Hubungan Gangguan Tidur Dan Tekanan Darah Terhadap Risiko Kejadian Demensia Chapter III V

49

BAB III
METODE PENELITIAN

III.1. TEMPAT DAN WAKTU
Penelitian dilakukan di Panti Jompo Karya Kasih Medan dari
tanggal 31 Agustus 2016 s/d 03 September 2016.

III.2. SUBJEK PENELITIAN
Subjek penelitian diambil dari populasi lanjut usia di Panti Jompo
Karya Kasih Medan. Penentuan subjek penelitian dilakukan menurut
metode sampling non random secara konsekutif.
III.2.1. Populasi Sasaran
Semua

penderita

demensia

yang


ditegakkan

dengan

anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan/atau pemeriksaan penunjang.
III.2.2. Populasi Terjangkau
Semua penderita demensia pada populasi lanjut usia di Panti Jompo
Karya Kasih Medan.
III.2.3 Besar Sampel
Ukuran sampel dihitung menurut rumus :

n1  n2

Z


(1 / 2 )


2 P (1  P )  Z (1  ) P1 (1  P1 )  P2 (1  P2 )

P1  P2 2



2

49

Universitas Sumatera Utara

50

Dimana:

Z (1 / 2) = deviat baku alpha. Untuk  = 0,05 maka nilai baku normalnya
1,96


Z (1  ) = deviat baku betha. Untuk  = 0,10 maka nilai baku normalnya
1,282

P1

= proporsi demensia = 0,0248 (Ferri dkk, 2005)

P2

= perkiraan penderita demensia yang diteliti, ditetapkan = 0,2748

P1  P2 = beda proporsi yang bermakna ditetapkan sebesar = 0,25
Maka jumlah sampel minimal kelompok demensia dan bukan demensia
untuk penelitian ini masing-masing sebanyak 41 sampel.
III.2.4. Kriteria Inklusi
III.2.4.1. Kriteria Inklusi Demensia
1. Semua penderita demensia pada populasi lanjut usia di Panti
Jompo Karya Kasih Medan.
2. Memberikan persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian ini.
III.2.4.2. Kriteria Inklusi Bukan Demensia

1. Semua individu lanjut usia tanpa demensia.
2. Memberikan persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian ini.
III.2.5. Kriteria Eksklusi
1. Individu dengan gangguan kesadaran.
2. Individu dengan gangguan psikiatri.
3. Individu dengan afasia.

Universitas Sumatera Utara

51

III.3. BATASAN OPERASIONAL
1. Lanjut usia (lansia), menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No.13
Tahun 1998 tentang Kesehatan, adalah seseorang yang telah
mencapai usia 60 tahun.
2. Demensia adalah sindrom penurunan fungsi intelektual dibanding
sebelumnya yang cukup berat sehingga mengganggu aktivitas
sosial dan profesional yang tercermin dalam aktivitas hidup
keseharian, biasanya ditemukan juga perubahan perilaku dan tidak
disebabkan oleh delirium maupun gangguan psikiatri mayor.

Diagnosa ditegakkan berdasarkan kriteria DSM-IV (Ong dkk, 2015).
Pemeriksaan fungsi kognisi yang digunakan pada penelitian ini
adalah Mini Mental State Examination (MMSE) dan Clock Drawing
Test (CDT).
3. Gangguan tidur merupakan suatu kumpulan kondisi yang dicirikan
dengan gangguan dalam jumlah, kualitas, atau waktu tidur pada
seorang individu. Kuantitas tidur inadekuat adalah durasi tidur yang
inadekuat berdasarkan kebutuhan tidur sesuai usia akibat kesulitan
memulai (awitan tidur yang terlambat) dan/atau mempertahankan
tidur (periode panjang terjaga di malam hari). Kualitas tidur
inadekuat adalah fragmentasi dan terputusnya tidur akibat periode
singkat terjaga di malam hari yang sering berulang (Dorland, 2002).
Penilain gangguan tidur pada penelitian ini menggunakan skala
tidur dari The Medical Outcome Study, yang terdiri dari 12-item

Universitas Sumatera Utara

52

pertanyaan. Masing-masing item pertanyaan akan dianalisa secara

terpisah.
4. Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding
arteri. Tekanan puncak terjadi saat ventrikel berkontraksi dan
disebut tekanan sistolik. Tekanan diastolik adalah tekanan terendah
yang terjadi saat ventrikel beristirahat dan mengisi ruangannya.
Tekanan darah biasanya digambarkan sebagai rasio tekanan
sistolik terhadap tekanan diastolik (Oxford, 2003).
Penilaian tekanan darah pada penelitian ini didapat dari anamnesa
riwayat tekanan darah tinggi ataupun rendah, riwayat penggunaan
obat

antihipertensi,

serta

pengukuran

tekanan

darah


saat

wawancara.
5. Gangguan kesadaran adalah suatu keadaan dimana seseorang
tidak

dapat

memberikan

mengenali
tanggapan

lingkungannya
yang

cukup

dan


tidak

terhadap

mampu

rangsangan

(penglihatan, suara, sensasi) (Dorland, 2002).
6. Gangguan psikiatri merupakan gangguan yang mengenai satu
atau lebih fungsi jiwa, yang ditandai dengan terganggunya emosi,
proses berpikir, perilaku dan persepsi sehingga membutuhkan
penanganan seorang psikiater atau psikolog klinis (Pinel, 2009).
7. Afasia adalah gangguan kemampuan berbahasa (Brumfit, 2006).

Universitas Sumatera Utara

53


III.4. RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian observasional yaitu
penelitian yang mengamati dan menganalisis hubungan antara variabel
bebas dan variabel terikat melalui pengujian hipotesa yang telah
dirumuskan. Metode pengumpulan data secara potong lintang dengan
sumber data primer diperoleh dari populasi lanjut usia di Panti Jompo
Karya Kasih Medan yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak dijumpai
kriteria eksklusi.

III.5. PELAKSANAAN PENELITIAN
III.5.1. Instrumen
1. Kriteria diagnostik demensia berdasarkan Pedoman Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders-IV (DSM-IV). Kriteria ini
termasuk adanya gangguan kognitif memori dan tidak adanya salah
satu dari gangguan kognitif; seperti afasia, apraksia, agnosia dan
gangguan fungsi eksekutif.
2. Mini

Mental


State

Examination

(MMSE)

adalah

metode

pemeriksaan untuk menilai fungsi kognitif yang telah secara luas
digunakan oleh para klinisi untuk praktek klinik maupun penelitian.
Skor mulai dari 0-30. Nilai 24-30 = normal, 17-23 = probable
gangguan kognitif, 0-16 = definite gangguan kognitif.
3. Clock Drawing Test (CDT) adalah suatu tes neuropsikologi yang
dapat dipergunakan untuk menilai beberapa fungsi neuropsikiatrik

Universitas Sumatera Utara

54


dan visuospasial yang lebih baik. Skor mulai dari 0-4. Nilai skor 4 =
normal, 90
Pendidikan
SD
SMP
SMA
S1
Pekerjaan
IRT
Wirausaha
Pensiunan
Riwayat Tek. Darah
Hipotensi
Normotensi
Hipertensi
Tekanan Darah
< 100/70
100/70-139/89
≥ 140/90

Tidak

N=41

%

N=41

%

27
55

32,9
67,1

10
31

24,4
75,6

17
24

41,5
58,5

31
31
18
2

37,8
37,8
22,0
2,4

13
17
11
0

31,7
41,5
26,8
0,0

18
14
7
2

43,9
34,1
17,1
4,9

16
7
57
2

19,5
8,5
69,5
2,4

3
0
38
0

7,3
0,0
92,7
0,0

13
7
19
2

31,7
17,1
46,3
4,9

50
30
2

61,0
36,6
2,4

23
18
0

56,1
43,9
0,0

27
12
2

65,8
29,3
4,9

1
76
5

1,2
92,7
6,1

0
41
0

0,0
100,0
0,0

1
35
5

2,4
85,4
12,2

1
62
19

1,2
75,6
23,2

0
31
10

0,0
75,6
24,4

1
31
9

2,4
75,6
22,0

Dari keseluruhan 41 subjek tanpa demensia, didapatkan laki – laki
sebanyak 17 orang (41,5%) dan perempuan sebanyak 24 orang (58,5%).

