KOMUNIKASI ANTARA BUDAYA KOREA DAN INDON

KOMUNIKASI ANTARA BUDAYA KOREA DAN INDONESIA:
Kajian tentang Perilaku Masyarakat Korea dan Jawa
Kim Geung Seob
Pusat Studi Korea UGM
I. Pendahuluan
Komunikasi antarbudaya terjadi ketika dua atau lebih orang dengan latar belakang budaya yang berbeda berinteraksi. Proses ini jarang berjalan dengan lancar
dan tanpa masalah. Dalam kebanyakan situasi, para pelaku interaksi antarbudaya
tidak menggunakan bahasa yang sama, tetapi bahasa dapat dipelajari dan masalah
komunikasi yang lebih besar terjadi dalam area baik verbal maupun nonverbal.
Khususnya, komunikasi nonverbal sangat rumit, multidimensional, dan biasanya
merupakan proses yang spontan. Orang-orang tidak sadar akan sebagian besar perilaku nonverbalnya sendiri, yang dilakukan tanpa berpikir, spontan, dan tidak sadar
(Samovar, Larry A. dan Richard E. Porter, 1994). Kita biasanya tidak menyadari
perilaku kita sendiri, maka sangat sulit untuk menandai dan menguasai baik perilaku
verbal maupun perilaku nonverbal dalam budaya lain. Kadang-kadang kita merasa
tidak nyaman dalam budaya lain karena kita merasa bahwa ada sesuatu yang salah.
Khususnya, perilaku nonverbal jarang menjadi fenomena yang disadari, dapat sangat
sulit bagi kita untuk mengetahui dengan pasti mengapa kita merasa tidak nyaman.
Pentingnya komunikasi antarbudaya dikarenakan interaksi sosial keseharian
kita itu adalah sesuatu yang tak dapat ditolak. Di dalam percakapan biasa antara dua
orang terjadi sekitar 35% komponen verbal sedangkan 65% lagi terjadi dalam
komponen nonverbal (Ray L. Birdwhistell, 1969). Namun demikian, studi sistematis

tentang komuniksi nonverbal telah lama diabaikan. Studi komunikasi secara
1

tradisional menekankan pada penggunaan bahasa itu sendiri tanpa mencakup
bentuk-bentuk komuniksi yang lain. Sepertinya telah ada semacam praduga yang
tidak beralasan mengenai bidang tersebut. Misalnya, kebanyakan program-program
pengajaran bahasa asing sering mengabaikan perilaku komunikasi nonverbal.
Dewasa ini, pengetahuan mengenai kebudayaan-kebudayaan asing, baik itu
melalui kontak langsung maupun tidak langsung melalui media massa merupakan
pengalaman umum yang semakin banyak. Namun demikian, ketidaktahuan umum
akan adanya perbedaan-perbedaan antara perilaku komunikasi nonverbal mereka
sendiri dengan perilaku nonverbal kebudayaan asing telah membaut orang awam
berpikiran bahwa gerakan-gerakan tangan dan ekspresi wajah adalah sesuatu yang
universal.
Pada kenyataannya, hanya sedikit saja yang mempunyai makna universal
khususnya adalah tertawa, tersenyum, tanda marah, dan menangis. Karena itulah,
orang cenderung beranggapan bahwa bila mereka berada dalam suatu kebudayaan
yang berbeda di mana mereka tidak mengerti bahasanya mereka mengira bisa aman
dengan sekedar mengetahui gerakan-gerakan manual. Namun karena manusia
memiliki pengalaman hidup yang berbeda di dalam kebudayaan yang berbeda, ia

akan menginterpretasikan secara berbeda pula tanda-tanda dan simbol-simbol yang
sama (Bennet, Milton J., 1998).
Tujuan kajian tentang komunikasi antarbudaya antara Indonesia dan Korea
ini adalah untuk mengemukakan hal-hal yang terdapat dalam kehidupan masyarakat
di Indonesia dan Korea. Makalah ini tidak hanya menekankan bagaimana orang
Indonesia dan Korea berbeda dalam berbicara, tetapi bagaimana mereka bertindak
antarorang dan bagaimana mereka mengikuti aturan-aturan terselubung yang
mengatur perilaku anggota masyarakat.
2. Dimensi Ragam Budaya
2

Telah dikenal ribuan anekdot mengenai kesalahpahaman akibat komunikasi
antarbudaya antara orang-orang dari budaya yang berbeda-beda. Karena besarnya
jumlah pasangan budaya, dan karena kemungkinan kesalahpahaman berdasarkan
bentuk verbal maupun perilaku nonverbal antara tiap pasangan budaya sama
besarnya, maka terdapat banyak anekdot mengenai hal-hal tentang antarbudaya yang
mungkin dibuat. Yang diperlukan adalah cara untuk mengatur dan memahami
banyaknya masalah yang mungkin timbul dalam komunikasi antarbudaya. Sebagian
besar perbedaan dalam komunikasi antarbudaya merupakan hasil dari keragaman
dalam dimensi-dimensi berikut ini.

