PENDIDIKAN AKHLAK BAGI PESERTA DIDIK MENURUT HAMKA.

(1)

PENDIDIKAN AKHLAK BAGI PESERTA DIDIK MENURUT

HAMKA

SKRIPSI

Oleh :

SITI MUNTIANI

D01212061

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

2016


(2)

(3)

(4)

(5)

vii ABSTRAK

Siti Muntiani, Pendidikan Akhlak Bagi Peserta Didik Menurut HAMKA.

Skripsi, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Pembimbing. Prof. Dr. H. Ali Mudlofir. M.Ag.

Kata kunci : pendidikan akhlak, HAMKA.

Pendidikan akhlak pada masa sekarang ini sangat memprihatinkan dan terpuruk, hal ini terbukti banyak terjadinya prilaku-prilaku yang melanggar asusila yang menimbulkan kekacauan bagi dirinya sendiri pribadi maupun keresahan masyarakat pada umumnya. Hal ini juga diwujudkan oleh adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern sehingga nilai-nilai akhlak terabaikan begitu saja karena kurangnya penanaman dan pengamalan pembelajaran akhlak tersebut. Budaya luar yang negatif mudah terserap tanpa ada filter yang cukup kuat. Gaya hidup modern yang tidak didasari akhlak/budi pekerti cepat ditiru.

Berdasarkan pemaparan tersebut, penelitian ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana pemikiran HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) terkait tentang pendidikan akhlak bagi peserta didik dengan banyak mengkaji buku-buku beliau tentang akhlak sebagai sumber primer yang pada dasarnya HAMKA di setiap karangannya selalu menekankan atau sangat konsen dengan materi akhlak.

Penelitian yang dilakukan ini adalah termasuk dalam jenis penelitian

deskriptif kualitatif dengan lebrary research. Metode yang digunakan adalah

deskriptif analisis kritis, sumber data primernya adalah karya-karya HAMKA yang berhubungan dengan pendidikan akhlak dan data sekundernya adalah karya-karya yang serupa yang mempunyai tema sama. Sedangkan untuk analisisnya peneliti menggunakan cara content analysis atau analisis isi yaitu pengelolahan data dengan cara pemilahan tersendiri berkaitan dengan pembahasan dari beberapa gagasan atau pemikiran para tokoh pendidikan yang kemudiandideskripsikan, dibahas dan dikritik.

Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak bagi peserta didik menurut HAMKA ialah suatu upaya penanaman nilai-nilai keislaman dan keimanan kepada peserta didik dengan nilai-nilai tersebut akan dapat membentuk dan menghasilkan peserta didik yang berakhlak mulia dan mampu menghadapi tantangan zaman sekarang maupun tantangan zaman yang akan datang. Penanaman nilai-nilai keislaman dan keimanan tersebut juga terdapat metode dan strategi dalam penerapannya seperti dalam pandangan HAMKA yaitu metode alami, metode mujahadah dan riadhah serta metode teladan dengan metode-metode tersebut dapat mempermudah peserta didik dalam memahami materi yang disampaikan oleh guru khususnya dalam materi pendidikan akhlak.


(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

BAB I :PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Rumusan Masalah ... 5

C.Tujuan Penelitian ... 6

D.Kegunaan Penelitian ... 6

E. Definisi Operasional ... 7

F. Pembatasan Masalah ... 9

G.Metode Penelitian ... 10

H.Sistematika Pembahasan ... 13

BAB II : BIOGRAFI HAMKA A.Sejarah kelahiran HAMKA. ... 15

B.Pendidikan dan Karir HAMKA ... 21

C.Karya-karya HAMKA ... 37

D.Penelitian Terdahulu tentang HAMKA ... 42

BAB III : PENDIDIKAN AKHLAK BAGI PESERTA DIDIK MENURUT HAMKA A.Pengertian Pendidikan Akhlak. ... 54

B.Ruang lingkup Pendidikan Akhlak ... 57

C.Metode dan Strategi Pendidikan Akhlak ... 59

D.Media Pendidikan Akhlak ... 65


(7)

F. Evaluasi Pendidikan Akhlak ... 73 BAB IV : ANALISIS PENDIDIKAN AKHLAK BAGI PESERTA DIDIK

MENURUT HAMKA

A.Pola Pendidikan Akhlak ... 79

B.Tantangan dan Kendala Pendidikan Akhlak ... 106

C.Faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran HAMKA

tentang Pendidikan Akhlak ...110 BAB V : PENUTUP

A.Kesimpulan ...116 B. Saran-saran ...118

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(8)

1

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pendidikan dimasa sekarang ini banyak mengalami dekadensi moral serta hilangnya nilai-nilai sosial yang banyak ditandai dengan adanya pergaulan bebas, minumam keras, tawuran, narkoba, dan masih banyak lagi hal-hal yang keluar dari akhlaq terpuji. Hal ini adalah sebagian, dari prilaku menyimpang di kalangan remaja, pemuda serta masyarakat. Generasi muda telah kehilangan pegangan dan keteladanan dalam meniru prilkau yang etis. Mereka kehilangan model orang dewasa yang dapat digugu dan ditiru. Gejala kehidupan pemimpin masyarakat yang diistilahkan di dalam gaya hidup KKN (Korupsi, kolusi, dan Nepotisme) menunjukkan bahwa masyarakat itu sendiri juga telah kehilangan pegangan

nilai-nilai moralnya.1 Kondisi moral bangsa kita saat sekarang ini semakin

menyemangati pihak-pihak yang memiliki kepedulian bagi perbaikan akhlak bangsa. Di dalam penerapan pendidikan akhlak perlu dirancang lebih baik

dengan memperhatikan peluang dan tantangan yang muncul.2 Tidak

mengherankan apabila generasi muda yang kehilangan pegangan di dalam lingkungan primernya, yaitu keluarga menghadapi keadaan yang lebih parah di dalam masyarakat sekitarnya.

1

Nurul Zuriah, Pendidikan Moral Dan Budi Pekerti Dalam Prespektif Perubahan (jakarta : bumi aksara, 2007), h. 11

2

Haidar Putra Haulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Di Indonesia,

(Jakarta: Kencana, 2004), h. 216


(9)

2

Dengan demikian semakin terlihat fenomena meningkatnya tingkah laku kekerasan dari para remaja dan pemuda, ketidakjujuran, penjudian, krisis kewibawaan, kehidupan penyelewengan seksual, meningkatnyaegoisme dan

menurunnya tanggungjawab warga negara (civil responsibility). Dengan singkat

para remaja dan pemuda cenderung kepada tingkah laku yang self destructive dan

kebutaan etika (ethical illiteracy). Kecenderungan penggunaan obat-obat

terlarang, penyelewengan seksual para remaja peserta didik dan pemuda disekitar kita, sangat mengkhawatirkan dan diambang kritis yang sanagt meresahkan

kalangan pendidik dan orang tua.3

Bagaimanapun krisis mentalitas, moral, dan karakter anak berkaitan dengan krisis-krisis yang multidimensional lain, yang dihadapi bangsa pada umumnya dan pendidikan nasional pada khususnya. Oleh karena itu, jika dicermati dan dinilai lebih adil dan objektif merupakan cermin dari krisis

mentalitas dan moralitas dalam masyarakat yang lebih luas.4

Peserta didik zaman sekarang adanya rasa hormat, kasih sayang, rasa

segan atau kita kenal dengan istilah ta’dhim terhadap guru ataupun orang tua

semakin hilang, pudar entah kemana, perasaan itu hilang dan hampir tidak tampak terlihat dalam nuansa proses pembelajaran yang terjadi dan berlangsung pada saat ini. Mengapa demikian, hal itu terjadi karena peserta didik jaman sekarang kurang dalam meresapi, kurang dalam menghayati, dan kurang dalam

3

Nurul zuriah, pendidikan moral dan budi pekerti dalam prespektif perubahan...h. 11 4


(10)

3

melaksanakan atau mempraktikan apa yang telah dipelajari dalam ilmu tata laksana aqidah akhlak atau dalam ilmu budi pekerti dikenal dengan istilah sopan santun. Bahkan menurut para ahli pendidikan tingkat kenakalan anak usia sekolah di era modern ini sudah melebihi batas yang sewajarnya.

Terlihat jelas bahwa banyak terjadi kasus pada anak usia sekolah yang masih berada dibawah umur yang sudah mengenal rokok, narkoba, freesex, tawuran dan banyak terlibat tindakan kriminal lainnya, yang pada hakikatnya hal tersebut adalah merupakan krisis akhlak pada anak usia sekolah. Maraknya tawuran antar pelajar, penyalahgunaan narkoba, prilaku asusila, pergaulan bebas yang menjamur sampek tingkat pedesaan serta penyakit lainnya yang itu semua

karena disebabkan oleh merosotnya moral bangsa.5

Realita lain yang terjadi dalam lembaga kependidikan saat ini adalah pendidikan yang lebih mengedepankan kecerdasan intelegensinya sehingga apabila siswa dihadapkan pada permasalahan yang terlalu berat sedikit semisal tidak naik kelas atau tidak lulus ujian maka siswa tersebut akan depresi berat dan tidak dapat mengambil pelajaran dibalik semua kejadian tersebut. Akibat yang lebih fatal dari kejadian tersebut siswa ada yang melakukan perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan oleh siswa, frustasi berat atau perbuatan yang lebih parah lagi yaitu mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Sebagai penerus generasi anak doiharapkan menajdi manusia unggul lebih dari apa yang dicapai oleh ayah

5

Muchlas samawi, et al. , pendidikan karakter konsep dan model, (bandung, PT. Remaja Roasdakarya, 2012), h. 99


(11)

4

dan ibunya. Anak yang tumbuh dan berkembang secraa normal dapatdilihat dari bakat yang dimiliki oleh anak antara lain mampu menyikapi permasalahan yang ada disekelilingnya.

Dalam permasalahan tentang akhlak baik peserta didik maupun masyarakat tidak akan henti-hentinya dalam mengkaji pembahasan tersebut karena akhlak sebagai tolak ukur peradaban bangsa dan kemamjuan suatu bangsa. Berkaitan dengan ilmu pendidikan akhlak upaya penelitian ini diharapakan bermanfaat untuk memberikan motivasi bagi diadakannya pembahasan-pembahasan lebih lanjut tentang pendidikan akhlak bagi peserta didik serta menjadikan suatu solusi bagi peserta didik sekarang ini yang pada dasarnya masih mengalami dekadensi moral.

Berdasarkan uraian di atas peneliti mencoba mempelajari pemikiran Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) Sebagai salah satu tokoh serta ulama’ besar di minangkabau. Kajian ini bertujuan mengetahui pemikirannya dalam bidang pendidikan akhlak bagi peserta didik. Terlebih bahwa beberapa pemikiran HAMKA tentang pendidikan islam yang ada dalam buku karangan Samsul Nizar disana banyak menyatakan bahwa segala bentuk pemikirannya tentang pendidikan adalah lebih menekankan pada pendidikan jiwa atau akhlak al-karimah, sehingga dalam hal ini penulis ingin lebih mengetahui secara lebih jauh

beberapa pendapat HAMKA yang ia kemukakan mengenai pendidikan akhlak.6

6

Samsul nizar, memperbincangkan dinamika intelektual dan pemikiran HAMKA tentang pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 105.


