Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Teori Perkembangan Iman James Fowler terhadap Spiritualitas Pemuda GPIB Jemaat Immanuel Semarang T1 712012008 BAB II

2. Kajian Teori
Pada bagian ini ada dua pemahaman utama yang diuraikan penulis, yakni
teori perkembangan iman James Fowler dan teori terkait spiritualitas.
2.1 Teori Perkembangan Iman James Fowler
James W. Fowler lahir pada 12 Oktober 1940 di North Carolina-Amerika
Serikat. Ia adalah seorang teolog yang kemudian menjadi psikolog dalam bidang
agama setelah menempuh pendidikan di Harvard University. Pada tahun 19721984 Fowler bersama rekan-rekannya mengadakan wawancara kepada lebih dari
500 orang responden, mulai dari umur 4 tahun sampai 88 tahun.1 Analisis hasil
wawancara tersebut dipergunakan untuk menyusun sebuah teori baru yaitu teori
tahap perkembangan iman (Faith Development Theory). Teori perkembangan
iman adalah usaha psikologis ilmiah untuk menguraikan dan menganalisis seluruh
dinamika proses perkembagan tahap-tahap iman secara empiris dan deskriptif.2
Tahap 1: Kepercayaan Awal dan Elementer (Primal Faith)
Tahap ini timbul sebagai tahap atau pratahap (pre stage), yaitu bayi 0

sampai 2 tahun. Dalam Cremers (1995) tahap ini ditandai oleh cita rasa yang
bersifat praverbal terhadap kondisi-kondisi eksistensi, yaitu rasa percaya dan setia
yang elementer kepada semua orang dan lingkungan yang mengasuh sang bayi
serta pada gambaran tentang kekuasaan akhir yang dapat dipercaya, untuk
mengatasi rasa takut yang timbul dalam diri anak kecil, sebagai akibat dari
ancaman peniadaan hidup dan pemisahan dirinya dari para pengasuhnya. 3

Awalnya Fowler menamakan tahap ini sebagai kepercayaan yang belum dapat
dibedakan baru kemudian sebagai primal faith, hal ini disebabkan oleh masih
bersatunya rasa kepercayaan, keberanian, harapan, dan kasih sayang.
Tahap 2: Kepercayaan Intuitif-Proyektif

Tahap ini dimulai pada usia 2 sampai dengan usia 6 tahun. Dunia
pengalaman anak disusun berdasarkan daya imajinasi atau fantasi emosional yang
kuat, sehingga pandangan dan perasaan menimbulkan gambaran intuitif dan

James Fowler, “Theology and Psychology in the Study of Faith Development”,
Concilium 152 no. 6 (1982): 88.
2
Allen C. Gathman and Craig L. Nessan. “Fowler’s Stages Of Faith Development In An
Honors Science And Religion.” Zygon: Journal of Religion and Science 32 no. 3 (September
1997): 409.
3
Cremers, Tahap-Tahap Perkembangan, 96.
1

konkret yang mendalam dan bertahap.4 Daya imajinasi dan dunia gambaran itu

dirangsang oleh cerita, gerak, isyarat, ucapan, simbol-simbol dan kata-kata. Halhal tersebut mereka pelajari dalam keluarga sebagai tempat sosialisasi primer.
Tahap 3: Kepercayaan Mistis-Harafiah

Dimulai pada usia 6 sampai dengan usia 12 tahun. Berbagai pola baru
ditemukan pada pola pengertian kepercayaan mistis-harafiah. Anak mulai berpikir
secara “logis” dan mengatur pandangan dunia mereka dengan kategori-kategori
baru, seperti sebab-akibat, ruang, dan waktu.5 Ia akan berusaha untuk menyelidiki
segala hal dan seluruh kenyataan. Hal mistis meliputi seluruh dimensi naratif
(termasuk cerita, simbol, dan mitos). Tahap ini diberi ciri harafiah alasannya
adalah pada tahap ini anak sebagian besar mengunakan simbol dan konsep secara
konkret dan menurut arti harafiahnya. Seperti sebutan “mata ganti mata” akan
diartikan secara harafiah karena menggunakan logika konkret yang terkadang juga
muncul pada pemikiran orang dewasa.
Tahap 4: Kepercayaan Sintetis-Konvensional