2.1 Keakraban dan Kebebasan Mengungkapkan Perasaan
Tindakan

keakraban

merupakan

tindakan

yang

secara

simultan

mengungkapkan kehangatan, kedekatan, dan kesiapan untuk berkomunikasi.
Tindakan-tindakan itu lebih menandai pendekatan daripada penghindaran dan
kedekatan daripada jarak. Contoh tindakan keakraban misalnya senyuman, sentuhan,
kontak mata, jarak yang dekat, dan animasi suara. Budaya yang menunjukkan
kedekatan atau spontanitas antarpersonal yang besar dinamakan “budaya kontak”

karena orang-orang dalam negara-negara ini biasa berdiri berdekatan dan sering
bersentuhan. Orang-orang dalam budaya kontak yang rendah cenderung berdiri
berjauhan dan jarang bersentuhan.
Sangat menarik bahwa budaya kontak tinggi biasanya terdapat di negaranegara hangat dan budaya kontak rendah terdapat di negara-negara beriklim sejuk.
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa yang termasuk mempunyai budaya
kontak adalah negara-negara Arab, Perancis, Yunani, Itali, Eropa Timur, Rusia, dan
Indonesia. Negara-negara dengan budaya kontak rendah misalnya Jerman, Inggris,
Jepang, dan Korea (Samovar, Larry A., Richard E. Porter and Lisa A. Stefani, 1998).
3

Jelas

bahwa

budaya

di

iklim


dingin

cenderung

berorientasi

hubungan

antarpersonalnya ‘dingin’, sedangkan budaya di iklim hangat cenderung berorientasi
antarpersonal dan ‘hangat’. Bahkan, orang-orang di daerah hangat cenderung
menunjukkan kontak fisik lebih banyak daripada orang-orang yang tinggal di daerah
dingin.
2.2 Individualisme dan Kolektivisme
Salah satu dimensi paling fundamental yang membedakan budaya adalah
tingkat individualisme dan kolektivisme. Dimensi ini menentukan bagaimana orang
hidup bersama, dan nilai-nilai mereka, dan bagaimana mereka berkomunikasi.
Kajiannya tentang individualisme dalam lima puluh tiga negara, negara yang paling
individualistik secara berurutan adalah Amerika, Australia, Inggris, Kanada, dan
Belanda yang semuanya negara Barat atau Eropa. Negara yang paling rendah tingkat
individualismenya adalah Venezuela, Kolombia, Pakistan, Peru, dan Taiwan yang

semuanya budaya Timur atau Amerika Selatan. Korea berurutan ke-43 dan
Indonesia berurutan ke-47. Tingkat yang menentukan suatu budaya itu
individualistik atau kolektivistik mempunyai dampak pada perilaku nonverbal
budaya tersebut dalam berbagai cara. Orang-orang dari budaya individualistik relatif
kurang bersahabat dan membentuk jarak yang jauh dengan orang lain. Budayabudaya kolektivistik saling tergantung, dan akibatnya mereka bekerja, bermain,
tidur, dan tinggal berdekatan dalam keluarga besar atau suku. Masyarakat industri
perkotaan kembali ke norma individualisme, keluarga inti, dan kurang dekat dengan
tetangga, teman, dan rekan kerja mereka (Hofstede, Geert, 1980).
Orang-orang dalam budaya individualistik juga lebih sering tersenyum
daripada orang-orang dalam budaya yang cenderung ketimuran. Keadaan ini
mungkin

dapat

dijelaskan

dengan

kenyataan


bahwa

para

individualis
4

bertanggungjawab atas hubungan mereka dengan orang lain dan kebahagiaan
mereka sendiri, sedangkan orang-orang yang berorientasi kolektif menganggap
kepatuhan pada norma-norma sebagai nilai utama dan kebahagiaan pribadi atau
antarpersonal sebagai nilai kedua. Secara serupa, orang-orang dalam budaya kolektif
dapat menekan penunjukan emosi baik yang positif maupun yang negatif yang
bertentangan dengan keadaan dalam kelompok karena menjaga keutuhan kelompok
merupakan nilai utama. Orang-orang dalam budaya individualistik didorong untuk
mengungkapkan emosi karena kebebasan pribadi dihargai paling tinggi. Penelitian
mengenai hal tersebut mengungkapkan bahwa orang-orang dalam budaya
individualistik lebih akrab secara nonverbal daripada orang-orang dalam budaya
kolektif.
2.3 Feminin dan Maskulin
Maskulinitas adalah dimensi budaya yang sering terlupakan. Ciri-ciri khas

maskulin biasanya disangkutpautkan dengan kekuatan, ketegasan, persaingan, dan
ambisi, sedangkan ciri-ciri khas feminin dihubungkan dengan kasih sayang,
pengasuhan, dan emosi. Penelitian antarbudaya menunjukkan bahwa anak
perempuan diharapkan lebih dapat mengasuh daripada anak laki-laki walaupun ada
variasi yang cukup banyak dari negara yang satu dengan yang lain (Hall, Edward T.,
1976).
Budaya maskulin menganggap penting kompetisi dan ketegasan, sedangkan
budaya feminin lebih mementingkan pengasuhan dan perasaan. Tidak heran,
maskulinitas suatu budaya dihubungkan secara negatif dengan persentase wanita
dalam pekerjaan teknis dan profesional serta dihubungkan secara positif dengan
pemisahan kedua jenis kelamin dalam pendidikan tinggi. Negara dengan
maskulinitas tertinggi adalah Jepang, Austria, Venezuela, Itali, dan Swiss. Kecuali
5