(12)

5

Beberapa alasan yang menjadi tolak ukur untuk meneliti pemikiran HAMKA adalah beliau bukan hanya seorang ilmuan maupun sastrawan melainkan sesosok ulama’ di era modern yang banyak memberikan kontribusi bagi pengembangan peradaban dan munculnya dinamika intelektualitas masyarakat (islam). Ia merupakan sosok ulama’ yang dengan gigih berupaya mengubah pola hidup tradisionalis kepada pola hidup dinamis dan rasional, ia juga merupakan sosok pendidik umat dan ulama’ yang memiliki keluasan ilmu. Selain itu secara umum karya-karyanya merupakan sintesis dari perkembangan pola pendidikan yang dilaksanakan umat manusia islam pada waktu itu (Masyarakat Minangkabau).

Keistimewaan buku-buku yang dikarang beliau adalah Pemikirannya tidak hanya berlaku di zamannya, namun masih sangat kontekstual di masa kini. Produktivitas gagasannya di masa lalu sering menjadi inspirasi dan rujukan gagasan-gagasan kehidupan di masa kini. Keutamaan budi, itulah tujuan yang akhir. Menyingkirkan diri dari kebinatangan, itulah cita-cita yang mulia. Bukit itulah yang didaki orang budiman, setengah jatuh dan setengah bangun, ada yang tidak tahan, ada yang lemah kakinya, lalu terjatuh dan tidak bangun lagi. Ada pula yang tegak kembali, dan melangkah terus perlahan-lahan tapi pastinya, tidak mengenal putus asa. Hidup berbudi itu tujuan kita, kata Prof. Dr. Hamka : Diribut runduklah padi, Dicupak Datuk Temanggung; Hidup kalau tidak berbudi, Duduk tegak ke mari canggung.


(13)

6

Berdasarkan hal tersebut merupakan alasan yang mendasar bagi penulis ingin membahas permasalahan tersebut dalam skripsi yang berjudul

“Pendidikan Akhlak bagi Peserta Didik menurut HAMKA”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka fokus masalah yang akan diteliti adalah

1. Bagaimana Pola Pendidikan Akhlak bagi peserta didik menurut HAMKA ?

2. Apa tantangan dan kendala pendidikan Akhlak bagi Peserta didik menurut

HAMKA ?

3. Apa Faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran HAMKA tentang

Pendidikan Akhlak ? C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas , maka dapat ditarik Tujuan penelitian Adalah sebagai berikut:

1. Untuk Mengetahui Pola Pendidikan Akhlak bagi peserta didik menurut

HAMKA

2. Untuk Mengetahui tantangan dan kendala pendidikan Akhlak bagi Peserta

didik menurut HAMKA

3. Untuk Mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran HAMKA

tentang Pendidikan Akhlak D.Manfaat Penelitian


(14)

7

a. Mendapatkan data dan fakta yang sesuai mengenai pokok-pokok konsep

pendidikan akhlak bagi peserta didik menurut HAMKA sehingga dapat menjawab permasalahan yang komprehensip.

b. Memberikan kontribusi pemikiran bagi seluruh pemikir keintelektualan

dunia pendidikan islam sehingga bisa memberikan gambaran ide bagi para pemikir pemula.

2. Kegunaan praktis

a. Bagi Fakultas Tarbiyah (UIN Surabaya), dengan adanya penelitian ini

diharapkan bisa digunakan sebagai pustaka bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengkaji tentang konsep pemikiran cendikiawan Islam Indonesia.

b. Bagi penulis, sebagai bahan latihan dalam penulisan ilmiah sekaligus

memberikan tambahan khazanah pemikiran konsep pendidikan islam.

3. Pengembangan keilmuan

Sebagai acuan, bahan reflektif dan konstruktif dalam pengembangan keilmuan di Indonesia,khususnya pengembangan keilmuan pendidikan islam yang didalamnya juga mencakup Pendidikan Akhlak.

E. Definisi Operasional

1. Pendidikan

Merupakan serangkaian usaha yang dilakukan oleh pendidik untuk membentuk watak, budi pekerti, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.


(15)

8

Secara bahasa Kata Akhlak berasal dari bahasa Arab yang sudah

meng-indonesia, ia merupakan bentuk jama’ dari kata khulq. Kata akhlak ini

mempunyai akar kata yang sama dengan akat khaliq yang bermakna pencipta dankata makhluq yang artinyaciptaan, khulq dan akhlak yang mengacu pada makna “penciptaan” segala yang ada selain tuhan yang termasuk di dalamnya kejadina manusia. Para ahli bahasa mengartikan akhlak dengan istilah watak, tabi’at, kebiasaan, perangai, aturan.

Secara epistimologi para ulama ilmu akhlak merumuskan definisinya dengan berbagai ungkapan diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Ibnu maskawaih

Akhlak adalah kondisi jiwa yang senantiasa mempengaruhi untuk bertingkah laku tanpa pemikiran dan pertimbangan.

b. Sidi Ghazalba

Akhlak adalah sikap kepribadian yang melahrikan perbuatanmanusia terhadap Tuhan dan manusia, diri sendiri dan makhluk lain, sesuai dengan

suruhan dan larangan serta petunjuk Al-Qur’an dan Hadits.7

3. Peserta didik

Secara etimologi peserta didik adalah anak didik yang mendapat pengajaran ilmu. Secara terminologi peserta didik adalah anak didik atau individu yang mengalami perubahan,perkembangan sehingga masih

7

Amirudin, aliaras wahid dan Moh.rofiq, membangun karakter dan kepribadian melalui pendidikan agama islam, (yogjakrta : Graha ilmu, 2006), h. 93


(16)

9

memerlukan bimbingan dan arahan dalam membentuk kerpibadian serta sebagai bagian dari struktural proses pendidikan. Dengan kata lain peserta didik adalah seorang individu yang telah mengalami fase perkembangan atau

pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental maupun fikiran.8

4. HAMKA

HAMKA adalah tokoh intelektual muslim indonesia yang lahir di maninjau sumatra barat pada 13 muharram 1326 H/ 16 februari 1908 M. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Menurut pendapat Azyumardi Azra Ia adalah sosok ulama’ aktivis, politisi, jurnalis, editor, dan sastrawan. Ia juga seorang pendidik yang otodidak. Ia belajar dan memperdalam sendiri berbagai ilmu pengetahuan, sastra,budaya, filsafat,

tasawuf, sejarah, sosiolog dan politik, baik keilmuan islam maupun barat. 9

F. Pembatasan Masalah

Dari beberapa permasalahan yang telah diidentifikasi di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada :

1. Pendidikan akhlak yang di maksud dalam penelitian ini adalah pendidikan

akhlak bagi peserta didik menurut HAMKA.

2. Sasaran dalam penelitian ini adalah hanya dibatasi pada pola, tantangan dan

kendala pendidikan akhlak bagi peserta didik menurut HAMKA

8

Abu Ahmadi dan Nur uhbiyati, ilmu pendidikan cetakan ke II, (jakarta: PT Rineka cipta, 2006), h. 40.

9

Samsul nizar, memperbincangkan dinamika intelektual dan pemikiran HAMKA tentang pendidikan islam (jakarta : kencana prenada media group, 2008), h. 11


(17)

10

G. Metode Penelitian

Metode penelitian yang diterapkan oleh peneliti menggunakan beberapa metode yang relevan untuk mendukung dalam pengumpulan data dan penganalisan data. Yang meliputi :

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu sutau pendekatan yang digunakan untuk mengolah data tanpa menggunakan hitungan angka (statistik), namum melalui pemaparan pemikiran pendapat para ahli atau fenomena yang ada dalam kehidupan

masyarakat.10

Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian library research

yaitu mengumpulkan data atau karya tulis ilmiah yang bertujuan dengan objek penelitian atau pengumpulan data yang bersifat kepustakaan atau telaah yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya tertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan.

2. Sumber data

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua jenis sumber data yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah karya-karya yang ditulis sendiri oleh tokoh yang diteliti. Dalam penelitian ini data primer yang digunakan adalah buku yang merupakan karya HAMKA

10


(18)

11

seperti diantaranya Falsafah Hidup, Lembaga Budi, Lembaga Hidup HAMKA, Tasawuf Modern, Pelajaran Agama Islam, Tafsir Al-Azhar, Akhlakul Karimah, Pandangan Hidup Muslim, Iman Dan Amal Shaleh. Sedangkan yang menjadi sumber data sekunder adalah literatur baik berupa buku atau tulisan-tulisan tokoh lain yang didalamnya terdapat uraian tentang pemikiran HAMKA tentang pendidikan atau yang lebih khusus lagi tentang pendidikan Akhlak ataupun literatur lainnya yang sesuai dengan pembahasan. 3. Teknik pengumpulan data

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data penelitian

kepustakaan (library research), yaitu penelitian dengan mengumpulkan

data-data yang memiliki relevansi dengan masalah yang dibahas, baik itu yang bersumber dari buku atau sumber tertulis lainnya (makalah, artikel, atau

laporan penelitian).11 Maka, dalam pengumpulan data penulis menggunakan

teknik dokumentasi artinya data dikumpulkan dari dokumen-dokumen baik yang berbentuk buku, jurnal, majalah, artikel maupun karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan judul yang diangkat penulis tentang pendidikan akhlak bagi peserta didik yaitu sumber primer dari karangan HAMKA sendiri dan juga buku-buku sekunder karangan tokoh-tokoh lainnya.

4. Teknik analisis data

11

Afifuddin dan Beni Ahmad Saebani, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 17


(19)

12

Analisis data merupakan tahap terpenting dari sebuah penulisan. Sebab pada tahap ini dapat dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah penyampaian yang benar-benar dapat digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan yang telah dirumuskan. Secara definitif, analisis data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data ke dalam pola. kategori dan suatu uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang

dirumuskan oleh data.12

Adapun tehnik analisis penulisan ini adalah Content Analysis atau

analisa isi, yakni pengolahan data dengan cara pemilahan tersendiri berkaitan dengan pembahasan dari beberapa gagasan atau pemikiran para tokoh pendidikan yang kemudian dideskripsikan, dibahas dan dikritik. Selanjutnya dikategorisasikan (dikelompokkan) dengan data yang sejenis, dan dianalisis isinya secara kritis guna mendapatkan formulasi yang kongkrit dan memadai, sehingga pada akhirnya dijadikan sebagai langkah dalam mengambil

kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang ada.13

Secara keseluruhan langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian analisis isi yaitu: pertama, menentukan permasalahan, karena permasalahan merupakan titik tolak dari keseluruhan penelitian. Kedua,

menyusun kerangka pemikiran (conceptual atau theoritical framework), dan

12

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosdakarya, 2001), h.103 13


(20)

13

penelitian deskriptif cukup hanya mengemukakan conceptual definition

dengan dilengkapi dimensi dan subdimensi yang akan diteliti. Ketiga, menyusun perangkat metodologi Keempat, analisis data yaitu analisis terhadap data yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti melalui perangkat metodologi tertentu. Kelima, interpretasi data yaitu interpretasi terhadap hasil

analisis data.14

H. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan ini dimaksudkan sebagai gambaran yang akan menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini sehingga dapat mempermudah dalam memahami pembahasan yang akan ditulis. Berikut ini Sistematikanya:

BAB I : Pendahuluan, pada bab ini didalamnya terdapat: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Definisi Operasional, Pembatasan Masalah, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.

BAB II : Pembahasan tentang Biografi HAMKA yaitu terdapat sejarah kelahiran HAMKA, Pendidikan dan Karir HAMKA, Karya-karyanya HAMKA dan Penelitian Terdahulu tentang HAMKA.