Tahap ini terjadi pada usia 12 tahun sampai memasuki masa dewasa.
Muncul berbagai macam kemampuan kognitif yang mendorong anak untuk
kembali meninjau pandangannya. Pubertas membawa perubahan yang cepat
dalam ranah fisik dan kehidupan emosional. Gaya kognitif memungkinkan
terjadinya suatu cara interaksi baru. Akibatnya, ego harus berhadapan dengan

aneka ragam bayangan diri yang kadang-kadang sangat bertentangan satu sama
lain. Hal ini yang membingungkan remaja dan menimbulkan pertanyaan dalam
hati individu tentang siapakah dirinya.
Pertanyaan mengenai jati diri mulai merasuki pikiran sehingga perlu
menghubungkan berbagai macam bayangan diri serta menjadikannya satu
kesatuan diri atau indentitas diri yang dapat berfungsi dengan baik. Oleh karena
itu dalam Cremers (1995) Fowler menyebut dengan istilah sintesis, yang artinya
bahwa keanekaragaman dan keyakinan itu belum disatupadukan sehingga dapat
membentuk satu kesatuan yang menyeluruh.6 Pola kepercayaan ini juga disebut

4

Fowler, Stages of Faith, (San Francisco: Harper&Row 1981), 133.
Stephen Parker, “Faith Development Theory as a Context for Supervision of Spiritual
and Religious Issues.” Counselor Education & Supervision 49 no. 39 (September 2009), 42.
6
Cremers, Tahap-Tahap Perkembangan , 135.
5

konvensional, sebab secara kognitif, afektif, dan sosial penting bagi individu

untuk menyesuaikan diri dengan orang lain yang penting baginya dan mayoritas
orang.7 Remaja mengalami apa yang disebut dengan krisis identitas dalam tahap
ini.
Tahap 6: Kepercayaan Eksistensial Konjungtif

Seorang individu paling cepat berada dalam tahap ini pada usia minimal
35-40 tahun. Fowler menggunakan istilah kepercayaan konjungtif yang berarti
menghubungkan, mengikat satu dengan yang lain. Istilah konjungtif mengarah
pada segala hal yang bersifat pertentangan yang pada tahap sebelumnya dirasakan
terpisah satu sama lain dan tidak mungkin diperdamaikan, kini dipersatukan
dalam satu kesatuan utuh yang lebih tinggi, bersifat dinamis, dan terus terbuka.8
Kepercayaan meningkatkan kepekaan dan sikap terbuka terhadap
kompleksitas kebenaran dan kedalaman realitas Allah serta mencerminkan sikap
tanggung jawab terhadap kemajemukan agama.9 Pengalaman religius tentang
Allah diekspresikan pula dalam semua agama lain.
Pada tahap kepercayaan konjungtif, iman dalam tahap ini secara pribadi
dan kritis dirasakan sebagai kekuatan eksistensial yang paling besar dan penting,
jauh melampaui segala daya manusia yang terbatas. Seluruh kehendak, upaya,
pikiran, perasaan, dan motivasi pribadi konjungtif diwarnai oleh pertentangan
nyata yang tidak dapat diatasinya pada tahap ini, sehingga membawa “diri yang

masih terbagi” menuju tahap ketujuh, yaitu kepercayaan eksistensial yang
mengacu pada universalitas.10
Tahap 7: Kepercayaan Yang mengacu pada Universalitas.

Kepercayaan ini sebenarnya jarang terjadi, dan jika terjadi umumnya
terjadi sesudah usia 30 tahun. Tahap ini biasanya muncul pada tokoh-tokoh besar
di sejarah agama seperti Mother Teressa, Mahatma Gandhi dan lain sebagainya.
Ciri khas dari tahap ini yakni: 1) Para universalizer dipandang sebagai contoh
yang sungguh berhasil dalam mencapai kepenuhan dan kesempurnaan panggilan
hidup manusia; 2) Universalizer memandang segala sesuatu, seperti halnya

7

Cremers, Tahap-Tahap Perkembangan .
Fowler, Stages of Faith, 197.
9
Fowler, Stages of Faith, 198.
10
Fowler, Stages of Faith.
8


kebenaran, nilai, komitmen, diri yang lain, kelompok dan segala ciptaan di bawah
terang unversalitas; 3) ciri khas ketiga yang mencolok pada pribadi yang
kepercayaannya bersifat universal adalah dampak “subversifnya” yang sebenarnya
bersifat pembebasan dan penyelamatan atas dasar gejala “irelevansi yang
relevan”; 4) Para universalizer memikul beban tugas menjadi “utusan Allah” di
tengah-tengah dunia.11