Jepang, negara-negara ini semuanya terletak di Eropa Tengah dan Karibia. Negara
dengan nilai maskulinitas terendah adalah Swedia, Norwegia, Belanda, Denmark,
dan Finlandia yang semuanya negara Skandinavia atau Amerika Selatan kecuali
Thailand. Indonesia ditempatkan di urutan ke-30 dan Korea di urutan ke-41.
2.4 Kesenjangan Kekuasaan
Dimensi fundamental keempat dalam komunikasi antarbudaya adalah

kesenjangan kekuasaan. Kesenjangan kekuasaan telah diukur dalam banyak budaya
menggunakan Indeks Kesenjangan Kekuasaan (IKK). Budaya dengan nilai IKK
tinggi mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang lebih terpusat dalam tangan sedikit
orang daripada terbagi dengan cukup merata di seluruh penduduk. IKK sangat
berkaitan dengan otoritarianisme. Negara dengan IKK tertinggi adalah Filipina,
Meksiko, Venezuela, India, dan Singapura. Negara-negara tersebut semuanya
negara-negara Asia Selatan atau Karibia, kecuali Perancis. Negara dengan IKK
terendah (mulai dari yang paling rendah) adalah Austria, Israel, Denmark, Selandia
Baru, dan Irlandia. Dalam hal ini, Indonesia terletak di tingkat ke-8 yang sangat
tinggi dan Korea berurutan ke-27. Sistem sosial dengan perbedaan kekuasaan juga
menghasilkan perilaku kinesik yang berbeda. Dalam keadaan beda kekuasaan,
bawahan sering tersenyum dalam usaha untuk tampak sopan dan menenangkan
atasan. Hofstede (1980) menyatakan bahwa garis lintang dan iklim merupakan
kekuatan utama dalam membentuk budaya. Dia menekankan bahwa kunci yang
mempengaruhi variabel yaitu bahwa teknologi diperlukan bagi pertahanan hidup di
iklim yang lebih dingin. Kebutuhan ini menimbulkan rangkaian kejadian di mana
anak-anak tidak terlalu tergantung pada penguasa dan lebih banyak belajar dari
orang lain daripada tokoh-tokoh penguasa.

6


Kebudayaan yang sangat menjunjung tinggi kesenjangan kekuatan besar
selalu menekankan nilai ketidakseimbangan atas status-status individu (Alo Liliweri,
2001). Senyum yang terus menerus yang dilakukan orang-orang Timur mungkin
merupakan usaha untuk menenangkan atasan atau menghasilkan hubungan sosial
yang lebih mulus mungkin berhasil dinaikkan jabatannya dalam budaya ber-IKK
tinggi.
2.5 Konteks Tinggi dan Rendah
Dimensi penting terakhir dari komunikasi antarbudaya adalah konteks. Hall
(1976:91) menggambarkan budaya konteks tinggi dan rendah yang cukup mendetil.
Komunikasi atau pesan konteks tinggi (KT) adalah suatu komunikasi di mana
sebagian besar informasinya dalam konteks fisik atau ditanamkan dalam seseorang,
sedangkan sangat sedikit informasi dalam bagian-bagian pesan yang “diatur,
eksplisit, dan disampaikan”. Teman yang sudah lama saling kenal sering
menggunakan KT atau pesan-pesan implisit yang hampir tidak mungkin untuk
dimengerti oleh orang luar. Situasi, senyuman, atau lirikan memberikan arti implisit
yang tidak perlu diucapkan. Dalam situasi atau budaya KT, informasi merupakan
gabungan dari lingkungan, konteks, situasi, dan dari petunjuk nonverbal yang
memberikan arti pada pesan itu yang tidak bisa didapatkan dalam ucapan verbal
eksplisit. Pesan konteks rendah (KR) hanyalah merupakan kebalikan dari pesan KT,

sebagian besar informasi disampaikan dalam bentuk kode eksplisit. Pesan-pesan KR
harus diatur, dikomunikasikan dengan jelas, dan sangat spesifik. Tidak seperti
hubungan pribadi, yang relatif termasuk sistem pesan KT, institusi seperti
pengadilan dan sistem formal seperti matematika atau bahasa komputer menuntut
sistem KR yang eksplisit karena tidak ada yang bisa diterima begitu saja.

7

Budaya konteks yang ditemukan di Timur, Cina, Jepang, dan Korea merupakan budaya-budaya berkonteks sangat tinggi. Bahasa merupakan sebagian dari
sistem komunikasi yang paling eksplisit, namun bahasa Cina merupakan sistem
konteks tinggi yang implisit. Orang-orang dari Amerika sering mengeluh bahwa
orang Jepang tidak pernah bicara langsung ke pokok permasalahan, mereka gagal
dalam memahami bahwa budaya KT harus memberikan konteks dan latar dan
membiarkan pokok masalah itu berkembang (Hall, Edward T., 1984).
Komunikasi jelas sangat berbeda dalam budaya KT dan KR. Pertama,
bentuk komunikasi eksplisit seperti kode-kode verbal lebih tampak dalam budaya
KR seperti Amerika dan Eropa Utara. Orang-orang dari budaya KR sering dianggap
terlalu cerewet, mengulang-ulang hal yang sudah jelas, dan berlebih-lebihan. Orangorang dari budaya KT mungkin dianggap tidak terus terang, tidak terbuka, dan
misterius. Kedua, budaya KT tidak menghargai komunikasi verbal seperti budaya
KR. Orang-orang yang lebih banyak bicara dianggap lebih menarik oleh orang
Amerika, tetapi orang yang kurang banyak bicara dianggap lebih menarik di Korea
seperti suatu budaya berkonteks tinggi. Ketiga, budaya KT lebih banyak
menggunakan komunikasi nonverbal dari pada budaya-budaya KR. Budaya KR, dan
khususnya kaum pria dalam budaya KR, tidak dapat merasakan komunikasi
nonverbal sebaik anggota budaya KT. Komunikasi nonverbal memberikan konteks
untuk semua komunikasi, tetapi orang-orang dari budaya KT sangat dipengaruhi
isyarat-isyarat kontekstual. Dengan demikian, ekspresi wajah, ketegangan, tindakan,
kecepatan interaksi, tempat interaksi, dan pernak-pernik perilaku nonverbal lainnya
dapat dirasakan dan mempunyai lebih banyak makna bagi orang-orang dari budaya
konteks tinggi. Terakhir, orang-orang dari budaya KT mengharapkan lebih banyak
komunikasi nonverbal dibandingkan pelaku interaksi dari budaya KR. Orang-orang
dari budaya KT mengharapkan para komunikator untuk memahami perasaan yang
8

