PEMBELAJARAN SEJARAH DENGAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING PADA ERA OTONOMI KHUSUS DALAM MENUMBUHKAN NASIONALSME SISWA DI KELAS XI IPS 1 MADRASAH ALIYAH NEGERI KABUPATEN FAKFAK PROVINSI PAPUA BARAT :Penelitian Tindakan Kelas Di Kelas XI IPS 1 Madrasah Aliya

(1)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN LEMBAR PERSETUJUAN

ABSTRAK i

KATA PENGANTAR ii

UCAPAN TERIMA KASIH iv

DAFTAR ISI viii

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang... 1

B. Identifikasi Masalah... 17

C. Rumusan Masalah... 18

D. Penjelasan Konsep... 19

E. Tujuan Penelitian... 20

F. Manfaat Penelitian... 21

G. Paradigma Penelitian... 22

BAB II. LANDASAN TEORI A. Hakekat Pendidikan Sejarah... 23

B. Pembelajaran Sejarah... 28

C. Menumbuhkan Nasionalisme... 30

D. Pemahaman Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus... 42


(2)

B. Prosedur Penelitian... 67

C. Lokasi Penelitian... 71

D. Instrument Penelitian... 72

E. Teknik Pengumpulan Data... 73

F. Pengolahan Dan Analisa Data... 78

G. Tahapan Penelitian... 82

H. Agenda Penelitian... 84

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Hasil Penelitian... 85

1. Gambaran Umum Sejarah Kota Fakfak... 85

a. Zaman Prasejarah Hingga Abad XV (1500)... 85

b. Hubungan Masyarakat Fakfak Dengan Kerajaan- Kerajaan Di Indonesia... 88

c. Kedatangan Bangsa-Bangsa Barat Di Fakfak... 91

d. Perjuangan Rakyat Fakfak Dalam Merebut Dan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia... 94

2. Lokasi Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak... 101

a. Gambaran Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak... 101

b. Visi, Misi, Tujuan Dan Strategi Madrasah AliyahNegeri Kabupaten Fakfak... 104

c. Deskripsi Keadaan Guru Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak... 107


(3)

f. Refleksi Awal... ... 119

g. Perencanaan Untuk Tindakan Pertama... 120

B. Deskripsi Pelaksanaan Tindakan... 121

1. Pelaksanaan Tindakan Siklus Pertama... 121

2. Pelaksanaan Tindakan Siklus Kedua... 130

3. Pelaksanaan Tindakan Siklus Ketiga... 142

C. Pembahasan Penelitian... 154

1. Proses Pembelajaran Sejarah Dengan Model Problem Based Learning Dalam Menumbuhkan Nasionalisme siswa... 154

2. Perencanaan Pembelajaran Sejarah Dengan Model Problem Based Learning Dalam Menumbuhkan Nasionalisme Siswa... 157

3. Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah Dengan Model Problem Based Learning Dalam Menumbuhkan Nasionalisme Siswa... 158

4. Penilaian Pembelajaran Sejarah Dengan Model Problem Based Learning Dalam Menumbuhkan Nasionalisme Siswa... 160

5. Perubahan Pembelajaran Sejarah Dengan Model Problem Based Learning Dalam Menumbuhkan Nasionalisme Siswa... 162

BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDSI A. Kesimpulan... 165


(4)

LAMPIRAN-LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP


(5)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembelajaran sejarah yang dilaksanakan sesungguhnya untuk menceritakan pengalaman yang diwariskan oleh generasi terdahulu dan dapat memainkan perannya untuk membekali siswa tentang pemahaman mengenai nilai-nilai moral kebangsaan, cinta tanah air dan patriotisme, melatih intelektual siswa mengenai pengalaman bangsa, dan pembelajaran sejarah dapat membentuk jatidiri bangsa serta pembinaan dalam pembangunan bangsa (nation and character bulding).

Pembelajaran sejarah yang diajarkan di tingkat sekolah (SMP/SMA) pada umumnya adalah penyampaian pengetahuan dari guru kepada siswa yang didasarkan pada buku paket terutama proses pembelajaran yang terjadi di Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat. Sejarah yang diajarkan berupa sejarah perjuangan bangsa Indonesia daerah lain atau peristiwa-peristwa yang terjadi seluruh tanah Jawa (berisifat Jawa centris) tanpa mempertimbangkan keadaan tempat dimana guru itu mengajar dan guru berperan sebagai pusat kegiatan belajar dan siswa sebagai peserta pasif yang selalu mendengar, diperintah untuk menerima materi dari guru. Dalam posisinya sebagai penyampai materi pembelajaran guru sebagai pengembang kurikulum di tingkat implementasi di ruang kelas kurang peka terhadap perkembangan masyarakat sehingga materi pembelajaran sering kali lepas dari konteks dan situasi nyata dalam lingkungan sosial siswa (Somantri, 2001).


(6)

Diharapkan seorang guru sejarah yang menguasi bidang studi yang akan diajarkannya dapat memiliki ketrampilan dalam mengembangkan pembelajaran, memahami sejarah sebagai ilmu dan bagian dari disiplin ilmu sosial, memiliki kemampuan berpikir yang komprehensif dan interdisipliner, kemampuan membaca fenomena sosial kontemporer serta interes untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan profesionalnya, dapat mengkaitkan antara pokok bahasan sejarah sesuai dengan jamannya dengan masalah-masalah sosial kontemporer (Supriatna, 2007:93).

Winenburg (2008:16) menilai selama ini sejarah yang diajarkan sekolah kurang bermakna bagi siswa. Ironis sekali, siswa diajak untuk mempelajari asal-usul daerah lain, namun tidak memahami asal-asal-usul daerahnya sendiri. Disisi lain juga muncul persoalan yang terkait dengan kecurigaan dari kelompok tertentu yang merasa tidak diuntungkan dalam kurikulum.

Oleh karena itu, perlu sekali merubah paradigma dalam pembelajaran sejarah yang dapat memberikan stimulus siswa untuk mempelajari sejarah, diantaranya siswa dibawah untuk mampu mempararelkan sejarah nasional dan dunia ke dalam linkungan kehidupannya dengan metode yang inovatif dan bervariatif, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut yaitu: pertama; pengorganisasian bahan pembelajaran, kedua, mengintegrasikan materi sejarah, ketiga; mengembangkan dan menggunakan konsep-konsep sejarah atau ilmu sosial lainnya yang relevan dengan konsep disiplin sejarah, keempat; menggunakan dan menggembangkan teori-teori tertentu dalam sejarah, dan


(7)

kelima; menggunakan pendekatan yang menekankan pada siswa dalam proses pembelajaran, misalnya inquiri dan cooperative learning (Supriatna, 2007:67-70).

Dalam buku Historiografi di Indonesia yang ditulis oleh Agus Mulyana dan Darmiasti bahwa pelajaran Sejarah merupakan mata pelajaran yang tujuannya memiliki kaitan dengan pembentukan watak bangsa. Tujuan yang demikian membuat tujuan pelajaran Sejarah akan berkaitan dengan ideologi politik kenegaraan. Negara sering memandang bahwa pembentukan watak kebangsaan warganya merupakan kewajiban negara . Kewajiban itu kemudian dilakukan melalui pendidikan diantaranya dilakukan dalam mata pelajaran sejarah. Dengan demikian, tujuan pelajaran sejarah menjadi ideologis. Pada sisi lain sejarah di sekolah adalah sejarah sebagi ilmu (2009:79).

Untuk menjadi seorang guru sejarah yang ideal dan profesional, Sjamsuddin (1996: 68-69) dalam Dadang Supardan menjelaskan bahwa harus memiliki beberapa kemampuan yang dipersyaraktkan adalah sebagai berikut: 1. Kemampuan praktis dalam mengartikulasi dan mengekspresikan

pengetahuannya secara menarik, baik secara tertulis maupun lisan.

2. Kecakapan membaca dan/atau berbicara dalam satu atau dua bahasa asing atau daerah.

3. Menguasai satu atau lebih disiplin kedua, terutama ilmu-ilmu sosial lain, seperti antropologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi, atau ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora), seperti filsafat, seni atau sastra, bahkan kalau mungkin relevan juga yang berhubungan dengan ilmu-ilmu alam.


(8)

4. Kelengkapan dalam penggunaan pemahaman (insight) psikologi, kemampuan imajinasi, dan empati.

5. Kemampuan membedakan antara profesi sejarah dan sekedar hobi antikurian, yaitu pengumpulan benda-benda antik.

6. Pendidikan yang luas (broad culture) selama hidup sejak dari masa kecil. 7. Dedikasi pada profesi dan integritas pribadi, baik sebagai sejarawan peneliti

maupun sebagai sejarawan pendidik (2008:307).

Upaya pengembangan pendidikan mata pelajaran sejarah merupakan tangggung jawab seorang guru sejarah dalam proses pembelajaran di tingkat sekolah. Guru sejarah diharapkan mampu melaksanakan pengajaran pendidikan sejarah nasional yang disesuaikan dengan lingkungan dimana ia mengajar dengan memperhatikan tujuan, materi, metode, sehingga tercapai tujuan pendidikan nasional yaitu meningkatkan rasa nasionalisme di dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Selanjutnya nilai-nilai kesejarahan daerah merupakan modal dasar dalam penguatan kehidupan berbangsa. Untuk itu kemampuan guru sejarah dalam pembelajaran sejarah diharapkan dapat mentransformasikan dengan baik kepada siawa. Seperti yang ditegaskan oleh Notosusanto bahwa:

“Pada dewasa ini telah hadir suatu generasi yang bukan saja tidak mengalami zaman penjajahan atau zaman pergerakan nasional, melainkan juga lahir sesudah selesainya perang kemerdekaan. Mereka yang lahir tahun 1950 sekarang sudah berusia …? Jadi sudah mencapai kematangan penuh sebagai manusia. Satu-satu penghubung antara mereka dengan tahun-tahun formatif bangsa kita. Setengah abad yang lalu adalah sejarah. Jika sejarah tidak sampai pada mereka, haruslah kita perhitungkan bahwa mereka akan memperoleh presepsi yang tidak benar mengenai anteseden bagi masa kini seperti sekarang ini bentuknya. Dari


(9)

ketidak mengertian itu akan tumbuh miskonsepsi, dan dari miskonsepsi mudah timbul frustasi” (I Gde Widja, 1991: 162).

Bertolak dari pemikiran Notosusanto diatas bahwa pembelajaran mata pelajaran Sejarah di Kabupaten Fakfak dengan otonomisasi pendidikan (otonomi khusus) seorang guru sejarah harus mampu secara profesional dalam mengembangkan pengajaran Sejarah. Sebagaimana Wiriaatmadja (2009:17) menjelaskan bahwa “kemampuan guru Sejarah untuk melakukan variasi dalam strategi belajar mengajarnya, melatih dirinya untuk melakukan peran sebagai fasilitator, mediator, dan evaluator dalam proses pembelajaran yang berhasil membangun suasana yang demokratis, sedangkan untuk siswa diharapkan terjadi perubahan pandangan siswa terhadap pelajaran sejarah melalui model-model pembelajaran yang berbeda mereka mulai memainkan peranan yang lebih efektif, melihat adanya hubungan antara pelajaran masa lalu dengan kehidupan mereka sendiri, dan bahwa dengan memiliki berbagai ketrampilan dalam menghadapi atau mengembangkan ketrampilan pengambilan keputusan, para siswa harus mengembangkan kemampuan berpikir kritis mereka terlebih dahulu.”