BAB III : Pendidikan Akhlak bagi peserta didik menurut HAMKA, Di dalam bab ini terdapat : Pengertian pendidikan Akhlak bagi peserta didik menurut HAMKA, Ruang lingkup pendidikan akhlak bagi peserta didik menurut

14

Burhan Bungin (ed), Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 193


(21)

14

HAMKA, Metode dan strategi pendidikan Akhlak bagi peserta didik menurut HAMKA, Media pendidikan Akhlak bagi peserta didik menurut HAMKA, Tantangan pendidikan Akhlak bagi peserta didik menurut HAMKA dan Evaluasi pendidikan akhlak bagi peserta didik menurut HAMKA.

BAB VI : Analisis Pendidikan Akhlak bagi peserta didik menurut HAMKA. Yang meliputi : Pola Pendidikan Akhlak bagi peserta didik menurut HAMKA, Tantangan dan kendala pendidikan Akhlak bagi Peserta didik menurut HAMKA serta Faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Akhlak.

BAB V : Penutup, pada bab ini didalamnya berisi tentang kesimpulan dari skripsi dan saran-saran dari penulis untuk perbaikan-perbaikan yang mungkin dapat dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan daftar pustaka dan diakhiri dengan lampiran- lampiran.


(22)

15

BAB II

BIOGRAFI HAMKA A. Sejarah kelahiran HAMKA

Di tepi danau Maninjau, di suatu kampung bernama Tanah Sirah, termasuk daerah Negeri Sungai batang yang konon sangat indah pemandangan alamnya, pada hari Ahad petang malam senin, tanggal 13 masuk 14 Muharram 1326 H., atau tanggal 16 Februari 1908, lahirlah seorang bayi laki-laki dalam keluarga ulama DR. Haji Abdul Karim Amrullah. Bayi

laki-laki itu diberi nama “Abdul Malik”; nama itu di ambil DR. Haji Abdul

Karim Amrullah untuk mengenang anak gurunya, Syekh Ahmad Khathib di Mekkah, yang bernama Abdul Malik pula. Abdul Malik bin Syekh Ahmad Khathib ini pada zaman pemerintahan Syarif Husain di Mekkah, pernah menjadi Duta Besar Kerajaan Hasyimiyah di Mesir, barangkali dimaksudkan

sebagai do’a nama kepada penyandangnya.1 Pada tahun 1941 ayah diasingkan

belanda ke sukabumi karena fatwa-fatwa yang dianggap mengganggu keamanan dan keselamatan umum. Beliau meninggal di Jakarta tanggal 21

juni 1945, dua bulan sebelum Proklamasi.2 Sementara ibunya bernama Siti

Shafiyah tanjung binti Haji Zakariya (W. 1934).3 Ayah dari ibu itu bernama

gelanggang gelar bagindo nan Batuah. Di kala mudanya terkenal sebagai guru

1

Mohammad damami, Tasawuf Positif (dalam pemikiran HAMKA), (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000), h. 28

2

Titiek W.S, Nama saya: Hamka, dalam Nasir tamara, dkk, HAMKA dimata hati umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983),h. 51

3

Samsul nizar, memperbincangkan dinamika inteletual dan pemikiran HAMKA tentang pendidikan islam, (jakarta: kencana, 2008), h. 17.


(23)

16

tari, nyanyian danpencak silat. Di waktu masih kecil Hamka selalu

mendengarkan pantun-pantun yang berarti dan mendalam dari beliau.4

Nama HAMKA melekat stelah ia,untuk pertama kalinya naik haji ke

Mekah pada tahn 1927.5 HAMKA (akronim pertama bagi orang indonesia,

red)., yaitu potongan dari nama lengkap, Haji Abdul Malik Karim Amrullah.6

Waktu kecilnya, Hamka lebih dekat dengan andung (nenek) dan engkunya (kakek), di desa kelahirannya. Sebab, ayahnya, DR. Haji Abdul Karim Amrullah, adalah ulama modernis yang banyak diperlukan masyarakat pada waktu itu sehingga hidupnya harus keluar dari desa kelahiran Hamka, seperti ke kota padang. Menurut penuturan Hamka sendiri, dia merasa bahwa terhadap kakek dan neneknya merasa lebih sayang dari pada terhadap ayah dan ibunya. Terhadap ayahnya, Hamka lebih banyak merasa takut dari pada sayang. Ayahnya dirasakannya sebagai orang yang kurang mau mengerti jiwa dan kebiasaan anak-anak. Ayahnya dinilainya terlampau kaku dan bahkan secara diametral dinilainya bertentangan dengan kecenderungan masa kanak-kanak yang cenderung ingin “bebas” mengekspresikan diri, atau “nakal”, sebab kenakalan anak-anak , betapapun nakalnya , asal masih dalam batas-batas kewajaran adalah masih lumrah bahkan demikian menurut Hamka. Hamka sendiri pada masa kecilnya tergolong anak yang tingkat kenakalannya

4

Titiek W.S, Nama saya: Hamka, dalam Nasir tamara, dkk, HAMKA dimata hati umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983),h. 51

5

Herry Muhammad dkk, Tokoh-tokoh islam yang berpengaruh pada abad 20, (Jakarta: Gema Insani, 2006),h.60

6


(24)

17

cukup memusingkan kepala. Kenakalan kanak-kanak itu mulai tampak tatkala Hamka berusia empat tahun (1912) dan mengalami puncaknya pada usia dua

belas tahun (1920). Di antara kelakuan-kelakuan yang di anggap “nakal”,

kurang terpuji menurut masyarakat terhadap Hamka, antara lain: (1)

belajarnya tidak karuan (dia hanya menyelesaikan “sekolah desa” sampai

kelas II saja dan “sekolah diniyah” dan “tawalib” tidak lebih dari lima tahun;

(2) bergaul dengan para “Preman”, atau masuk kalangan “parewa”, sebab dia juga mengerjakan sebagaian dari tingkah laku kelompok itu seperti suka menyambung ayam, berkeahlian silat untuk kepentingan kesukaan berkelahi.

Tetapi Hamka, menurut pengakuannya dan juga menurut pengamatan orang lain, belum pernah melakukan perjudian; (3) suka keluyuran ke mana-mana, seperti sering berbelok niat dari pergi ke surau menjadi ke gedung bioskop untuk mengintip lakon film bisu yang sedang diputar (yang oleh karena itu Hamka sejak kecil telah sangat mengenal aktor semacam Eddie polo, aktris semacam Marie Walcamp, dan sebagainya) memanjat pohon jambu milik orang lain, mengambil ikan di tebat milik orang lain, kalau kehendaknya tidak dituruti oleh kawannya, maka kawannya itu diganggunya, pendeknya hampir seluruh penduduk kampung sekeliling padang panjang

tidak ada yang tidak kenal akan “kenakalan” Hamka kecil ini. 7

Menurut Hamka sendiri, kenakalannya itu semakin menjadi-jadi setelah dia menghadapi dua hal yang sama sekali belum dapat dipahaminya.

7


(25)

18

Pertama, dia tidak mengerti mengapa ayahnya memarahi apa yang

dilakukannya sedangkan menurut pertimbangan akalnya justru apa yang

dilakukan itu telah sesuai dengan anjuran ayahnya sendiri. Hal kedua, yakni

hal yang antara lain menybabkan kenakalan Hamka kecil menjadi-jadi, adalah peristiwa perceraian antara ayahnya, DR.Haji Abdul Karim Amrullah, dengan ibunya tercinta shafiyah. Kejadian ini sangat memukul batin Hamka kecil.

Akibat dirinya merasa terasing dari ayahnya, sebab dia senantiasa bertentangan gaya hidup dengan ayahnya dan juga disebabkan perceraian ayah dengan ibunya, maka dia merasa tidak punya lagi apa yang seharusnya dapat dijadikan pedoman dalam hidup. Sementara itu, hubungannya dengan ayahnya kian dirasakan makin renggang jauh. Maka mulailah dia menyisihkan diri, hidup sesuka hatinya, bertualang kemana-mana, untuk menghibur diri dari duka atas tuduhan pada dirinya sebagai anka yang “nakal”, “durjana” dan

“tidak diharapkan menjadi baik lagi”. Sekali-sekali saja dia pulang untuk

menengok adiknya di rumah, setelah itu dia pergi bertualang lagi, dia tidak ambil pusing apakah orang masih mau menyelami jiwanya waktu itu atau tidak.8

Kehidupan Hamka kecil yang cukup memprihatinkan di atas hampir berjalan selama setahun, yaitu dari usia 12 tahun sampai dengan usia 13 tahun, atau sampai sekitar tahun 1921. Sisi positif dari perilaku Hamka kecil mulai

8


(26)

19

dari usia 12 tahun (1920) sampai dengan usia 15 tahun (1923) adalah sebagai berikut :

a. Sudah mulai gemar membaca buku-buku, baik itu cerita sejarah

kepahlawaan atau artikel-artikel di surat kabar yang memuat kisah perjalanan dan sebagainya. Dari kegemaran membaca ini, kesadaran auto didact Hamka membaca ini, kesadaran muto didact Hamka kecil sampai dengan masa tuannya menjadi sangat terdukung. Kebiasaan gemar membaca sejak kecil ini, sekalipun senantiasa mendapat marah dari ayahnya (lantaran si Hamka kecil hanya suka membaca buku cerita, sejarah kepahlawanan, kisah perjalanan dan sebagainya, bukan kitab tata bahasa arab (nahwu) atau kitab derivasi kata Arab (saraf) dan sejenisnya), namun oleh Hamka kecil tetap dilakukannya, bahkan diam-diam hamka kecil sudah mulai menulis surat yang ditujukan kepada gadis. Barangkali, inilah antara lain bekal pertama keberaniannya menulis, disamping bakat yang dimiliki sebagai hasil warisan darah dari ayahnya (DR. Haji Abdul Karim Amrullah dikenal sebagai cukup banyak menulis karangan dan kitab).

b. Suka kemampuan daya khayal (fiction) dengan cara banyak mendengar dan

merekam dongeng,cerita sehari-hari yang sedang merebak (cerita tentang

hantu misalnya), “pidato-pidato adat” dengan menghadiri pertemuan para

penghulu (ninik mamak, datuk-datuk) mengadu keindahan suara balam (butung terukur) atau kalau ada perayaan pelantikan para penghulu yang banyak mengungkap kata-kata kebesaran adat tambo, keturunan dan


(27)

20

dongeng-dongeng, bahkan si Hamka kecil berani bertanya langsung kepada

orang-orang tua yang pandai mengucapkan “Pidato adat” itu kemudian

dicatatnya dalam buku tulisnya.9

Sementara Hamka kecil mencoba terus untuk memadukan

antara”kesukaan hidupnya’ (sesuai dengan fitrah kekanak-kanakannya)

dengan “keinginan ayahnya”, nampaknya Hamka kecil merasa “gagal”. Hal itu terbukti senantiasa terkena marah ayahnya, tak pernah dapat persetujuan, apabila mendapat pujian. Rumah ayahnya, karenanya, dianggap sebagai “penutup pikiran” saja. Oleh karena itu dia ingin “mencari sesuatu” yang dapat melonggarkan kesumpekan hatinya. Maka diputuskanlah unutk berbuat nekat, yaitu “lari”. Kemana dia ingin “lari” itu? Dia ingin berkelana ke sebuah (pulau yang sering dikenalnya lewat bacaannya, yaitu: Jawa. Dalam proses “pelarian itu” itu, dia tidak tahu apa yang akan dapat diraihnya dalam perkenalannya itu dan yang pasti adalah dia ingin lewat bengkulen (bengkulu), sebab di sana saudara persukuannya yang dapat dimintai belanja

untuk biaya ke pulau Jawa.10

Sungguh, dengan gejolak keremajaannya yang masih kurang sekali perhitungannya, dia berjalan darat, bukan melalui kota-kota besar, melainkan juga sampai menelusuri lubang-lubang tambang. Hal ini dimaksudkannya agar dia lebih panjang lagi berkeliling sumatera, terutama sumatera selatan