tidak diungkapkan, isyarat-isyarat yang halus, dan isyarat-isyarat lingkungan yang
tidak dihiraukan oleh orang-orang dari budaya KR.
3. Struktur Sosial dan Nilai Masyarakat Korea dan Indonesia
Korea dalam sepanjang sejarahnya sangat penting artinya dari sudut strategi.
Hal tersebut dikarenakan semenanjung Korea itu terletak di tengah tiga negara besar
yaitu Jepang, Cina, dan Rusia. Selain itu, sampai akhir masa abad ke-19
semenanjung Korea sudah lama menjadi jembatan penghubung antara kebudayaan,
politik, sosial, dan ekonomi dari daratan Cina dengan kepulauan Jepang. Letak
geopolitik kerajaan Korea sebagai sebuah semenanjung yang berfungsi sebagai
jembatan penghubung itu telah memberikan keuntungan dan kerugian. Di satu sisi
kerajaan Korea dapat dengan mudah menyerap seni budaya dari negara tetangga,
tetapi sebaliknya senantiasa menjadi sasaran dari negara-negara tetangga yang
agresif
Salah satu yang berhasil diserap Korea adalah ajaran konfusianisme. Ajaran
konfusianisme yang berasal dari Cina ini disampaikan ke Jepang melalui
semenanjung Korea. Namun, anehnya justru ajaran konfusianisme ini tidak
berkembang di Cina, namun sangat berkembang di Korea dan Jepang. Ajaran
konfusianisme ini diajarkan oleh seorang bijak dari Cina, yang bernama Kong Zui.
Beliau mengajarkan sistem etika moral yang ideal dengan membangun hubungan
dalam keluarga dan negara dalam kesatuan yang harmonis. Kong Zui yang
diperkirakan hidup pada abad 6 Sebelum Masehi mengungkapkan hubungan
tersebut pada dasarnya adalah sebuah sistem subordinasi dari hubungan:
1. Ayah dan anak (orang tua dan anak)
2. Yang tua dan yang muda
3. Suami dan istri
9

4. Pertemanan
5. Penguasa dan Masyarakat
Ajaran konfusianisme sangat menitikberatkan kesetiaan kepada raja dan
kerajaan (negara), moral, dan pembaktian kepada orang tua. Di samping itu
menekankan pada perbuatan yang sepatutnya dilakukan dalam kehidupan seharihari, seperti cara bermasyarakat dan cara mendidik. Bahkan, untuk tata cara
bermasyarakat yang sangat tinggi. Masyarakat (bangsa) Cina memberi gelar
masyarakat Korea dengan sebutan the country of eastern decorum atau orang ramah
dari timur. Hal tersebut berkat ajaran konfusianisme yang merasuk kuat dalam tata
nilai yang ada dalam masyarakat Korea.
Salah satu negara yang juga terkenal keramahannya adalah Indonesia,
khususnya suku Jawa. Masyarakat Jawa sangat terkenal dengan tutur bahasanya
yang lembut dan penuh sopan santun. Meskipun ada sebagian yang berasal dari
Jawa Timur yang dipandang “kurang memenuhi syarat“ sebagai orang Jawa, namun
suku Jawa tetap merupakan suku yang terkenal dengan keramahannya karena
biasanya yang dipandang orang Jawa adalah orang Jawa yang bertempat tinggal di
bagian tengah Jawa (Jawa Tengah - Surakarta) dan Jogjakarta. Ada begitu banyak
kesamaan dalam tata nilai masyarakat, di antaranya selalu menempatkan orang lain
sesuai dengan usianya, kedudukan sosial/strata sosialnya, atau dengan kata lain pola
hubungan yang berlaku lebih cenderung vertikal daripada horizontal. Di samping
itu, masyarakat konfusianis Korea dan masyarakat Jawa sangat mementingkan
kekeluargaan. Walaupun dalam keadaaan tidak mampu, mereka tidak dapat
melupakan rasa bakti mereka terhadap orang tua. Baik di saat orang tua hidup
maupun ketika sudah meninggal. Begitu dekatnya hubungan kekerabatan sampai ada
peribahasa Jawa yang menyatakan mangan ora mangan ngumpul yang berarti susah

10

senang ditanggung bersama. Yang dipentingkan di sini adalah rasa kebersamaan
dalam menghadapi segala persoalan hidup.
Namun demikian, ada kesamaan nilai-nilai yang sekarang dipandang tidak
menghargai harkat

perempuan, yaitu hubungan keluarga pada masyarakat

konfusianis Korea lebih berarti daripada hubungan suami istri. Dapat dikatakan
bahwa suami lebih mendengar perkataan ibunya daripada istrinya sendiri. Bahkan
ada peribahasa Korea yang khusus menyatakan hal tersebut adalah darah lebih
kental daripada air. Jadi, untuk masyarakat Konfusianis Korea, istri masih dianggap
sebagai orang lain. Begitupun masyarakat Jawa menganggap istri hanya sebagai
kanca wingking atau teman belakang, sedangkan perbedaan nilai-nilai di antara
masyarakat Konfusianis Korea dan masyarakat Jawa, yaitu:
1. Hubungan kekerabatan hanya dihitung dari garis ayah. Hal ini tidak terdapat
dalam masyarakat Jawa, karena hubungan kekerabatan masyarakat Jawa
dihitung dari pihak maternal dan paternal, atau dengan kata lain bersifat
bilateral descend. Sedangkan hubungan kekerabatan masyarakat Korea bersifat
paternal, dan begitu kuatnya prinsip konfusianisme ini sampai tercermin dalam
“prefiks” bahasa Korea.
2. Pernikahan/perkawinan diperbolehkan hanya bila di luar klan darahnya.
Masyarakat Jawa tidak mengenal klan seperti Korea. Namun pada masyarakat
Jawa kuno, perkawinan justru diharapkan terjadi di antara kerabat jauh mereka.
Hal tersebut dimaksudkan untuk mengumpulkan “tulang” yang tercerai berai
agar utuh kembali.
3. Pernikahan diadakan sebagai perpanjangan dari keluarga yang ada. Prinsip
ini biasanya merupakan salah satu tujuan dari pernikahan selain membentuk
keluarga baru. Namun, pada masyarakat konfusianis Korea lama atau kuno
secara tegas berprinsip bahwa kehadiran suatu pernikahan hanya untuk satu
11

