Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Bali dalam Ritual Subak D 902009009 BAB IV

Bab Empat

Subak Wongaya Betan
di Kawasan Catur Angga

Pengantar
Di tengah tantangan untuk mewujudkan ketahanan pangan di
tingkat nasional yang semakin besar, ternyata organisasi subak di Bali
termasuk di Desa Mengesta, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan
memiliki keyakinan bahwa ketahanan pangan akan tetap mampu dicapai dan dipertahankan melalui eksistensi subak. Keyakinan tersebut
sangat besar karena di Bali pada kenyataannya organisasi ini masih
tetap bisa eksis dalam jangka waktu hampir se abad lalu, 1 dan bertahan
sampai sekarang. Melalui kajian yang terus-menerus terhadap subak
baik terhadap aspek kekuatan dan kelemahan subak maka diharapkan
subak sebagai salah satu kearifan lokal dan kekayaan budaya Indonesia
mampu dilestarikan dan lebih diberdayakan dalam rangka mendukung
pencapaian ketahanan pangan dan ketahanan hayati (Sutawan, 2003
dan Windia, 2010).
Pelestarian subak tentu saja bukan hanya mempertahankan
nilai-nilai tradisional, tetapi sekaligus membina dan mengembangkan
unsur-unsur subak termasuk anggota subak untuk menyesuaikan

praktik-praktik yang selama ini dilakukan oleh subak agar sesuai
dengan kebutuhan dan kemajuan teknologi pada zaman globalisasi saat
ini. Berkaitan dengan usaha pelestarian subak sebagai salah satu
1

Subak dikenal mulai tahun 1900an (aband IX)

53

Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga

organisasi penyangga ketahanan pangan dan hayati di Kabupaten
Tabanan maka bab ini akan memuat tentang salah satu kawasan yang
saat ini sedang diusulkan menjadi kawasan budaya dunia yang diberikan oleh UNESCO yaitu Kawasan Catur Angga. Kawasan Catur
Angga berlokasi di Kawasan Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten
Tabanan, Provinsi Bali. Kawasan ini merupakan rangkaian areal
pertanian yang meliputi 15 subak yang terletak pada kawasan suci di
antara lima buah Pura besar di Kabupaten Tabanan. Di samping
dianggap sebagai kawasan suci, ternyata kawasan ini juga merupakan
kawasan sumber air bagi Kabupaten Tabanan. Subak Wongaya Betan

yang terletak di Desa Mengesta, Kecamatan Penebel, Kabupaten
Tabanan merupakan salah satu dari subak yang terletak di Kawasan
Catur Angga, dan subak ini akan menjadi daerah penelitian untuk
pengambilan data dari disertasi ini.
Subak di Bali menurut Windia (2010) memiliki empat elemen
dasar yaitu: (1) lahan pertanian (sawah); (2) sumber air; (3) anggota
subak dan (4) pura subak (Water Temple). Demikian juga halnya
dengan Subak Wongaya Betan yang terletak di Banjar Dinas Wongaya
Betan memiliki ke empat elemen subak tersebut. Pertama adalah Luas
lahan garapan, dimana Subak Wongaya Betan memiliki sekitar 76
hektar. Lahan ini hampir keseluruhannya merupakan areal persawahan setengah teknis. Rata-rata kepemilikan lahan anggotanya adalah
0,35 hektar – 0,80 hektar. Kedua adalah anggota subak yang pada
awalnya (tahun 1993) berjumlah 106 petani, akan tetapi 10 dari
anggotanya tersebut mengalih profesi ke bidang di luar pertanian
sehingga saat ini anggota Subak Wongaya Betan adalah 96 orang.
Anggota yang berjumlah 96 orang ini adalah kepala keluarga (laki-laki)
yang memiliki lahan sawah di wilayah Subak Wongaya Betan biasanya
disebut krama lanang, sedangkan istri dari anggota subak otomatis juga
menjadi bagian dari anggota subak dan disebut krama istri. Pada
kegiatan-kegiatan tertentu (seperti dalam persiapan sesajen dan pelaksanaan ritual) maka krama istri akan ikut terlibat aktif. Elemen ketiga

adalah sumber air. Subak Wongaya Betan memiliki sumber air yang
berasal dari DAS (Daerah Aliran Sungai) Yeh Ho. Yeh Ho (sungai Ho)
merupakan sumber utama bagi ribuan hektar sawah di Kota Tabanan.
54

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Oleh karena lokasi Subak Wongaya Betan berada di bagian hulu (up
stream) dari ekosistem subak di Kabupaten Tabanan, maka kelestarian
sumber air di Subak ini akan sangat berperan penting dalam pelestarian
pertanian di bagian hilir ekosistem subak di Kabupaten Tabanan.
Elemen yang keempat adalah Pura Subak (Water Temple), dimana
Subak Wongaya Betan memiliki pura untuk pemujaan Ida Sang Hyang
Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Adapun Pura yang dimiliki oleh
Subak Wongaya Betan adalah Pura Ulun Suwi yang terletak di bagian
hulu areal subak (bagian munduk Juukan), Pura Bedugul yang terletak
di bagian tengah areal subak (bagian munduk desa), dan Pura
Penaringan yang terletak di bagian hilir areal Subak Wongaya Betan.
Pada masing-masing pura ini anggota subak memiliki kewajiban untuk
melaksanakan ritual untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan

kehidupan bagi anggota subak serta mohon keberhasilan pertanaman
mereka di lahan masing-masing.
Lansing (1987) melakukan kajian tentang keterkaitan antara
pura subak dengan sistem pengorganisasian air pada beberapa subak di
Bali. Dari hasil penelitiannya Lansing menemukan bahwa sistem irigasi
di Bali selain diorganisir oleh pemerintah dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum (PU) ternyata juga diatur oleh keberadaan Pura Subak
(water temple). Mencermati beberapa bahasan sebelumnya maka bab
ini akan memuat tentang Kawasan Catur Angga dan Subak Wongaya
Betan (SWB), dimana kawasan ini merupakan suatu kawasan di
Kabupaten Tabanan yang memiliki posisi yang sangat penting bagi
keberhasilan ketahanan pangan dan kelestarian lingkungan di wilayah
ini dan juga Bali pada umumnya.

Perkembangan Subak
Terasa tidak lengkap berbicara tentang subak apabila tidak
mengetahui mengenai perubahan-perubahan yang dialami subak sejak
diduga berdiri pada abad IX. Untuk melengkapi perkem-bangan subak
maka pada pembahasan ini akan memuat perkembangan subak pada
masa Kerajaan, masa Kolonial, masa Orde Lama, masa Orde Baru dan
masa Reformasi. Karena penulis kesulitan untuk menemui orang-orang

yang langsung mengalami perkembangan pada beberapa masa tersebut,
55

Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga

maka pemaparan akan bersumber dari data sekunder 2 yang menjadi
acuan dalam pemaparan perkembangan subak pada bagian ini.
Pemaparan tentang perkembangan subak pada bagian ini memuat perkembangan subak dari masa ke masa secara umum (general),
sehingga tidak membahas perkembangan elemen-elemen subak secara
khusus.