Fakfak adalah salah satu pemerintahan kabupaten yang ada di Provinsi Papua Barat dalam sistem administrasi merupakan kabupaten tertua di tanah Papua, terdiri dari sembilan Distrik (kecamatan) yang sedang melakukan percepatan pembangunan disegala bidang. Bidang pendidikan merupakan prioritas utama dalam melaksanakan pembangunan daerah yang dilaksanakan berdasarkan amanah Undang-Undang.

Undang-Undang Otonomi Khusus Papua merupakan Undang-Undang yang diberikan oleh rakyat Indonesia kepada masyarakat Papua, khususnya


(10)

Kabupaten Fakfak untuk menjalankan kewenangan mengatur pemerintahan sendiri (desentralisasi) secara khusus. Dengan kewenangan khusus dari pemerintahan pusat ini Kabupaten Fakfak mulai mengadakan percepatan melakukan perubahan pembangunan segala bidang.

Ketertinggalan selama ini dirasakan di Kabupaten Fakfak dikarenakan aspirasi pembangunan dilaksanakan berdasarkan keinginan sentralistrik sehingga mengakibatkan kesenjangan yang terlalu luas dalam pembangunan berbangsa dan bernegara. Dalam pelaksanaan pembangunan yang dilakukan saat ini di Kabupaten Fakfak, pembangunan pendidikan dengan didukung anggaran pembangunan pendidikan berdasarkan amanah Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dimana sekurang-kurangnya 30% anggaran pembangunan daerah diperuntukkan pada bidang pendidikan sebagai percepatan pembangunan terutama dalam meningkatkan sumber daya manusia.

Percepatan pembangunan pendidikan pada saat ini harus dapat diimbangi dengan kemampuan nilai, sikap loyalitas terhadap bangsa terutama daerah dimana kita berada sehingga tujuan pembangunan dapat tercapai. Undang-Undang Otonomi Khusus sebagai perasaan nasionalisme seluruh masyarakat Indonesia dalam membangun Papua lebih khusus Kabupaten Fakfak untuk membentuk manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya mencapai masyarakat adil dan makmur yang dirahmati Tuhan Yang Maha Esa.

Seiring bergulirnya reformasi Indonesia pada tahun 1998, berawal krisis ekonomi (moneter) dan moral akhirnya diikuti dengan krisis multi demensional diberbagai bidang yang berdampak dengan mundurnya Presiden Soerharto pada


(11)

tanggal 21 Mei 1998. Ancaman dis-integrasi bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia tampaknya terkait dengan proses demokratisasi yang semakin terbuka dan liberal. Ikatan primordial seperti kesukuan, keagamaan, antar golongan telah dijadikan motif-motif yang mewarnai konflik kepentingan yang menimbulkan kerusuhan dan instabilitas. Gerakan separatisme yang sejak rezim pemerintahan orde baru lahir justeru semakin inten melakukan provokatif.

Kongres rakyat Papua II tanggal 29 Mei hingga 4 Juni 2000 untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dikatakan rakyat Papua memperjuangkan kemerdekaan karena selama ini hidup dalam trauma eksploitasi dan penindasan. Persolan-persoalan yang mencolok adalah hak asasi manusia dan eksploitasi kekayaan alam tanpa mempertimbangkan asas keadilan. Selama ini kekayaan alam diambil sementara membangun Papua sangat tidak berimbang (minim) tanpa mempertimbangkan kesejahteraan rakyat Papua.

Pada dasarnya status hukum Papua sebagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia telah final. Perubahan resim pemerintahan Indonesia dari Presiden Soeharto kepada Presiden Baharuddin Jusuf Habibie menandai awal masa peralihan dari negara otoriter ke negara demokrasi. Sementara sebagian besar elit kota Jakarta berbicara reformasi (dalam bidang politik, ekonomi, sosial, hukum, dan keamanan), sedangkan bagian terbesar elit Papua berbicara kemerdekaan Papua. Berbeda dengan taktik gerilya dan pemberontakan bersenjata yang dijalankan Organisasi Papua Merdeka, tokoh-tokoh intelektual, agama, dan adat Papua mendorong dialog damai dengan pemerintah pusat dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua. Pemerintah Habibie mendorong dialog


(12)

sebagai bagian dari pendekatan yang digunakan pemerintahan baru yang demokratis itu, tetapi menolak ide kemerdekaan Papua. Pemerintahan Presiden Abdulrahman Wahid juga mengizinkan pengungkapan sentimen-sentimen Papua secara relatif. Ketika situasi Papua memburuk, dan banyak politisi Jakarta dan militer mulai mengecam pendekatan terbuka yang dijalankan Abdulrahman Wahid, Abdulrahman Wahid mengusulkan status otonomi khusus bagi masyarakat Papua sebagai alternatif bagi kemerdekaan.

Presiden Megawati Soekarnoputri melaksanakan status otonomi khusus untuk provinsi Papua berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Otonomi Khusus Papua menjadi alternatif jawaban permasalahan yang terjadi di tanah Papua untuk mengejar ketertinggalan yang dirasakan dalam pembangunan disegala bidang. Dengan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua diharapkan dapat membangung masyarakat dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat untuk mencapi kesejahteraan yang dicita-citakan.

Undang-undang Otonomi Khusus ini merupakan kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua dan Papua Barat untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Papua dan Papua Barat menurut Prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua (Pasal 1ayat b). Pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, hak asasi manusia (HAM), supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU Otsus, 2001:3).


(13)

Untuk menghubungkan dengan tujuan yang akan dicapai dalam Undang-Undang Otonomi Khusus hanya dapat dilakukan salah satuhnya melalui dunia pendidikan. Pendidikan dapat melahirkan hasil yang memiliki jiwa nasionalisme yang kuat dan utuh mengenai konsep kebangsaan. Hal tersebut sangat urgen bagi masa depan bangsa dan negara sebab apabila siswa tidak memiliki hal tersebut, dipastikan krisis dis-integrasi dan krisis multidemensional yang hingga kini berkecamuk serta meruntuhkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara akan terus berulang dimasa yang akan datang.

Pendidikan selain merupakan sebagai wadah untuk menuntut ilmu pengetahuan, pendidikan juga merupakan tempat menggodok dan menyiapkan generasi bangsa dan calon pemimpin bangsa. Seperti pendapat Rusli Karim (1991:31), pendidikan sesungguhnya bertugas menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan tertentu dalam masyarakat dimasa datang.

Untuk dapat menumbuhkan nasionalisme siswa dalam pembelajaran sejarah salah satunya adalah model problem based learning (pembelajaran berbasis masalah). Problem based learning adalah suatu model pembelajaran yang menuntut siswa untuk berpikir kritis, memecahkan masalah, belajar secara mandiri, dan menuntut ketrampilan berpartisipasi dalam tim. Proses pemecahan masalah dilakukan secara kolaboratif dan disesuaikan dengan kehidupan. Sementara itu, Bout & Feletti (1991) dalam Rusman (2010:246) mendefinisikan pembelajaran berbasis masalah sebagai suatu pendekatan kearah penataan pembelajaran yang melibatkan para peserta didik untuk menghadapi permasalahan melalui praktik nyata sensual dengan kehidupan sehari-hari.


(14)

Margetson (1994) dalam Rusman (2010:246) mengemukakan bahwa kurikulum pembelajaran berbasis masalah membantu untuk meningkatkan perkembangan ketrampilan belajar sepanjang hayat dalam pola pikir yang terbuka, reflektif, kritis, dan belajar aktif. Kurikulum pembelajaran berbasis masalah menfasilitasi keberhasilan memecahkan masalah, komunikasi, kerja kelompok dan ketrampilan interpersonal dengan lebih baik dibanding dengan pendekatan yang lain.

Dengan pembelajaran berbasis masalah diharapkan agar :

1. Para siswa dapat belajar, mengingat, menerapkan, dan melanjutkan proses belajar secara mandiri. Prinsip-prinsip “membelajarkan” seperti seperti ini tidak bisa dilayani melalui ‘pembelajaran’ tradisional yang banyak menekankan pada kemampuan menghapal apalagi pembelajaran sejarah yang diperhadapkan pada angka-angka tahun dan para pahlawan yang membuat pelajaran sejarah menjadi gersang atau kering tanpa bermakna. 2. Para siswa diperlakuakan sebagai insan yang dewasa. Perlakuan ini

memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan dan mengimplementasikan pengetahuan atau pengalaman yang dimiliki untuk memecahkan masalah.

Pembelajaran berbasis masalah merupakan penggunaan berbagai macam kecerdasan yang diperlukan untuk melakukan konfrontasi terhadap tantangan dunia nyata, kemampuan untuk menghadapi segala sesuatu yang baru dan kompleksitas yang ada (Tan, 2000). Sebagaimana keinginan masyarakat dunia ingin melakukan penyatuan sendi-sendi kehidupan dalam berbagai bidang tanpa


(15)

batasan kenegaraan. Namun, yang dialami bangsa Indonesia adalah kebanggaan kedaerahan yang berlibihan sehingga menuntut negara (pemerintah) untuk melakukan langkah-langkah proatif dalam membangun kesadaran nasionalisme kembali sehingga tidak terjadi dis-integrasi bangsa.

Model pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu model pembelajaran sebagai penghubung didalam pembelajaran sejarah untuk menumbuhkan nasionalisme siswa. Karakteristik pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut:

1. Permasalahan menjadi starting point dalam belajar;

2. Permasalahan yang diangkat adalah permasalahan yang ada di dunia nyata yang tidak terstruktur;

3. Permasalahan membutuhkan perspektif ganda (multiple perspective);

4. Permasalahan, menantang pengetahuan yang dimiliki oleh siswa, sikap, dan kompetensi yang kemudian membutuhkan identifikasi kebutuhan belajar dan bidang baru dalam belajar;

5. Belajar pengarahan diri menjadi hal yang utama;

6. Pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam, pengguanaannya, dan evaluasi sumber informasi merupakan proses yang esensial dalam pembelajaran berbasis masalah;

7. Belajar adalah kolaboratif, komunikasi, dan kooperatif;

8. Pengembangan ketrampilan inkuiri dan pemecahan masalah sama pentingnya dengan penguasaan isi pengetahuan untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan;


(16)

9. Keterbukaan proses dalam proses belajar mengajar meliputi sintesis dan integrasi dari sebuah proses belajar; dan

10. Proses Belajar Mengajar melibatkan evaluasi dan review pengalaman siswa dalam proses belajar (Rusman, 2010:248).

Dimana kata “pembelajaran” itu sendiri merupakan terjemahan dari “instruction”, yang banyak dipakai dalam pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi konigtif holistik, yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang diasumsikan dapat mempermudah siswa mempelajari segala sesuatu lewat berbagai macam media, seperti bahan-bahan cetak, program televisi, gambar, audio, dan lain sebagainya, sehingga semua itu mendorong terjadinya perubahan peranan guru dalam mengelola proses belajar mengajar, dari guru sebagai sumber belajar menjadi guru sebagai fasilitator dalam belajar mengajar.