Universitas Sumatera Utara

61

Kelompok usia yang terbanyak adalah 60-70 tahun yaitu sebanyak 18
orang (43,9%). Tingkat pedidikan yang paling banyak jumlah subjeknya
adalah tingkat SMA yaitu sebanyak 19 orang (46,3%). Pekerjaan
terbanyak adalah ibu rumah tangga yaitu berjumlah 27 subjek (65,8%).
Riwayat tekanan darah terbanyak pada kelompok ini adalah adalah
normotensi yaitu berjumlah 35 orang (85,4%), kemudian hipertensi
sejumlah 5 orang (12,2%), dan hipotensi sejumlah 1 orang (2,4%). Hasil
pengukuran tekanan darah terbanyak adalah 100/70-139/89 mmHg, yaitu
berjumlah 31 orang (75,6%), kemudian dengan tekanan darah ≥ 140/90
mmHg sejumlah 9 orang (22,0%), dan < 100/70 mmHg sejumlah 1 orang
(2,4%). Keseluruhan karakteristik demografik subjek penelitian dapat
dilihat pada tabel 2.

IV.1.2. Hubungan Gangguan Tidur dan Tekanan Darah terhadap
Risiko Kejadian Demensia
IV.1.2.1. Hubungan

Gangguan

Tidur

terhadap

Risiko

Kejadian

Demensia
Penilaian gangguan tidur pada penelitian ini menggunakan skala
tidur dari The Medical Outcomes Study yang terdiri dari 12 pertanyaan.
Masing-masing pertanyaan pada skala tersebut akan dianalisa secara
statistik terhadap hubungannya dengan kejadian demensia.
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dimana peneliti
mencari hubungan antara variabel bebas (faktor risiko) dengan variabel

Universitas Sumatera Utara

62

terikat (efek) dengan pengukuran sesaat. Untuk desain seperti ini akan
didapati nilai prevalence ratio (PR), yang menunjukkan peran faktor risiko
dalam terjadinya efek.
Prevalence ratio tersebut akan didapatkan dengan menggunakan
rumus: PR = a/(a+b) : c/(c+d), dimana a/(a+b) merupakan proporsi
(prevalens) subjek yang mempunyai faktor risiko yang mengalami efek,
sedangkan c/(c+d) merupakan proporsi (prevalens) subjek tanpa faktor
risiko yang mengalami efek. Prevalence ratio harus selalu disertai dengan
nilai confidence interval (CI) (Sastroasmoro dan Ismael, 2008).
Bila nilai PR = 1, berarti variabel yang diduga sebagai faktor risiko
tidak ada pengaruhnya dalam terjadinya efek, atau dengan kata lain
bersifat netral. Bila nilai PR > 1 dan rentang CI tidak mencakup angka 1,
berarti variabel tersebut merupakan faktor risiko timbulnya penyakit. Bila
nilai PR < 1 dan rentang nilai CI tidak mencakup angka 1, berarti faktor
yang diteliti merupakan faktor protektif. Bila nilai CI mencakup angka 1,
berarti pada populasi yang diwakili sampel tersebut mungkin nilai PR nya
1, sehingga belum dapat disimpulkan bahwa faktor yang dikaji merupakan
faktor risiko atau faktor protektif (Sastroasmoro dan Ismael, 2008).
Pada penelitian ini, dari 41 subjek dengan demensia terdapat
sebanyak 20 subjek (48,8%) memilih waktu 16-30 menit untuk pertanyaan
‘lama waktu sebelum akhirnya tertidur‘, dan dari 41 subjek tanpa demensia
terdapat sebanyak 16 subjek (39,0%) memilih waktu 0-15 menit untuk
pertanyaan tersebut. Hal ini dapat terlihat pada tabel 3.

Universitas Sumatera Utara

63

Tabel 3. Perbandingan

‘lama

waktu

sebelum akhirnya

tertidur‘

terhadap Kejadian Demensia
Demensia

Tanpa Demensia

N=41

N=41

N

%

N

%

0-15 menit

4

9,7

16

39,0

16-30 menit

20

48,8

9

21,9

31-45 menit

0

0,0

1

2,4

46-60 menit

12

29,3

9

21,9

> 60 menit

5

12,2

6

14,6

Tabel 4. Hubungan ‘lama waktu sebelum akhirnya tertidur‘ terhadap
Risiko Kejadian Demensia
Lama

waktu

sebelum

akhirnya

Demensia
Ya

Tidak

> 30 menit

17(41,5%)

16(39,0%)

≤ 30 menit

24(58,5%)

25(61,0%)

p

PR(CI 95%)

tertidur
0,822

1,052
(0,6791,629)

* prevalence ratio
Hasil analisa statistik untuk penilaian risiko menunjukkan bahwa
‘lama waktu yang dibutuhkan sebelum akhirnya tertidur’ yaitu > 30 menit
tidak mempunyai efek risiko yang signifikan terhadap terjadinya demensia
(PR=1,052;CI 95%=0,679-1,629; p=0,822).
Dari 41 subjek dengan demensia terdapat sebanyak 22 subjek
(53,6%) memilih waktu 6-8 jam untuk ‘jumlah jam tidur per malam‘, dan
dari 41 subjek tanpa demensia terdapat sebanyak 25 subjek (61,0%)

Universitas Sumatera Utara

64

memilih 6-8 jam untuk ‘jumlah jam tidur per malam‘. Hal ini dapat terlihat
pada tabel 5.

Tabel 5. Perbandingan ‘jumlah jam tidur per malam‘ terhadap
Kejadian Demensia
Demensia

Tanpa Demensia

N=41

N=41

N

%

N

%

< 6 jam

18

43,9

14

34,1

6-8 jam

22

53,6

25

61,0

> 8 jam

1

2,4

2

4,9

Tabel 6. Hubungan ‘jumlah jam tidur per malam‘ terhadap Risiko
Kejadian Demensia
Jumlah jam tidur
per malam

Demensia
Ya

Tidak

< 8 jam

18(43,9%)

12(29,3%)

≥ 8 jam

23(56,1%)

29(70,7%)

p

0,171

PR(CI 95%)

1,357
(0,8892,070)

*prevalence ratio
Hasil analisa statistik untuk penilaian risiko menunjukkan bahwa
‘jumlah jam tidur per malam’ yaitu < 8 jam tidak mempunyai efek risiko
yang signifikan terhadap terjadinya demensia (PR=1,357;CI 95%=0,8892,070; p=0,171).

