PENERAPAN MODEL PEMBANGKIT ARGUMEN DENGAN METODE INVESTIGASI SAINS UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERARGUMENTASI SISWA PADA MATERI KALOR.
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari
Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Fisika
Oleh
ANGGARA BAYU PRATAMA NIM. 0902056
JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
(2)
Oleh
Anggara Bayu Pratama
Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
© Anggara Bayu Pratama 2014 Universitas Pendidikan Indonesia
Oktober 2014
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,
(3)
Oleh :
DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING: Pembimbing I
Pembimbing II
Mengetahui,
Ketua Jurusan Pendidikan Fisika Dr. Muslim, M.Pd.
NIP.196406061990031003
Dr. Andi Suhandi, M.Si NIP.196908171994031003
Dr. Ida Kaniawati, M.Si. Anggara Bayu Pratama
(4)
DAFTAR ISI
PERNYATAAN...i
ABSTRAK ...ii
KATA PENGANTAR ...iii
UCAPAN TERIMA KASIH ...iv
DAFTAR ISI ...vi
DAFTAR TABEL ...viii
DAFTAR GAMBAR ...x
DAFTAR LAMPIRAN...xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1
B. Identifikasi Masalah...6
C. Rumusan Masalah ...7
D. Tujuan Penelitian...7
E. Manfaat Penelitian...8
F. Definisi Operasional ...8
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Kurikulum Fisika di SMA ...10
B. Argumentasi dalam Pendidikan IPA ...11
C. Model Pembangkit Argumen Dengan Metode Investigasi Sains...16
D. Hubungan Antara Model Pembangkit Argumen dengan Metode Investigasi Sains Dengan Kemampuan Berargumentasi...17
E. Hasil Penelitian Relevan ...20
F. Uraian Materi Kalor ...21
BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Subjek Penelitian ...29
(5)
C. Desain Penelitian ...29
D. Prosedur Penelitian...30
E. Instrumen Penelitian...33
F. Teknik Pengolahan Data ...39
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ...42
B. Pembahasan...44
BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan...62
B. Saran ...62
DAFTAR PUSTAKA ...64
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...67
(6)
PENERAPAN MODEL PEMBANGKIT ARGUMEN DENGAN METODE INVESTIGASI SAINS UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
BERARGUMENTASI SISWA PADA MATERI KALOR Anggara Bayu Pratama
NIM. 0902056
Pembimbing I: Dr. Muslim M.Pd Pembimbing II: Dr. Andi Suhandi M.Si Jurusan Pendidikan Fisika, FPMIPA-UPI
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pentingnya ke mampuan berargumentasi bagi siswa. Kemampuan berargumentasi merupakan salah satu kemampuan berpikir yang harus dicapai siswa untuk memenuhi standar kompetensi lulusan SMA. Salah satu upaya untuk mengembangkan kemampuan berargumentasi siswa adalah melalui proses pembelajaran yang memfasilitasi siswa untuk melakukan diskusi dan argumentasi dalam kelompok. Model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains menekankan kegiatan pembelajaran agar siswa terlibat dalam mengembangkan kemampuan berargumentasi. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan gambaran tentang peningkatan kemampuan berargumentasi dan aspek argumentasi siswa sebagai impak penerapan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains pada materi kalor. Metode penelitian yang digunakan adalah pre-experiment dengan desain penelitian pretest and posttest group. Instrumen penelitian yang digunakan meliputi tes kemampuan berargumentasi, lembar observasi, dan wawancara. Subjek penelitian adalah siswa kelas X di salah satu SMA Negeri di Kota Bandung sebanyak 33 orang yang ditentukan dengan teknik cluster random sampling. Untuk melihat peningkatan kemampuan berargumentasi siswa digunakan teknik perhitungan gain yang dinormalisasi (<g>). Hasil penelitian menunjukkan peningkatan kemampuan berargumentasi berada pada kategori sedang. Peningkatan aspek kemampuan argumentasi yaitu kemampuan membuat klaim, menyertakan dan menganalisis data, kemampuan membuat pembenaran, dan kemampuan memberikan dukungan berada pada kategori sedang. Disimpulkan bahwa penerapan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains dapat meningkatkan kemampuan berargumentasi siswa.
Kata kunci : kemampuan berargumentasi, model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains.
(7)
APPLYING MODEL OF GENERATING ARGUMENTS WITH SCIENCE INVESTIGATION METHOD TO ENHANCE STUDENTS’
ARGUMENTATION SKILLS AT HEAT SUBJECT ABSTRACT
This research based on the importance of argumentation skill for students. Argumentation skill is one of thinking skill that must be reached by student to fulfill the competence standard of highschool graduate. One of the effort to expand student’s argumentation skills is a learning process that fasilitate students to discuss and argue in a group. Model of generating arguments through science investigation method emphasizes learning activities in order to make students involved in enhancing argumentation sk ills. The purpose of this research is to get a picture of enhanced argumentation skills and student’s aspect of argumentation as the effect of model of generating arguments through science investigation method applied on heat subject. The method of this research is pre-experiment with pretest and posttest group design. The instruments of the research covered argumentation skills test, observation sheet, and interview. The subjects of the research are 33 10th grade students in a high school at Bandung who were collected by cluster random sampling technique. To see the enhancement of student’s argumentation skills, we used normalized gain as the calculation technique (<g>). The result of the research showed that the enhancement of argumentation skills is on moderate level. Enhancement of argumentation skills aspects (claim, enclose and anilyze data, make justification, and support) is on moderate level. The conclusion showed that model of generating arguments through science investigation method enhanced student’s argumentation skills. Keywords: argumentation skills; model of generating arguments with science investigation method.
(8)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau sains dapat didefinisikan sebagai kumpulan pengetahuan yang sistematik dari gejala - gejala alam. Abruscato (dalam Rachman, 2013) menyatakan bahwa IPA adalah pengetahuan yang diperoleh melalui serangkaian proses yang sistematik untuk mengungkap segala sesuatu yang berkaitan dengan alam semesta. Powler (dalam Firdaus, 2012) mendefinisikan IPA sebagai ilmu pengetahuan yang sistematis dan dirumuskan yang berhubungan dengan fenomena fisis dan didasarkan pada pengamatan induksi. Sedangkan Sund (dalam Firdaus, 2012) mendefinisikan IPA sebagai pengetahuan yang sistematis atau tersusun secara teratur berlaku umum dan berupa kumpulan data hasil observasi dan eksperimen.
Berdasarkan ketiga pengertian tentang IPA tersebut, maka pada hakikatnya IPA atau sains terdiri atas tiga unsur utama yaitu produk, proses, dan sikap. Sains sebagai produk yaitu memahami apa yang telah dihasilkan oleh sains, misalnya konsep, prinsip, dan hukum. Sains sebagai proses dimaksudkan bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Sedangkan sains sebagai sikap dimaksudkan bahwa sains dapat melatih dan menanamkan sikap positif.