Hal ini seperti yang diungkapkan Gagne dalam Sanjaya (2006:100) yang menyatakan bahwa, “Instruction is a set of event that effect learners in such a way that learning is faciltated.” Oleh karena itu menurut Gagne, mengajar atau teaching merupakan bagian dari pembelajaran (instruction), dimana peran guru lebih ditekankan kepada bagaimana merancang atau mengaransemen berbagai sumber dari fasilitas yang tersedia untuk digunakan atau dimanfaatkan siswa dalam mempelajari sesuatu.

Mengajar adalah suatu aktivitas yang dapat membuat siswa belajar. Keterkaitan antara mengajar dan belajardi istilahkan Dewey sebagai “menjual dan


(17)

membeli” (Teaching is to Learning as Selling is to Buying).” Artinya, seseorang tidak mungkin akan menjual manakala tidak ada orang yang membeli, yang berarti tak akan ada perbuatan mengajar manakala tidak membuat seseorang belajar. Dengan demikian, dalam istilah mengajar juga terkandung proses belajar siswa. Inilah makna pembelajaran.

Untuk itu pembangunan pendidikan dapat terlaksana apabila segala proses pembelajaran dan unsur-unsur utama pada penyelenggaraan pendidikan yaitu guru, siswa, kurikulum pendidikan, alat peraga dan alat pelajaran, berbagai fasilitas fisik prasarana dan sarana pendidikan serta peraturan perundangan yang menjadi pedoman. Salah satu unsur penting adalah guru, guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Guru yang baik adalah guru yang mampu menguasai bahan pelajaran, strategi belajar mengajar, dan dapat mendorong siswa untuk meraih prestasi.

Guru harus mampu menghadapi tantangan perubahan terutama perubahan-perubahan terhadap kurikulum seperti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang sekarang digunakan sebagai rujukan oleh para pengembang ditingkat satuan pendidikan yang berorientasi pada pencapaian kompetensi. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang disusun oleh Badan Standar Pendidikan Nasional Pendidikan (BSNP), yang di turunkan dari Standar Kompetensi Lulusan (SKL), harus dijadikan salah satu rujukan dalam pengembangan kurikulum disetiap satuan pendidikan; sekolah satu presepsi KTSP adalah pengembangan berbasis Kurikulum Berbasis Sekolah (KBS). KBS mengalami makna bahwa pemberdayaan daerah dan sekolah dalam


(18)

merencanakan, melaksanakan dan mengelola serta menilai proses dan hasil pembelajaran sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan serta daerah dimana sekolah itu berada.

KTSP lahir dari semangat otonomi daerah (daerah khusus), dimana urusan pendidikan tidak semuanya tanggung jawab pusat, akan tetapi sebagaian menjadi tanggung jawab daerah, oleh sebab itu dilihat dari pola atau model pengembangan KTSP merupakan sala satu model kurikulum yang bersifat desentralistik.

Upaya pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang otonomisasi adalah untuk melakukan desentralisasi dan otonomisasi penyelenggaraan pendidikan. Implikasi kebijakan tersebut adalah menguatnya peran aktif dan berpartisipasi pemerintah Daerah dan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan. Menurut Tilaar (2005), desentralisasi pendidikan merupakan suatu keharusan untuk:

1. pembangunan masyarakat demokrasi; 2. pengembangan sosial kapital; dan 3. peningkatan daya saing bangsa.

Keharusan pemberlakuan desentralisasi pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia diharapkan mampu sesuai dengan tuntutan, perubahan, dan perkembangan zaman. Sebagaimana Sam T M. Chan dan Tuti T. Sam (2005) bahwa aktualisasi pendidikan nasional yang baru mengisyaratkan adanya tanggungjawab pendidikan tidak hanya dipikul oleh pemerintah, tetapi juga menjadi tanggungjawab masyarakat. Sedangkan Dede


(19)

Rosyada mengemukakan bahwa dua paradigma baru dalam pendidikan saat ini adalah adanya otonomisasi dan demokrasitisasi penyelenggaraan pendidikan. Otonomisasi mendorong kepala sekolah dan guru memiliki tanggungjawab yang lebih besar terhadap kualitas hasil pembelajaran. Pemerintah berperan dalam hal ini adalah memfasilitasi berbagai aktivitas pendidikan, baik sarana prasarana, ketenagaan, maupun program pembelajaran yang telah direncanakan sekolah, sedangkan demokratisasi adalah memperbesar peran dan partisipasi masyarakat dalam penguatan pendidikan.

Madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan yang pada saat ini menempati posisi sebagai sekolah umum berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 dimana madrasah sebagai sub-sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, meskipun madrasah berada dibawah Kementerian Agama, namun karena merupakan sub sistem pendidikan nasional dan sekaligus bagian integral dalam sistem pendidikan nasional, maka sebenarnya masuk dalam pendidikan dengan manajemen pemerintah daerah baik pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Karena posisi tersebut, pemerintah daerah seharusnya memberikan perlakuan yang sama tanpa ada dikotomi pemberdayaan baik dalam memberikan fasilitas, sarana prasaran, pendanaan, maupun pengembangan ketenagaan dengan tidak membedakan antara sekolah umum di bawah Kementerian Pendidikan Nasional maupun madrasah dan antara sekolah negeri maupun swasta.

Indonesia merupakan suatu kesatuan sosial yang terdiri dari berbagai suku yang mendiami wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan


(20)

berbahasa nasional bahasa Indonesia. Melalatoa menghimpun tidak kurang dari 520 suku bangsa Indonesia dengan berbagai kebudayaannya masing-masing. Jati diri bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang telah disepakati bersama seperti cita-cita masa depan yang sama berdasarkan pengalaman sejarah. Dalam pembinaan jati diri bangsa Indonesia harus dibina terus menerus tanpa henti dan dapat dilaksanakan melaui jalur formal dan non frormal. Melalui jalur formal jati diri bangsa Indonesia dikembangkan melalui pendidikan (Tilaar, 2007: 32).

Nasionalisme akan tampak didalam kenyataan apabila rakyat biasa sebagai penyandang identitas membayangkan dirinya sendiri sebagai anggota dari suatu komunitas yang abstrak. Inilah yang dimaksuk oleh Benedict Anderson, Imagined Community (1993) yaitu merasa suatu bagian dari komunitas yang digambarkan berupa keanggotaan seseorang terhadap komunitas bangsanya. Bangsa yang menggambarkan adanya suatu imagined communities menemukan kembali sejarahnya yang mengikat berbagai suku bangsa didalam satu kesatuan. Inilah yang akan menimbulkan loyalitas nasional, Sebagaimana Ernest Renan mengatakan bahwa manusia bukanlah budak dari rasa atau bangsanya juga oleh agama atau oleh faktor-faktor geografis seperti sungai atau pengunungan. Komunitas manusia yang besar yang sehat dalam akalnya dan hangat didalam hatinya membentuk kesadaran moral yaitu membentuk suatu bangsa. Sepanjang kesadaran tersebut menyatakan diri didalam kekuatan untuk berkorban yaitu pengabdian sesorang individu untuk kepentingan umum, sepanjang itulah legitimasi akan hak hidupnya suatu bangsa (Tilaar, 2007: 30).


(21)

B. Identifikasi Masalah

Penelitian ini hanya dititik beratkan pada kemampuan guru sejarah dalam pembelajaran sejarah pada Era Otonomi Khusus Papua untuk menumbuhkan nasionalisme siswa, dengan judul “Pembelajaran Sejarah Dengan Model Problem Based Learning Pada Era Otonomi Khusus Dalam Menumbuhkan Nasionalisme Siswa Di Kelas XI IPS 1 Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat” (Penelitian Tindakan kelas di Kelas XI IPS 1 Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat).

Aspek-aspek yang menjadi fokus penelitian ini adalah:

1. Proses pembelajaran Sejarah sebelum diterapkan model problem based learning pada era otonomi khusus untuk menumbuhkan nasionalisme siswa kelas XI IPS Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat.

2. Perencanaan pembelajaran Sejarah dengan model problem based learning dalam menumbuhkan nasionalisme siswa di kelas XI IPS 1 Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat.

3. Pelaksanaan pembelajaran Sejarah dengan model problem based learning dalam menumbuhkan nasionalisme siswa di kelas XI IPS 1 Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat.

4. Penilaian pembelajaran Sejarah yang dilakukan dengan model problem based learning dalam menumbuhkan nasionalisme siswa di kelas XI IPS 1 Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat.


(22)

5. Perubahan yang ditunjukan siswa Kelas XI IPS 1 Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat setelah mengikuti pembelajaran Sejarah dengan model problem based learning.

C. Rumusan Masalah

Bertolak dari identifikasi masalah diatas maka masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut “apakah pembelajaran Sejarah dengan model problem based learning pada era otonomi khusus untuk menumbuhkan nasionalisme siswa Kelas XI IPS 1 Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak?”

Dari fokus penelitian tersebut dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian, sebagai berikut:

1. Bagaimana proses pembelajaran Sejarah sebelum diterapkan model problem based learning pada era otonomi khusus untuk menumbuhkan nasionalisme siswa kelas XI IPS Madrasah Aliyah Neger Fakfak?

2. Bagaimana perencanaan pembelajaran Sejarah dengan model problem based learning dalam menumbuhkan nasionalisme siswa di kelas XI IPS 1 Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat?

3. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran Sejarah dengan model problem based learning dalam menumbuhkan nasionalisme siswa di kelas XI IPS 1 Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat?

4. Bagaimana penilaian pembelajaran Sejarah yang dilakukan dengan model problem based learning dalam menumbuhkan nasionalisme siswa di kelas XI IPS 1 Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat?


(23)

5. Bagaimana perubahan yang ditunjukan siswa Kelas XI IPS 1 Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat setelah mengikuti pembelajaran Sejarah dengan model problem based learning?

D. Penjelasan Konsep

Dalam penelitian ini, terdapat dua konsep utama, yakni menumbuhkan nasionalisme siswa pada era otonomi khusus dan pembelajaran Sejarah dengan model problem based learning. Penjelasan konsep utama akan dijelaskan sebagai berikut :

1. Menumbuhkan nasionalisme siswa pada era otonomi khusus

Menumbuhkan nasionalisme adalah harapan untuk selalu mempertahankan terbentuknya suatu bangsa yang terdiri dari berbagai macam ragam budaya, ras, suku, agama, sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya. Persamaan nasib, keinginan dan cita-cita mempersatukan kelompok masyarakat untuk menjadi satu bangsa dalam membentuk negara, yang diyakini dapat melindungi, menampung dan mewujudkan tujuan cita-cita bangsa.

2. Pembelajaran sejarah dengan model problem based learning

Problem based learning (pembelajaran berbasis masalah) adalah suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai titik tolak (starting point) pembelajaran. Masalah tersebut adalah masalah yang memenuhi konteks dunia nyata baik yang ada didalam buku teks maupun dari sumber lain seperti peristiwa yang terjadi didalam lingkungan sekitar, peristiwa dalam keluarga atau kemasyarakatan untuk belajar tentang berfikir kritis dan ketrampilan pemecahan


(24)

masalah serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran.