Universitas Sumatera Utara

65

Tabel 7. Perbandingan ‘tidur tidak nyenyak‘ terhadap Kejadian Demensia
Demensia

Tanpa Demensia

N=41

N=41

N

%

N

%

Sepanjang waktu

1

2,4

3

7,3

Seringkali

14

34,1

15

36,6

Agak sering

1

2,4

1

2,4

Beberapa kali

12

29,2

3

7,3

Sedikit waktu

12

29,2

13

31,7

Tidak sama sekali

1

2,4

6

14,6

Tidak ditanyakan

0

0,0

0

0,0

Terlalu lelah menjawab

0

0,0

0

0,0

Ditolak

0

0,0

0

0,0

Berdasarkan tabel 7 diketahui bahwa dari 41 subjek dengan
demensia terdapat sebanyak 14 subjek (34,1%) memilih ‘seringkali’ untuk
pertanyaan tentang ‘tidur tidak nyenyak‘, dan juga dari 41 subjek tanpa
demensia terdapat sebanyak 15 subjek (36,6%) memilih ‘seringkali’ untuk
pertanyaan tersebut.
Hasil analisa statistik untuk penilaian risiko menunjukkan bahwa
‘tidur tidak nyenyak’ tidak mempunyai efek risiko terhadap terjadinya
demensia, dan belum dapat ditentukan sebagai faktor proktektif dengan
nilai CI mencakup angka 1 (PR=0,859;CI 95%=0,548-1,347; p=0,503). Hal
ini dapat dilihat pada tabel 8.

Universitas Sumatera Utara

66

Tabel 8. Hubungan ‘tidur tidak nyenyak‘ terhadap Risiko Kejadian
Demensia
Tidur

tidak

p

Demensia

nyenyak

Ya

Tidak

Ya

16(39,0%)

19(46,3%)

Tidak

25(61,0%)

22(53,7%)

PR(CI 95%)

0,503

0,859
(0,5481,347)

*prevalence ratio
Tabel 9. Perbandingan ‘tidur yang cukup sehingga merasa segar
ketika bangun‘ terhadap Kejadian Demensia
Demensia

Tanpa Demensia

N=41

N=41

N

%

N

%

Sepanjang waktu

1

2,4

6

14,6

Seringkali

28

68,3

23

56,1

Agak sering

7

17,1

6

14,6

Beberapa kali

3

7,3

3

7,3

Sedikit waktu

2

4,9

3

7,3

Tidak sama sekali

0

0,0

0

0,0

Tidak ditanyakan

0

0,0

0

0,0

Terlalu lelah menjawab

0

0,0

0

0,0

Ditolak

0

0,0

0

0,0

Berdasarkan tabel 9 diketahui bahwa dari 41 subjek dengan
demensia terdapat sebanyak 28 subjek (68,3%) memilih ‘seringkali’ untuk
pertanyaan tentang ‘tidur yang cukup sehingga merasa segar ketika
bangun‘, dan juga dari 41 subjek tanpa demensia terdapat sebanyak 23
subjek (56,1%) juga memilih ‘seringkali’ untuk pertanyaan tersebut.

Universitas Sumatera Utara

67

Tabel 10. Hubungan ‘tidur yang cukup sehingga merasa segar ketika
bangun‘ terhadap Risiko Kejadian Demensia
Tidur cukup, segar

p

Demensia

saat bangun

Ya

Tidak

Tidak

12(29,3%)

12(29,3%)

Ya

29(70,7%)

29(70,7%)

PR(CI 95%)

1,000

1,000
(0,6211,609)

*prevalence ratio
Hasil analisa statistik untuk penilaian risiko menunjukkan bahwa
tidak ‘tidur yang cukup sehingga merasa segar ketika bangun’, tidak
mempunyai efek risiko terhadap terjadinya demensia (PR=1,000;CI
95%=0,621-1,609; p=1,000).

Tabel 11. Perbandingan ‘terbangun dalam keadaan terengah-engah
atau sakit kepala‘ terhadap Kejadian Demensia
Demensia

Tanpa Demensia

N=41

N=41

N

%

N

%

Sepanjang waktu

0

0,0

0

0,0

Seringkali

1

2,4

1

2,4

Agak sering

1

2,4

2

4,9

Beberapa kali

17

41,5

6

14,6

Sedikit waktu

5

12,2

4

9,8

Tidak sama sekali

17

41,5

28

68,3

Tidak ditanyakan

0

0,0

0

0,0

Terlalu lelah menjawab

0

0,0

0

0,0

Ditolak

0

0,0

0

0,0

Universitas Sumatera Utara

68

Berdasarkan tabel 11, diketahui bahwa dari 41 subjek dengan
demensia terdapat sebanyak 17 subjek (41,5%) memilih ‘beberapa kali’
dan ‘tidak sama sekali’

untuk pertanyaan ‘sering terbangun dalam

keadaan terengah-engah atau sakit kepala‘, dan dari 41 subjek tanpa
demensia terdapat sebanyak 28 subjek (68,3%) memilih jawaban ‘tidak
sama sekali’ untuk pertanyaan tersebut.
Tabel 12. Hubungan ‘terbangun dalam keadaan

terengah-engah

atau sakit kepala‘ terhadap Risiko Kejadian Demensia
Bangun

terengah-

engah/sakit kepala
Ya
Tidak

Demensia
Ya

Tidak

2(4,9%)

2(4,9%)

39(95,1%)

39(95,1%)

p

1,000

PR(CI 95%)

1,000
(0,3662,731)

*prevalence ratio
Hasil analisa statistik untuk penilaian risiko menunjukkan bahwa
sering ‘terbangun terengah-engah atau sakit kepala’, tidak mempunyai
efek risiko terhadap terjadinya demensia (PR=1,000;CI 95%=0,366-2,731;
p=1,000).
Berdasarkan tabel 13 diketahui bahwa dari 41 subjek dengan
demensia terdapat sebanyak 16 subjek (39,0%) memilih jawaban ‘sedikit
waktu’ untuk pertanyaan tentang ‘rasa mengantuk sepanjang hari‘, dan
dari 41 subjek tanpa demensia terdapat sebanyak 13 subjek (31,7%)
memilih ‘tidak sama sekali’ untuk pertanyaan tersebut.

Universitas Sumatera Utara

69

Tabel 13. Perbandingan ‘rasa mengantuk sepanjang hari‘ terhadap
Risiko Demensia
Demensia

Tanpa Demensia

N=41

N=41

N

%

N

%

Sepanjang waktu

0

0,0

2

4,9

Seringkali

5

12,2

10

24,4

Agak sering

2

4,9

0

0,0

Beberapa kali

4

9,8

10

24,4

Sedikit waktu

16

39,0

6

14,6

Tidak sama sekali

14

34,1

13

31,7

Tidak ditanyakan

0

0,0

0

0,0

Terlalu lelah menjawab

0

0,0

0

0,0

Ditolak

0

0,0

0

0,0

Tabel 14. Hubungan ‘rasa mengantuk sepanjang hari‘ terhadap
Risiko Kejadian Demensia
Mengantuk
sepanjang hari

Demensia
Ya

Tidak

Ya

7(17,1%)

12(29,3%)

Tidak

34(82,9%)

29(70,7%)

p

0,195

PR(CI 95%)

0,683
(0,3631,284)

*prevalence ratio
Hasil analisa statistik untuk penilaian risiko menunjukkan bahwa
‘mengantuk sepanjang hari’ tidak mempunyai efek risiko terhadap
terjadinya demensia, dan belum dapat ditentukan sebagai faktor protektif
dengan nilai CI mencakup angka 1 (PR=0,683;CI 95%=0,363-1,284;
p=0,195).

