Komunikasi Politik Orde Reformasi. docx
Komunikasi Politik Orde Reformasi
I. PENDAHULUAN
Sejalan dengan perkembangan politik yang mendadak dengan mundurnya Presiden
Soeharto pada 21 Mei perubahan dalam cara berkomunikasi pun mengalami
pergeseran. Lihat misalnya, cara Pak Harto berkomunikasi dengan para menteri dan
massa berbeda dengan Presiden BJ Habibie. Ini menujukkan sebuah cara
berkomunikasi yang berbeda satu sama lain meski memiliki ciri, tujuan dan sasaran
yang sama.
Dengan bertolak dari fenomena itu, artikel ini akan memfokuskan diri pada proses
komunikasi politik era Orde Baru. Kemudian dilanjutkan dengan karakter komunikasi
politik yang muncul pada era Orde Reformasi. Selanjutnya akan dilihat
sesungguhnya dalam sebuah komunikasi politik apa yang dibutuhkan oleh
masyarakat dari para pejabat atau kalangan partai yang menyampaikan
kebijakannya baik melalui media massa atau langsung. Namun sebelum itu ada
baiknya kita menengok bagaimana kerangka pemikiran ilmuwan sosial terhadap
komunikasi politik ini.
II. KERANGKA TEORITIS
Menurut Gabriel Almond, semua bentuk interaksi manusia melibatkan komunikasi.
Media massa seperti televisi, radio, surat kabar dan majalah ikut mempengaruhi
struktur komunikasi dalam masyarakat. Almond membedakan empat struktur
komunikasi.
Pertama, kontak tatap muka informal yang muncul terpisah dari struktur
masyarakat. Kedua, struktur sosial tradisional seperti hubungan famili dan
keagamaan. Ketiga, struktur politik “output” (keluaran) seperti legislatif dan
birokrasi. Keempat, struktur “input” (masukan) termasuk misalnya serikat buruh
dan kelompok kepentingan dan partai-partai politik. Kelima, media massa.[i]
Almond menilai, kontak informal dalam sistem politik manapun tidak bisa
disepelekan. Riset ilmuwan sosial telah membuktikan bahwa saluran informal
menjadi sistem komunikasi paling berkembang. Ia menyebutkan, studi media massa
dan opini publik, Katz dan Lazarsfled (1955) menemukan bahwa media massa tidak
membuat pengaruh langsung atas kebanyakan individu. Namun penelitian
belakangan menunjukkan media massa mempengaruhi pola perilaku dan persepsi
masyarakat.
Mochtar Prabotinggi (1993) menguraikan dengan rinci bahwa dalam prosesnya
komunikasi politik sering mengalami empat distorsi. Pertama, distorsi bahasa
sebagai topeng. Ia memberikan contohnya dengan melihat bagaimana orang
mengatakan alis “bagai semut beriring” atau bibir “bak delima merekah”. Uraian itu
menunjukkan sebuah euphemisme. [ii]
Oleh sebab itulah, bahasa yang menampilkan sesuatu lain dari yang dimaksudkan
atau berbeda dengan situasi sebenarnya, bisa disebut seperti diungkakan Ben
Anderson (1966), “bahasa topeng”.
Kedua, distorsi bahasa sebagai proyek lupa. Manusia makhluk yang memang
pelupa. Namun demikian dalam konteks politik kita membicarakan lupa sebagai
sesuatu yang dimanipulasikan. Ternyata seperti diulas Prabottinggi, “lupa dapat
diciptakan dan direncanakan bukan hanya atas satu orang, melainkan atas puluhan
bahkan ratusan juta orang.”
Selanjutnya Prabottinggi membuat pendapat lebih jauh bahwa dengan mengalihkan
perhatian seorang atau ratusan juta orang, maka massa bisa lupa. Bahkan lupa bisa
diperpanjang selama dikehendaki manipulator. Di sini tampak distorsi komunikasi ini
bisa parah jika sebuah rejim menghendaki rakyatnya melupakan sejarah atau
membuat sejarah sendiri untuk melupakan sejarah pemerintahan sebelumnya.
Distorsi ketiga adalah, distorsi bahasa sebagai representasi. Jika dalam distorsi
topeng keadaan sebenarnya ditutupi dan dalam distorsi lupa berbicara soal
pengalihan sesuatu, maka distoris ketiga ini terjadi bila kita melukiskan sesuatu
tidak sebagaimana mestinya.
Prabottinggi memberi contoh bagaimana gambaran buruk yang menimpa kaum
Muslimin dan orang Arab oleh media Barat. Dunia Islam, seperti disebutkan Edwar
Said (1978) selalu dipandang sebagai lawan Barat. Dalam politik nasional pun,
suatu kelompok yang jadi lawan politik rejim berkuasa sering dilukiskan sebagai
penyeleweng, penganut aliran sesat dan tidak memakmurkan rakyat.