tujuan pokok, yaitu mempersembahkan anak lelaki sebagai penerus keluarga.
Bahkan hal tersebut dijadikan dosa utama dalam ajaran konfusius, bila tidak
melahirkan anak lelaki bagi suami dan keluarga suami. Pada masyarakat Jawa
tidak ada ketentuan tentang hal ini karena masyarakat Jawa tidak mengenal
marga atau klan seperti masyarakat konfusius Korea, namun memang sangat
dihargai bila “si sulung” merupakan anak laki-laki, yang nantinya diharapkan
mampu mengangkat harkat dan martabat keluarga.
4. Perceraian tidak hanya “dilakukan” oleh suami/isteri. Perceraian dapat
disebabkan beberapa macam, namun yang berbeda bagi masyarakat Jawa adalah
perceraian dapat “dilakukan” oleh selain suami/isteri. Yang dimaksudkan di sini
adalah inisiatif perceraian dapat diberikan oleh ayah suami, bahkan kakek suami
pada jaman Korea lama. Hal tersebut jarang terjadi pada masyarakat Jawa,
itupun karena pihak mertua laki-laki merupakan pihak “yang sok berkuasa” .
5. Adanya upaya adopsi bila tidak mempunyai penerus klan. Bila mendambakan
seorang anak laki-laki untuk meneruskan usaha keluarga, biasanya yang terjadi
pada masyarakat Jawa adalah “mengambil isteri baru”. Dengan adanya
pernikahan baru tersebut diharapkan “isteri muda” dapat dipersembahkan “sang
penerus keluarga”. Namun, berbeda dengan masyarakat Konfusius Korea yang
melakukan upaya adopsi untuk mencari penerus keluarga. Namun, adopsi yang
dilakukan pun berbeda, hanya dilakukan kepada saudara laki-laki yang terdekat
yang mempunyai anak laki-laki pada zaman Korea lama pula.
4. Sopan Santun dan Kebiasaan di Korea dan Jawa
Sopan santun merupakan jalan bagaimana seseorang dapat mendisiplinkan
diri mereka dan bagaimana dapat diterima dalam menjalin suatu hubungan. Di
Korea, rasa hormat dan sopan santun menjadi aspek penting dalam kehidupan. Di
12

Jawa kerukunan dan kehormatan menjadi aspek penting dalam pergaulan. Seseorang
diharapkan agar tidak memacu konflik dalam bersikap, dan dalam cara berbicara
serta membawa diri dituntut untuk selalu menunjukan sikap hormat terhadap orang
lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Orang Korea menjunjung tinggi
senioritas, sedangkan di Jawa lebih menekankan status. Baik di Korea maupun di
Jawa mengetahui secara rinci mengenai lawan bicara adalah hal yang wajar dalam
pembicaraan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui status lawan bicara dan
bagaimana kita bersikap. Menolak untuk memberi jawaban juga bukan merupakan
hal yang tidak sopan jika kita melakukannya dengan sikap sopan pula. Orang Korea
dan orang Jawa pada dasarnya adalah orang yang ramah. Akan tetapi, orang Korea
tidak begitu mudah mengekspresikan perasaan mereka dan sangat membatasi kontak
fisik. Ketika bertemu dengan seseorang, orang Korea hanya mengangguk secara
sopan atau berjabat tangan. Berjabat tangan dengan wanita bukanlah hal yang biasa
sedangkan di Jawa hal ini biasa terjadi. Akan tetapi, bila seseorang telah mengenal
orang Korea dengan dekat, rasa kekeluargaan akan lebih terasa, dan akan lebih
sering terjadi kontak fisik antarteman atau antarkenalan.
4.1 Sopan Santun di Muka Umum
Membuang ingus di tempat umum, adalah hal yang tidak sopan di Korea. Tetapi, bersendawa, masih bisa diterima. Di Jawa, baik membuang ingus maupun bersendawa di depan umum adalah hal yang tidak sopan. Di Korea, mendorong-dorong
dari belakang ketika berada di tempat ramai adalah hal yang biasa. Akan tetapi, bila
ini dilakukan di Jawa, kadang bisa menyulut keributan. Apabila seseorang
bermaksud untuk lewat atau terburu-buru, perlu untuk mengucapkan kata “Nuwun
sewu” atau “Permisi”.