Subak Pada Masa Kerajaan-Kerajaan
Tidak banyak yang tahu kapan sesungguhnya subak awalnya
terbentuk. Akan tetapi berdasarkan beberapa prasasti (di antaranya
Prasasti Pandak Bandung) di ungkapkan subak mulai dikenal pada abad
IX. Pada masa itu subak hanya dikenal sebagai kumpulan masyarakat
petani yang memiliki aturan pembagian air secara tradisional terutama
pada lahan sawah. Tidak dijelaskan dengan pasti seberapa besar peran
penguasa (Raja) pada masa ini. Tetapi ada dugaan kalau Raja tidak
terlibat langsung dalam pembangunan sistem pembagian air. Rakyat

(masyarakat) membangun, memelihara dan mengelola secara mandiri
empelan (sumber air) dan terowongan dengan segala fasilitasnya. Jadi
peran Raja hanya pada pemberian izin dalam pembukaan hutan untuk
lahan persawahan dan pemanfaatan sungai sebagai sumber air. Peran
Raja dalam urusan pemberian ijin ini dikuasakan kepada pejabat istana
yang juga berfungsi sebagai bendahara kerajaan.
2 Adapun yang menjadi acuan dalam menggambarkan perkembangan subak di Bali
adalah beberapa pustaka sebagai berikut:
• Budiastra, P dan W. Suanda (1986). Museum Subak, Proyek Pengembangan Permuseuman Bali, Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
• Geriya, I. W. (1985). Pola Kehidupan Petani Subak Rejasa di Tabanan. Proyek
Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktorat Jenderal
Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta
• Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI, (2010). Nominasi untuk Warisan
Budaya Dunia UNESCO. Cultural Landscape of Bali Province
• Lansing, J.S. (1991). Priest and programmers, Princeton Univ.Press, Princeton, USA.
• Sirtha, N. (2008). Subak Konsep Pertanian Religius Perspektif Hukum. Budaya dan
Agama Hindu. Paramita Surabaya.
• Suadnya, I Gst. Made (1990). Mengenal Subak. Dinas Pekerjaan Umum Propinsi
Dati I Bali, Sub Dinas Pengairan

• Sutawan, I. N. (2008). Organisasi dan Manajemen Subak di Bali. PT BaliPost,
Denpasar

• Wardha, I W (1989). Subak Dari Sisi Perkumpulan. Analisis Hasil Penelitian Arkeologi.
Denpasar.

56

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Walaupun terbentuk secara tradisional, ternyata pada masa
kerajaan ini subak sudah memiliki kepengurusan yang bervariasi sesuai
dengan luas areal persawahan dan jumlah anggota yang terlibat. Secara
umum susunan pengurus subak terdiri dari Pekaseh (ketua subak);
Penyarikan (sekretaris); Kesinoman (juru arah). Pada zaman Kerajaan
Majapahit (tahun 1343 Masehi), Raja mengangkat seorang sedahan
yang bertugas mengkoordinasikan beberapa wilayah subak guna
melancarkan pemungutan pajak yang harus dibayar oleh warga subak.
Jadi sejak zaman kerajaan subak sudah diharuskan membayar pajak
kepada Raja sesuai dengan luasan lahan yang dimiliki melalui Sedahan.

Sistem perpajakan yang diberlakukan pada masa kerajaan ini adalah
suwinih. Yang menarik adalah suwinih yang dipungut oleh sedahan
seringkali tidak dimasukkan ke dalam kas kerajaan, akan tetapi kembali dimanfaatkan untuk pembiayaan pelaksanaan upacara (ritual) di
pura subak.

Subak Pada Masa Kolonial
Ketika Kolonial mulai berkuasa di Bali, maka sistem pembagian
air yang dilakukan secara tradisional oleh subak, mulai mendapat
perhatian dengan pembangunan beberapa dam (bendungan) dan sistem
pembagian airnya disebut irigasi. Diawali pada tahun 1914, pemerintah
Hindia-Belanda membangun dam di Pejeng (Kabupaten Gianyar),
kemudian dam Mambal (Kabupaten Badung), berikutnya dam Oongan
(Kota Denpasar) dan dam Apuan (Kabupaten Tabanan).
Hampir sejalan dengan arah kebijakan pada masa kerajaan di
mana subak dilihat prospektif sebagai penyetor pajak, maka pada masa
kolonial ini subak juga dilihat sebagai sebuah lembaga yang sangat
efektif untuk difungsikan sebagai pemungutan pajak pertanian
(landrente). Sehingga pada tahun 1925 pemerintah Hindia-Belanda
melakukan pengukuran ulang tanah-tanah sawah secara lebih pasti.
Gerakan pengukuran ulang ini pada masa itu dikenal dengan istilah

klasier. Dengan adanya klasier ini maka berdampak pada struktur
organisasi subak, yang pada masa kerajaan hanya dikoordinasikan oleh
sedahan, maka pada masa kolonial diangkat lagi sedahan agung yang
memiliki tugas mengkoordinasikan sedahan. Selain itu tugas seorang
sedahan agung adalah melakukan pengawasan empelan (dam) dan
saluran irigasi serta mengatur distribusi serta alokasi air irgasi.

57

Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga

Subak Pada Masa Orde Lama
Subak pada masa Orde Lama sepertinya tidak terlalu mengalami
perkembangan. Hal ini diduga karena pada masa itu pemerintah dan
masyarakat Indonesia masih disibukkan dengan urusan kemerdekaan
Indonesia. Sehingga pada masa ini hanya beberapa hal yang sempat
dilakukan pemerintah terhadap subak, yaitu mulai adanya bantuan
pemerintah kepada petani yang tergabung dalam subak. Bantuan
tersebut sebagian besar berupa sarana peningkatan atau perbaikan
empelan (sumber air) dan saluran primer. Tercatat pada masa pemerintahan Orde Lama diperkirakan baru 30.000 hektar sawah di Bali

yang mendapatkan air dari jaringan irigasi yang dikembangkan oleh
pemerintah. Sampai pada awal Repelita I jaringan irigasi baru bisa
mengairi 35.000 hektar sawah, dan sudah mulai dilakukan perbaikan
jaringan sekunder.
Pada masa ini fungsi sedahan agung tetap dipertahankan seperti
pada masa kolonial dan malahan sejak tahun 1955 sedahan agung
diangkat menjadi pegawai pemerintah (PNS). Jadi pada masa Orde
Lama sedahan agung memiliki otoritas dalam melaksanakan fungsinya
sebagai pembina subak.

Subak Pada Masa Orde Baru
Pada masa pemerintahan Orde Baru, subak mengalami perkembangan yang sangat pesat. Di samping karena pemerintah pada masa ini
sangat memperhatikan pertanian, juga karena adanya desakan akan
pemenuhan kebutuhan pangan bagi rakyat Indonesia. Maka sejak
tahun 1979 pemerintah mulai mencanangkan proyek-proyek peningkatan jaringan irigasi tersier bagi subak. Pada masa ini, keterlibatan
pemerintah dalam bidang irigasi menyebabkan pengambil alihan pula
pada tanggung jawab operasi dan pemeliharaan jaringan utama (mulai
dari bendungan, jaringan primer dan sekunder). Tanggung jawab subak
pada masa ini hanya pada operasi dan pemeliharaan saluran tersier.
Pada masa Orde Baru ini proyek-proyek peningkatan jaringan

irigasi yang dilakukan pemerintah terutama di Bali akhirnya menimbulkan dampak baik positif maupun negatif. Dampak positif tentu saja
dengan adanya perbaikan irigasi dari setengah permanen ke permanen
menyebabkan intensitas tanam semakin meningkat yang berpengaruh
signifikan terhadap peningkatan produksi per satuan luas. Apalagi
58

