PENDEKATAN DESKRIPTIF DAN ANALITIK DALAM

© mtz-11/ 02 paper 2016

PENDEKATAN DESKRIPTIF DAN ANALITIK DALAM
PEMBELAJARAN SEJARAH DI SEKOLAH MENENGAH
Mestika Zed

Guru-besar Sejarah Ekonomi dan Direktur Pusat Kajian Sosial-Budaya & Ekonomi (PKSBE),
Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang.

Assalamulaikum w arahmatullahi w a barakaatuh.

Terima kasih kepada Universitas Jambi, terima kasih kepada FKIP dan Prodi
Pendidikan Sejarah, Universitas Jambi, yang telah bertindak sebagai tuan
rumah dalam acara yang istimewa ini. Saya merasa mendapat kehormatan
untuk berdiri depan ini sekedar berbagi pengalaman dengan para hadirin yang
terdiri para pengajar dan mahasiswa FKIP universitas pada umumnya dan
pendidikan sejarah khususnya. Panitia seminar telah meminta saya untuk
memberikan kuliah umum (studium generale) pagi ini sebagai rangkaian dari
kegiatan seminar sejarah nasional yang akan diadakan esok hari, Minggu 4
September 2016, dengan tema besar yang menarik: "Meningkatkan Mutu
Lulusan PIPS yang Humanis, Mandiri, dan Barkarakter .

Dalam kuliah umum ini saya diminta untuk membetangkan topik tentang
Pendekatan Deskriptif dan Analitik dalam Pembelajaran Sejarah di Sekolah
Menengah , sebuah topik yang penting, tetapi juga menantang bagi kita
sebagai pendidik atau calon pendidik di bidang sejarah. Sudah menjadi
keyakinan saya sejak lama, bahwa idealnya seorang pengajar sejarah yang baik
dibekali dengan apresiasi keilmuan di bidang sejarah di satu pihak dan ilmu
paedagogik (atau ilmu mendidik) di lain pihak. Gabungan keduanya akan
memperkuat kompetensi yang dibutuhkan, yang di dalamnya terjalin
pengetahuan, keterampilan dan pengalaman (knowedge, skill, experiences).
Perkenankan saya mulai dari pengalaman pribadi.

1

Pengalaman Belajar dengan Guru Sejarah yang Hebat.
Ketika duduk di bangku sekolah menengah, saya sungguh beruntung memiliki
seorang guru mata-pelajaran sejarah yang hebat, yang saya ingat selamalamanya, sebab beliaulah yang menginspirasi saya ingin menjadi guru sejarah
dan memilih jurusan sejarah sebagai pilihan pertama di bangku kuliah. Beliau
adalah guru favorite saya, guru sejarah yang sangat antusiastik (bergairah)
dalam mengajarkan sejarah dan mampu menarik perhatian murid-murid di
kelas. Sewaktu masuk kelas beliau selalu menyapa para siswa dengan penuh

ramah. Rasanya beliau hafal nama-nama para murid-murid di kelas kami, dan
bahkan juga prilaku dan kepribadian mereka: yang pintar tapi pendiam, yang
nakal, suka menggaggu teman belajar, humoris, bodoh tapi nyinyir, yang suka
bolos atau sering terlambat masuk kelas, ada pula penebar pesona (biasanya
siswi), tukang tidur, penyendiri, bodoh dan pemalu. Tiap tipe prilaku ada
julukannya, seringkali dengan panggilan yang lucu-lucu, sehingga membuat
para siswa suka ketawa.
Apa yang beliau lakukan sewaktu mengajar, saya ingat betul, bukanlah
mencatat atau membacakan daftar fakta-fakta, melainkan menceritakan
pengalaman. Masih segar dalam ingatan saya bagaimana beliau menerangkan
sejarah Perang Paderi dalam dua episode berbeda di awal abad ke-19:
pertama ketika permusuhan sesama orang Minangkabau (kaum adat dan
kaum ulama)
disebut perang saudara ; kedua perang yang sebenarnya
melawan musuh bersama: Belanda. Klimaksnya berakhir dengan penangkapan
Tuanku Imam Bonjol, tokoh utama Perang Paderi. Namun yang diceritakan
bukan fakta-fakta tentang tahun dan jalannya perang Paderi dan kekalahan
Paderi, melainkan menalar fakta-fakta dengan mendeskripiskan kekuatan
musuh dan teknologi senjata mereka yang relatif modern. Ini kemudian
dibandingkan dengan kekuatan Paderi dengan senjata ruduih (parang),