13

Di Korea terdapat fenomena yang dianggap wajar jika laki-laki saling
berangkulan atau wanita saling bergandengan tangan. Hal ini merupakan ekspresi
keakraban atau bila melihat dua orang pria dewasa berjalan sambil berangkulan.
Adapun wanita yang berjalan bersama sambil bergandengan tangan adalah hal yang
biasa. Baik di Korea maupun di Jawa, bila ada sepasang kekasih berpelukan atau
berciuman di depan umum dianggap tidak sopan.
4.2 Sopan Santun di Meja Makan
Pada umumnya sopan santun di meja makan antara orang Jawa dan Korea
dapat dikatakan hampir sama. Ketika sedang makan, kita tidak boleh bercakap
terlalu banyak, tidak boleh mengunyah hingga menimbulkan suara, dan berusaha
jangan sampai ada makanan yang tercecer. Tunggulah orang yang lebih tua untuk
duduk terlebih dahulu, dan orang muda tidak boleh mendahului orang tua ketika
makan. Akan tetapi, di Jawa, tuan rumah biasanya mempersilahkan tamu untuk
memulai hidangan terlebih dahulu. Apalagi, jika tamu adalah orang yang lebih tua
atau dihormati.
Tidak seperti di Jepang dan Cina, negara tetangga Korea, yang menggunakan
sendok untuk makan nasi dan sup, dan sumpit hanya digunakan untuk mengambil
hidangan sampingan atau lauk pauk lainnya yang tersedia. Ketika makan, orang
Korea tidak mengangkat mangkuk tempat sup atau nasi seperti orang Jepang. Orang
Korea tidak mengayun-ayunkan sumpit, dan tidak menancapkan sendok atau sumpit
di atas nasi karena dianggap seperti memberi makan orang mati. Jika hal ini
dilakukan tamu, dianggap mempermalukan orang yang menjamunya. Bila selesai
makan, sendok dan sumpit diletakkan secara rapi di samping mangkuk, jika sendok
dan sumpit diletakkan di mangkuk nasi atau sup, dianggap belum selesai makan.
Orang Jawa makan dengan dua cara. Ada yang menggunakan sendok, dan ada pula
14

yang menggunakan tangan. Aturan makan dengan sendok sama seperti kebiasaan
orang barat, hanya saja peralatannya lebih sederhana, terbatas sendok nasi dan garpu
saja.
4.3 Kebiasaan yang Berhubungan dengan Senior
Baik orang Jawa maupun Korea, sangat menghormati orang tua. Kita tidak
boleh berbicara sambil membelakangi atau menatap mata mereka ketika berbicara,
karena hal ini tidak sopan. Bila menerima atau memberikan sesuatu kepada orang
tua, kita harus menggunakan kedua tangan kita. Di Korea, dalam hal berjabat
tangan, orang muda harus menunggu ajakan orang yang lebih tua, sedangkan di
Jawa kebalikannya, orang yang lebih mudalah yang mengajak berjabat tangan.
Kemudinan, orang Jawa bila berjalan di hadapan orang yang lebih tua akan
membungkukkan badan, sedangkan di Korea tidak perlu.
Saat minum, di Korea orang yang lebih muda harus memiringkan tubuhnya
ketika minum agar tidak dilihat secara langsung oleh orang yang lebih tua. Akan
tetapi, jika berhadapan dengan orang yang beda usianya tidak terlalu jauh, mereka
tidak perlu melakukannya, sedangkan di Jawa, hal ini tidak perlu dilakukan.
4.4 Kebiasaan Bertamu dan Mengundang
Saat berkunjung ke rumah orang Korea, pengunjung perlu untuk membuka
alas kaki dan sebaiknya tamu menggunakan kaos kaki atau stoking karena
bertelanjang kaki di hadapan orang tua dianggap tidak sopan. Di Korea juga terdapat
kebiasaan untuk membawa bingkisan bila berkunjung ke rumah seseorang. Di Jawa
juga ada kebiasaan melepas alas kaki bila berkunjung ke rumah seseorang, tetapi
bertelanjang kaki di hadapan orang tua tidak menjadi suatu masalah yang dianggap
serius.
15

Di Korea tidak ada kebiasaan “go Dutch” atau membayar sendiri-sendiri seperti di Jepang tetangganya. Apabila kita berada di Korea, kita harus siap untuk
menjamu atau dijamu. Akan tetapi, di sana ada kebiasaan bahwa orang yang lebih
tua yang akan menjamu yang lebih muda karena mereka merasa bertanggung jawab
kepada yang lebih muda dan merasa perlu untuk menjaga yang lebih muda. Di Jawa
juga tidak dikenal budaya “go Dutch”, yang mengundang atau yang mengajak
adalah yang berkewajiban untuk membayar atau menjamu.
4.5 Kebiasaan Lain
Di Korea, orang tidak menulis dengan tinta merah ketika memberikan
alamat, atau pesan kepada seseorang. Tinta merah memiliki arti kemarahan atau
ketidakramahan. Bagi orang Korea, angka 4 adalah angka sial. Angka ini berarti
“mati”. Oleh karena itu, bila kita mengundang tamu orang Korea, jangan memesan
kamar no 4 atau kamar yang berada di lantai 4. Bagi orang Jawa, tidak ada angka
sial, tetapi mungkin karena adanya pengaruh barat, ada orang Jawa yang
menganggap angka 13 sebagai angka sial. Akan tetapi, orang Jawa menganggap
hari-hari tertentu sebagai hari keramat, seperti Jumat dan Selasa Kliwon, serta
malam 1 Suro. 1 Suro dianggap sebagai hari para raja, karena itu biasanya pada harihari itu orang Jawa tidak mengadakan pesta pernikahan atau syukuran.
5. Perilaku Nonverbal Indonesia dan Korea
5.1 Bentuk Ekspresi
Metode hubungan sosial orang Indonesia dan Korea di mana orang berpurapura menyukai sesuatu walaupun jelek dan berpura-pura tidak menyukai sesuatu
walaupun bagus, tentunya mempunyai implikasi yang berbeda dengan metode orang
Amerika yang membedakan dan menganalisa semua hal di muka umum. Orang
16