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

diikuti dengan adanya teknologi moderen (revolusi hijau) yang
memperkenalkan varietas padi unggul yang sangat responsif terhadap
pemupukan. Teknologi ini akhirnya memberikan pengaruh menyeluruh (multiflier effect) terhadap penggunaan pupuk anorganik, penggunaan obat-obatan kimia secara intensif untuk pemberantasan hama
dan penyakit tanaman (HPT). Dampak inilah yang nantinya sangat
mempengaruhi beberapa elemen subak seperti yang telah dijelaskan
pada bab lima.
Dampak lainnya yang sebelumnya tidak diantisipasi oleh
pemerintah adalah adanya konflik antar anggota subak maupun antar
subak yang berkaitan dengan pembagian air irigasi. Dimana konflik
seperti ini sebelumnya tidak pernah terjadi pada masa irigasi masih
dikelola secara mandiri oleh subak. Beberapa bukti empiris menunjukkan bahwa pendekatan pemerintah pada masa Orde Baru tidak
partisipatoris sehingga kebijakan yang diambil cenderung bersifat top
down. Akan tetapi karena ambisi pemerintah dengan program revolusi
hijaunya, maka subak pada masa ini seolah menjadi tim sukses pemerintah tanpa memperhatikan keberlanjutan aspek-aspek kelembagaan
yang selama ini sudah mengakar pada organisasi ini. Kalau boleh
digambarkan maka masa Orde Baru menjadikan subak sebagai suatu
sistem irigasi yang rawan konflik. Fungsi sedahan agung yang pada
masa Orde Lama memiliki otoritas dalam pembinaan subak yang
kemudian diperkuat melalui Perda Provinsi Bali No. 02/PD/DPRD/
1972, mulai tahun 1976 mengalami pengurangan peran dengan penggabungan lembaga ini ke dalam lembaga Dispenda (Dinas Pendapatan
Daerah). Apalagi ketika jabatan sebagai kepala sedahan agung mulai
dirangkap oleh kepala Dispenda, maka fungsi sedahan agung justru
lebih fokus kepada pemungutan pajak. Sehingga peran pembinaan
kepada subak lebih sering terabaikan.
Pada masa Orde Baru memang perhatian pemerintah sangat
intensif terhadap kemajuan subak, misalnya dengan melaksanakan
lomba subak tingkat kabupaten sampai provinsi secara regular tiap
tahun. Kemudian pada tahun 1988 Gubernur Bali meresmikan pusat
pendidikan dan latihan informasi dan dokumentasi subak yang disebut
Mandala Mantika Subak (sekarang lebih dikenal dengan Museum
Subak) yang terletak di Kabupaten Tabanan. Akan tetapi tetap harus
diakui bahwa belum banyak manfaat dan dampak yang dapat dilihat

59

Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga

terhadap kinerja dan kemajuan subak yang mendapat pembinaan dari
pemerintah.

Subak Pada Masa Reformasi
Komitmen Bupati Tabanan untuk mengembangkan dan menjaga
kelestarian subak dibuktikan dengan pembentukan tim pengembangan
objek wisata museum subak melalui Surat Keputusan Bupati No. 353
tahun 1988. Dan dengan adanya otonomi daerah maka Pemda Tabanan
mengambil alih pengelolaan museum subak, karena lokasi museum
memang berada pada wilayah Kabupaten Tabanan. Akan tetapi karena
masih adanya ketidakpastian instansi yang diberikan tanggung jawab
dalam pengelolaam museum tersebut maka sampai saat ini perkembangan museum masih jalan ditempat.
Hal yang sama juga dialami oleh lembaga sedahan agung yang
notabene memiliki fungsi untuk membina subak, secara lambat laun
dihapuskan sejak tahun 2004-2005. Sehingga subak sering merasa kebingungan pada saat mereka memerlukan konsultasi tentang masalahmasalah yang dialami oleh subak. Dari situasi ini maka banyak usulan
untuk mengaktifkan kembali lembaga sedahan agung, dan sebaiknya
kedudukannya dipisahkan dengan Dispenda. Fungsi sedahan agung
agar tidak dicampur-baurkan dengan pemungutan pajak, sehingga
sedahan agung dapat fokus pada pembinaan subak dan penyelesaian
masalah-masalah di subak.
Sejak tahun 2010 ketika ada wacana untuk menjadikan beberapa
wilayah di Bali sebagai kawasan budaya dunia (culture heritage), maka
kawasan Catur Angga Batukaru merupakan salah satu nominasinya.
Sejak saat itu maka subak di kawasan ini mendapat perhatian lebih
banyak apalagi dengan kesuksesan beberapa subak di kawasan ini
memperoleh sertifikasi organik pada produksi padi mereka.

Kawasan Catur Angga
Kawasan Jatiluwih terletak dilokasi Gunung Batukaru pada
hamparan di antara dua danau, yaitu Danau Tamblingan dan Danau
Buyan. Di samping itu kawasan ini juga terletak pada daerah penyangga kawasan suci yang terdiri dari beberapa pura yaitu Pura Luhur
Batukaru, Pura Petali, Pura Besi Kalung, Pura Muncak Sari, dan Pura
60

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Tamba Waras. Ke lima pura tersebut dipercaya menjadi penyangga
Kabupaten Tabanan yang dikenal dengan Kawasan Catur Angga
Batukaru. Kawasan ini merupakan area suci yang menjadi dasar
wilayah pertanian di sekitarnya untuk tetap menjunjung kesucian area
tersebut dengan menjaga kelestarian lingkungan dan melakukan ritual
secara berkelanjutan.
Masyarakat Tabanan khususnya dan Bali umumnya mempercayai bahwa kawasan ini merupakan kawasan hulu yang berfungsi
sebagai penyangga kawasan-kawasan di bawahnya dalam hal menjaga
kelestarian sumber daya air. Masyarakat di wilayah Kabupaten
Tabanan mempercayai bahwa Gunung Batukaru, Danau Tamblingan,
Danau Buyan dan kawasan Hulu Jatiluwih merupakan kawasan yang
harus dipertahankan kelestariannya, karena selain sebagai sumber air
bagi sebagian besar wilayah pertanian di Tabanan juga karena wilayah
ini memiliki pemandangan alam yang asri yang masih tetap mampu
dilestarikan oleh masyarakat sekitar. Pemandangan alam di kawasan
ini malahan sudah dikelola oleh masyarakat Jatiluwih sebagai objek
wisata ”pemandangan sawah bertingkat”, dan sampai saat ini merupakan salah satu daerah kunjungan wisata yang menarik di Kabupaten
Tabanan. Hal ini merupakan aset Pemerintah yang harus mendapat
perhatian dan pelestarian dari pemerintah maupun masyarakat sekitarnya. Kawasan Jatiluwih sebagai salah satu kawasan budaya dunia
“Subak landscape of Catur Angga Batukaru:” terdiri dari beberapa
Subak (Tabel 2).

61

Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga

Gambar 3
Gambar Pulau Bali
Sumber: http://www.google.co.id

Ke 15 subak tersebut pada Tabel 2 terletak di lereng Gunung
Batukaru dengan perbatasan
Timur
Selatan
Barat
Utara

: Sungai Yeh Ho
: Persawahan
: Sungai Ngigih
: Hutan Gunung Batukaru

Kawasan Catur Angga kalau dilihat bentangannya dari Utara ke
Selatan sebenarnya termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Penebel,
Kabupaten Tabanan dan Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng.

