Hubungan Gangguan Tidur Dan Tekanan Darah Terhadap Risiko Kejadian Demensia

9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. DEMENSIA
II.1.1. Definisi
Demensia

adalah

suatu

sindroma

penurunan

kemampuan

intelektual progresif yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional,
sehingga


mengakibatkan

gangguan

fungsi

sosial,

pekerjaan

dan aktivitas sehari-hari (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).
Demensia adalah sindrom penurunan fungsi intelektual dibanding
sebelumnya yang cukup berat sehingga mengganggu aktivitas sosial dan
profesional yang tercermin dalam aktivitas hidup keseharian, biasanya
ditemukan juga perubahan perilaku dan tidak disebabkan oleh delirium
maupun gangguan psikiatri mayor (Ong dkk, 2015).
II.1.2. Epidemiologi
Pada umumnya 40% penderita demensia berada di atas usia 65
tahun dengan angka insidens 187/100.000/tahunnya. Untuk demensia

tidak ada perbedaan antara pria dan wanita sedangkan untuk demensia
Alzheimer lebih banyak wanita dengan rasio 1,6. Insiden demensia
Alzheimer sangat berkaitan dengan umur, 5% dari populasi berusia di atas
65 tahun di Amerika dan Eropa merupakan penderita Alzheimer, dan ini
sesuai dengan makin banyak populasi orang tua di Amerika Serikat dan

9

Universitas Sumatera Utara

10

Eropa, maka makin tua populasinya makin banyak kasus AD, dimana
pada populasi berusia 80 tahun didapati 50% penderita AD (Sjahrir,1999).
Konsensus Delphi mempublikasi bahwa terdapat peningkatan
prevalensi demensia sebanyak 10% dibandingkan dengan publikasi yang
sebelumnya. Diperkirakan terdapat 35,6 juta orang dengan demensia pada
tahun 2010 dengan peningkatan dua kali lipat setiap 20 tahun, menjadi
65,7 juta di tahun 2030 dan 115,4 juta di tahun 2050. Di Asia Tenggara
jumlah orang dengan demensia diperkirakan meningkat dari 2,48% di

tahun 2010 menjadi 5,3% pada tahun 2030 (Ferri dkk, 2005).
Data dari BAPPENAS 2013, angka harapan hidup di Indonesia
(laki-laki dan perempuan) naik dari 70,1 tahun pada periode 2010-2015
menjadi 72,2 tahun pada periode 2030-2035. Hasil proyeksi juga
menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama 25 tahun ke
depan akan mengalami peningkatan dari 238,5 juta pada tahun 2010
menjadi 305,8 juta pada tahun 2035. Jumlah penduduk berusia 65 tahun
keatas akan meningkat dari 5,0% menjadi 10,8% pada tahun 2035.
II.1.3. Klasifikasi Demensia (Sjahrir, 1999)
Demensia terbagi atas 2 dimensi:
1. Menurut umur, terbagi atas:
a. Demensia senilis, onset > 65 tahun
b. Demensia presenilis, onset < 65 tahun
2. Menurut level kortikal:
a. Demensia kortikal

Universitas Sumatera Utara

11


b. Demensia subkortikal
Klasifikasi lain berdasarkan korelasi gejala klinik dengan patologianatomisnya:
1. Anterior : Frontal premotor cortex
Perubahan behavior, kehilangan kontrol, anti sosial, reaksi
lambat.
2. Posterior: lobus parietal dan temporal
Gangguan

kognitif:

memori

dan

bahasa,

akan

tetapi


behaviour relatif baik.
3. Subkortikal: apatis, forgetful, lamban, adanya gangguan
gerak.
4. Kortikal: gangguan fungsi luhur; afasia, agnosia, apraksia.
II.1.3.1. Subtipe Demensia (Ong dkk, 2015)
1. Penyakit Alzheimer
Penyakit

Alzheimer

neurodegeneratif

yang

masih

merupakan

penyakit


ditemukan

(60-80%).

tersering

Karakteristik klinis berupa penurunan progresif memori
episodik dan fungsi kortikal lain. Gangguan motorik tidak
ditemukan kecuali pada tahap akhir penyakit. Gangguan
perilaku

dan

keseharian

ketergantungan
menyusul

dalam


gangguan

aktivitas

memori

hidup
episodik

mendukung diagnosis penyakit ini. Penyakit ini mengenai

Universitas Sumatera Utara

12

terutama lansia (>65 tahun) walaupun dapat ditemukan pada
usia yang lebih muda. Diagnosis klinis dapat dibuat dengan
akurat

pada


sebagian

besar

kasus

(90%)

walaupun

diagnosis pasti tetap membutuhkan biopsi otak yang
menunjukkan adanya plak neuritik (deposit β-amiloid40 dan βamiloid42) serta neurofibrilary tangle (hyperphosphorylated
protein tau). Saat ini terdapat kecenderungan melibatkan
pemeriksaan biomarka pencitraan Magnetic Resonance
Imaging (MRI) struktural dan fungsional serta pemeriksaan
cairan otak (β-amiloid dan protein tau) untuk menambah
akurasi diagnosis (Ong dkk, 2015).
2. Demensia Vaskuler
Vascular Cognitive Impairment (VCI) merupakan terminologi

yang memuat defisit kognisi yang luas mulai dari gangguan
kognisi ringan sampai demensia yang dihubungkan dengan
faktor risiko vaskuler (Ong dkk, 2015).
Demensia vaskuler adalah penyakit heterogen dengan
patologi vaskuler yang luas termasuk infark tunggal,
demensia

