ANALISIS KEBUTUHAN GURU DALAM MENGEMBANGKAN KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPA DI SEKOLAH DASAR.

(1)

i

ANALISIS KEBUTUHAN GURU DALAM

MENGEMBANGKAN KURIKULUM DAN

PEMBELAJARAN IPA DI SEKOLAH DASAR

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk

Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan dalam Bidang

Pengembangan Kurikulum

Promovendus:

Diana Rochintaniawati

055985

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2010


(2)

ii

Disetujui untuk Ujian Tahap I

Promotor,

Prof. Dr. H. Said Hamid Hasan, M.A

Co Promotor,

Prof. Dr. Hj. Sri Redjeki, M.Pd

Anggota,

Prof. Dr. Hj. Hansiswany Kamarga, M.Pd.

Ketua Program Study Pengembangan Kurikulum,


(3)

iii HALAMAN PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul : “Analisis Kebutuhan Guru Dalam Mengembangkan Kurikulum dan Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini”.

Bandung, 15 Juli 2010 Yang membuat pernyataan,

Diana Rochintaniawati


(4)

iv ABSTRAK PENELITIAN

Penelitian tentang Analisis Kebutuhan Guru Dalam Mengembangkan Kurikulum Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar bertujuan untuk mengidentifikasi pengetahuan dan keterampilan yang perlu ditingkatkan oleh guru untuk menyusun rencana pembelajaran dan melangsungkan pembelajaran IPA di sekolah dasar. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif melalui pendekatan korelasional yang melibatkan 30 orang guru Sekolah Dasar Negeri di Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat. Angket, lembar observasi dan studi dokumentasi digunakan untuk menjaring data penelitian. Dari hasil pemberian angket diperoleh bahwa guru Sekolah Dasar di Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat memiliki latar belakang yang memadai dalam hal kualifikasi pendidikan dan pengalaman mengajar, namun memiliki latar belakang yang belum memadai dalam keterlibatan aktivitas pelatihan/workshop yang berkaitan dengan kurikulum dan pembelajaran IPA. Dari pemberian angket, observasi dan penilaian terhadap rencana pembelajaran yang dikembangkan guru, diperoleh hasil bahwa guru memerlukan peningkatan kemampuan dalam semua aspek yang mencakup: pemahaman terhadap kurikulum (curriculum knowledge), pemahaman terhadap materi IPA (content knowledge), pemahaman terhadap pedagogi (pedagogical knowledge), pemahaman konten pedagogi (pedagogical content knowledge) serta pemahaman terhadap siswa (knowing of learners) pada komponen-komponen tertentu. Latar belakang pendidikan guru, keterlibatan guru dalam kegiatan pelatihan atau workshop dan pengalaman mengajar guru tidak berkorelasi secara signifikan dengan kemampuan guru dalam melangsungkan pembelajaran IPA dan kemampuan guru mengembangkan rencana pembelajaran. Prioritas kebutuhan terhadap keterampilan guru dalam melangsungkan pembelajaran IPA dan mengembangkan rencana pembelajaran IPA adalah meningkatkan pemahaman guru terhadap IPA sebagai proses, produk dan nilai serta meningkatkan kemampuan guru untuk merancang dan mengembangkan pembelajaran melalui keterampilan proses sains.

Kata Kunci: Analisis kebutuhan, kurikulum IPA, pemahaman terhadap kurikulum, pemahaman terhadap materi IPA, pemahaman terhadap pedagogi, pemahaman konten pedagogi, pemahaman terhadap siswa.


(5)

v NEEDS ASSESSMENT OF ELEMENTARY SCHOOL TEACHER IN DEVELOPING SCIENCE CURRICULUM AND TEACHING SCIENCE

ABSTRACT

Study of elementary school teachers’ needs assessment in developing science curriculum and teaching science aims to identify elementary school knowledge and skill needed by teacher in order to construct lesson plan and to teach science in elementary school. Descriptive study and correlation approach are used for the data analysis involving 30 teachers in Cimahi and West Bandung District. Questionnaires, observation sheet and document were used to collect the data. Data analysis reveals that elementary school teachers in Cimahi and West Bandung District have sufficient background in term of degree and teaching experience, but lack experience in in-service training for both elementary curriculum and science teaching. Moreover the study reveals those elementary school teachers in Cimahi and West Bandung District need to improve knowledge and skills in: curriculum knowledge, content knowledge, pedagogical knowledge, pedagogical content knowledge and knowing of learners in some component. Further, the study found that there were no significant correlation among educational background, teaching experience and involvement in teacher training or workshop with teacher performance in teaching science and constructing science lesson plan. The priority of teachers’ need is developing teacher understanding to nature of science as a product, process and value as well as planning and conducting science teaching based on science process skill.

Key Words: Needs Assessment, curriculum knowledge, content knowledge, pedagogical knowledge, pedagogical content knowledge, knowing of learners.


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Penelitian ini dilakukan dengan diawali oleh adanya perhatian yang mendalam dari penulis terhadap pendidikan IPA khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan guru untuk mengembangkan kurikulum pembelajaran IPA Sekolah Dasar di wilayah Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Program Studi Pengembangan Kurikulum Sekolah Pasca Sarjana UPI, penulis mengajukan penelitian yang berjudul: “Analisis Kebutuhan Guru Dalam Mengembangkan Kurikulum dan Pembelajaran IPA”.

Melalui penelitian ini, penulis menganalisis kebutuhan guru melalui identifikasi kesenjangan pada pemahaman dan keterampilan yang diperlukan guru untuk melangsungkan pembelajaran IPA di sekolah dasar. Dari hasil kesenjangan yang diidentifikasi melalui pemberian angket dan observasi terhadap pembelajaran IPA yang dilangsungkan oleh guru, terungkap kebutuhan-kebutuhan yang perlu ditingkatkan oleh guru.

Laporan penelitian ini terdiri dari enam bab. Bab pertama berisi tentang latar belakang mengapa dan bagaimana penelitian ini akan dilakukan. Bab kedua berisi tinjauan pustaka hasil penelusuran penulis dari berbagai macam sumber baik itu hasil penelitian, disertasi, thesis, laporan penelitian dari berbagai jurnal, buku, artikel, dan lain sebagainya. Bab ketiga berisi langkah-langkah penelitian, instrumen yang dikembangkan, dan bagaimana cara mendapatkan data. Bab


(7)

vii keempat berisi hasil-hasil penelitian dan pembahasan. Bab kelima berisi kesimpulan serta rekomendasi.

Penulis sangat mengharapkan kritik atau masukkan untuk penyempurnaan atau perbaikan disertasi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat dan semua perjuangan penulis dalam menyelesaikan disertasi ini merupakan amal shaleh yang diridhoi Allah SWT, Amin.

Bandung, Juli 2010


(8)

viii

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji bagi Allah yang Maha Kuasa, hanya dengan kasih dan sayang-Nya disertasi ini bisa terselesaikan. Berkat petunjuk dan inayah-sayang-Nya penulis diberi kekuatan untuk melaksanakan semua perjuangan ini. Keberhasilan ini tidak lepas dari peran, bantuan, dan dukungan dari berbagai pihak. Dengan segala kerendahan hati dan penghargaan yang setulus-tulusnya penulis ingin mengucapkan terima kasih terutama kepada:

1. Prof. Dr. H. Said Hamid Hasan, M.A selaku promotor yang dengan sabar mencurahkan segala tenaga, pikiran, keilmuan, serta waktunya yang sangat berharga untuk memberikan bimbingan kepada penulis. Terima kasih atas segala pengetahuan, pengalaman, perhatian serta dorongan moril maupun materil yang telah Bapak berikan pada penulis.

2. Prof. Dr. Hj. Sri Redjeki, M.Pd. selaku Ko-promotor, yang selalu membesarkan hati, membimbing dengan penuh perhatian, keikhlasan dan kesabaran kepada penulis. Terima kasih atas segala pengetahuan, pengalaman, budi baik dan penghargaan yang Ibu berikan kepada penulis.

3. Prof. Dr. Hj. Hansiswany Kamarga, M.Pd. selaku anggota dan Ketua Program Studi Pengembangan Kurikulum, yang telah memperlihatkan antusiasme dan perhatian yang mendalam sehingga mampu mendorong penulis untuk tetap berjuang menyelesaikan segala kesulitan sejak penulis


(9)

ix menjadi mahasiswa di Program Studi Pengembangan Kurikulum. Terima kasih atas pengetahuan, pengalaman yang Ibu berikan kepada penulis.

4. Dr. Iriawati, M.Sc. selaku penguji, terima kasih atas segala masukkan yang tidak ternilai harganya untuk perbaikan disertasi ini.

5. Prof. Dr. Hj. Mulyani Sumantri, M.Sc. selaku penguji, terima kasih atas segala masukkan yang tidak ternilai harganya untuk perbaikan disertasi ini.

6. Seluruh staf dosen Sekolah Pascasarjana UPI yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menggali pengetahuan, pengalaman dan wawasan yang membuat penulis sangat tertarik dan terkesan amat dalam.

7. Seluruh karyawan Sekolah Pascasarjana UPI yang telah membantu kelancaran dan kemudahan kepada penulis untuk menyelesaikan studi.

8. Prof. Dr. H. Wahyudin, M.Pd, Dr. Phil. H. Ari Widodo, M.Ed., Drs. Riandi, M.Si., Dr. Sri Anggraeni, M.Si. dan Dr. Elah Nurlaelah, M.Si., yang telah bersedia menjadi rekan diskusi serta memberi masukan yang sangat berharga bagi penulis.

9. Bapak Dekan FPMIPA, Dr. Asep Kadarohman, M.Si dan Wakil Dekan 1 Dr. Agus Setiabudi, M.Sc. serta Seluruh dosen dan staf di International Program on Science Education (IPSE) terutama Resik Ajeng Maria, S.Si., Marthalina, S.Si, dosen serta staf Jurusan Pendidikan Biologi yang telah memberikan dorongan serta bantuan baik moril maupun materil kepada penulis.


(10)

x 10.Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih

atas bantuan, dorongan serta budi baiknya.

Kepada seluruh keluarga tercinta, ibunda Tien Surtini, suami Dedi Hidayat, ST, serta anak-anakku Elghiffari Hidayat dan Elguarrdine Hidayat terima kasih atas pengertian yang tulus, dorongan doa serta kasih sayang yang dicurahkan sehingga memperkuat semangat penulis untuk dapat menyelesaikan studi ini. Kepada ayahanda tercinta alm. Drs. Suwarsa, tulisan ini merupakan bakti sayang ananda atas kasih sayang dan dorongan pada penulis semasa beliau hidup.

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan dengan yang lebih baik dan berlipat-lipat. Amin Ya Rabbal Alamin.

