Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Kecacingan pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bromo Kota Medan Tahun 2015

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Soil

Transmitted

Helminth

(STH)

atau

penyakit

kecacingan

yang


penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan
masyarakat khususnya bagi negara berkembang dan miskin. Hal ini dikarenakan
secara epidemiologi penyakit kecacingan sangat erat kaitannya dengan situasi
ekonomi dan sosial, lingkungan suatu bangsa serta perilaku yang menjadi kebiasaan
individu. Pada saat ini diperkirakan lebih dari 2 milyar orang terinfeksi cacing di
seluruh dunia, sekitar 300 juta orang menderita infeksi cacing yang berat dan sekitar
150.000 kematian terjadi setiap tahun akibat infeksi Soil Transmitted Helminths
(Depkes, 2004). STH yang paling sering menginfeksi manusia adalah Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura , dan hookworn. Diperkirakan sekitar 807 juta

manusia di dunia terinfeksi Ascaris lumbricoides, sekitar 604 juta menderita
trikuriasis dan hookworm (A.duodenale dan N. Americanus) menginfeksi sekitar 576

juta manusia di seluruh dunia (Depkes, 2006).
Kecacingan merupakan salah satu diantara banyak penyakit yang berkaitan
dengan lingkungan dan personal Hygiene. Sekitar 40-60% penduduk di Indonesia
menderita kecacingan, sebagian besar penderita kecacingan tersebut hidup di wilayah
kumuh dan berada pada golongan anak-anak dan usia sekolah. Pada tahun 2008
pemeriksaan tinja yang dilaksanakan di 8 Provinsi, mempunyai range yang cukup


1

2

tinggi yaitu antara 2,7% - 60,7% dengan prevalensi terendah di Sulawesi Utara yaitu
2,7%. Jika dilihat dari jenis cacing maka distribusi prevalensi cacingan menurut jenis
cacing pada anak SD di kabupaten terpilih di 27 provinsi tahun 2002 – 2008
menunjukkan bahwa prevalensi menurut jenis cacing yang paling tinggi adalah
cacing cambuk dan yang paling rendah adalah cacing tambang (Depkes, 2009).
Tingginya angka kecacingan di Indonesia tidak terlepas dari kondisi
geografis Indonesia yang memiliki iklim tropis, dengan kelembaban udara yang
tinggi serta tanah yang subur sehingga menjadi lingkungan yang baik untuk
kehidupan cacing. Kelompok masyarakat yang memiliki hygiene perorangan dan
sanitasi dasar perumahan yang kurang baik juga dapat menyebabkan terjadinya
kecacingan. (Soedarto, 2008). Selain itu, rendahnya pengetahuan dan kesadaran
masyarakat tentang personal hygiene , seperti kebiasaan cuci tangan sebelum makan
dan setelah buang air besar (BAB), kebersihan kuku, jajan di tempat yang
kebersihannya tidak terjaga, (Darnely, 2011) sanitasi lingkungan yang buruk, tingkat
pendidikan yang rendah, sosio ekonomi yang rendah (Widjana dan Sutisna, 2000)

serta minimnya pengetahuan masyarakat tentang bahaya kecacingan juga menjadi
faktor penyebab tingginya infeksi kecacingan (Yuliati et al, 2010)
Berdasarkan data Profil Dinas Kesehatan Sumatera Utara, prevalensi
kecacingan di Sumatera Utara masih berada di atas angka 10% termasuk kota Medan,
dimana pelaksanaan program pengendalian masalah kecacingan masih menargetkan
untuk menurunkan prevalensi kecacingan menjadi < 10 % tahun 2012. Secara khusus
di kota Medan, belum ada data mengenai prevalensi kecacingan, apalagi pada anak

3

balita (Dinas Kesehatan Provinsi Sumut, 2012). Kecacingan masih menjadi penyakit
yang kurang mendapat perhatian (neglected disease) yaitu sekelompok penyakit
menular yang tidak menyebabkan kematian secara langsung (WHO, 2015). Selain itu,
sasaran dari program pengendalian masalah kecacingan diprioritaskan pada beberapa
komponen penduduk, namun sampai saat ini baru kelompok anak sekolah dasar yang
terjangkau, sedangkan untuk balita data kecacingan masih belum menjadi prioritas
(Dinas Kesehatan Provinsi Sumut, 2012).
Anak balita merupakan kelompok yang berada dalam periode kritis dalam
masa pertumbuhan dan perkembangannya. Oleh karena itu akan terjadi resiko yang
sangat besar bila pada kelompok ini terjadi infeksi kecacingan (WHO, 2015).