lembing, panah dan senjata laras panjang, kecapik (dalam istilah lokal
senapan balansa), yang biasa digunakan untuk berburu babi.
Guru sejarah saya bahkan pintar melakoni bagaimana Paderi melepaskan
panah dari busurnya, mirip film Robinhood dan membidik musuh yang sedang
patroli dengan senapan balansa kuno tepat sasaran, sehingga jatuh terkapar
kesakitan. Namun di pihak Paderi lebih banyak jatuh korban. Walaupun jumlah
mereka lebih besar, tetapi karena kalah taktik dan strategi musuh, perlawanan
Paderi akhirnya dapat ditundukkan. Beliau sekali lagi meyakinkan siswa, bahwa
serangan Belanda lebih terkoordinasi dan senjata mereka pun lebih modern.
2

Pada klimaksnya diceritakan bagaimana heroisme seorang Tuanku Imam
Bonjol yang bertempur dengan kendaraan berkuda sambil menghunuskan
pedangnya, tetapi lepas dari sergapan musuh. Tokoh Paderi itu baru bisa
ditangkap setelah akhirnya dapat dibujuk untuk berunding, tetapi sebenarnya
hanyalah tipu-muslihat Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol. Ia
ditawan saat berunding dan dijebloskan ke penjara di Padang sebelum dibuang
ke Jawa, kemudian dipindahkan ke Manado. Cerita tentang perjalanan Imam
Bonjol di atas kapal menuju tempat pembuangan penuh dengan penderitaan.
Misalnya di atas kapal, beliau dijebloskan ke kamar yang sempit dan pengap

tanpa dilepaskan rantai borgol pada kakinya. Ini mengingatkan kita kepada
kisah sedih raja Minangkabau yang terakhir, Sultan Alam Begagarsyah, yang
ditangkap Belanda dan dibawa ke Batavia (Jakarta), dengan tangan dan kaki
terikat borgol tanpa belas kasihan. Sampai di sini guru sejarah saya menggugah
emosi para siswa, diam terpukau oleh kepintaran sang guru bercerita. Tetapi
kemudian mengajak para siswa kembali berfikir rasional dengan menarik
kesimpulan (generalisasi) secara bersama-sama. Ini dilakukannya lewat
beberapa pertanyaan sederhana. Misalnya, apa yang membuat Belanda lebih
unggul dalam perang Paderi? Mengapa jumlah pasukan tidak selalu
menentukan kalah atau menang dalam sebuah peperangan? Apa yang
membuat Tuanku Imam Bonjol dan pengikutnya membenci Belanda berkuasa
di daerah mereka?
Rangkaian pertanyaan di atas tidak langsung mengacu pada tahun dan
peristiwa, melainkan memerlukan argumen logis
sesuai dengan tingkat
kematangan berfikir siswa, sedangkan fakta-fakta tentang waktu dan peristiwa
sudah terjalin di dalam argumen sebagai pembuktian.
Contoh lain dalam kelas sejarah yang sama, kami mempelajari sejarah
pergerakan nasional melalui riwayat hidup tokoh, H. Agus Salim, yaitu seorang
pejuang kemerdekaan, yang terkenal dengan semboyan, leiden is lijden