Bandung, Juli 2010


(11)

xi

DAFTAR ISI

ABSTRAK ………. i

KATA PENGANTAR ……….. iii

UCAPAN TERIMAKASIH ………. v

DAFTAR ISI ………. viii

DAFTAR GAMBAR ……… xi

DAFTAR TABEL ………. xiii

DAFTAR LAMPIRAN ……… xiv

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Batasan Masalah ……… 11

C. Rumusan Masalah ………. 12

D. Tujuan Penelitian ………... 14

E. Manfaat Penelitian ………. 16

F. Metode Penelitian……….. 18

G. Lokasi dan Sampel Penelitian ………... 19

BAB II. PENGEMBANGAN KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPA DI SEKOLAH DASAR A. IPA dan Hakikat IPA ………. 21

B. Hakikat Pendidikan IPA di Sekolah Dasar……… 24

1. Landasan Pengembangan Pendidikan IPA di Sekolah Dasar ... 24

2. Tujuan Pendidikan IPA Sekolah Dasar ……… 32

3. Isi Kurikulum IPA di Sekolah Dasar……… 36

4. Strategi Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar ... 48

C. Profesionalisme Guru Dalam Melangsungkan Pembelajaran IPA ... 55

1. Tugas Guru Dalam Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar.... 61

2. Kompetensi Guru Untuk Melangsungkan Pembelajaran IPA ... 75

D. Analisis Kebutuhan (Needs Assessment) ………... 92

BAB III. METODE PENELITIAN A. Populasi, Lokasi dan Subjek Penelitian ………..……… 102

B. Definisi Operasional ……….. 110

1. Latar Belakang Pendidikan Guru ……… 110 2. Keterlibatan guru dalam program pelatihan pengembangan

kurikulum dan pembelajaran ……….. 3. Pendapat guru …………..………

110 111 4. Kompetensi Guru dalam mengembangkan kurikulum dan


(12)

xii pembelajaran IPA... 113 C. Metode Penelitian ……….…..

D. Data dan Sumber Data ……….………..

116 118 E. Instrumen Penelitian ………

1. Angket ……… 2. Lembar Observasi ……….. 3. Lembar Penilaian RPP ………..

119 121 125 129 F. Teknik dan Langkah Pengumpulan Data ………

1. Angket ……….. 2. Dokumen dan Lembar Observasi ………. G. Pengolahan Data ………. 1. Proses Penentuan Standar ………. 2. Proses penentuan pemberian kode (coding scheme) dan

penentuan skor………. ……….. 3. Proses Pengolahan Data ……….

131 132 133 136 137 142 155

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Kesenjangan dan Pembahasan ……….. 164 1. Kesenjangan Pendidikan Guru dalam Latar Belakang

Pendidikan, Pengalaman Mengajar Guru dan Keterlibatan Dalam Program Pelatihan. ………. 2. Pandangan Guru Terhadap Hakikat dan Pembelajaran

IPA ……….. 3. Pendapat Guru Tentang Ketersediaan Media dan

Pemanfaatan Media Pembelajaran IPA .……….. 4. Kompetensi Guru dalam Mengembangkan Pembelajaran IPA……… a. Kesenjangan dalam Aspek Memahami Materi IPA

(Content Knowledge) ……….. b. Kesenjangan pada Aspek Pedagogi (Pedagogical

knowledge) ……… c. Kesenjangan pada Aspek Konten Pedagogi

(Pedagogical Content knowledge) ………. d. Kesenjangan pada Aspek Pemahaman Terhadap

Pembelajar (knowing of learners)……… 5. Kesenjangan Kemampuan Guru Dalam Memahami

Kurikulum (Curriculum knowledge) ………. B. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Kemampuan Guru

Dalam Pembelajaran IPA……… C. Kajian Terhadap Temuan Kesenjangan ...………

165 175 182 184 185 187 195 199 204 213 218 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ………. 236 B. Rekomendasi ……….. 237


(13)

xiii

DAFTAR PUSTAKA ………..

LAMPIRAN ………..

241 249


(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang memiliki peran penting dalam pendidikan formal yang diberikan pada anak mulai dari usia sekitar 7 tahun sampai 12 tahun. Pentingnya pendidikan dasar ditegaskan oleh UNESCO (1996) yang menyatakan bahwa pendidikan dasar merupakan kunci yang sangat diperlukan untuk meletakkan fondasi bagi kehidupan dalam memudahkan orang untuk memilih apa yang mereka lakukan serta merencanakan masa depan dan meletakkan landasan bagi belajar sepanjang hayat (long life learning). Penyelenggaraan pendidikan dasar dimaksudkan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan pendidikan dasar juga berfungsi untuk menyiapkan anak untuk memenuhi jenjang pendidikan menengah (UNESCO, 1996).

Pernyataan yang dikemukakan oleh UNESCO (1996) didukung oleh pendapat Sukmadinata (2004) yang menyatakan bahwa ada tiga fungsi penting dari penyelenggaraan pendidikan di sekolah dasar, yaitu: pertama, penyelenggaraan sekolah dasar ditujukan untuk mengembangkan kepribadian siswa. Sekolah dasar merupakan lembaga pendidikan formal pertama yang memiliki tugas untuk memberikan dasar-dasar yang kuat bagi pembentukan kepribadian, pengembangan fisik, moral, sikap dan nilai serta pengembangan


(15)

2 potensi, kemampuan-kemampuan dasar bagi pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan pribadi siswa. Kedua, sekolah dasar diselenggarakan untuk mengembangkan potensi kemampuan untuk menjalin hubungan dan bekerja sama dalam masyarakat. Lulusan sekolah dasar merupakan calon warga masyarakat dewasa yang harus mampu berinteraksi, menjalin hubungan kerjasama dengan sesamanya dan mematuhi aturan nilai-nilai di lingkungannya. Ketiga,

penyelenggaraan sekolah dasar adalah menyiapkan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang selanjutnya.

Menurut Semiawan (1993) dalam kehidupan masyarakat, penyelenggaraan sekolah dasar tidak semata-mata ditujukan untuk memberikan kemampuan siswa membaca (melek huruf) saja atau memberikan sekumpulan pengetahuan pengetahuan sesaat yang biasanya kurang memiliki arti dalam menanamkan kemandirian siswa. Pendapat ini dipertegas oleh pernyataan Parkay et al. (2006) yang mengungkapkan bahwa tujuan dari pendidikan di sekolah dasar adalah untuk memberikan pengalaman yang dapat membangun kepribadian siswa sebagai landasan untuk belajar pada jenjang-jenjang berikutnya. Kegagalan dalam memberikan pengetahuan dan kecakapan yang memadai pada jenjang sekolah dasar akan berakibat timbulnya kekurangan pada diri siswa yang sulit untuk diatasi. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa pendidikan dasar memegang peranan penting dalam menentukan kualitas pendidikan. Tinggi rendahnya kualitas pendidikan pada jenjang sekolah menengah akan sangat ditentukan oleh pendidikan dasar (Sanjaya, 2002).


(16)

3 Salah satu mata pelajaran inti yang diberikan dalam pendidikan formal mulai dari jenjang pendidikan dasar adalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Pendidikan IPA di sekolah dasar secara umum memiliki konsep dasar yang sama dengan penyelenggaraan pendidikan IPA pada jenjang pendidikan lain. Satu hal yang perlu digarisbawahi dalam penyelenggaraan pendidikan IPA adalah bahwa pendidikan IPA diharapkan memiliki karateristik sesuai dengan hakikat yang terkandung di dalam IPA, yaitu: IPA sebagai produk, IPA sebagai proses, IPA sebagai nilai dan IPA sebagai teknologi (Brown, 2002). Dengan demikian target dalam pembelajaran IPA tidak hanya ditujukan pada penguasaan konsep-konsep IPA semata tetapi juga mengembangkan kemampuan berinkuiri melalui penggunaan metode ilmiah dan mengembangkan sikap ilmiah sebagai perwujudan dalam memahami IPA sesuai dengan hakekat IPA. Selain itu, pendidikan IPA juga harus memberikan landasan pemahaman pada siswa bahwa IPA bukan sesuatu yang dipelajari terpisah dari kehidupan manusia melainkan segala sesuatu yang dipelajari tentang apa yang ada di sekitar kita. Dengan demikian pendidikan IPA memiliki visi untuk mempersiapkan siswa yang melek sains dan teknologi untuk memahami dirinya dan lingkungan sekitarnya (Rustaman, 2002).

Tisher (1972), menyatakan bahwa tujuan pendidikan IPA adalah : “to help student survive”. Pandangan yang dikemukakan oleh Tisher ini memiliki kaitan yang erat dengan pertanyaan yang diajukan oleh Syahrun dan Yunerti (2003) tentang siapa peserta didik yang belajar IPA. IPA tidak hanya ditujukan bagi peserta didik yang nantinya akan memilih studi dalam bidang IPA, tetapi IPA


(17)

4 all”. Dengan demikian pendidikan IPA di sekolah harus membekali siswa untuk dapat hidup mandiri di masyarakat sebagai pribadi-pribadi yang memahami tentang diri dan alam sekitarnya dan memiliki kebiasaan berpikir dan bernalar secara ilmiah. Agar tujuan ini dapat tercapai, maka dalam National Science Education Standard (NSES, 1996) dikatakan bahwa pendidikan IPA merupakan sesuatu yang harus dilakukan oleh siswa, bukan sesuatu yang dilakukan terhadap siswa. Lebih lanjut NSES mengungkapkan bahwa siswa harus mengembangkan pemahaman terhadap apa itu IPA, apa yang dapat diperbuat dan tidak dapat diperbuat melalui IPA dan bagaimana IPA berpengaruh terhadap kehidupan mereka.

Pendapat yang dikemukakan oleh Wortham (2006) memperkuat pernyataan-pernyataan yang dikemukakan para ahli di atas. Menurut Wortham (2006) ada tiga karakteristik yang dijadikan landasan bagi pelaksanaan pendidikan IPA di sekolah dasar. Ketiga karakteristik tersebut adalah: (a) Siswa belajar konsep-konsep IPA secara aktif tentang fenomena alam melalui kegiatan bereksplorasi, investigasi, refleksi dan representasi; (b) Siswa mempelajari konsep-konsep IPA dalam konteks sosial melalui kegiatan observasi dan kerjasama dengan siswa lain dalam kelompok kooperatif atau belajar secara berpasangan, saling bertukar ide, terlibat dalam proyek IPA, serta mendiskusikan hasil penemuan mereka; (c) Siswa belajar konsep IPA dengan guru yang dianggap sebagai mitra. Guru menuntun, mengarahkan dan memfasilitasi pengalaman IPA dan menuntun siswa dalam mencapai pemahaman yang lebih tinggi serta membimbing dalam memecahkan masalah. Dengan mengacu pada Wortham


(18)

5 (2006), maka dapat dikatakan bahwa pembelajaran IPA di sekolah dasar menekankan pada pentingnya untuk berinkuiri untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh siswa melalui pembelajaran yang bersifat child centered

(berpusat pada siswa).