Yang terakhir adalah distoris bahasa sebagai ideologi. Distorsi keempat inilah yang
paling berbahaya. Sedikitnya dua alasan mengapa distorsi ideologi itu rawan.
Pertama, setiap ideologi pada dasarnya memang sudah bersifat distortif. Kedua,
distorsi ideologi sangat lihai menggunakan ketiga jenis distorsi lainnya.
Kita lihat mengapa sangat berbahaya. Ada dua perspektif yang cenderung
menyebarkan distoris ideologi. Pertama, perspektif yang mengidentikkan kegiatan
politik sebagai hak istimewa sekelompok orang. Perspektif ini menekankan hanya
penguasalah yang berhak menentukan mana yang politik dan mana yang bukan.
Oleh sebab itu nantinya akan berakhir dengan monopoli politik kelompok tertentu.
Kedua, perspektif yang semata-mata menekankan tujuan tertinggi suatu sistem
politik.Mereka yang menganut perspektif ini hanya menitikberatkan pada tujuan
tertinggi sebuah sistem politik tanpa mempersoalkan apa yang sesungguhnya
dikehendaki rakyat.
III. ERA ORDE BARU
Dari keempat struktur komunikasi dari Almond tu jelas bahwa jika diterapkan di
Indonesia maka memang benar hubungan komunikasi pribadi lebih menentukan
dibandingkan dengan saluran komunikasi formal. Kemacetan yang dialami sistem
politik Indonesia menunjukkan bahwa pada akhirnya komunikasi antar partai politik
yang mendudukkan wakilnya di DPR/MPR tak lagi bisa menampung aspirasi rakyat.
Contoh yang paling lengkap adalah bagaimana kekuasaan politik Indonesia pada
masa terakhir Orde Baru berpusat pada presiden. Seluruh proses komunikasi sistem
politik Indonesia akhirnya tergantung pada satu tangan, presiden. Badan legislatif
tidak lagi berfungsi sebagai suara rakyat tetapi tak lain hanya mendukung presiden.
Kritik yang terlalu keras dilontarkan oleh anggota DPR/MPR akan berakhir dengan
pemberhentikan tidak hormat. Kasus Sri Bintang Pamungkas menunjukkan
bagaimana monopoli komunikasi itu tidak boleh lepas sedikitpun ketika anggota
DPR itu sangat vokal dan kritis.
Jamie Mackie dan Andrew MacIntyre (1994)[iii], melukiskan perkembangan struktur
kekuasaan Orde Baru yang mencakup didalamnya monopoli komunikasi politik.
Mereka membagi tiga fase dalm iklim politik Orde Baru. Fase pertama, 1965-1974
ditandai dengan atmosfir terbuka, kompetitif dan partisipasi rakyat yang tinggi.
Bahkan ekspresi politik masyarakat pun relatif bebas. Di sinilah bulan madu
komunikasi politik di Indonesia terjadi. Rakyat dengan bebas mengkritik
pemerintahan lama, Orde Lama, karena kegagalannya membendung komunis dan
merebaknya kemiskinan. Masa awal ini mirip seperti terjadi di era reformasi saat ini
dimana ekspresi itu tertuang dalam media massa dan pembentukan partai politik
yang jumlahnya saat ini lebih dari 50 partai.
Periode kedua 1974-1983 dimulainya pengawasan terhadap komunikasi politik
dimana aktivitas politik, pers dan pernyataan masyarakat mulai dibatasi. Dan pada
fase 1983-1990, kontrol sosial sangat ketat yang harus disesuaikan dengan ideologi
yang dikukuhkan lewat P4 dan asas tunggal. Boleh ditambahkan di sini pada
periode 1990-1998, monopoli politik yang sudah sedemikian ketatnya berangsurangsur mendapat perlawanan sehingga akibat gelombang demokratisasi di dunia
lahirlah apa yang disebut keterbukaan. Monopoli komunikasi tidak lagi dipegang
negara tapi mulai diimbangi bahkan dirongrong oleh kelompok kepentingan seperti
LSM dan kalangan kampus. Puncak perubahan dalam komunikasi politik itu terjadi
manakala demonstrasi pro reformasi mulai merebak awal tahun dan berpuncak
pada pengunduran diri Pak Harto 21 Mei lalu.
Bagaimana komunikasi politik itu dikendalikan secara institusional pada era Orde
Baru ? Barangkali gambaran dari Cosmas Batubara (1993)[iv] bisa sedikit menguak
struktur komunikasi politik Orde Baru. Menurut Cosmas, pada masa awal
pertumbuhan demokrasi di era Orde Baru, peran pemerintah sangat besar. Hal ini
terjadi karena situasi politik ekonomi, budaya dan hankam yang memaksa
pemerintah mengambil peran lebih besar. Demokrasi, dalam arti pembangunan
politik, ekonomi dan sosial-budaya sepenuhnya ditangani pemerintah meski
sebenarnya diabdikan untuk rakyat. Di sini jelas monopoli komunikasi politik terjadi
dalam sistem politik Indonesia.