62

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Tabel 2

Subak yang termasuk ke dalam wilayah Catur Angga Batukaru
No

Nama Subak

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Desa
Subak Bedugul
Desa Gunung Sari
Subak Jatiluwih
Desa Jatiluwih
Subak Kedampal
Desa Kedampal
Subak Keloncing
Desa Kedampal
Subak Penatahan
Desa Penatahan
Subak Pesagi
Desa Pesagi
Subak Piak
Desa Piak
Subak Piling
Desa Piling
Subak Puakan
Desa Piling
Subak Rejasa
Desa Rejasa
Subak Sangketan
Desa Sangketan
Subak Soka
Desa Soka
Subak Tegallinggah
Desa Tegallinggah
Subak Tengkudak
Desa Tengkudak
Subak Wongaya Betan Desa Mengesta

Lokasi
Kecamatan/Kabupaten
Penebel /Tabanan
Penebel/Tabanan
Penebel/Tabanan
Penebel/Tabanan
Penebel/Tabanan
Penebel/Tabanan
Penebel/Tabanan
Penebel/Tabanan
Penebel/Tabanan
Penebel/Tabanan
Penebel/Tabanan
Penebel/Tabanan
Penebel/Tabanan
Penebel/Tabanan
Penebel/Tabanan

Kawasan
Budaya
Dunia

Gambar 4
Peta Lokasi Nominasi Kawasan Budaya Dunia
(Sumber: Cultural Landscape of Bali Province)

63

Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga

Subak
Wongaya
Betan

Gambar 5
Posisi ke Lima Pura yang Dikenal dengan Kawasan Catur Angga
Sumber: Cultural Landscape of Bali Province

64

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Subak
Wongaya
Betan

Gambar 6
Lokasi Subak Wongaya Betan (SWB)

(Sumber: Cultural Heritage of Bali Province)

65

Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga

Dari Gambar 4 dapat dilihat bentangan dari kawasan Catur
Angga Batukaru yang seolah-olah dikelilingi oleh lima pura yang
menjadi sungsungan seluruh masyarakat Hindu di Bali. Kelima pura
tersebut berjejer dari Utara ke Selatan di sisi Barat yaitu Pura Luhur

Pucak Petali, Pura Luhur Batu Karu, Pura Luhur Muncak Sari, dan
Pura Luhur Tamba Waras, dan Pura Luhur Besi Kalung di sisi Timur.
Sebelum adanya program pemerintah yang dikenal dengan
revolusi hijau pada tahu 1970-an, semua wilayah subak-subak ini
melaksanakan pertanian secara tradisional misalnya seperti menggunakan sapi untuk membajak, padi yang ditanam adalah padi lokal (padi
del) yang berumur 200 hari, pemupukan dilakukan dengan memanfaatkan limbah-limbah organik, panen masih menggunakan ani-ani,
demikian juga dengan pemberantasan hama dan penyakit masih
dilakukan dengan produk-produk organik seperti daun bawang, daun
nimba (intaran). Khusus untuk pemberantasan tikus dan belalang
masih dilakukan dengan cara-cara manual. Semua praktik-praktik
tradisional ini sempat ditinggalkan petani di kawasan ini karena
adanya anjuran penyeragaman teknologi yang pada saat itu diharapkan
untuk meningkatkan produksi pangan terutama beras di seluruh
Indonesia. Walaupun pada saat itu beberapa subak di kawasan ini
termasuk Subak Wongaya Betan tidak setuju dengan anjuran penggunaan pupuk anorganik dan varietas unggul, tetapi karena pendekatan pemerintah melalui pekaseh (pimpinan) subak, maka anggota
pun tidak bisa menolak program tersebut. Hal ini disebabkan karena
subak memiliki awig-awig yang sangat mengikat setiap anggotanya.
Era ini dikenal dengan era transformasi teknologi subak dari
tradisional menuju ke teknologi moderen. Mulai saat itu maka seluruh
subak di kawasan Catur Angga ini termasuk Subak Wongaya Betan
menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimia dalam kegiatan
pertaniannya. Musim tanam yang biasanya hanya 2 kali tanam, dengan
adanya benih varietas unggul maka dalam setahun petani menanam
sebanyak 3 kali. Pun penanaman satu kali padi lokal (umur 6 bulan)
dalam setiap musim tidak dilakukan lagi, karena petani cenderung
menanam padi unggul yang berumur 3-4 bulan. Petani di kawasan ini

66

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

juga akhirnya tidak mengenal masa bera 3 . Pertanian dengan teknologi
moderen ini yang dikenal juga dengan revolusi hijau akhirnya
demikian meluas, sehingga masyarakat petani tidak menyadari bahwa
praktiek pertanian moderen ini memiliki beberapa sisi negatif yang
merugikan petani maupun kelestarian lingkungan sekitarnya. Hal ini
disebabkan karena tanah seolah-olah dieksploitasi secara terus-menerus, sehingga secara teoritis hal ini akan menyebabkan kerusakan tanah
dan sumber daya alam lainnya. Masalah ini akan lebih banyak di ulas
pada bab berikut yaitu sisi negatif revolusi hijau.
Mengacu penelitian Sutawan (2008) tentang karakteristik subak
di Bali yang dilakukan berdasarkan klasifikasi air irigasi maka subak di
wilayah Tabanan merupakan subak dengan irigasi tradisional terluas
yaitu seluas 3,066 hektar. Di samping itu subak dengan irigasi teknis
seluas 17,007 hektar, maka Tabanan memiliki luasan hampir 75,5%
dari seluruh luasan subak dengan irigasi tradisional di Bali. Hal ini
berakibat perkembangan penggunaan teknologi moderen dengan asupan kimiawi di wilayah hulu (Kawasan Catur Angga) sangat mengkhawatirkan wilayah-wilayah hilir di Tabanan, karena kontaminasi
limbah kimia dari hulu akan berpengaruh pada sumber daya air di
hilir.
Kekhawatiran ini ternyata menjadi perhatian beberapa anggota
Subak Wongaya Betan yang dipelopori Pak Nengah Suarsana, SH. Pak
Nengah dan 3 (tiga) orang teman sesama petani yang merasa peduli
dengan dampak negatif penggunaan asupan kimiawi mulai memikirkan cara untuk menghindari dampak negatif dari penggunaan asupan
kimiawi tersebut. Dengan latar belakang pengetahuan dan ekonomi
yang cukup maka Pak Nengah mulai mempelajari cara-cara untuk
kembali ke pertanian organik, dengan tujuan untuk mengembalikan
lingkungan di Subak Wongaya Betan seperti sebelum revolusi hijau
dipraktikkan. Berbekal pengetahuan dari surat kabar, Televisi dan juga
kunjungan langsung ke Solo, maka sejak tahun 2004 mereka mulai
melakukan terobosan dengan kembali menggunakan pupuk dan
Bera: tanah tidak ditanami selama lebih kurang dua minggu sampai satu bulan. Hal
ini untuk mengembalikan kemampuan tanah dalam menyediakan oksigen dan
memutus siklus hama dan penyakit.
3