Hasil studi yang dilakukan oleh Sato (2006) terhadap pembelajaran IPA di Indonesia mengungkapkan kenyataan lain dari apa yang diharapkan. Pembelajaran IPA di Indonesia masih dilangsungkan melalui pendekatan konvensional. Guru memberi perintah pada sekelompok siswa melalui metode ceramah. Pembelajaran juga bersifat textbook oriented dimana buku pegangan siswa dijadikan sebagai acuan dalam melangsungkan pembelajaran di kelas. Guru banyak mengajukan pertanyaan yang sifatnya sederhana kepada siswa, seperti : ”apakah ini?” atau ”apakah ini benar?”. Sedangkan siswa hanya menjawab dengan mengulangi penjelasan yang sudah tertulis dalam buku teks. Seringkali guru memanfaatkan siswa yang memberi jawaban yang sesuai dengan arahan atau harapan guru. Sato (2006) berkesimpulan bahwa dari pembelajaran yang dilangsungkan seperti itu tidak banyak yang dapat dipelajari oleh siswa, meskipun pembelajaran memang terjadi. Dengan cara demikian, hanya sebagian kecil siswa memperoleh ilmu dan itu pun sebatas memahami materi pelajaran yang ada di dalam buku, tetapi ilmu yang sesungguhnya harus dibekalkan sesuai dengan visi pendidikan IPA tidak tercapai.

Kenyataan ini juga peneliti temukan dalam pembelajaran yang dilangsungkan di sekolah dasar di Cimahi. Dari observasi terhadap pembelajaran IPA dalam kegiatan pra penelitian, terlihat bahwa pembelajaran masih


(19)

6 dilangsungkan secara konvensional. Pembelajaran yang dilangsungkan bersifat

teacher centered dengan metode ceramah dan memiliki ciri “transfer of knowledge” dimana guru berperan aktif menyampaikan informasi kepada siswa.

Pembelajaran yang dilangsungkan di Cimahi pada kegiatan pra penelitian difokuskan terhadap penguasaan konsep dasar dan guru berindak sebagai penyampai informasi materi IPA. Konsep-konsep dalam buku pegangan siswa merupakan kunci dari beranjaknya pembelajaran dilangsungkan. Meskipun sesekali guru meminta siswa untuk memberi contoh yang tidak ada dalam buku pegangan siswa, namun seringkali mereka terjebak dengan istilah-istilah berupa hapalan. Hasil dari pra penelitian tersebut mengungkapkan bahwa guru memerlukan peningkatan kemampuan untuk melangsungkan pembelajaran IPA yang inovatif sesuai dengan apa yang diharapkan oleh karakteristik pembelajaran IPA yang tidak hanya menekankan hasil belajar siswa pada aspek kognitif saja.

Hasil studi yang dilakukan oleh banyak peneliti mengungkapkan bahwa efektivitas pembelajaran lebih menunjang pencapaian hasil belajar siswa baik dalam aspek kognitif maupun aspek afektif dibandingkan dengan efektivitas manajemen sekolah (Teddlie & Reynolds, 2000; Kyriakides et al., 2008). Penelitian lain mengungkapkan bahwa kualitas mengajar merupakan hal yang sangat penting pada penyelenggaraaan pembelajaran di kelas karena berhubungan erat dengan dengan pencapaian hasil belajar siswa (Brophy & Good, 1986; Fraser, Walberg, Welch, & Hattie, 1987; The Finance Project, 2005; Yager, 2008). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti (Schibeci & Hickey, 2003;


(20)

7 hasil belajar siswa disebabkan oleh kemampuan guru dalam melangsungkan pembelajaran di kelas. Bagaimana guru memahami pelajaran, memahami bagaimana siswa belajar dan mempraktekkan metode pembelajaran erat hubungannya dengan perolehan hasil belajar siswa. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Sato (2006) yang menyatakan bahwa guru memiliki peran sentral dalam menentukan arah pembelajaran yang dilangsungkan di kelas. Apakah pembelajaran yang dilangsungkan bertujuan untuk mengembangkan potensi siswa tidak hanya dalam aspek pemahaman terhadap materi pelajaran ataukah bertujuan untuk meningkatkan kemandirian siswa, semuanya tergantung dari bagaimana guru melangsungkan pembelajaran tersebut.

Dari pandangan-pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa guru merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan siswa. Pendidikan guru, kemampuan guru, dan pengalaman guru berhubungan erat dengan pencapaian yang diperoleh siswa. Oleh karena itu, penting sekali untuk menyiapkan guru sebelum terjun sebagai tenaga pengajar dan secara terus menerus melakukan perbaikan terhadap pengetahuan dan kecakapan sepanjang karirnya.

Sebenarnya sudah banyak upaya yang telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga untuk mengatasi permasalahan kualitas guru. Upaya yang dilakukan mulai dari meyelenggarakan pelatihan dalam bentuk pelatihan, lokakarya, seminar, penataran; tetapi nampaknya upaya ini belum memperoleh hasil yang optimal (Widodo, 2006; Moeini, 2009). Secara umum ada beberapa hal yang menyebabkan mengapa program pemerintah dalam usaha meningkatkan profesionalisme guru belum mencapai sasaran, diantaranya adalah:


(21)

8 tidak semua guru mendapatkan kesempatan mengikuti program pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah, program yang dikembangkan kurang melibatkan guru, permasalahan yang disajikan bersifat generalisasi yang berlaku umum padahal permasalahan yang dihadapi guru seringkali bersifat lokal dan kontekstual, permasalahan yang dianggap penting oleh penyelenggara program belum tentu dianggap sebagai permasalahan yang penting oleh guru. Program yang dikembangkan seringkali memisahkan antara aspek materi dengan aspek pedagogi, inovasi yang disampaikan dalam program seringkali disampaikan dengan dijelaskan bukan dicontohkan. Misalnya, penataran tentang metode ilmiah bukannya dilakukan dengan mengajak peserta melakukan penelitian ilmiah tetapi berisi penjelasan tentang langkah ilmiah (Widodo, 2006; Wentling, 1993). Dari hal-hal yang dikemukakan di atas, maka dapat dikatakan bahwa program yang dikembangkan belum menyentuh guru secara keseluruhan dan tidak memenuhi apa yang dibutuhkan oleh guru. Dengan kata lain, program-program pelatihan guru tidak dimulai dengan identifikasi terhadap apa yang dibutuhkan oleh guru.

Needs assessment atau analisis kebutuhan merupakan langkah penting yang harus dilakukan ketika sebuah program akan diselenggarakan atau ketika kurikulum akan dikembangkan. Namun seringkali analisis kebutuhan dilupakan sebagai satu langkah penting yang harus dilakukan (Moeini, 2009). Penelitian tentang analisis kebutuhan banyak dilakukan di negara-negara yang memiliki kualitas pendidikan yang baik ketika sebuah program ataupun kurikulum akan dikembangkan, tetapi penelitian sejenis ini tidak banyak dikembangkan di Indonesia. Analisis kebutuhan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara,


(22)

9 diantaranya adalah dengan menggunakan angket, memberikan tes, melakukan survei, melakukan observasi atau menggabungkan teknik-teknik tersebut. Widodo

et al. (2006) melakukan penelitian tentang analisis kebutuhan guru SMP dalam kaitannya dengan pembelajaran IPA di wilayah Kota Bandung dengan menggunakan angket untuk mengidentifikasi kebutuhan guru dalam melangsungkan pembelajaran IPA di SMP. Penelitian tentang analisis kebutuhan terutama yang dilakukan di wilayah Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi belum pernah dilakukan sebelumnya. Sementara itu kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan guru dalam melangsungkan pembelajaran IPA terutama di sekolah dasar di kedua wilayah ini menjadi suatu hal yang penting, mengingat dari hasil pra penelitian, guru dinilai kurang mampu mengembangkan pembelajaran IPA sesuai dengan apa yang diharapkan oleh karakteristik pembelajaran IPA.

Dengan diberlakukannya kebijakan pemerintah untuk mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), menuntut guru untuk dapat mengembangkan kurikulum. Sebenarnya dari kebijakan tersebut guru memiliki kesempatan lebih luas untuk mengembangkan pembelajaran seperti yang diharapkan oleh pendidikan IPA. Namun dalam kultur pendidikan Indonesia, guru belum pernah dituntut untuk mengembangkan kurikulum, karena selama ini kurikulum di Indonesia bersifat sentralistik. Dalam kurikulum sentralistik, guru tidak perlu untuk mengembangkan kurikulum. Dengan demikian, peran guru sebagai pengembang kurikulum belum sepenuhnya dipahami oleh mereka. Kondisi ini juga berkaitan dengan program pendidikan guru yang tidak pernah membekali guru dengan kompetensi untuk mengembangkan kurikulum. Dari hasil


(23)

10 wawancara dengan dua responden guru sekolah dasar di Cimahi, terungkap bahwa guru belum sepenuhnya memahami peran mereka dalam KTSP. Kedua orang guru ini menyatakan bahwa dalam KTSP tugas mereka adalah membuat rencana pembelajaran atau RPP yang mengacu pada silabus yang diberikan oleh sekolah. Guru tidak memahami bahwa silabus merupakan bagian KTSP yang harus mereka kembangkan sendiri, bukan sekedar diambil dari yang sudah tersedia seperti contoh silabus yang dikeluarkan oleh BSNP atau dalam buku paket .

Dari uraian di atas, maka ada dua permasalahan yang dihadapi oleh guru sekolah dasar di Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat berkenaan dengan pendidikan IPA, yaitu masalah pengembangan kurikulum IPA dan masalah melangsungkan pembelajaran IPA yang selaras dengan hakikat IPA. Dengan demikian penelitian tentang analisis kebutuhan guru sekolah dasar di Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi apa yang dibutuhkan oleh guru untuk mengembangkan kurikulum IPA dan pembelajaran IPA merupakan suatu hal yang perlu dilakukan.

Penelitian dilakukan dengan mengidentifikasi kesenjangan dengan menggunakan angket, lembar observasi terhadap pembelajaran yang dilangsungkan di kelas dan studi dokumentasi, yang sebelumnya belum pernah dilakukan oleh peneliti lain untuk wilayah Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi, ataupun di Jawa Barat. Wilayah kesenjangan atau “gap” yang dikaji

dalam penelitian ini merupakan sintesis dari berbagai pikiran para ahli pendidikan IPA yang diambil melalui kajian literatur sehingga menghasilkan lima aspek yang diperlukan guru untuk bertindak sebagai pengembang dan pelaksana kurikulum.


(24)

11 Kelima aspek tersebut, adalah: pemahaman terhadap kurikulum (curriculum knowledge), pemahaman terhadap konten IPA (content knowledge), pemahaman terhadap pedagogi (pedagogical knowledge), pemahaman terhadap konten pedagogi (pedagogical content knowledge) dan pemahaman terhadap pembelajar

(knowing of learners). Kajian tentang analisis kebutuhan guru dalam kelima aspek tersebut diperlukan untuk menjadi pijakan dalam memberikan pembekalan bagi peningkatan profesionalisme guru IPA di wilayah Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi.

B. BATASAN MASALAH

Menurut Kaufman (1992) ”needs assessment is the formal process of identifying needs as gaps between current and desired results”. Hal yang sama dinyatakan oleh Wentling (1993) bahwa kebutuhan merupakan kondisi dari ”apa yang ada” dan ”apa yang seharusnya ada atau apa yang diharapkan ada”.