Indonesia cenderung bergerak dari hal-hal yang khusus dan kecil ke hal-hal yang
umum dan lebih besar. Mereka mulai dari masalah-masalah pribadi dan lokal dan
berkembang ke masalah-masalah yang menyangkut negara dan bangsa. Namun
orang Korea cenderung melakukan sebaliknya. Mereka merasa lebih enak untuk
memulai dari bagian yang umum atau besar dan kemudian menyempit ke fakta-fakta
yang khusus. Orang Korea menulis alamat mulai dari nama negara, propinsi,
kabupaten, kota, nama jalan, dan akhirnya nomor rumah dan nama orang. Namun, di
Indonesia, mulai dari nama orang, nomor rumah, kota, dan akhirnya baru nama
negara. Dalam hal nama pun, orang Korea meletakkan nama keluarganya lebih dulu
dan baru diikuti namanya sendiri, sedangkan di Indonesia sebaliknya.
Adapun baik orang Indonesia maupun orang Korea menjawab “ya”, ini tidak
selalu berarti mengiyakan, tetapi hanya berarti “saya mengerti keadaanmu, silakan
lanjutkan ...”, tidak berarti persetujuan atau niat untuk menuruti si pembicara. Jika
seseorang menerima jawaban ‘ya’ dari anggota kedua masyarakat sebagai tanda
persetujuan, sering timbul kesalahpahaman, dan tampak bahwa orang itu belum
cukup mengerti pikiran lawan bicara. Ini sama halnya sewaktu seseorang
mengatakan “Anda tidak perlu melakukan ini” atau “Silahkan terima hadiah ini”
ketika ada orang lain yang membawakan hadiah atau benda berharga lainnya. Jika
dia menerima begitu saja hadiah itu, dia dianggap tidak sopan.
Selain itu, kedua msyarakat memiliki persamaan tentang cara berpikir yang
lebih cenderung ke emosional dibandingkan rasional. Orang Indonesia dan Korea
memecahkan masalah berdasarkan emosi. Ketika orang minta tolong pada orang
lain, hal itu menunjukkan bahwa orang yang dimintai tolong harus memecahkan
persoalan tersebut walaupun tanpa memperhitungkan akal sehat. Maksudnya,
walaupun orang yang minta tolong mengetahui bahwa hal itu tidak sah atau
bertentangan dengan aturan masyarakat, dia mengharapkan masalah atau kesulitan
17

itu bisa dipecahkan orang yang dimintai tolong dengan menggunakan “alfa”-nya.
Dalam hal ini, orang berorientasi rasional mungkin menolak dengan mengatakan hal
itu tidak sah atau mustahil, tetapi dalam masyarakat Indonesia dan Korea, seseorang
mungkin berpikir bahwa satu perkecualian kecil tidak akan menjadi masalah, dan
biasanya orang mengharapkan kesulitan itu akan dipecahkan dengan cara atau
metode “alfa”-nya.
Orang Barat mencari keindahan yang ditemukan dalam diri manusia,
sedangkan alam hanya merupakan latar belakang bagi umat manusia. Namun
sebaliknya dengan orang Indonesia dan Korea. Sebagai contoh, dalam lukisan
Renaissance sumber dari sebagian seni Barat, alam adalah latar belakang yang kabur
bagi manusia di masa mudanya. Orang Barat memanusiakan alam, dan orang Korea
atau Indonesia mengalamkan manusia. Hampir semua sampul majalah Time
bergambar manusia, sedangkan sebagian besar sampul majalah Korea bergambar
alam tanpa manusia di latar belakangnya.
Dari segi hubungan kekerabatan, terdapat konsep persamaan di antara orang
Indonesia dan Korea. Hubungan lebih cenderung vertikal daripada horisontal. Tiap
orang relatif lebih tinggi atau lebih rendah. Dalam keluarga pun semua dalam hubungan vertikal: kakak laki-laki terhadap adik laki-laki, kakak perempuan terhadap
adik perempuan. Bahkan, anak kembar pun tidak sederajat, yang lahir lebih dulu
adalah kakaknya, dan kedudukannya lebih tinggi daripada yang lahir kemudian. Di
dalam kedua masyarakat tiap orang dianggap sebagai individu yang memiliki
seluruh hubungan manusia mirip dengan hubungan keluarga. Hal itu dapat
dicontohkan dengan memanggil orang yang lebih tua kakek, nenek, kakak, paman,
atau bibi, dan mereka memanggil orang yang lebih muda adik.

18

5.2 Bentuk Perilaku Nonverbal
Perilaku nonverbal yang terdapat antara masyarakat Korea dan Indonesia
memiliki persamaan dan perbedaan yang dapat dirinci sebagai berikut.


Orang Indonesia maupun orang Korea menganggap kontak mata sebagai
tantangan dan tidak boleh dilakukan kepada orang yang dihormati atau lebih tua.



Di Indonesia, acungan jempol berarti ‘bagus’ atau ‘oke’ dan mengacungkan
jempol ke arah bawah berarti ‘jelek’ atau ‘merendahkan’, sedangkan di Korea
acungan jempol berarti ‘yang terbaik’, ‘nomor satu’ atau ‘bos’.



Orang Korea menghitung dengan melipat jarinya dari ibu jari berurutan ke arah
kelingking dengan satu tangan, sedang orang Indonesia dengan cara membuka
tangan dari ibu jari berurutan ke arah kelingking dengan dua tangan.



Terdapat konotasi seksual antara Indonesia dan Korea dalam menggunakan jari
dan tangan. Di Indonesia, tabu untuk menunjuk dengan jari tengah. Di Korea,
meletakkan ibu jari di antara telunjuk dan jari tengah pada tangan yang sama
atau menggosokkan telapak tangan yang terbuka di atas kepalan tangan yang
lain berarti hubungan seksual.