9

Ibid, h. 36 10

Mohammad damami, Tasawuf Positif (dalam pemikiran HAMKA), (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000), h. 37


(28)

21

(menurut peta wilayah sekarang). Ada yang bilang sebelum dia berangkat telah membawa penyakit cacar, yang lain mengatakan dia terkena cacar karena perjalanan panjangnya lewat pelosok-pelosok itu, dia dibengkulu jatuh sakit cacar. Dalam keadaan sakit cacar (ditambah lagi sakit malaria tertiana) itulah dia mulai sadar dan merasa rindu hatinya kepada hiburan dan kesih sayang ayah dan ibunya. Pengalaman hidup yang paling mengesankannya

dalam masa “pencarian” itu (dengan “lari” dari rumah menuju pulau Jawa

lewat bengkulu) adalah pengalaman jatuh sakit keras tersebut. Setelah sembuh dengan “hadiah” capuk bekas luka cacar di wajahnya, bahkan ditambah lagi rambutnya berguguran serta penyakit kudis, pulanglah dia ke kampung halamannya. Kata Mohammad Zein Hasan, kawan sepermainan Hamka kecil, kepulangan Hamka kecil kerumah kali ini sudah sedikit mengubah cara hidupnya, Hamka kecil sekarang “sudah agak serius”, pengalaman hidup yang pahit manis yang dialaminya, ditambah lagi dengan kesungguhannya banyak membaca yang ditopang dengan daya ingatnya yang kuat, sikecil Hamka mencoba untuk mengembangkan dirinya untuk waktu-waktu kemudiannya. Dia memang gagal pergi ke pulau Jawa, tetapi dia mendapat keuntungan lain, yaitu mendapat sedikit kesadaran untuk memperbaiki citra dirinya selama ini,

terutama kesadaran tentang tampang dan bakat “percaya kepada diri

sendiri”.11

B. Pendidikan dan karir HAMKA

11


(29)

22

1. Pendidikan HAMKA

Sejak kecil, ia menerima dasar-dasar agama dan membaca Al-Qur’an langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun, ia dibawa ayahnya ke Padang panjang. Pada usia 7 tahun, ia kemudian dimasukkan ke sekolah desa hanya sempat dienyam sekitar 3 tahun dan malamnya belajar

mengaji dengan ayahnya sampai khatam.12 Selebihnya, ia belajar sendiri.

Kesukaannya di bidang bahasa membuatnya cepat sekali menguasai bahasa Arab. Dari sinilah ia mengenal dunia secara lebih luas, baik hasil pemikiran klasik Arab maupun Barat. Karya para pemikir Barat ia dapatkan dari hasil terjemahan ke bahasa Arab. Lewat bahasa pula Hamka kecil suka menulis dalam bentuk apa aja. Ada puisi, cerpen, novel,

tasawuf, dan artikel-artikel tentang dakwah.13

Pendidikan formal yang dilaluinya sangat sederhana. Mulai tahun 1916 sampai 1923, ia belajar agama pada lembaga pendidikan Diniyah School di Padangpanjang, serta sumatera Thawalib di Padangpanjang dan di Parabek. Walaupun pernah duduk di kelas VII, akan tetapi ia tidak mempunyai ijazah. Guru-gurunya waktu itu antara lain: syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid Hakim, Sutan Marajo, dan Syekh Zainuddin Labay El-Yunusiy.

12

Samsul nizar, Memperbincangkan dinamika intelektual dan pemikiran HAMKA tentang pendidikan islam, (Jakarta; Kencana, 2008), h. 18.

13

Herry Muhammad dkk, Tokoh-tokoh islam yang berpengaruh pada abad 20, (Jakarta: Gema Insani, 2006),h.60


(30)

23

Pelaksanaan pendidikan pada waktu itu masih bersifat tradisional dengan menggunakan sistem halaqah. Pada tahun 1916, sistem klasikal baru diperkenalkan di Sumatera Thawalib jembatan besi. Hanya saja, pada saat ini sistem klasikal yang diperkenalkan belum memiliki bangku, meja, kapur san papan tulis. Materi pendidikan masih berorientasi pada pengajian kitab-kitab klasik, sperti nahwu, sharaf, manthiq, bayan, fiqh, dan yang sejenisnya. Pendekatan pendidikan dilakukan dengan menekankan pada aspek hafalan. Pada waktu ini, sistem hafalan cara yang paling efektif bagi pelaksanaan pendidikan. Meskipun kepadanya diajarkan membaca dan menulis huruf Arab dan latin, akan tetapi yang lebih diutamakan adalah mempelajari dengan membaca kitab-kitab arab klasik dengan standar buku-buku pelajaran sekolah agama rendah di Mesir. Pendekatan pelaksanaan pendidikan tersebut tidak diiringi dengan belajar menulis secara maksimal. Akibatnya banyak diantara teman-temannya yang fasih membaca kitab,akan tetapitidak bisa menulis dengan baik. Meskipun tidak puas dengan sistem pendidikan waktu itu, namun ia tetap mengikutinya dengan seksama.

Diantara metode yang digunakan guru-gurunya, hanya metode pendidikan yang digunakan Engku Zainuddin Labay Al-Yunusy menarik hatinya. Pendekatan yang dilakukan Engku Zainuddin, bukan hanya

mengajar (Transfer Of Knowledge), akan tetapi juga melakukan proses


(31)

24

sekolah yang mengkaji ilmu-ilmu agama islam, yang didirikan oleh syekh

zainuddin labay)14 Padangpanjang yang didirikannya, ia telah

memperkenalkan bentuk lembaga pendidikan islam modern dengan menyusun kurikulum pendidikan yang lebih sistematis, memperkenalkan pendidikan klasikal dengan menyediakan kursi dan bangku tempat duduk siswa, menggunakan buku-buku di luar kitab standar, serta memberikan ilmu-ilmu umum seperti bahasa, matematika, sejarah dan ilmu bumi.

Wawasan Engku Zainuddin yang demikian luas, telah ikut membuka cakrawala intelektualnya tentang dunia luar. Bersama dengan Engku Dt. Sinaro, Engku Zainuddin memiliki percetakan dan

perpustakaan sendiri dengan nama zinaro. Pada awalnya, ia hanya diajak

untuk membantu melipat-lipat kertas pada percetakan tersebut. Sambil bekerja,ia diizinkan untuk membaca buku-buku yang ada diperpustakaan tersebut. Disini, ia memiliki kesempatan membaca bermacam-macam buku, seperti agama, filsafat dan sastra. Melalui kemampuan bahasa arab dan daya ingatnya yang cukup kuat, ia mulai berkenalan dengan karya-karya filsafat Aristoteles, Plato, Pythagoras, Plotinus, Ptolemaios,dan ilmuan lainnya. Melalui bacaan tersebut, membuat cakrawala pemikirannya semakin luas.

14

Nur hamim, Manusia dan pendidikan elaborasi pemikiran HAMKA, (Sidoarjo: Qisthos, 2009), h. 26.


(32)

25

Dalam menerima berbagai informasi pada karya-karya ilmuan nonmuslim, ia menunjukkan sikap kehati-hatiannya. Sikap yang demikian

dilatarbelakangi oleh dua pokok pikiran. Pertama, dalam bidang sejarah

ia melihat adanya keslahan data dari fakta yang sesungguhnya. Kesalahan ini perlu dicurigai, bahwa penulisan tersebut sengaja ditulis bagi

kolonialisme. Kedua, dalam bidang keagamaan terdapat upaya untuk

mendeskreditkan islam. Tidak sedikit para penulis tersebut membawa pesan-pesan misionaris. Agar objektivitasnya tetap terjaga dengan baik dan orisional, maka perlu adanya upaya untuk melakukan penulisan ulang terhadap persoalan-persoalan tersebut. Kehati-hatiannya terhadap ilmu umum bukan berarti ia tidak menyenangi karya-karya yang ditulis oleh pemikir barat. Bahkan ia sangat menganjurkan agar umat islam tetap bekerja sama dengan setiap pemeluk antar agama dan mengambil hal-hal

yang bersifat positif bagi membangun dinamika umat (islam).15

Di usia yang sangat muda HAMKA sudah melanglangbuana. Tatkala usianya masih 16 tahun (pada tahun 1924), ia sudah

meninggalkan Minangkabau, menuju Jawa. 16 Sistem pendidikan yang

demikian membuatnya merasa kurang puas dengan pelaksanaan pendidikan waktu itu. Kegelisahan intelektual yang dialaminya telah

15

Samsul nizar, Memperbincangkan dinamika intelektual dan pemikiran HAMKA tentang pendidikan islam, (Jakarta; Kencana, 2008), h. 21

16

Herry Muhammad dkk, Tokoh-tokoh islam yang berpengaruh pada abad 20, (Jakarta: Gema Insani, 2006), h.61


(33)

26

menyebabkan ia berhasrat untuk merantau guna menambah wawasannya. Tujuannya adalah Jawa. Pada awalnya kunjungan ke jawa hanya ingin mengunjungi kakak iparnya, AR St. Mansur dan kakaknya fathimah yang tinggal dipekalongan. Pada awalnya ayah melayangnya untuk berangkat, karena khawatir akan pengaruh paham komunis yang mulai berkembang saat itu. Akan tetapi melihat demikian besar keinginan anaknya untuk menambah ilmu pengetahuan dan yakin anaknya tidak akan terpengaruh,

maka akhirnya ia diizinkan untuk berangkat.17

Akhir tahun 1924 Hamka muda berangkat keYogyakarta dengan menumpang seorang saudagar yang akan pergi ke kota itu. Di Yogyakarta Hamka muda menumpang hidup di rumah orang sekampungnya satu-satunya yang berada di kota itu, Marah Intan. Tepatnya, di kampung Ngampilan, kira-kira satu kilometer dari kampung kauman kearah barat, sebuah kampung tempat kelahiran dan sekaligus wilayah awal tempat gerakan persyarikatan Muhamadiyah. Di kota ini Hamka kecil bertemu dengan Adik ayahnya, Ja’far Amrullah, yang kebetulan juga sedang “belajar agama”. Hamka muda merasa heran, mengapa pamannya harus “belajar agama” lagi di Yogyakarta, apabila hanya dalam tempo dua bulan saja? Bukankah semula pamannya telah cukup “belajar agama” di

17

Samsul nizar, Memperbincangkan dinamika intelektual dan pemikiran HAMKA tentang pendidikan islam...h. 22


(34)

27

Sumatera? Lebih heran lagi, pamannya itu belajar agama pada pagi,

petang dan malam hari.18

Teka-teki di atas baru terjawab setelah sang paman mengajak Hamka muda bertandang kepada beberapa guru yang berkedudukan juga sebagai tokoh pergerakan, misalnya berguru kepada penafsiran kitab suci

Al-Qur’an, berguru kepada H.O.S. Cokrominoto tentang paham

“Sosialisme dan Islam”, berguru kepada haji Fakhruddin tentang “agama

islam” dalam tafsiran modern dan berguru kepada R.M. Suryopranoto

tentang “Sosiologi”. Ki bagus hadikusuma yang kelak terpilih sebagai

ketua pimpinan pusat Muhamadiyah (1942-1953), H.O.S

Cokroaminotoadalah tokoh sarekat islam, jago pidato, berdarah biru, cucu bupati ponorogo, Haji Fakhruddin dikenal tokoh Muhamadiyah, dan R.M Suryono (saudara laki-laki soewardi suryaningrat atau ki hajar dewsantara, tokoh pendiri taman siswa), tokoh kebudayaan yang

mendirikan gerakan “Werdi Kaskoyo” dan juga sebagai aktivis sarekat

islam di Yoggyakarta.