Kebutuhan dapat terjadi pada individu, kelompok kecil, dan organisasi (Rouda & Kusy, 1996). Menurut Wentling (1993) kesenjangan dapat berupa pengetahuan, kecakapan, sikap atau tingkah laku yang seharusnya ditampilkan lebih efektif. Dalam penelitian ini kebutuhan yang dianalisis dibatasi pada tiga aspek yang berkaitan dengan kompetensi yang dinyatakan oleh Wentling (1993), yaitu berupa pengetahuan, keterampilan dan sikap yang seharusnya dimiliki oleh guru untuk bertindak sebagai pengembang kurikulum dan pengimplementasi kurikulum IPA di SD. Analisis kebutuhan dilakukan dengan menggunakan prinsip evaluasi.


(25)

12

C. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah dalam penelitian dirumuskan sebagai berikut:

“Keterampilan apa yang dibutuhkan guru dalam mengembangkan kurikulum dan

pembelajaran IPA di Sekolah Dasar Negeri di Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat yang sesuai dengan hakikat IPA? ”

Rumusan masalah di atas dijabarkan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Apa latar belakang pendidikan guru Sekolah Dasar di Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat?

2. Bagaimana keterlibatan guru Sekolah Dasar dalam program pelatihan kurikulum dan pembelajaran IPA ?

3. Bagaimana pengalaman mengajar guru Sekolah Dasar di Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat?

4. Bagaimanakah pendapat guru Sekolah Dasar di Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat terhadap ketersediaan sarana dan prasarana (media pembelajaran) yang menunjang untuk melangsungkan pembelajaran IPA? 5. Apa pendapat guru SD Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat tentang

kurikulum dan pembelajaran IPA?

6. Bagaimanakah kompetensi yang dimiliki oleh guru Sekolah Dasar di Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat dalam mengembangkan kurikulum dan pembelajaran IPA yang berkaitan dengan:


(26)

13 a. Keterampilan dalam merancang pembelajaran IPA (curriculum

knowledge)?

b. Pengetahuan terhadap materi IPA (content knowledge)?

c. Pengetahuan terhadap pedagogi pembelajaran (pedagogical knowledge), yang meliputi aspek-aspek:

1) Keterampilan dalam membuka pelajaran

2) Keterampilan dalam mengembangkan dan menggunakan media dalam pembelajaran IPA

3) Keterampilan dalam menerapkan teknik bertanya dalam pembelajaran IPA?

4) Keterampilan mengembangkan evaluasi dalam pembelajaran IPA?

5) Keterampilan dalam menutup pelajaran dalam pembelajaran IPA ?

d. Pengetahuan terhadap konten pedagogi (pedagogical content knowledge) dalam pembelajaran IPA?

e. Kemampuan memahami peserta didik (knowledge of learners) dalam pembelajaran IPA?

7. Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap pengetahuan, keterampilan dan sikap guru terhadap pembelajaran IPA?


(27)

14

D. TUJUAN PENELITIAN

Kurikulum dikembangkan dengan didasari oleh aspek-aspek berikut: 1) falsafah dan tujuan kurikulum, 2) kemasyarakatan, 3) kebudayaan dan sosio-kultural, 4) psikologi belajar, 5) pertumbuhan dan perkembangan siswa serta 6) organisasi kurikulum (Hamalik, 1990). Pandangan terhadap aspek-aspek ini memiliki implikasi terhadap program pengembangan kurikulum. Salah satu aspek penting yang mendasari penelitian ini adalah implikasi dari kemasyarakatan terhadap penyusunan kurikulum pelatihan. Sebuah program pelatihan diselenggarakan bagi kepentingan masyarakat. Dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok yang masing-masing memiliki kekuatan, baik bersifat potensial, riil maupun strategis. Kekuatan-kekuatan tersebut akan memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan suatu program, oleh karenanya patut dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum, sehingga kurikulum sejalan dengan sifat dinamis dalam masyarakat.

Dengan demikian sesuai dengan permasalahan penelitian, maka tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk menggali informasi tentang kebutuhan guru dalam mengembangkan kurikulum dan pembelajaran IPA di sekolah dasar melalui analisis kebutuhan. Analisis kebutuhan diperlukan sebagai landasan agar pengembangan kurikulum pelatihan guru didasari oleh kekuatan yang sudah dimiliki oeh guru di wilayah Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat. Pendapat yang dikemukakan oleh Grier (2005) menyatakan bahwa informasi tentang kebutuhan yang aktual diperlukan untuk pengembangan sebuah program yang kemudian digunakan oleh para pengembang kurikulum sebagai tuntunan dalam


(28)

15 mengembangkan kurikulum.

Secara khusus, tujuan dari penelitian ini untuk:

a. Menganalisis latar belakang pendidikan guru Sekolah Dasar di Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat yang dijadikan sebagai responden dalam penelitian. b. Menganalisis keterlibatan guru dalam program pelatihan kurikulum dan

pembelajaran IPA Sekolah Dasar.

c. Menganalisis pendapat guru tentang ketersediaan dan pemanfaatan fasilitas pembelajaran IPA.

d. Menganalisis pendapat guru SD Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat tentang kurikulum dan pembelajaran IPA.

e. Menganalisis pendapat guru SD Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat terhadap hakikat IPA dan hakikat pembelajaran IPA.

f. Menganalisis kompetensi yang dimiliki oleh guru Sekolah Dasar di Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat dalam mengembangkan kurikulum dan pembelajaran IPA yang berkaitan dengan: 1) keterampilan yang dimiliki oleh guru sekolah dasar di Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat dalam mengembangkan kurikulum dan pembelajaran IPA, 2) pengetahuan yang dimiliki guru terhadap materi IPA (content knowledge), 3) keterampilan dalam menerapkan pengetahuan tentang pedagogi (pedagogical knowledge), 4) menerapkan pengetahuan tentang konten pedagogi (pedagogical content knowledge), serta 5) memahami peserta didik (knowledge of learners).

g. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengetahuan dan keterampilan guru dalam mengembangkan kurikulum dan pembelajaran IPA.


(29)

16

E. MANFAAT PENELITIAN

Hasil kajian dari analisis kebutuhan guru ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengayaan bidang keilmuan kurikulum. Menurut Oliva (1988) prinsip pengembangan kurikulum ditarik dari berbagai sumber yang meliputi: a) data empiris, 2) data eksperimental, 3) folklore berupa keyakinan dan sikap masyarakat, serta 4) akal sehat. Prinsip pengembangan kurikulum dapat dipandang sebagai kebenaran umum, ataupun sebagian mengandung kebenaran atau berupa hipotesis. Berdasar pada prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh Oliva di atas, maka pengembangan kurikulum semestinya didasari oleh analisis kebutuhan.

Gagne (dalam Hammond, 2005) menggolongkan kebutuhan dalam rangka pengembangan kurikulum atas tiga jenis, yaitu: a) Kebutuhan untuk melaksanakan pengajaran lebih efektif dan efisien, b) Kebutuhan untuk memperbaharui, menghidupkan (merevitalisasi) bahan maupun metode pelajaran, dan c) Kebutuhan untuk mengembangkan suatu program baru. Dalam penelitian ini analisis kebutuhan dikembangkan untuk mengidentifikasi kebutuhan guru dalam mengembangkan kurikulum dan pembelajaran IPA sebagai bahan masukkan untuk mengembangkan kurikulum pelatihan guru yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru dalam mengajar IPA di Sekolah Dasar.


(30)

17 Model pengembangan kurikulum yang dikembangkan oleh Glatthorns (dalam Ornstein & Hunkins, 1993) didasari oleh asumsi bahwa fokus utama dari pengembangan kurikulum adalah individu atau sekelompok orang dimana kurikulum tersebut akan dikembangkan. Dari sudut kemasyarakatan, pengembangan kurikulum beranjak dari suatu masyarakat tertentu. Masyarakat merupakan suatu sistem, yakni sistem keyakinan, sistem nilai, sistem kebutuhan dan sistem permintaan. Kurikulum yang dikembangkan harus berpijak dan relevan dengan masyarakat dimana kurikulum akan dilaksanakan. Grier (2005) menyatakan bahwa disain pengembangan kurikulum Tyler didasarkan pada identifikasi terhadap pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab selama proses pengembangan, dan analisis kebutuhan membantu menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, oleh karenanya memadukan analisis kebutuhan dengan proses pengembangan kurikulum merupakan suatu hal yang diperlukan. Langkah-langkah dalam mengidentifikasi kebutuhan dalam penelitian ini dapat dilakukan sebagai pengayaan terhadap pengembangan kurikulum yang akan dikembangkan dalam program pelatihan guru untuk meningkatkan kompetensi guru dalam menyelenggarakan pembelajaran IPA di Sekolah Dasar.

2. Secara praktis, penelitian analisis kebutuhan guru dalam mengembangkan kurikulum dan pembelajaran IPA menghasilkan aspek-aspek spesifik yang dibutuhkan oleh guru di Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat sebagai pengembang kurikulum dan pelaksana pembelajaran IPA. Menurut Moeini


(31)

18

(2009): ”...teachers in different branches have wide range of spesific knowledge skills”. Identifikasi terhadap aspek-aspek ini diperlukan sebagai dasar untuk meningkatkan profesionalitas guru di wilayah Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat melalui isi dan metode yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan dan prioritas yang dibutuhkan oleh guru.

F. METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif melalui pemberian angket, melakukan observasi serta studi dokumentasi untuk menggali informasi tentang latar belakang pendidikan guru, pengalaman mengajar guru, keterlibatan guru dalam program pelatihan, pendapat guru tentang kurikulum dan pembelajaran IPA, keterampilan guru dalam menyusun RPP (curriculum knowledge), dan melangsungkan pembelajaran (content knowledge, pedagogical knowledge, pedagogical content knowledge, knowing of learners).

Menurut Arlington (2008), terdapat tiga aspek yang mempengaruhi performansi guru dalam mengembangkan kurikulum dan melangsungkan pembelajaran. Ketiga aspek tersebut adalah: latar belakang pendidikan guru, pengalaman mengajar dan keterlibatan dalam aktivitas pelatihan/workshop. Studi korelasional dalam penelitian ini digunakan untuk menghitung nilai korelasi (rho) antara ketiga aspek yang dinyatakan oleh Wentling di atas dengan performa guru dalam melangsungkan pembelajaran IPA serta kemampuan guru dalam mengembangkan kurikulum IPA sekolah dasar di Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat.


(32)

19

G. LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN

Penelitian dilakukan di dua wilayah, yaitu Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat. Fokus penelitian dilakukan di SDN Cimahi dan Kabupaten Bandung dengan pertimbangan bahwa kedua wilayah ini merupakan wilayah terdekat dari Kota Bandung. Kedua wilayah ini memiliki potensi besar dalam berbagai bidang seperti pertanian, peternakan, pariwisata, dan sosial budaya. Oleh karenanya, pendidikan memegang peranan penting untuk menciptakan kualitas sumber daya manusia yang akan mengelola wilayah ini. Kualitas sumber daya tersebut harus dipupuk sejak dini dan pendidikan dasar yang merupakan jenjang pendidikan formal pertama bertanggung jawab dalam membentuk kualitas sumber daya yang dapat diandalkan di masa depan.

