ini berbeda pada produk elektronik lainnya, khususnya pada produk kamera. Terkadang setelah memakai, Responden I merasa menyesal setelah membeli karena menganggap pembeliannya merupakan suatu pembelian yang


(51)

mubazir dan hanya membuang-buang uang. Kemampuan produk yang sudah dibeli dirasa tidak terlalu jauh dengan produk yang sudah ada sebelumnya atau pengoperasian produk dianggap terlalu rumit, dimana hal ini mengakibatkan Responden I tidak menggunakan kamera tersebut dan langsung menyimpannya (discontinued use). Untuk produk handphone, jika terjadi penyesalan setelah pemakaian produk, biasanya Responden I memberikannya kepada saudara atau menjual kembali produk tersebut.


(52)

Tabel 3. Dinamika postpurchase dissonance dengan harga sebagai faktor pemicu pada responden I

No. DIMENSI GAMBARAN

1. Emotional -Adanya perasaan keraguan diikuti oleh perasaan tidak nyaman setelah pembelian

-Perasaan menyesal yang muncul akibat keputusan pembelian -Perasaan kecewa terhadap diri sendiri terhadap pembelian -Perasaan tidak nyaman terhadap diri sendiri diikuti oleh menganggap diri sendiri adalah seseorang yang bodoh

Faktor harga penting sebelum pembelian sebagai hubungannya dengan kesesuaian dengan budget yang tersedia.

-Setelah pembelian, dengan dirubahnya produk yang akan dibeli muncul resiko yang dirasakan responden akibat tingginya harga yang dibayar responden.

2. Wisdom of Purchase

-Mempertanyakan seputar keputusan pembelian produk

-Pada produk elektronik selain laptop, mempertanyakan hubungannya dengan tingkat kebutuhan yang dirasakan

-Faktor harga jarang menjadi pemicu keraguan karena pembelian dipengaruhi juga oleh faktor kegemaran responden terhadap produk elektronik. Sehingga pembelian produk dirasakan sebagai pembelian yang mubazir/sia-sia.

3. Concern Over Deal

-Jarang ditemani (dalam pembelian) oleh anggota keluarga, teman seprofesi atau orang yang mengetahui produk yang akan dibeli.

-Pengaruh/pendapat orang yang menemani dianggap tidak signifikan terhadap keputusan pembelian.

-Perencanaan pembelian dianggap sudah matang sebelum sampai ke toko

-Informasi produk yang diberikan oleh agen penjual merubah rencana yang sudah dibuat, termasuk perbedaan jumlah uang yang dibayar.

-Penambahan sejumlah uang dirasa signifikan dan perasaan tidak sesuainya antara harga yang dibayar dengan kualitas yang didapat.


(53)

Skema 4. Dinamika Harga sebagai pemicu Postpurchase Dissonance pada responden I

Over Budget

Analisis Harga

Perceived Risk

Wisdom of Purchase

Performance Risk

Pengalaman dengan harga yang tinggi

Value consciousness

Overpriced

Pengeluaran tambahan sebesar empat juta terasa signifikan bagi responden

Financial Risk

Emotional Concern over Deal

Harga yang tinggi pada suatu barang juga tergantung dimana

barang itu dijual Tingginya harga produk

tidak sebanding dengan kualitas yang didapat

Dirasakannya kerugian secara

finansial Performa produk

tidak sesuai dengan yang diharapkan

Faktor situasional dan agen penjual Melakukan

pembelian yang salah Merasa diri bodoh


(54)

B. Deskripsi Data II

B.1. Identitas Responden II

I. Deskripsi data Responden II

Tabel 4. Deskripsi data responden II

1. Nama Responden II

2. Usia 23 tahun

3. Suku Batak Toba

4. Agama Kristen Protestan

5. Pendidikan terakhir S-1

6. Pekerjaan Mahasiswa

7. Pendapatan 1,5 juta/bulan

8. Hobby Memelihara hewan dan bermain musik

B.2. Rangkuman Hasil Observasi.