Setelah beberapa bulan Hamka muda ikut “belajar agama” bersama-sama dengan pamannya di atas, maka menjadi sadarlah dia, bahwa dia dalam belajar agama ini: (1) lebih banyak bersikap “membaca

dan menghafal dari pada “menelah dan memahami” pelajaran agama; (2)

18

Mohammad damami, Tasawuf Positif (dalam pemikiran HAMKA), (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000), h. 41


(35)

28

lebih hanya sekedar “menambah khazanah ilmu agama secara pasif” dari pada “menangkap hakikat dan semangat ilmu agama secara dinamik”; (3) lebih banyak memusatkan perhatian pada masalah mikro agama dari pada

mengembangkan masalah pesan makro agama.19

Sebelum berangkat bertandang ke rumah kakak iparnya, A.R. Sultan Mansur (yang menikahi kakak Hamka yang bernama Fatimah), yang bertempat tinggal di Pekalongan, Hamka muda juga ikut menghadiri

rapat pertama pendirian Jong Islamieten Bond untuk cabang Yogyakarta.

Menumpang belajar di tempat kakak iparnya di Pekalingan kira-kira enam bulan. Kesadaran berjuang untuk agama dan bangsa sudah bangkit. Kesadaran ini dipupuk dan diarahkan secara arif oleh kakaknya dengan penuh kesabaran. Itu sebabnya proses belajar kepada kakak iparnya di

pekalongan itu disebutnya sebagai “baguru”. Menurut istilah

minangkabau, seperti yang ditulis oleh Leon Agusta, seorang budayawan

bersuku Minangkabau juga, kata “baguru” berarti proses berlangsungnya

pewarisan inti-inti ilmu kepada orang atau murid khusus, yaitu orang atau murid khusus, yaitu orang atau murid yang sedang benar-benar dinilai “mencari”orang atau murid khusus itu yang memiliki kelebihan intelektual. Menurut Hamka sendiri (setelah tua), ada dua guru yang dia

hormati dan junjung tinggi, pertama, DR. Haji Abdul Karim

Amrullah,ayahnya sendiri, dan kedua, Haji. A.R. Sutan Mansur, kakak

19


(36)

29

iparnya sendiri, yang kelak dipilih menjadi ketua pimpinan pusat

Muhamadiyah periode 1953-1959.20

Pada pertengahan tahun 1925 (juni 1925) hamka muda pulang kembali ke maninjau, kampung halamannya, dengan dada orang muda

yang telah dipenuhi pandangan-pandangan baru, semangat

”Revolusioner” dan keberanian berpidato di dalam pertemuan-pertemuan

ramai, termasuk pidato-pidato politik. Di kampung dia mulai aktif dalam bentuk kegiatan sebagai berikut: (1) memberikan pidato-pidato dan tablig di Maninjau, padang panjang dan kampung-kampung di sekitarnya; kadang-kadang ikut tablig bersama-sama ayahnya, sedangkan isi pidato atau tablig-nya diseputar semangat perjuangan hasil gabungan pendidikan dari Kibagus Hadikusuma, Haji Fakhruddin, H.O.S.Cokroaminoto, R.M. Ssuryopranoto dan kakak ipar yang amat diseganinya, A.R. Sutan Mansyur yang smeuanya adalah guru-gurunya. (2) mulai mengadakan kursus-kursus pidato di kalangan kawan-kawannya dan di kalangan “Tablig Muhamadiyah” yang didirikan oleh ayahnya di surau padang panjang, hasil dari kursus itu kemudian diedit oleh Hamka muda lalu

dicetak menjadi buku dengan diberi judul Khatibul Ummah dan inilah

20

Mohammad damami, Tasawuf Positif (dalam pemikiran HAMKA), (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000), h. 45


(37)

30

pengalaman yang cukup berhasil dalam karang mengarang. Dari sini

mulai terlihat kemampuan jurnalistiknya.21

Belum lagi setahun, kurang lebih, aktivitas revolusioner Hamka muda itu brejalan, Hamka muda melai merasa tidak mendapat respon yang positif, mulai dari masyarakat sekelilingnya yang dirasakan mulai menyindir, mencibiri, mencemooh, membenci karena iri hati dalam kepandaian berpidato sampai dengan ayahnya sendiri seringkali mencap Cuma pandai menghafal syair dan bercerita tentang seperti burung beo. Karena merasa tersinggung, pantang dikata-katai dan marah namun dibalik itu gelora jiwanya juga sukar dibendungnya,termasuk tekad “ingin membuktikan dirinya bahwa tidak seperti seperti dugaan orang banyak

dan juga ayahnya bahwa seolah-olah dirinya tak ada harga”, maka titik

puncaknya adalah ingin pergi ke mekah untuk berkelana dan belajar agama disana. Keinginan pergi ke Mekah ini dia tekati harus dengan (1) tanpa setahu masyarkat dan ayahnya (baru memberi tau lewat telegram setelah berangkat ke Mekah), (2) tanpa minta uang dan biaya hidup kepada ayahnya (tiket kapal dan sangu perjalanan diperolehnya dari kawan-kawannya dan orang sekampungnya yang dirantau, seperti di daerah sumatera timur), (3) nantinya berhasil pulang dengan simbol

“memakai pakaian jubah dan sorban sebagai tanda layak disebut ulama

21

Samsul nizar, Memperbincangkan dinamika intelektual dan pemikiran HAMKA tentang pendidikan islam, (Jakarta; Kencana, 2008), h. 29


(38)

31

dan sekaligus sebagai revanche (menebus kekalahan atas anggapan keliru

pada dirinya selama ini). Tegasnya, kepergian Hamka muda ke Mekah itu diwarnai campuran antara rasa marah, rasa semnagat dan rasa ingin

menebus kekalahan (revanche). Dengan gaung tiga perasaan itulah

Hamka muda berangkat,pergi tiba dan hidup dikota Mekah. Hamka muda

berangkat ke Mekah pada bulan februari 1927.22 Pada bulan juli 1927, ia

tidak langsung pulang ke minangkabau, akan tetapi singgah di medan

untuk beberapa waktu lamanya.23 Jadi dimekah kira-kira 5 atau 6 bulan

saja. Sungguhnpun demikian, dalam masa yang relatif sangat singkat itu, Hamka muda mulai sadar betul pada akhirnya ia harus kembali ke masyarakat besar di tanah air dan akan menghadapi kewajiban hidup yang lebih berat. Keuntungan yang paling nyata dia rasakan selama mengelana di Mekah selama 5 atau 6 bulan itu, walaupun tidak sempat belajar agama secara intensif dengan guru-guru disana, yaitu; (1) Kegiatan membaca, khususnya kitab-kitab yang berbahasa Arab, bukan saja sekedar gemar, melainkan telah mendarah daging (yang hal ini berlangsung sampai akhir hayatnya); (2) Makin jelas kemandiriannya dalam berpendapat dan makin meninggi kepercayaannya pada diri sendiri. Inilah modal dasar dalam

22

Mohammad damami, Tasawuf Positif (dalam pemikiran HAMKA), (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000), h. 47

23

Samsul nizar, Memperbincangkan dinamika intelektual dan pemikiran HAMKA tentang pendidikan islam...h. 29


(39)

32

mengarungi perjuangan di tengah-tengah masyarakat nusantara waktu itu.

24

Pulang dari Mekah pada akhir tahun 1927. Ketika diadakan Muktamar Muhamadiyah di solo tahun 1928 ia menjadi peserta mukatamar inidijadikannya titik pijak untuk berkhidmat di Muhamadiyah.

Dari keaktifannya di muhamadiyah tersebut ternyata telah

mengantarkannya ke berbagai daerah, termasuk ke Medan tahun 1936. Di medan inilah peran Hamka sebagai intelektual ulama dan ulama intelektual mulai terbentuk. Hal tersebut bisa kita jumpai dari kesaksian

Rusydi hamka, salah soerang putranya. “Bagi Buya, Medan adalah

sebuah kota yang penuh kenang-kenangan. Dari kita ini ia mulai melangkahkan kakinya menjadi seorang pengarang yang melahirkan sejumlah novel dan buku-buku agama, falsafah, tasawuf, dan lain-lain. di sini pula ia memperoleh sukses sebagai wartawan dengan pedoman masyarakat. Tapi, disini pula ia mengalami kejatuhan yang amat menyakitkan, hingga bekas-bekas luka yang membuat dia meninggalkan kota ini menjadi salah satu pupuk yang menumbuhkan pribadinya di

belakang hari”.25

Atas desakan iparnya A.R. St. Mansur, ia kemudian diajak pulang ke Padangpanjang untuk menemui ayahnya yang demikian merindukan

24

Mohammad damami, Tasawuf Positif (dalam pemikiran HAMKA)...h. 47 25

Herry Muhammad dkk, Tokoh-tokoh islam yang berpengaruh pada abad 20, (Jakarta: Gema Insani, 2006), h.62


(40)

33

dirinya. Sesampainya di Padangpanjang, ia kemudian dinikahnya dengan Siti Raham binti Endah Sutan (anak mamaknya) pada tanggal 5 April 1929. Perakwinannnya dengan Siti Raham berjalan harmonis dan bahagia. Dari perkawinannya dengan Siti Raham, ia dikarunia 11 orang anak. Mereka antara lain Hisyam (meninggal usia 5 tahun), Zaky, Rusydi,

Fakhri, Azizah, Irfan,’Aliyah, Fatchiyah, Hilmi, Afif,Dan Syakib. 26 Satu

tahun delapan bulan setelah istri pertama meninggal, pada tanggal 19 Agustus 1973, ia menikah lagi dengan Hajah Siti Khadijah dari Cirebon

Jawa Barat.27 Dengan pernikahannya dengan Hj. Siti Khadijah, ia tidak

memperoleh keturunan karena faktor usia.28

Pada waktu Hamka telah menikah, Hamka juga sibuk mengurusi

Cabang Muhamadiyah di Padangpanjang dan “Tabligh School” di

Padangpanjang pula. Waktu itu tahun 1930. Di tengah-tengah kesibukannya itu, gairah auto-didact-nya juga semakin meninggi. Dia sangat tekun menelaah kitab-kitab Arab terutama yang berisi sejarah islam. Dia memang betul mengutamakan keahlian menulis, namun permintaan masyarakat untuk melakukan pidato keagamaan (tablig) dia

26

Samsul nizar, Memperbincangkan dinamika intelektual dan pemikiran HAMKA tentang pendidikan islam, (Jakarta; Kencana, 2008), h. 29

27

Titiek W.S, Nama saya: Hamka, dalam Nasir tamara, dkk, HAMKA dimata hati umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983),h. 52

28

Samsul nizar, Memperbincangkan dinamika intelektual dan pemikiran HAMKA tentang pendidikan islam...h. 29


(41)