Pembelajaran IPA yang baik hendaknya melibatkan ketiga unsur hakikat IPA tersebut, juga sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
(9)
Berdasarkan hal itu maka setiap peserta didik harus memiliki kualifikasi kemampuan lulusan yang memenuhi tujuan yang tercantum dalam
(10)
Standar Kompetensi Lulusan. Standar Kompetensi Lulusan merupakan kriteria mengenai kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan (Permendikbud Nomor 54 Tahun 2013).
Kompetensi keterampilan yang merupakan kualifikasi dari Standar Kompetensi Lulusan mengharuskan siswa agar memiliki kemampuan berpikir dan bertindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sebagai pengembangan dari yang dipelajari di sekolah secara mandiri (Permendikbud Nomor 54 Tahun 2013). Pendidikan IPA dapat membantu siswa untuk mengembangkan kebiasaan berpikir, sehingga siswa memiliki kemampuan untuk menjamin kelangsungan hidupnya (Rutherford & Ahlgren, 1990).
Pada tingkat SMA, fisika dipandang penting untuk diajarkan sebagai mata pelajaran tersendiri. Selain memberikan bekal ilmu kepada peserta didik, mata pelajaran fisika juga sebagai wahana untuk menumbuhkan kemampuan berpikir yang berguna untuk memecahkan masalah didalam kehidupan sehari-hari. Tujuan yang lebih khusus yaitu membekali peserta didik pengetahuan, pemahaman dan sejumlah kemampuan yang dipersyaratkan untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kurikulum 2013 mengisyaratkan bahwa pembelajaran fisika hendaknya berbasis penyingkapan / penelitian (discovery / inquiry learning) untuk memperkuat pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah dapat menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja, dan bersikap ilmiah serta berkomunikasi sebagai salah satu aspek penting kecakapan hidup (Depdiknas, 2006).
Salah satu kemampuan berpikir yang bisa dikembangkan dalam pembelajaran fisika adalah kemampuan berargumentasi. Billig dan Kuhn (dalam Osborne et al, 2001) menyatakan bahwa argumentasi merupakan proses berpikir yang dapat dikembangkan melalui penalaran dalam diskusi kelompok. Oleh karena itu, pembelajaran yang melibatkan argumentasi
(11)
sebaiknya memfasilitasi siswa untuk melakukan diskusi dan argumentasi dalam kelompok kecil. Hal ini akan memberikan kesempatan pada siswa untuk mulai berargumentasi, memberikan sanggahan dan dukungan, memperlihatkan pemikiran yang kritis dan mengembangkan pengetahuan, kepercayaan dan pemikiran mereka (Quinn, 1997). Dalam beragumentasi siswa perlu memberikan bukti-bukti berupa data dan teori yang akurat untuk mendukung klaim mereka terhadap suatu permasalahan. Kemampuan berpikir siswa sangat diperlukan dalam menganalisis data dan teori yang diberikan sehingga argumen yang mereka ajukan bisa diterima oleh orang lain. Dengan demikian kemampuan berargumentasi berhubungan erat dengan kemampuan berpikir siswa yang merupakan salah satu kompetensi standar yang harus dimiliki oleh setiap lulusan (siswa).
Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan mencakup sebagian besar aspek kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat dan individu harus membuat keputusan logis tentang isu-isu sosio-ilmiah seperti rekayasa genetika, pengawetan makanan, operasi plastik, pemanfaatan nuklir, dan lain sebagainya yang berasal dari media cetak ataupun media elektronik. Isu ilmiah yang berkembang seringkali memunculkan berbagai pendapat. Untuk mengevaluasi isu tersebut, diperlukan kemampuan untuk menilai apakah bukti sah dan dapat dipercaya, mengidentifikasi korelasi dari penyebab, dan mengambil hipotesis dari pengamatan ( Millar & Osborne, 1998). Dalam konteks masyarakat dimana isu ilmiah berkembang pesat dan mendominasi seperti saat ini (Beck; 1992, Giddens; 1999) maka penting bagi generasi muda untuk meningkatkan kualitas dalam memahami argumentasi ilmiah. Sebagai konsekuensinya, pembelajaran IPA hendaknya dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam memahami dan mempraktekan cara berargumentasi yang valid dalam konteks IPA. Dengan demikian, proses pembelajaran IPA di sekolah, khususnya pembelajaran fisika, perlu membekali siswa dengan kemampuan berargumentasi yaitu kemampuan membuat klaim (claim) sesuai
(12)
permasalahan, kemampuan memberikan dan menganalisis data-data, kemampuan memberikan pembenaran (warrant), dan kemampuan memberikan dukungan (backing) yang rasional dari teori-teori yang ada sehingga mendukung klaim yang diajukan. Pembelajaran fisika seyogianya mengembangkan kemampuan siswa dalam memahami dan mempraktekan cara berargumentasi dalam konteks ilmiah (Osborne et al, 2001).
Gagasan pengembangan kemampuan berargumentasi bagi siswa SMA dilandasi oleh beberapa konsep teoretis bahwa salah satu tujuan pembelajaran fisika di tingkat SMA (Depdiknas, 2006) yaitu fisika sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan berpikir analitis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip fisika untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam dan menyelesaikan masalah baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Dengan demikian, kemampuan berargumentasi sebagai representasi hasil pembelajaran menjadi sangat penting. Landasan teoretis yang menjadi alternatif pijakan dalam mengemas pembelajaran fisika dalam pengembangan kemampuan argumentasi adalah guru fisika dianjurkan untuk mengurangi berceritera dalam pembelajaran, tetapi lebih banyak mengajak para peserta didik untuk aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan (Wenning, 2006). Landasan teoretis tersebut menekankan pentingnya guru untuk melakukan perubahan paradigma dari “mengajar adalah berceritera tentang konsep” menjadi sebuah perspektif ilmiah teoretis: “mengajar adalah menggubah lingkungan belajar dan menyiapkan rangsangan-rangsangan kepada peserta
didik” (Wenning, 2006).
Trend (2009) menyatakan bahwa siswa perlu mempelajari bagaimana mengkonstruksi argumentasi, yaitu membuat klaim, menyertakan dan menganalisis data, membuat pembenaran yang dapat menghubungkan data dengan klaim, serta membuat dukungan atas pembenaran. Argumentasi melibatkan baik kemampuan kognitif maupun afektif dari pengajar dan pebelajar. Hal ini dapat digunakan untuk membantu siswa dalam memahami
(13)
tidak hanya aspek sosiokultural dari IPA tetapi juga konsep-konsep dan proses-proses dasar IPA. Argumentasi memainkan peran penting dalam membangun eksplanasi, model, dan teori. Argumentasi adalah sebuah proses yang sangat penting dalam ilmu pengetahuan dan harus diterapkan dalam pembelajaran IPA (Zohar & Nemet, 2002; Erduran & Jimenez-Aleixandre, 2008).
Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan di salah satu SMA Negeri di Bandung melalui kegiatan observasi pembelajaran fisika diperoleh temuan bahwa selama proses pembelajaran siswa sangat jarang memberikan pernyataan untuk menanggapi permasalahan konsep yang diberikan oleh guru. Sehingga permasalahan yang diajukan oleh guru seringkali berbentuk persoalan kuantitatif yang memerlukan pemecahan berupa angka hasil perhitungan. Akibatnya siswa kurang dilatih untuk menggunakan konsep atau teori untuk mendukung jawaban mereka. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari keempat aspek kemampuan berargumentasi hanya aspek data yang dilatihkan, sedangkan ketiga aspek lainnya belum dilatihkan selama proses pembelajaran.