multi-infark,

lesi

kortikal

iskemik,

stroke

perdarahan, gangguan hipoperfusi, gangguan hipoksik dan
demensia tipe campuran (penyakit Alzheimer dan stroke/lesi
vaskuler). Faktor risiko mayor kardiovaskuler berhubungan

dengan kejadian aterosklerosis dan VaD. Faktor risiko

Universitas Sumatera Utara

13

vaskuler ini juga memacu terjadinya stroke akut yang
merupakan faktor risiko untuk terjadinya VaD. Cerebral
Autosomal Dominant Arteriopathy with Subcortical Infarcts
and Leucoensefalopathy (CADASIL), adalah bentuk small
vessel disease usia dini dengan lesi iskemik luas pada white
matter dan stroke lakuner yang bersifat herediter (Ong dkk,
2015).
3. Demensia Lewy Body dan Demensia Penyakit Parkinson
Demensia Lewy Body (DLB) adalah jenis demensia yang
sering ditemukan. Sekitar 15-25% dari kasus autopsi
demensia menemui kriteria

demensia ini.


Gejala

inti

demensia ini berupa demensia dengan fluktuasi kognisi,
halusinasi visual yang nyata (vivid) dan terjadi pada awal
perjalanan penyakit

orang dengan Parkinsonism. Gejala

yang mendukung diagnosis berupa kejadian jatuh berulang
dan sinkope, sensitif terhadap neuroleptik, delusi, dan atau
halusinasi modalitas lain yang sistematik. Juga terdapat
tumpang tindih dengan temuan patologi antara DLB dengan
penyakit Alzheimer. Namun secara klinis orang dengan DLB
cenderung mengalami gangguan fungsi eksekutif dan
visuospasial sedangkan performa memori verbalnya relatif
baik jika dibanding penyakit Alzheimer yang terutama
mengenai memori verbal (Ong dkk, 2015).

Universitas Sumatera Utara

14

Demensia Penyakit Parkinson/Parkinson Disease Dementia
(PDD) adalah bentuk demensia yang juga sering ditemukan.
Prevalensi demensia pada penyakit Parkinson 23-32% enam
kali lipat dibanding populasi umum (3-4%). Secara klinis, sulit
membedakan antara DLB dan PDD. Pada DLB, awitan
demensia dan Parkinsonism harus terjadi dalam satu tahun
sedangkan pada PDD gangguan fungsi motorik terjadi
bertahun-tahun sebelum demensia (10-15 tahun) (Ong dkk,
2015).
4. Demensia Frontotemporal
Demensia Frontotemporal/Frontotemporal Dementia (FTD)
adalah jenis tersering dari Demensia Lobus Frontotemporal/
Frontotemporal Lobar Dementia (FTLD). Terjadi pada usia
muda (early onset dementia/EOD) sebelum umur 65 tahun
dengan rerata usia adalah 52,8–56 tahun. Karakteristik klinis
berupa perburukan progresif perilaku dan atau kognisi pada
observasi atau riwayat
yaitu pada

penyakit. Gejala yang menyokong

tahap dini (3 tahun pertama) terjadi perilaku

disinhibisi, apati atau inersia, kehilangan simpati/empati,
perseverasi,

stereotipi

atau

perilaku

kompulsif/ritual,

hiperoralitas/perubahan diet dan gangguan fungsi eksekutif
tanpa gangguan memori dan visuospasial pada pemeriksaan
neuropsikologi (Ong dkk, 2015).

Universitas Sumatera Utara

15

Pada pemeriksaan Computed Tomography (CT) atau MRI
ditemukan atrofi lobus frontal dan atau anterior temporal dan
hipoperfusi frontal atau hipometabolisme pada Single-photon
Emmision Tomography (SPECT) atau Positron Emission
Tomography (PET). Dua jenis FTLD lain yaitu Demensia
Semantik dan Primary Non-Fluent Aphasia (PNFA), dimana
gambaran

disfungsi

bahasa

adalah

dominan

disertai

gangguan perilaku lainnya. Kejadian FTD dan Demensia
Semantik masing-masing adalah 40% dan kejadian PNFA
sebanyak 20% dari total FTLD (Ong dkk, 2015).
5. Demensia Tipe Campuran
Koeksistensi patologi vaskular pada penyakit Alzheimer
sering terjadi. Dilaporkan sekitar 24-28% orang dengan
penyakit Alzheimer dari klinik demensia yang diautopsi. Pada
umumnya pasien demensia tipe campuran ini lebih tua
dengan penyakit komorbid yang lebih sering. Patologi
penyakit Parkinson ditemukan pada 20% orang dengan
penyakit Alzheimer dan 50% orang dengan DLB memiliki
patologi penyakit Alzheimer (Ong dkk, 2015).
II.1.4. Tahapan Demensia
Stadium I / awal : Berlangsung 2-4 tahun dan disebut stadium
amnestik dengan gejala gangguan memori, berhitung dan aktivitas
spontan menurun. Fungsi memori yang terganggu adalah memori baru