Cosmas menjelaskan, dalam proses pelaksanaan komunikasi politik, birokrasi
menempatkan dirinya pada posisi yang cukup sentral. Ia tak hanya mewadahi
aspirasi rakyat untuk diteruskan kepada lembaga-lembaga negara tapi juga
berperan sebagai alat untuk menyampaikan informasi yang dibutuhkan rakyat.
Namun terlihat di sini bahwa dalam proses timbal-balik itu monopoli bisa terjaga
dan kalau bisa bahkan dikendalikan untuk tidak menggangu struktur yang telah
dibentuk Orde Baru. Seperti dikatakan Cosmas, “pembakuan tatanan dan
keteraturan itu demi berlangsungnya pembangunan nasional untuk kesejahteraan
rakyat”.
Mengapa terjadi dominasi pemerintah dalam proses komunikasi ini ? Fred W Riggs
seperti dikutip Nurul Aini, di negara Dunia Ketiga ada tiga gejala yakni formalitas,
overlapping dan heteroginitas.
IV. ORDE REFORMASI
Dengan tumbuhnya keterbukaan dalam komunikasi politik, masyarakat semakin
tahu hak dan kewajibannya. Bahkan aksi-aksi protes sebagai sebuah masukan
kedalam sistem politik menjadi sebuah hal yang tak aneh. Salah satu manifestasi
itu adalah keberanian umat Islam untuk mendirikan partai, sesuatu yang tabu
dalam kurun waktu 32 tahun Soeharto berkuasa. Puncak pengekangan itu terlihat
dari paket UU Politik dimana asas tunggal partai adalah Pancasila.
Dalam tempo singkat partai-partai berbasiskan Islam bermunculan mulai dari
kalangan pendukungnya Nahdhatul Ulama sampai dengan Muhammadiyah. Apakah
mereka mampu menampilkan sebuah format komunikasi politik yang bisa memikat
umat dalam pemilu mendatang ? Pertanyaan ini sangat menentukan karena pemilu
mendatang akan cenderung mengutamakan sifat-sifat distrik dibandingkan
proporsional. Konsekuensinya, partai harus memiliki orang-orang yang mampu
mengkomunikasikan gagasan-gagasan partainya kehadapan masyarakat.
Jika pemerintah sudah berangsur-angsur membuka diri dan memberikan banyak
isyarat tentang keterbukaannya, maka partai-partai pun sudah seyogyanya
menampilkan sebuah aksi yang lebih dewasa dan bukannya emosional. Persaingan
memperebutkan suara akan lebih ketat karena puluhan partai akan terjun dalam
kampanye untuk meraih kursi sebanyak-banyaknya di DPR tingkat daerah atau
pusat.
Jika kita coba klasifikasikan masyarakat pemilih maka akan lahir sedikitnya tiga
kategorisasi berdasarkan wilayah dan dua kelompok berdasarkan konsep Greetz.
Berdasarkan daerah akan tampak wilayah desa, wilayah transisi dan wilayah
perkotaan. Pemilih di desa memiliki karakteristik tertentu seperti agamis, berfikir
sederhana, setia kepada tokoh lokal dan berbicara sederhana mengenai kebutuhan
dalam masyarakatnya. Sedangkan pemilih kota lebih kritis, rasional, pragmatis dan
kadang-kadang apatis.
Kalau konsep Greetz itu dijadikan sebuah cara meraba alam pikiran pemilih,
barangkali secara antropologis memang ada yang santri dalam arti mendalami
Islam serta melaksanakannya. Di samping itu ada pula kelompok masyarakat yang
pengetahuannya tidak begitu mendalam atau terpengaruh oleh ajaran lain sehingga
pendalamannya kurang. Akibatnya, timbul sikap-sikap yang cenderung tidak dekat
dengan Islam atau bahkan mungkin bertentangan.
Pakar komunikasi Dan Nimmo[v] (1989) melukiskan lebih jauh lagi tentang pemilih
ditinjau dari perspektif orientasi komunikasinya. Pemberi suara pertama ia
kategorikan sebagai pemilih yang rasional. Ciri-cirinya antara lain, selalu mengambil
putusan bila dihadapkan pada alternatif, memilih alternatif dan menyusun alternatif.
Kelompok pemilih kedua, pemberi suara yang reaktif. Mereka biasanya memilih
berdasarkan karakter yang sudah ia miliki apakah itu agama, sosisoekonomi dan
tempat tinggal. Ia hanya mereaksi terhadap kampanye yang dibawakan partai.