Hasil studi pendahuluan juga menunjukkan bahwa kemampuan berargumentasi siswa masih rendah. Dari hasil tes kemampuan berargumentasi kepada siswa dalam studi pendahuluan, diperoleh nilai rata-rata kemampuan argumentasi siswa, yaitu: (1) kemampuan membuat klaim sebesar 48,8; (2) kemampuan menyertakan dan menganalisis data sebesar 35; (3) kemampuan membuat pembenaran sebesar 35,8; dan (4) kemampuan memberikan dukungan untuk melandasi pembenaran sebesar 24 dari nilai maksimum 100. Fakta menunjukkan bahwa masih perlu diupayakan suatu proses pembelajaran fisika yang dapat mengembangkan kemampuan berargumentasi. Proses pembelajaran yang melibatkan siswa dalam mengembangkan kemampuan berargumentasi dapat dilakukan melalui kegiatan diskusi kelompok (Osborne et al, 2001). Untuk membekali siswa agar dapat
(14)
membangun argumentasi dengan baik, dibutuhkan model pembelajaran khusus. Salah satu model pembelajaran yang dapat dikembangkan adalah model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains.
Model pembelajaran pembangkit argumen dengan metode investigasi sains dikembangkan oleh Sampson dan Gerbino (2010) untuk mengembangkan kemampuan berargumentasi yang dapat diterapkan di kelas. Model ini memfasilitasi guru untuk mengembangkan kemampuan berargumentasi siswa. Dalam model ini, siswa dibentuk kedalam beberapa kelompok dan diberi kesempatan untuk mengembangkan argumentasi. Langkah pertama guru memberikan sebuah permasalahan kepada siswa, kemudian siswa diminta untuk menuliskan klaim atas permasalahan yang diberikan. Langkah selanjutnya guru menyuruh siswa menganalisis data yang digunakan untuk memverifikasi klaimnya. Data diperoleh siswa dari kegiatan investigasi sains. Kegiatan selanjutnya siswa menjelaskan hubungan data dan klaim (pembenaran) dan memberikan dukungan berupa teori untuk melandasi pembenaran.
Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak penelitian yang memfokuskan pada analisis wacana argumentasi dalam konteks pembelajaran IPA (Kelly & Takao, 2002; Zohar & Nemet, 2002). Pembelajaran IPA tidak hanya fokus pada hasil seperti pemecahan masalah, penguasaan konsep, atau keterampilan proses sains semata, tetapi juga perlu melibatkan penggunaan alat lain seperti kemampuan berargumentasi.
Permasalahan yang diajukan oleh guru seyogianya dapat memancing siswa untuk mengemukakan argumentasinya, sehingga materi yang dipilih dalam penelitian ini adalah materi yang kontekstual dengan kehidupan sehari-hari. Pada materi kalor banyak ditemukan konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, seperti pemuaian, perubahan suhu, perubahan wujud, dan seterusnya. Pada materi kalor juga terdapat permasalahan-permasalahan yang aplikatif dan dapat memancing siswa untuk
(15)
mengembangkan kemampuan berargumentasinya. Oleh karena itu, pada penelitian ini dipilih materi kalor.
Berdasarkan kondisi yang telah diuraikan pada latar belakang dan mengingat pentingnya kemampuan berargumentasi bagi siswa, maka perlu dilakukan penelitian untuk membekali siswa SMA agar disamping mereka dapat memahami konsep-konsep fisika juga memiliki kemampuan berargumentasi yang baik. Hal inilah yang memotivasi peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul “Penerapan Model Pembangkit Argumen Dengan Metode Investigasi Sains Untuk Meningkatkan Kemampuan Berargumentasi Siswa Pada Materi Kalor”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka masalah yang akan diteliti adalah peningkatan kemampuan argumentasi siswa sebagai impak dari penerapan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains. Untuk memperjelas ruang lingkup permasalahan, maka perlu dijelaskan batasan masalah dalam penelitian ini. Batasan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Kemampuan berargumentasi terdiri dari kemampuan menuliskan klaim, data, pembenaran, dukungan, kualifikasi, dan sanggahan. Peningkatkan kemampuan berargumentasi dalam penelitian ini hanya dibatasi pada kemampuan siswa dalam menuliskan klaim, data, pembenaran dan dukungan terhadap permasalahan yang diberikan. 2. Peningkatkan aspek kemampuan berargumentasi dalam penelitian ini
hanya dibatasi pada perubahan nilai tes kemampuan berargumentasi sebelum dan sesudah pembelajaran berdasarkan skor rata-rata gain yang dinormalisasi (<g>).
(16)
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah penerapan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains dapat meningkatkan kemampuan berargumentasi siswa pada materi kalor?
Masalah tersebut dapat diturunkan menjadi beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah peningkatan kemampuan berargumentasi siswa sebagai impak dari penerapan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains pada materi kalor?
2. Bagaimanakah peningkatan setiap aspek kemampuan berargumentasi siswa sebagai impak dari penerapan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains pada materi kalor?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendapatkan gambaran tentang peningkatan kemampuan berargumentasi siswa sebagai impak penerapan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains pada materi kalor.
2. Mendapatkan gambaran tentang profil peningkatan setiap aspek kemampuan berargumentasi siswa sebagai impak penerapan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains pada materi kalor.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
(17)
1. Menjadi bukti bahwa model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains dapat meningkatkan kemampuan berargumentasi siswa.
2. Memperkaya hasil-hasil penelitian dalam kajian sejenis sehingga dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang berkepentingan, seperti guru, mahasiswa, peneliti bidang pendidikan, dan LPTK.
3. Menjadi bahan rujukan dan pembanding bagi pihak yang berkepentingan untuk menerapkan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains di dalam proses pembelajaran, serta menjadi pendukung bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
F. Definisi Operasional
Variabel dalam penelitian ini adalah keterlaksanaan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains dan kemampuan berargumentasi. Sedangkan definisi operasional untuk setiap variabel dijelaskan sebagai berikut:
1. Keterlaksanaan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keterlaksanaan aktivitas guru dan siswa yang meliputi lima tahapan pembelajaran, yaitu tahap: (1) penyajian masalah, (2) menguji penjelasan melalui kegiatan investigasi sains, (3) pembangkitan argumen tentatif, (4) sesi argumentasi, dan (5) perumusan argumen hasil pemikiran kelompok. Keterlaksanaan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains diobservasi menggunakan lembar observasi.
2. Kemampuan berargumentasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa dalam membuat klaim (claim), menyertakan dan menganalisis data, membuat pembenaran (warrant) yang dapat menjelaskan hubungan data dan klaim, dan memberikan dukungan (backing) untuk menerima atau menolak klaim. Kemampuan
(18)
berargumentasi diukur melalui tes kemampuan berargumentasi berupa soal uraian.