Universitas Sumatera Utara

16

atau lupa hal baru yang dialami, dan tidak menggangu aktivitas rutin dalam
keluarga (Stanley, 2007).
Stadium II / pertengahan : Berlangsung 2-10 tahun dan disebut fase
demensia. Gejalanya antara lain, disorientasi, gangguan bahasa (afasia).
Penderita mudah bingung, penurunan fungsi memori lebih berat sehingga
penderita tidak dapat melakukan kegiatan sampai selesai, gangguan
kemampuan merawat diri yang sangat besar, gangguan siklus tidur, mulai
terjadi inkontinensia, tidak mengenal anggota keluarganya, tidak ingat
sudah melakukan suatu tindakan sehingga mengulanginya lagi. Dan ada
gangguan visuospasial yang menyebabkan penderita mudah tersesat di
lingkungan (Stanley, 2007).
Stadium III / akhir : Berlangsung 6-12 tahun. Penderita menjadi
vegetatif, tidak bergerak dengan gangguan komunikasi yang parah
(membisu), ketidakmampuan untuk mengenali keluarga dan teman-teman,
gangguan mobilisasi dengan hilangnya kemampuan untuk berjalan, kaku
otot, gangguan siklus tidur-bangun, dengan peningkatan waktu tidur, tidak
bisa mengendalikan buang air besar atau kecil. Kegiatan sehari-hari
membutuhkan bantuan orang lain dan kematian terjadi akibat infeksi atau
trauma (Stanley, 2007).
II.1.5. Skrining dan Diagnosis
II.1.5.1. Skrining
Individu yang harus dievaluasi untuk demensia adalah individu
dengan keluhan kognitif yang progresif atau dengan perilaku yang sugestif

Universitas Sumatera Utara

17

suatu demensia serta pasien yang walaupun belum memiliki keluhan
subjektif, tetapi pengasuh atau dokter mencurigainya sebagai suatu
gangguan kognitif (Ong dkk, 2015).
Saat ini sudah ada bukti yang cukup untuk skrining orang dengan
demensia pada usia lanjut. Atas dasar itu US Preventive Services Task
Force (USPSTF) dan UK National Institute for Health and Clinical and
Health Excellence merekomendasikan untuk menskrining demensia pada
populasi (Boustani dkk, 2003).
Evaluasi demensia

terutama

ditujukan

pada

orang dengan

kecurigaan gangguan kognitif yaitu dalam keadaan sebagai berikut:


Subjek dengan gangguan memori dan gangguan kognitif, baik yang
dilaporkan oleh pasien itu sendiri maupun oleh yang lainnya.



Gejala pikun yang progresif.



Subjek yang dicurigai memiliki gangguan perilaku saat dilakukan
pemeriksaan oleh dokter pada saat pemeriksaan, walaupun subjek
tidak mengeluhkan adanya keluhan kognitif atau memori.



Subjek yang memiliki risiko tinggi demensia (adanya riwayat
keluarga dengan demensia) (Ong dkk, 2015).

II.5.1.2. Penilaian Demensia
Penilaian

demensia

harus dilakukan melalui evaluasi

yang

komprehensif. Pendekatan yang dilakukan bertujuan untuk diagnosis dini
demensia, penilaian komplikasi dan penegakan penyebab demensia (Ong
dkk, 2015).

Universitas Sumatera Utara

18

II.5.1.3. Diagnosis
Pada orang yang diduga memiliki gangguan kognitif, diagnosa
harus dibuat berdasarkan kriteria Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders-IV (DSM-IV) untuk demensia dengan anamnesis yang
didapatkan dari sumber yang terpercaya. Hal ini harus didukung dengan
penilaian objektif melalui bedside cognitive tests dan/atau penilaian
neuropsikologis (Ong dkk, 2015).
Pedoman DSM-IV sering digunakan sebagai gold standart untuk
diagnosis klinis demensia. Kriteria ini termasuk adanya gangguan kognitif
memori dan tidak adanya salah satu dari gangguan kognitif seperti afasia,
apraksia, agnosia dan gangguan fungsi eksekutif (Ong dkk, 2015).
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-V (DSM-V)
memakai kata Neurocognitive Disorder (gangguan neurokognisi) dengan
dua derajat keparahan yaitu gangguan neurokognisi mayor untuk
demensia dan gangguan neurokognisi ringan untuk gangguan kognisi
tidak demensia (Ong dkk, 2015; Frances dkk, 2000).
Pemeriksaan klinis yang komprehensif meliputi ketiga domain
kognisi, perilaku dan fungsi diperlukan pada mereka yang dicurigai
demensia, dengan tujuan membuat diagnosis dini, mengakses komplikasi
dan menentukan penyebab demensia (Ong dkk, 2015).

Universitas Sumatera Utara

19

Tabel 1. Kriteria Klinis Diagnosis Demensia Berdasarkan DSM-IV

Dikutip dari: Ong, P.A., Muis, A., Widjojo, F.S., Rambe, A., Laksmidewi,
A.A.A., Pramono, A., et al. 2015. Diagnosis dan Penatalaksanaan
Demensia. Panduan Nasional Praktik Klinik. Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta.

II.1.6. Faktor Risiko dan Prevensi Demensia
Tindakan preventif harus dikerjakan karena diperkirakan bahwa
menunda awitan demensia selama lima tahun dapat menurunkan
setengah dari insiden demensia. Oleh sebab itu perlu pengetahuan
tentang faktor risiko dan bukti yang telah ada (Ong dkk, 2015).