67

Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga

pestisida alami. Pupuk organik yang berasal dari kotoran sapi dan
urine sapi mereka olah sendiri menjadi pestisida alami (bio- urine).
Walaupun pada mulanya ide kembali ke pertanian organik dianggap
ide yang tidak berarti oleh pemerintahan Provinsi Bali, akan tetapi
dengan tekad dan ketekunan Pak Nengah yang pada akhirnya berhasil
mengajak 30 orang anggota Subak Wongaya Betan untuk melakukan
pertanian organik, maka akhirnya pertanian organik ini berkembang
dengan baik. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya sertifikasi
organik bagi produk beras Subak Wongaya Betan. Sertifikasi beras
organik ini diberikan oleh Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman
(LeSoS) No. LSPO-005-IDN-010 pada tanggal 3 Nopember 2009. LeSoS
ini adalah lembaga sertifikasi di bawah naungan Komite Akreditasi
Nasional (KAN) Organik Indonesia. Kriteria yang dinilai adalah keamanan pangan yang dilihat dari bebasnya pangan tersebut dari bahanbahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan tubuh. Jadi kebangkitan
pertanian organik di kawasan ini bisa dikatakan dimulai dari Subak
Wongaya Betan. Hal ini ternyata berdampak positif bagi subak di
sekitarnya terutama subak Jatiluwih, dibuktikan dengan bergabungnya
beberapa anggota petani subak Jatiluwih dalam kelompok petani
organik Wongaya Betan.

Subak Wongaya Betan (SWB)
Sebagai salah satu subak yang terletak dalam wilayah Kawasan
Catur Angga Batukaru yang sedang diusulkan menjadi salah satu
kawasan budaya dunia (World Heritage), maka subak ini sangat strategis untuk diteliti. Subak Wongaya Betan berlokasi di Desa Mengesta,
Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali, dimana wilayah subak ini terletak di bagian hulu kawasan Catur Angga, berdekatan
dengan subak Jatiluwih yang terletak di Desa Jatiluwih. Kalau subak
ini ditempuh dari Kota Kabupaten Tabanan, maka lokasinya adalah
sekitar 3 km arah Barat Daya Kecamatan Penebel yang berjarak sekitar
15 km dari Kota Kabupaten Tabanan (Gambar 2). Subak Wongaya
Betan memiliki areal pertanian garapan seluas 76 hektar, sebagian
besar merupakan lahan sawah beririgasi setengah teknis.

68

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Secara geografis Subak Wongaya Betan terletak pada ketinggian
617 meter di atas permukaan laut (dpl) 4 dengan topografi wilayah
sebagian besar berbukit, sehingga banyak lahan sawah terletak pada
area miring. Topografi ini akan sangat menentukan sistem pengembangan pertanian di wilayah subak ini, yang sebagian besar sudah
menggunakan sistem terasering 5 , dimana sistem terasering inilah yang
nantinya menjadi unggulan dalam menarik wisatawan ke daerah ini
untuk melihat keindahan terasering sawah.
Dengan curah hujan yang cukup serta kepemilikan sumber air
sendiri, maka hampir tidak pernah ada persoalan air di wilayah subak
ini. Malahan Subak Wongaya Betan merupakan salah satu subak yang
berada di hulu (Up Stream) kota Tabanan. Hal ini yang menjadi salah
satu faktor yang sangat mendukung pengembangan lahan sawah di
Subak Wongaya Betan tetap eksis sampai saat ini. Di samping itu juga
karena adanya kesadaran dan kewajiban tetap menjaga kelestaraian
lahan terutama sawah yang selalu dikaitkan dengan kawasan Catur
Angga Batukaru yang sangat disucikan baik oleh masyarakat setempat
maupun masyarakat Bali umumnya.

Dpl adalah singkatan dari di atas permukaan laut. Satuan ini menunjukkan ketinggian
suatu tempat dan sangat bermanfaat untuk penentuan tanaman yang sesuai untuk di
tanam dalam bidang pertanian.
5 Terasering; lahan sengaja dibuat bertingkat untuk mencegah terjadinya longsor pada
saat turun hujan yang berlebihan.

4

69

Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga

Gambar 7
Hamparan Sawah Garapan Subak Wongaya Betan
(Sumber: Martiningsih, 2010)

Menurut Sutawan (2008: 11-14) asal-usul subak sebenarnya
adalah diawali dengan kesepakatan beberapa orang yang menjadi pelopor atau pencetus ide untuk mengangkat air dari sumber air karena
terdorong oleh kesamaan kebutuhan akan air. Proses tersebut kemudian dilanjutkan dengan melakukan pertemuan berkelanjutan dengan
sekelompok anggota masyarakat yang menyetujui dan mendukung
gagasan tersebut, sampai akhirnya terbentuk panitia kecil yang bertugas membuat aturan pembagian air dan pekerjaan. Proses ini berlanjut sampai akhirnya terbentuk sebuah organisasi yang mempunyai
anggota tetap, yang kemudian berkembang semakin banyak sampai
terbentuklah sebuah organisasi pembagian air yang disebut subak.
Bertitik tolak dari proses pembentukan organisasi subak yang dikemu70

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

kakan oleh Sutawan (2008) maka awal mula terbentuknya Subak
Wongaya Betan sebenarnya tidak jauh dari alur proses pembentukan
subak yang tersebut di atas (Monografi Subak Wongaya Betan, 1993:
4). Pada saat wilayah Bali masih dipimpin oleh Raja, maka di desa-desa
di Bali belum dikenal kelompok banjar, termasuk di Desa Mengesta
tempat Subak Wongaya Betan ini terbentuk.
Diawali dengan menyatunya beberapa orang untuk membangun
saluran air di sekitar Sungai Yeh Baas, yang berada di wilayah
Kesambahan Jatiluwih. Persatuan orang-orang tersebut kemudian diikuti dengan pembangunan Pura Ulun Suwi di masing-masing lahan
warga. Pura Ulun Suwi ini merupakan tempat warga memohon kesejahteraan yang berkaitan dengan kesuksesan pelaksanaan pertanaman
di lahan pertanian warga. Setelah membanguan Pura Ulun Suwi
akhirnya warga membangun pura yang lebih besar yaitu Pura Bedugul.
Pura Bedugul ini biasanya terletak di munduk Desa (ujung desa) yang
disungsung (disembahyangi) oleh kelompok yang lebih besar. Hal ini
menunjukkan bersatunya beberapa warga dari seluruh kelompok
dalam ikatan Pura Ulun Suwi yang secara bersama-sama memelihara
dan melakukan persembahyangan di Pura Bedugul yang dibentuk.
Setelah Pura Bedugul ini terbentuk maka pertemuan dan interaksi antara warga semakin sering terjadi, kelompok warga semakin
merasa terikat satu dengan yang lainnya, hal ini akhirnya mencetuskan
terbentuknya organisasi tradisional yaitu Banjar Wongaya Betan dan
kelompok petani yang disebut Subak Wongaya Betan (berdasarkan
cerita kelian Adat Wongaya Betan, Wawancara September 2010). Dari
cerita tersebut memang tidak diketahui secara pasti kapan sebenarnya
Subak Wongaya Betan terbentuk, karena tidak ada catatan yang jelas
mengenai terbentuknya subak ini. Sejak Pemerintah Kabupaten
Tabanan mewacanakan program lomba subak pada tahun 1993, dimana
program ini mengharuskan setiap subak di wilayah Kabupten Tabanan
memiliki awig-awig, ilekita, struktur organisasi, dan monografi subak,
maka sejak saat itu pula Subak Wongaya Betan mulai merancang dan
membuat awig-awig maupun aturan lain secara tertulis.