Universitas Sumatera Utara

70

Berdasarkan tabel 15 diketahui bahwa dari 41 subjek dengan
demensia terdapat sebanyak 21 subjek (51,2%) memilih jawaban ‘sedikit
waktu’ untuk pertanyaan ‘mengalami kesulitan untuk tidur‘, dan dari 41
subjek tanpa demensia terdapat sebanyak 11 subjek (26,8%) memilih
‘seringkali’ dan ‘sedikit waktu’ untuk pertanyaan tersebut.
Tabel 15. Perbandingan ‘mengalami kesulitan untuk tidur‘ terhadap
Kejadian Demensia
Demensia

Tanpa Demensia

N=41

N=41

N

%

N

%

Sepanjang waktu

3

7,3

2

4,9

Seringkali

10

24,4

11

26,8

Agak sering

1

2,4

3

7,3

Beberapa kali

4

9,8

9

21,9

Sedikit waktu

21

51,2

11

26,8

Tidak sama sekali

2

4,9

5

12,2

Tidak ditanyakan

0

0,0

0

0,0

Terlalu lelah menjawab

0

0,0

0

0,0

Ditolak

0

0,0

0

0,0

Tabel 16. Hubungan ‘mengalami kesulitan untuk tidur‘ terhadap
Risiko Kejadian Demensia
Kesulitan

untuk

tidur

Demensia
Ya

Tidak

Ya

14(34,1%)

16(39,0%)

Tidak

27(65,9%)

25(61,0%)

p

0,647

PR(CI 95%)

0,899
(0,5651,429)

*prevalence ratio

Universitas Sumatera Utara

71

Hasil analisa statistik untuk penilaian risiko menunjukkan bahwa
‘mengalami kesulitan untuk tidur’ tidak mempunyai efek risiko terhadap
terjadinya demensia, dan belum dapat ditentukan sebagai faktor protektif
dengan nilai CI mencakup angka 1 (PR=0,899;CI 95%=0,565-1,429;
p=0,647).

Tabel 17. Perbandingan ‘terbangun sewaktu tidur dan sulit untuk
tidur kembali‘ terhadap Kejadian Demensia
Demensia

Tanpa Demensia

N=41

N=41

N

%

N

%

Sepanjang waktu

1

2,4

5

12,2

Seringkali

9

21,9

13

31,7

Agak sering

2

4,9

2

4,9

Beberapa kali

5

12,2

4

9,8

Sedikit waktu

23

56,1

10

24,4

Tidak sama sekali

1

2,4

7

17,1

Tidak ditanyakan

0

0,0

0

0,0

Terlalu lelah menjawab

0

0,0

0

0,0

Ditolak

0

0,0

0

0,0

Berdasarkan tabel 17 diketahui bahwa dari 41 subjek dengan
demensia terdapat sebanyak 23 subjek (56,1%) memilih jawaban ‘sedikit
waktu’ untuk pertanyaan ‘terbangun sewaktu tidur dan sulit untuk tidur
kembali‘, dan dari 41 subjek tanpa demensia terdapat sebanyak 13 subjek
(31,7%) memilih ‘seringkali’ untuk pertanyaan tersebut.

Universitas Sumatera Utara

72

Tabel 18. Hubungan ‘terbangun sewaktu tidur dan sulit untuk
tidur kembali‘ terhadap Kejadian Demensia
Terbangun

dan

p

Demensia

sulit tidur kembali

Ya

Tidak

Ya

12(29,3%)

20(48,8%)

Tidak

29(70,7%)

21(51,2%)

PR(CI 95%)

0,072

0,647
(0,3901,072)

*prevalence ratio
Hasil analisa statistik untuk penilaian risiko menunjukkan bahwa
sering ‘terbangun sewaktu tidur dan sulit untuk tidur kembali’ tidak
mempunyai efek risiko terhadap terjadinya demensia, dan belum dapat
ditentukan sebagai faktor protektif dengan nilai CI mencakup angka 1
(PR=0,647;CI 95%=0,390-1,072; p=0,072).

Tabel 19. Perbandingan ‘kesulitan untuk tetap terbangun sepanjang
hari‘ terhadap Risiko Kejadian Demensia
Demensia

Tanpa Demensia

N=41

N=41

N

%

N

%

Sepanjang waktu

0

0,0

0

0,0

Seringkali

6

14,6

5

12,2

Agak sering

0

0,0

1

2,4

Beberapa kali

7

17,1

9

21,9

Sedikit waktu

13

31,7

9

21,9

Tidak sama sekali

15

36,6

16

39,0

Tidak ditanyakan

0

0,0

0

0,0

Terlalu lelah menjawab

0

0,0

1

2,4

Ditolak

0

0,0

0

0,0

Universitas Sumatera Utara

73

Berdasarkan tabel 19,

diketahui bahwa dari 41 subjek dengan

demensia terdapat sebanyak 15 subjek (36,6%) memilih jawaban ‘tidak
sama sekali’ untuk pertanyaan ‘kesulitan untuk tetap terbangun sepanjang
hari‘, dan juga dari 41 subjek tanpa demensia terdapat sebanyak 16
subjek (39,0%) memilih ‘tidak sama sekali’ untuk pertanyaan tersebut.

Tabel 20. Hubungan ‘mengalami kesulitan untuk tetap terbangun
sepanjang hari‘ terhadap Risiko Kejadian Demensia
Kesulitan

untuk

tetap terbangun

Demensia
Ya

Tidak

Ya

6(14,6%)

6(14,6%)

Tidak

35(85,4%)

35(85,4%)

p

1,000

PR(CI 95%)

1,000
(0,5421,845)

*prevalence ratio

Hasil analisa statistik untuk penilaian risiko menunjukkan bahwa
‘mengalami kesulitan untuk tetap terbangun sepanjang hari’, tidak
mempunyai efek risiko terhadap terjadinya demensia (PR=1,000;CI
95%=0,542-1,845; p=1,000).
Diketahui bahwa dari 41 subjek dengan demensia terdapat
sebanyak 24 subjek (58,5%) memilih ‘tidak sama sekali’ untuk pertanyaan
‘mendengkur‘, dan juga dari 41 subjek tanpa demensia terdapat sebanyak
24 subjek (58,5%) memilih ‘tidak sama sekali’ untuk pertanyaan tersebut.
Hal ini dapat dilihat pada tabel 21.