Universitas Sumatera Utara

20

II.1.6.1. Faktor yang Tidak Dapat Dimodifikasi
Usia, jenis kelamin, genetik, dan riwayat penyakit keluarga, disabilitas
intelektual dan sindroma Down adalah faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi (Ong dkk, 2015).
1) Usia
Risiko terjadinya penyakit Alzheimer meningkat secara nyata dengan
meningkatnya usia, meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun pada
individu diatas 65 tahun dan 50% individu diatas 85 tahun mengalami
demensia. Dalam studi pupolasi, usia diatas 65 tahun risiko untuk
semua demensia adalah OR=1,1 dan untuk penyakit Alzheimer
OR=1,2 (Ong dkk, 2015).
2) Jenis Kelamin
Beberapa studi prevalensi menunjukkan bahwa penyakit Alzheimer
lebih tinggi pada wanita dibanding pria. Angka harapan hidup yang
lebih tinggi dan tingginya prevalensi AD pada wanita yang tua dan
sangat tua dibanding pria. Risiko untuk semua jenis demensia dan
penyakit Alzheimer untuk wanita adalah OR=1,7 dan OR=2,0. Kejadian
demensia vaskular lebih tingggi pada pria secara umum walaupun
menjadi seimbang pada wanita yang lebih tua (Ong dkk, 2015).
3) Riwayat Keluarga dan Faktor Genetik
Penyakit

Alzheimer

Disease/EOAD)

terjadi

Awitan
sebelum

Dini
usia

(Early
60

Onset

tahun,

Alzheimer

kelompok

ini

menyumbang 6-7% dari kasus penyakit Alzheimer. Sekitar 13% dari

Universitas Sumatera Utara

21

EOAD ini memperlihatkan transmisi autosomal dominan. Tiga mutasi
gen yang teridentifikasi untuk kelompok ini adalah amiloid-β protein
precursor pada kromosom 14 ditemukan pada 30-70% kasus,
presenilin pada kromosom 1 ditemukan pada kurang dari 5% kasus.
Sampai saat ini tidak ada mutasi genetik tunggal yang teridentifikasi
untuk Penyakit Alzheimer Awitan Lambat. Diduga faktor genetik dan
lingkungan saling berpengaruh. Diantara semua faktor genetik, gen
Apolipoprotein E (APOE E) yang paling banyak diteliti. Telaah secara
sistematik studi populasi menerangkan bahwa APOE E4 signifikan
meningkatkan risiko demensia penyakit Alzheimer terutama pada
wanita dan populasi antara 55-56 tahun, pengaruh ini berkurang pada
usia yang lebih tua (Ong dkk, 2015).
Sampai saat ini tidak ada studi yang menyebutkan perlunya tes genetik
untuk pasien demensia atau keluarganya. Apabila dicurigai autosomal
dominan, maka tes ini dapat dilakukan hanya setelah dengan informed
consent yang jelas atau untuk keperluan penelitian (Ong dkk, 2015).
II.1.6.2. Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi (Ong dkk, 2015)
II.1.6.2.1. Faktor Risiko Kardiovaskular
Berbagai studi kohort dan tinjauan sistematis menunjukkan bahwa
faktor risiko vaskular berkontribusi terhadap meningkatnya risiko demensia
dan Alzheimer. Secara khusus, hipertensi usia pertengahan (R.R 1,242,8), hiperkolesterolemia pada usia pertengahan (R.R 1,4-3,1), diabetes

Universitas Sumatera Utara

22

mellitus (R.R 1,39-1,47) dan stroke semuanya telah terbukti berhubungan
dengan peningkatan risiko kejadian demensia (Ong dkk, 2015).
1) Hipertensi
Pasien dengan hipertensi yang disertai dengan penurunan kognisi,
maka perlu dilakukan pemeriksaan CT scan/MRI otak untuk
mendeteksi adanya silent infarct, microbleed atau white matter
lesion (Ong dkk, 2015).
2) Asam folat dan Vitamin B
Suplemen asam folat dan vitamin B tidak direkomendasikan untuk
pencegahan dalam pengobatan pasien dengan demensia yang
bukan disebabkan karena defisiensi vitamin B12 (Ong dkk, 2015).
3) Statin
Terapi statin direkomendasikan untuk prevensi atau rutin diberikan
pada pasien Alzheimer (Ong dkk, 2015).

II.2. GANGGUAN TIDUR
II.2.1. Definisi Tidur
Tidur adalah keadaan dimana terjadi perubahan kesadaran atau
ketidaksadaran parsial dimana seorang individu dapat dibangunkan
(Tortora dan Derrickson, 2009). Tidur juga dapat diartikan sebagai periode
istirahat untuk tubuh dan pikiran, yang selama masa ini kemauan dan
kesadaran ditangguhkan sebagian atau seluruhnya dan fungsi-fungsi
tubuh sebagian dihentikan. Selain itu, tidur juga telah dideskripsikan

Universitas Sumatera Utara

23

sebagai status tingkah laku yang ditandai dengan posisi tak bergerak yang
khas dan sensitivitas reversibel yang menurun, tetapi siaga terhadap
rangsangan dari luar (Dorland, 2002).
II.2.2. Tahapan dan Siklus Tidur
Selama malam hari, seseorang melalui dua stadium tidur yang
saling bergantian, yaitu tidur paradoksikal atau tidur Rapid Eye Movement
(REM) dan tidur gelombang lambat atau tidur Non-Rapid Eye Movement
(NREM). Keseluruhan tidur yang terjadi adalah tidur gelombang lambat
yang dialami pada jam pertama tidur setelah bangun selama berjam-jam
sedangkan tidur paradoksikal terjadi pada 25% dari waktu tidur yang
berulang secara periodik setiap 90 menit. Tipe tidur ini umumnya disertai
dengan mimpi (Guyton dan Hall, 2006).
Tidur NREM terdiri dari 4 tahap yaitu : (Guyton dan Hall, 2006)
1. Tahap 1 adalah tahap transisi antara keadaan bangun (terjaga) dan
tidur, yang dalam keadaan normal berlangsung antara 1-7 menit.
Dalam tahap ini, orang dalam keadaan relaksasi dengan mata tertutup
dan pikiran yang belum tidur sepenuhnya. Apabila orang ini
dibangunkan pada tahap ini, maka mereka akan mengatakan bahwa
mereka belum tertidur (Guyton dan Hall, 2006).
2. Tahap 2 atau tidur ringan adalah tahap pertama orang dalam keadaan
benar-benar tertidur (Guyton dan Hall, 2006).
3. Tahap 3 adalah periode tidur dalam yang sedang. Suhu tubuh dan
tekanan darah menurun, dan menjadi sulit untuk dibangunkan. Tahap