2.2 Tahap Perkembangan Kepercayaan Individuatif-Reflektif
Tahap ini muncul pada usia 18 tahun ke atas. Individu mengalami
perubahan yang mendalam dan menyeluruh dalam hidupnya. Ada tiga hal yang
terjadi dalam tahap ini antara lain: 1) munculnya kesadaran tentang identitas diri
yang khas dan otonomi tersendiri, individu akan semakin dapat melihat perbedaan
dari pribadi lain; 2) Dengan daya operasional formal dan sikap refleksi yang
tinggi ia mulai mempertanyakan nilai atau pandangan hidupnya; 3) Individu
sendirilah yang mempunyai tugas untuk mengambil keputusan dan menyingkirkan
kepercayaan lain.12 Pada masa ini individu akan cepat tanggap dan kritis terhadap
pemimpin yang ideologis dan kharismatik. Disebut individuatif-reflektif karena
individu mengembangkan kepercayaannya sebagai hasil refleksi kritis sematamata.
Individu (orang dewasa muda) mampu secara refleksi-kritis memeriksa

seluruh gabungan gambaran identitas diri, sistem keyakinan religius yang tak
diucapkan, dan pandangan hidup praktisnya. Sebelumnya, sistem keyakinan
keagamaan, nilai, dan komitmen itu dipeluknya secara amat emosional dan
merupakan suatu sistem implisit-tak diucapkan, kurang direfleksikan, sedangkan
temanya pun tidak dibicarakannya secara eksplisit.13 Mereka

mulai

menyusun

pandangan hidup sendiri secara kritis sebagai perwujudan dari sistem eksplisit
yang menunjukkan sifat “keterpaduan sistematis”. Sistem inilah yang memberikan
dasar identitas diri dan identitas kepercayaan yang baru.
Pada masa ini timbul yang dinamakan “ego eksekutif” menurut Fowler.
Ego eksekutif mengacu individu agar mengambil tanggung jawab yang jelas
11

Fowler, Stages of Faith.
Cremers, Tahap-Tahap Perkembangan, 160.
13

Fowler, Stages of Faith, 180.
12

untuk keyakinan dan gaya hidupnya.14 Hal ini merupakan suatu perubahan yang
sungguh-sungguh mendalam menyangkut dasar dan orientasi diri, sebelumnya
kesadaran diri didasarkan oleh sejumlah peranan dan relasi sosial dengan orang
lain yang dianggapnya penting. Kini segala pilihan, keputusan, nilai-nilai dan
tujuan hidup ditentukannya sendiri. Artinya secara mandiri menanggung tugas dan
beban untuk memikul tanggung jawab dan membuat keputusan serta menentukan
pilihan sendiri tanpa berdalih kepada orang lain yang memiliki otoritas. Dengan
demikian “diri subjek” atau “aku sendiri” menjadikan diri sebagai perancang,
pelaku hidupnya sendiri. Ego eksekutif menolong diri untuk menguasai dan
mengatasi semua gambaran diri itu, menyusun dan menyatupadukan beraneka
peran serta hubungan yang dimilikinya menurut prioritas pilihannya, dan
menciptakan identitas diri yang otonom, tidak tergantung pada siapa dan apa pun
kecuali pada cara mengontrol dirinya sendiri.15
Dengan latar belakang perubahan yang terjadi pada individu tersebut, kita
dapat memahami “aspek lain” yang tersirat dalam tahap ini, yakni individuasi,
pada kepribadian yang masih tersembunyi dan yang berbeda dari yang diharapkan
oleh orang lain. Hal ini sering menimbulkan pertanyaan yang penuh dengan

kecemasan mengenai identitas diri dan batas-batas yang jelas. Misalnya,
pertanyaan-pertanyaan seperti: “Siapakah aku ini apabila pada dasarnya
identitasku tidak bisa ditentukan dan didefinisikan sebagai anak dari orang tua
tertentu atau sebagai anggota suku dan bangsa tertentu ini? Siapakah aku ini
apabila identitasku tidak dapat ditegakkan dan ditetapkan oleh keanggotaanku
pada sekelompok teman atau sejumlah kelompok sosial penting lainnya?”
Jawaban atas segala pertanyaan ini ialah bahwa “aku” hanyalah “aku-ku sendiri”
yang hanya bergantung pada diriku yang memiliki diri dan yang secara mandiri
memilih dan mewujudkan diriku sendiri; aku adalah “aku-subjek” yang aktif dan
eksekutif, yang melaksanakan dan menguasai diriku sendiri.16
Ciri khas umum pada tahap perkembangan ini terhadap hidup religius
dan pola kepercayaan khas seorang dewasa adalah sebagai berikut. Pertama , pola
dari kepercayaan individuatif-reflektif berfungsi sebagai daya konstruksi sentral
14