34

ladeni juga. Oleh karena itu, dia akui bahwa dia sanggup melakukan

tablig agama lewat (pidato) atau tulisan sekaligus.29

2. Karir HAMKA

Pada akhir tahun 1935, ditengah-tengah kesukaran ekonomi keluarganya, Hamka mendapat dua pucuk surat yang keduanya menawarkan pekerjaan. Surat dari Tokyo, Jepang, menawarkan pekerjaan guru agama bagi Masyarakat Islam di Jepang. Surat kedua dari ketua

yayasan Al-Busyra, Haji Asbiran Ya’kub, penerbit majalah mingguan

islam, Pedoman Masyarkat, di Medan. Dalam surat ini dia ditawari

pekerjaan sebagai Hoofdredacteur majalah mingguan islam tersebut

dengan gaji perdana 17, 50 (tujuh belas rupiah lima puluh sen) setiap bulan. Setelah dipertimbangkan masak-masak, baik dari kemaslahatan rumah tangga, juga karena mempertimbangkan kemampuan dirinya dalam

kemungkinan mengemban tugas sebagai Hoofdredacteur untuk sebuah

majalah mingguan, maka diputuskanlah bahwa dia mau menerima tawaran

dari Haji Asbiran Ya’kub.30

Sebagai buah aktivitasnya di Muhamadiyah, maka pada tahun 1946 pada saat berlangsungnya konferensi muhamadiyah di padang panjang Hamka terpilih sebagai ketua. Dengan terpilihnya menjadi ketua muhamadiyah, semakin menjadikan Hamka lebih memiliki semangat dan

29

Mohammad damami, Tasawuf Positif (dalam pemikiran HAMKA), (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000), h. 52

30


(42)

35

kesempatan untuk meningkatkan aktivitas dakwah islamiyah serta menggalang kesatuan bangsa, terutama di kawasan Sumatra Barat. Setelah masa kemerdekaan, atau tepatnya pada tahun 1949, Hamka pindah dari Minangkabau ke Jakarta. Tidak begitu lama Hamka diterima sebagai anggota koresponden surat kabar merdeka dan majalah pembangunan. Di Jakarta Hamka mulai tertarik pada bidang yang selama ini tidak pernah ditekuninya, yaitu bidang politik dengan memasuki Partai Islam Masyumi, selanjutnya pada pemilu pertama pada tahun 1955, Hamka terpilih sebagai anggota Konstituante mewakili partai Maayumi. Yang perlu diperhatikan dari aktivitas Hamka ini adalah walaupun Hamkaaktif dalam partai politik praktis, tetapi ia tidak meninggalkan profesinya sebagai penulis yang produktif, bahkan sebagai ulama Hamka sangat gigih memerjuangkan

kepentingan Islam di Konstituante.31

Sebagai ulama besar, Hamka tidak jarang mendapatkan kepercayaan dari berbagai pihak, baik dari kalangan pemerintah maupun masyarakat. Hamka pernah diberi kepercayaan untuk menjadi pejabat tinggi dan penasehat Departemen Agama. Kedudukan ini pada gilirannya membuka peluang baginya untuk mengikuti berbagai pertemuan dan konferensi di berbagai negara mewakili Indonesia, seperti memenuhi undangan pemerintahan Amerika (1952), sebagai anggota misi

31

Nur hamim, Manusia dan pendidikan elaborasi pemikiran HAMKA, (Sidoarjo: Qisthos, 2009), h. 29


(43)

36

kebudayaan ke Muangthai (1953), menghadiri peringatan mengkatnya Budha ke-2500 di Burma (1954), menghadiri konferensi Islam di Lahore (1958), Imam Masjid al-Azhar (Kebayoran Baru), menghadiri konferensi Negara-negara Islam di Rabat (1968), muktamar masjid di Makkah (1976), menghadiri seminar tentang islam dan peradaban di Kualalumpur, upacara seratus tahun Muhammad Iqbal di Labore dan Konferensi Ulama di Kairo (1977). Di samping itu, pada 27 Juli 1975 pada saat diadakan musyawaroh alim ulama seluruh Indonesia, dimana disepakati dibentuknya Majlis Ulama Indonesia, Hamka dipilih dan dilantik sebagai

ketua.32 Hamka adalah ketua Umum yang pertama. Kebulatan tekad ini

ditandai dengan ikrar bersama yang dituangkan dalam suatu piagam, yang ditandatangani oleh 26 orang ketua Majelis Ulama Tk. I, 10 orang ulama unsur organisasi islam tingkat pusat, 4 orang ulama Dinas Rohani Islam dari Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut serta Kepolisian,

dan 3 orang ulama yang diundang secara perorangan.33 Jabatan ini

dipegangnya sampai ia mengundurkan diri pada 19 Mei 1981. Ketika ia menyampaikan pidato saat pelantikan dirinya, Hamka menyatakan bahwa dirinya bukanlah sebaik-baiknya ulama. Ia sangat menyadari bahwa dirinya memang populer, karena sejak usia muda sudah bertabligh, menulis, memimpin majalah panji masyarakat, dan menjadi Imam Besar

32

Ibid, h.30 33

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 3, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 123


(44)

37

Masjid Al-Azhar Jakarta yang terkenal itu. Selain itu, suaranya yang

serak-serak basah bisa didengar di radio dan di mimbar-mimbar. “tapi

kepopuleran bukanlah menunjukkan bahwa saya yang lebih patut,”

tuturnya dengan lembut.34

Besarnya prestasi dan peranan Hamka dalam melaksanakan dakwah Islamiyah di Indonesia, menarik akademisi untuk memberikan penghargaan kepada Hamka. Pada tahun 1959 Majlis Tinggi Universitas

al-Azhar Kairo memberikan penghargaan gelar Ustadziyah Fakhriyah

(Doktor Honoris Causa) kepada Hamka, karena jasanya dalam

menyiarkan agama Islam dengan menggunakan bahasa Indonesia yang

indah. Dan pada tahun 1974, Hamka juga mendapatkan gelar Doktor

Honoris Causa dalam bidang sastra dari Universitas di Malasyia.35

C. Karya-karya HAMKA

Sebagai seseorang yang berpikiran maju, tidak hanya ia lakukan di mimbar melalui berbagai macam ceramah agama. Ia juga merefleksikan kemerdekaan berpikirnya melalui berbagai macam karyanya dalam bentuk tulisan. Untuk itu dibawah ini akan dideskripsikan beberapa karyanya yang dibagi dalam beberapa bidang antara lain:

1. Karya-karya Hamka dalam bidang Satra

34

Herry Muhammad dkk, Tokoh-tokoh islam yang berpengaruh pada abad 20, (Jakarta: Gema Insani, 2006), h.65

35


(45)

38

a. Di bawah lindungan ka’bah (1937), menceritakan tentang seorang anak

muda yang taat beribadah dalam petualangan cintanya dengan seorang

gadis cantik, namun pemuda tersebut banyak mengalami

penderitaan,sehingga ia mencari tempat untuk berlindung. Kemudian di bawah lindungan ka’bahlah ia menemukan ketentraman jiwanya sampai ia meninggal. Menurut pengakuannya Hamka mendapat inspirasi untuk mengarang naskah tersebut adalah dari pengalamannya mengelana ke Mekkah, pahit getirnya dia disana selama 6 bulan pada tahun 1927.

b. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1938), buku roman ini, menurut

pengakuan Hamka dikarang Hamka berlatar inspirasi tatkala dia menjadi muballig Pengurus Besar Muhamadiyah di Makassar yang pada waktu itu dia sempat bergaul dengan orang Makassar, Bugis, Mandar, Toraja dengan kawan-kawannya dan melihat bagaimana bulan menghilang di balik ufuk pantai makassar. Itu sekitar tahun 1934, dan

baru dikarang pada tahun 1938.36

c. Merantau Ke Delhi (1939), roman yang mengisahkan seorang pemuda

yang merantau untuk mencari ilmu pengetahuan. Cerita roman ini menurut pengakuannya, dikarangnya berdasar inspirasi yang dia tangkap tatkala dia menjadi “guru agama” diperkebunan Bajalingge,

36

Mohammad damami, Tasawuf Positif (dalam pemikiran HAMKA), (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000), h. 66


(46)

39

antara Bukit Tinggi dengan Pemantang Siantar. Dia melihta bagaimana kehidupan para saudagar kecil disana dan sebaliknya bagaimana pula nasib buruk yang menimpa kalangan para kuli perkebunan ditempat

yang sama setelah “Poenale Sanctie” diterapkan.

d. Di dalam lembah kehidupan, buku ini merupakan kumpulan cerita

pendek yang semula dimuat dalam Pedoman Masyarakat. Dalam buku ini banyak disinggung mengenai kemudharatan pernikahan poligami yang kurang perhitungan.

2. Karya-karya Hamka dalam bidang keagamaan islam

a. Pedoman Muballig Islam (1937).

b. Agama dan Perempuan (1939), adalah buku yang membela kaum ibu

dari segi agama. Sebuah buku yang melawan kesewenang-wenangan pria terhadap wanita.

c. Kedudukan Perempuan dalam Islam. Buku ini pertama sekali

diterbitkan pada tahun 1973. Pada awalnya, buku ini merupakan karangan bersambung dalam majalah Panji Masyarakat. Kelahiran buku ini tidak terlepas dari rencana diberlakukannya undang-undang perkawinan 1973 yang sekuler dan upayanya mengangkat martabat perempuan yang selama ini berada dalam posisi yang cukup

memprihatinkan.37

37

Samsul nizar, Memperbincangkan dinamika intelektual dan pemikiran HAMKA tentang pendidikan islam, (Jakarta; Kencana, 2008), h. 56


(47)

40

d. Tafsir al-Azhar Juz I-XXX. Tafsir al-Azhar merupakan salah satu

karyanya yang monumental. Buku ini mulai ditulis pada tahun 1962. Sebagian besar isi tafsir ini diselesaikan di dalam penjara, ketika ia menjadi tahanan antara tahun 1964-1967. Buku ini pertama sekali dicetak pada tahun 1979. Karyanya ini telah mengalami beberapa kai cetak ulang. Bahkan penerbitannya bukan saja di Indonesia, akan tetapi juga dicetak di Singapur.

e. Studi Islam (1982), buku ini merupakan karyanya yang secara khusus

membicarakan aspek politik dan kenegaraan islam. Pembicaraannya meliputi; syari’at islam, studi islam (aqidah, syari’ah dan ibadah), dan perbandingan antara hak-hak azasi manusia deklarasi PBB dan Islam. Pokok-pokok pikirannya dalam buku ini ditutup dengan menjelaskan doktrin islam sebagai motivator yang mampu membangkitkan kemerdakaan dan keberanian terhadap umatnya.

f. Sejarah Umat Islam Jilid I-IV (1951), merupakan upayanya

memaparkan secara rinci sejarah umat islam. Paparannya mengenai sejarah islamdi Indonesia mengangkat pembahasan mengenai perkembangan islam di Indonesia dan Semenanjung Melayu.

g. Tasawuf Modern. Buku ini pertama kali diterbitkan di Medan pada

tahun 1939 dan sampai tahun 1987 sedikitnya telah mengalami 16 kali cetak ulang. Buku ini diawalinya dengan terlebih dahulu memaparkan


(48)

41

secara singkat tentang tasawuf. Kemudian secara berurutan dipaparkannya pula pendapat para ilmuwan tentang makna kebahagian, bahagia dan agama, bahagian dan utama, kesehatan jiwa dan badan, harta benda dan bahagia, sifat qanaah, kebahagiaan yang dirasakan Rasulullah, hubungan ridha dengan keindahan alam, tangga bahagia, celaka,dan munajat kepada Allah.