Universitas Sumatera Utara

24

ini berlangsung kira-kira 20 menit setelah tertidur (Guyton dan Hall,
2006).
4. Tahap 4 adalah level terdalam dari tidur. Meskipun metabolisme otak
menurun secara signifikan dan suhu tubuh menurun sedikit pada tahap
ini, kebanyakan refleks masih terjadi, dan hanya terjadi sedikit
penurunan tonus otot (Tortora dan Derrickson, 2009).
Pada tahap ini orang akan sangat sulit dibangunkan, hanya suara yang
sangat keras yang dapat membangunkan orang tersebut. Apabila pada
tahap keempat orang ini dibangunkan, maka orang tersebut akan
terlihat grogi dan bingung (Carlson, 2005).
Tahap 1 ditandai dengan aktivitas

gelombang theta pada

elektroensefalografi (EEG). Aktivitas theta adalah aktivitas EEG dgn
frekuensi 3,5-7,5 Hz yang terjadi secara intermiten selama tahap awal tidur
NREM dan REM. Setelah kira-kira 10 menit, maka akan memasuki tahap 2
tidur NREM yang ditandai dengan aktivitas theta, sleep spindles dan K
kompleks. Sleep spindles adalah gelombang pendek dengan frekuensi 1214 Hz yang berlangsung sekitar dua hingga lima kali per menit yang
ditemukan selama tahap 1 hingga tahap 4 tidur NREM. Sleep spindles ini
diyakini merepresentasikan aktivitas dari mekanisme yang terlibat menjaga
orang agar tetap dalam keadaan tertidur. K kompleks adalah gelombang
tajam, tejadi secara tiba-tiba, terjadi kira-kira satu kali dalam satu menit,
biasanya dipicu oleh suara bising, dan hanya terdapat pada tahap kedua
tidur NREM dan tidak ditemukan pada tahap tidur lainnya. Tahap tidur

Universitas Sumatera Utara

25

ketiga dan keempat ditandai oleh aktivitas delta beramplitudo tinggi serta
berfrekuensi lebih kecil dari 3,5 Hz. Perbedaan tahap ketiga dan keempat
tidur NREM hanya ditentukan dari jumlah gelombang delta, pada tahap
ketiga, aktivitas delta yang ditemukan sekitar 20-50 persen, sedangkan
pada tahap keempat lebih dari 50 persen. Oleh karena ditemukan
gelombang delta pada tahap ketiga dan keempat tidur NREM, maka tahap
ketiga dan keempat inilah yang sering disebut sebagai tidur gelombang
lambat (Carlson, 2005).
Setelah tahap keempat tidur NREM, maka tidur akan memasuki
tahap tidur REM, demikian yang akan terus berlangsung secara
bergantian dan terus-menerus sepanjang tidur berlangsung. Satu siklus
berlangsung selama 90 menit, dengan tidur REM hanya berlangsung
sekitar 20-30 menit saja. Normalnya tidur REM harus didahului oleh tidur
gelombang lambat. Gambaran EEG tidur REM mirip dengan gambaran
EEG tahap 1 tidur NREM, hanya saja selain terdiri dari aktivitas theta
seperti pada tahap 1 tidur NREM, pada tidur REM juga dijumpai adanya
aktivitas beta pada EEG. Aktifitas beta adalah aktifitas listrik irregular 1330 Hz yang direkam dari otak, yang biasanya dijumpai pada keadaan
sadar (awake). Apabila orang sudah memasuki tidur REM, orang tersebut
bahkan sudah tidak respon terhadap suara bising, tetapi dapat dengan
mudah dibangunkan dengan rangsangan yang bermakna, seperti
memanggil nama orang tersebut. Dan, ketika orang tersebut bangun, akan
terlihat dalam keadaan waspada dan sadar sepenuhnya (Carlson, 2005).

Universitas Sumatera Utara

26

Tidur REM, ditandai dengan hilangnya ketegangan otot batang tubuh, dan
EEG desinkronisasi (cepat dan gelombang tidak teratur). Aktivitas serebral
(konsumsi oksigen, aliran darah, dan perangsangan neural) meningkat
pada banyak struktur otak, dan secara umum terjadi peningkatan pada
aktivitas sistem saraf otonom (tekanan darah, denyut nadi dan
pernafasan). Selain itu, selalu dijumpai juga ereksi klitoris atau penis
dengan tingkatan tertentu, serta ditemukan juga pergerakan bola mata
secara cepat dengan kondisi mata tertutup (bola mata di bawah kelopak
mata). Juga ditemukan korelasi yang sangat kuat antara tidur REM
dengan mimpi (Pinel, 2009). Fungsi dari tidur gelombang lambat adalah
untuk memberi waktu kepada otak untuk beristirahat, sedangkan fungsi
dari tidur REM adalah untuk perkembangan otak dan proses pembelajaran
(Carlson, 2005). Tidur adalah proses aktif, bukan sekedar tidak terjaga.
Tingkat aktivitas otak keseluruhan tidak berkurang selama tidur. Selama
stadium-stadium tidur tertentu, penyerapan oksigen oleh otak bahkan
meningkat melebihi tingkat terjaga normal. Siklus tidur-bangun adalah
variasi siklus normal dalam kesadaran mengenai keadaan sekitar.
Berbeda dengan keadaan terjaga, orang yang sedang tidur tidak secara
sadar waspada akan dunia luar, tetapi tetap memiliki pengalaman
kesadaran dalam batin seperti mimpi. Selain itu, mereka dapat
dibangunkan oleh rangsangan eksternal, misalnya bunyi alarm (Sherwood,
2001).