Selanjutnya Dan Nimmo menggolongkan para pemilih dalam kategori ketiga yakni
pemberi suara yang responsif. Ia mengutip ilmuwan politik Gerald Pomper yang
menggambarkan karakter pemilih seperti itu. Menurut dia, jika pemilih reaktif itu
tetap, stabil dan kekal maka karakter pemilih responsif adalah impermanen,
berubah, mengikuti waktu, peristiwa politik dan pengaruh yang berubah-ubah
terhadap pilihan para pemberi suara.
Kelompok terakhir adalah pemberi suara yang aktif. Individu yang aktif, kata Dan
Nimmo, menghadapi dunia yang harus diinterpretasikan dan diberi makna untuk
bertindak, bukan hanya lingkungan pilihan yang telah diatur sebelumnya.
Tampaknya golongan ini kecil sekali dan diantaranya mungkin para aktivis partai itu
sendiri, keluarga, kerabat dan sahabatnya.
Di sinilah kepiawaian partai-partai berbasiskan Islam dituntut. Mereka harus mampu
mengidentifikasi kebutuhan masyarakat yang dihadapinya sehingga mampu
memberikan solusi bagi kemajuan mereka. Partai tidak hanya membela basis
ideologis dan program perjuangannya tapi lebih penting lagi bisa memberdayakan
masyarakat yang jadi pemilihnya. Pemilih, jangan sampai seperti era Orde Baru
diperlakukan dengan manis dan dimanjakan manakala suaranya diperlukan. Setelah
itu dibuang tanpa mengucapkan terima kasih sepatahpun.
Partai-partai Islam seyogyanya menjadi partai yang jadi panutan dalam arti
sesungguhnya. Tidak hanya tokoh-tokoh puncaknya tapi juga aktivis yang langsung
terjun ke masyarakat. Tampaknya untuk para aktivis di daerah, bukanlah sebuah
pekerjaan mudah karena selama ini komunikasi politik jarang digunakan dan macet
atau terkungkung paradigma berpikir Orde Baru.
Dalam kaitan dengan krisis ekonomi, aktivis partai dituntut untuk memberikan
solusi realitis dalam menjaga agar mereka yang korup tidak lagi memegang
peranan dalam pengambilan kebijakan.
Prabottinggi menyarankan bagaimana agar komunikasi politik itu bisa berlangsung
dewasa. Pertama, berpikir secara multiparadigma. Kedua, menyadari adanya ruangruang permasalahan politik dimana perbedaan pandangan akan selalu ada. Ketiga,
harus saling memandang tanpa finalitas penilaian. Tiga pendekatan itu tampaknya
relevan dengan keterlibatan banyak partai Islam dalam menyongsong pemilu
mendatang. Dengan kata lain inklusifisme, sebagai warga Indonesia dan warga
dunia Islam, harus disertakan dalam paradigma berpikir. Mengkotak-kotakkan
ummat dalam menyampaikan pesan-pesan politik partai akan melahirkan
perpecahan yang sulit sembuhnya. Pengalaman tahun 1950-an dan 1960-an banyak
memberikan pelajaran agar sekat-sekat itu tidak dipatok begitu saja sehingga cara
berpikirpun berhenti.
V. PENUTUP
Terbukanya keran keterbukaan akibat reformasi mendorong kelahiran era baru
dalam mengekspresikan pendapatnya. Jika pada masa Orde Baru pengekangan itu
sedemikian ketat, maka Orde Reformasi ini masyarakat menikmati bulan madu
kebebasan berkumpul dan pendapat.
Salah satu fenomena yang terlihat adalah menjamurnya partai-partai berbasiskan
Islam. Dengan berbagai atribut, slogan, pemimpin dan programnya mereka mulai
mengenalkan diri ke hadapan umat. Meskipun sebagian terkesan sederhana dan
sebagian lagi ingin terlihat advokasinya membela rakyat, namun kekuatan riil
mereka akan teruji benar-benar dalam pesta demokrasi yang mungkin berlangsung
Mei 1999. Wallahu’alam.
[1] Drs Asep Setiawan MA, staf pengajar Jurusan Ilmu Politik, FISIP UMJ.
CATATAN
[i] Gabriel Almond and G Bingham Powell, Comparative Politics: A Developmental
Approach. New Delhi, Oxford & IBH Publishing Company, 1976, p. 167.
[ii] Mochtar Prabottinggi, “Komunikasi Politik dan Transformasi Ilmu Politik” dalam
Indonesia dan Komunikasi Politik, Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun (eds). Jakarta,
Gramedia, 1993, p. 54.
[iii] Jamie Mackie and Andrew MacIntyre, “Politics” dalam Indonesia’s New Order,
edited by Hall Hill, Honolulu, University of Hawaii Press, 1994, p. 9.
[iv] Cosmas Batubara, Komunikasi Politik dan Birokrasi di Indonesia, dalam Maswadi
op.cit., p. 136.
[v] Dan Nimmo, Komunikasi Politik (terj), Bandung, Remadja Karya, 1989, pp.186198.