Fowler, Teori Perkembangan Kepercayaan , (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 166.
Fowler, Teori Perkembangan 167.
16
Fowler, Teori Perkembangan .
15


yang menyokong dan memperkuat susunan identitas diri dan pandangan hidup
seorang pribadi.17 Artinya agama dan kepercayaan memberikan suatu acuan dasar
dan kerangka pedoman yang mengarahkan individu bersikap religius serta
memunculkan rasa tanggung jawab etis di tengah-tengah dunia yang penuh
dengan dualisme dan relativisme. Kedua , orang dewasa muda mengembangkan
visi kepercayaannya sebagai hasil refleksi kritis semata-mata.18 Nilai, ajaran,
keyakinan, mitos, dan cerita konvensional yang ia dapatkan pada masa
sebelumnya dari pengajaran agama dan budaya tidak dapat diterimanya lagi
karena telah diperhadapkan dengan pertimbangan akal budi. Hal-hal tersebut
kembali diperiksa satu per satu. Ketiga, gambaran orang dewasa muda mengenai
Allah memperlihatkan unsur-unsur individuatif-reflektif dan kritis-rasional.19
Allah dicari dalam diri pribadi sendiri dan dikaitkan dengan ego eksekutif yang
bersumber pada otoritasnya sendiri. Acap kali Allah tampak di dalam dirinya,
bahkan dihayati sebagai suara hatinya sendiri yang mendorong mereka untuk
memikul tanggung jawab, menentukan pilihan, dan mengambil keputusan sendiri.
Gambaran Allah pun juga bergantung pada ego itu, mungkin merupakan sejenis
dari proyeksi diri ego itu.
Terdapat tiga titik kelemahan dari tahap kepercayaan ini. Kelemahan
pertama adalah orang dewasa muda secara berlebihan mengandalkan kekuatan

dan daya akal budi kritis yang dianggapnya bisa menguasai dan mengendalikan
segalanya dengan genggaman rasional yang tidak akan membiarkan barang suatu
apa pun tinggal dalam kegelapan tanpa ditembusi oleh sinar akal budi.20
Maksudnya adalah individu terperangkap dalam bayangan rasio kritis yang
mutlak sehingga menganggap dirinya “mahakuasa”. Kadang-kadang ego eksekutif
yang rasionallah yang disebut Allah. Hal tersebut mengindikasikan terdapat halhal dibawah kesadaran rasional dengan memusatkan ego. Kelemahan kedua ialah
bahwa ego dapat berfokus pada egonya sendiri secara berlebihan dengan begitu
asyik dengan dirinya sendiri sehingga sifat “individuasi” merosot dan berubah
menjadi “individualisme” yang tak terbatas.21 Contohnya ialah sifat egosentrisme
17

Fowler, Teori Perkembangan , 178.
Fowler, Teori Perkembangan .
19
Fowler, Teori Perkembangan 180.
20
Fowler, Teori Perkembangan, 181.
21
Fowler, Teori Perkembangan, 182

18

dan narsisme pada kehidupan orang dewasa muda. Kelemahan ketiga adalah
bahwa ego eksekutif yang rasional dan kritis ini menjadi sedemikian terisolasi dan
tersendiri serta melekat pada dirinya sendiri, sehingga sulit menempatkan diri
sebagai bagian integral dalam keseluruhan arus objektif semua tradisi religius
yang luas serta ke dalam kandungan kelompok religius yang secara sosiologis
selalu terwujud dalam bentuk-bentuk kelembagaan.22