Universitas Sumatera Utara

27

II.2.3. Mekanisme Tidur Bangun
Mekanisme pengaturan tidur dan bangun diatur oleh beberapa
mekanisme, diantaranya:
1. Kontrol sistem kimia dari tidur
Suatu neurotransmiter nukleosida, adenosine, mempunyai peranan
yang penting dalam pengaturan tidur. Nutrien utama dari otak adalah
glukosa, yang diangkut oleh darah ke otak. Suplai darah yang cukup
biasanya akan memberikan jumlah glukosa yang cukup, tetapi bila
beberapa daerah di otak menjadi lebih aktif, sel-sel yang berada pada
bagian itu akan mengkonsumsi glukosa lebih cepat daripada yang disuplai
darah. Pada kasus demikian, nutrien glukosa yang kekurangan ini akan
disuplai oleh astrosit dengan cara memecah glikogen yang terdapat pada
astrosit tersebut. Metabolisme dari glikogen akan meningkatkan level
adenosine, sebuah neuromodulator yang mempunyai efek inhibisi.
Akumulasi dari adenosine akan meningkatkan aktivitas delta pada saat
tidur pada malam berikutnya. Setelah itu sel di daerah otak itu akan
beristirahat, dan astrosit akan memperbaharui stok glikogennya. Oleh
karena itu, jelas bahwa adenosine berpengaruh terhadap tidur. Kafein
(antagonis adenosine) yang terdapat pada kopi akan menghambat
adenosine sehingga akan menghilangkan efek tidur dan meningkatkan
keadaan terjaga (Carlson, 2005).

Universitas Sumatera Utara

28

2. Kontrol sistem saraf dari keadaan bangun
Ada sedikitnya lima sistem neuron berbeda yang penting dalam
mengatur keadaan bangun (terjaga) yaitu: sistem asetilkolinergik dari area
peribrachial pons dan basal forebrain, sistem noradrenergik dari locus
coeruleus, sistem serotonergik dari raphe nuclei, neuron histaminergik dari
nukleus

tuberomammilari

dan

sistem

hipokretinergik

dari

lateral

hipotalamus. Tidur tipe gelombang lambat terjadi ketika neuron di
ventrolateral preoptic area (VLPA) aktif. Neuron-neuron ini menginhibisi
neuron-neuron histaminergik dari nukleus tuberomammilari, neuron
noradrenergik dari locus coeruleus, dan neuron-neuron serotonergik dari
raphe nuclei. Sedangkan, VLPA diinhibisi oleh area yang merangsang
keadaan bangun di otak, sehingga akan terjadi hubungan timbal balik (flipflop) yang akan membuat kita sadar atau jatuh tertidur. Akumulasi dari
adenosine juga dapat menginisiasi tidur dengan cara menghambat
neuron-neuron asetilkolinergik di basal forebrain dan mengaktifkan
neuron-neuron VLPA. Adenosine juga terbukti menghambat sistem
hipokretinergik yang berfungsi membuat orang dalam keadaan terjaga
(Carlson, 2005).
Pengaruh hormon terhadap siklus tidur juga dipengaruhi oleh
beberapa hormon seperti Adrenal Corticotropin Hormone (ACTH), Growth
Hormone (GH) dan Luteneizing Hormone (LH). Hormon-hormon ini secara
teratur disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior melalui jalur hipotalamus.
Sistem

ini

secara

terus

menerus

mempengaruhi

pengeluaran

Universitas Sumatera Utara

29

neurotransmiter

serotonin,

histamin,

noradrenalin

yang

sangat

berpengaruh mengatur siklus bangun dan tidur (Carlson, 2005).
II.2.4. Kualitas Tidur
Kualitas tidur merupakan fenomena yang sangat kompleks yang
melibatkan berbagai domain, antara lain penilaian terhadap lama waktu
tidur, gangguan tidur, masa laten tidur, disfungsi tidur pada siang hari,
efisiensi tidur dan penggunaan obat tidur. Jadi apabila salah satu dari
domain

tersebut

terganggu

maka

akan

mengakibatkan

terjadinya

penurunan kualitas tidur (Buysee,1989).
Pada penilaian terhadap lama waktu tidur yang dinilai adalah waktu
dari tidur yang sebenarnya yang dialami seseorang pada malam hari.
Penilaian ini dibedakan dengan waktu yang dihabiskan di ranjang. Pada
penilaian terhadap gangguan tidur dinilai apakah seseorang terbangun
tidur pada tengah malam atau bangun pagi terlalu cepat, bangun untuk
pergi ke kamar mandi, sulit bernafas secara nyaman, batuk atau
mendengkur keras, merasa kedinginan, merasa kepanasan, mengalami
mimpi buruk, merasa sakit, dan alasan lain yang mengganggu tidur.
Penilaian terhadap masa laten tidur dinilai berapa menit yang dihabiskan
seseorang di tempat tidur sebelum akhirnya dapat tertidur dan apakah
orang tersebut tidak dapat tidur selama 30 menit. Selanjutnya, penilaian
terhadap disfungsi tidur pada siang hari dinilai apakah selama sebulan
yang lalu, seberapa sering timbul masalah yang mengganggu anda tetap
terjaga sadar saat mengendarai kendaraan, makan, dan beraktifitas sosial,

