Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Faktor Penyebab Technostress terhadap Kinerja Pegawai dengan Dukungan Organisasi sebagai Moderating Variabel T2 912013035 BAB II
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1
Penalaran Konsep
2.1.1 Technostress
Technostress merupakan suatu bentuk tekanan
dalam menjalankan pekerjaan yang berhubungan dengan
teknologi
yang
dapat
menimbulkan
stres.
Istilah
technostress berasal dari penggabungan antara teknologi
dan stres yang mana hal ini merupakan sebuah tekanan
psikologis yang biasa dialami oleh seorang pegawai pada
periode penggunaan sistem otomatisasi kantor (Odoh,
2011 dalam Odoh & Odigbo, 2013). Technostress sering
juga dikenal dengan istilah technophobia, cyber phobia,
computer phobia, computer anciety, dan computer stress
(Akhtari et al. 2013).
Champion (1988) menyatakan bahwa pada era
informasi, perubahan merupakan suatu hal yang sangat
penting. Akan tetapi, perubahan bukan hanya tentang
komponen teknis seperti mesin, program, dan jaringan
namun
teknologi
lebih
pada
respons
terhadap
perubahan
itu sendiri. Senada dengan Champion, Clark
dan Kalin (1996) mengemukakan bahwa technostress
merupakan "resistance to change" atau keengganan untuk
berubah di mana stres merupakan sebuah reaksi alami
akibat perubahan teknologi, sehingga perubahan tersebut
10
harus dikelola dengan baik agar tidak membawa dampak
buruk terhadap kondisi pegawai.
Secara umum technostress berdampak pada kondisi
fisik dan psikis seseorang. Harper (2000) menyebutkan
bentuk
fisik
technostress
meliputi
ketegangan
pada
beberapa anggota tubuh seperti leher, bahu, pinggang,
dan pergelangan tangan yang disebabkan karena terlalu
lama duduk di depan komputer dan efek dari penggunaan
mouse.
Selain
itu
dapat
mengganggu
penglihatan
seseorang seperti: mata terasa sakit (panas, gatal, dan
kering), mata kemerahan dan iritasi, penglihatan yang
kabur, kesulitan dalam pemusatan penglihatan atau
penglihatan ganda (Dyer & Morris, 1990).
Griffith dan Norton (1999) berpendapat bahwa
technostress diakibatkan oleh jumlah informasi yang
diterima
melebihi
kemampuan
memprosesnya
dengan
menyebabkan
seseorang
menggunakan
teknologi,
cara
seseorang
yang
benar
merasakan
dan
untuk
sehingga
minder,
emosional.
takut
Dampak
psikologis lain menurut Okebaram dan Moses (2013)
adalah menurunnya rasa percaya diri, frustrasi, kelelahan
dan sulit berkonsentrasi. Selain itu, technostress menurut
Ader
(2012)
menurunkan
dapat
kinerja
mengganggu
kerja,
ketidakpuasan kerja.
11
lingkungan
dan
kerja,
meningkatkan
2.1.1.1
Faktor Penyebab Technostress
Tarafdar et al. (2007) dan Ragu-Nathan et al. (2008)
menguraikan
Pertama,
lima
faktor
penyebab
techno-overload. Merupakan
technostress.
situasi
dimana
pengguna teknologi dipaksa untuk dapat bekerja lebih
banyak dan lebih cepat. Hal ini merupakan konsekuensi
dari
peningkatan
mengharapkan
produktif
dukungan
pegawai
(Francis,
untuk
2013).
teknologi
dapat
Selain
itu,
bekerja
yang
lebih
peningkatan
pekerjaan juga disebabkan karena jumlah permintaan
pengguna yang semakin banyak sehingga menyebabkan
terjadinya information overload (Al-Qallaf, 2006) hal ini
membuat para pegawai harus bekerja ekstra karena
harus melakukan input data ke dalam sistem komputer
dalam waktu yang terbatas sehingga para pegawai harus
bekerja lebih cepat (Ragu-Nathan, 2008).
Faktor kedua yaitu techno-invasion. Dalam era
digital seperti saat ini, kebutuhan akan teknologi menjadi
sangat esensial. Kemajuan teknologi memaksa individu
untuk selalu terhubung dengan organisasi sehingga
mereka harus selalu mengikuti perkembangan organisasi
dan pekerjaan mereka (Ayyagari, 2011). Weil dan Rosen
(1997) mengungkapkan bahwa dengan hadirnya surat
elektronik meningkatkan tekanan pegawai karena mereka
harus selalu siap merespon setiap surat atau informasi
yang masuk kapanpun dan dimanapun. Situasi seperti ini
12
lebih dikenal dengan istilah techno-invasion di mana
hadirnya teknologi membuat para penggunanya merasa
selalu terhubung dengan pekerjaan mereka dimanapun
dan kapanpun.
Faktor ketiga yaitu techno-complexity. Faktor ini
merupakan situasi di mana para pengguna teknologi
merasa bahwa teknologi yang harus digunakan sangat
rumit sedangkan kemampuan yang mereka miliki masih
jauh tertinggal sehingga dibutuhkan waktu untuk dapat
menggunakan
Okebaram
(2010)
perkembangan
individu
teknologi
yaitu
baru.