(19)
BAB III
METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di salah satu SMA Negeri di Kota Bandung pada siswa kelas X semester 2. Subjek pada penelitian ini adalah kelas X-A dengan jumlah siswa sebanyak 33 orang yang dipilih secara clusterrandom sampling.
B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pre-experiment design, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui dampak awal penggunaan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains terhadap kemampuan berargumentasi siswa. Dalam penelitian ini hanya ada kelas eksperimen saja.
C. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah one group pretest-posttest design. Desain ini adalah suatu rancangan pretest dan posttest, dimana sampel penelitian diberi perlakuan selama waktu tertentu. Pretest
dilakukan sebelum perlakuan, dan posttest dilakukan setelah perlakuan, jadi akan terlihat bagaimana pengaruh perlakuan terhadap kemampuan argumentasi.
Perlakuan berupa model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains. Pola one group pretest-posttest design (Arikunto, 2010) ditunjukkan pada Gambar 3.1.
Pre-test
O
A1
Treatment
X A2
Post-test
(20)
Keterangan:
O = Tes kemampuan berargumentasi
X = Model pembelajaran pembangkit argumen dengan metode investigasi sains A1= Observasi keterlaksanaan model
A2= Wawancara
Gambar 3.1
Bagan Desain One Group Pre-test and Pos-test.
Pada gambar 3.1 dapat dilihat bahwa kelas dikenakan tes awal (pretest) untuk mengukur kemampuan berargumentasi siswa, kemudian diberi perlakuan berupa model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains, yang keterlaksanaannya diobservasi oleh observer, serta dievaluasi melalui wawancara terhadap siswa. Setelah itu diberi tes akhir (posttest) dengan instrumen yang sama dengan tes awal. Instrumen yang digunakan sebagai pretest dan posttest dalam penelitian ini merupakan instrumen untuk mengukur kemampuan berargumentasi siswa yang telah di-judgment dan diujicobakan terlebih dahulu.
D. Prosedur Penelitian
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu:
1. Tahap Persiapan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah sebagai berikut:
a. Mengkaji tuntutan dan capaian yang diharapkan oleh kurikulum yang berlaku. b. Merumuskan masalah yang akan dikaji dengan cara peneliti melakukan studi
pendahuluan melalui kegiatan observasi, yaitu mengamati kegiatan pembelajaran fisika di dalam kelas.
c. Studi literatur, dilakukan untuk memperoleh teori yang akurat mengenai permasalahan yang akan dikaji.
d. Melakukan studi kurikulum mengenai materi pokok yang dijadikan penelitian untuk mengetahui kompetensi dasar yang hendak dicapai.
(21)
e. Membuat dan menyusun instrumen penelitian, yaitu tes kemampuan argumentasi, lembar observasi, dan format wawancara.
f. Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, skenario pembelajaran menggunakan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains, dan Lembar Kerja Siswa (LKS).
g. Melakukan judgement instrumen tes kemampuan argumentasi kepada dua orang dosen ahli.
h. Melakukan uji coba instrumen tes kemampuan argumentasi.
i. Menganalisis hasil judment dan uji coba instrumen tes kemampuan argumentasi, kemudian menentukan soal tes yang layak digunakan sebagai instrumen penelitian.
j. Mempersiapkan observer untuk mengobservasi proses pembelajaran. 2. Tahap Pelaksanaan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap pelaksanaan meliputi :
a. Memberikan tes awal (pre-test) untuk mengukur kemampuan argumentasi siswa sebelum diberi perlakuan (treatment).
b. Memberikan perlakuan (treatment) yaitu dengan cara menerapkan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains pada pembelajaran serta mengobservasi jalannya pembelajaran dengan bantuan observer.
c. Memberikan tes akhir (posttest) untuk mengukur peningkatan kemampuan argumentasi siswa setelah diberi perlakuan (treatment).
d. Melakukan wawancara dengan dua orang siswa. 3. Tahap Akhir
Pada tahapan ini kegiatan yang dilakukan antara lain :
a. Mengolah data hasil tes awal (pretest) dan tes akhir (posttest) serta menganalisis hasil instrumen pendukung penelitian lainnya.
b. Membandingkan hasil analisis data instrumen tes antara sebelum diberi perlakuan (pre-test) dan setelah diberi perlakuan (post-test) untuk melihat dan menentukan apakah terdapat peningkatan kemampuan argumentasi siswa
(22)
Anggara Bayu Pratama, 2014
setelah diterapkan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains dalam pembelajaran fisika.
c. Memberikan kesimpulan berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengolahan data.
d. Memberikan saran-saran terhadap aspek-aspek penelitian yang kurang sesuai. Untuk lebih jelasnya, alur penelitian digambarkan seperti disajikan pada Gambar 3.2.
Tahap Persiapan
Studi Kurikulum
Rumusan Masalah Alternatif Solusi
Permasalahan Studi Literatur
Studi Pendahuluan
Uji Coba Instrumen Soal Tes Kemampuan Berargumentasi Judgment Validitas Instrumen Soal Tes Kemampuan Berargumentasi
Pembuatan Instrumen Penelitian dan
Perangkat Pembelajaran (RPP, skenario pembelajaran, dan LKS)
Analisis hasil Judgment dan uji coba instrumen penelitian
Observasi Kegiatan Pembelajaran Fisika dengan
menerapkan Model Pembangkit Argumen Dengan metode Investigasi Sains
Posttest Pretest
Wawancara
(23)
E. Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini peneliti membuat seperangkat instrumen penelitian. Instrumen-instrumen adalah sebagai berikut:
1. Tes kemampuan berargumentasi
Kemampuan berargumentasi siswa diukur menggunakan tes. Tes yang digunakan berupa tes uraian yang terdiri dari tiga butir soal. Ketiga butir soal tes tersebut terdiri dari satu butir soal untuk materi pemuaian dan dua butir soal untuk materi kalor. Masing-masing soal menuntut siswa mampu: (1) membuat klaim sesuai dengan permasalahan, (2) menganalisis data untuk mendukung klaim, (3) memberikan pembenaran yaitu menjelaskan hubungan data dengan klaim (pembenaran), (4) melandasi pembenaran untuk mendukung klaim (dukungan). Keempat kemampuan tersebut sesuai dengan indikator kemampuan berargumentasi yang dikembangkan oleh Sampson dan Gerbino (2010).
Tes diberikan kepada siswa sebelum dan sesudah diberikan perlakuan (treatment) model pembelajaran pembangkit argumen dengan metode investigasi sains dengan materi kalor. Sebelum digunakan, tes kemampuan argumentasi diuji dahulu validitas, reliabilitas, tingkat kemudahan, dan daya pembedanya agar baik, sah, dan dapat dipercaya.
Tahap Akhir
Gambar 3.2
(24)
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kesahihan suatu tes. Suatu tes dikatakan valid apabila tes tersebut mampu mengukur apa yang hendak diukur (Anderson dalam Arikunto, 2013). Tes kemampuan berargumentasi digunakan untuk mengukur kemampuan berargumentasi siswa. Oleh karena itu tes kemampuan berargumentasi ini harus valid agar bisa digunakan mengukur kemampuan berargumentasi siswa dengan benar.