Universitas Sumatera Utara

74

Tabel 21. Perbandingan ‘mendengkur‘ terhadap

Kejadian

Demensia
Demensia

Tanpa Demensia

N=41

N=41

N

%

N

%

Sepanjang waktu

3

7,3

2

4,9

Seringkali

1

2,4

1

2,4

Agak sering

0

0,0

0

0,0

Beberapa kali

1

2,4

2

4,9

Sedikit waktu

12

29,3

12

29,3

Tidak sama sekali

24

58,5

24

58,5

Tidak ditanyakan

0

0,0

0

0,0

Terlalu lelah menjawab

0

0,0

0

0,0

Ditolak

0

0,0

0

0,0

Tabel 22. Hubungan ‘mendengkur‘ terhadap

Risiko Kejadian

Demensia
Mendengkur

Ya
Tidak

Demensia
Ya

Tidak

4(9,8%)

3(7,3%)

37(90,2%)

38(92,7%)

p

0,694

PR(CI 95%)

1,158
(0,5862,289)

*prevalence ratio
Hasil analisa statistik untuk penilaian risiko menunjukkan bahwa
‘mendengkur’ tidak mempunyai efek risiko yang signifikan terhadap
terjadinya demensia (PR=1,158;CI 95%=0,586-2,289; p=0,694).
Berdasarkan tabel 23 diketahui bahwa dari 41 subjek dengan
demensia terdapat sebanyak 27 subjek (65,9%) memilih jawaban

Universitas Sumatera Utara

75

‘seringkali’ untuk ‘tidur siang’, dan dari 41 subjek tanpa demensia terdapat
sebanyak 21 subjek (51,2%) juga memilih ‘seringkali’ untuk pertanyaan
tersebut.
Hasil analisa statistik untuk penilaian risiko menunjukkan bahwa
‘tidur siang’ tidak mempunyai efek risiko yang signifikan terhadap
terjadinya demensia (PR=1,304;CI 95%=0,748-2,271; p=0,321). Hal ini
terlihat pada tabel 24.
Tabel 23. Perbandingan ‘tidur siang‘ terhadap Kejadian Demensia
Demensia

Tanpa Demensia

N=41

N=41

N

%

N

%

Sepanjang waktu

4

9,8

6

14,6

Seringkali

27

65,9

21

51,2

Agak sering

1

2,4

1

2,4

Beberapa kali

4

9,8

2

4,9

Sedikit waktu

0

0,0

2

4,9

Tidak sama sekali

5

12,2

9

21,9

Tidak ditanyakan

0

0,0

0

0,0

Terlalu lelah menjawab

0

0,0

0

0,0

Ditolak

0

0,0

0

0,0

Tabel 24. Hubungan ‘tidur siang‘ terhadap Risiko Kejadian Demensia
Tidur siang

Demensia
Ya

Tidak

Ya

32(78,0%)

28(68,3%)

Tidak

9(22,0%)

13(31,7%)

p

0,321

PR(CI 95%)

1,304
(0,7482,271)

*prevalence ratio

Universitas Sumatera Utara

76

Berdasarkan tabel 25 diketahui bahwa dari 41 subjek dengan
demensia terdapat sebanyak 20 subjek (48,8%) memilih ‘beberapa kali’
untuk pertanyaan ‘mendapatkan tidur yang dibutuhkan‘, dan dari 41 subjek
tanpa demensia terdapat sebanyak 19 subjek (46,3%) memilih ‘seringkali’
untuk pertanyaan tersebut
Tabel 25. Perbandingan ‘mendapatkan tidur yang dibutuhkan‘
terhadap Kejadian Demensia
Demensia

Tanpa Demensia

N=41

N=41

N

%

N

%

Sepanjang waktu

0

0,0

6

14,6

Seringkali

13

31,7

19

46,3

Agak sering

5

12,2

1

2,4

Beberapa kali

20

48,8

7

17,1

Sedikit waktu

0

0,0

4

9,8

Tidak sama sekali

1

2,4

1

2,4

Tidak ditanyakan

0

0,0

0

0,0

Terlalu lelah menjawab

2

4,9

3

7,3

Ditolak

0

0,0

0

0,0

Tabel 26. Hubungan ‘mendapatkan tidur yang dibutuhkan‘ terhadap
Risiko Kejadian Demensia
Mendapat

tidur

yang dibutuhkan

Demensia
Ya

Tidak

Tidak

23(56,1%)

15(36,6%)

Ya

18(43,9%)

26(63,4%)

p

0,042

PR(CI 95%)

1,479
(1,0772,637)

*prevalence ratio

Universitas Sumatera Utara

77

Hasil analisa statistik untuk penilaian risiko menunjukkan bahwa
tidak ‘mendapatkan tidur yang dibutuhkan’ mempunyai efek risiko yang
signifikan terhadap terjadinya demensia (PR=1,479;CI 95%=1,077-2,637;
p=0,042).

IV.1.2.2. Hubungan Tekanan Darah dengan Risiko Kejadian Demensia
Tabel 27. Perbandingan Tekanan Darah dengan Kejadian Demensia
Demensia

Tanpa Demensia

N=41

N=41

N

%

N

%

< 100/70

0

0,0

1

2,4

100/70-139/89

31

75,6

31

75,6

≥ 140/90

10

24,4

9

22,0

Berdasarkan tabel 27 diketahui bahwa dari 41 subjek dengan
demensia terdapat sebanyak 31 subjek (75,6%) dengan tekanan darah
100/70-139/89 mmHg, dan dari 41 subjek tanpa demensia juga terdapat
sebanyak 31 subjek (75,6%) dengan tekanan darah 100/70-139/89 mmHg.
Tabel 28. Hubungan Tekanan Darah dengan Risiko Kejadian
Demensia
Tekanan

darah

Demensia

(mmHg)

Ya

Tidak

≥ 140/90

10(24,4%)

9(22,0%)

< 140/90

31(75,6%)

32(78,0%)

P

0,794

PR(CI 95%)

1,070
(0,6521,754)

*prevalence ratio
Hasil analisa statistik untuk penilaian risiko menunjukkan bahwa
tekanan darah

≥ 140/90 mmHg tidak mempunyai efek risiko yang

Universitas Sumatera Utara

78

signifikan terhadap terjadinya demensia (PR=1,070;CI 95%=0,652-1,754;
p=0,794).

IV.2. PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan metode
pengumpulan data secara potong lintang dengan tujuan untuk mengetahui
hubungan antara gangguan tidur dan tekanan darah terhadap risiko
kejadian demensia.
Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif terhadap individu
lanjut usia pada Panti Jompo Karya Kasih Medan. Subjek dibedakan
menjadi subjek dengan demensia dan subjek tanpa demensia. Semua
subjek diambil secara konsekutif, kemudian subjek yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi, akan dilakukan anamnesa dan wawancara dengan
kuesioner tentang gangguan tidur serta dilakukan anamnesa dan
pemeriksaan status tekanan darah. Kemudian akan dilakukan analisa
hubungan gangguan tidur dan tekanan darah terhadap risiko kejadian
demensia pada populasi tersebut.
IV.2.1. Karakteristik Subjek Penelitian
Pada penelitian ini jumlah total subjek adalah 82 orang, dimana
didapatkan laki – laki sebanyak 27 orang (32,9%) dan perempuan
sebanyak 55 orang (67,1%). Dengan rentang usia 61-93 tahun, kelompok
usia yang terbanyak adalah 60-80 tahun yaitu sebanyak 62 orang (75,6%).
Tingkat pendidikan yang paling banyak jumlah subjeknya adalah tingkat