Salah satu komponen penting yang berperan dalam menentukan kualitas pendidikan adalah guru. Bahkan dapat dikatakan bahwa guru merupakan ujung tombak yang menentukan kualitas pendidikan. Bruner (dalam Aneta & Shymansky, 2005) menyatakan bahwa siswa siap belajar manakala gurunya siap mengajar, apa yang diketahui dan dilakukan guru sangat mempengaruhi apa yang dipelajari oleh siswa (Hammond, 1996). Keberhasilan pencapaian oleh siswa memerlukan guru yang handal dan lingkungan yang mendukung guru untuk senantiasa terus menerus belajar (Aneta & Shymansky, 2005). Pendidikan guru, kemampuan guru, dan pengalaman guru berhubungan erat dengan pencapaian yang diperoleh siswa (The Finance Project, 2005). Oleh karenanya, peningkatan kemampuan guru dalam praktek pembelajaran sains terutama guru sekolah dasar menjadi isu penting (Appleton, 1992; Aubrey, 1994; Grossman, Wilson &


(33)

20 Shulman, 1989; Wallace & Louden, 1992).

Dari hasil wawancara peneliti dengan staf dinas pendidikan Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat, pelatihan guru merupakan kegiatan yang jarang dilangsungkan di kedua wilayah ini. Data Dinas Pendidikan Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 7 tahun terakhir program pelatihan bagi guru sekolah dasar yang berkaitan dengan kurikulum dan pembelajaran IPA belum pernah diselenggarakan. Hasil penelitian diharapkan menjadi masukan bagi pemerintah setempat untuk mengembangkan kurikulum pelatihan guru sekolah dasar berkaitan dengan pengembangan kurikulum dan pembelajaran IPA.

Sampel penelitian melibatkan 30 orang guru yang mengajar di sekolah dasar negeri di dua kecamatan Cimahi, yaitu Cimahi Tengah dan Cimahi Utara serta tiga kecamatan Kabupaten Bandung Barat, yaitu Ngamprah, Parongpong dan Lembang. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan kriteria sekolah yang termasuk kelompok tinggi dan kelompok sedang berdasarkan perolehan UN, perimbangan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pendidikan masing-masing kecamatan dan pendapat masyarakat sekitar.


(34)

102

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam bab III akan diuraikan metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi: populasi, lokasi dan subjek penelitian; definisi operasional; metode penelitian; data, sumber data dan instrumen; teknik dan langkah pengumpulan data serta analisis data.

A. POPULASI, LOKASI DAN SUBJEK PENELITIAN

Sukmadinata (2005) membedakan populasi menjadi populasi target dan populasi terukur atau accessable population. Populasi terukur merupakan populasi yang secara riil dijadikan sebagai dasar penarikan sampel dan secara langsung merupakan sasaran keberlakuan kesimpulan, sedangkan populasi target adalah populasi yang memiliki kesamaan karakteristik dengan populasi terukur. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi target adalah guru-guru sekolah dasar negeri di Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat karena pada dasarnya memiliki kesamaan karakteristik dan budaya. Hal ini mengandung pengertian bahwa hasil penelitian berlaku bagi guru-guru sekolah dasar di wilayah Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi.

Terdapat beberapa alasan mengapa guru-guru di sekolah dasar negeri di Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat dijadikan sebagai populasi target. Pertama, hasil dari kajian pra penelitian, guru-guru di Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat kurang dapat mengembangkan pembelajaran IPA, jarang


(35)

103 dilibatkan dalam pelatihan yang berkaitan dengan pembelajaran IPA maupun kurikulum dan tidak ada catatan prestasi tentang pendidikan IPA di kedua wilayah ini seperti misalnya menjadi peserta olimpiade sains tingkat provinsi atau nasional. Satu-satunya catatan prestasi pendidikan yang diraih Kota Cimahi adalah sebagai kota yang memiliki inovasi tinggi dalam percepatan penuntasan wajar Diknas 9 tahun pada tingkat provinsi. Kedua, akses peneliti terhadap sekolah di wilayah Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain. Hal ini dikarenakan kemudahan perijinan untuk melakukan penelitian. Dengan jarangnya penelitian dan pelatihan diselenggarakan di wilayah Kota Bandung Barat dan Cimahi, Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan (UPTD Pendidikan) di kedua wilayah ini sangat mendukung peneliti untuk melakukan penelitian di kedua wilayah ini. Ketiga, penelitian tentang kebutuhan guru yang berkaitan dengan pembelajaran IPA belum pernah dilakukan di Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi, sehingga ungkapan mengenai kebutuhan (needs) dari para guru lebih natural dan memiliki validitas tinggi.

Penarikan sampel dilakukan melalui purposive sampling. Borg & Gall (2003) menyatakan: ”in purposeful sampling the goal is to select cases that are likely to be information rich which respect to the purposes of the study”. Dalam pemilihan sampel secara purposive, peneliti tidak bermaksud untuk mengambil sampel yang secara akurat menggambarkan keseluruhan populasi, tetapi lebih pada memilih kasus atau kejadian yang memungkinkan informasi dapat digali secara lengkap berdasarkan kepentingan dari penelitian yang dilakukan (Borg &


(36)

104 Gall, 2003). Tujuan dari purposive sampling adalah memilih sampel untuk mengembangkan pemahaman terhadap suatu fenomena yang dipelajari berdasarkan kepentingan penelitian. Fenomena yang diamati dapat dilakukan terhadap subjek yang dapat merupakan tempat, karakteristik manusia ataupun manusianya sendiri.

Langkah yang dilakukan dalam purposive sampling ini adalah sebagai berikut: Pertama, menentukan wilayah penelitian yaitu kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi. Dari kedua wilayah tersebut, dipilih beberapa kecamatan sebagai tempat penelitian. Pertimbangan pemilihan kecamatan berdasarkan kesamaan karakteristik wilayah yaitu berada di daerah perkotaan wilayah yang dianggap sebagai pusat kota dari wilayah tersebut. Dengan demikian diharapkan sekolah, siswa dan guru yang berada di wilayah tersebut memiliki kesamaan karakteristik. Pertimbangan lain adalah kemudahan akses untuk melakukan penelitian pada wilayah-wilayah tersebut karena mudah dijangkau oleh peneliti. Selain kemudahan akses, kemudahan perijinan yang diberikan oleh kecamatan dijadikan pula pertimbangan oleh peneliti untuk mengambil kecamatan tersebut menjadi wilayah yang diambil sebagai tempat penelitian.

Dengan berlandaskan pada pertimbangan di atas, maka peneliti menetapkan dua kecamatan yang berada di wilayah Kota Cimahi, yaitu Kecamatan Cimahi Tengah yang dianggap sebagai pusat kota Cimahi dan Kecamatan Cimahi Utara yang wilayahnya terletak tidak jauh dari pusat kota Cimahi. Sedangkan di Kabupaten Bandung Barat dipilih tiga kecamatan, yaitu


(37)

105 Kecamatan Lembang, Kecamatan Parongpong dan Kecamatan Ngamprah. Kecamatan Ngamprah diambil sebagai wilayah penelitian karena merupakan pusat kota dari Kabupaten Bandung Barat, sedangkan Kecamatan Parongpong dan Lembang merupakan dua wilayah yang berdekatan dengan Kecamatan Ngamprah. Kecamatan Parongpong dan Kecamatan Lembang selain terletak berdekatan dengan Kecamatan Ngamprah juga merupakan wilayah yang memiliki karakteristik perkotaan karena menjadi kota pariwisata.

Setelah menentukan wilayah penelitian, peneliti memilih sekolah yang berada di ke lima kecamatan yang telah ditentukan. Pemilihan sekolah didasari oleh pengelompokkan kategori, yaitu sekolah yang termasuk ke dalam kualifikasi tinggi dan rendah berdasarkan nilai rata-rata UN tertinggi dan terendah di wilayahnya. Penentuan sekolah menjadi kategori tinggi dan rendah ditentukan pula atas pertimbangan UPTD Pendidikan dan masyarakat setempat.

Peneliti meminta masukkan dari UPTD Pendidikan dan masyarakat setempat untuk menentukan kategori sekolah tinggi dan rendah. Sekolah kategori tinggi merupakan sekolah yang memiliki rata-rata nilai UN tinggi dan dianggap sebagai sekolah favorit dengan banyak peminat dari masyarakat sekitar. Sekolah favorit dikriteriakan sebagai sekolah kategori tinggi. Sedangkan kriteria sekolah kategori rendah adalah sekolah yang memiliki nilai rata-rata UN rendah dan kurang diminati oleh masyarakat setempat. Sekolah-sekolah yang termasuk

kategori tinggi merupakan sekolah-sekolah yang menampung siswa

berpenghasilan cukup dan memiliki jumlah siswa yang banyak karena banyak diminati oleh masyarakat sekitarnya. Sedangkan sekolah-sekolah yang termasuk


(38)

106 dalam kategori rendah merupakan sekolah yang menampung siswa dengan rata-rata penghasilan orang tua rendah dan memiliki jumlah siswa sedikit karena kurang diminati oleh masyarakat sekitar. Sekolah-sekolah yang tergolong kategori rendah memiliki siswa yang kebanyakan bertempat tinggal di daerah perkampungan yang jauh dari lokasi sekolah.