71

Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga

Gambar 8
Pura Bedugul Subak Tempat Pelaksanaan Ritual Ngusaba Nini
(Sumber: Martiningsih, 2011)

Dari data monografi Subak Wongaya Betan tahun 1993, jumlah
anggota subak pada saat itu adalah 106 orang, dengan tingkat kepemilikan lahan antara 0,35 – 0,80 hektar. Dari 106 anggota tersebut,
untuk saat ini yang masih aktif adalah 96 anggota yang terdiri dari
petani pemilik dan petani penggarap yang masuk keanggotaan dalam
bentuk anggota serikat yaitu anggota yang bukan warga banjar dinas
Wongaya Betan, tetapi memiliki tanah di wilayah Subak Wongaya
Betan. Seperti apa yang dikemukakan oleh Pekaseh dan Klian Subak
Wongaya Betan, bahwa saat ini anggota subaknya berasal dari beberapa desa di luar banjar dinas Wongaya Betan yaitu 15 orang berasal
dari Desa Babahan, 17 orang berasal dari banjar Dinas Belulang Desa
Mengesta, dari Desa Jatiluwih sebanyak 4 orang dan sisanya sebanyak
60 orang berasal dari desa Wongaya Betan.
72

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Kalau dilihat posisi secara kelembagaan antara Desa Dinas
Mengesta, Desa Adat (Pekraman) Mengesta, banjar Dinas Wongaya
Betan, banjar Adat Wongaya Betan, dan Subak Wongaya Betan
memang ada struktur yang sangat unik seperti dapat dilihat pada
Gambar 7. Gambar ini menunjukkan kedudukan dari anggota masyarakat di sebuah desa (dalam hal ini Desa Mengesta). Kedudukan (posisi)
ini akan sangat menentukan hak dan kewajiban bagi masyarakat yang
berada dalam struktur kelembagaan-kelembagaan tradisional tersebut.
Kalau dicermati anggota subak berada dalam posisi yang sangat
kompleks yaitu selain sebagai anggota Subak Wongaya Betan yang
memiliki kewajiban sebagai anggota subak, mereka juga memiliki
kewajiban sebagai anggota banjar Wongaya Betan, sebagai bagian dari
desa Adat dan desa Dinas Mengesta. Posisi ini yang akan mengharuskan anggota Subak Wongaya Betan selalu berkompromi dengan kepentingan-kepentingan kewajiban pada masing-masing kelembagaan tersebut. Dari struktur ini terlihat bagaimana keluwesan antara masingmasing peran yang harus dilakoni oleh masyarakat desa Mengesta.
Sehingga dapat dikatakan dalam kelembagaan desa Mengesta telah
terbentuk harmonisasi antara kepentingan subak dan adat yang memberikan nilai positif bagi pemberdayaan masyarakat perdesaan untuk
mempercepat pemerataan pembangunan.
Yang menarik untuk disimak dari Gambar 7 adalah di dalam
anggota Subak Wongaya Betan ada beberapa kelompok kecil yang
disebut sekeha biasanya bersifat sosial. Sekeha ini terbentuk berdasarkan kepentingan yang sama dari beberapa anggota subak. Di
Wongaya Betan sekeha-sekeha ini terdiri dari sekeha numbeg
(kelompok pembajak), sekeha nandur (kelompok menanam), sekeha
mejukut (kelompok menyiang), sekeha manyi (kelompok memanen),
sekeha nebuk (kelompok pemisah gabah dari tangkai padi). Oleh
karena sekeha-sekeha ini bersifat sosial, maka dalam melaksanakan
kegiatannya mereka tetap mengutamakan nilai-nilai gotong royong.
Sekeha-sekeha ini berkembang baik saat sebelum revolusi hijau diperkenalkan dan malahan sekeha-sekeha ini dianggap sebagai pekerjaan sampingan yang mampu menambah pendapatan keluarga, walaupun sisi sosialnya yang kental tidak dapat dipisahkan.
73

Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga

Ketika revolusi hijau mulai diterapkan masyarakat petani, maka
perlahan-lahan sekeha-sekeha ini mengalami kemunduran baik dalam
hal aktivitas maupun ikatan antara anggotanya dan seolah mati suri
untuk beberapa saat. Hal ini diceritakan oleh Pak Eka dan Bu Rama
bahwa dengan penanaman padi unggul maka sekeha manyi tidak
memiliki pekerjaan, karena pemanenan tidak menggunakan ani-ani
lagi. Demikian juga halnya dengan sekeha nebuk, karena padi unggul
dapat langsung dirontokkan dengan huller (perontok padi). Padahal
kalau petani masih menanam padi lokal maka tangkai padi harus
dipisahkan dulu secara manual, sebelum di proses menjadi gabah.
Pekerjaan ini yang biasanya dilakukan oleh sekeha nebuk yang anggotanya berasal dari perempuan-perempuan istri anggota subak. Ketika
pertanian organik kembali diterapkan petani dan juga anggota Subak
Wongaya Betan beberapa sekeha ini kembali menggeliat dan eksis
sampai saat ini. Malahan ada beberapa sekeha yang lebih besar dan
memiliki organisasi yan lebih baik dan formal akhirnya terbentuk yang
memiliki fungsi lebih komplek dibandingkan dengan kelompokkelompok tradisional (sekeha) sebelumnya. Misalnya saja Kelompok
Tani dan Ternak Utama Sari, P4S Somya Pertiwi, dan Kelompok
Wanita Tani Kuntum Mekar.

74

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Sekeha
Subak Wangaya
Betan
Banjar Wangaya
Betan
Desa Adat
(pekraman)
Mengesta

Desa Dinas
Mengesta

Gambar 9
Posisi Anggota Subak Wongaya Betan dalam
Struktur Kelembagaan Desa Mengesta

Berdasarkan data monografi subak tahun 2003, ada beberapa
kelompok tani yang terbentuk dan masih aktif melaksanakan kegiatannya yaitu: (1) Kelompok Tani dan Ternak Utama Sari, (2) Kelompok
Ternak Apti Rahayu, dan (3) Kelompok Wanita Tani Kuntum Sari.
Kelompok Tani dan Ternak Utama Sari bergerak dibidang peternakan
sapi dan ayam, pengolahan makanan ternak organik dan pengolahan
limbah organik menjadi pupuk organik. Pada saat wawancara dengan
Pak Nengah (ketua kelompok P4S) tanggal 10 Maret 2011 ternyata
Kelompok Ternak Apti Rahayu yang dulunya bergerak di bidang
peternakan sapi dan ayam tidak berkembang dengan baik. Hal ini
diduga oleh Pak Nengah akibat manajemen yang kurang baik dan juga
karena masalah pemasaran produk yang kurang lancar. Beberapa aset
dari kelompok ini akhirnya terbengkalai tidak terurus. Kelompok
Wanita Tani Kumtum Sari yang beranggotakan ibu-ibu rumah tangga
yang memiliki kegiatan dalam pengolahan teh beras merah organik
75

Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga

dan kopi beras merah organik dengan merk dagang ”Kuntum Sari”.
Walaupun masing-masing kelompok memiliki aturan di dalam kelompok, akan tetapi mereka akan tetap tunduk pada awig-awig (aturan)
yang berlaku di Subak Wongaya Betan. Karena pada dasarnya kelompok-kelompok ini anggotanya adalah anggota subak dan terbentuk
dibawah naungan organisasi subak.
Penelitian yang dilakukan Sutawan (2008, Wiguna dan Surata
2008) mencatat bahwa struktur keanggotaan subak sangat ditentukan
oleh kesepakatan di wilayah subak tersebut berada. Akan tetapi secara
umum keanggotaan subak secara legal formal adalah para pemilik
lahan yang mempunyai sertifikat tanah. Hal ini disebabkan karena
pihak petani penggarap sering berganti, sehingga penentuan siapa yang
akan melaksanakan kewajiban sebagai anggota subak akan tergantung
dari kesepakatan antara petani penggarap dengan pemilik lahan. Lebih
lanjut dinyatakan Sutawan (2008) bahwa kewajiban-kewajiban di
subak biasanya dapat berupa kontribusi tenaga kerja (ayahan) yang
dilakukan pada saat gotong royong dalam perbaikan jaringan irigasi
maupun dalam persiapan dan pelaksanaan ritual. Kontribusi lainnya
dapat juga dalam bentuk tunai seperti bahan-bahan pembangunan
prasarana fisik seperti empelan 6 , untuk pembangunan pura subak, dan
alat-alat perlengkapan beserta biaya penyelenggaraan upacara ritual.
Semua aturan yang tersebut di atas, juga dilaksanakan oleh Subak
Wongaya Betan yang tertuang dalam awig-awig subaknya. Walaupun
memang besaran kontribusi dan sanksi yang diberlakukan dalam tiaptiap subak berbeda-beda.
Sesuai dengan filosofi yang dianut seluruh umat Hindu di Bali
yaitu Tri Hita Karana (THK), maka awig-awig Subak Wongaya Betan
pun disusun berkaitan dengan implementasi filosofi THK tersebut.
Berkaitan dengan hal itu maka di Bali termasuk Subak Wongaya Betan
menyusun Awig-awig yang berlandaskan tiga landasan utama yaitu:
(1) Awig yang berlandaskan hubungan anggota subak dengan Tuhan
Yang Maha Esa (parhyangan), (2) Awig yang berlandaskan hubungan
6

Empelan: bangunan pengambilan air di sungai yang dikelola oleh petani secara
swadaya

76

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

antara anggota subak dengan sesama anggota (pawongan), dan
(3) Awig yang berlandaskan hubungan antara anggota subak dengan
sawah (alam) yang dikelolanya (palemahan).

Awig-awig yang berlandaskan Parhyangan
Sesuai dengan landasan parhyangan yaitu hubungan anggota
subak dengan Sang Pencipta, maka Subak Wongaya Betan memiliki
beberapa aturan yang harus dilaksanakan anggotanya yaitu melakukan
upacara (ritual) sebagai wujud bhakti dan syukur anggota subak ke
hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Beberapa ritual yang harus dilakukan adalah:
(1) mapag toya (menjemput air), (2) ngendagin (memulai pengolahan lahan), (3) ngurit dan mawiwit pantun (menyemai padi),
(4) ngerasakin (memulai persiapan menanam), (5) nandur (saat
menanam), (6) tutug kambuhan (ritual ketika padi berumur 42
hst 7 ), (7) nyungsung (ritual saat padi berumur 2 bulan), (8) mabiukungkung (ritual ketika padi berumur 82 hst, (9) maikuh
lasan (pada saat padi mulai berbuah), 10) mesaba (ritual pada
saat mau panen), (11) niki kaki dan niki manuh (pada saat panen
dan sudah panen), (12) mantenin (ritual saat padi sudah di
lumbung), (13) mrelina dewa nini (melebur dewa nini),
(14) nyepi (tidak melakukan aktivitas apapun). Semua jenis
upacara-upacara (ritual) tersebut harus dilakukan anggota subak
baik secara kolektif maupun oleh masing-masing anggota subak
secara mandiri (penjelasan mendalam dari masing-masing ritual
yang dilakukan akan disajikan khusus pada Bab Peran Perempuan dalam Ritual).

Awig-awig berlandaskan Pawongan
Subak merupakan sebuah organisasi tradisional yang bersifat
sosio-religius, sehingga akan selalu terjadi interaksi di dalam organisasi
subak. Seperti hal nya di Subak Wongaya Betan dimana organisasi ini
terdiri dari pengurus dan anggota, yang akan selalu melakukan interaksi dan komunikasi baik melalui rapat (sangkep) subak, maupun kegiatan gotong royong dan kegiatan bersama dalam melakukan kegiatan
ritual subak. Maka berkaitan dengan hal tersebut Subak Wongaya
7

Hst adalah hari setelah tanam atau umur tanaman di lapangan.

77

Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga

Betan memiliki awig-awig yang disesuaikan untuk masing-masing
hierarki dalam kepengurusan subak. Misalnya ada awig untuk Pekaseh
(ketua subak), awig untuk kelian subak (pembantu pekaseh di area
tempek/munduk), awig untuk pengurus lainnya yaitu bendahara,
sekretaris dan seksi upacara). Di samping itu awig yang berkaitan
dengan landasan pawongan juga berlaku untuk anggota subak (krama
subak). Struktur kepengurusan Subak Wongaya Betan dapat dilihat
pada Gambar 8.
Pekaseh subak

Kelian subak

Bendahara

Sekretaris

Seksi
Upacara/ritual

Gambar 10
Struktur Organisasi Subak Wongaya Betan
(Sumber: wawancara dengan Alit, September 2009)

Awig-awig berlandaskan Palemahan
Awig-awig berlandaskan palemahan di Subak Wongaya Betan
dibuat untuk mengatur penggunaan sumber daya alam dan tata kelola
lahan pertanian masing-masing anggota subak. Awig yang termasuk
dalam landasan palemahan adalah: (1) pengaturan air irigasi meliputi
pengalokasian dan pendistribusian, (2) pengaturan waktu tanam,
(3) pengaturan pola tanam, (4) pengaturan mengenai sarana produksi
yang digunakan.
Konsep awig ini mengatur anggota subak agar menggunakan
sumber daya alam dan air dengan baik, agar tetap terjaga kelestarian78

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

nya. Awig ini juga memberikan dorongan kepada setiap anggota subak
untuk memanfaatkan keterbatasan yang ada (baik keterbatasan sumber
daya alam maupun sumber air) agar menghasilkan secara optimal
sehingga dapat mensejahterakan keluarga dan masyarakat pada umumnya. Seperti tersirat dari wawancara dengan salah satu anggota subak
Pak Nyoman Alit (Pak Rama) yang menyatakan bahwa banyak investor yang gagal membangun tempat wisata di daerah hulu Wongaya
Betan, karena dianggap akan mencemari dan merusak sumber air bagi
lahan sawah di Wongaya Betan.