Menurut
ketidaksesuaian
teknologi
Moses
dan
kemampuan
dan
dipengaruhi
performance
anciety
faktor
dan
internal
kurangnya
pengalaman menggunakan komputer. Sehingga Tiemo
dan
Ofua
(2010)
berpendapat
untuk
meminimalisir
kecemasan karena kurangnya kemampuan individu maka
organisasi
perlu
memberikan
pelatihan
sebelum
menerapkan sistem atau aplikasi baru sehingga para
pegawai merasa lebih percaya
diri dan juga perlu
memberikan pendampingan oleh rim khusus IT sehingga
dapat mengurangi kecemasan para pegawai ketika terjadi
permasalahan dengan peralatan yang digunakan.
Faktor keempat yaitu techno-insecurity. Hal ini
sering dialami oleh para pekerja yang merasa takut jika
pekerjaan mereka akan digantikan oleh teknologi baru
atau orang lain yang lebih menguasai teknologi. Menurut
13
penelitian Akhtari (2013) para pegawai yang berusia lebih
dari 45 tahun mengalami tingkat stres yang lebih tinggi
karena mereka kesulitan beradaptasi dengan teknologi
baru dan juga sulit bagi mereka untuk mempelajari
teknologi
baru.
Sedangkan
menurut
penelitian
Mahalakshmi et al. (2014), orang-orang muda lebih
familiar
dengan
perkembangan
teknologi
terbaru,
sehingga mereka lebih kecil kemungkinan bagi mereka
mengalami technostress.
Faktor
terakhir
yaitu
techno-uncertainty.
Merupakan situasi di mana para pengguna teknologi
merasa tidak nyaman karena teknologi yang digunakan
selalu
berubah.
tekanan
Enis
pekerjaan
(2005)
yang
mengemukakan
dapat
menyebabkan
bahwa
stres
diantaranya karena perubahan teknologi dan aplikasi
yang terlalu cepat dan standarisasi pekerjaan yang tidak
jelas. Faktor lain yang menyebabkan ketidaknyamanan
para pegawai manurut Ragu-Nathan (2008) yaitu karena
seringnya perbaikan atau penggantian software dan
hardware sehingga menghambat pekerjaan.
2.1.2
Kinerja
Salah satu kunci keberhasilan organisasi di era
globalisasi saat ini adalah sejauh mana orang-orang yang
berada dalam sebuah organisasi secara sinergis mampu
berkontribusi positif baik dalam perencanaan maupun
14
dalam pengimplementasian tugas dan tanggung jawab
(Sambung, 2011). Menurut Rusdianti (2013) kinerja yang
baik
tentu
saja
merupakan
harapan
bagi
semua
perusahaan dan institusi, sebab dengan kinerja karyawan
yang baik maka diharapkan dapat meningkatkan kinerja
perusahaan secara keseluruhan.
Secara etimologi, kinerja berasal dari kata job
performance atau actual performance yang berarti prestasi
kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang
(Mangkunegara, 2006). Peningkatan kinerja pegawai perlu
dilakukan oleh suatu organisasi agar dapat mencapai
sasaran pelayanan prima (Pariaribo, 2014). Teknologi
informasi akan dapat berperan dalam meningkatkan
kinerja baik di tingkat individu maupun organisasi jika
dapat dimanfaatkan dengan baik (Thompson et al, 1991).
Menurut Goodhue dan Thompson (1995) kinerja
yang
semakin
peningkatan
tinggi
melibatkan
efisiensi,
kombinasi
peningkatan
dari
efektivitas,
peningkatan produktivitas dan peningkatan kualitas yang
mana kinerja yang lebih baik akan tercapai jika individu
dapat
memenuhi
kebutuhan
individual
dalam
melaksanakan dan menyelesaikan tugas. Oleh sebab itu
Hendriani dan Artati (2014) berpendapat bahwa evaluasi
terhadap
kinerja
pegawai
perlu
dilakukan
untuk
mengetahui kemampuan anggota organisasi sehingga
15
akan diketahui strategi pengembangan lebih lanjut yang
harus dilakukan untuk mencapai tujuan organisasi.
Informasi mengenai kinerja pegawai dan faktorfaktor yang ikut berpengaruh terhadap kinerja pegawai
sangat
penting
untuk
diketahui.
Laloma
(2013)
menyebutkan bahwa pengukuran kinerja hendaknya
dapat diterjemahkan sebagai suatu kegiatan evaluasi
untuk menilai atau melihat keberhasilan dan kegagalan
pelaksanaan tugas dan fungsi yang dibebankan. Kinerja
dapat diketahui dan diukur melalui berbagai macam
penilaian. Akan tetapi menurut Moeheriono (2010:60)
sebelum melakukan penilaian diperlukan kriteria atau
standar yang diketahui dan telah disepakati bersama
untuk mencapai tolak ukur keberhasilan yang ditetapkan
oleh organisasi.
Penilaian kinerja merupakan suatu proses untuk
melakukan evaluasi terhadap seberapa baik seorang
karyawan
mengerjakan
tugasnya
jika
dibandingkan
dengan standar yang telah ditetapkan oleh organisasi
atau
perusahaan
(Slamet,
2007:236)
kemudian
mengomunikasikan informasi tersebut kepada karyawan
(Mathis & Jackson, 2006). Ada lima pihak yang dapat
melakukan penilaian kinerja karyawan, yaitu: atasan
langsung, rekan sekerja, evaluasi diri, bawahan langsung,
dan pendekatan menyeluruh: 360 derajat (Robbins, 2001).