Kedua, peneliti melayangkan surat perijinan dan mendatangi kepala

sekolah pada sekolah-sekolah yang sudah direkomendasikan oleh UPTD Pendidikan dan masyarakat setempat. Dari langkah ini, beberapa kepala sekolah ada yang merespon baik permohonan peneliti dan ada pula yang menolak permohonan peneliti. Penolakan dari kepala sekolah untuk tidak mengijinkan sekolahnya digunakan sebagai tempat penelitian merupakan kendala bagi peneliti. Alasan penolakan kepala sekolah adalah ketakutan pihak sekolah bahwa penelitian ini akan melakukan penilaian terhadap sekolah. Kendala ini diatasi dengan melakukan pendekatan pada kepala sekolah untuk meyakinkan bahwa penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menilai sekolah, melainkan untuk mencari kebutuhan guru untuk melangsungkan pembelajaran IPA. Dari hasil pendekatan peneliti terhadap kepala sekolah, di beberapa sekolah peneliti mendapat ijin untuk melakukan penelitian, tetapi ada pula sekolah yang tetap tidak mau dilibatkan. Untuk kasus demikian, peneliti mengambil tindakan dengan mendatangi kembali UPTD Pendidikan dan menanyakan pada masyarakat setempat, sekolah lain yang berada di kecamatan yang sama yang memiliki kesamaan karakteristik dengan sekolah yang harus digantikan. Melalui prosedur yang ditempuh, maka hasil yang diperoleh tertera pada Tabel 3.1


(39)

107 Tabel 3.1

Wilayah Kecamatan dan Sekolah Yang Terlibat Dalam Penelitian

Wilayah Kecamatan Kualifikasi

Tinggi Rendah Kabupaten

Bandung Barat

Parongpong SDN 1 Parongpong SDN 4 Parongpong Lembang SDN Pancasila SDN Pager Wangi 2 Ngamprah SDN Karya Mulya SDN Ciledug 2

Kota Cimahi Cimahi utara SDN Cipageran Mandiri 1 SDN Cipageran Mandiri 4 Cimahi Tengah SDN Cimahi Mandiri 1 SDN Baros 4

Langkah selanjutnya adalah mendata guru yang mengajar di kelas 4 dan kelas 5 di sekolah-sekolah yang telah ditentukan. Penentuan responden dilakukan melalui convinience sampling. Castillo (2009) menyatakan bahwa convinience sampling merupakan teknik penarikan sampel secara non-probabilitas dimana subjek dipilih berdasarkan kenyamanan, kemudahan akses dan kedekatan subjek dengan peneliti. Subjek dalam convinience sampling dipilih karena mereka memiliki keinginan untuk bekerja sama dengan peneliti. Dalam penelitian ini

pemilihan subjek dilakukan melalui convinience sampling berdasarkan

pertimbangan bahwa peneliti harus melakukan observasi terhadap pembelajaran yang dilangsungkan oleh guru. Oleh karena itu subjek yang memiliki keinginan untuk bekerja sama akan menampilkan pembelajaran yang lebih natural dan memudahkan peneliti untuk melakukan observasi. Langkah yang dilakukan dalam memilih subjek dengan convinience sampling ini adalah sebagai berikut: pada sekolah yang telah mewakili kecamatan dan mewakili kualifikasi tinggi atau rendah, peneliti mengajukan surat permohonan untuk melakukan penelitian di sekolah mereka.

Di beberapa sekolah, terdapat kelas paralel sehingga jumlah guru untuk setiap jenjang kelasnya lebih dari satu. Untuk kasus demikian, tidak semua guru


(40)

108 dalam sekolah tersebut dilibatkan dalam penelitian. Guru yang menolak untuk diobservasi pembelajarannya tidak dilibatkan dalam penelitian ini. Penolakan beberapa guru di sekolah yang memiliki kelas paralel untuk diobservasi bukan merupakan suatu kendala bagi peneliti, namun di sekolah yang tidak memiliki kelas paralel merupakan kendala yang harus peneliti hadapi. Langkah untuk mengantisipasi hal ini adalah dengan meyakinkan guru yang tidak ingin diobservasi pembelajarannya bahwa penelitian ini bukan dimaksudkan untuk menilai pembelajaran mereka. Setelah peneliti melakukan pendekatan pada guru, pada akhirnya guru setuju untuk diobservasi.

Berdasarkan prosedur yang ditempuh, maka diperoleh jumlah guru yang terlibat sebagai responden dari setiap sekolah sebagaimana yang tercantum pada tabel 3.2.

Tabel 3.2

Daftar lokasi dan jumlah subjek yang terlibat dalam penelitian kebutuhan guru untuk mengembangkan kurikulum dan pembelajaran IPA

Lokasi Kelompok sekolah

Kelas Jumlah Guru di Sekolah

Jumlah responden Jumlah total responden yang terlibat dalam penelitian Kecamatan Cimahi Tengah

Tinggi 4 4 guru 4 guru

10 guru 5 4 guru 2 guru

Rendah 4 2 guru 2 guru 5 2 guru 2 guru Kecamatan

Cimahi Utara

Tinggi 4 2 guru 2 guru

4 guru Rendah 5 2 guru 2 guru

Kecamatan Lembang

Tinggi 4 2 guru 2 guru

4 guru Rendah 5 2 guru 2 guru

Kecamatan Ngamprah

Tinggi 4 4 guru 4 guru 8 guru Rendah 5 4 guru 4 guru

Kecamatan Parongpong

Tinggi 4 2 guru 2 guru 4 guru Rendah 5 2 guru 2 guru


(41)

109 Penelitian dilakukan pada guru yang mengajar di kelas 4 dan kelas 5, dengan didasari atas sifat pembelajaran yang dilangsungkan di kelas empat dan kelas lima. Di kelas empat dan kelas lima pembelajaran IPA dilangsungkan sebagai mata pelajaran yang tidak diintegrasikan dengan mata pelajaran lain seperti halnya pembelajaran IPA di kelas kelas satu sampai kelas tiga. Sedangkan di kelas enam pembelajaran lebih difokuskan pada persiapan untuk ujian nasional. Alasan lain dari pemilihan subjek penelitian guru kelas empat dan guru kelas lima adalah pembelajaran IPA di kelas empat dan kelas lima mulai banyak dikenalkan konsep-konsep IPA, sehingga seringkali guru terjebak hanya pada pengenalan konsep-konsep sederhana atau dasar.

Guru yang terlibat dalam penelitian memiliki karakteristik rentang usia antara 26 sampai 56 tahun dengan kualifikasi pendidikan mulai dari D1 sampai S1, satu diantaranya sedang melanjutkan studi ke jenjang S2, jumlah guru laki-laki 5 orang dan 25 orang lainnya adalah guru wanita. Pengalaman mengajar guru berkisar antara 3 tahun sampai 27 tahun dengan keterlibatkan guru dalam kegiatan pelatihan/workshop pembelajaran IPA bervariasi pula, yaitu dari yang tidak pernah mengikuti workshop dan ada pula yang mengikuti workshop pada skala nasional. Lebih detail data tentang latar belakang pendidikan guru, pengalaman mengajar guru dan keterlibatan guru dalam pelatihan/workshop disajikan pada Tabel 3.5, 3.7, 3.8 dan 3.9. Dari 30 guru yang terlibat dalam penelitian, 6 diantaranya merupakan guru honorer dan 24 lainnya adalah guru yang telah diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Keseluruhan guru belum mengikuti sertifikasi guru, meskipun memiliki pengalaman mengajar yang cukup lama.


(42)

110 B. DEFINISI OPERASIONAL

Variabel dalam penelitian ini adalah: 1. Latar Belakang Pendidikan Guru

Latar belakang pendidikan guru diartikan sebagai jenjang pendidikan formal yang ditempuh guru dan spesialisasi yang diambil oleh guru dalam pendidikan formal sebelum bertugas sebagai guru. Pendidikan formal sendiri

diterjemahkan sebagai “the process of training and developing people in knowledge, skills, mind, and character in a structured and certified program” (SIL International, 1999). Latar belakang pendidikan formal dalam penelitian ini merupakan respon guru terhadap pertanyaan mengenai pendidikan yang ditempuh guru di jenjang pendidikan tinggi dan spesialisasi/jurusan yang diambil oleh guru dan jenjang pendidikan sekolah menengah dan penjurusannya.

2. Keterlibatan guru dalam program pelatihan pengembangan kurikulum dan pembelajaran

Pelatihan merupakan alat yang penting sebagai pedoman bagi pengambil kebijakan, pejabat pemerintah, pengembangan proyek, pengembangan tenaga ahli dan para ahli sebagai realisasi dari program atau rencana sebuah program (Wentling, 1996). Seringkali seseorang dihadapkan pada perlunya perubahan karena berkembangnya ilmu. Pelatihan merupakan jawaban terhadap kebutuhan orang terhadap ilmu-ilmu baru atau kecakapan yang diperlukan dalam mengimplementasikan perubahan. Program pelatihan guru merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan profesionalisme. Perkembangan ilmu


(43)

111 pengetahuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan Alam yang begitu pesat menuntut adanya peningkatan kecakapan dan keterampilan untuk membelajarkan mata pelajaran IPA. Oleh karenanya guru senantiasa dituntut untuk mengembangkan diri untuk menyesuaikan dengan perkembangan IPA tersebut melalui program-program pelatihan. Dalam penelitian ini keterlibatan guru dalam program-program pelatihan pengembangan kurikulum dan pembelajaran merupakan frekuensi keikut sertaan guru dan jumlah jam keterlibatan guru sebagai peserta pelatihan yang berhubungan dengan kurikulum dan pembelajaran IPA.

3. Pendapat guru.

Pendapat guru dalam penelitian ini berkaitan dengan pendapat mengenai ketersediaan fasilitas, hakikat IPA dan hakikat pembelajaran IPA. Dalam melangsungkan pembelajaran, guru harus ditunjang oleh fasilitas pembelajaran yang memadai. Dalam pembelajaran IPA keberadaan media sebagai sarana pembelajaran sangat menunjang dalam efektivitas pembelajaran yang dilangsungkan (Marsh, 2009). Pendapat tentang ketersediaan fasilitas dalam penelitian ini adalah respon guru terhadap pertanyaan tentang keberadaan media pembelajaran di sekolah dimana guru mengajar. Keberadaan media di sekolah tersebut dikomparasi dengan Peraturan Menteri (PERMEN) no 24 Tahun 2007 Tentang Standar Sarana dan Prasarana. Dalam PERMEN tersebut media yang harus tersedia di sekolah meliputi: model kerangka tubuh manusia, model tubuh manusia, globe, model tata surya, kaca pembesar, cermin (datar, cekung, cembung), lensa (datar, cekung, cembung), magnet, poster IPA (metamorfosis,


(44)

112 hewan langka, hewan dilindungi, tanaman khas Indonesia, contoh ekosistem, dan sistem-sistem pernafasan hewan).

Tyler (1934) dan Taba (1962) mempersepsikan kurikulum sebagai rencana program pengajaran atau rancangan pembelajaran di kelas. Kurikulum diartikan pula sebagai pengalaman atau kegiatan belajar siswa dibawah arahan program yang dikembangkan oleh sekolah (Parkay et al., 2006). Zais (1934) memaknai kurikulum sebagai daftar atau kumpulan mata pelajaran yang akan dipelajari oleh siswa. Kurikulum sering pula dimaknai sebagai seperangkat rencana dan pengaturan tujuan, isi, bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran (UU RI Nomor 23 Tahun 2003). Zais (1976) mengemukakan bahwa kurikulum terdiri dari komponen tujuan, materi pelajaran, pengalaman belajar dan evaluasi. Sedangkan pembelajaran merupakan implementasi atau aksi dari kurikulum yang direncanakan (written curriculum). Parkay et al., (2006) menyatakan bahwa kurikulum dan pembelajaran merupakan sebuah kontinum yang tidak dapat dipisahkan. Pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan aktivitas untuk terjadinya proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran, serta pembentukan sikap peserta didik.

Pendapat guru tentang kurikulum dalam penelitian ini diartikan sebagai respon guru terhadap pertanyaan yang berkaitan dengan rumusan stándar kompetensi dan kompetensi dasar. Sedangkan pendapat guru tentang


(45)

113 pembelajaran IPA diartikan sebagai respon guru terhadap pertanyaan yang berkaitan dengan hakikat IPA dan hakikat pembelajaran IPA.