Langkah pertama dalam penyusunan tes adalah menentukan materi yang akan menjadi bahan tes tersebut. Arikunto (2013) menyebutkan bahwa sebuah tes memiliki validitas isi jika mampu mengukur tujuan khusus tertentu yang sejajar dengan materi atau isi pelajaran yang diberikan kepada siswa. Lebih lanjut Arikunto (2013) menyatakan bahwa sebuah tes memiliki validitas konstruksi apabila butir-butir soal yang membangun tes tersebut mengukur setiap aspek berpikir seperti sesuai dengan indikator.
Validitas isi dan validitas konstruksi dari suatu tes diperoleh melalui penilaian (judgment) ahli. Dalam penelitian ini, tes kemampuan berargumentasi dinilai validitas isi dan validitas konstruksinya oleh dua orang dosen ahli. Penilaian kedua validitas tes kemampuan berargumentasi tersebut menggunakan lembar validasi tes kemampuan berargumentasi. Dalam lembar tersebut ada tiga aspek yang dinilai oleh dosen ahli, yaitu kesesuaian butir soal dengan konsep, kesesuaian butir soal dengan aspek kemampuan berargumentasi, dan kesesuaian butir soal dengan indikator kemampuan berargumentasi. Apabila penilaian dari dosen ahli terhadap masing-masing aspek tersebut sesuai, maka penilai memberi nilai dua (2), sedangkan apabila penilaiannya tidak sesuai maka penilai memberi nilai satu (1), masing- masing pada kolom yang disediakan.
b) Reliabilitas Tes
Reabilitas tes adalah tingkat keajegan (konsitensi) suatu tes, yakni sejauh mana suatu tes dapat dipercaya untuk menghasilkan skor yang ajeg, relatif tidak berubah walaupun diteskan pada situasi yang berbeda-beda. Reliabilitas suatu tes
(25)
adalah taraf sampai dimana suatu tes mampu menunjukkan konsistensi hasil pengukurannya yang diperlihatkan dalam taraf ketetapan dan ketelitian hasil. Reliabel tes berhubungan dengan ketetapan hasil tes.
Sebuah tes dikatakan reliabel jika hasil tes menunjukan ketetapan (Arikunto, 2013), maksudnya adalah hasil tes akan memiliki hasil yang tetap apabila diteskan berkali-kali. Dengan demikian minimal dibutuhkan dua kali pengetesan soal kepada siswa untuk mengetahui reliabilitas soal tersebut. Metode yang digunakan untuk mencari reliabilitas tes kemampuan argumentasi adalah metode tes ulang (Test-retest Method). Soal tes kemampuan berargumentasi diujicobakan sebanyak dua kali kepada siswa yang sama dengan selang waktu antara uji coba pertama dan uji coba kedua adalah satu minggu. Hasil uji coba tersebut kemudian dikorelasikan antara hasil ujicoba yang pertama dengan hasil uji coba yang kedua. Rumus yang digunakan untuk menghitung korelasi tersebut yaitu rumus pearson product moment dengan angka kasar (Arikunto, 2013).
∑ ∑ ∑
√{ ∑ ∑ }{ ∑ ∑ }...(3.1)
Dengan :
rxy : koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y
X : skor hasil tes pertama Y : skor hasil tes kedua
Besar koefisien korelasi yang didapat kemudian diinterpretasikan sesuai dengan Tabel 3.1.
Tabel 3.1
Interpretasi Koefisien Korelasi Product Moment
No Rentang koefisien korelasi (rxy) Kriteria
1 0,8 < rxy ≤ 1,0 Sangat tinggi
(26)
3 0,4 < rxy ≤ 0,6 Cukup
4 0,2 < rxy ≤ 0,4 Rendah
5 0,0 ≤ rxy ≤ 0,2 Sangat rendah
(Arikunto,2013)
c) Tingkat Kemudahan
Analisis tingkat kemudahan dimaksudkan untuk mengetahui apakah soal tersebut tergolong mudah atau sukar. Soal tes yang baik adalah soal tes yang tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar (Arikunto, 2013). Bilangan yang menunjukan tingkat kemudahan sebuah tes dinamakan indeks kemudahan. Untuk menghitung indeks kemudahan digunakan rumus (Arikunto, 2013):
...(3.2) Dengan :
P = indeks kemudahan
B = banyaknya siswa yang menjawab soal tersebut dengan benar JS = jumlah seluruh siswa peserta tes
Besar tingkat kemudahan yang didapat kemudian diinterpretasikan sesuai dengan Tabel 3.2.
Tabel 3.2
Interpretasi Indeks Tingkat Kemudahan Butir Soal
Nilai Indeks Kemudahan (P) Kriteria
0.00 – 0.30 Sukar
0.31 – 0.70 Sedang
0.71 – 1.00 Mudah
(Arikunto; 2013)
(27)
Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah (Arikunto, 2013). Angka yang menunjukan daya pembeda disebut indeks diskriminasi (D). Untuk menghitung besar daya pembeda soal, digunakan rumus (Arikunto, 2013):
...(3.3)
Dengan :
D : indeks diskriminasi
: banyaknya siswa kelompok atas yang menjawab soal dengan benar : banyaknya siswa kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar
: banyaknya siswa kelompok atas
: banyaknya siswa kelompok bawah
Besarnya nilai diskriminasi (D) yang didapat kemudian diinterpretasikan sesuai klasifikasi daya pembeda pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3
Klasifikasi Nilai Daya Pembeda Butir Soal
No Nilai Diskriminasi (D) Keterangan
1 0,00 – 0,20 Jelek (poor)
2 0,21 – 0,40 Cukup (satistifactory)
3 0,41 – 0,70 Baik (good)
4 0,71 – 1,00 Baik sekali (excellent)
5 Negatif (-) Tidak baik
(28)
e) Hasil Judgment dan Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Berargumentasi
Berdasarkan hasil judgment keenam butir soal tes kemampuan berargumentasi, diperoleh hasil bahwa keenam soal argumentasi tersebut ada kesesuaian antara butir soal dengan konsep, ada kesesuaian antara butir soal dengan aspek kemampuan berargumentasi, dan ada kesesuaian antara butir soal dengan indikator kemampuan berargumentasi. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa keenam soal kemampuan berargumentasi tersebut memiliki validitas isi dan validitas konstruksi sehingga bisa digunakan untuk mengukur kemampuan berargumentasi siswa. Hasil judgment tes kemampuan berargumentasi dapat dilihat pada Lampiran C.1.
Reliabilitas tes kemampuan argumentasi diperoleh setelah mengkorelasikan hasil uji coba tes pertama dengan hasil uji coba tes kedua. Nilai koefisien korelasi (rxy) yang didapat sebesar 0,85 yang berada pada kategori sangat tinggi. Dengan
demikian soal tes kemampuan berargumentasi tersebut memiliki tingkat reliabilitas yang sangat tinggi. Hasil perhitungan reliabilitas tes kemampuan berargumentasi dapat dilihat pada Lampiran C.3.