Di Korea, membentuk lingkaran dengan ibu jari dan telunjuk berarti ‘uang’,
sedang di Indonesia, ini berarti ‘beres’. Adapun melambaikan tangan dengan
telapak menghadap keluar dan gerakan vertikal berarti ‘selamat jalan’.



Di Indonesia untuk menunjukkan sesuatu dengan sopan (menunjukkan sesuatu
kepada orang yang lebih tua) menggunakan ibu jari, sedangkan di Korea
menunjuk sesuatu dilakukan dengan jari telunjuk.



Di Indonesia, meletakkan jari telunjuk miring menempel di jidat menyatakan
‘gila’, sedangkan di Korea hal itu dinyatakan dengan membuat lingkaran
berkali-kali dengan jari telunjuk di jidat.

19



Orang Korea menunjuk pada dirinya sendiri, ia akan menunjuk dadanya dengan
jari jempol, sedangkan orang Indonesia untuk menunjuk pada dirinya sendiri
menepuk atau menunjuk pada dadanya.



Untuk menyatakan tidak punya uang, orang Korea menyatukan jempol dan
telunjuk kemudian digerakkan, sedangkan bagi orang Indonesia hal tersebut
dianggap sebagai pernyataan bahwa orang yang melakukan hal tersebut sedang
menyepelekan sesuatu, atau menganggap sesuatu itu mudah sekali.



Bagi orang Indonesia untuk memberitahu bahwa ia tidak punya uang, cukup dengan menggabungkan jempolnya dengan telunjuk dan kemudian digerakgerakkan.



Melambaikan tangan dengan telapak menghadap ke luar dengan gerakan vertikal
berarti ‘selamat jalan’ di Indonesia, sedang di Korea itu berarti mengundang
orang untuk mendekat.



Berbeda dengan Amerika, baik orang Korea maupun Indonesia menggunakan
telapak tangannya untuk menulis.



Orang Indonesia menunjukkan rasa hormat pada orang yang lebih tua dengan
sedikit membungkukkan punggung ketika berjalan melewati orang yang lebih
tua, sedangkan di Korea tidak terdapat hal seperti itu.



Di Indonesia menggesek-gesek ibu jari telunjuk berarti ‘uang’, sedangkan di
Korea ‘uang’ ditunjukkan dengan membentuk lingkaran dengan ibu jari dan
telunjuk.



Sebagai bentuk salam, umumnya orang Indonesia menggunakan jabat tangan
dan cium pipi, sedangkan di Korea membungkukkan badan dan jabat tangan.
Dalam hal jabat tangan terdapat perbedaan pula antara Indonesia dan Korea. Di
Indonesia umumnya yang muda mengajak jabat tangan, sedangkan di Korea
yang muda menunggu ajakan jabat tangan dari yang tua.
20

6. Penutup
Manusia berkomunikasi dengan berbagai cara yang menekankan atau
mengingkari apa yang dikatakannya melalui kata-kata. Mereka belajar membaca
bagian yang berbeda dari spektrum komunikasi. Telah dibahas bahwa kedua negara
mempunyai cara pikir dan adat kebiasaan yang ternyata halnya sama dan berbeda.
Diketahui pula bahwa perbedaan arti yang sangat jauh antara kedua negara itu
mungkin terjadi. Tiap orang mungkin merasa adat dan budaya orang lain aneh dan
lebih rendah. Namun, tidak akan ada budaya standar, juga tidak akan ada ras standar,
atau satu bahasa standar. Hal-hal yang mendasar dalam hidup di mana pun sama
saja. Hal-hal tersebut bukannya sama sekali berbeda, hanya cara orang
mengungkapkan kesan dan pemikiran yang berbeda-beda. Jika seseorang berbuat
salah, dia tidak perlu mempertengkarkan siapa yang benar atau salah, tetapi
berusaha memahami satu sama lain, karena kebanyakan masalah ini timbul dari
perbedaan budaya atau mungkin ketidaktahuan tentang budaya lain, bukan karena
unsur kesengajaan. Untuk memecahkan kesalahpahaman ini, orang harus mengenal
adat kebiasaan negara yang dimaksud.

21

DAFTAR PUSTAKA
Alo Liliweri, 2001. Gatra-gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Ayatrohaedi dkk, 1989, Tata Krama Di Beberapa Daerah Di Indonesia,. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bennet, Milton J. (editor). 1998. Basic Concepts of Intercultural Communication
Selected Readings. Maine: Intercultural Press, Inc.
Hall, Edward T. 1976. Beyond Culture. New York: Anchor Books Doubleday
Hall, Edward T. 1984. The Dance of Life: The Other Dimension of Time. Garden
City, N.Y.: Anchor Press
Hofstede, Geert. 1980. Culture’s Consequences International Differences in WorkRelated Values. Abridged Edition. Newbury Park: Sage Publications
Mulyadi, dkk. 1989. Tata Kelakuan Di Lingkungan Pergaulan Keluarge Dan
Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek
Inventarisasi Dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya
Ray L. Birdwhistell, 1969. Kinesics and Context, Philadelphia: University of Pennsylvania Press
Samovar, Larry A. and Richard E. Porter. 1994. Intercultural Communication A
Reader. 7th Edition. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company
Samovar, Larry A., Richard E. Porter and Lisa A. Stefani. 1998. Communication Between Cultures. Third Edition. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company
Soegeng R. dkk, 1990. Tata Kelakuan Di Lingkungan Keluarga dan Masyarakat
Daerah Jawa Tengah, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
22