Universitas Sumatera Utara

30

serta dinilai juga berapa banyak masalah yang membuat seseorang tidak
antusias untuk menyelesaikannya dalam sebulan. Pada penilaian terhadap
efisiensi tidur dinilai waktu seseorang biasanya mulai tidur pada malam
hari selama sebulan, dan waktu seseorang biasanya bangun pada pagi
hari selama sebulan, serta dinilai juga waktu seseorang tertidur pulas pada
malam hari selama sebulan. Pada penilaian terhadap kualitas tidur dinilai
bagaimana seseorang menilai rata-rata kualitas tidurnya. Penilaian
terhadap penggunaan kualitas tidur hanya ditujukan pada penilaian
seberapa sering seseorang mengkonsumsi obat-obat untuk membantu
tidur dalam sebulan yang lalu (Buysee,1989).
II.2.5. Etiologi Gangguan Tidur
Terdapat

tiga

penyebab

utama

yang

paling

berpengaruh

menyebabkan gangguan tidur yaitu: (Lubit, 2012)
1. Kondisi medis
Berbagai

kondisi

medis

yang

buruk

dari

seseorang

dapat

menyebabkan seseorang mengalami gangguan tidur. Misalnya gangguan
pada paru yang menyebabkan gangguan nafas seperti asma dan penyakit
paru obstruktif kronis. Akibat gangguan pernafasan yang dialami, maka
seseorang tentunya saja akan mengalami gangguan tidur. Kondisi jantung
yang juga berpengaruh meyebabkan gangguan tidur pada seseorang
seperti iskemia dan gagal jantung kongestif. Berbagai penyakit neurologis
seperti stroke, kerusakan saraf perifer, apnea tidur tipe sentral dan
gangguan endokrinologis seperti pada kehamilan, gangguan siklus

Universitas Sumatera Utara

31

menstruasi, hipertiroid juga dapat menyebabkan gangguan tidur. Selain
itu,

kondisi gastrointestinal yang sangat

mengganggu

tidur yaitu

gastroesophageal reflux disease (GERD) karena asam lambung yang naik
ke esofagus akan menyebabkan rasa yang mengganggu (Lubit, 2012).
2. Kondisi psikiatri
Kondisi psikiatri seperti depresi dapat menyebabkan gangguan tidur
tipe REM. Stres pasca trauma sering menyebabkan gangguan tidur pada
malam hari. Selain itu, gangguan ansietas, panic disorder paling sering
menyebabkan insomnia atau sulit tidur pada banyak pasien. Selain itu,
perlu diketahui bahwa, penggunaan obat-obatan pada kondisi psikiatri
seperti antidepresan dapat mengganggu pola tidur REM. Obat-obat
benzodiazepin yang terlalu sering digunakan dan dalam dosis yang tinggi
dapat menyebabkan rebound insomnia (gangguan untuk tertidur akibat
pemakaian obat sehingga apabila obat dihentikan, pasien menjadi merasa
sulit tertidur) (Lubit, 2012).
3. Kondisi lingkungan
Gangguan tidur sering disebabkan lingkungan yang bising atau oleh
karena suhu lingkungan yang tidak nyaman. Pertukaran jam kerja yang
tidak teratur sering menyebabkan gangguan siklus tidur, seperti halnya
yang juga terjadi pada jetlag akibat bepergian ke tempat yang mempunyai
waktu yang tidak cocok dengan daerah asal. Pergantian ketinggian yang
signifikan juga dapat menyebabkan gangguan tidur (Lubit, 2012).

Universitas Sumatera Utara

32

II.2.6. Skala Tidur dari The Medical Outcome Study
Skala tidur dari The Medical Outcome Study merupakan suatu skala
yang dibuat dengan tujuan untuk menilai sejauh mana masalah tidur.
Skala ini mengukur enam dimensi tidur, yaitu inisiasi, maintenance
(misalnya: tetap tertidur), kuantitas, kecukupan, somnolens (misalnya: rasa
mengantuk) dan gangguan pernapasan (misalnya: mendengkur). Skala
tidur ini berupa kuesioner yang terdiri dari 12-item pertanyaan, dimana
setiap pertanyaan memiliki kemungkinan skor 1-6. Tidur yang terganggu
memiliki dampak besar pada kualitas hidup dan sering merupakan gejala
umum dari banyak kondisi kronis lainnya (Allen dkk, 2008).
Reliabilitas dan validitas skala tidur The Medical Outcome Study
telah dievaluasi terhadap sejumlah penyakit, termasuk nyeri neuropatik,
restless leg syndrome, overactive bladder dan rheumatoid arthritis. Skala
Ini juga telah dievaluasi pada populasi umum di Amerika Serikat (Allen
dkk, 2008).
Pada restless leg syndrome, penilaian psikometri dari empat
domain tidur The Medical Outcome Study, menunjukkan validitas yang
memuaskan (r> 0.40). Semua item domain melampaui standar untuk
validitas pada uji ke dua. The Medical Outcome Study menunjukkan
konsistensi reliabilitas yang baik. Disimpulkan bahwa skala tidur The
Medical Outcome Study merupakan tool yang handal dan valid untuk
menilai perubahan dalam tidur pada subjek dengan gangguan tidur
restless leg syndrome. Maka penggunaan skala ini untuk mengevaluasi