Rekapitulasi hasil uji coba terhadap tingkat kemudahan dan daya pembeda, butir soal tes kemampuan berargumentasi disajikan pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4
Rekapitulasi Hasil Uji Coba Soal Tes Kemampuan Argumentasi
No. Soal
Tingkat Kemudahan (TK)
Daya Pembeda (DP)
TK Interpretasi DP Interpretasi
1 0,28 Sukar 0,27 Cukup
2 0,28 Sukar 0,27 Cukup
(29)
Untuk perhitungan lebih lengkap dari daya pembeda dan tingkat kemudahan tes kemampuan berargumentasi dapat dilihat pada Lampiran C.4. Dari data hasil
judgment dan uji coba tes maka soal yang digunakan dalam penelitian sebanyak tiga soal.
2. Lembar Observasi
Lembar observasi pada penelitian ini digunakan untuk mengamati sejauh mana keterlaksanaan model pembelajaran pembangkit argumen dengan metode investigasi sains dalam proses pembelajaran. Lembar observasi yang digunakan ada dua, yaitu lembar observasi aktvitas guru dan lembar aktivitas siswa berkaitan dengan keterlaksanaan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains. Pada masing-masing lembar tersebut terdapat tahapan-tahapan dari model pembelajaran yang digunakan. Pada setiap tahapan terdapat keterangan aktivitas yang dilakukan oleh guru dan siswa. Jika aktivitas yang dilakukan oleh guru atau siswa sesuai dengan aktivitas yang terdapat dalam lembar observasi, maka
observer memberi tanda ceklis pada sub kolom „ya‟ pada kolom hasil observasi,
dan jika aktivitas yang dilakukan oleh guru atau siswa tidak sesuai dengan aktivitas yang terdapat dalam lembar observasi, maka observer memberi tanda ceklis pada sub kolom „tidak‟. Apabila ada komentar yang perlu ditambahkan oleh observer, maka observer bisa menuliskannya pada kolom komentar.
3. Wawancara
Wawancara pada penelitian ini digunakan untuk memperoleh informasi dari siswa mengenai kesulitan yang dialami siswa selama proses pembelajaran menggunakan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains berlangsung, dan kesulitan yang dialami siswa ketika membangun argumentasi. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara bebas. Yang menjadi responden dalam wawancara ini adalah dua orang siswa yang masing-masing diambil dari siswa pada kategori kelompok atas dan siswa yang berada pada kategori kelompok bawah. Waktu pelaksanaan kegiatan wawancara
(30)
dilaksanakan setelah siswa selesai melaksanakan seluruh kegiatan pembelajaran. Data hasil wawancara ini digunakan sebagai data tambahan untuk menganalisis kesulitan yang dialami siswa selama proses pembelajaran dan juga kesulitan yang dialami siswa ketika membangun argumentasi.
F. Teknik Pengolahan Data
1. Menghitung Peningkatan Kemampuan Argumentasi
Untuk melihat peningkatan kemampuan argumentasi siswa setelah penerapan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains, dilihat dari selisih skor hasil tes awal (post-test) dan tes akhir (pre-test). Jika skor hasil tes awal lebih besar daripada skor hasil tes akhir, maka akan terdapat peningkatan (gain) kemampuan argumentasi siswa. Untuk mengetahui kriteria peningkatan kemampuan argumentasi, digunakan kriteria dari gain yang dinormalisasi yang dikembangkan oleh Hake (1998). Kriteria peningkatan gain yang dinormalisasi menggunakan rumus yang dikembangkan Hake (1998). Rumus yang digunakan untuk menghitung rata-rata gain yang dinormalisasi (<g>) adalah:
Keterangan:
= skor rata-rata gain yang dinormalisasi
= skor hasil tes awal
= skor hasil tes akhir
= skor maksimum
Interpretasi nilai gain yang dinormalisasi disajikan seperti pada Tabel 3.5. Tabel 3.5
Interpretasi Kategori Rata-rata Gain Yang Dinormalisasi
(31)
Dinormalisasi
Tinggi
Sedang
Rendah
(Hake, 1998)
2. Analisis Data Hasil Lembar Observasi
Pada penelitian ini aktivitas yang diobservasi adalah aktivitas guru dan aktivitas siswa pada proses pembelajaran menggunakan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains. Pada lembar observasi terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan oleh guru dan siswa selama pembelajaran berlangsung. Untuk melihat apakah kegiatan tersebut dilakukan atau tidak oleh guru dan siswa maka observer mengamatinya jalannya pembelajaran kemudian menceklisnya pada lembar observasi. Jika kegiatan tersebut terlaksana, maka observer menceklis pada kolom “ya” sedangkan jika tidak terlaksana observer
menceklis pada kolom “tidak”. Skor untuk pilihan “ya” adalah satu (1), sedangkan
skor untuk pilihan “tidak” adalah nol (0). Untuk menghitung persentase
keterlaksanaan model pembelajaran menggunakan rumus berikut ini:
∑ ∑
Hasil perhitungan keterlaksanaan model pembelajaran tersebut diinterpretasikan sesuai dengan kriteria keterlaksanan model pembelajaran menurut Muslim (2013) seperti disajikan pada Tabel 3.6.
Tabel 3.6
Kriteria Keterlaksanaan Model Pembelajaran
No Persentase (%)
(32)
No Persentase (%)
Keterlaksanaan Model (KP) Kriteria
1. KP = 0 Tak satupun aktivitas terlaksana
2. 0 ≤ KP≤ 25 Sebagian kecil aktivitas terlaksana
3. 25< KP< 50 Hampir setengah aktivitas terlaksana
4. KP = 50 Setengah aktivitas terlaksana
5. 50 <KP< 75 Sebagian besar aktivitas terlaksana
6 75 ≤KP< 100 Hampir seluruh aktivitas terlaksana
7 KP = 100 Seluruh aktivitas terlaksana
(Muslim, 2013) Tujuan dari diketahuinya persentase keterlaksanaan model pembelajaran secara keseluruhan adalah untuk mengetahui apakah model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains terlaksana sepenuhnya atau tidak oleh guru dan siswa selama proses pembelajaran berlangsung.
(33)
(34)
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang sudah dilaksanakan di salah satu SMA Negeri di kota Bandung kelas X semester II mengenai penerapan model pembangkit argumen berbasis metode investigasi sains untuk meningkatkan kemampuan berargumentasi siswa SMA pada materi kalor, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Kemampuan berargumentasi siswa mengalami peningkatan setelah diterapkan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains pada materi kalor. Hal ini diindikasikan dengan perolehan skor rata-rata gain yang dinormalisasi (<g>) sebesar 0,46 dengan kategori sedang. 2. Setiap aspek kemampuan berargumentasi siswa mengalami peningkatan
setelah diterapkan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains pada materi kalor. Semua peningkatan aspek argumentasi tersebut berada pada kategori sedang.