16
2.1.3 Dukungan Organisasi
Dalam
suatu
pemerintahan
organisasi
maupun
baik
swasta
tentu
organisasi
menginginkan
pencapaian maksimal demi tercapainya tujuan organisasi.
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan
meningkatkan kualitas SDM. SDM merupakan salah satu
faktor penting bagi perkembangan sebuah organisasi
sehingga SDM harus diarahkan dan dikoordinasikan
untuk menghasilkan kontribusi terbaik bagi organisasi.
Transisi dari pelaksanaan tugas secara manual
menjadi
sistem
komputerisasi
mengharuskan
para
pegawai meningkatkan kemampuan teknologinya. Dalam
hal ini para pegawai perlu mendapatkan pelatihan guna
meningkatkan skill yang mereka miliki tentang teknologi
baru.
Randal
et
al.
(1999)
mengungkapkan
bahwa
organisasi yang mendukung adalah organisasi yang
merasa bangga terhadap hasil kerja pegawainya, memberi
kompensasi
dengan
adil
dan
memenuhi
kebutuhan
pekerjanya. Lebih lanjut menurut Dauda dan Akingbade
(2011) perubahan teknologi dapat dikelola secara efektif
melalui pendekatan SDM agar dapat berinovasi dan
mencapai terobosan yang lebih baik.
Teknologi hanya bisa meningkatkan produktivitas
atau meningkatkan kinerja bila dikombinasikan secara
efektif dengan SDM yang dapat menjalankan teknologi
secara
tepat.
Upaya
peningkatan
17
SDM
yang
dapat
dilakukan
organisasi
adalah
dengan
meningkatkan
kemampuan berupa pemberian pelatihan, peralatan, tim
kerja yang produktif dan menyediakan fasilitas yang
memadai bagi pegawai (Melchionda, 2007; Mathis &
Jackson, 2001).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tiemo dan
Ofua (2010) menyebutkan bahwa untuk meminimalisir
technostress
yang
terjadi
maka
organisasi
perlu
menyediakan software dan hardware yang userfriendly,
menyediakan training dan teknisi IT. Lebih lanjut, Akhtari
et
al.
(2013),
meminimalisir
menyebutkan
beberapa
technostress
yaitu:
cara
untuk
menciptakan
lingkungan kerja yang kondusif antara pegawai dan
teknologi yang digunakan, menciptakan lingkungan yang
stabil dan nyaman, dan memberikan pelatihan bagi para
pegawai terhadap teknologi baru. Sehingga menurut
Robbins (2001:278) dukungan organisasi menjadi sangat
penting
untuk
dapat
menghadapi
lingkungan
yang
dinamis.
2.2
Perumusan Hipotesis
2.2.1 Pengaruh
faktor
techno-overload
terhadap
kinerja
Techno-overload
merupakan
peningkatan
beban
kerja yang harus ditanggung oleh seorang pegawai akibat
terjadinya kebanjiran informasi (information overload).
18
Menurut Griffiths dan Norton (1999) information overload
erat
kaitannya
dengan
penambahan
beban
pegawai
secara kuantitas karena semakin banyak pengguna jasa
atau layanan organisasi tersebut. Hal ini menyebabkan
seorang pegawai harus mampu menangani permintaan
informasi sekaligus mengolahnya dalam waktu yang
singkat. Penelitian yang dilakukan oleh Okebaram dan
Moses
(2013)
penyebab
overload
menunjukkan
terjadinya
akibat
bahwa
technostress
terjadinya
faktor
adalah
increasing
utama
information
demand. Hasil
penelitian Ayyagari (2012); Suharti dan Susanto (2014)
menunjukkan
hasil
bahwa
information
overload
menurunkan kinerja. Berdasarkan uraian tersebut maka
hipotesis pertama dinyatakan sebagai berikut:
H1: Techno-overload berpengaruh negatif terhadap
kinerja pegawai.
2.2.2 Pengaruh
faktor
techno-invasion
terhadap
kinerja
Perkembangan
teknologi
yang
dapat
diakses
kapanpun dan dimanapun membuat pengguna teknologi
selalu merasa terhubung dengan pekerjaan mereka.
Padahal menurut hasil penelitian Weil dan Rosen (1997),
teknologi
memudahkan
seseorang
mengirim
dan
menerima pesan dimanapun dan kapanpun akan tetapi
dengan kemudahan itu sering kali harus menyita waktu
19
istirahat yang kemudian akan berakibat buruk pada
kondisi kesehatan. Selain berdampak pada kesehatan
techno-invasion juga berdampak pada kondisi psikis
seseorang yang menyebabkan kecemasan, emosional, dan
frustrasi (Griffith & Norton, 1999) sebagai akibat dari
tidak seimbangya antara waktu kerja dan waktu pribadi.
Hal ini menurut Okebaram dan Moses (2013) dapat
menyebabkan
kelelahan
dan
sulit
berkonsentrasi
sehingga jika terus dibiarkan dapat menurunkan kinerja
kerja. Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis kedua
dinyatakan sebagai berikut:
H2: Techno-invasion berpengaruh negatif terhadap
kinerja pegawai.