( memimpin adalah menderita ). Pak guru sejarah, sekali lagi, tidak sibuk
membeberkan fakta-fakta kornologis tentang tahun-tahun penting, latar
keluarganya, kelahirannya, pendidikannya, karier politik, dan meninggalnya,
melainkan muai dengan memperkenalkan kepada kami siapa tokoh ini.
Diceritakan bahwa H.A. Salim adalah tokoh genius, yang penuh pesona. Guru
sejarah kami mengutip Hamka, yang percaya bahwa orang seperti Salim hanya
dilahirkan paling banter satu orang dalam seratus tahun. Cerdas dan mengusai
banyak bahasa asing (termasuk bahasa kambing , guru nyletuk). Beliau adalah
pendiri organisasi pemuda Jong Islamieten Bond dan partai Islam PSII
bersama Cokroaminoto. Kelebihan Salim ialah bahwa ia tangkas dalam
berdebat dan kadang dibumbui oleh lelucon yang lucu. Hidupnya sederhana.
3

Tinggal di rumah kontrakan di sebuah gang becek di Betawi, Agus Salim tak
menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah formal manapun, apalagi sekolah
Belanda, melainkan mendidik sendiri putra-putranya di rumah. Tak penah
merasa hidupnya menderita karena itu adalah resiko seorang pemimpin. Dari
kesederhanaan hidupnya itu ia ibarat mutiara dalam lumpur, mutiara bangsa
yang berkubang dengan suka-duka kehidupan pribadi dan perjuangan tentang
sesuatu yang ideal.

Cerita selanjutnya mungkin berlebihan. Namun apa yang ingin dikatakan lewat
pengalaman di atas ialah, pertama, bahwa seorang guru sejarah yang hebat di
mata para siswa ialah guru yang mampu bercerita dengan baik dan menarik.
Belakangan saya teringat dengan pernyataan seorang guru-besar sejarah, yang
mengakan . jika kamu ingin menjadi guru sejarah yang hebat kamu perlu
mengajar dengan mengandalkan kemampuan bercerita dan sekaligus sebagai
pendidik ( If you want to be a great History teacher, you need to work on
your ability to tell a story and instructor as well ).
Kedua, guru sejarah yang baik ialah guru yang penuh antusiasme dengan matapelajaran yang diampunya; ia memliki passion di bidangnya dan bersikap
demokratis terhadap para siswanya. Lebih penting lagi mampu menarik empati
(emosi) terhadap pengalaman sejarah yang diceritakan.
Ketiga, guru sejarah yang hebat mengurangi ketergantungan pada buku teks,
kecuali menyeleksi butir-butir standar minimal sesuai dengan instruksi
kurikulum. Meskipun demikian, di lain pihak kaya bahan bacaan. Ia mampu
menyeleksi buku bacaan terbaik di antara literatur yang berlimpah ruah, yang
seringkali membosankan dan kering.
Keempat, selalu berupaya mengaitkan bahan pelajaran sejarah dengan kondisi
masa kini. . sejarah , kata H.A. Carr, adalah dialog terus menerus antara
masa lalu dan masa kini dan sebaliknya. Apa pun topiknya, bahkan
pengalaman sejarah zaman prasejarah sekalipun, selalu dapat dihubungkan

dengan realitas masa kini. Kita bisa mengambil ilustrasi dari kondisi bencana
asap yang selalu muncul belakangan tiap tahun. Pada zaman prasejarah nenek
moyang kita dalam fase ladang berindah-pindah, menggarap ladang lewat
metode slash and burn (tebang lalu bakar). Bencana asap tidak perlu terjadi
karena mereka menggarap ladang dalam skala kecil. Mereka memiliki kearifan
lokal dalam hal memelihara hutan dan lingkungan. Ini sangat jauh dari prilaku
manusia zaman modern yang menghancurkan hutan dan lingkungan karena
ekonomi kapitalis yang rakus membabat hutan secara besar-besaran. Bencana
asap pembakaran hutan sangat membahayakan lingkungan, bahkan membuat
4