B. Saran
1. Pada penelitian ini kemampuan berargumentasi yang dilatihkan kepada siswa hanya kemampuan siswa untuk membuat klaim, kemampuan memberikan data untuk mendukung klaim, kemampuan memberikan pembenaran, dan kemampuan memberikan dukungan. Akan tetapi, siswa tidak dilatihkan kemampuan untuk menolak atau menyanggah klaim orang lain (rebuttal) sehingga siswa tidak dilatih untuk membuat argumen sanggahan (counter argument). Oleh karena itu perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kemampuan siswa dalam membuat argumen sanggahan.
(35)
2. Dalam penelitian ini, kemampuan berargumentasi siswa mengalami peningkatan. Hal itu didasarkan pada nilai tes akhir siswa lebih tinggi daripada nilai tes awal siswa. Meskipun secara umum terjadi peningkatan, akan tetapi kualitas argumen yang dimiliki siswa tidak dikaji dalam penelitian ini. Oleh karena itu perlu penelitian lebih lanjut untuk menilai kualitas argumentasi siswa.
3. Pada sesi argumentasi kegiatan siswa sangat tidak kondusif untuk melakukan diskusi, hampir semua siswa bertanya baik itu tentang konten yang harus ditulis di poster atau tentang pertanyaan di LKS. Berdasarkan hal itu, penulis menyadari bahwa ada suatu tahapan lagi yang perlu ditambahkan dalam pembelajaran, karena memang proses ini memerlukan alokasi waktu tersendiri. Tahapan pembelajaran tersebut yaitu tahap pengkondisian diskusi yang dilaksanakan setelah tahap investigasi sains dan sebelum sesi argumentasi. Pada tahap ini semua pertanyaan siswa baik itu tentang konten poster maupun tentang LKS harus dibahas secara terpusat oleh guru, sehingga pada sesi argumentasi siswa bisa fokus terhadap kegiatan diskusi kelompok, sehingga kualitas argumen yang ditulis siswa menjadi lebih baik.
(36)
DAFTAR PUSTAKA
Acar, O., Patton, B.R. (2012). Argumentation and formal reasoning skills in an argumentation based guided inquiry course. Procedia - Social and Behavioral Sciences 46 ( 2012 ) 4756 – 4760.
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, S. (2013). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Beck, U. (1992). Risk society: towards a new modernity. London: Sage.
Departemen Pendidikan Nasional (2006). Kurikulum 2006 Mata Pelajaran IPA SMA/MA. Jakarta: depdiknas.
Driver et all. (2000). Establishing the Norms of Scientific Argumentation in Classroom. Science Education, 85 (3), 287-312
Erduran, Sibel. (2007). Methodological Foundations in the Study of Argumentation in Science Classrooms. STOA,3.
Erduran, S., & Jimenez-Aleixandre, M.P. (2008). Argumenation in Science Education. Florida State University-USA: Spinger.
Firdaus, M.R. (2012). Hakikat Sains. [Online]. Tersedia di:
http://www.mrifqifirdauspgsdipa.blogspot.com/2012/09/hakikat-sains.html?m=1. Diakses 11 September 2014
Gardner, H. (1999). The dicipline mind: What all students should understand. New York: Simon & Schuster Inc.
Giddens, A. (1999) The Reith Lectures: Risk. London: BBC.
Grooms, J.A. (2011). Using argument-driven inquiry to enhance students’ argument sophistication when supporting a stance in the context of socioscientific issues. (Disertasi). The Florida State University College Of Education.
(37)
Hake, R. R. (1998). Interactive Engagement Methods In Introductory
Mechanics Courses. [online] Tersedia :
http://www.physics.indiana.edu/~sdi/IEM-2b.pdf [3 Maret 2014]
Kelly, G. J., & Bazerman, C. (2003). How Student Argue Scientific Claim: A Rhetorical-Semantic Analysis. University of California: Oxford University Press.
Kelly, G. J., & Takao, A. (2002). Epistemic levels in argumen: An
analysis of university oceanography students’ use of evidence in
writing. Science Education, 86, 314-342.
Kuhn, D. (1993). Science as argument: Implications for teaching and learning scientific thinking. Science Education, 77(3), 319-337. Kuhn, D. (2009). Teaching and Learning Science as Argument. Wiley
Online Library. 10(1002).
McNeill, K. L., Lizotte, D. J., & Krajcik, J. (2006). Supporting students’ construction of scientific explanations by fading scaffolds in instructional materials. The Journal of the Learning Sciences, 15(2), 153-191.
Millar, R. and Osborne, J. F. ed. (1998). Beyond 2000: Science education for the future. London: King’s College London.
Muslim. (2013). Penerapan Model Pembangkit Argumen Berbasis Investigasi Sains Dalam Pembelajaran Fisika Untuk Meningkatkan Kemampuan Argumentasi Siswa SMA. Laporan Akhir Hibah Penelitian Dalam Rangka Implementasi Program DIA bermutu BACH III. Universitas Pendidikan Indonesia: tidak diterbitkan.
Norris, S., Philips, L. & Osborne, J. (2007). Scientific inquiry: the place of interpretation and argumenation. In J. Luft, R. Bell & J. Gess-Newsome (Eds.), Science as Inquiry in the Secondary Setting. Arlington, VA: NSTA Press
Osborne, J., Erduran, S., & Simon, S. (2001). Enhancing the quality of argumenation in school science. Journal of Research in Science Teaching, 82(301).
(38)
Osborne, J., Erduran, S., & Simon, S. (2004). Learning to teach Argumentation: Research And development in the science Classroom. Journal of Research in Science Teaching.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 54. (2013).
Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar Dan Menengah. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Quinn, V. (1997). Critical thinking in young minds. London: David Fulton.
Rachman, P. (2013). Hakikat IPA. [Online]. Tersedia di:
http://www.praditarachman.blogspot.com/2013/03/hakikat-ipa.html?m=1. Diakses 11 September 2014.
Rutherford, F.J. & Ahlgren, A. (1990). Science for All Americans. New York : Oxford University Press.
Sampson, V., Gerbino, F. (2010). Two Instructional Models That Teachers Can Use to Promote & Support Scientific Argumenation in the Biology Classroom The American Biology Teacher, 72(7), 427– 431.
Schen, M. S. (2007). Scientific reasoning skills development in the introductory biology courses for undergraduates. (Disertasi). The Ohio State University, Columbus.
Trend, R. (2009). Fostering Students’ Argumenation Skills in Geoscience Education. Journal of Geoscience Education. 57(4), 224-232 Wenning, C. J. (2006). A pramework for teaching the nature of science.
Journal of Physics Teacher Education Online. 3(3), 3-10. Available at: http://www . phy.ilstu. edu/ jpteo
Zohar, A., & Nemet, F. (2002). Fostering students’ knowledge and
argumenation skills through dilemmas in human genetics.
(1)
(2)
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang sudah dilaksanakan di salah satu SMA Negeri di kota Bandung kelas X semester II mengenai penerapan model pembangkit argumen berbasis metode investigasi sains untuk meningkatkan kemampuan berargumentasi siswa SMA pada materi kalor, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Kemampuan berargumentasi siswa mengalami peningkatan setelah diterapkan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains pada materi kalor. Hal ini diindikasikan dengan perolehan skor rata-rata gain yang dinormalisasi (<g>) sebesar 0,46 dengan kategori sedang. 2. Setiap aspek kemampuan berargumentasi siswa mengalami peningkatan
setelah diterapkan model pembangkit argumen dengan metode investigasi sains pada materi kalor. Semua peningkatan aspek argumentasi tersebut berada pada kategori sedang.