E. Tujuan penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap efektivitas pembelajaran Sejarah dengan model problem based learning untuk menumbuhkan nasionalisme siswa pada era otonomi khusus di kelas XI IPS 1 Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat.

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui proses pembelajaran Sejarah sebelum diterapkan model problem based learning pada era otonomi khusus untuk menumbuhkan nasionalisme siswa kelas XI IPS 1 Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat.

2. Mengetahui perencanaan pembelajaran Sejarah dengan model problem based learning dalam menumbuhkan nasionalisme siswa di kelas XI IPS 1 Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat.

3. Mengetahui pelaksanaan pembelajaran Sejarah dengan model problem based learning dalam menumbuhkan nasionalisme siswa di kelas XI IPS 1 Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat.

4. Mengetahui penilaian pembelajaran Sejarah yang dilakukan dengan model problem based learning dalam menumbuhkan nasionalisme siswa di kelas XI IPS 1 Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat.


(25)

5. Mengetahui perubahan yang ditunjukan siswa Kelas XI IPS 1 Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat setelah mengikuti pembelajaran Sejarah dengan model problem based learning.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara keilmuan (teoritik) maupun secara empirik (praktis). Secara teoritik, penelitian ini akan menggali, mengkaji, dan mengorganisasikan pengembangan pembelajaran Sejarah dengan model problem based learning implikasinya untuk menumbuhkan nasionalisme siswa pada era otonomi khusus Papua sebagai warga masyarakat dan warga negara.

Dari temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi beberapa pihak sebagaimana diuraikan sebagai berikut:

1. Para akademisi, khususnya guru Sejarah, diharapkan dapat mengaplikasikan problem based learning sebagai salah satu alternatif untuk menumbuhkan nasionalisme siswa.

2. Bagi siswa, hasil penelitian ini diharapkan memberikan pengalaman baru dalam mempelajari Sejarah dengan model problem based learning untuk menumbuhkan nasionalisme siswa.

3. Bagi sekolah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi posistif dalam perbaikan pembelajaran Sejarah dengan model problem based learning di sekolah yang bersangkutan.


(26)

G. Paradigma Penelitian

Penelitian pada pembelajaran Sejarah dengan menggunakan model problem based learning untuk menumbuhkan nasionalisme siswa ini memerlukan suatu kerangka pemikiran atau paradigma yang akan menuntun penulis dalam melaksanakan penelitian yang digambarkan pada gambar 1.1. dibawah ini sebagai berikut berikut:

Gambar 1.1. Paradigma Penelitian. Kegiatan

pembelajaran sejarah sebelumnya: -Konvensional -Terpaku buku

paket - Teacher

centered Aktifitas Guru: - Konvension al - Teacher centered - Terpaku pada buku paket. Aktifitas Siswa: - Pasif - Mendengar - Mencatat - Tidak termotivasi Model pembelajaran yang di gunakan: Problem Based Learning (Pembelajaran Berbasis Masalah) Aktifitas pembelajar terjadi: - Student

centere - Kreatif - Aktif - kritis Tujuan yang di

capai

Menumbuhkan nasionalisme: - Patriotisme - Cinta bangsa - Toleransi - Gotong royong - Kekeluargaan


(27)

BAB III

METODOLOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Acuan permasalahan dalam penelitian ini adalah penggunaan model problem based learning dalam menumbuhkan nasionalisme siswa. Permasalahan ini berkaitan dengan mata pelajaran Sejarah di kelas XI IPS 1 Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas “Action Research” yang dilakukan di kelas (classroom action research). Makna yang terkandung dalam penelitian tindakan kelas yaitu suatu bentuk penelitian yang bersifat reflektif dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu agar dapat memperbaiki dan atau meningkatkan praktik pembelajaran yang pelaksanaannya dilakukan secara berulang-ulang.

Sebagaimana pengertian penelitian tindakan kelas, untuk mengidentifikasi penelitian kelas, adalah penelitian yang dikombinasikan prosedur penelitian dengan tindakan subtansif, suatu tindakan yang dilakukan dalam disiplin inkuiri, atau suatu usaha seseorang untuk memahami apa yang sedang terjadi, sambil terlibat dalam sebuah proses perbaikan dan perubahan (Hopkins,1993:44) (Wiriaatmadja, 2005:11). Sedangkan menurut Kemmis dalam Hopkins (1993: 44) action research adalah “A form of self-reflective inquiry undertaken by participants in a social (including education situation in order to improve the rationaly and justice of (a) their own sosial or educational practices, (b) their understanding of this practices, and (c) the situations which practices are carried out.” (bahwa penelitian tindakan kelas adalah sebuah bentuk inkuiri


(28)

reflektif yang dilakukan secara kemitraan mengenai situasi sosial tertentu (termasuk pendidikan) untuk meningkatkan rasionalitas dan keadilan a) Kegiatan praktek sosial atau pendidiksn mereka, b) Pemahaman mereka mengenai kegiatan-kegiatan praktek pendidikan ini, c) Situasi yang memungkinkan terlaksananya kegiatan praktek ini (terj. Wiriaatmadja, 2005:12).

Menurut Wiriaatmadja, penelitian tindakan kelas merupakan suatu proses belajar yang mengembangkan praktek dengan refleksi, yang mencoba mengaplikasikan gagasan-gagasan baru terhadap pengalaman lama, dan yang mencari penjelasan tentang relasi antara pengalaman tertentu guru dengan pengalaman umum yang dialami oleh benyak. Dengan menempuh prosedur tertentu, para guru dapat merefleksikan pengalamannya dalam praktek pembelajaran sejarah di kelas sekaligus bersikap kritis yang praktis dalam menghadapi permasalahan pembelajaran (Noffke and Stevension:1995) (Supriatna, 2007:198).

Dari definisi tersebut, dalam konteks kependidikan penelitian tindaka kelas adalah sebuah bentuk kegiatan refleksi diri yang dilakukan oleh para pelaku pendidikan dalam suatu stuasi kependidikan untuk memperbaiki rasionalitas dan keadilan tentang; (a) pratek-pratek kependidikan mereka, (b) pemahaman mereka tentang pratek-pratek tersebut, dan (c) situasi dimana pratek-pratek tersebut dilaksanakan. Oleh karena itu penelitian tindakan kelas sangat tepat dilakukan oleh guru untuk mengetahui kelemahan dan kekurangan guru dalam proses belajar mengajar, sehingga kelemahan-kelemahan itu dapat diperbaiki.


(29)

Penelitian tindakan kelas memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Pengkajian masalah situasional dan kontekstual pada perilaku seseorang kelompok orang, artinya solusi terhadap masalah-masalah yang digarap di dalam suatu kegiatan penelitian tindakan kelas tidak untuk digeneralisasikan secara langsung.

2. Ada tindakan. Perbedaan yang mencolok antara penelitian tindakan kelas dengan penelitian-peneliian yang lainnya adalah harus ada tindakan perbaikan yang dirancang untuk mengatasi masalah yang dihadapi saat itu dalam konteks dan situasi saat itu pula.

3. Penelaahan terhadap tindakan. Di samping adanya tindakan, dalam penelitian tindakan kelas yang dilakukan tadi harus ditelaah; kelebihan dan kekurangaannya, pelaksanaannya, kesesuainnya dengan tujuan semula, penyimpangan yang terjadi selama pelaksanaan, dan argumen-argumen yang muncul selama pelaksanaan.

4. Pengkajian dampak tindakan. Dampak dari tindakan yang dilakukan harus dikaji apakah sesuai dengan tujuan, apakah memberi dampak positif lain yang tidak diduga sebelumnya, atau bahkan menimbulkan dampak negatif yang merugikan peserta didik.

5. Dilakukan secara kolaboratif. Mengingat kompleksitas pelaksanaan suatu penelitian tindakan kelas, maka ada baiknya penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan kolaborasi. Kolaborasi dapat dilaksanakan antara guru dengan dosen, antara guru dengan guru lain yang bidang studinya baik sama ataupun tidak sama, atau bahkan antara guru dengan siswa.


(30)

6. Refleksi. Kegiatan penting lainnya dalam suatu penelitian tindakan kelas adaah adanya refleksi. Dalam refleksi ini ada banyak hal yang harus dilakukan, yaitu dari mengavaluasi tindakan sampai dengan memutuskan apakah masalah itu tuntas atau perlu tindakan lain dalam siklus berikutnya.

Penelitian ini menfokuskan pada situasi sosial kelas, atau masalah yang secara aktual dihadapi dalam kelas. Penelitian tindakan kelas dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi secara mendalam penerapan model pembelajaran pendidikan sejarah berbasis masalah dalam menumbuhkan nasionalisme siswa. Hakekat dari penelitian tindakan kelas ini adalah suatu usaha yang berupa tindakan atau intervensi yang dilakuakan dengan prosedur terencana dan sistematik untuk memecahkan masalah pembelajaran yang dilakukan oleh guru didalam kelas. Dalam penelitian tindakan kelas ini dipilih bentuk penelitian kolaboratif partisipatoris Hopkins (1993:121). Kolaborasi antara peneliti dan guru, dimana peneliti membuat rancangan pengamatan dan mengkritisi, sementara guru merupakan praktisi mitra kerja di lapangan bagi peneliti. Guru mitra dan peneliti akan bersama-sama diskusi mulai dari tahap perencanaan, tindakan reflektif dengan guru untuk menemukan langkah-langkah selanjutnya untuk mencpai tujuan penelitian.

B. Prosedur Penelitian

Secara garis besar, langkah-langkah dalam penelitian tindakan meliputi perencanaan (planing), pelaksanaan (acting), pemantauan (monitoring atau observing), dan penilaian (reflecting atau evaluating). Kemmis dan Taggart


(31)

(1982). Keempat langkah pokok ini membentuk satu siklus. Kurt Lewin dalam Kasbolah (1999:14), menyatakan bahwa penelitian tindakan kelas adalah penelitian yang merupakan suatu langkah-langkah (a spiral of steps). Setiap langkah terdiri atas empat tahap, yaitu perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Siklus penelitian di atas pada gambar 1.3. sebagai berikut:

Bagan 1.3. Desain Penelitian Tindakan Kelas Model Spiral dari Kemmis dan Taggart (1988) Modifikasi oleh Wiriaatmadja, 2005:66.

PLAN

OBSERVE R E F

A C T

REVISED PLAN R

E F

A C T OBSERVE


(32)

Prosedur penelitian seperti tergambar dalam bagan diatas, dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Orientasi, yaitu studi pendahuluan sebelum melakuakan tindakan. Kegiatan ini dilakuakan bersama antara peneliti dengan guru mitra terhadap praktik pembelajaran. Pada fase ini belum diberlakuakan pendekatan pembelajaran tetapi dilakuakan pengkajian untuk menemukan informasi-informasi aktual tentang pembelajaran sebelumnya. Temuan ini dijadikan indikator dalam menyusun rencana tidakan untuk penetapan pendekatan pembelajaran. Hasil orientasi ini akan disesuaikan dengan hasil kajian teoritis yang relavan, sehingga menghasilkan satu program pengembangan tindakan yang dipandang tepat dengan situasi sosial di kelas dimana tindakan akan dilaksanakan.