2.2.3 Pengaruh
faktor
techno-complexity
terhadap
kinerja
Perkembangan teknologi memberikan kemudahan
bagi para pengguna untuk mencari berbagai infromasi
yang dibutuhkan (Jena & Mahanti, 2014). Akan tetapi
banyak sistem komputerisasi yang rumit dan kompleks
sehigga para pengguna sering mengalami kesulitan (Enis,
2005).
Kerumitan
yang
terjadi
disebabkan
oleh
munculnya berbagai istilah asing dan terlalu banyak
langkah-langkah untuk dapat membuka sebuah aplikasi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Okebaram dan
Moses
(2013)
yang
menyebutkan
20
bahwa
tingkat
kompleksitas teknologi menjadi salah satu penyebab
utama terjadinya stres bagi karyawan terlebih bagi
karyawan yang sudah tua. Berdasarkan uraian tersebut
maka hipotesis ketiga dinyatakan sebagai berikut:
H3: Techno-complexity berpengaruh negatif terhadap
kinerja pegawai.
2.2.4 Pengaruh
faktor
techno-insecurity
terhadap
kinerja
Tingginya penggunaan teknologi dalam pelaksanaan
pekerjaan
dimaksudkan
agar
dapat
membantu
menyelesaikan pekerjaan secara lebih efektif dan efisien.
Akan tetapi, hal ini sering menimbulkan kecemasan jika
suatu saat nanti pekerjaan mereka akan digantikan oleh
teknologi modern sehingga mereka tidak lagi dibutuhkan
dalam dunia kerja (Jena & Mahanti, 2014). Hal inilah
yang sering menyebabkan sikap negatif pegawai terhadap
teknologi, sehingga mereka enggan untuk menggunakan
teknologi karena mereka mengaggap bahwa hadirnya
teknologi akan menjadi sebuah ancaman bagi karir
mereka kedepan (Tiemo & Ofua, 2010). Berdasarkan
uraian tersebut maka hipotesis keempat dinyatakan
sebagai berikut:
H4: Techno-insecurity berpengaruh negatif terhadap
kinerja pegawai.
21
2.2.5 Pengaruh
faktor
techno-uncertainty
terhadap
kinerja
Seringnya pergantian software dan hardware yang
harus
digunakan
memperbarui
tentang
membuat
pengetahuan
teknologi
meningkatkan
baru
pegawai
dan
(Enis,
pengetahuan
dan
harus
kemampuan
2005).
selalu
mereka
Agar
dapat
kemampuan
para
pegawai, pihak organisasi perlu memberikan fasilitas yang
menunjang
seperti
menyediakan
teknisi
khusus
IT
sehingga para pegawai tidak akan merasa kebingungan
jika terjadi kendala dengan perangkat IT (Tiemo & Ofua,
2010) karena jika penerapan teknologi tidak dipersiapkan
dengan baik dapat menimbulkan permasalahan seperti
meningkatkan kesalahan atau error yang dilakukan
pegawai (Suharti & Susanto, 2014). Berdasarkan uraian
tersebut
maka
hipotesis
kelima
dinyatakan
sebagai
berikut:
H5: Techno-uncertainty
berpengaruh
negatif
terhadap kinerja pegawai.
2.2.6 Pengaruh dukungan organisasi terhadap faktor
penyebab technostress dan kinerja
Karyawan
sebagai
individu
dalam
perusahaan
merupakan bagian dari struktur organisasi yang memiliki
peranan besar dalam menentukan tercapainya tujuan
organisasi. Agar para pegawai dapat bekerja secara
22
maksimal organisasi harus mampu menyediakan segala
fasilitas yang memberikan kemudahan dan kenyamanan
bagi para pegawai. Sebagai upaya meminimalisir dampak
technostress maka perlu adanya dukungan organisasi
yang memadai. Menurut Handayani (2007) penggunaan
sistem informasi dapat meningkatkan kinerja apabila
sistem tersebut dapat membantunya untuk meningkatkan
kemampuan menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Hasil
penelitian Adekunle et al. (2007) menunjukkan bahwa
pelatihan dan pengetahuan tentang teknologi informasi
memungkinkan karyawan untuk memiliki pemahaman
yang lebih baik mengenai teknologi yang digunakan, dan
dengan demikian akan mengurangi terjadinya stres akibat
teknologi.
Berdasarkan
uraian
tersebut
hipotesis
dinyatakan sebagai berikut:
H6.1
: Dukungan organisasi secara positif berpengaruh
untuk meminimalisir dampak techno-overload
terhadap kinerja pegawai.
H6.2
: Dukungan organisasi secara positif berpengaruh
untuk meminimalisir dampak techno-invasion
terhadap kinerja pegawai.
H6.3
: Dukungan organisasi secara positif berpengaruh
untuk meminimalisir dampak techno-complexity
terhadap kinerja pegawai.
23
H6.4
: Dukungan organisasi secara positif berpengaruh
untuk meminimalisir dampak techno-insecurity
terhadap kinerja pegawai.
H6.5
: Dukungan organisasi secara positif berpengaruh
untuk meminimalisir dampak techno-uncertainty
terhadap kinerja pegawai.