Untuk memahami lebih jelas mengenai keadaan tempat dilakukannya wawancara, peneliti akan menggambarkan terlebih dahulu bagaimana kondisi di sekeliling lingkungan tempat wawancara.

B.2.1. Observasi Lingkungan Taman Kampus Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Lokasi tempat dilakukan wawancara dengan responden II terletak di salah satu areal taman kampus Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Taman ini terletak di antara gedung kedua dan ketiga Fakultas Psikologi dan bersebarangan


(55)

dengan jalan keluar dari gedung Fakultas Kedokeran yang terletak di samping gedung Fakultas Psikologi.

Untuk mencapai taman ini peneliti melewati bagian depan gedung kedua fakultas, menyusuri lorong yang menuju ke belakang gedung. Setelah itu, menuruni dua anak tangga dan taman tersebut terletak di sebelah kanan jalan menuju gedung ketiga. Antara taman dan gedung kedua dan ketiga berbatasan dengan sebuah parit kecil.

Taman kampus ini terlihat sangat rindang karena dipenuhi oleh berbagai tanaman serta pohon yang tingginya berkisar 2-2,5 meter. Taman yang penuh dengan rerumputan ini diberikan jalan setapak berwarna putih yang terbuat dari semen. Selain adanya jalan setapak ini, di sekeliling taman ini dibuat semacam tempat diskusi mahasiswa yang dibangun menggunakan semen sehingga membentuk kursi dan meja. Antara tempat diskusi satu dengan yang lainnya terdapat semacam pot berukuran besar yang ditanami pohon dan tumbuhan. Beberapa dari tempat ini mempunyai atap sederhana serta satu pasang kursi tanpa dilengkapi sebuah meja, namun setiap tempat yang diperuntukkan untuk mahasiswa ini dilengkapi dengan sebuah tempat sampah.

Di samping kanan taman ini terdapat sebuah mesjid yang digunakan mahasiswa dan mahasiswa muslim Fakultas Psikologi untuk beribadah. Letak taman


(56)

yang berada di tengah antara gedung kedua dan ketiga, membuat segala kegiatan yang berada di taman ini dapat dilihat di lantai dua di kedua gedung tersebut.

B.2.2. Observasi Tempat Wawancara

Wawancara dilakukan di salah satu tempat diskusi yang terdapat di taman kampus Fakultas Psikologi. Tempat wawancara mempunyai luas sekitar 2 x 2 meter, beralaskan semen berwarna putih dan mempunyai dua kursi putih panjang yang saling berhadapan. Di tempat ini tidak mempunyai meja yang berada di antara ke dua kursi ini dan mempunyai atap yang berwarna biru.

Tempat dilakukannya wawancara mempunyai suasana yang teduh karena di samping kiri dan kanan terdapat pohon dan tanaman yang cabangnya menjulang menutupi lokasi wawancara. Di samping salah satu kursi tersebut, terdapat sebuah tempat sampah kecil berbentuk seperti tong dan berwarna merah. Di samping kiri tempat wawancara, terdapat jalan setapak untuk menyusuri taman kampus tersebut.

B.2.3. Observasi Wawancara

1. Wawancara I

Responden II adalah seorang pria yang memiliki tinggi 168 cm dan berkulit putih. Responden memiliki rambut keriting yang panjang untuk ukuran seorang laki-laki. Responden adalah salah satu mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Pertemuan pertama mengenai wawancara penelitian ini bermula


(57)

dari pertanyaan peneliti tentang pengalaman responden dalam membeli barang. Setelah mengetahui bahwa kriteria yang dicari cocok dengan criteria Responden II, peneliti menanyakan kesediaan untuk melakukan wawancara mengenai pengalaman membeli Responden II. Dari pembicaraan singkat itu, peneliti mendapat jadwal wawancara lengkap dengan waktu bertemu.