Universitas Sumatera Utara

79

SMA yaitu sebanyak 57 orang (69,5%) dan yang paling sedikit adalah
setingkat S1 yaitu berjumlah 2 orang (2,4%).
Dari 41 subjek dengan demensia, didapatkan laki – laki sebanyak
10 orang (24,4%) dan perempuan sebanyak 31 orang (75,6%). Kelompok
usia yang terbanyak adalah 71-80 tahun yaitu sebanyak 17 orang (41,5%).
Tingkat pendidikan yang paling banyak jumlah subjeknya adalah tingkat
SMA yaitu sebanyak 38 orang (92,7%). Dari keseluruhan 41 subjek tanpa
demensia, didapatkan laki – laki sebanyak 17 orang (41,5%) dan
perempuan sebanyak 24 orang (58,5%). Kelompok usia yang terbanyak
adalah 60-70 tahun yaitu sebanyak 18 orang (43,9%). Tingkat pedidikan
yang paling banyak jumlah subjeknya adalah tingkat SMA yaitu sebanyak
19 orang (46,3%). Pekerjaan terbanyak adalah ibu rumah tangga yaitu
berjumlah 27 subjek (65,8%).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh Tsapanou dkk
(2015) dimana dari keseluruhan 1.041 subjek, didapati subjek dengan
demensia sebanyak 966 orang dan subjek tanpa demensia sebanyak 75
orang, dengan keseluruhan rentang usia 79,3±6,4 tahun. Pada subjek
dengan demensia didapati wanita sebanyak 668 orang (69,2%), dengan
rentang tahun pendidikan 10,50±4,9. Pada subjek tanpa demensia
didapati wanita sebanyak 59 orang (78,7%), dengan rentang tahun
pendidikan 7,46±5,0.
Pada umumnya 40% penderita demensia berada di atas usia 65
tahun dengan angka insidens 187/100.000/tahunnya. Untuk demensia

Universitas Sumatera Utara

80

tidak ada perbedaan antara pria dan wanita sedangkan untuk demensia
Alzheimer lebih banyak wanita dengan rasio 1,6. Insiden demensia
Alzheimer sangat berkaitan dengan umur, 5% dari populasi berusia di atas
65 tahun di Amerika dan Eropa merupakan penderita Alzheimer, dan ini
sesuai dengan makin banyak populasi orang tua di Amerika Serikat dan
Eropa, maka makin tua populasinya makin banyak kasus AD, dimana
pada populasi berusia 80 tahun didapati 50% penderita AD (Sjahrir,1999).
Mubarak dan Cahyatin (2009) menyatakan pendidikan pada
hakekatnya

merupakan

usaha

untuk

membantu

individu

dalam

meningkatkan kemampuan atas perilaku untuk mencapai kesehatan yang
optimal. Semakin rendah tingkat pendidikan seseorang maka pengetahuan
yang didapat cenderung kurang. Sebaliknya semakin tinggi pendidikan
akan semakin mudah berpikir rasional dan menangkap informasi.
Pada penelitian ini, riwayat tekanan darah terbanyak pada
kelompok demensia adalah adalah normotensi yaitu berjumlah 41 orang
(100,0%). Hasil pengukuran tekanan darah terbanyak adalah 100/70139/89 mmHg, yaitu berjumlah 37 orang (90,2%), sisanya yaitu subjek
dengan tekanan darah ≥ 140/90 sejumlah 4 orang (9,8%). Pada kelompok
tanpa demensia pekerjaan terbanyak adalah ibu rumah tangga yaitu
berjumlah 27 subjek (65,8%). Riwayat tekanan darah terbanyak pada
kelompok ini adalah normotensi yaitu berjumlah 35 orang (85,4%),
kemudian hipertensi sejumlah 5 orang (12,2%), dan hipotensi sejumlah 1
orang (2,4%). Hasil pengukuran tekanan darah terbanyak adalah 100/70-

Universitas Sumatera Utara

81

139/89 mmHg, yaitu berjumlah 33 orang (80,5%), kemudian dengan
tekanan darah ≥ 140/90 mmHg sejumlah 7 orang (17,1%), dan < 100/70
mmHg sejumlah 1 orang (2,4%).
Pada 382 subjek (usia 70 tahun), yang diikuti selama periode 15
tahun, didapati jumlah partisipan yang mengalami demensia pada usia 79–
85 tahun memiliki SBP dan DBP yang lebih tinggi pada usia 70 tahun
dibandingkan partisipan yang tidak demensia. Diastolic Blood Pressure
yang lebih tinggi pada usia 70 dan 75 tahun berhubungan dengan insiden
yang lebih tinggi dengan AD dan VaD (Skoog dkk,1996).
Pada Adult Changes in Thought Study, didapati hubungan yang
signifikan antara SBP tinggi (>160mmHg) dan demensia (HR 1,6; 95%CI
1,01–2,55). Hasil risiko didapati hampir sama walaupun tidak signifikan
secara statistika pada kelompok ini untuk terjadinya AD (HR 1,38; 95% CI
0,71–2,71). Risiko yang dinilai untuk AD dan demensia berhubungan
dengan penurunan SBP seiring pertambahan usia. Didapati adanya
kecenderungan penurunan risiko AD dan demensia pada SBP tinggi di
kelompok umur yang lebih tua (>85 tahun) HR untuk AD 0,70; 95% CI
0,25–1,95, HR untuk demensia 0,64; 95% CI 0,32–1,30) (Li dkk, 2007).

IV.2.2. Gangguan Tidur dan Risiko Kejadian Demensia
Pada penelitian ini ‘lama waktu yang dibutuhkan sebelum akhirnya
tertidur’ yaitu > 30 menit tidak mempunyai efek risiko yang signifikan

Universitas Sumatera Utara

82

terhadap terjadinya demensia (PR=1,052;CI 95%=0,679-1,629; p=0,822).
Hal ini sesuai dengan penelitian Tsapanou dkk (2015) dimana didapati
bahwa semakin ‘lama waktu yang dibutuhkan sebelum akhirnya tertidur’
tidak berhubungan dengan insiden demensia (HR=1,10;CI 95%=0,9301,31; p=0,259).
Pada penelitian ini ‘jumlah jam tidur per malam’ yaitu < 8 jam tidak
mempunyai efek risiko yang signifikan terhadap terjadinya demensia
(PR=1,357;CI

95%=0,889-2,070;

p=0,171).

Tsapanou

dkk

(2015)

melaporkan semakin sedikit ‘jumlah jam tidur’ tidak berhubungan dengan
insiden demensia (HR=0,973;CI 95%=0,836-1,13; p=0,722).
Durasi tidur yang dilaporkan rendah dan peningkatan kesulitan
untuk tertidur berhubungan dengan kadar Aβ yang tinggi di area kortikal
dan precuneus, suatu area yang berhubungan dengan kognisi dan
demensia. Kualitas tidur yang rendah juga berhubungan dengan deposisi
Aβ di precuneus. Studi yang lain memaparkan bahwa peningkatan yang
stabil di kadar Aβ menyebabkan gangguan untuk tidur dan menyebabkan
stres. Karena itu, muncul hipotesis bahwa masalah tidur mengacu pada
peningkatan deposisi Aβ, yang berperan dalam perkembangan demensia.
Hasil analisa statistik untuk penilaian risiko pada penelitian ini
menunjukkan bahwa ‘tidur tidak nyenyak’ tidak mempunyai efek risiko
terhadap terjadinya demensia, dan belum dapat ditentukan sebagai faktor
proktektif dengan nilai CI mencakup angka 1 (PR=0,859;CI 95%=0,5481,347; p=0,503). Hal ini sesuai dengan studi Tsapanou dkk (2015), bahwa