2.3
Model Penelitian
Technooverload
(X1)
Technoinvasion
(X2)
Kinerja
(Y)
Technocomplexity
(X3)
Technoinsecurity
(X4)
Dukungan
Organisasi
(X6)
Technouncertainty
(X5)
24
TELAAH PUSTAKA
2.1
Penalaran Konsep
2.1.1 Technostress
Technostress merupakan suatu bentuk tekanan
dalam menjalankan pekerjaan yang berhubungan dengan
teknologi
yang
dapat
menimbulkan
stres.
Istilah
technostress berasal dari penggabungan antara teknologi
dan stres yang mana hal ini merupakan sebuah tekanan
psikologis yang biasa dialami oleh seorang pegawai pada
periode penggunaan sistem otomatisasi kantor (Odoh,
2011 dalam Odoh & Odigbo, 2013). Technostress sering
juga dikenal dengan istilah technophobia, cyber phobia,
computer phobia, computer anciety, dan computer stress
(Akhtari et al. 2013).
Champion (1988) menyatakan bahwa pada era
informasi, perubahan merupakan suatu hal yang sangat
penting. Akan tetapi, perubahan bukan hanya tentang
komponen teknis seperti mesin, program, dan jaringan
namun
teknologi
lebih
pada
respons
terhadap
perubahan
itu sendiri. Senada dengan Champion, Clark
dan Kalin (1996) mengemukakan bahwa technostress
merupakan "resistance to change" atau keengganan untuk
berubah di mana stres merupakan sebuah reaksi alami
akibat perubahan teknologi, sehingga perubahan tersebut
10
harus dikelola dengan baik agar tidak membawa dampak
buruk terhadap kondisi pegawai.
Secara umum technostress berdampak pada kondisi
fisik dan psikis seseorang. Harper (2000) menyebutkan
bentuk
fisik
technostress
meliputi
ketegangan
pada
beberapa anggota tubuh seperti leher, bahu, pinggang,
dan pergelangan tangan yang disebabkan karena terlalu
lama duduk di depan komputer dan efek dari penggunaan
mouse.
Selain
itu
dapat
mengganggu
penglihatan
seseorang seperti: mata terasa sakit (panas, gatal, dan
kering), mata kemerahan dan iritasi, penglihatan yang
kabur, kesulitan dalam pemusatan penglihatan atau
penglihatan ganda (Dyer & Morris, 1990).
Griffith dan Norton (1999) berpendapat bahwa
technostress diakibatkan oleh jumlah informasi yang
diterima
melebihi
kemampuan
memprosesnya
dengan
menyebabkan
seseorang
menggunakan
teknologi,
cara
seseorang
yang
benar
merasakan
dan
untuk
sehingga
minder,
emosional.
takut
Dampak
psikologis lain menurut Okebaram dan Moses (2013)
adalah menurunnya rasa percaya diri, frustrasi, kelelahan
dan sulit berkonsentrasi. Selain itu, technostress menurut
Ader
(2012)
menurunkan
dapat
kinerja
mengganggu
kerja,
ketidakpuasan kerja.
11
lingkungan
dan
kerja,
meningkatkan
2.1.1.1
Faktor Penyebab Technostress
Tarafdar et al. (2007) dan Ragu-Nathan et al. (2008)
menguraikan
Pertama,
lima
faktor
penyebab
techno-overload. Merupakan
technostress.
situasi
dimana
pengguna teknologi dipaksa untuk dapat bekerja lebih
banyak dan lebih cepat. Hal ini merupakan konsekuensi
dari
peningkatan
mengharapkan
produktif
dukungan
pegawai
(Francis,
untuk
2013).
teknologi
dapat
Selain
itu,
bekerja
yang
lebih
peningkatan
pekerjaan juga disebabkan karena jumlah permintaan
pengguna yang semakin banyak sehingga menyebabkan
terjadinya information overload (Al-Qallaf, 2006) hal ini
membuat para pegawai harus bekerja ekstra karena
harus melakukan input data ke dalam sistem komputer
dalam waktu yang terbatas sehingga para pegawai harus
bekerja lebih cepat (Ragu-Nathan, 2008).
Faktor kedua yaitu techno-invasion. Dalam era
digital seperti saat ini, kebutuhan akan teknologi menjadi
sangat esensial. Kemajuan teknologi memaksa individu
untuk selalu terhubung dengan organisasi sehingga
mereka harus selalu mengikuti perkembangan organisasi
dan pekerjaan mereka (Ayyagari, 2011). Weil dan Rosen
(1997) mengungkapkan bahwa dengan hadirnya surat
elektronik meningkatkan tekanan pegawai karena mereka
harus selalu siap merespon setiap surat atau informasi
yang masuk kapanpun dan dimanapun. Situasi seperti ini
12
lebih dikenal dengan istilah techno-invasion di mana
hadirnya teknologi membuat para penggunanya merasa
selalu terhubung dengan pekerjaan mereka dimanapun
dan kapanpun.
Faktor ketiga yaitu techno-complexity. Faktor ini
merupakan situasi di mana para pengguna teknologi
merasa bahwa teknologi yang harus digunakan sangat
rumit sedangkan kemampuan yang mereka miliki masih
jauh tertinggal sehingga dibutuhkan waktu untuk dapat
menggunakan
Okebaram
(2010)
perkembangan
individu
teknologi
yaitu
baru.