B. Saran
1. Pada penelitian ini kemampuan berargumentasi yang dilatihkan kepada siswa hanya kemampuan siswa untuk membuat klaim, kemampuan memberikan data untuk mendukung klaim, kemampuan memberikan pembenaran, dan kemampuan memberikan dukungan. Akan tetapi, siswa tidak dilatihkan kemampuan untuk menolak atau menyanggah klaim orang lain (rebuttal) sehingga siswa tidak dilatih untuk membuat argumen sanggahan (counter argument). Oleh karena itu perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kemampuan siswa dalam membuat argumen sanggahan.
(3)
65
2. Dalam penelitian ini, kemampuan berargumentasi siswa mengalami peningkatan. Hal itu didasarkan pada nilai tes akhir siswa lebih tinggi daripada nilai tes awal siswa. Meskipun secara umum terjadi peningkatan, akan tetapi kualitas argumen yang dimiliki siswa tidak dikaji dalam penelitian ini. Oleh karena itu perlu penelitian lebih lanjut untuk menilai kualitas argumentasi siswa.
3. Pada sesi argumentasi kegiatan siswa sangat tidak kondusif untuk melakukan diskusi, hampir semua siswa bertanya baik itu tentang konten yang harus ditulis di poster atau tentang pertanyaan di LKS. Berdasarkan hal itu, penulis menyadari bahwa ada suatu tahapan lagi yang perlu ditambahkan dalam pembelajaran, karena memang proses ini memerlukan alokasi waktu tersendiri. Tahapan pembelajaran tersebut yaitu tahap pengkondisian diskusi yang dilaksanakan setelah tahap investigasi sains dan sebelum sesi argumentasi. Pada tahap ini semua pertanyaan siswa baik itu tentang konten poster maupun tentang LKS harus dibahas secara terpusat oleh guru, sehingga pada sesi argumentasi siswa bisa fokus terhadap kegiatan diskusi kelompok, sehingga kualitas argumen yang ditulis siswa menjadi lebih baik.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Acar, O., Patton, B.R. (2012). Argumentation and formal reasoning skills in an argumentation based guided inquiry course. Procedia - Social and Behavioral Sciences 46 ( 2012 ) 4756 – 4760.
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, S. (2013). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Beck, U. (1992). Risk society: towards a new modernity. London: Sage. Departemen Pendidikan Nasional (2006). Kurikulum 2006 Mata Pelajaran
IPA SMA/MA. Jakarta: depdiknas.
Driver et all. (2000). Establishing the Norms of Scientific Argumentation in Classroom. Science Education, 85 (3), 287-312
Erduran, Sibel. (2007). Methodological Foundations in the Study of Argumentation in Science Classrooms. STOA,3.
Erduran, S., & Jimenez-Aleixandre, M.P. (2008). Argumenation in Science Education. Florida State University-USA: Spinger.
Firdaus, M.R. (2012). Hakikat Sains. [Online]. Tersedia di: http://www.mrifqifirdauspgsdipa.blogspot.com/2012/09/hakikat-sains.html?m=1. Diakses 11 September 2014
Gardner, H. (1999). The dicipline mind: What all students should understand. New York: Simon & Schuster Inc.
Giddens, A. (1999) The Reith Lectures: Risk. London: BBC.
Grooms, J.A. (2011). Using argument-driven inquiry to enhance students’ argument sophistication when supporting a stance in the context of socioscientific issues. (Disertasi). The Florida State University College Of Education.
(5)
67
Hake, R. R. (1998). Interactive Engagement Methods In Introductory
Mechanics Courses. [online] Tersedia :
http://www.physics.indiana.edu/~sdi/IEM-2b.pdf [3 Maret 2014]
Kelly, G. J., & Bazerman, C. (2003). How Student Argue Scientific Claim: A Rhetorical-Semantic Analysis. University of California: Oxford University Press.
Kelly, G. J., & Takao, A. (2002). Epistemic levels in argumen: An
analysis of university oceanography students’ use of evidence in
writing. Science Education, 86, 314-342.
Kuhn, D. (1993). Science as argument: Implications for teaching and learning scientific thinking. Science Education, 77(3), 319-337. Kuhn, D. (2009). Teaching and Learning Science as Argument. Wiley
Online Library. 10(1002).
McNeill, K. L., Lizotte, D. J., & Krajcik, J. (2006). Supporting students’ construction of scientific explanations by fading scaffolds in instructional materials. The Journal of the Learning Sciences, 15(2), 153-191.
Millar, R. and Osborne, J. F. ed. (1998). Beyond 2000: Science education for the future. London: King’s College London.
Muslim. (2013). Penerapan Model Pembangkit Argumen Berbasis
Investigasi Sains Dalam Pembelajaran Fisika Untuk
Meningkatkan Kemampuan Argumentasi Siswa SMA. Laporan Akhir Hibah Penelitian Dalam Rangka Implementasi Program DIA bermutu BACH III. Universitas Pendidikan Indonesia: tidak diterbitkan.
Norris, S., Philips, L. & Osborne, J. (2007). Scientific inquiry: the place of interpretation and argumenation. In J. Luft, R. Bell & J. Gess-Newsome (Eds.), Science as Inquiry in the Secondary Setting. Arlington, VA: NSTA Press
Osborne, J., Erduran, S., & Simon, S. (2001). Enhancing the quality of argumenation in school science. Journal of Research in Science Teaching, 82(301).
(6)
Osborne, J., Erduran, S., & Simon, S. (2004). Learning to teach Argumentation: Research And development in the science Classroom. Journal of Research in Science Teaching.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 54. (2013). Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar Dan Menengah. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Quinn, V. (1997). Critical thinking in young minds. London: David Fulton.
Rachman, P. (2013). Hakikat IPA. [Online]. Tersedia di:
http://www.praditarachman.blogspot.com/2013/03/hakikat-ipa.html?m=1. Diakses 11 September 2014.
Rutherford, F.J. & Ahlgren, A. (1990). Science for All Americans. New York : Oxford University Press.
Sampson, V., Gerbino, F. (2010). Two Instructional Models That Teachers Can Use to Promote & Support Scientific Argumenation in the Biology Classroom The American Biology Teacher, 72(7), 427– 431.
Schen, M. S. (2007). Scientific reasoning skills development in the introductory biology courses for undergraduates. (Disertasi). The Ohio State University, Columbus.
Trend, R. (2009). Fostering Students’ Argumenation Skills in Geoscience Education. Journal of Geoscience Education. 57(4), 224-232 Wenning, C. J. (2006). A pramework for teaching the nature of science.
Journal of Physics Teacher Education Online. 3(3), 3-10. Available at: http://www . phy.ilstu. edu/ jpteo
Zohar, A., & Nemet, F. (2002). Fostering students’ knowledge and
argumenation skills through dilemmas in human genetics. Journal of Research in Science Teaching, 39(1), 35-62.