Oleh Asep Setiawan
I. PENDAHULUAN
Sejalan dengan perkembangan politik yang mendadak dengan mundurnya Presiden
Soeharto pada 21 Mei perubahan dalam cara berkomunikasi pun mengalami
pergeseran. Lihat misalnya, cara Pak Harto berkomunikasi dengan para menteri dan
massa berbeda dengan Presiden BJ Habibie. Ini menujukkan sebuah cara
berkomunikasi yang berbeda satu sama lain meski memiliki ciri, tujuan dan sasaran
yang sama.
Dengan bertolak dari fenomena itu, artikel ini akan memfokuskan diri pada proses
komunikasi politik era Orde Baru. Kemudian dilanjutkan dengan karakter komunikasi
politik yang muncul pada era Orde Reformasi. Selanjutnya akan dilihat
sesungguhnya dalam sebuah komunikasi politik apa yang dibutuhkan oleh
masyarakat dari para pejabat atau kalangan partai yang menyampaikan
kebijakannya baik melalui media massa atau langsung. Namun sebelum itu ada
baiknya kita menengok bagaimana kerangka pemikiran ilmuwan sosial terhadap
komunikasi politik ini.
II. KERANGKA TEORITIS
Menurut Gabriel Almond, semua bentuk interaksi manusia melibatkan komunikasi.
Media massa seperti televisi, radio, surat kabar dan majalah ikut mempengaruhi
struktur komunikasi dalam masyarakat. Almond membedakan empat struktur
komunikasi.
Pertama, kontak tatap muka informal yang muncul terpisah dari struktur
masyarakat. Kedua, struktur sosial tradisional seperti hubungan famili dan
keagamaan. Ketiga, struktur politik “output” (keluaran) seperti legislatif dan
birokrasi. Keempat, struktur “input” (masukan) termasuk misalnya serikat buruh
dan kelompok kepentingan dan partai-partai politik. Kelima, media massa.[i]
Almond menilai, kontak informal dalam sistem politik manapun tidak bisa
disepelekan. Riset ilmuwan sosial telah membuktikan bahwa saluran informal
menjadi sistem komunikasi paling berkembang. Ia menyebutkan, studi media massa
dan opini publik, Katz dan Lazarsfled (1955) menemukan bahwa media massa tidak
membuat pengaruh langsung atas kebanyakan individu. Namun penelitian
belakangan menunjukkan media massa mempengaruhi pola perilaku dan persepsi
masyarakat.
Mochtar Prabotinggi (1993) menguraikan dengan rinci bahwa dalam prosesnya
komunikasi politik sering mengalami empat distorsi. Pertama, distorsi bahasa
sebagai topeng. Ia memberikan contohnya dengan melihat bagaimana orang
mengatakan alis “bagai semut beriring” atau bibir “bak delima merekah”. Uraian itu
menunjukkan sebuah euphemisme. [ii]
Oleh sebab itulah, bahasa yang menampilkan sesuatu lain dari yang dimaksudkan
atau berbeda dengan situasi sebenarnya, bisa disebut seperti diungkakan Ben
Anderson (1966), “bahasa topeng”.
Kedua, distorsi bahasa sebagai proyek lupa. Manusia makhluk yang memang
pelupa. Namun demikian dalam konteks politik kita membicarakan lupa sebagai
sesuatu yang dimanipulasikan. Ternyata seperti diulas Prabottinggi, “lupa dapat
diciptakan dan direncanakan bukan hanya atas satu orang, melainkan atas puluhan
bahkan ratusan juta orang.”
Selanjutnya Prabottinggi membuat pendapat lebih jauh bahwa dengan mengalihkan
perhatian seorang atau ratusan juta orang, maka massa bisa lupa. Bahkan lupa bisa
diperpanjang selama dikehendaki manipulator. Di sini tampak distorsi komunikasi ini
bisa parah jika sebuah rejim menghendaki rakyatnya melupakan sejarah atau
membuat sejarah sendiri untuk melupakan sejarah pemerintahan sebelumnya.
Distorsi ketiga adalah, distorsi bahasa sebagai representasi. Jika dalam distorsi
topeng keadaan sebenarnya ditutupi dan dalam distorsi lupa berbicara soal
pengalihan sesuatu, maka distoris ketiga ini terjadi bila kita melukiskan sesuatu
tidak sebagaimana mestinya.
Prabottinggi memberi contoh bagaimana gambaran buruk yang menimpa kaum
Muslimin dan orang Arab oleh media Barat. Dunia Islam, seperti disebutkan Edwar
Said (1978) selalu dipandang sebagai lawan Barat. Dalam politik nasional pun,
suatu kelompok yang jadi lawan politik rejim berkuasa sering dilukiskan sebagai
penyeleweng, penganut aliran sesat dan tidak memakmurkan rakyat.