Menurut
ketidaksesuaian
teknologi
Moses
dan
kemampuan
dan
dipengaruhi
performance
anciety
faktor
dan
internal
kurangnya
pengalaman menggunakan komputer. Sehingga Tiemo
dan
Ofua
(2010)
berpendapat
untuk
meminimalisir
kecemasan karena kurangnya kemampuan individu maka
organisasi
perlu
memberikan
pelatihan
sebelum
menerapkan sistem atau aplikasi baru sehingga para
pegawai merasa lebih percaya
diri dan juga perlu
memberikan pendampingan oleh rim khusus IT sehingga
dapat mengurangi kecemasan para pegawai ketika terjadi
permasalahan dengan peralatan yang digunakan.
Faktor keempat yaitu techno-insecurity. Hal ini
sering dialami oleh para pekerja yang merasa takut jika
pekerjaan mereka akan digantikan oleh teknologi baru
atau orang lain yang lebih menguasai teknologi. Menurut
13
penelitian Akhtari (2013) para pegawai yang berusia lebih
dari 45 tahun mengalami tingkat stres yang lebih tinggi
karena mereka kesulitan beradaptasi dengan teknologi
baru dan juga sulit bagi mereka untuk mempelajari
teknologi
baru.
Sedangkan
menurut
penelitian
Mahalakshmi et al. (2014), orang-orang muda lebih
familiar
dengan
perkembangan
teknologi
terbaru,
sehingga mereka lebih kecil kemungkinan bagi mereka
mengalami technostress.
Faktor
terakhir
yaitu
techno-uncertainty.
Merupakan situasi di mana para pengguna teknologi
merasa tidak nyaman karena teknologi yang digunakan
selalu
berubah.
tekanan
Enis
pekerjaan
(2005)
yang
mengemukakan
dapat
menyebabkan
bahwa
stres
diantaranya karena perubahan teknologi dan aplikasi
yang terlalu cepat dan standarisasi pekerjaan yang tidak
jelas. Faktor lain yang menyebabkan ketidaknyamanan
para pegawai manurut Ragu-Nathan (2008) yaitu karena
seringnya perbaikan atau penggantian software dan
hardware sehingga menghambat pekerjaan.
2.1.2
Kinerja
Salah satu kunci keberhasilan organisasi di era
globalisasi saat ini adalah sejauh mana orang-orang yang
berada dalam sebuah organisasi secara sinergis mampu
berkontribusi positif baik dalam perencanaan maupun
14
dalam pengimplementasian tugas dan tanggung jawab
(Sambung, 2011). Menurut Rusdianti (2013) kinerja yang
baik
tentu
saja
merupakan
harapan
bagi
semua
perusahaan dan institusi, sebab dengan kinerja karyawan
yang baik maka diharapkan dapat meningkatkan kinerja
perusahaan secara keseluruhan.
Secara etimologi, kinerja berasal dari kata job
performance atau actual performance yang berarti prestasi
kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang
(Mangkunegara, 2006). Peningkatan kinerja pegawai perlu
dilakukan oleh suatu organisasi agar dapat mencapai
sasaran pelayanan prima (Pariaribo, 2014). Teknologi
informasi akan dapat berperan dalam meningkatkan
kinerja baik di tingkat individu maupun organisasi jika
dapat dimanfaatkan dengan baik (Thompson et al, 1991).
Menurut Goodhue dan Thompson (1995) kinerja
yang
semakin
peningkatan
tinggi
melibatkan
efisiensi,
kombinasi
peningkatan
dari
efektivitas,
peningkatan produktivitas dan peningkatan kualitas yang
mana kinerja yang lebih baik akan tercapai jika individu
dapat
memenuhi
kebutuhan
individual
dalam
melaksanakan dan menyelesaikan tugas. Oleh sebab itu
Hendriani dan Artati (2014) berpendapat bahwa evaluasi
terhadap
kinerja
pegawai
perlu
dilakukan
untuk
mengetahui kemampuan anggota organisasi sehingga
15
akan diketahui strategi pengembangan lebih lanjut yang
harus dilakukan untuk mencapai tujuan organisasi.
Informasi mengenai kinerja pegawai dan faktorfaktor yang ikut berpengaruh terhadap kinerja pegawai
sangat
penting
untuk
diketahui.
Laloma
(2013)
menyebutkan bahwa pengukuran kinerja hendaknya
dapat diterjemahkan sebagai suatu kegiatan evaluasi
untuk menilai atau melihat keberhasilan dan kegagalan
pelaksanaan tugas dan fungsi yang dibebankan. Kinerja
dapat diketahui dan diukur melalui berbagai macam
penilaian. Akan tetapi menurut Moeheriono (2010:60)
sebelum melakukan penilaian diperlukan kriteria atau
standar yang diketahui dan telah disepakati bersama
untuk mencapai tolak ukur keberhasilan yang ditetapkan
oleh organisasi.
Penilaian kinerja merupakan suatu proses untuk
melakukan evaluasi terhadap seberapa baik seorang
karyawan
mengerjakan
tugasnya
jika
dibandingkan
dengan standar yang telah ditetapkan oleh organisasi
atau
perusahaan
(Slamet,
2007:236)
kemudian
mengomunikasikan informasi tersebut kepada karyawan
(Mathis & Jackson, 2006). Ada lima pihak yang dapat
melakukan penilaian kinerja karyawan, yaitu: atasan
langsung, rekan sekerja, evaluasi diri, bawahan langsung,
dan pendekatan menyeluruh: 360 derajat (Robbins, 2001).