2.3 Teori Spiritualitas
Ada beberapa pemahaman mengenai spiritualitas. Menurut Stefanus C.
Haryono, spiritualitas berasal dari bahasa Latin spiritus yang artinya roh, jiwa
atau semangat.23 Kata ini memiliki padanan arti dengan ruakh dalam bahasa
Ibrani, atau pneuma dalam bahasa Yunani, sedangkan dalam bahasa Indonesia
bisa diartikan sebagai “semangat yang menggerakkan”. Kata “spiritualitas”
digolongkan sebagai kata yang universal karena bisa digunakan oleh semua
agama. Kata spiritual bisa diartikan sebagai energi kehidupan, yang membuat kita
dapat hidup, bernapas dan bergerak termasuk pikiran, perasaan, tindakan dan
karakter kita pada tataran konseptual.24 Oleh karena itu Swidler memahami
spiritual mengacu pada makna interior atau internal kemanusiaan.25
Stoyles memahami spiritualitas sebagai kapasitas dan keunikan, yang
mendorong seseorang untuk bergerak melampaui diri sendiri mencari makna dan
menyatu dalam keterhubungan dengan dunia kehidupan nyata.26 Rossesau
mengemukakan spiritualitas adalah pencarian pribadi untuk memahami jawaban
akhir atas pertanyaan tentang kehidupan, makna hidup, dan pengalaman
transenden.27
Berdasarkan pemahaman para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
spiritualitas adalah energi kehidupan yang mengacu pada makna interior atau
22

Fowler, Teori Perkembangan.
Stefanus Christian Haryono, “Spiritualitas”, dalam Meniti Kalam Kerukunan:
Beberapa Istilah Kunci dalam Islam dan Kristen. Diedit oleh M. Nur Kholis Setiawan dan Djaka
Soetapa, (Jakarta: BPK Gunung Mulia , 2010), 562.
24
Engel, “Agama dan Spiritualitas,” dalam Buku Ajar Agama , diedit oleh Mariska
Lauterboom, Irene Ludji, Retnowati (Satya Wacana University Press, 2015), 72.
25
Engel, “Agama dan Spiritualitas”.
26
Stanford Stoyles dan Keating Caputi, “A Measure of Spirituaal Sensitivity for
Children.” International Journal of Children’s Spirituality 17, no. 3 (2012): 205.
27
Engel, “Agama dan Spiritualitas”, 73.
23

internal kemanusiaaan sehingga dalam hubungan dengan belief system
spiritualitas adalah agama, karena itu baik spiritualitas maupun agama merupakan
representasi dari spiritual.28
Ioanes Rakhmat mengemukakan tiga aspek dasar dari spiritualitas, yakni
kawasan spiritual (mengacu pada hubungan dengan Tuhan, yang di dalam
hubungan tersebut terjadi proses pembentukan diri untuk menemukan makna asasi
dari hidup), pengenalan diri (proses lanjutan dari ditemukannya makna hidup),
sikap hidup (wujud nyata dari ditemukannya makna hidup).29 Pencarian,
penemuan makna asasi tidak hanya terbatas di dalam komunitas keagamaan,
tetapi juga bisa ditemukan dalam pandangan-pandangan dunia yang juga
meningkatkan kebajikan semesta.
Menjaga dan menumbuhkan spiritual dapat dilakukan dengan cara
disiplin dan praktik-praktik tertentu dari setiap individu untuk terbuka dan hidup
dalam ketaatan dan kesetiaan kepada Tuhan melalui kehidupan interaksi dengan
orang lain. Apa yang membuat sesuatu yang 'disiplin spiritual' adalah bahwa
dibutuhkan bagian tertentu dari cara hidup setiap orang dengan tertib dan teratur,
kebiasaan atau pola yang teratur dalam hidup yang berulang kali membawa kita
kepada Tuhan, seperti tertib berdoa, ibadah, saat teduh, berpuasa dan lain
sebagainya.
Dalam membangun spiritualitas Stark dan Glock menyebutkan adanya 5
dimensi dari komitmen religius, yakni kepercayaan, praktis, pengetahuan,
pengalaman, dan etis. Pertama , dimensi kepercayaan diartikan sebagai keyakinan
akan kebenaran dari pokok-pokok ajaran imannya. Ini merupakan unsur yang
amat penting dalam kekristenan, bahkan juga di agama-agama lain.30 Tanpa
keyakinan akan kebenaran dari pokok-pokok ajaran iman, tentu seseorang tidak
akan menjadi bagian dari komunitas orang beriman tersebut, misalnya apabila
seseorang tidak percaya bahwa Yesus adalah Juruselamat manusia, maka tidak
mungkin ia menjadi seorang anggota gereja. Kedua , dimensi praktis, terdiri dari