4. Kompetensi Guru dalam mengembangkan kurikulum dan pembelajaran IPA

Secara luas kompetensi mencakup semua kecakapan, kebisaan, keterampilan yang diperlukan seseorang dalam kehidupannya (Sukmadinata, 2004). Kompetensi guru berhubungan dengan kecakapan, kebisaan dan keterampilan yang diperlukan guru. Dalam melaksanakan tugasnya, guru bertindak sebagai pengembang kurikulum dan pelaksana kurikulum. Dalam penelitian ini kompetensi guru diukur dengan memberikan scoring/penilaian terhadap masing-masing komponen keterampilan/kemampuan yang harus dimiliki oleh guru, yaitu: membuat rencana pembelajaran IPA, memiliki pengetahuan tentang materi IPA, pedagogi pembelajaran dan konten pedagogi IPA. Dalam penelitian ini, kemampuan terhadap komponen-komponen tersebut dinilai secara terpisah.

a. Keterampilan dalam mengembangkan kurikulum IPA

Keterampilan guru dalam mengembangkan kurikulum IPA diistilahkan

pula pemahaman guru terhadap kurikulum (curriculum knowledge). Dalam

penelitian ini curriculum knowledge dinilai dari kemampuan guru dalam membuat rencana pembelajaran IPA (RPP IPA) yang meliputi penilaian terhadap


(46)

114 mengorganisasikan materi pelajaran, merencanakan langkah pembelajaran, menentukan media yang akan digunakan dalam pembelajaran dan merencanakan evaluasi terhadap pembelajaran dengan menggunakan lembar penilaian yang dikembangkan oleh peneliti.

b. Pengetahuan IPA (content knowledge)

Content knowledge diartikan sebagai the science knowledge a teacher should possess (Enfield, 2009). Dalam penelitian ini pengetahuan guru terhadap materi isi (content knowledge) diperoleh melalui kegiatan observasi terhadap ada tidaknya miskonsepsi, kesalahan konsep, wawasan guru serta ketergantungan guru terhadap buku teks dalam proses pembelajaran yang dilangsungkan.

c. Pengetahuan tentang pedagogi (pedagogical knowledge)

Pedagogi diartikan sebagai the practice (or the art, the science or the craft) of teaching (Blatchford et al., 2002; Reece & Walker, 1997), but in the early years any adequate conception of educative practice must be wide enough to include the provision of learning environments for play and exploration (Blatchford et al., 2002). Dalam penelitian ini pengetahuan terhadap general pedagogy diartikan sebagai hasil observasi terhadap kemampuan guru dalam menggunakan strategi pembelajaran yang diamati dalam aspek-aspek: langkah-langkah dalam membuka dan menutup pelajaran, menerapkan teknik bertanya, menggunakan media pembelajaran, serta menggunakan evaluasi pembelajaran.


(47)

115 d. Pengetahuan guru terhadap pedagogi materi/pedagogical content knowledge

(PCK)

Ball (1991) and Shulman (1986) mendeskripsikan PCK sebagai knowing the ways of representing and formulating the subject matter and making it comprehensible to students (Wong and Lai, 2009). Dalam penelitian ini kemampuan guru dalam memahami PCK merupakan hasil observasi terhadap: pemilihan strategi (pendekatan dan metode pembelajaran) sesuai dengan karakteristik materi yang diajarkan serta kemampuan guru menurunkan abstraksi materi pelajaran sesuai dengan tahap berpikir siswa.

e. Kebutuhan Guru Mengembangkan Kurikulum dan Pembelajaran IPA Dalam melangsungkan pembelajaran, guru memerlukan keterampilan dalam merencanakan pembelajaran yang akan dilagsungkan dan keterampilan untuk melangsungkan pembelajaran. Kebutuhan guru dalam mengembangkan kurikulum dan pembelajaran IPA merupakan keterampilan-keterampilan yang perlu ditingkatkan oleh guru untuk menyelenggarakan IPA sesuai dengan hakikat IPA. Kebutuhan dalam penelitian ini meliputi keterampilan dalam menyusun rencana pembelajaran (curriculum knowledge), keterampilan dalam memahami

konten (content knowledge), keterampilan dalam memahami pedagogi

(pedagogical knowledge), keterampilan dalam memahami konten pedagogi (pedagogical content knowledge) serta pengetahuan terhadap pembelajaran (knowing of learners).


(48)

116 C. METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dan analisis korelasional. Metode deskriptif digunakan dalam studi ini karena seperti dideskripsikan oleh Valentine (1997) sebagai: “Descriptive studies attempt simply to describe a phenomenon of importance to literacy educators. They are non-experimental in nature and intent to describe rather than to "prove". Borg & Gall (2003) menyatakan bahwa penelitian deskriptif merupakan jenis penelitian kuantitatif yang melibatkan deskripsi terntang suatu fenomena secara teliti. Dalam penelitian deskriptif tidak ada manipulasi terhadap variabel seperti halnya penelitian eksperimental (Borg and Gall, 2001). Selanjutnya Borg & Gall (2000), Sukmadinata (2005) menyatakan hal yang sama, bahwa penelitian deskriptif merupakan pendekatan paling dasar yang ditunjukan untuk menggambarkan fenomena-fenomena yang mengkaji bentuk, aktivitas, kesamaan dan perbedaan fenomena. Penelitian deskriptif dalam bidang pendidikan dan kurikulum merupakan hal yang cukup penting untuk mendeskripsikan fenomena kegiatan pendidikan, pembelajaran dan implementasi kurikulum.

Hakekat penelitian deskriptif sesuai dengan penelitian ini. Penelitian tentang kebutuhan guru untuk melangsungkan pembelajaran IPA ini mengkaji fenomena dan menggali informasi tentang latar belakang pendidikan guru, pengalaman mengajar guru, keterlibatan guru dalam program pelatihan, pendapat guru tentang kurikulum dan pembelajaran IPA, kompetensi guru dalam menyusun rencana pembelajaran (RPP) dan melangsungkan pembelajaran serta faktor-faktor yang berkorelasi dengan kompetensi guru dalam menyusun RPP dan


(49)

117 melangsungkan pembelajaran. Untuk melakukan hal tersebut, maka tidak perlu ada perlakuan atau manipulasi variabel yang harus dilakukan oleh peneliti terhadap subjek. Fenomena dan data sudah ada di lapangan dan sesuai dengan apa yang sudah dan sedang dilakukan. Dengan demikian metode deskriptif merupakan metode yang paling sesuai untuk digunakan dalam penelitian ini.

Studi korelasional digunakan untuk mengungkap faktor-faktor yang berkorelasi dengan kebutuhan guru dalam mengembangkan kurikulum dan pembelajaran IPA. Wagner (2009) dan Waters (2005) menyatakan bahwa ”correlational studies are used to look for relationships between variables”. Dalam penelitian ini latar belakang pendidikan guru, keterlibatan guru dalam program pelatihan pengembangan kurikulum dan pembelajaran IPA serta pengalaman mengajar guru dikorelasikan dengan performansi guru dalam melangsungkan pembelajaran IPA di sekolah dasar serta kemampuan guru dalam menyusun rencana pembelajaran (RPP) IPA.

Menurut Schibechi & Hickey (2002), Arlington (2008), Kyriakides et al. (2008) dan Moeini (2009) keterlibatan guru dalam program-program peningkatan profesionalisme guru, pemahaman guru terhadap hakikat IPA, anggapan guru terhadap belajar dan mengajar (Widodo, 2004) serta kemampuan guru dalam memahami materi pelajaran (Sterim, 2008; Tytler, 2004) merupakan aspek-aspek yang mempengaruhi kemampuan guru dalam melangsungkan pembelajaran.

Di dalam studi korelasional terdapat tiga kemungkinan hasil, yaitu: korelasi positif, korelasi negatif dan tidak terdapat korelasi. Koefisien kolerasi


(50)

118 yang menunjukkan kekuatan hubungan antar variabel berkisar antara – 1 dan +1. Korelasi positif mengindikasikan bahwa variabel-variabel meningkat atau menurun dalam waktu yang bersamaan. Koefisien korelasi mendekati +1 menunjukkan korelasi positif yang sangat kuat. Korelasi negatif mengindikasikan hal sebaliknya dari korelasi positif. Koefisien korelasi mendekati -1 menunjukkan korelasi negatif yang sangat kuat. Tidak terdapat korelasi mengindikasikan tidak ada korelasi antar variabel. Koefisien korelasi dengan nilai 0 menunjukkan tidak ada korelasi (Wagner, 2009; Borg & Gall, 2003).

D. DATA DAN SUMBER DATA

Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah: latar belakang pendidikan guru, pengalaman mengajar guru, keterlibatan guru dalam kegiatan pelatihan/workshop kurikulum dan atau pembelajaran IPA, pendapat guru tentang pembelajaran IPA, pendapat guru dan kompetensi guru dalam mengembangkan kurikulum pembelajaran IPA, pendapat guru tentang fasilitas dan sarana pembelajaran IPA, keterampilan guru dalam merancang pembelajaran IPA, pengetahuan guru tentang materi IPA, pengetahuan guru tentang pedagogi, pengetahuan guru tentang konten pedagogi dan pengetahuan guru tentang pembelajar.

Sumber data untuk mengungkap latar belakang pendidikan guru, pengalaman mengajar guru, keterlibatan guru dalam kegiatan pelatihan kurikulum dan pembelajaran IPA serta pendapat guru tentang kurikulum dan pembelajaran IPA serta pendapat guru tentang fasilitas pembelajaran IPA adalah guru-guru yang


(1)

243 DeCecco, J. (1990). The Psychology Of Learning And Instruction: Educational

Psychology. New York: Prentice Hall.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdikbud. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (2006). Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Tahun 2006 Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdikbud.

Fisher, C. (1990). Teaching Behaviour, Academic Learning Time and Student Achievement: An Overview. Washington D.C: Denham And A Lieberman.

Ferguson, R. (1991). The Impact of Subject Matter and Education Coursework in teaching Performance. Journal of teacher Education, 14(6), 619-631. Grable, C. (2008). Needs Analysis: Introduction and Examples. 5 halaman.

[Online] Tersedia: http://www.ualr.edu/cgrable./id.99.htm. [5 Oktober 2008].

Grier, A. (2005). Integrating Needs Assessment Into Career and Technical Curriculum Development. 2 halaman. [Online.] Tersedia: http://wwwscholar.lib.vt.edu/ejournals/JITE/V42n1/grier.html. [12 Februari 2007].

Goodwin, L. dan Leech, N. (2006). Understanding Correlation: Factors That Affect The Size of r. The Journal Experimental Education, 74 (3). 251-266.

Halim, L. et al. (2008). Trends and Issues Of Research On In-Servive Needs Assessment Of Science Teachers: Globar Vs The Malaysian Context. Trends In Science Education Research. [Online]. Tersedia:

http://www.hbcse.tifr.res.in/episteme1/allabs/lilia_abd.pdf. [4 November 2008].

Hammer, C. (2006). Science Studies Across General Education: A Broader View of Scientific Literacy. [Online]. Tersedia:

http://findarticle.com/p/articles/mi qa4115/is 200501/ai n136 3458. [23 Mei 2006].