16
2.1.3 Dukungan Organisasi
Dalam
suatu
pemerintahan
organisasi
maupun
baik
swasta
tentu
organisasi
menginginkan
pencapaian maksimal demi tercapainya tujuan organisasi.
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan
meningkatkan kualitas SDM. SDM merupakan salah satu
faktor penting bagi perkembangan sebuah organisasi
sehingga SDM harus diarahkan dan dikoordinasikan
untuk menghasilkan kontribusi terbaik bagi organisasi.
Transisi dari pelaksanaan tugas secara manual
menjadi
sistem
komputerisasi
mengharuskan
para
pegawai meningkatkan kemampuan teknologinya. Dalam
hal ini para pegawai perlu mendapatkan pelatihan guna
meningkatkan skill yang mereka miliki tentang teknologi
baru.
Randal
et
al.
(1999)
mengungkapkan
bahwa
organisasi yang mendukung adalah organisasi yang
merasa bangga terhadap hasil kerja pegawainya, memberi
kompensasi
dengan
adil
dan
memenuhi
kebutuhan
pekerjanya. Lebih lanjut menurut Dauda dan Akingbade
(2011) perubahan teknologi dapat dikelola secara efektif
melalui pendekatan SDM agar dapat berinovasi dan
mencapai terobosan yang lebih baik.
Teknologi hanya bisa meningkatkan produktivitas
atau meningkatkan kinerja bila dikombinasikan secara
efektif dengan SDM yang dapat menjalankan teknologi
secara
tepat.
Upaya
peningkatan
17
SDM
yang
dapat
dilakukan
organisasi
adalah
dengan
meningkatkan
kemampuan berupa pemberian pelatihan, peralatan, tim
kerja yang produktif dan menyediakan fasilitas yang
memadai bagi pegawai (Melchionda, 2007; Mathis &
Jackson, 2001).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tiemo dan
Ofua (2010) menyebutkan bahwa untuk meminimalisir
technostress
yang
terjadi
maka
organisasi
perlu
menyediakan software dan hardware yang userfriendly,
menyediakan training dan teknisi IT. Lebih lanjut, Akhtari
et
al.
(2013),
meminimalisir
menyebutkan
beberapa
technostress
yaitu:
cara
untuk
menciptakan
lingkungan kerja yang kondusif antara pegawai dan
teknologi yang digunakan, menciptakan lingkungan yang
stabil dan nyaman, dan memberikan pelatihan bagi para
pegawai terhadap teknologi baru. Sehingga menurut
Robbins (2001:278) dukungan organisasi menjadi sangat
penting
untuk
dapat
menghadapi
lingkungan
yang
dinamis.
2.2
Perumusan Hipotesis
2.2.1 Pengaruh
faktor
techno-overload
terhadap
kinerja
Techno-overload
merupakan
peningkatan
beban
kerja yang harus ditanggung oleh seorang pegawai akibat
terjadinya kebanjiran informasi (information overload).
18
Menurut Griffiths dan Norton (1999) information overload
erat
kaitannya
dengan
penambahan
beban
pegawai
secara kuantitas karena semakin banyak pengguna jasa
atau layanan organisasi tersebut. Hal ini menyebabkan
seorang pegawai harus mampu menangani permintaan
informasi sekaligus mengolahnya dalam waktu yang
singkat. Penelitian yang dilakukan oleh Okebaram dan
Moses
(2013)
penyebab
overload
menunjukkan
terjadinya
akibat
bahwa
technostress
terjadinya
faktor
adalah
increasing
utama
information
demand. Hasil
penelitian Ayyagari (2012); Suharti dan Susanto (2014)
menunjukkan
hasil
bahwa
information
overload
menurunkan kinerja. Berdasarkan uraian tersebut maka
hipotesis pertama dinyatakan sebagai berikut:
H1: Techno-overload berpengaruh negatif terhadap
kinerja pegawai.
2.2.2 Pengaruh
faktor
techno-invasion
terhadap
kinerja
Perkembangan
teknologi
yang
dapat
diakses
kapanpun dan dimanapun membuat pengguna teknologi
selalu merasa terhubung dengan pekerjaan mereka.
Padahal menurut hasil penelitian Weil dan Rosen (1997),
teknologi
memudahkan
seseorang
mengirim
dan
menerima pesan dimanapun dan kapanpun akan tetapi
dengan kemudahan itu sering kali harus menyita waktu
19
istirahat yang kemudian akan berakibat buruk pada
kondisi kesehatan. Selain berdampak pada kesehatan
techno-invasion juga berdampak pada kondisi psikis
seseorang yang menyebabkan kecemasan, emosional, dan
frustrasi (Griffith & Norton, 1999) sebagai akibat dari
tidak seimbangya antara waktu kerja dan waktu pribadi.
Hal ini menurut Okebaram dan Moses (2013) dapat
menyebabkan
kelelahan
dan
sulit
berkonsentrasi
sehingga jika terus dibiarkan dapat menurunkan kinerja
kerja. Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis kedua
dinyatakan sebagai berikut:
H2: Techno-invasion berpengaruh negatif terhadap
kinerja pegawai.