Engel, “Agama dan Spiritualitas” 74.
Ioanes Rakhmat, “Spiritualitas Yesus dari Nazareth”, Jurnal PENUNTUN, 3 no. 12
(Juli 1997): 493.
30
Rodney Stark dan Charles Y. Glock, American Piety: the Nature of Religious
Commitment, (Berkeley, Los Angeles & London: University of California Press, 1970), 14.
28

29

dua aspek yaitu ritual dan devosional.31 Ritual diuraikan sebagai suatu ibadah
yang formal, seperti menghadiri ibadah hari Minggu, ibadah kategorial, ibadah
keluarga, menerima sakramen, melangsungkan pernikahan di gereja, sedangkan
devosional adalah ibadah yang dilakukan secara pribadi dan informal, seperti
misalnya berdoa, berpuasa, membaca Alkitab.32
Ketiga , dimensi pengalaman yakni pengalaman berjumpa secara

langsung dan subjektif dengan Allah. Dengan kata lain, mengalami kehadiran dan
karya Allah dalam kehidupannya.33 Pengalaman keagamaan ini bisa menjadi awal
dari keimanan seseorang, tetapi juga bisa terjadi setelah seseorang mengimani
suatu agama tertentu. Dapat saja pengalaman itu berada di awal ataupun di
tengah-tengah, pengalaman ini berfungsi untuk semakin meneguhkan iman
percaya seseorang. Keempat, dimensi pengetahuan yakni pengetahuan tentang
elemen-elemen pokok dalam iman keyakinannya, atau yang sering kita kenal
dengan dogma, doktrin atau ajaran gereja.34 Hal ini tentu saja sangat berkaitan
dengan dimensi pertama (kepercayaan). Seseorang akan terbantu untuk menjadi
semakin yakin dan percaya apabila ia mengetahui apa yang dipercayainya.
Kelima , dimensi etis, umat mewujudkan tindakan imannya dalam

kehidupan sehari-harinya yang mencakup perilaku, tutur kata, sikap dan orientasi
hidupnya.35 Hal ini tentu saja dilandasi pada pengenalan atau pengetahuan tentang
ajaran agamanya dan percaya bahwa apa yang diajarkan oleh agamanya adalah
benar adanya. Idealnya sebuah kehidupan spiritualitas yang baik dan dewasa
adalah bila kelima dimensi tersebut berkembang secara seimbang. Sama seperti
perkembangan kehidupan manusia. Seorang dikatakan dewasa dan matang, tentu
bukan semata-mata karena ciri-ciri fisiknya tetapi juga akan diukur dari
kematangan emosionalnya, kearifannya, dan perilakunya. Oleh karena itu
pembangunan spiritualitas tidak bisa hanya menekankan satu aspek saja. Kelima
dimensi spiritualitas itu harus mendapatkan perhatian yang sama.

31

Stark dan Glock, American Piety, 15.
Stark dan Glock, American Piety.
33
Stark dan Glock, American Piety.
34
Stark dan Glock, American Piety, 16.
35
Stark dan Glock, American Piety.

32

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi tentang Kegiatan Tahun Remaja di HKBP Kedaton dari Perspektif Teori James Fowler T1 712011022 BAB I

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi tentang Kegiatan Tahun Remaja di HKBP Kedaton dari Perspektif Teori James Fowler T1 712011022 BAB II

0 12 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan Jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang Pelayanan Diakonia T1 712007077 BAB II

1 5 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Suatu Studi Terhadap Pembunaan Iman di Panti Asuhan Salib Putih Salatiga dari Perspektif Teori Perkembangan Iman James Fowler

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Teori Perkembangan Iman James Fowler terhadap Spiritualitas Pemuda GPIB Jemaat Immanuel Semarang

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Teori Perkembangan Iman James Fowler terhadap Spiritualitas Pemuda GPIB Jemaat Immanuel Semarang T1 712012008 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Teori Perkembangan Iman James Fowler terhadap Spiritualitas Pemuda GPIB Jemaat Immanuel Semarang T1 712012008 BAB IV

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Teori Perkembangan Iman James Fowler terhadap Spiritualitas Pemuda GPIB Jemaat Immanuel Semarang T1 712012008 BAB I

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran dan Strategi Gereja dalam Pembangunan Karakter Taruna dan Pemuda di GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan T1 752013018 BAB II

0 0 45

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan Spiritualitas terhadap Pandangan Jemaat tentang Peran Pendeta di GPIB Jemaat Sion Banyumanik

0 0 1