Hammond, D. dan Bransford, J. (2005). Preparing Teachers For A Changing World. Jossey-Bass A Wiley. San Francisco.


(2)

244 Hasan, S. (2009). Evaluasi Pengembangan KTSP: Suatu Kajian Konseptual. Jurnal Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia: Inovasi Kurikulum. Februari 2009, 5 (1) Nomor 6.

Hudson, P. (2004). Toward Identifying Pedagogical Knowledge for Mentoring in Primary Science Teaching. Journal of Science Education & Technology,

13 (2) June 2004. [Online]. Tersedia:

http://resources.metapress.com/pdf-preview.axd?code=nx1l1002g454r787&size=large. [5 April 2009] Hyman, R. (1973). Approaches In Curriculum. Prentice. Indiana: Hall.Inc.

Kauffman, L. dan Watkins, P. (2000). Alternate Modeld of Needs Assessment: Selecting the Right One for Your Organization. Human Resource Development Quarterly, Vo. 11, No. 1 Spring 2000.

Kyriakides, Antoniou & Creemers. 2009. Teacher behaviour and student utcomes: Suggestions for research on teacher. Teaching and Teacher Education 25 (2009). 12–23.

Kumano, Y. (2010). Latest Research, Innovation in Science Education in Japan. Makalah dseminarkan dalam Seminar Pendidikan MIPA 30 Januari 2010.

Loughran, J. et al. (2006). Understanding and Developing Science Teachers’ Pedagogical Content Knowledge. Rotterdam: Sense Publishers.

Marsh, C. (2009). Becoming A Teacher: Knowledge, Skills and Issues. New South Wales: Pearson Education Australia.

McDonald, J. (2009). Spearman Rank Correlation. 2 halaman. [Online] Tersedia: http//udel.edu/~mcdonald/statspearman.html. [10 Maret 2010].

Mohamad, Amin. 1981. Meningkatkan Mutu Pendidikan Sains. Makalah diseminarkan dalam Seminar HISPIPAI. Bandung 2 mei 1981.

Miller, J. dan Seller, W. (1985). Curriculum: Perspectives and Practice. New York: Longman

Nanes, R. dan Smith, V. (2000). Learning By Inquiry in a Physical Science Course For Prospective Rlementary Teachers: What Do The Student Think?. [Online]. Tersedia: http://www.sci.ccn.cuny.edu/-rstein/perpcaps/names.pdf. [ 2 Oktober 2008].


(3)

245 National Science Teachers Association. (2003). Standar for Science Teacher Preparation Version November 1998. [Online]. Tersedia: http://www.msu-edu/-haasdona/nsta.html. [2 September 2007].

National Science Education Standard. (1996). Science Content Standard. [Online] Tersedia:

http://www.nap.edu/openbook.php?record_id=4962&page=103. [2 September 2007].

National Science Teachers Association. (2003). Standar for Science Teacher Preparation: Revised 2003. [Online]. Tersedia: http://www.nsta.org/pdfs/NSTAstandards2003.pdf. [2 September 2007] .

Olga, J. (1987). Playfulness: A Motivator in Elementary Science Teacher

Preparation. [Online]. Tersedia:

http://www.eric.ed.gov/ERICWebPortal/custom/portlet/recordDetails/det ailmini.jsp?. [29 Oktober 2008].

Orgill, M. dan Bodner, G. (2004). What Research Tells Us about Using analogies to Teach Chemistry. Chemistry Education Research and Practice. 5, (1), 15-32. [Online]. Tersedia:

http://www.uoi.gr/cerp/2004_February/pdf/04Bodner.pdf. [29 Oktober 2008].

Parkay, F.; Anctill, E. dan Hass, G. (2006). Curriculum Planning: A Contemporary Approach. USA: Pearson Education Inc.

Phenix, P. (2002). Realm of meaning. A Phylosophy of The Curriculum for General Education. London: Mc. Graw Hill Book Co

Rehman, A. Ahmed, K. dan Sultana R. (2005). Need Assessment Of In-Service Teachers. Gomal University Journal Of Researc., 21. 5 halaman.

[Online]. Tersedia On line di:

http://www.gu.edu.pk/GUJR/PDF/pdf20%20dec%02005/140-145%20Rehman%20A.Need%20 Assessment.pdf. [4 November 2008]. Rustaman, N. (2002). Keterampilan Proses Sains. Jurusan Pendidikan Biologi

FPMIPA UPI

Rustaman, N. 2003. Strategi Belajar Mengajar: Common Txt Book Edisi Revisi. IMSTEP.

Rossett, A. dan Sheldon, K. (2001). Analysis: The study we do in order to figure out what to do. [Online]. Tersedia:


(4)

246 Sadker, M. dan Sadker, D. (1990). Questioning Skill: Classroom Teaching Skills

Fourth Edition. Toronto: D.C. Heath And Company.

Sandall, B. (2003). Elementary Science: Where are we now?. Journal of Science Education. 22 September 2003. [Online]. Tersedia:

http://www.goliath.ecnext.com/cpms2/summary_0199-3361172_ITM. [28 Oktober 2008].

Sanjaya, W. (2002). Pengembangan Model Pembelajaran Metode Klinis Bagi Peningkatan Kemampuan Berfikir Siswa Dalam Pembelajaran IPS di SD. Desertasi PPS UPI: Tidak diterbitkan.

Sanders, W. (1996). Cumulative and Residual Effects of teachers an Future Student Academic Achievement. Journal of Personnel Evaluation in Education. 8 (229-311)

Saylor, G. dan Alexander. 1996. Design Of Curriculum. Review of Educational Research, Vol. 24, No. 3, 204-213. [Online]. Tersedia: http://www.rer.sagepub.com/cgi.pdf.extract/24/3/204. [2 Agustus 2008] Sato, M. (2006). Tantangan Yang Harus Dihadapi Sekolah. Makalah disajikan

dalam Seminar Nasional IPA di FPMIPA UPI.

Shulman. L. (1986). Those who understand: Knowledge growth in teaching. Educational Researcher, 15(2), 4-14.

Strawitz, B. (1993). The Effect of Review on Science Process Skill Acquisition. Journal of Science Teacher Education, 4(2), 54-57

Syahrun dan Yunerti. (2003). Kompetensi, Pembelajaran Dan Evaluasi Dalam Kurikulum IPA. Makalah Disampaikan dalam Seminar Evaluasi IPA Berbasis Kompetensi di Bandung.

Smith, R. (1982). Learning How to Learn: Aplied Theory for Adults. Chichago: Follett Publishing Company.

Sukmadinata, N. (2004). Pengembangan Kurikulum: teori dan praktek. Bandung: CV. Rosda Karya

Susmiati, S. (2009). Pemanfaatan Media Pembelajaran Benda Kongkrit Untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA. [Online]. Tersedia: http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/KSDP/article/view/1590. [23 Februari 2010].

Taba, H. (1962). Curriculum Development: Theory and Practices. New York: Harcourt, Brace and World. Inc.


(5)

247 The Finance Project. (2006). Teacher Professional Development. [Online]. Tersedia: http:www/ilderness.net/library documents.pdf. [1 Nopember 2006]

Tytler, R.; Waldrip, B. dan Griffiths, M. (2004). Window Into Practice: Constructing Effective Science Teaching And Learning in a School Change Initiative. International Journal of Science Education, 26(2): 171-194.

Tisher, R. (1972). Fundamental Issues In Science Education. John Willey: Adlai Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS. UNESCO. (1996). Learning The Treasure Within, Report Of The Commission on

Education for 21st Century. Chair: J.Delors. UNESCO. Paris.

UNICEF. (2006). Creating Learning Communities for Children. [Online]. Tersedia: www.indo.ausaid.gov.au/Projects/Province/Sector. [7 January 2010].

Victorian Curriculum and Assessment Authority. (2005). Victorian Essential Learning Standards: Discipline-based Learning Strand. Victoria.

Wagner, K. (2009). Correlational Studies. [Online]. Tersedia: http: psychology.about.com/od/researchmethods/a/correlational.htm. [17 Juni 2009].

Wei, C.; Hammond, D. dan Andree, A. (2009). How Nation Invest in Teachers. Educational Leadership, Volume 66 Number 5, February 2009.

Waters, J. (2005). Correlational Research. [Online]. Tersedia: www.capilanou.ca/programs/psychology/students/research/correlation.ht ml. [17 Juni 2009].

Wetzel, D. (2008). What Is Scientific Inquiry?. [Online]. Tersedia: http://www.ezinearticles.com/?what_is_sciencetific_inquiry?&id.122352 6. [29 Oktober 2008].

Widodo, A. 1997. Konsepsi Mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi Tentang IPA, Belajar dan Mengajar. Laporan Penelitian. FPMIPA IKIP Bandung. Tidak diterbitkan.

Widodo, A. 1996. Students' and Teacher's Questioning in Primary Science. Thesis Master, Deakin University Australia. Tidak diterbitkan.


(6)

248 Widodo, A. et al. (2006). Analisis Dampak Program-Program Peningkatan Profesionalisme Guru Sainsd Terhadap Peningkatan Kualitas Pembelajaran Sains di Sekolah. Laporan Penelitian Hibah Kebijakan. Tidak diterbitkan.

Wentling, T. (1993). Planning For Effective Training: A guide to Curriculum Development. Roma: Food and Agriculture Organization of The United Nations

Wortham, S. (2006). Early Childhood Curriculum. Fourth Edition. Ohio: Pearson Merrill Prentice Hall.

Wright, H. dan Sanders, W. (1997). Teacher and Classroom Context Effect On Student Achievement: Implication for Teacher Evaluation. Journal of Personnel Evaluation in Education, 11(1), 57-56

Wong, T.H. dan Lai, Y.C. (2008). Exploring Factors Affecting Mathematics Teaching. Effectiveness among Pre-Service. Primary Mathematics

Student-Teachers. [Online]. Tersedia:

www.aare.edu.au/06pap/won06754.pdf. [17 Juni 2008].

Worley. G. dan Dresner. S. (2006). The Research Experiences, Partnership With Scientist, and Teacher Network Sustaining Factors Professional Development. Journal of Science Teacher Education (2006) 17: 1-14. World Health Organization. 2000. Needs Assessment: Workbook 3. [Online].

Tersedia: http://www.unodc.org/docs/treatment//needs_assessment.pdf. [5 Januari 2009].

Yager. & Hidayat E. (1988). Feature With Separate Least Effective From Most Efferctive Science Teachers. Journal of Research In Science Teaching, 25(3), 165-177.

Yager. (2008). Science Education A Science?. [Online]. Tersedia: http://www.wolfweb.unr.edu/homepage/jcannonj/esje/yager.html. [24 Oktober 2008].

Zais, R. (1976). Curriculum: Principles and Foundations. London: Harper & Row Publishers.

Zakaria, E. dan Iksan, Z. (2007). Promoting Cooperative learning In Science And mathematics Education: An Malaysian Perspektive. Eurasia Journal Of mathematics Science and technology Education. 3 (1): 35 – 39