Waktu wawancara dijadwalkan petang, mengingat kegiatan perkuliahan sudah selesai, sehingga tempat wawancara dapat dilakukan di taman kampus Fakultas Psikologi. Pada wawancara I ini, peneliti terlebih dahulu sampai di tempat sampai akhirnya 10 menit kemudian Responden II mengirim pesan singkat menanyakan posisi peneliti dan memberi tahu bahwa dia sudah berada di parkiran sepeda motor kampus. Peneliti pun membalas kalau peneliti sudah sampai dan sekitar 15 menit kemudian Responden II sampai di tempat wawancara.

Pada pertemuan awal tersebut, Responden memakai baju kaos kerah berwarna merah cerah dengan celana panjang dan memakai sandal. Kemudian Responden datang dan duduk berhadapan dengan peneliti. Setelah saling menanyakan kabar, peneliti menjelaskan terlebih dahulu maksud dan tujuan wawancara, serta latar belakang penelitan yang sedang teliti. Kemudian peneliti menanyakan apakah ada pengalaman yang pernah dirasakan responden sesuai dengan kriteria yang dicari peneliti. Responden mengangguk namun dia mengatakan pengalaman tersebut sudah lama terjadi dan bertanya apakah itu tetap dapat dimasukkan ke kasus yang dicari peneliti. Peneliti balik bertanya apakah garis besar pembelian itu tetap


(1)

A.1. Pengertian Postpurchase Dissonance ... 12

A.2. Indikator Pengukuran Postpurchase Dissonance ... 15

A.3. Faktor-faktor Postpurchase Dissonance ... 17

B. Harga ... 19

B.1. Konsep dan Pengertian Harga ... 19

B.2. Faktor Dalam Menetapkan Harga ... 20

B.3. Persepsi Harga ... 23

B.4. Konsep Yang Berhubungan Dengan Persepsi Harga ... 25

C. Perilaku Konsumen Pria ... 28

D. Dinamika Postpurchase DissonancePada Konsumen Pria dengan Faktor Harga sebagai pemicu ... 32

BAB III METODE PENELITIAN ... 36

A. Pendekatan Kualitatif ... 36

B. Responden Penelitian ... 37

C. Metode Pengumpulan Data ... 39

D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 40


(2)

F. Metode Analisis Data ... 45

BAB IV HASIL ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 47

A. Deskripsi Data I... 48

A.1. Identitas Responden ... 48

A.2. Rangkuman Hasil Observasi ... 48

A.3. Rangkuman Hasil Wawancara ... 62

A.4. Gambaran umum pembelian produk ... 75

B. Deskripsi Data II ... 83

B.1. Identitas Responden... 83

B.2. Rangkuman Hasil Observasi ... 83

B.3. Rangkuman Hasil Wawancara ... 91

B.4. Gambaran umum pembelian produk ... 94

C. Pembahasan ... 102

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 110

A. Kesimpulan ... 110

B. Saran ... 113


(3)

1. Saran Teoritis ... 113

2. Saran Praktis ... 113

DAFTAR PUSTAKA ... 115


(4)

DAFTAR SKEMA

Halaman

Skema 1 Paradigma berpikir ... 11

Skema 2 Alur Postpurchase Dissonance dalam pembelian ... 14

Skema 3 Kerangka teoritis ... 35

Skema4 Dinamika Postpurchase Dissonancepada responden I dengan faktor Harga sebagai pemicu ... 82

Skema 5 Dinamika PostpurchaseDissonancepada responden II dengan faktor Harga sebagai pemicu ... 101


(5)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel1 Jadwal pelaksanaan wawancara ... 43

Tabel 2 Deskripsi data responden I ... 48

Tabel 3Dinamika Postpurchase Dissonancepada responden I dengan faktor Harga sebagai pemicu ... 81

Tabel 4 Deskripsi data responden II... 83

Tabel 5 Dinamika Postpurchase Dissonancepada responden I dengan faktor Harga sebagai pemicu ... 100


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil Rekonstruksi Data Responden I

Lampiran 2 Hasil Rekonstruksi Data Responden II

Lampiran 2 Informed Consent

Lampiran 3 Pedoman wawancara