h. Falsafah Hidup (1940), buku ini membicarakan tentang makna

kehidupan dan islam sebagai pembentuk hidup. Serta di dalam buku Hamka juga menceritakan tentang gurunya A.R. Sutan Mansur sebagai tanda hormat kepada beliau dan banyak memberi tuntunan kepada

Hamka.38

i. Ayahku (1950), Riwayat Hidup Dr. Haji Abdul Karim Amarullah dan

perjuangan kaum Agama di Sumatera.

j. Filsafat Ketuhanan, pemaparan tentang manusia dengan Tuhannya.

k. Kenang-kenangan Hidup jilid I-IV(1951), Pada dasarnya buku ini

merupakan semacam buku autobiografinya. Di dalam buku tersebut mengisahkan secara terperinci kehidupannya dengan berbagai

dinamikanyasejak kecil maupun dewasa.39

3. Karya-karya Hamka dalam bidang pendidikan

38

HAMKA, Falsafah Hidup, (Jakarta: pustaka panjimas, 1940), h. 1 39


(49)

42

a. Lembaga budi (1939), terdiri dari XI bab pembicaraannya meliputi;

budi yang mulia, sebab budi menjadi rusak, penyakit budi, budi orang yang memegang pemerintahan, budi mulia yang seyogyanya dimiliki oleh seorang raja (penguasa), budi pengusaha, budi saudagar, budi pekerja, budi ilmuan, tinjauan budi, dan percikan pengalaman.

b. Lembaga Hidup (1941), dalam karyanya tersebut ia mencoba mengupas

tentang berbagai kewajiban diri manusia,asal usul munculnya kewajiban, kewajiban manusia kepada Allah, kewajiban manusia secara sosial, hak atas harta benda, kewajiban dalam pandangan seorang muslim, kewajiban dalam keluarga, kewajiban menuntut ilmu,

kewajiban bertanah air, islam dan politik, Al-Qur’an untuk zaman

modern, dan tulisan ini ditutup dengan memaparkan sosok Nabi Muhammad.

c. Pendidikan Agama Islam (1956), pembahasannya meliputi; manusia

dan agama, dari sudut mana mencari Tuhan, rukun iman (percaya kepada Allah, hal yang ghaib, kitab-kitab, para rasul hari akhirat, serta

takdir, qadha dan qadar), serta iman dan amal shaleh.40

d. Akhlaqul Karimah (1989), Terdapat beberapa pembahasan diantaranya

tentang mencapai kebaikan budi dan penyakit riya. D. Penelitian Terdahulu tentang HAMKA

40


(50)

43

HAMKA adalah tokoh dengan segala bidang yang dikuasainya, baik politik, sastra, tasawuf, jurnalistik, pendidikan, filsafat, antropologi maupun islamologi. Oleh karena itu banyak penulis yang ingin menulis tentang HAMKA. Di bawah ini terdapat beberapa karya tulis baik berupa skripsi, artikel, jurnal maupun tesis yang meneliti tentang HAMKA antara lain:

1. Pendidikan Moral Dan Relevansinya dalam Kehidupan Modern (telaah

kritis atas pemikiran HAMKA).

Penelitian tersebut merupakan Skripsi dari Mukani tahun 2003 Fakultas Tarbiyah jurusan Pendidikan Agama Islam. Di dalam penelitian tersebut termuat beberapa pemikiran Hamka tentang Pendidikan Moral, metode pelaksanaan pendidikan moral, serta Eksposisi pemikiran Hamka di antara pemikir moral lainnya dan juga terdapat relevansi pemikiran Hamka Dalam Kehidupan Modern.

Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perhatian Hamka terhadap masa depan kehidupan modern, menjadikan pemikirannya tentang moral ini menarik dan matang. Hamka telah meletakkan fondasi yang kokoh bagi perwujudan masa depan yang gemilang. Perlu terus adanya dialog dan berpikir mengenai masa depan dengan pemikiran Hamka ini, sebagai bentuk penghargaan otentik kepadas sosok sebesar Hamka. Prinsip balancing yang dikembangkan Hamka dengan mengajukan keseimbangan dalam penyampaian materi kepada anak didik, merupakan kontribusi Hamka dalam menjawab krisis moral yang melanda kehidupan modern


(51)

44

sekarang ini. Oleh karena itu, stake holders hendaknya memperhatikan dengan seksama hal ini. Harus dipahami bahwa parameter keberhasilan pendidikan tidak hanya dari segi intelektualitas, tetapi juga dari segi moralitas.

Metode internalisasi yang ditawarkan Hamka, dimana semua ilmu dapat dibingkai dengan nilai-nilai moral, merupakan kontribusi tersendiri dari Hamka dalam penciptaan ilmuwan yang tidak kering dari moral. Oleh karena itu, para praktisi pendidikan hendaknya memperhatikan ini, bahwa yang perlu diberikan kepada anak didiknya juga meliputi materi yang berorientasi kepada moral.

2. Penafsiran futuristik HAMKA terhadap surat Al-Rum ayat 41

Penelitian ini merupakan Skripsi dari Amirul Fatah tahun 2014 Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuludin dan Filsafat. Di dalam skripsi

dapat disimpulkan penafsiran Hamka terkait surat Ar-Rum ayat 41 yaitu “

Allah telah mengirimkan manusia ke atas bumi ini ialah untuk menjadi khalifah Allah. Yang berarti pelaksana dari kemauan Tuhan. Banyaklah rahasia kebesaran dan kekuasaan Ilahi menjadi jelas dalam dunia, karena usaha manusia. Sebab itu maka menjadi khalifah hendaklah menjadi muslih, berarti suka memperbaiki dan memperindah”.

Tehnik penafsiran yang dilakukan oleh Hamka langsung memberikan uraian terperinci dan masih kurang adanya keterangan yang


(52)

45

Hamka dikalangan ulama’ salaf masih belum sesuai dengan standart ulama-ulama terdahulu. Dalam metode pemikiran penafsirannya Hamka lebih cenderung kepada pandangan rasional. Dengan adanya pemahaman

ini, Alasan Hamka mema’nai surat Al-Rum ayat 41 dengan makna

futuristik, karena Hamka masih mengaitkan dengan kejadian-kejadian dimasa akan datang yang berarti pengetahuan tentang yang akan kejadian karena memperhitungkan perkembangan sekarang.

3. Kesehatan Mental Islami (telaah atas pemikiran HAMKA)

Penelitian ini adalah Tesis dari Drs.Nur Hamim Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1997 untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar magister dalam Ilmu Agama Islam (Pendidikan Islam). Dalam penelitian tesis ini dijelaskan tentang kesehatan

mental dalam prespektif psikologi barat, kerangka pikir (mode of thought)

kesehatan mental islami, Hamka dan pemikirannya tentang kesehatan mental islami serta kasus psikologis dan solusi kesehatan mental islami Hamka.

Berdasarkan pelacakan terhadap berbagai karya Hamka, dapatlah diketahui bahwa Hamka memiliki kontribusi yang besar dalam rangka membangun konsep kesehatan mental islami, yang dalam terminologi hamka disebut dengan kesehatan jiwa. Dalam pandangan Hamka

kesehatan mental adalah adanya keseimbangan (equilibrium) antara


(53)

46

sebagai kesanggupan mengoptimalkan akal dalam mengendalikan diri seseorang. Sebagaimana tujuan kesehatan mental islami pada umumnya, bahwa tujuan kesehatan mental dalam pandangan Hamka adalah untuk mewujudkan kebahagiaan hidup, baik secara fisik-biologis-materialistik ataupun mental-psikis-religious. Cara untuk memperoleh kebahagiaan

dalam pendangan Hamka adalah dengan jalan i’tikad yang benar,

keyakinan yang benar, keimanan yang teguh, dan melaksanakan syariat agama secara konsisten. Sedang metode terapi kesehatan mental yang ditawarkan oleh Hamka adalah mengembangkan sikap syaja’ah, ‘iffah,

hikmah dan ‘adalh, membuat pertahanan diir dengan mengembangkan sifat

ikhlas, qanaah, tawakkal dan mahabbah il al-Allah.

Kontribusi pemikiran Hamka tentang kesehatan mental islami secara operasional dapat diaplikasikan unutk memberikan solusi terhadap problem psikologis mnausia moderen dewasa ini. Hal ini berdasarkan hasil penelitian tesis ini yang penulis lakukan terhadap kasus percobaan bunuh diri, kekerasan dalam keluarga dan keretakan hubungan keluarga, maka dapatlah diketahui bahwa konsep kesehatan mental islami yang diformulasi Hamka relatif dapat diaplikasikan, baik berkait dengan usaha merawat

(preserved), mencegah (prevention) maupun terapi mental.

4. Melacak Pemikiran Tasawuf Modern HAMKA: Sebuah Kritik Terhadap


(54)

47

Penelitian ini adalah sebuah Jurnal Tasawuf yang diteliti oleh Abdul Rauf seorang mahasiswa di Institut PTIQ-Jakarta. Beliau melacak bukunya Hamka yang mengkritik terhadap tasawuf yaitu Tasawuf Modern. Dapat disimpulkan bahwa akar pemikiran tasawuf Hamka banyak diperngaruhi

oleh dua faktor utama. Pertama, bacaan Hamka yang bersentuhan dengan

gagasan-gagasan pembaharuan melalui majalah-majalah pembaharuan.

Kedua, persentuhan semangat dan watak pembaharuan dari pada “guru

-guru”nya. Diantaranya melalui ayahnya sendiri dan para pembaharu asal mesir. Melalui dua jalan itu Hamka menjadi model utama tersendiri yang diwujudkan dalam bentuk tasawufnya. Bentuk tasawuf poembaharuan Hamka yang ada dalam tasawuf modern berbeda dengan yang lainnya.

“tasawuf modern” Hamka sebenarnya sama dengan neo-sufisme. Sehingga

bisa dikatakan bahwa Hamka adalah perintis neo-sufisme di indonesia. Di dalamnya terdapat alur pemikiran yang memberi apresiasi yang wajar kepada penghayatan esoteris islam yang tetap dalam kendali ajaran-ajaran standar syariah.

Dengan watak pembaharuannya, Hamka juga banyak mengkritisi

praktik tasawuf yang dinilai menyimpang jauh dari ajaran Al-Qur’an dan

Hadis Nabi. Hamka menolakdan mengkritik ajaran tasawuf yang semata-mata putus hubungan dengan dunia, mereka bergerak, ber-tawajjuh, putuskan segala hubungan dengan yang lain. Hamka mengkritik praktik zikir dengan susunan tertentu, yang dinamai tariqat dengan syaikh


(55)

48

(mursyid). Syeikh inilah yang akan membimbing seperti sekian hari lamanya tidak boleh memakan daging, dan makan ditentukan tidak banyak, demikian harinya,yang empat puluh hari atau lebih. Ini seperti ritual-ritual khusus yang dilakukan pada tarekat rifa’iyah yangdisebut khlawah mingguan atau tahunan. Bagi Hamka ini merupakan Bid’ah.