negeri tetangga menjadi susah karena terganggu oleh ekspor asap negeri
kita.
Semangat pembelajaran sejarah yang dapat dipetik dari pengalaman di atas
a.l. ialah:
pentingnya pembelajaran kontekstual di mana guru lebih
menekankan hubungan sejarah dengan kondisi kekinian; adalah naif dan
konyol mengharapkan siswa mengingat segala sesuatu tentang tahun-tahun
dan fakta sejarah yang diajarkan. Mereka hanya akan mengingat apa yang
relevan dan menarik perhatian mereka guru sejarah yang baik memberi ases

kepada siswa tentang apa yang dapat mereka lalukan dengan pengetahuan
sejarah yang mereka pelajari ketimbang memaksakan mengingat sebanyak
mungkin pengetahuan kognitif tentang fakta-fakta sejarah masa lalu.
Pembelajaran Sejarah Akademik.

Setelah duduk di bangku kuliah barulah saya mulai mengerti, bahwa selama
puluhan tahun, kita sebagai pengajar sejarah, telah menyesatkan diri kita ke
dalam pahaman sejarah yang keliru. Keliru karena tidak mampu mengubah
pengertian publik tentang sejarah sebagai tak lebih dari cerita tentang masa
lalu. Lebih celaka lagi, sejarah diajarkan sebagai pengetahuan yang hanya
sekedar exercise (latihan) yang menyita perhatian pada hafalan mengingat
tahun-tahun dan peristiwa politik. Dalam hal ini guru sejarah terbiasa memberi
nilai atau penghargaan berdasarkan seberapa banyak informasi (fakta dan
tahun peristiwa) yang dapat direkam dalam kepala (ingatan) para siswa.

Dewasa ini, jika ditanya kepada kebanyakan siswa atau kepada siapa saja yang
pernah mendapat pelajaran seajarah hanya sewaktu sekolah menengah (yang
kini sudah menjadi sarjana, profesor, pejabat dan kaum porfesional lainnya)
apa itu sejarah, maka jawabannya pastilah cerita tentang masa lalu , yang tak
ada sangkut pautnya dengan masa kini dan yang akan datang. Ini sungguh

menyedihkan dan sekaligus membuktikan bahwa pendidikan sejarah di
sekolah menengah kita gagal mengubah pengertian sejarah dari kanon
sejarah lama , yakni cerita masa lalu. Karena alasan itu semua orang merasa
bisa bercerita dan menulis tentang sejarah. Era Herodotus sekitar 25 abad lalu
tampaknya masih belum mengalami perubahan signifikan di lingkungan
pengajar sejarah, walaupun sejarah ilmiah sudah hadir sejak Leopold von
Ranke mendeklarasikan sejarah sebagai ilmu pada abad ke-19.
Sekarang zaman sudah berubah dan ilmu pengetahuan semakin berkembang,
termasuk ilmu sejarah. Namun kanon sejarah lama itu masih bercokol kuat
dalam pendidikan sejarah di tanah air. Kita tetap perlu menghargai
5

keterampilan bercerita dalam pengajaran sejarah, tetapi bukan cerita yang
semena mena, asal jadi, tanpa membedakan cerita fiktif dan faktual,
melainkan cerita sejarah yang dibingkai dengan semangat ilmiah atau apa yang
lazim disebut pendekatan sejarah kritis. Istilah teknis untuk jenis pengetahuan
sejarah yang demikian itu disebut sejarah naratif , yaitu mengurai cerita atau
kejadian. Dalam bahasa Inggris, kata narative selalu digunakan untuk kalimat
past tense karena memang sifatnya menyampaikan cerita (telling the story)
kejadian yang telah berlalu. Karena terletak di masa silam maka wajar saja bila