2. Perencanaan (Planning), yaitu kegiatan yang dilakukan dalam menyusus rencana tindakan yang akan dilaksanakan di kelas. Dari identifikasi pendahuluan peneliti dan guru mitra merencanakan langkah-langkah penerapan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan pokok bahasan pelajaran Sejarah. Rencana disusun dan dipilih atas dasar pertimbangan kemungkinan bisa dilaksanakan secara efektif oleh peneliti, mitra peneliti, dan siswa. Pada tahap perencanaan ini disepakati tentang hal-hal yang akan diobservasi, kriteria-kriteria penilaian, materi atau pokok bahasan yang akan diberikan, buku sumber, tempat dan waktu pelaksanaan, persiapan perangkat pembelajaran, serta sarana dan prasarana yang akan dipakai.


(33)

3. Pelaksanaan/Tindakan (Action), yaitu kegiatan nyata pembelajaran di kelas dengan penerapan pendekatan pembelajaran yang dilakuakan berdasarkan rencana yang telah disepakati sebelumnya antara peneliti dengan mitra peneliti.

4. Pengamatan (Observasi), yaitu kegiatan mengamati, mengenali sambil mendokumentasikan (mencatat dan merekam) terhadap proses, hasil, pengaruh, dan masalah baru yang mungkin saja muncul selama pendekatan dilakukan. Hasil observasi ini akan dijadikan bahan analisis dan dasar refleksi terhadap tindakan yang telah dilakukan dan bagi penyususn rencana tindakan selanjutnya. Observasi ini dilakukan untuk melihat kelemahan-kelemahan dan kekurangan- tentang memperbiki keadaan atau proses pembelajaran yang akan datang.

5. Refleksi (Reflect), yaitu menganalisis tentang apa-apa saja rencana dan tindakan yang telah tercapai dan apa yang belum dapat dan sempat dilakuakan pada suatu siklus. Refleksi dilakukan secara kolaboratif antara peneliti dengan guru mitra. Berangkat dari hasil refleksi ini, peneliti bersama guru mitra merumuskan kembali rencana pembelajaran untuk ditindaklanjuti pada siklus berikutnya.

Dalam penelitian ini, jumlah siklus yang dilakuakan tergantung dari tingkat ketercapaian hasil penerapan pendekatan sesuai dengan rencana yang telah disusun sebelumnya. Artinyaakan diakhiri, apabila sudah tidak ditemukan lagi permasalahan-permasalahan dalam pelaksanaan pedekatan dikelas.


(34)

C. Lokasi Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Menurut Nasution (1996:43), lokasi penelitian adalah lokasi situasi sosial yang mengandung tiga unsur, yakni: tempat, pelaku, dan kegiatan. Tempat adalah tiap lokasi dimana manusia melakukan sesuatu, pelaku adalah semua orang terdapat di lokasi tersebut. Sedangkan kegiatan adalah apa yang dilakukan dalam situasi sosial tersebut. Berdasarkan pengertian tersebut diatas, maka yang dimaksud dengan penelitian disini adalah siswa kelas XI IPS 1 Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak.

2. Subyek penelitian

Subyek penelitian tindakan ini adalah Guru dan Siswa Madrsah Aliyah Negeri dalam pembelajaran sejarah. Dalam penelitian ini yang diamati sebagai sumber manusia, peristiwa dan situasi Nasution (1996:9). Manusia yang dimaksud adalah semua orang yang terlibat dalam penelitian tindakan ini yang terdiri dari guru, siswa, dan peneliti. Peristiwa yang dimaksud adalah semua kejadian yang diamati selama kegiatan pembelajaran berlangsung didalam kelas. Sedangkan yang dimaksud dengan situasi adalah latar atau gambaran yang menyangkut keadaan atau kondisi ketika berlangsung pengamatan terhadap pengembangan pembelajaran oleh guru atau peneliti.

Pada penelitian ini, peneliti berusaha memperoleh berbagai macam data yang berhubungan dengan penelitian. Data tersebut akan diperoleh dari semua perkataan, tindakan, situasi, dan peristiwa yang dapat diamati oleh peneliti selama kegiatan pembelajaran sejarah di kelas XI IPS 1 Madrasah Aliyah Negeri


(35)

Kabupaten Fakfak. Sedangkan sumber data tersebut yaitu dari guru, siswa, dan pihak-pihak lain yang sesuai dengan peelitian ini.

D. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat peneliti adalah peneliti itu sendiri yang menjadi instrumen utamanya (human instrumen) yang turun ke lapangan (sekolah) untuk mengumpulkan data yang diperlukan. Sugiyono (2005:59). Penlitian tindakan kelas (class action research) yang bersifat kualitatif, cara kerjanya tidak terlepas dari karakteristik penelitian kualitatif. Karakteristik penelitian kualitatif menurut Creswell (1997:16) adalah sebagai berikut:

Setting alami (terfokus data lapangan) sebagai sumber data, peneliti sebagai instrumen utama dalam pengumpulan data, pengumpulan data berupa kata-kata dan gambar-gambar, mengutamakan proses daripada hasil, analisis data bersifat induktif, perhatian peneliti diarahkan pada hal-hal tertentu yang bermakna, menggunakan ekspresif, pendekatannya persuasif.

Disamping peneliti sebagai instrumen utama, penelitian ini juga akan menggunkan instrumen bantu berupa catatan lapangan (fiel notes), lembar panduan observasi, dokumen sekolah, foto, dan alat perekam. Hopkin’s (1993:116).

Semua data atau hasil temuan dilapangan yang berkaitan dengan proses pembelajaran sejarah di kelas XI IPS 1 yang di kelola oleh guru mitra dicatat dalam catatan lapangan. Catatan lapangan juga berisi tentang komentar sebagian siswa dikelas XI IPS 1, guru mitra, Waka Kesiswaan yang lainnya tentang model problem based learning dalam menumbuhkan nasionalisme siswa. Beberapa


(36)

kejadian tertentu yang berkaitan dengan tindakan seperti sikap siswa ketika belajar di dalam kelas atau di luar kelas misalnya bermain-main atau tidak memperhatikan dalam proses pembelajaran atau yang terlambat masuk kelas, dicatat dalam catatan lapangan sesuai bahan untuk refleksi dan analisis.

Selain itu peneliti juga menggunakan panduan observasi kegiatan guru dan siswa dengan menggunakan ‘checklist’. Instrumen ini digunakan peneliti untuk mengamati kinerja guru dan aktivitas siswa pada saat pembelajaran atau tindakan langsung. Panduan observasi kegiatan guru berisi tentang pengembangan materi pengajaran yang dilakukan guru, strategi pembelajaran yang dikembangkan guru, metode pembelajaran yang dipilih dan dilaksanakan guru di kelas, media pengajaran yang dipilih dan ditampilkan guru dalam pembelajaran di kelas, sumber belajar yang dipilih dan digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Panduan observasi kegiatan siswa tentang keaktifan siswa dalam membangun kerja sama, belajar mengontrol diri dan sikap kepemimpinan, tukar menukar pendapat dalam menumbuhkan rasa nasionalisme.

E. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian tindakan kelas yang bersifat kualitatif penelitian sendirilah yang akan mengumpulkan data dilapangan dan berusaha sendiri mendapatkan informasi melalui berbagai cara atau teknik. Menurut Creswell (1998:121) “Prosedur pengumpulan data dalam penelitian kualitatif terdiri dari empat tipe dasar yaitu : observasi, wawancara, dokumentasi dan audio visual”. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah


(37)

observasi, audio visual dan dokumentasi. Karena ketiga tenik ini diharapkan dapat melegkapi dalam memperoleh data yang diperlukan

1. Pedoman Observasi

Observasi merupakan upaya/usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk merekam atau melihat segala kegiatan yang terjadi selama tindakan berlangsung, observasi digunakan untuk mengumpulkan data tentang tindakan atau perilaku siswa untuk menumbuhkan nasionalisme siswa dalam pembelajaran Sejarah dengan model PBL serta mengetahui bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan siswa dalam pembelajaran sejarah. Instrumen untuk observasi menggunakan lembar observasi dengan poin-poin seperti yang dikemukan dalam panduan observasi. Observasi yang dilkaukan langsung di lapangan ini dikarenakan manfaatnya secara langsung dalam penelitian ini memberikan informasi tambahan tentang masalah yang sedang diteliti secara jelas dan lengkap, observasi terhadap suasana Kelas XI IPS 1 Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak akan menambahkan wawasan baru yang tidak dapat diungkapkan dengan alat pengumpul data lainnya, seperti wawancara ataupun angket.

Dengan demikian teknik observasi ini seperti yang dikemukan oleh Lincoln dan Guba (1989:138) menyatakan :

“Metode penelitian kualitatif secara metodologis menggunakan pengamatan dapat mengoptimalkan kemampuan penelitian dari segi motif, kepercayaan, perhatian,perlaku tak sadar, kebiasaan dan lain sebagaianya.”


(38)

Dengan observasi dimaksudkan untuk merekam data tentang aktifitas guru serta perilaku siswa terhadap proses pelaksanaan pembelajaran Sejarah. Hopkins (1992:116) menjelaskan bahwa catatan lapangan merupaka salah satu cara untuk melaporkan pengamatan, refleksi dan berbagai reaksi terhadap masalah-masalah yang dihadapi di kelas. Catatan lapangan berfungsi untuk mencatat segala kejadian dan peristiwa selama kegiatan pembelajaran yang sedang berlangsung.

Semua data atau temuan di lapangan yang berkaitan dengan suasana belajar di kelas XI IPS 1 pada saat pembelajaran Sejarah, pengolaan kelas, kegiatan guru atau kegiatan siswa dicatat dalam catatan lapangan (filed notes). Catatan lapangan ini juga berisi tentang komentar sebagian siswa kelas XI IPS 1, guru. Beberapa kejadian yang terjadi dalam proses pembelajaran, dicatat dalam catatan lapangan sebagai bahan refleksi dan analisis.

2. Wawancara (interviewing)

Salah satu cara pengumpulan data yang penulis gunakan adalah wawancara, yang menurut Dexter (Lincoln dan Guba, 1985: 267-268) adalah percakapan dengan tujuan tertentu. Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi tentang perorangan, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain. Kecuali untuk mencari informasi tentang kegiatan seseorang pada saat percakapan dilakukan, wawancara dapat juga dilakukan untuk merekontruksi masa lampau dan proyeksi masa depan. Wawancara juga dapat dimanfaatkan untuk dapat mengembangkan informasi yang sudah diperoleh, atau perubahan dan verifikasi. Pengembangan informasi dari subjek yang


(39)

diwawancarai dalam bentuk memberchecking terhadap konstruksi kejadian yang telah dilakukan terdahulu dapat dilakukan dengan melalui wawancara.

Wawancara sebagai suatu cara untuk mengetahui situasi tertentu didalam kelas dilihat dari sudut pandang orang lain. Orang-orang yang diwawancarai adalah beberapa, peserta didik, teman sejawat, kepala sekolah, dan lain-lain (Hopkins: 1993; Wiriaatmadja, 2005).

Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan untuk memperoleh data tentang sejauh mana dukungan sekolah dan lingkungan terhadap peningkatan kualitas pembelajaran, baik dalam kelas maupun di luar kelas. Wawancara yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini terhadap waka kurikulum, dan guru mitra.

Pada tahap penelitian, peneliti melakukan wawancara dengan guru mitra yang mengajar sejarah di kelas XI IPS 1. Wawancara dilakukan untuk mengetahui latar belakang pendidikan, pengalaman mengajar, metode pada saat mengajar sejarah dan kegiatan pendidikan yang pernah diikuti baik pelatihan, loka karya maupun seminar. Wawancara juga dilakukan dengan waka kesiswaan. Inti wawancara berkaitan dengan pandangan eksistensi sejarah di Madrasah Aliyah Negeri, kebijakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sejarah serta kemungkinan menggunakan suatu metode belajar yang inovatif dalam pembelajaran sejarah di Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak.

3. Dokumentasi

Dokumentasi sebagai teknik pengumpulan data pada penelitian tindakan kelas adalah dokumen-dokumen resmi yang dimiliki oleh sekolah dan dari guru


(40)

mitra peneliti. Dokumen-dokumen resmi yang dimiliki oleh sekolah antara lain sejarah berdirinya sekolah, denah lokasi sekolah, kepala-kepala sekolah yang pernah memimpin sekolah, data jumlah guru dan siswa, sedangkan dokumen guru mitra peneliti antara lain kurikulum Sejarah, program pengajaran Sejarah (program tahunan, program semester, analisis materi pelajaran, program satuan pelajaran, rencana pembelajaran, alat evaluasi dan media pembelajaran), buku teks yang digunakan, buku penunjang yang digunkan, buku nilai siswa, absensi siswa dan lain-lain.

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Studi ini dimaksudkan guna menunjang perolehan data dan informasi dari lapangan sesuai dengan tujuan penelitian. Teknik ini merupakan telahan atau pengkajian atas dokumen-dokumen seperti gambar tentang model pembelajaran yang dapat memberikan kontribusi terhadap penelitian yang dilakukan.

4. Studi Literatur (literature of study)

Studi literatur yaitu alat pengumpul data untuk mengungkapkan berbagai teori yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi atau diteliti sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Teknik studi literatur yang digunakan adalah mempelajari sejumlah literatur yang berupa buku, jurnal, surat kabar, dan sumber-sumber kepustakaan lainya guna mendapatkan informasi-informasi yang menunjang.

5. Catatan Lapangan (field notes)

Catatan lapangan berfungsi untuk mencacat segala kejadian dan peristiwa selama kegiatan pembelajaran berlangsung.


(41)

F. Pengolahan dan Analisis Data

Langkah-langkah analisis data tersebut dapat dilihat pada gambar 1.4 berikut ini:

Bagan 1.4. Komponen-komponen analisis data : Model interaktif (Miles dan Huberman, 1992:20).

1. Katagori dan reduksi data

Tahapan pencatatan atau pengelompokan informasi yang diperoleh dari catatan lapangan. Pada kegiatan ini dilakukan pula seleksi dan reduksi data. Data yang bermakna dan mendukung untuk pemecahan masalah yang dapat dikategorikan. Kategori data didasarkan pada 4 aspek, yaitu : (a) strategi belajar mengajar, (b) proses belajar mengajar, (c) aktvitas berupa tindakan guru-siswa, (d) latar sosial dan latar fisik kelas

2. Validitas Data

Perolehan data yang akurat dan absah, terutama yang diperoleh melalui observasi, maupun dokumentasi, teknik yang digunakan adalah memeriksa derajat

Pengumpulan data

Reduksi data

Penyajian data

Penyimpulan Penarikan/verifikasi


(42)

kepercayaan atau kredibilitasnya. Kredibilitas data dapat diperiksa melalui beberapa cara, adalah sebagai berikut:

a. Memperpanjang waktu keikutsertaan

Usaha peneliti dalam memperpanjang waktu keikutsertaan dengan para sumber data adalah dengan cara meningkatkan frekuensi pertemuan dan menggunakan waktu seefisien mungkin. Misalnya mencari waktu yang tepat kapan guru mitra dan siswa kelas XI IPS 1 sedang dalam suasana santai atau istirahat. Pada saat itu penelitian menyempatkan untuk melakukan penggalian data dan tidak hanya dilakukan di kelas tetapi sering dilakukan oleh penelitian pada saat guru mitra sedang tidak ada aktivitas mengajar (suasana santai).

b. Melakukan pengamatan secara seksama

Pengamatan secara seksama dilakukan secara terus menerus untuk memperoleh gambaran yang nyata tentang upaya yang dilakukan oleh guru dalam menumbuhkan nasionalisme siswa dalam pembelajaran sejarah pada era otonomi khusus dengan model problem based learning.

c. Mengupayakan referensi yang cukup

Uapaya ini dilakukan untuk meningkatkan keabsahan informasi yang dibutuhkan dengan menggunakan dukungn bahan referensi yang cukup baik melalui media elektronik. Hal ini dilakukan dengan mencari bahan-bahan yang berhubungan dengan materi yang sedang diajarkan yaitu tentang dampak pendudukan militer Jepang terhadap kehidupan masyarakat Indonesia di Kabupaten Fakfak.


(43)

d. Expert Opini

Kegiatan untuk mengkonsultasikan hasil temuan atau meminta pendapat para ahli. Dalam kegiatan ini peneliti mengkonsultasikan hasil temuan penelitian kepada pembimbing I bapak Prof Dr. Aim Abdulkarim, M.Pd. dan bapak Dr. Nana Supriatna, M. Ed sebagai pembimbing II untuk memperoleh arahan dan masukannya berkaitan dengan permasalahan-permasalahan dalam penelitian. Perbaikan, modifikasi atau penghalusan berdasarkan arahan dari pembimbing akan dapat meningkatkan derajat kepercayaan sehingga validitas temuan peneltian dapat dipertangungjawabakan.

3. Analisis Data

Proses analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara terus menerus dari awal sampai akhir penelitian nasution (1988:129) mengemukan bahwa tidak ada suatu cara tertentu yang dapat dijadikan pedoman bagi semua penelitiannya salah satu cara yang dapat dianjurkan mengikuti langkah-langkah berikut yakni (a) reduksi data, (b) display data, (c) pengambilan kesimpulan dan verifiksi. Berkaitan dengan pedoman penelitian diatas, maka analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagi berikut :

a. Reduksi Data

Reduksi data merupakan langkah awal dalam menganalisa data, kegiatan yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman terhadap data yang telah terkumpul. Kumpulan data hasil kerja lapagan direduksi dengan cara merangkum, mengklasifikasi sesuai fokus dan aspek-aspek permasalahan


(44)

yang diteliti. Dalam penelitian ini aspek-aspek yang direduksi adalah pelaksanaan pola pembelajaran sejarag di kelas XI Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak dalam menumbuhkan nasionalisme siswa dalam pembelajaran Sejarah pada era otonomi khusus dengan model problem based learning.

b. Display Data

Display data, yaitu menyajikan data secara jelas dan singkat. Untuk memudahkan memahami gambaran terhadap aspek-aspek yang diteliti, baik secara keseluruhan maupun bagian demi bagian. Penyajian data dalam bentuk deskripsi dan interpretasi sesuai dengan data yang diperoleh.

c. Penarikan kesimpulan dan Verifikasi

Menarik atau mengambil kesimpulan merupakan tujuan utama analisis data yang dilakukan sejak awal. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan makna terhadap data yang telah dianalisis. Kesimpulan disusun dalam bentuk penyataan singkat dan mudah dipahami dengan mengacu kepada tujuan penelitian. Analisis data dilakukan secara terus menerus dan saling berhubungan dari awal hingga akhir penelitian. Dalam pnelitian ini tidak begitu saja cepat mengambil kesimpulan dalam suatu informasi, melainkan berupaya menggali informasi lebih dalam. Untuk itu kesimpulan sementara yang telah dirumuskan masih terus diverifikasi berulang-ulang dan bertahap sehingga pada bagian akhir dapat menghasilkan kesimpulan yang absah.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif, dengan mengkatagorikan dan mengklasifikasikan data yang diperoleh


(45)

berdasarkan analisis kaitan logisnya kemudian ditafsirkan dan disajikan secara aktual dan sistematis dalam keseluruhan permasalahan dan kegiatan penelitian.

Proses kategorisasi dalam penelitian tindakan ini didasarkan pada tiga aspek yaitu:

1) Konteks kelas meliputi seluruh kegiatan guru dan siswa kelas XI IPS 1 Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakafak.

2) Proses pembelajaran meliputi interaksi sosial guru-siswa, siswa-siswa kelas XI IPS 1 Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak.

3) Aktifitas belajar mengajar yang meliputi tindakan guru dan siswa kelas XI IPS 1 Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak.

G. Tahapan Penelitian

Proses pelaksanaan penelitian ini ditempuh dengan beberapa tahap sebagai berikut :

1. Tahap persiapan

Tahap persiapan atau tahap pra lapangan, meliputi tahap penelitian dan tahap penyusunan desain penelitian, seminar desain penelitian, dan pengurusan surata izin penelitian. Pada tahap ini peneliti melakukan pengamatan terhadap lingkungan di Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Fakfak terutama yang berkaitan dengan kegiatan pembelajaran Sejarah di kelas XI IPS 1. Berdasarkan hasil studi pendahuluan dan kajin beberapa literatur, peneliti menetapkan permasalahan yang berkaitan dengan pola pembelajaran guru Sejarah dalam menumbuhkan nasionalisme siswa dalam


(46)

pembelajaran Sejarah pada era otonomi khusus dengan model problem based learning.

2. Tahap Pelaksanaan

Kegiatan penelitian tahap kedua terfokus pada studi penelitian yang sesungguhnya. Aktivitas dilapangan dicurahkan seluruhnya terhadap sumber data dalam rangka menghasilkan data yang sesuai dan dihadapkan dalam penelitian ini. Tahap ini diawali dengan pengumpulan informasi dan memusatkan perhatian terhadap masalah yang perlu diteliti yaitu melaksanakan penelitian pada proses pembelajaran sejarah di kelas XI IPS 1 bersama guru mitra/guru mata pelajaran sejarah yaitu ibu Harnastuti, S.Pd. 3. Tahap Penyelesaian

Tahap penyelesaian adalah penyusunan kerangka laporan hasil penelitian berdasarkan hasil analisis data yang telah dibahas dan disimpulkan. Pada tahap ini peneliti mengadakan penyaringan terhadap kesimpulan sementara yang telah dilakukan sebelumnya. Selanjutnya menyusun konsep atau draf laporan, mendiskusikannya dengan subyek penelitian untuk penyempurnaan. Setelah itu dikonsultasikan kepada pembimbing I dan II untuk mendapat saran, koreksi, dan masukan sebelum layak mengikuti progres dan ujian tahap I dan II.