Yang terakhir adalah distoris bahasa sebagai ideologi. Distorsi keempat inilah yang
paling berbahaya. Sedikitnya dua alasan mengapa distorsi ideologi itu rawan.
Pertama, setiap ideologi pada dasarnya memang sudah bersifat distortif. Kedua,
distorsi ideologi sangat lihai menggunakan ketiga jenis distorsi lainnya.
Kita lihat mengapa sangat berbahaya. Ada dua perspektif yang cenderung
menyebarkan distoris ideologi. Pertama, perspektif yang mengidentikkan kegiatan
politik sebagai hak istimewa sekelompok orang. Perspektif ini menekankan hanya
penguasalah yang berhak menentukan mana yang politik dan mana yang bukan.
Oleh sebab itu nantinya akan berakhir dengan monopoli politik kelompok tertentu.
Kedua, perspektif yang semata-mata menekankan tujuan tertinggi suatu sistem
politik.Mereka yang menganut perspektif ini hanya menitikberatkan pada tujuan
tertinggi sebuah sistem politik tanpa mempersoalkan apa yang sesungguhnya
dikehendaki rakyat.
III. ERA ORDE BARU
Dari keempat struktur komunikasi dari Almond tu jelas bahwa jika diterapkan di
Indonesia maka memang benar hubungan komunikasi pribadi lebih menentukan
dibandingkan dengan saluran komunikasi formal. Kemacetan yang dialami sistem
politik Indonesia menunjukkan bahwa pada akhirnya komunikasi antar partai politik
yang mendudukkan wakilnya di DPR/MPR tak lagi bisa menampung aspirasi rakyat.
Contoh yang paling lengkap adalah bagaimana kekuasaan politik Indonesia pada
masa terakhir Orde Baru berpusat pada presiden. Seluruh proses komunikasi sistem
politik Indonesia akhirnya tergantung pada satu tangan, presiden. Badan legislatif
tidak lagi berfungsi sebagai suara rakyat tetapi tak lain hanya mendukung presiden.
Kritik yang terlalu keras dilontarkan oleh anggota DPR/MPR akan berakhir dengan
pemberhentikan tidak hormat. Kasus Sri Bintang Pamungkas menunjukkan
bagaimana monopoli komunikasi itu tidak boleh lepas sedikitpun ketika anggota
DPR itu sangat vokal dan kritis.
Jamie Mackie dan Andrew MacIntyre (1994)[iii], melukiskan perkembangan struktur
kekuasaan Orde Baru yang mencakup didalamnya monopoli komunikasi politik.
Mereka membagi tiga fase dalm iklim politik Orde Baru. Fase pertama, 1965-1974
ditandai dengan atmosfir terbuka, kompetitif dan partisipasi rakyat yang tinggi.
Bahkan ekspresi politik masyarakat pun relatif bebas. Di sinilah bulan madu
komunikasi politik di Indonesia terjadi. Rakyat dengan bebas mengkritik
pemerintahan lama, Orde Lama, karena kegagalannya membendung komunis dan
merebaknya kemiskinan. Masa awal ini mirip seperti terjadi di era reformasi saat ini
dimana ekspresi itu tertuang dalam media massa dan pembentukan partai politik
yang jumlahnya saat ini lebih dari 50 partai.
Periode kedua 1974-1983 dimulainya pengawasan terhadap komunikasi politik
dimana aktivitas politik, pers dan pernyataan masyarakat mulai dibatasi. Dan pada
fase 1983-1990, kontrol sosial sangat ketat yang harus disesuaikan dengan ideologi
yang dikukuhkan lewat P4 dan asas tunggal. Boleh ditambahkan di sini pada
periode 1990-1998, monopoli politik yang sudah sedemikian ketatnya berangsurangsur mendapat perlawanan sehingga akibat gelombang demokratisasi di dunia
lahirlah apa yang disebut keterbukaan. Monopoli komunikasi tidak lagi dipegang
negara tapi mulai diimbangi bahkan dirongrong oleh kelompok kepentingan seperti
LSM dan kalangan kampus. Puncak perubahan dalam komunikasi politik itu terjadi
manakala demonstrasi pro reformasi mulai merebak awal tahun dan berpuncak
pada pengunduran diri Pak Harto 21 Mei lalu.
Bagaimana komunikasi politik itu dikendalikan secara institusional pada era Orde
Baru ? Barangkali gambaran dari Cosmas Batubara (1993)[iv] bisa sedikit menguak
struktur komunikasi politik Orde Baru. Menurut Cosmas, pada masa awal
pertumbuhan demokrasi di era Orde Baru, peran pemerintah sangat besar. Hal ini
terjadi karena situasi politik ekonomi, budaya dan hankam yang memaksa
pemerintah mengambil peran lebih besar. Demokrasi, dalam arti pembangunan
politik, ekonomi dan sosial-budaya sepenuhnya ditangani pemerintah meski
sebenarnya diabdikan untuk rakyat. Di sini jelas monopoli komunikasi politik terjadi
dalam sistem politik Indonesia.