5. Aplikasi pemikiran HAMKA tentang Zuhud dalam Kehidupan Modern

Judul di atas merupakan penelitian skripsi yang lakukan oleh Siti Musyafa’ah dari jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuludin IAIN Sunan Ampel Surabaya pada Tahun 2002. Dalam skripsi ini peneliti menekankan pada aspek Zuhud dalam kehidupan modern menurut Tokoh Hamka. Yang dapat disimpulkan bahwa Zuhud dalam pandangan Hamka adalah merupakan sikap jiwa yang tidak ingin dan tidak demam terhadap dunia, serta tidak terikat oleh materi. Harta boleh dimiliki tetapi diperuntukkan pada hal-hal yang bermanfaat. Dia menyatakan bahwa manusia harus menciptakan keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani, antara materi dan non materi. Dan lebih dari itu mereka harus aktif di atas dunia ini. Sikap zuhud yang ditawarkan oleh Hamka sangat relevan dalam kehidupan sehari-hari dan juga dapat berperan sebagaimana tuntutan zaman. Karena Hamka menghendaki agar zuhud yang dijalankan, yaitu dalam berkehidupan bertasawuf, utamanya dalam menjalankan peribadatan agama sehari-hari dan dapat melahirkan sikap etos sosial yang tinggi.


(56)

49

6. Pemikiran Hamka tentang Hubungan Islam dan Negara menurut Politik

Islam

Penelitian yang dilakukan oleh Moch. Arif Syarifuddin ini merupakan sebuah skripsi yang dilakukan untuk menyelesaikan program sarjana strata satu dalam ilmu syariah di IAIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2005. Penelitian ini terdapat pemikiran Hamka tentang Islam, Negara, serta hubungan islam dan negara menurut Politik Islam. Menurut Hamka Agamamerupakan seluruh kegiatan hidup manusia,semata-mata ibadat antara makhluk kepada Tuhan dan bukan pula semata-semata politik, hubungan antara seseorang dengan masyarakat dan bukan semata-mata urusan ulama atau kepala-kepala agama tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan. Sedangkan negara dalam pandangan Hamka adlaah terbentuk dengan latar belakang kesamaan keyakinan, hal ini dapat berarti pula bahwa unsur pembentuk negara berawal sari suatu komunis yang mempunyai satu pandangan atau keyakinan yang tersentralisasi pada satu fokus pandangan yang bertujuan untuk melestarikan dan mengembangkan komunis tersebut dengan atribut keyakinannya itu dalam suatu wadah besar yang kemudina disebut dengan negara.

Hubungan agama dan negara menurut pandangan Hamka adalah bahwa dalam islam tidak ada pemisahan antara urusan agama dari negara. Islam menghendaki hubungan yang harmonis dalam segala urusan yang berlaku diantara keduanya. Karena keduanya merupakan dua unsur yang


(57)

50

saling berhubungan erat dan saling melengkapi. Disamping itu bahwa ajaran islam mampu menyatukan suatu materi dan spirit, dan menyatukan masyarakat dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda dalam suatu komunis yang plural.

7. Pandangan HAMKA tentang ma’rifat

Penelitian ini dilakukan oleh Rahwiyatul Khair Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuludin di IAIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2001. Peneliti hanya menekankan pada ma’rifat yang dibahas dalam pandangan tokoh yang terkenal di abad modern yaitu Buya Hamka. dapat disimpulkan bahwa ma’rifat dalam pandangan Hamka adalah kumpulan pengetahuan syari’at, tarikat dan hakikat. Yang merupakan kumpulan dari ilmu pengetahuan, perasaan, pengalaman, amal dan ibadah. Kumpulan dari ilmu, filsafat dan agama. Kumpulan dari mantiq (logika), keindahan (estetika) dan cinta. Bagi Hamka jika manusia telah mencapai tingkatan ma’rifatullah, maka akan selalu terdorong untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan akan menjauhi semua larangan-larangan-Nya. Karena pancaran cahaya didalam hatinya, menguasai daya yang ada dalam diri manusia dengan sinarnya yang amat memukau.

8. Pandangan Quraisy Syihab dan HAMKA tentang Bunga Bank (Study

Analisis)

Penelitian ini merupakan bentuk skripsi yang dilakukan oleh Umi Choriroh Jurusan Muamalah Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel


(1)

116

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Pada bagian akhir pada skripsi ini, penulis mengambil sebuah kongklusi berdasarkan rumusan masalah yang telah diajukan, setelah dilakukan analisis, Maka pola pendidikan akhlak bagi peserta didik menurut Hamka, tantangan dan kendala pendidikan akhlak serta faktor yang mempengaruhi pemikiran Hamka tentang pendidikan akhlak, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pola pendidikan akhlak bagi peserta didik yang dipaparkan oleh Hamka mencakup beberapa point yaitu :

a) Tujuan pendidikan akhlak b) Materi pendidikan akhlak c) Akhlak peserta didik

Sehingga dapat disimpulkan bahwa Hamka sangat memperhatikan tujuan yang akan dicapai dalam pendidikan akhlak itu sendiri yang pada dasarnya merupakan upaya dalam mencapai budi pekerti yang setinggi-tigginya, dan juga memahami materi pendidikan akhlak dengan pemahaman yang baik dan benar sehingga terciptanya peserta didik yang berkualitas, peserta didik yang berakhlak mulia terhadap guru, dalam menuntut ilmu maupun terhadap lingkungan di sekitarnya.


(2)

117

2. Tantangan dan kendala pedidikan Akhlak bagi Peserta didik menurut Hamka yaitu :

a. Arus Globalisasi sangat berpengaruh pada pergeseran nilai-nilai moral dan budi pekerti anak.

b. Tingkat Kemajuan Teknologi Informatika yang bergerak maju dalam hitungan detik tanpa bekal yang kuat dengan penanaman pendidikan akhlak maka teknologi tersebut dapat dipergunakan dengan salah

c. Pola Hidup sekarang yang cenderung hedonisme, sekularisasi dan westernalisasi, dengan gaya hidup seperti itu dapat mengalami dekadensi moral bagi peserta didik.

d. Kurikulum di Sekolah yang dimasukkannya materi moral dan budi pekerti ke dalam setiap mata pelajaran juga cukup sulit terbukti tidak banyak guru dapat mengaplikasikan pembelajaran tersebut. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran HAMKA tentang

Pendidikan Akhlak, Disini penulis menyimpulkan bahwa ada 3 faktor yang mempengaruhi pemikiran intelektualitas beliau terutama dalam bidang pendidikan akhlak. Pertama, Setting Keluarga Kedua, Setting Pendidikan Ketiga, Setting Sosio-Politik. Dari ketiga faktor tersebut dapat dijadikan acuan bahwa ketiganya sangat mempengaruhi pemikiran intelektualitas Hamka terutama pendidikan akhlak yang banyak di antara pemikiran-pemikiran Hamka yang itu terkait pendidikan maupun berbagai disiplin ilmu beliau sangat mementingkan


(3)

118

akhlak karena menurut beliau akhlak merupakan tindakan yang dipakai untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam kehidupan serta cara untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.

B. Saran-saran

1. Bagi orang tua dan para guru, seharusnya terlebih dahulu dapat memperbaiki akhlak dirinya sendiri kemudian berusaha untuk menanamkan akhlak yang baik kepada anak dan peserta didik.

2. Bagi guru pendidikan agama islam, seharusnya dapat menanamkan pendidikan akhlak kepada para peserta didik agar akhlak tersebut dapat di internalisasi (di tanamkan dalam diri) dan di praktekkan peserta didik dalam kehidupan, karena materi pendidikan agama islam bukan untuk difahami dan dihafal saja tetapi perlu pengalaman.

3. Bagi para guru mata pelajaran umum, seharusnya dalam mengajarkan materi umum juga dikaitkan dengan pendidikan akhlak, sehingga akhlak yang bercermin adalah sesuai ilmu yang dimilikinya dan ilmu tanpa akhlak yang baik akan menimbulkan kerusakan di bumi.

4. Bagi lingkungan sekolah, seharusnya dapat menciptakan lingkungan yang dapat membentuk akhlak yang baik bagi peserta didik.

5. Pemikiran Hamka tentang pendidikan akhlak hendaknya dijadikan rujukan bagi pengembangan ilmu pendidikan dimasa sekarang maupun dimasa yang akan datang.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Agus, Bustanuddin. 2007, Islam Dan Pembangunan, Jakarta: PT. Grafindo Persada. Ahmadi Abu dan Nur uhbiyati, 2006, ilmu pendidikan cetakan ke II, Jakarta: PT

Rineka cipta.

Aliaras Wahid , Amirudin dan Moh.rofiq, 2006, membangun karakter dan kepribadian melalui pendidikan agama islam, Yogjakrta : Graha ilmu.

Bungin, Burhan (ed). 2007, Metodologi Penelitian Kualitatif , Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Damami, Mohammad. 2000, Tasawuf Positif (dalam pemikiran HAMKA), Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

Daryanto, 1999, Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta. HAMKA, 1940, Falsafah Hidup, Jakarta: Pustaka Panjimas.

HAMKA, 1960, Tafsir Al-Azhar juz XXI-XXII, Jakarta: PT. Pustaka Panjimas. HAMKA, 1992, Akhlakul karimah, Jakarta: Pustaka Panjimas.

HAMKA, 2001, Lembaga budi, Jakarta: Pustaka Panjimas. HAMKA, 2014, Pribadi Hebat, Jakarta: Gema Insani.

HAMKA, 2015, Tasawuf Modern, Jakarta: Replubika Penerbit. HAMKA, 2015, Lembaga Hidup, Jakarta: Replubika Penerbit.

Hamim, Nur. 2009, Manusia dan pendidikan elaborasi pemikiran HAMKA, (Sidoarjo: Qisthos.

Haulay, Haidar Putra. 2004, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Di Indonesia, Jakarta: Kencana.

Http:// goenable.wordpress.com/2013/12/21/tantangan-pendidikan-moral-di-era-globalisasi.


(5)

Kurniawan , Syamsul dan Erwin Makhrus. 2011, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam Yogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Manali, A. Mudjab. 1984, Adab Dan Pendidikan Dalam Syariat Islam, Yogyakarta: BPFE.

Mansur, 2009, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, Yogyakart: Pustaka Pelajar. Moleong, Lexy J. 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Muhammad Herry dkk, 2006, Tokoh-tokoh islam yang berpengaruh pada abad 20, Jakarta: Gema Insani.

Mujib, Abdul 2014, ilmu pendidikan islam, Jakarta: kencana.

Muslich, Masnur. 2011, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Mltidimensional, Jakarta, Bumi Aksara.

Nizar, Samsul. 2008, memperbincangkan dinamika intelektual dan pemikiran HAMKA tentang pendidikan Islam, Jakarta: Kencana.

Poerwodarminto, 1982, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Purwanto, Ngalim. 2012, prinsip-prinsip dan teknik evaluasi pengajaran, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Redaksi, Dewan Ensiklopedi Islam. 1994, Ensiklopedi Islam 3, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.

Saebani, Afifuddin dan Beni Ahmad. 2009, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Pustaka Setia.

Samawi, Muchlas. et al. 2012pendidikan karakter konsep dan model, Bandung, PT. Remaja Roasdakarya.

Sudjiono, Anas. 1996, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sukardi, 2010, Evaluasi Pendidikan Prinsip Dan Operasionalnya, Jakarta:Bumi Aksara.

Thoha, Cahbib dkk. 1999, Metodologi pengajaran agama, Semarang: IAIN Walisongo Semarang Pustaka Pelajar.


(6)

W.S, Titiek Nama saya: Hamka, dalam Nasir tamara, dkk, 1983, HAMKA dimata hati umat, Jakarta: Sinar Harapan.

Yusuf, Yunan dkk., 2005, ensiklopedi muhamadiyah, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Zuriah, Nurul. 2007, Pendidikan Moral Dan Budi Pekerti Dalam Prespektif