(47)

H. Agenda Penelitia

Tabel 2.I Jadwal Kegiatan Penelitian N o Pelaksanaan kegiatan Nov 2010 Des 2010 Jan 2011 Peb 2011 Mar 2011 Apr 2011 Mei 2011 Juni 2011 Juli 2011 1 Tahap

Persiapan

x x

2 Tahap Pelaksana

x X

3 Tahap Penyusunan

x x x

4 Tahap Pelaporan

x

5 Tahap Ujian 1

x

6 Tahap Perbaikan

x

7 Tahap Ujian 2


(48)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka beberapa kesimpulan dan saran, dapat disampaikan sebagai berikut:

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dimaksud adalah jawaban atas petanyaan penelitian yang sesuai temuan di lapangan. Hal ini akan dijabarkan sebagai berikut:

1. Untuk mencapai tujuan belajar didalam proses pembelajaran sejarah, diperlukan beberapa unsur diantaranya pendekatan strategi, metode, dan media. Penerapan pembelajaran sejarah dalam penelitian, dengan sentuhan diskusi kelompok, tanya jawab, penyelidikan/menemukan masalah, memberikan nuansa baru kepada siswa dalam pembelajaran, khususnya mata pelajaran sejarah. Penerapan pembelajaran dengan model problem based learning yang diterapkan dalam penelitian ini telah dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, meningkatkan aktivitas dan kreativitas siswa dalam pembelajaran. Hal ini terbukti dari siklus ke siklus terdapat peningkatan kreatifitas dan keatifan siswa seperti aktif bertanya, mencari dan mengolah informasi, berani mengemukakan ide atau gagasan, menjawab pertanyaan, mengembangkan dan menganalisis serta mengeksplorasi pengalaman belajar.

2. Perencanaan yang baik mencerminkan keberhasilan, demikian pula pembelajaran sejarah dengan model problem based learning dalam


(49)

menumbuhkan nasionalisme siswa ternyata dapat membentuk karakter, sikap didalam kehidupannya dalam lingkungan sekolah keluarga dan masyarakat. Pembelajaran sejarah yang dikembangkan sesuai dengan kejadian yanga ada di daerah berfungsi sebagai pedoman guru dalam melaksanakan proses pembelajaran. Diharapkan dapat menganalisa kurikulum untuk kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu diharapkan kemampuan seorang guru sejarah diantaranya mampu berkreatif dan inovatif terutama pada aspek menganalisis kurikulum (KTSP).

3. Pelaksanaan pembelajaran harus dapat dilakukan melalui perencanan yang baik, akan berdampak pada adanya perubahan pada diri. Pembelajaran sebelum pelaksanaan pendidikan tindakan kelas (PTK) ini memperlihatkan bentuk pembelajaran yang bersifat konservatif, kaku, dan terlebih lagi tidak merangsang pengembangan kemampuan akademik siswa, dikarenakan guru hanya mengandalkan kemampuan bertutur, mengutamakan hapalan angka-angka urut-urutan, peristiwa dan tokoh dengan nuansa kognitif tingkat rendah dengan ceramah yang monoton diikuti memcatat buku teks. Perubahan terjadi pada guru terutama, khususnya terhadap perbaikan pembelajaran sejarah. Semakin meningkatnya aktifitas dan kreativitas mengajar, baik dalam membuka pelajaran, apersepsi, eksplorasi, diskusi dan penjelasan konsep, maupun pengembangan aplikasi belajar. Artinya kemampuan guru menjadi semakin baik dan pembelajaran semakin bermakna bagi siswa dalam pengembangan pribadi yang utuh (konigtif, afektif, dan psikomotorik).


(50)

4. Penilaian di dalam pembelajaran tidak terfokus pada aspek konigtif namun dapat terlihat kemampuan anak dalam melaksanakan tugas seperti aspek psikomotorik yang diberikan oleh guru apakah dapat dilaksanakan dengan baik. Terutama dalam metode pendidikan tindakan kelas (PTK) pada pembelajaran sejarah dengan model problem based learning ternyata dibutuhkan kemampuan ketrampilan seorang anak untuk dapat memecahkan masalah yang diberikan atau dihadapi. Afektif anak dapat terukur bilamana dapat menunjukkan sikap yang sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan atau lingkungan belajar (sekolah), keluarga, dan masyarakat disini terlihat prilaku anak berupa disiplin, rajin, jujur, kekeluargaan, dan gotong royong dalam kehidupan belajar di sekolah. 5. Keberadaan siswa adalah cermin bagi guru, keberhasilan siswa dalam

belajar menunjukkan kompetensi seorang guru. Kesulitan-kesulitan dalam pembelajaran sejarah yang dipikirkan guru pada awal, sesungguhnya tidak mendasar, sesungguhnya belum ada kemauan atau upaya guru untuk memulainya. Ternyata pendidikan tindakan kelas (PTK) yang dilakuakan dengan menerapkan model problem based learning selama peneliti ada dilapangan mulai dari dari pertemuan awal siklus satu sampai dengan siklus terakhir didalam proses pembelajaran sejarah ternyata mampu memecahkan masalah-masalah yang ditemui pada awal pembelajaran sejarah.


(51)

B. Rekomendasi

Berdasarkan temuan yang dibahas pada bagian sebelumnya, maka perlu untuk menyampaikan beberapa rekomendasi kepada guru, siswa, kepala sekolah, dan pengambil kebijakan yang terkait, serta peneliti selanjutnya, sebagai berikut: 1. Disarankan kepada guru, khusus guru bidang studi sejarah terutama di

sekolah tempat peneliti melakukan penelitian dan secara umum guru sejarah yang melaksanakan tugas di Kabupaten Fakfak agar dapat berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya dengan sumber-sumber atau referensi sejarah yang berkaitan dengan materi yang akan diajarkan. Diharapkan guru tidak terlalu terfokus pada buku paket atau silabus nasional tapi berkreatif dalam menggali cerita sejarah yang berhubungan dengan materi ajar. Dengan kemampuan guru yang meningkat dan berkualitas sehingga dapat merancang strategi dalam skenario model pembelajaran yang lebih inovatif tentang pengintegrasikan muatan sejarah di daerah/lokal ke dalam sejarah nasional, serta dapat menanamkan nilai-nilai sejarah secarah utuh dalam pembelajaran agar tercapai tujuan pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna.

2. Untuk para siswa, diharapkan mampu mengaplikasikan semangat nilai-nilai juang dalam menumbuhkan semangat nasionalisme pada kehidupan sehari-hari misalnya melakukan hal-hal positif yang bermanfaat seperti toleransi dengan teman yang memiliki perbedaan dengan kita, bersikap kesatria yang taat dan jujur dengan budi pekerti yang baik, bersikap dan berprilaku cinta tanah air, seperti tokoh-tokoh daerah yang mau mengorban segala-galanya


(52)

bahkan jiwa dan raga demi kemajuan, kejayaan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya dalam mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara.

3. Kepada sekolah, seluruh dewan guru diharapkan agar dapat melaksanakan tugas dan kewajibanya sebagai pengajar secara iklas dan sungguh-sungguh dengan menunjukkan kepribadian yang dapat dijadikan teladan kepada siswa dalam rangka memajukan kemajuan bangsa.

4. Kepada pemerintah, dalam hal ini Kementrian Agama Kabupaten Fakfak dan Kementrian Pendidikan Nasional Kabupaten Fakfak untuk mendukung dan mendorong kepada pihak-pihak yang terkait agar meningkatkan usaha dalam rangka penulisan sejarah di daerah yang telah dikenal dalam pembelajaran sejarah untuk membangkitkan semangat nasionalisme dan mengusulkan tokoh-tokoh daerah yang telah menunjukkan sikap dalam mempertahankan kedaulatan nasional yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia diusulkan menjadi bagian sejarah nasional minimal sebagai pahlawan nasional.


(53)

Daftar Pustaka:

Anderson, B. 1983. Imagined Communities. Norfollk: The Thetford Press, Ltd. Arends, 2008. Learning To Teach (Belajar Untuk Mengajar). Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Blank, T. & Schmidt, P. (2003).”National Identity in a United Germany: Nationalism or Patriotism? An Empirical Test With Representative Data.” Journal of Political Psychology, Vol 24.2, 2003.

Creswell, J.W. 1997. Research Design: Qualitative & Quantitave Approaches. London: Sage Publications, Inc

Djopari, J R O. 1993. Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka. Jakarta: Gramedia.

Frederick, W. H. dan Soeroto, S. 2005. Pemahaman Sejarah Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: LP3ES.

Garvey, Brian & Krug, Mary. 1977. Model of History Teching in the Secondary School. Oxford University Press.

Gie, The L. dan Istanto, F. S. Pertumbuhan Pemerintah Provinsi Irian Barat dan Kemungkinan-Kemungkinan Perkembangan Otonomisasi di Hari Kemudian. Yogyakarta: Fisip – UGM.

Hasbullah, 2006. Otonomi Pendidikan; Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo.

Hopkins, D. 1993. A Teacher Guide to Classroom Research. Philadelphia Open University Press

Ingleson, J. 1983. Jalan ke Pengasingan; Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934. Jakarta: LP3ES.

Ismaun, 2008. Nasionalisme dan Integrasi Bangsa dalam Konteks Dinamika Sejarah dan Pendidikan pembinaan Persatuan serta Watak Bangsa Indonesia: Sejarah Sebuah Penilaian Refleksi 70 Tahun Prof. Dr. H. Asmawi Zainul, M. Ed. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS-UPI.


(54)

Joyce, B., Weil M. dan Calhoun, E. 2009. Models of Teaching: Model-model Pengajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kahin, George McTurnan. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Karim, R. 1991. Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia Dalam “Pendidikan Islan Di Indonesia: Antara Cita Dan Fakta.” Yogyakarta: Tiara Wacana

Katopo, E. 1955. Perjuangan Irian Merdeka. Bandung: Kilat Madju.

Koentjaraningrat, & Bachtiar, H. W 1963. Penduduk Irian Barat. Jakarta: Universitas

Kohn, H. 1985. Nationalism: Its Meaning and History. Florida: Krieger Publ.Coy. Kuntowijoyo, 2008. Penjelasan Sejarah (Historical Explation). Yogyakarta: Tiara

Wacana.

Lincoln dan Guba, 1985. Naturalistic Inquiry. California: Baverly Hills.

Mahfud, MD. M. 1993. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Milles, H 1992. Analisa Data Kualitatif, Buku sumber tentang Metode-Metode Baru. Universitas Indonesia: UI-Press.

Moleong, L.J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana, A dan Darmiasti. 2009. Historiografi di Indonesia dari Magis-Religius hingga Strukturis. Bandung: Raflika Aditama.

Mulyasa, H. E. 2009. Praktik Penelitian Tindakan kelas. Bandung: Remaja Rosdakarya

Nasution, S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. PABAN IV ASS-I KASAD, 1961. Tinjauan Situasi Irian Barat. Jakarta.

PEMDA, 1972. Penentuan Pendapat Rakyat di Irian Barat. Jayapura: PEMDA Iran Barat.

Riyanto, Astim. 2006. Negara Kesatuan Konsep, Asas, dan aktualisasinya. Bandung: Yapendo.