2.2.3 Pengaruh
faktor
techno-complexity
terhadap
kinerja
Perkembangan teknologi memberikan kemudahan
bagi para pengguna untuk mencari berbagai infromasi
yang dibutuhkan (Jena & Mahanti, 2014). Akan tetapi
banyak sistem komputerisasi yang rumit dan kompleks
sehigga para pengguna sering mengalami kesulitan (Enis,
2005).
Kerumitan
yang
terjadi
disebabkan
oleh
munculnya berbagai istilah asing dan terlalu banyak
langkah-langkah untuk dapat membuka sebuah aplikasi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Okebaram dan
Moses
(2013)
yang
menyebutkan
20
bahwa
tingkat
kompleksitas teknologi menjadi salah satu penyebab
utama terjadinya stres bagi karyawan terlebih bagi
karyawan yang sudah tua. Berdasarkan uraian tersebut
maka hipotesis ketiga dinyatakan sebagai berikut:
H3: Techno-complexity berpengaruh negatif terhadap
kinerja pegawai.
2.2.4 Pengaruh
faktor
techno-insecurity
terhadap
kinerja
Tingginya penggunaan teknologi dalam pelaksanaan
pekerjaan
dimaksudkan
agar
dapat
membantu
menyelesaikan pekerjaan secara lebih efektif dan efisien.
Akan tetapi, hal ini sering menimbulkan kecemasan jika
suatu saat nanti pekerjaan mereka akan digantikan oleh
teknologi modern sehingga mereka tidak lagi dibutuhkan
dalam dunia kerja (Jena & Mahanti, 2014). Hal inilah
yang sering menyebabkan sikap negatif pegawai terhadap
teknologi, sehingga mereka enggan untuk menggunakan
teknologi karena mereka mengaggap bahwa hadirnya
teknologi akan menjadi sebuah ancaman bagi karir
mereka kedepan (Tiemo & Ofua, 2010). Berdasarkan
uraian tersebut maka hipotesis keempat dinyatakan
sebagai berikut:
H4: Techno-insecurity berpengaruh negatif terhadap
kinerja pegawai.
21
2.2.5 Pengaruh
faktor
techno-uncertainty
terhadap
kinerja
Seringnya pergantian software dan hardware yang
harus
digunakan
memperbarui
tentang
membuat
pengetahuan
teknologi
meningkatkan
baru
pegawai
dan
(Enis,
pengetahuan
dan
harus
kemampuan
2005).
selalu
mereka
Agar
dapat
kemampuan
para
pegawai, pihak organisasi perlu memberikan fasilitas yang
menunjang
seperti
menyediakan
teknisi
khusus
IT
sehingga para pegawai tidak akan merasa kebingungan
jika terjadi kendala dengan perangkat IT (Tiemo & Ofua,
2010) karena jika penerapan teknologi tidak dipersiapkan
dengan baik dapat menimbulkan permasalahan seperti
meningkatkan kesalahan atau error yang dilakukan
pegawai (Suharti & Susanto, 2014). Berdasarkan uraian
tersebut
maka
hipotesis
kelima
dinyatakan
sebagai
berikut:
H5: Techno-uncertainty
berpengaruh
negatif
terhadap kinerja pegawai.
2.2.6 Pengaruh dukungan organisasi terhadap faktor
penyebab technostress dan kinerja
Karyawan
sebagai
individu
dalam
perusahaan
merupakan bagian dari struktur organisasi yang memiliki
peranan besar dalam menentukan tercapainya tujuan
organisasi. Agar para pegawai dapat bekerja secara
22
maksimal organisasi harus mampu menyediakan segala
fasilitas yang memberikan kemudahan dan kenyamanan
bagi para pegawai. Sebagai upaya meminimalisir dampak
technostress maka perlu adanya dukungan organisasi
yang memadai. Menurut Handayani (2007) penggunaan
sistem informasi dapat meningkatkan kinerja apabila
sistem tersebut dapat membantunya untuk meningkatkan
kemampuan menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Hasil
penelitian Adekunle et al. (2007) menunjukkan bahwa
pelatihan dan pengetahuan tentang teknologi informasi
memungkinkan karyawan untuk memiliki pemahaman
yang lebih baik mengenai teknologi yang digunakan, dan
dengan demikian akan mengurangi terjadinya stres akibat
teknologi.
Berdasarkan
uraian
tersebut
hipotesis
dinyatakan sebagai berikut:
H6.1
: Dukungan organisasi secara positif berpengaruh
untuk meminimalisir dampak techno-overload
terhadap kinerja pegawai.
H6.2
: Dukungan organisasi secara positif berpengaruh
untuk meminimalisir dampak techno-invasion
terhadap kinerja pegawai.
H6.3
: Dukungan organisasi secara positif berpengaruh
untuk meminimalisir dampak techno-complexity
terhadap kinerja pegawai.
23
H6.4
: Dukungan organisasi secara positif berpengaruh
untuk meminimalisir dampak techno-insecurity
terhadap kinerja pegawai.
H6.5
: Dukungan organisasi secara positif berpengaruh
untuk meminimalisir dampak techno-uncertainty
terhadap kinerja pegawai.
2.3
Model Penelitian
Technooverload
(X1)
Technoinvasion
(X2)
Kinerja
(Y)
Technocomplexity
(X3)
Technoinsecurity
(X4)
Dukungan
Organisasi
(X6)
Technouncertainty
(X5)
24