Cosmas menjelaskan, dalam proses pelaksanaan komunikasi politik, birokrasi
menempatkan dirinya pada posisi yang cukup sentral. Ia tak hanya mewadahi
aspirasi rakyat untuk diteruskan kepada lembaga-lembaga negara tapi juga
berperan sebagai alat untuk menyampaikan informasi yang dibutuhkan rakyat.
Namun terlihat di sini bahwa dalam proses timbal-balik itu monopoli bisa terjaga
dan kalau bisa bahkan dikendalikan untuk tidak menggangu struktur yang telah
dibentuk Orde Baru. Seperti dikatakan Cosmas, “pembakuan tatanan dan
keteraturan itu demi berlangsungnya pembangunan nasional untuk kesejahteraan
rakyat”.
Mengapa terjadi dominasi pemerintah dalam proses komunikasi ini ? Fred W Riggs
seperti dikutip Nurul Aini, di negara Dunia Ketiga ada tiga gejala yakni formalitas,
overlapping dan heteroginitas.
IV. ORDE REFORMASI
Dengan tumbuhnya keterbukaan dalam komunikasi politik, masyarakat semakin
tahu hak dan kewajibannya. Bahkan aksi-aksi protes sebagai sebuah masukan
kedalam sistem politik menjadi sebuah hal yang tak aneh. Salah satu manifestasi
itu adalah keberanian umat Islam untuk mendirikan partai, sesuatu yang tabu
dalam kurun waktu 32 tahun Soeharto berkuasa. Puncak pengekangan itu terlihat
dari paket UU Politik dimana asas tunggal partai adalah Pancasila.
Dalam tempo singkat partai-partai berbasiskan Islam bermunculan mulai dari
kalangan pendukungnya Nahdhatul Ulama sampai dengan Muhammadiyah. Apakah
mereka mampu menampilkan sebuah format komunikasi politik yang bisa memikat
umat dalam pemilu mendatang ? Pertanyaan ini sangat menentukan karena pemilu
mendatang akan cenderung mengutamakan sifat-sifat distrik dibandingkan
proporsional. Konsekuensinya, partai harus memiliki orang-orang yang mampu
mengkomunikasikan gagasan-gagasan partainya kehadapan masyarakat.
Jika pemerintah sudah berangsur-angsur membuka diri dan memberikan banyak
isyarat tentang keterbukaannya, maka partai-partai pun sudah seyogyanya
menampilkan sebuah aksi yang lebih dewasa dan bukannya emosional. Persaingan
memperebutkan suara akan lebih ketat karena puluhan partai akan terjun dalam
kampanye untuk meraih kursi sebanyak-banyaknya di DPR tingkat daerah atau
pusat.
Jika kita coba klasifikasikan masyarakat pemilih maka akan lahir sedikitnya tiga
kategorisasi berdasarkan wilayah dan dua kelompok berdasarkan konsep Greetz.
Berdasarkan daerah akan tampak wilayah desa, wilayah transisi dan wilayah
perkotaan. Pemilih di desa memiliki karakteristik tertentu seperti agamis, berfikir
sederhana, setia kepada tokoh lokal dan berbicara sederhana mengenai kebutuhan
dalam masyarakatnya. Sedangkan pemilih kota lebih kritis, rasional, pragmatis dan
kadang-kadang apatis.
Kalau konsep Greetz itu dijadikan sebuah cara meraba alam pikiran pemilih,
barangkali secara antropologis memang ada yang santri dalam arti mendalami
Islam serta melaksanakannya. Di samping itu ada pula kelompok masyarakat yang
pengetahuannya tidak begitu mendalam atau terpengaruh oleh ajaran lain sehingga
pendalamannya kurang. Akibatnya, timbul sikap-sikap yang cenderung tidak dekat
dengan Islam atau bahkan mungkin bertentangan.
Pakar komunikasi Dan Nimmo[v] (1989) melukiskan lebih jauh lagi tentang pemilih
ditinjau dari perspektif orientasi komunikasinya. Pemberi suara pertama ia
kategorikan sebagai pemilih yang rasional. Ciri-cirinya antara lain, selalu mengambil
putusan bila dihadapkan pada alternatif, memilih alternatif dan menyusun alternatif.
Kelompok pemilih kedua, pemberi suara yang reaktif. Mereka biasanya memilih
berdasarkan karakter yang sudah ia miliki apakah itu agama, sosisoekonomi dan
tempat tinggal. Ia hanya mereaksi terhadap kampanye yang dibawakan partai.