siswa terkadang mendapatkan pemahaman yang keliru dan tumpang tindih
antara teks naratif dan cerita yang semena-mena, yang sering ditujukan
sekedar hobi menghibur para pendengarnya.
Sebagai pengajar sejarah akademik di sebah perguruan tinggi, saya tetap
percaya sepenuhnya bahwa cara belajar yang terbaik untuk setiap tingkat
mana pun juga, sekolah menengah atau pedidikan tinggi, ialah manakala siswa
atau mahasiswa merasa senang dan tertarik dengan bahan yang diajarkan.
Kebanyakan guru sejarah yang hebat, yang pernah saya dengar atau temui
memiliki suatu keterampilan yang sama: they told stories. Bukankah kata
sejarah secara etimologis berasal dari kata Latin, historia, artinya
menceritakan kejadian yang telah berlalu, narrative of past events. Akan
tetapi, sekali lagi, tentu bukan cerita yang semena-mena karena kata Latin itu
(historia) itu selanjutnya juga berarti scientific inquiry (penyelidikan ilmiah).
Di situ perlu konsep-konsep relavan perlu ditonjolkan sebagai inti dari ciri
zaman tertentu, yaitu apa yang disebut zeitgeist (jiwa zaman). Saya bukan
pengajar Sejarah Eropa, tetapi ketika berbicara tentang sejarah Eropa Abad
Tengah, saya senang memperkenalkan dan mendiskusikan bersama
mahasiswa konsep "segmented sleep" (terbangun dari tidur) yang
dikemukakan oleh sejarawan Inggris, Roger Ekirch, guru-besar sejarah pada
Virginia Tech University, yang meneliti pola tidur manusia di Abad Tengah dan

paralel dengan peradaban zaman gelap (the dark age) Eropa pada Abad
Tengah.1 Kita juga bisa memperkenalkan konsep Islam Sufistik sebagai
tipologi agama Islam yang mula-mula berkembang di Indonesia pada fase awal
sekitar abad ke-12 san ke-13 dan fenomena ini sedikit banyak juga hadir dalam
era kontemporer.
Seadainya guru dan calon sejarah kita menyadari betapa rendahnya
penghargaan terhadap guru sejarah selama ini, maka tidak ada jalan lain
kecuali berbenah diri, baik individual maupun isntitusional, dengan cara
memperkuat basis pengetahuan ilmiah di bidang sejarah dan mutu pengajaran
1

A. Roger Ekirch , At Day’s Close: A History of Night in Times Past (New York: W W Norton , 2005.

6

sejarah akademik. Kemampuan bercerita dalam pembeajaran sejarah tetap
penting, tetapi itu saja tidak cukup. Pengtehauan sejarah akaemiki harus
dibingkai dengan pengetahuan sejarah kritis-ilmiah. Kuncinya ialah
pembelajaran sejarah yang bisa menggali dan memperkenalkan konsepkonsep kunci yang relavan dalam setiap zaman sejarah. Dewasa ini ada banyak
alternatif metode yang bisa digunakan. Beberapa clues (petunjuk kunci) di atas
hanyalah sekedar pemantik inspiratif bagi pengembangan selanjutnya.

Sejarah Naratif dan Analitik.
Pada umumnya mereka yang pernah dan sedang belajar sejarah di perguruan
tinggi mengenal dua macam tipe penulisan sejarah. Pertama, yaitu meliput
atau menggambarkan sejarah berdasarkan pengetahuan informasi kognitif.
Yang lainnya suatu analisis mendalam tentang makna dari persitiwa sejarah
yang terjadi. Yang pertama disebut sejarah naratif (atau sejarah disekriptif),
yang kedua sejarah analitik . Dewasa ini kebanyakan buku-buku sejarah,
artikel dan pengajaran sejarah, berkisar pada tipe sejarah naratif. Sejarah
analitik di lain pihak masih relatif jauh dari jangkauan publik dan bahkan juga
di kalangan guru sejarah sekalipun. Perkenankan saya membahas keduanya
secara agak terinci d bawah ini.
Pendekatan Sejarah Desktiptif-Naratif.