Universitas Sumatera Utara

83

‘tidur tidak nyenyak’ tidak berhubungan dengan insiden demensia
(HR=0,891;CI 95%=0,725-1,09; p=0,273).
Tidak ‘tidur yang cukup sehingga merasa segar ketika bangun’,
tidak mempunyai efek risiko terhadap terjadinya demensia (PR=1,000;CI
95%=0,621-1,609; p=1,000). Tsapanou dkk (2015) melaporkan tidak ‘tidur
yang cukup sehingga merasa segar ketika bangun’ tidak berhubungan
dengan insiden demensia (HR=1,06;CI 95%=0,908-1,25; p=0,441).
Sering ‘terbangun

terengah-engah

atau sakit kepala’,

tidak

mempunyai efek risiko terhadap terjadinya demensia (PR=1,000;CI
95%=0,366-2,731; p=1,000). Tsapanou dkk (2015) melaporkan sering
‘terbangun terengah-engah atau sakit kepala’ tidak berhubungan dengan
insiden demensia (HR=1,09;CI 95%=0,795-1,50; p=0,582).
‘Mengantuk sepanjang hari’ tidak mempunyai efek risiko terhadap
terjadinya demensia, dan belum dapat ditentukan sebagai faktor protektif
dengan nilai CI mencakup angka 1 (PR=0,683;CI 95%=0,363-1,284;
p=0,195). Tsapanou dkk (2015) ‘mengantuk sepanjang hari’ tidak
berhubungan dengan insiden demensia (HR=1,02;CI 95%=0,857-1,23;
p=0,790).
Pada berbagai studi, telah dinilai hubungan antara self-reported
sleep problems dan insiden demensia, dengan jumlah sampel yang besar
pada individu lanjut usia. Peningkatan rasa kantuk siang hari dan tidur
yang inadekuat berhubungan dengan peningkatan risiko insiden demensia
(Benedict dkk, 2015).

Universitas Sumatera Utara

84

Pada penelitian ini ‘kesulitan untuk tidur’ tidak mempunyai efek
risiko terhadap terjadinya demensia, dan belum dapat ditentukan sebagai
faktor protektif dengan nilai CI mencakup angka 1

(PR=0,899;CI

95%=0,565-1,429; p=0,647). Tsapanou dkk (2015) melaporkan ‘kesulitan
untuk tidur’ tidak berhubungan dengan insiden demensia (HR=1,06;CI
95%=0,903-1,25; p=0,458).
Sering ‘terbangun dan sulit untuk tidur kembali’ tidak mempunyai
pengaruh risiko terhadap terjadinya demensia, dan belum dapat ditentukan
sebagai faktor protektif dengan nilai CI mencakup angka 1 (PR=0,647;CI
95%=0,390-1,072; p=0,072). Tsapanou dkk (2015) melaporkan sering
‘terbangun dan sulit untuk tidur kembali’ tidak berhubungan dengan
insiden demensia (HR=1,12;CI 95%=0,956-1,32; p=0,158).
‘Mengalami kesulitan untuk tetap terbangun sepanjang hari’, tidak
mempunyai efek risiko terhadap terjadinya demensia (PR=1,000;CI
95%=0,542-1,845;

p=1,000).

Tsapanou

dkk

(2015)

melaporkan

‘mengalami kesulitan untuk tetap terbangun sepanjang hari’ tidak
berhubungan dengan insiden demensia (HR=1,21;CI 95%=0,987-1,50;
p=0,067).
‘Mendengkur’ tidak mempunyai efek risiko yang signifikan terhadap
terjadinya demensia (PR=1,158;CI 95%=0,586-2,289; p=0,694). Tsapanou
dkk (2015) melaporkan ‘mendengkur’ tidak berhubungan dengan insiden
demensia (HR=1,01;CI 95%=0,860-1,18; p=0,916).

Universitas Sumatera Utara

85

Prevalensi sleep apnea lebih tinggi pada pasien dengan penyakit
Alzheimer dibandingkan dengan kontrol. Namun, beberapa penelitian telah
gagal untuk menunjukkan adanya hubungan tersebut. Pasien dengan
demensia vaskular memiliki insiden OSA yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien dengan penyakit Alzheimer (Sharafkhaneh dkk, 2005).
‘Tidur siang’ tidak mempunyai efek risiko yang signifikan terhadap
terjadinya demensia (PR=1,304;CI 95%=0,748-2,271; p=0,321). Tsapanou
dkk (2015) melaporkan ‘tidur siang’ tidak berhubungan dengan insiden
demensia (HR=1,09;CI 95%=0,948-1,26; p=0,221).
Ada kemungkinan bahwa masalah tidur mungkin merupakan tanda
proses neurodegenerasi yang sedang berjalan dibandingkan sebagai
suatu faktor risiko. Penelitian lanjutan pada populasi bukan demensia,
fungsi kognitif baik, dan bahkan partisipan yang secara biologis dengan
otak yang sehat, dengan masa follow-up yang lebih lama dibutuhkan untuk
lebih menjelaskan mekanisme yang mendasari hal ini (Benedict dkk,
2015).
Tidak ‘mendapatkan tidur yang dibutuhkan’ mempunyai pengaruh
risiko yang signifikan terhadap terjadinya demensia (PR=1,479;CI
95%=1,077-2,637; p=0,042). Hal ini sesuai dengan studi oleh Tsapanou
dkk (2015), bahwa

tidak ‘mendapatkan tidur yang dibutuhkan’

berhubungan signifikan dengan insiden demensia (HR=1,20;CI 95%=1,021,42; p=0,027).

Universitas Sumatera Utara

86

Tidur yang inadekuat (tidak mendapat tidur yang dibutuhkan)
menyebabkan neurodegerasi dengan mencetuskan neuroinflamasi dan
mengganggu

proses

neurogenesis,

terutama

pada

area

seperti

hipokampus, suatu regio yang berperan penting untuk memori. Degenerasi
pada regio ini berhubungan dengan kemampunan belajar, yang dapat
menjelaskan kenapa tidur yang inadekuat dan berhubungan dengan
insiden demensia (Benedict dkk, 2015).
Tidur merupakan suatu hal yang esensial untuk fungsi kognitif yang
baik. Gangguan tidur, gangguan pernapasan saat tidur, merupakan faktor
risiko untuk terjadinya demensia. Mengingat tingginya prevalensi masalah
tidur pada orang tua, penting untuk menentukan apakah hal tersebut benar
berpengaruh terhadap demensia (Bliwise, 2005).

IV.2.3. Tekanan Darah dan Risiko Kejadian Demensia
Hasil analisa statistik untuk penilaian risiko menunjukkan bahwa
tekanan darah

≥ 140/90 mmHg tidak mempunyai efek risiko yang

signifikan terhadap terjadinya demensia (PR=1,070;CI 95%=0,652-1,754;
p=0,794).
Penelitian Honolulu Asia Aging mempelajari hubungan ini pada
3.703 individu Jepang-Amerika yang berusia 45-68 tahun, diteliti secara
prospektif selama 26 tahun di Honolulu. Dari total sampel, 5,9% memiliki
SBP ≤160 mmHg. Terdapat hubungan kuat antara hipertensi dengan AD
dan VaD ketika 160/95 mmHg digunakan sebagai cut-off. Suatu

Universitas Sumatera Utara

87

hubungan lebih kuat, meskipun tidak signifikan, juga dikaitkan dengan cutoff 140/90 mmHg (Launer dkk, 2000).
Studi menemukan bahwa sistolik dan/atau diastolik di usia
pertengahan berhubungan dengan peningkatan AD dan VaD. Sistolic
Blood

Pressure

yang

tinggi

dan

kadar

kolesterol

yang

tinggi,

meningkatkan risiko AD atau VAD (Korf dkk, 2004). Adult Health Study di
Jepang merupakan satu-satunya studi yang menghubungkan hipertensi
sistolik usia pertengahan dan VaD usia lanjut (OR 1,33; 95% CI 1,141,56). Secara keseluruhan terdapat bukti substansial efek tekanan darah
tinggi usia pertengahan dan perkembangan akhir demensia (Yamada dkk,
2003).
Perbedaan hasil penelitian ini dengan studi-studi sebelumnya dapat
disebabkan oleh desain penelitian ini yang bersifat potong lintang, dimana
desain

seperti

ini

mempunyai

kelemahan

untuk

menilai

risiko,

dibandingkan studi-studi longitudinal. Penilaian tekanan darah pada
sampel dan risiko demensia hanya dilakukan pada satu waktu.