Selanjutnya Dan Nimmo menggolongkan para pemilih dalam kategori ketiga yakni
pemberi suara yang responsif. Ia mengutip ilmuwan politik Gerald Pomper yang
menggambarkan karakter pemilih seperti itu. Menurut dia, jika pemilih reaktif itu
tetap, stabil dan kekal maka karakter pemilih responsif adalah impermanen,
berubah, mengikuti waktu, peristiwa politik dan pengaruh yang berubah-ubah
terhadap pilihan para pemberi suara.
Kelompok terakhir adalah pemberi suara yang aktif. Individu yang aktif, kata Dan
Nimmo, menghadapi dunia yang harus diinterpretasikan dan diberi makna untuk
bertindak, bukan hanya lingkungan pilihan yang telah diatur sebelumnya.
Tampaknya golongan ini kecil sekali dan diantaranya mungkin para aktivis partai itu
sendiri, keluarga, kerabat dan sahabatnya.
Di sinilah kepiawaian partai-partai berbasiskan Islam dituntut. Mereka harus mampu
mengidentifikasi kebutuhan masyarakat yang dihadapinya sehingga mampu
memberikan solusi bagi kemajuan mereka. Partai tidak hanya membela basis
ideologis dan program perjuangannya tapi lebih penting lagi bisa memberdayakan
masyarakat yang jadi pemilihnya. Pemilih, jangan sampai seperti era Orde Baru
diperlakukan dengan manis dan dimanjakan manakala suaranya diperlukan. Setelah
itu dibuang tanpa mengucapkan terima kasih sepatahpun.
Partai-partai Islam seyogyanya menjadi partai yang jadi panutan dalam arti
sesungguhnya. Tidak hanya tokoh-tokoh puncaknya tapi juga aktivis yang langsung
terjun ke masyarakat. Tampaknya untuk para aktivis di daerah, bukanlah sebuah
pekerjaan mudah karena selama ini komunikasi politik jarang digunakan dan macet
atau terkungkung paradigma berpikir Orde Baru.
Dalam kaitan dengan krisis ekonomi, aktivis partai dituntut untuk memberikan
solusi realitis dalam menjaga agar mereka yang korup tidak lagi memegang
peranan dalam pengambilan kebijakan.
Prabottinggi menyarankan bagaimana agar komunikasi politik itu bisa berlangsung
dewasa. Pertama, berpikir secara multiparadigma. Kedua, menyadari adanya ruangruang permasalahan politik dimana perbedaan pandangan akan selalu ada. Ketiga,
harus saling memandang tanpa finalitas penilaian. Tiga pendekatan itu tampaknya
relevan dengan keterlibatan banyak partai Islam dalam menyongsong pemilu
mendatang. Dengan kata lain inklusifisme, sebagai warga Indonesia dan warga
dunia Islam, harus disertakan dalam paradigma berpikir. Mengkotak-kotakkan
ummat dalam menyampaikan pesan-pesan politik partai akan melahirkan
perpecahan yang sulit sembuhnya. Pengalaman tahun 1950-an dan 1960-an banyak
memberikan pelajaran agar sekat-sekat itu tidak dipatok begitu saja sehingga cara
berpikirpun berhenti.
V. PENUTUP
Terbukanya keran keterbukaan akibat reformasi mendorong kelahiran era baru
dalam mengekspresikan pendapatnya. Jika pada masa Orde Baru pengekangan itu
sedemikian ketat, maka Orde Reformasi ini masyarakat menikmati bulan madu
kebebasan berkumpul dan pendapat.
Salah satu fenomena yang terlihat adalah menjamurnya partai-partai berbasiskan
Islam. Dengan berbagai atribut, slogan, pemimpin dan programnya mereka mulai
mengenalkan diri ke hadapan umat. Meskipun sebagian terkesan sederhana dan
sebagian lagi ingin terlihat advokasinya membela rakyat, namun kekuatan riil
mereka akan teruji benar-benar dalam pesta demokrasi yang mungkin berlangsung
Mei 1999. Wallahu’alam.
[1] Drs Asep Setiawan MA, staf pengajar Jurusan Ilmu Politik, FISIP UMJ.
CATATAN
[i] Gabriel Almond and G Bingham Powell, Comparative Politics: A Developmental
Approach. New Delhi, Oxford & IBH Publishing Company, 1976, p. 167.
[ii] Mochtar Prabottinggi, “Komunikasi Politik dan Transformasi Ilmu Politik” dalam
Indonesia dan Komunikasi Politik, Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun (eds). Jakarta,
Gramedia, 1993, p. 54.
[iii] Jamie Mackie and Andrew MacIntyre, “Politics” dalam Indonesia’s New Order,
edited by Hall Hill, Honolulu, University of Hawaii Press, 1994, p. 9.
[iv] Cosmas Batubara, Komunikasi Politik dan Birokrasi di Indonesia, dalam Maswadi
op.cit., p. 136.
[v] Dan Nimmo, Komunikasi Politik (terj), Bandung, Remadja Karya, 1989, pp.186198.
Oleh Asep Setiawan