Dalam sejarah naratif pengetahuan sejarah disampaikan dalam bentuk cerita.
Boleh jadi sangat menarik karena disampaikan dalam bentuk cerita novel atau
cerita sejarah dalam artikel koran. Kebanyakan sejarah ditulis dengan cara
demikian, sekali lagi, telling the story. Sejarah naratif selanjutnya dapat
diidentifikasi lagi ke dalam dua jenis berikut: sejarah naratif tradisional dan
naratif modern.
Pendekatan sejarah naratif tradisional berfokus pada urutan kejadian secara
kronologis, yaitu peristiwa sejarah yang cenderung berpusat tokoh-tokoh
individual, tindakan dan cita-cita ideal. Misalnya pengajar sejarah yang
mengajar tipe sejarah deskriptif naratif tradisional, cenderung tertarik pada
sejarah elitis di bidang politik. Ambillah contoh tentang pelajaran sejarah
revolusi nasional Indonesia atau sering juga disebut perang kemerdekaan
1945-1950. Biasanya perhatian lebih terpumpun pada revolusi sebagai suatu
entitas tunggal (hanya tentang kejadian revolusi yang terjadi dan berpusat
Jakarta) dan mengulas tentang tokoh-tokoh terkemuka dan idealisme mereka.
Sementara kejadian-kejadian di belakang layar utama kurang diperhatikan.

7

Sebaliknya pedekatan sejarah naratif modern berfokus pada struktur dan isi
(content) serta pola-pola umum. Pengajar sejarah yang bekerja dengan
pendekatan ini cenderung mengabaikan kronologi yang kaku itu. Mereka lebih
tertarik menerangkan konsep ketimbang membeberkan fakta-fakta. Pengajar
sejarah tipe ini bisa mengatakan bahwa sejarah naratif tradisional terlalu sibuk
dengan fakta-fakta tetapi lupa struktur keseluruhan. Dalam kata-kata Prof.
Sartono Kartodirdjo, disebutkan terlalu sibuk dengan pohon-pohon, tapi lupa
hutannya . Sejarawan J H Hexter dan Christopher Hill, menyebut tipe sejarah
naratif tradisional sebagai narator , tukang kumpul fakta-fakta (facts
collector) yang ingin memungut semua fakta masa lalu dan memasukkannya
dalam sejumlah kotak, kemudian mengikatnya ke dalam bundel yang
tersusun rapi. Sejarah tipe naratif tradisional ini memiliki sebutan lain yang
agak merendahkan seperti sejarah common sense (atau sejarah orang
awam), sejarah publik , sejarah popular , atau dalam istilah Braudelian
disebut sejarah peristiwa (histoire evenementille), yaitu suatu bangunan
pengetahuan sejarah yang lebih menekankan peristiwa-peristiwa sebatas di
atas permukaan (lihat bagan di bawah).
Sebalikya pendekatan sejarah deskriptif-naratif modern bekerja atas landasan
kerangka kerja teoretis ilmiah. Salah satu model yang biasa digunakan ialah
berupaya menggambarkan peristiwa sejarah secara deskriptif-kronologis,
tetapi bukan sekedar menjejerkan fakta-fakta belaka. Untuk itu ada beberapa
unsur (komponen) kunci yang perlu diperhatikan:

(i) alur cerita (kejadian historis), mengacu pada arah jalannya perstiwa,
kadangkala disebut eksposisi, yaitu susunan cerita dari awal, tengah hingga
akhir. Susunannya bisa maju (progresif), kilas balik (flash back) atau
gabungan.