(1)

B. Rekomendasi

Berdasarkan temuan yang dibahas pada bagian sebelumnya, maka perlu untuk menyampaikan beberapa rekomendasi kepada guru, siswa, kepala sekolah, dan pengambil kebijakan yang terkait, serta peneliti selanjutnya, sebagai berikut: 1. Disarankan kepada guru, khusus guru bidang studi sejarah terutama di

sekolah tempat peneliti melakukan penelitian dan secara umum guru sejarah yang melaksanakan tugas di Kabupaten Fakfak agar dapat berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya dengan sumber-sumber atau referensi sejarah yang berkaitan dengan materi yang akan diajarkan. Diharapkan guru tidak terlalu terfokus pada buku paket atau silabus nasional tapi berkreatif dalam menggali cerita sejarah yang berhubungan dengan materi ajar. Dengan kemampuan guru yang meningkat dan berkualitas sehingga dapat merancang strategi dalam skenario model pembelajaran yang lebih inovatif tentang pengintegrasikan muatan sejarah di daerah/lokal ke dalam sejarah nasional, serta dapat menanamkan nilai-nilai sejarah secarah utuh dalam pembelajaran agar tercapai tujuan pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna.

2. Untuk para siswa, diharapkan mampu mengaplikasikan semangat nilai-nilai juang dalam menumbuhkan semangat nasionalisme pada kehidupan sehari-hari misalnya melakukan hal-hal positif yang bermanfaat seperti toleransi dengan teman yang memiliki perbedaan dengan kita, bersikap kesatria yang taat dan jujur dengan budi pekerti yang baik, bersikap dan berprilaku cinta tanah air, seperti tokoh-tokoh daerah yang mau mengorban segala-galanya


(2)

bahkan jiwa dan raga demi kemajuan, kejayaan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya dalam mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara.

3. Kepada sekolah, seluruh dewan guru diharapkan agar dapat melaksanakan tugas dan kewajibanya sebagai pengajar secara iklas dan sungguh-sungguh dengan menunjukkan kepribadian yang dapat dijadikan teladan kepada siswa dalam rangka memajukan kemajuan bangsa.

4. Kepada pemerintah, dalam hal ini Kementrian Agama Kabupaten Fakfak dan Kementrian Pendidikan Nasional Kabupaten Fakfak untuk mendukung dan mendorong kepada pihak-pihak yang terkait agar meningkatkan usaha dalam rangka penulisan sejarah di daerah yang telah dikenal dalam pembelajaran sejarah untuk membangkitkan semangat nasionalisme dan mengusulkan tokoh-tokoh daerah yang telah menunjukkan sikap dalam mempertahankan kedaulatan nasional yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia diusulkan menjadi bagian sejarah nasional minimal sebagai pahlawan nasional.


(3)

Daftar Pustaka:

Anderson, B. 1983. Imagined Communities. Norfollk: The Thetford Press, Ltd. Arends, 2008. Learning To Teach (Belajar Untuk Mengajar). Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Blank, T. & Schmidt, P. (2003).”National Identity in a United Germany: Nationalism or Patriotism? An Empirical Test With Representative Data.” Journal of Political Psychology, Vol 24.2, 2003.

Creswell, J.W. 1997. Research Design: Qualitative & Quantitave Approaches. London: Sage Publications, Inc

Djopari, J R O. 1993. Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka. Jakarta: Gramedia.

Frederick, W. H. dan Soeroto, S. 2005. Pemahaman Sejarah Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: LP3ES.

Garvey, Brian & Krug, Mary. 1977. Model of History Teching in the Secondary School. Oxford University Press.

Gie, The L. dan Istanto, F. S. Pertumbuhan Pemerintah Provinsi Irian Barat dan Kemungkinan-Kemungkinan Perkembangan Otonomisasi di Hari Kemudian. Yogyakarta: Fisip – UGM.

Hasbullah, 2006. Otonomi Pendidikan; Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo.

Hopkins, D. 1993. A Teacher Guide to Classroom Research. Philadelphia Open University Press

Ingleson, J. 1983. Jalan ke Pengasingan; Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934. Jakarta: LP3ES.

Ismaun, 2008. Nasionalisme dan Integrasi Bangsa dalam Konteks Dinamika Sejarah dan Pendidikan pembinaan Persatuan serta Watak Bangsa Indonesia: Sejarah Sebuah Penilaian Refleksi 70 Tahun Prof. Dr. H. Asmawi Zainul, M. Ed. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS-UPI.


(4)

Joyce, B., Weil M. dan Calhoun, E. 2009. Models of Teaching: Model-model Pengajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kahin, George McTurnan. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Karim, R. 1991. Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia Dalam “Pendidikan Islan Di Indonesia: Antara Cita Dan Fakta.” Yogyakarta: Tiara Wacana

Katopo, E. 1955. Perjuangan Irian Merdeka. Bandung: Kilat Madju.

Koentjaraningrat, & Bachtiar, H. W 1963. Penduduk Irian Barat. Jakarta: Universitas

Kohn, H. 1985. Nationalism: Its Meaning and History. Florida: Krieger Publ.Coy. Kuntowijoyo, 2008. Penjelasan Sejarah (Historical Explation). Yogyakarta: Tiara

Wacana.

Lincoln dan Guba, 1985. Naturalistic Inquiry. California: Baverly Hills.

Mahfud, MD. M. 1993. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Milles, H 1992. Analisa Data Kualitatif, Buku sumber tentang Metode-Metode Baru. Universitas Indonesia: UI-Press.

Moleong, L.J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana, A dan Darmiasti. 2009. Historiografi di Indonesia dari Magis-Religius hingga Strukturis. Bandung: Raflika Aditama.

Mulyasa, H. E. 2009. Praktik Penelitian Tindakan kelas. Bandung: Remaja Rosdakarya

Nasution, S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. PABAN IV ASS-I KASAD, 1961. Tinjauan Situasi Irian Barat. Jakarta.

PEMDA, 1972. Penentuan Pendapat Rakyat di Irian Barat. Jayapura: PEMDA Iran Barat.

Riyanto, Astim. 2006. Negara Kesatuan Konsep, Asas, dan aktualisasinya. Bandung: Yapendo.


(5)

Rosyada,D. 2007. Problematika Penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di Madrasah. Jakarta: Jurnal Edukasi Pendag dan Keagamaan.

Saefudin, S. U. 2008. Inovasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Sanjaya, W. 2009. Kurikulum dan Pembelajaran Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Satori, D. dan Komariah. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sjamsuddin,H. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Soedarto, Bondan dan Kawan-Kawan. 1995. Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia di Irian Jaya. Jayapura: DHD. 45 IRJA BP-7.

Soeripto, 1962. Dokumen Irian-Barat. Surabaya: GRIP

Somantri, 2001. Menggagas Pembaharuan IPS. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Sugiyono, 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sumantri, E. 2000. Seabad Kebangkitan Nasional: Revitalisasi dan Reaktualisasi Kebangkitan Nasional Menuju Indonesia Baru yang Adil dan Sejahtera. CV. Yasindo Multi Aspek bekerjasama dengan Pusat Kajian Wawasan Kebangsaan UPI.

Supardan, D. 2009. Pengantar Ilmu Sosial Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Aksara.

Supriatna, N. 2007. Konstruksi Pembelajaran Sejarah Kritis. Bandung: Historia Utama Press.

________. 2007. Pembelajaran Sejarah Dalam KTSP: Sejarah Lokal; Penulisan dan Pembelajaran di Sekolah. Bandung: Salamiana Press.

Syaodi, S. N. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Strauss, A. dan Corbin, J. 2009. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(6)

Taufiq, A.M. 2009. Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning:

Bagaimana Pendidikan Memberdayakan Pemelajar Di Era

Pengetahua. Jakarta: Kencana.

Tilar, H. A. R. 2007. Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Tosh, J. 1984. The Pursuit of History. New York: Longman. Inc.

Uno, H. B. 2010. Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara.

Usman, S. dan Din, I. 2010. Pasang Surut Sejarah Papua dalan Pangkuan Ibu Pertiwi. Planet Buku

Wineburg, S. 2006. Berpikir Historis Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Wiriaatmadja, R. 2008. Paradigm Shift dalam Kajian Teoritik Faham Nasionalisme: Sejarah dalam keberagaman Penghormatan kepada Prof. Helius Sjamsuddin, Ph.D., MA. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS-UPI.

_______. 2009. Metode Penelitian Tindakan Kelas Untuk Meningkatan Kinerja Guru dan Dosen. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Widia, Gde I. 1991. Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Bandung: Angkasa.

Wonda, S. 2009. Jeritan Bangsa Rakyat Papua Barat Mencari Keadilan. Yogyakata: Galang Press.

Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. 2001. Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Kusus Bagi Provinsi Papua. Jayapuara: Sekda Prov. Papua.


Dokumen yang terkait

Minat belajar siswa pada pembelajaran sastra dengan metode demonstrasi di kelas X Madrasah Aliyah Negeri XI Jakarta

0 8 109

PENGARUH PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING TERHADAP MOTIVASI BELAJAR SEJARAH SISWA DIKELAS XI MADRASAH ALIYAH NEGERI 2 JEPARA

0 13 114

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING DAN PENDEKATAN SCIENTIFIC TERHADAP HASIL BELAJARA SISWA PADA MATA PELAJARAN AKUNTANSI SISWA KELAS XI IPS 2 MADRASAH ALIYAH NEGERI 2 MEDAN TAHUN PEMBELAJARAN 2014/2015.

0 5 31

PEMBELAJARAN MEMAHAMI INFORMASI DENGAN MENDENGARKAN BERITA DI KELAS XI Pembelajaran Memahami Informasi Dengan Mendengarkan Berita Di Kelas Xi Siswa Madrasah Aliyah Negeri 1 Boyolali.

0 1 15

PENDAHULUAN Pembelajaran Memahami Informasi Dengan Mendengarkan Berita Di Kelas Xi Siswa Madrasah Aliyah Negeri 1 Boyolali.

0 1 5

PEMBELAJARAN MEMAHAMI INFORMASI DENGAN MENDENGARKAN BERITA DI KELAS XI Pembelajaran Memahami Informasi Dengan Mendengarkan Berita Di Kelas Xi Siswa Madrasah Aliyah Negeri 1 Boyolali.

0 3 18

MENUMBUHKAN GREEN BEHAVIOR DALAM MEMILIH JAJANAN YANG SEHAT MELALUI MODEL PROBLEM BASED LEARNING (PBL)DALAM PEMBELAJARAN IPS: Penelitian tindakan kelas pada siswa kelas IV SD Negeri Baok 1 Kecamatan Ciwaru Kabupaten Kuningan.

0 9 50

PENERAPAN METODE DISKUSI UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA SISWA KELAS XI IPS 1 SMA MUHAMMADIYAH KEDAWUNG DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH : Penelitian Tindakan di Kelas XI IPS 1 SMA Muhammadiyah Kedawung Kabupaten Cirebon.

4 39 100

PENERAPAN ASESMEN KINERJA UNTUK MENUMBUHKAN KETERAMPILAN MENGANALISIS SISWA PADA PEMBELAJARAN SEJARAH : Penelitian Tindakan Kelas di Kelas XI IPS 2 MAN 1 Kota Bandung.

0 0 43

UAS 1 Sejarah Kelas XI IPS

0 7 5