Universitas Sumatera Utara

88

IV.2.4. Perbandingan Hasil Penelitian dengan Studi Sebelumnya
Tabel 29. Perbandingan Hasil Penelitian dengan Studi Sebelumnya
Penelitian Ini
‘Lama

waktu

Studi Sebelumnya
yang

dibutuhkan Tsapanou

sebelum akhirnya tertidur’ yaitu > 30 ‘lama

dkk,

waktu

menit tidak mempunyai efek risiko sebelum

Semakin
dibutuhkan

tertidur’

dengan

tidak

insiden

(PR=1,052;CI demensia (HR=1,10;CI 95%=0,930-

95%=0,679-1,629; p=0,822).

1,31; p=0,259).

‘Jumlah jam tidur per malam’ yaitu Tsapanou
< 8 jam tidak mempunyai efek risiko sedikit

dkk,

‘jumlah

yang signifikan terhadap terjadinya berhubungan
demensia

2015:
jam

tidak

nyenyak’

Semakin

tidur’

dengan

(PR=1,357;CI demensia

95%=0,889-2,070; p=0,171).
‘Tidur

yang

akhirnya

yang signifikan terhadap terjadinya berhubungan
demensia

2015:

tidak
insiden

(HR=0,973;CI

95%=0,836-1,13; p=0,722).
tidak Tsapanou dkk, 2015: ‘Tidur tidak

mempunyai efek risiko terhadap nyenyak’ tidak berhubungan dengan
terjadinya demensia, dan belum insiden
dapat

ditentukan

sebagai

demensia

(HR=0,891;CI

faktor 95%=0,725-1,09; p=0,273).

proktektif dengan nilai CI mencakup
angka 1 (PR=0,859;CI 95%=0,5481,347; p=0,503).
Tidak ‘tidur yang cukup sehingga Tsapanou dkk, 2015: Tidak ‘tidur
merasa segar ketika bangun’, tidak yang cukup sehingga tidak merasa
mempunyai efek risiko terhadap segar

ketika

terjadinya demensia (PR=1,000;CI berhubungan
95%=0,621-1,609; p=1,000).

bangun’
dengan

tidak
insiden

demensia (HR=1,06;CI 95%=0,9081,25; p=0,441).

Universitas Sumatera Utara

89

Tabel 29. Perbandingan Hasil Penelitian dengan Studi Sebelumnya
(Lanjutan..)
Penelitian Ini

Studi Sebelumnya

Sering’ terbangun terengah-engah Tsapanou

dkk,

atau sakit kepala’, tidak mempunyai ‘terbangun

terengah-engah

efek

risiko

terhadap

demensia

terjadinya sakit kepala’

(PR=1,000;CI dengan

95%=0,366-2,731; p=1,000).

2015:

Sering
atau

tidak berhubungan

insiden

(HR=1,09;CI

demensia

95%=0,795-1,50;

p=0,582).
‘Mengantuk sepanjang hari’ tidak Tsapanou dkk, 2015: ‘Mengantuk
mempunyai efek risiko terhadap sepanjang hari’ tidak berhubungan
terjadinya demensia, dan belum dengan
dapat

ditentukan

sebagai

insiden

faktor (HR=1,02;CI

demensia

95%=0,857-1,23;

protektif dengan nilai CI mencakup p=0,790).
angka 1 (PR=0,683;CI 95%=0,3631,284; p=0,195).
‘Mengalami kesulitan untuk tidur’ Tsapanou dkk, 2015: ‘Mengalami
tidak

mempunyai

efek

risiko kesulitan

untuk

terhadap terjadinya demensia, dan berhubungan

tidur’

dengan

tidak
insiden

belum dapat ditentukan sebagai demensia (HR=1,06;CI 95%=0,903faktor

protektif

dengan

mencakup angka 1

nilai

CI 1,25; p=0,458).

(PR=0,899;CI

95%=0,565-1,429; p=0,647).

Universitas Sumatera Utara

90

Tabel 29. Perbandingan Hasil Penelitian dengan Studi Sebelumnya
(Lanjutan..)
Penelitian Ini

Studi Sebelumnya

Sering ‘terbangun dan sulit untuk Tsapanou

dkk,

2015:

Sering

tidur kembali’ tidak mempunyai efek ‘terbangun dan sulit untuk tidur
risiko terhadap terjadinya demensia kembali’ tidak berhubungan dengan
(PR=0,647;CI

95%=0,390-1,072; insiden

p=0,072).

demensia

(HR=1,12;CI

95%=0,956-1,32; p=0,158).

‘Kesulitan untuk tetap terbangun Tsapanou

dkk,

2015:

‘Kesulitan

sepanjang hari’, tidak mempunyai untuk tetap terbangun sepanjang
efek

risiko

terjadinya hari’

terhadap

demensia

(PR=1,000;CI insiden

95%=0,542-1,845; p=1,000).
‘Mendengkur’

tidak berhubungan

tidak

demensia

dengan

(HR=1,21;CI

95%=0,987-1,50; p=0,067).

mempunyai Tsapanou dkk, 2015: ‘Mendengkur’

efek risiko yang signifikan terhadap tidak berhubungan dengan insiden
terjadinya demensia (PR=1,158;CI demensia (HR=1,01;CI 95%=0,86095%=0,586-2,289; p=0,694).

1,18; p=0,916).
Sharafkhaneh

dkk,

2005:

Prevalensi sleep apnea lebih tinggi
pada

pasien

Alzheimer

dengan

dibandingkan

penyakit
dengan

kontrol.
‘Tidur siang’ tidak mempunyai efek Tsapanou dkk, 2015: ‘Tidur siang’
risiko

yang

signifikan

terhadap tidak berhubungan dengan insiden

terjadinya demensia (PR=1,304;CI demensia (HR=1,09;CI 95%=0,94895%=0,748-2,271; p=0,321).

1,26; p=0,221).

Universitas Sumatera Utara

91

Tabel 29. Perbandingan Hasil Penelitian dengan Studi Sebelumnya
(Lanjutan..)
Penelitian Ini
Tidak

Studi Sebelumnya

‘mendapatkan

tidur

yang Tsapanou

dkk,

dibutuhkan’ mempunyai pengaruh ‘mendapatkan
risiko

yang

signifikan

2015:

Tidak

tidur

terhadap dibutuhkankan’

yang

berhubungan

terjadinya demensia (PR=1,479;CI signifikan dengan insiden demensia