Sistem Pertanian di Subak Wongaya Betan
Sistem pertanian yang dimaksud adalah tata kelola pertanian
yang dilakukan pada satu musim tanam. Tata kelola pertanian meliputi
pola tanam yang digunakan dan teknologi pertanian yang diterapkan
serta usaha sampingan milik petani yang terkait dengan pertanian.
Secara umum Subak Wongaya Betan melakukan pola tanam serempak
(kerta masa). Kerta masa selain bertanam secara serempak, juga mengatur tentang jenis tanaman dan varietas tanaman yang akan ditanam.
Sejak Subak Wongaya Betan kembali ke pertanian organik, jenis padi
yang di tanampun kembali ke padi lokal (padi del), sehingga dalam 1
(satu) tahun hanya dilakukan penanaman padi dua kali tanam.
Persiapan benih padi ini biasanya dilakukan secara tradisional oleh
petani yang sudah memiliki keterampilan khusus untuk menyeleksi
benih untuk musim tanam berikutnya. Areal tempat menyediakan
benih untuk musim berikutnya ini biasanya ditempatkan dekat sumber
air irigasi yang disebut area pengalapan. Jadi penggunaan benih lokal
yang secara teori tidak banyak mengalami perubahan genetis berdampak pada tidak tergantungnya petani dari perusahaan multinasional yang menjual benih. Petani mampu mandiri dalam menyediakan benih untuk lahan pertaniannya.
Menurut hasil penelitian Sirtha (2008), petani di Bali secara
umum mempercayai bahwa pola tanam serempak (kerta masa) memberikan pengaruh positif bagi pertanian mereka karena petani percaya
pola tanam ini juga dapat memutus siklus hidup hama dan penyakit
79

Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga

yang menyerang tanaman padi. Di samping itu dengan penanaman
serempak proses-proses budidaya lainnyapun dapat dilakukan secara
bersamaan seperti pengolahan lahan, pemupukan, penyiangan sampai
pada pelaksanaan panen. Pada waktu revolusi hijau belum diperkenalkan oleh pemerintahan Orde Baru, di wilayah ini sangat banyak
ada sekeha (kelompok sosial) yang bertujuan untuk kegiatan sosial
tertentu. Salah satu contoh sekeha yang sangat populer adalah sekeha
manyi (kelompok memanen). Sekeha manyi ini biasanya terdiri dari
ibu-ibu petani yang bertugas dalam rangka panen. Mereka akan
bekerja secara gotong royong dan bersifat sosial (tanpa upah dalam
bentuk uang). Setelah panen selesai, maka kegiatan sekeha ini biasanya
langsung dilanjutkan pada kegiatan nebuk (memisahkan gabah dari
tangkai padi). Alat yang digunakan untuk nebuk ini diberi nama luu 8 .
Di samping mengusahakan tanaman pokok yaitu padi, para
petani anggota subak juga sering menanami telajakan atau pematang
sawahnya dengan aneka sayuran seperti kacang panjang, kacang
polong, kacang koro ataupun makanan ternak. Hal ini dilakukan untuk
memanfaatkan areal yang kosong agar mendapatkan hasil tambahan.
Hasil penanaman di pematang dan telajakan ini kadang kala dijual,
tetapi lebih sering dimanfaatkan sendiri untuk kebutuhan pangan
keluarga. Selain mengusahakan tanaman sela, setiap petani anggota
Subak Wongaya Betan juga memiliki sapi. Dari observasi di lapang dan
hasil wawancara dengan Pekaseh subak maka setiap petani minimal
memelihara 2(dua) ekor sapi. Sapi-sapi ini akan digunakan sebagai alat
untuk membajak sawah. Sedangkan kotoran sapi dan urinenya akan
diolah secara sederhana oleh masing-masing petani menjadi pupuk
organik, yang kemudian dimanfaatkan untuk memupuk lahan sawah
masing-masing.

8 Luu; alat menumbuk padi yang biasanya terbuat dari kayu dengan panjang sekitar 1,5
meter

80

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

(a)

(b)

Gambar 11
(a) Padi lokal merah (b) Memanen dengan ani-ani
Sumber: Martiningsih, 2011

Fenomena kembalinya petani ke cara-cara bertani secara organik
membuat petani lebih bergairah memelihara sapi. Hal ini tentu saja
memberikan dampak positif pada peningkatan pendapatan keluarga
petani dan peningkatan kesejahteraan petani, karena dengan memelihara sapi maka petani tidak harus mengeluarkan biaya menyewa
traktor untuk pengolahan lahannya, di samping juga sapi akan bisa
digemukkan dan kemudian dijual.
81

Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga

Bagi kaum perempuan penanaman serempak juga akan meringankan pekerjaan pada persiapan dan pelaksanaan ritual yang menyertai tata kelola pertanian dalam subak. Persiapan pembuatan ritual
yang berkaitan dengan pengelolaan tanaman di lahan dapat dilaksanakan dengan serempak pula. Hal ini tentu saja akan menghemat
waktu dan biaya karena dilaksanakan secara bersama-sama sehingga
akan menguntungkan secara ekonomi.

Sistem Budaya dan Agama di Subak Wongaya Betan
Bagi masyarakat Bali, budaya dan agama adalah saling terkait
dan tidak terpisahkan. Budaya Bali dan Agama Hindu di Bali saling
terikat satu sama lainnya, sehingga akan sangat sulit untuk mengidentifikasi antara kegiatan budaya dan agama pada masyarakat Bali.
Misalnya pada acara petoyan (persembahyangan) di Pura Kahyangan
Tiga di Desa Mengesta. Petoyan ini memang sudah terjadwal setiap
6 (enam) bulan sekali harus dilaksanakan seluruh masyarakat Desa
Mengesta termasuk anggota Subak Wongaya Betan yang merupakan
bagian dari anggota masyarakat Desa Mengesta. Pelaksanaan petoyan
ini adalah melaksanakan ritual di Pura Kahyangan Tiga, yang dilaksanakan masyarakat Desa baik sebagai anggota adat dan sebagai pemeluk
agama Hindu. Pada saat pelaksanaan petoyan ini seluruh masyarakat
desa Mengesta baik laki maupun perempuan akan memiliki kewajiban
ngayah (membantu) pada pelaksanaan petoyan tersebut.
Pada saat warga masyarakat melaksanakan kewajiban ngayah
maka warga anggota Subak Wongaya Betan berfungsi sebagai warga
Adat Desa Mengesta. Di sisi lain pada saat yang bersamaan dari jadwal
kegiatan subak ternyata ada jadwal kegiatan melaksanakan ritual
ngusaba (ritual yang dilakukan pada saat akan panen). Anggota subak
sebagai bagian dari warga Adat Desa Mengesta dihadapkan pada dilema
untuk menentukan kegiatan mana yang akan dilaksanakan. Ke dua
kewajiban ini merupakan hal yang bermakna sama bagi warga. Pada
situasi seperti ini biasanya pekaseh akan mengadakan sangkep (rapat)
untuk menentukan bagaimana pengaturan kegiatan di 2 (dua) tatanan
kelembagaan tradisional. Kalau hasil sangkep memutuskan mendahu82

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

lukan kepentingan ngayah di Pura Kahyangan Tiga maka biasanya
kegiatan ritual subak ditunda. Walaupun penundaan ini hanya berkisar
sehari sampai dua hari. Atau alternatif lainnya adalah anggoa subak
akan dibagi dengan cara sebagian anggota melakukan kegiatan di subak
dan sebagian anggota akan tetap melaksanakan kewajiban adat mereka.
Hal ini sudah sering terjadi di Subak Wongaya Betan dan sampai saat
ini belum pernah terjadi konflik antara dua kewajiban tersebut.
Apalagi kebetulan anggota Subak Wongaya Betan ini ada yang berasal
dari desa lain (Jatiluwih) sehingga dilema ini mudah diatasi dengan
melakukan pembagian tugas di aras organisasi subak.
Hasil wawancara dengan Pak Nyoman Alit, Bu Rama dan Bu
Wayan pada Mar