(ii) Plot (bidang atau suasana) yang akan diliput, digambarkan, dideskripsikan
secara selektif. Dengan kata lain plot adalah informasi yang ingin
ditonjolkan dan/ atau dihilangkan. Penulis novel dan sutradara film,
umumnya sangat kreatif dalam membangun plot berdasarkan imajinasi
kreatif tanpa terikat dengan fakta-fakta. Namun dalam sejarah naratif,
selalu terkait dengan fakta. Misalnya dalam mengajarkan sejarah
proklamasi kemerdekaan 1945, seorang guru sejarah bisa mulai dengan
memotret rumah tempat proklamasi itu diadakan atau mendeskripsikan
suasana penyusunan teks proklamasi dan seterusnya. Di situ ada klimaks
dan antiklimaks yang membawa pendengar cerita atau pembaca sejarah
naratif ke dalam tempat dan suasana khas tertentu.

(iii) Koligasi (colligation), suatu istilah ilmu fisika untuk merujuk pada unsur
chemistery (kimiawi) yang mengikat antar-melekul, tetapi dalam konteks

8

sejarah naratif koligasi, sejarawan Collingwood, menggunakan istilah itu
sebagai unsur yang mengikat inner connection (hubungan dalam) antara
rangkaian fakta-fakta dalam suatu peristiwa sejarah.

(iv) Struktur, yaitu bangunan pengetahuan sejarah secara keseluruhan yang
tersusun dari komponen-komponen yang disebutkan di atas, sehingga
membentuk pengertian yang utuh tentang gambaran sejarah yang
dituturkan atau ditulis.

Guru sejarah yang terpelajar secara akademik, tentu tidak lagi cukup
mengandalkan common sense (akal sehat sehari-hari), sepeti yang ditemukan
dalam sejarah naratif tradisional, melainkan dengan bimbingan pengetahuan
akademik di bidangnya.

Pendekatan Sejarah Kritis-Analitik.

Agar sejarah mempunyai arti (meaning) dan relevan bagi kepentingan masa
sekarang, maka penulis atau pengajar sejarah harus menyelami lebih jauh
sampai kepada arus yang paling dalam. Di sini kita berjumpa dengan sejarah
analitik. Pendekatan sejarah analitik ialah menguraikan sejarah secara
bersistem atau berstruktur. Persitiwa sejarah tidak lagi diceritakan secara
kronologis, ibarat air mengalir dari hulu ke muara, melainkan membuat
semacam pemetaan secara lebih sistematis, ke dalam pola-pola atau
kecenderungan tertentu, baik penyebab, proses maupun dampaknya.
Pendekatan sejarah analitik memerlukan konsep dan teori untuk menjelaskan
fenomen sejarah tertentu. Untuk mudahnya, izinkan saya menurunkan bagan
berikut ini.

9

Penutup.

Pendekatan sejarah deskriptif dan sejarah analitik memiliki ciri dan tingkat kerumitan
yang berbeda. Dalam proses pembelajaran, pendekatan yang terbaik, hemat saya,
adalah sintesis antara keduanya, deskriptif dan analitik. Keduanya sama-sama
memerlukan bekal pengetahuan sejarah yang baik, tetapi dengan pendekatan
berbeda. Yang pertama menekankan keterampilan (skill) bercerita yang baik, yang
kedua menalar fakta-fakta sebagai ilustrasi (contoh) karena di dalamnya terkandung
pesan moral dan suatu pelajaran yang dipelajari (a lesson to be learned). Itu artinya
menekankan relevansinya dengan kekinian. Itulah meaning (arti) pembelajaran
sejarah yang sebenarnya. Dalam era teknologi informasi dewasa ini, pelbagi media
mengajar dapat digunakan: film dokumenter, ilustrasi images (gambar) dan animasi;
membawa murid ke luar kelas (ekskursi) tentu juga sebuah metode pembeljaran yang
menyenangkan. Pada akhirnya pengalaman mengajarkan bahwa guru sejarah yang
baik ialah guru yang mencintai mata pelajaran yang diampunya, tahu sejarah dan
cara mengajarkannya. Guru sejarah yang baik adalah storyteller dan performer yang
hebat karena ia mampu menggugah minat para siswanya. ***

10