Universitas Sumatera Utara

33

kondisi lain yang menyebabkan gangguan tidur telah dianjurkan (Allen dkk,
2008).
II.2.7. Klasifikasi Gangguan Tidur
Pembagian gangguan tidur menurut American Academy of Sleep
Medicine Classification of Sleep Disorder, terdiri atas: (Purnomo dan
Islamiyah, 2014)
1. Insomnia
2. Sleep Related Breathing Disorders
3. Hypersomnias of Central Origin Not Due to a Circadian Rhythm Sleep
Disorder, Sleep Related Breathing Disorder, or Other Cause of
Disturbed Nocturnal Sleep
4. Circadian Rhythm Sleep Disorders
5. Parasomnias
6. Sleep Related Movement Disorders
7. Isolated Symptoms, Apparently Normal Variants and Unresolved
Issues
8. Other Sleep Disorders

II.3. TEKANAN DARAH
II.3.1. Definisi
Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding
arteri. Tekanan puncak terjadi saat ventrikel berkontraksi dan disebut
tekanan sistolik. Tekanan diastolik adalah tekanan terendah yang terjadi

Universitas Sumatera Utara

34

saat ventrikel beristirahat dan mengisi ruangannya. Tekanan darah
biasanya digambarkan sebagai rasio tekanan sistolik terhadap tekanan
diastolik (Oxford, 2003).
Berdasarkan Joint National Committe VIII, tekanan darah pada usia
dewasa ( ≥18 tahun) diklasifikasikan menjadi: (James dkk, 2013)
1. Normal: tekanan darah 90mmHg)
tidak mempunyai hubungan dengan peningkatan risiko. Diastolic Blood
Pressure yang rendah (65
tahun, dikelompokkan menjadi 3 kategori berdasarkan usia (65–74 tahun,
75–84 tahun dan >85 tahun) dan dikuti selama 8 tahun, fungsi kognitif
dinilai menggunakan Cognitive Abilities Screening Instrument (CASI).
Tekanan darah diukur pada saat pendaftaran dan setiap pemeriksaan dua
tahun sekali. Systolic Blood Pressure dibagi menjadi tiga kategori; tinggi
(>160 mmHg), menengah (140–159 mmHg), dan normal (90 mmHg), menengah (80–89
mmHg), dan normal (160mmHg) dan demensia
(HR 1,6; 95%CI 1,01–2,55). Hasil risiko didapati hampir sama walaupun
tidak signifikan secara statistika pada kelompok ini untuk terjadinya AD
(HR 1,38; 95% CI 0,71–2,71). Risiko yang dinilai untuk AD dan demensia
berhubungan dengan penurunan SBP seiring pertambahan usia. Didapati
adanya kecenderungan penurunan risiko AD dan demensia pada SBP
tinggi di kelompok umur yang lebih tua (>85 tahun) HR untuk AD 0,70;

Universitas Sumatera Utara

45

95% CI 0,25–1,95, HR untuk demensia 0,64; 95% CI 0,32–1,30) (Li dkk,
2007).
II.5.3. Hipotensi dan Risiko Demensia
Beberapa studi longitudinal juga mengidentifikasi bahwa tekanan
darah yang rendah juga merupakan faktor risiko terjadinya AD dan
demensia. Studi tersebut meneliti individu lanjut usia bukan demensia
secara kohort (>75 tahun), selama 21 tahun. Demensia didiagnosa
berdasarkan tes neuropsikologikal, pemeriksaan klinis dan neuroimaging.
Kasus ini kemudian didiskusikan pada pertemuan konsensus dan
didiagnosa berdasarkan kriteria DSM-III. Selama median follow-up 6,7
tahun, sebanyak 122 subjek mengalami demensia, dan sebanyak 65
subjek mengalami AD. Partisipan dengan DBP 90mmHg. Risiko menjadi lebih tinggi pada individu dengan DBP yang
persisten rendah. Hubungan ini tidak dinilai untuk SBP, atau untuk
hubungan antara DBP rendah dengan VaD (Verghese dkk, 2003). Pada
Kungsholmen Project’s, studi longitudinal selama

6 tahun, dari 1.270

individu tanpa demensia, dilaporkan hasil yang serupa yaitu DBP rendah
(85 tahun) dan Rotterdam (n=6.668,

Universitas Sumatera Utara

46

≥55 tahun), mendapati bahwa tekanan darah yang diukur secara
berkelanjutan berhubungan terbalik dengan risiko demensia (AD dan
VaD), pada pengguna obat antihipertensi (Ruitenberg dkk, 2001). Studi
berbasis populasi pada 599 individu (mean usia saat awal 82,8 tahun),
didapati SBP dan DBP rendah berhubungan dengan insiden AD yang lebih
tinggi, dimana SBP yang lebih tinggi berhubungan dengan fungsi kognitif
yang lebih baik. Studi ini dinilai dengan MMSE (Nilsson dkk, 2007).

Universitas Sumatera Utara

47

II.5. KERANGKA TEORI

Gangguan Tidur

Tekanan Darah

Bliwise, 2005: Tidur: suatu hal
yang esensial untuk fungsi
kognitif yang baik. Gangg. tidur,
ga