Menurut WHO anak balita adalah salah satu kelompok masyarakat yang beresiko
untuk menderita kecacingan sebab pada usia ini anak belum bisa secara mandiri
mengurus pesonal hygienenya . Selain itu anak balita khususnya usia 24 – 59 bulan
sudah dapat bermain sendiri tanpa harus digendong atau dipangku oleh ibunya,
memasukkan benda atau makanan apa saja kedalam mulutnya dan mencari tahu hal –
hal yang baru tanpa memikirkan resiko atau bahaya apa yang akan terjadi. Salah satu
penularan cacing Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura dapat terjadi apabila
anak menelan larva infektif yang melekat di jari tangan pada waktu anak menghisap
jari atau tidak mencuci tangan sebelum makan. Kejadian ini sering terjadi terutama
pada anak yang sering bermain dan kontak dengan tanah yang tercemar telur cacing.
Selain itu penularan juga dapat terjadi apabila anak memakan makanan atau
memasukkan mainan kedalam mulutnya yang telah dihinggapi lalat atau kecoa yang

4

telah mengandung telur infektif setelah kontak dengan tanah atau feces manusia yang
mengandung telur cacing (Helmi, 2000)
Selain itu, berdasarkan penelitian Yudhasthuti dan Any (2012) bahwa anak
balita yang tinggal di rumah dengan sarana sanitasi khususnya jamban yang tidak
memenuhi syarat mempunyai peluang 5 kali terkena infeksi kecacingan bila

dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah dengan sarana jamban yang
memenuhi syarat. Selain itu ada hubungan antara kebiasaan cuci tangan anak setelah
buang air besar dengan kejadian infeksi kecacingan anak balita. Anak balita yang
tidak cuci tangan setelah buang air besar mempunyai peluang 5 kali lebih besar
mengalami kecacingan dibandingkan anak yang mencucuci tangan setelah buang air
besar.
Penelitian yang sama juga menunjukkan ada hubungan antara rumah
berlantai tanah dengan infeksi kecacingan pada anak balita. Anak balita yang tinggal
di rumah berlantai tanah mempunyai peluang 5 kali lebih besar mengalami
kecacingan dibanding anak balita yang tinggal di rumah yang tidak berlantai tanah.
Selain itu faktor lain yang berhubungan dengan kecacingan adalah pengetahuan orang
tua, rendahnya pengetahuan orang tua/ibu tentang kesehatan lingkungan dan
kecacingan berhubungan dengan terjadinya kecacingan pada balita.
Oleh karena itu, orangtua khususnya ibu memiliki peran yang besar untuk
menjaga kebersihan dan kesehatan anaknya. Berdasarkan penelitian Wang, (2012) di
China menunjukkan bahwa pendidikan ibu memegang peranan yang penting dalam
menjaga kebersihan dan kesehatan anak baik balita maupun anak usia sekolah untuk

5


terhindar dari kecacingan. Ibu yang berpendidikan rendah berhubungan dengan
kejadian kecacingan pada anak. Begitu juga dengan penelitian Ogunkanbi dan
Sowemimo (2014) yang melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang
berhubungan dengan kecacingan pada anak usia pra sekolah di Nigeria menunjukkan
bahwa latar belakang pendidikan orang tua, sanitasi lingkungan rumah berhubungan
dengan kejadian kecacingan di Nigeria.
Kecacingan secara langsung tidak membahayakan nyawa, namun dapat
membuat kualitas hidup penderitanya menurun karena dapat menurunkan kondisi
kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktivitas penderitanya sehingga secara ekonomi
dapat menyebabkan kerugian. Penyakit kecacingan menimbulkan dampak yang besar
pada masyarakat karena dapat mempengaruhi pemasukan ( intake), pencernaan
(digestif), penyerapan (absorbsi) dan metabolisme makanan. Oleh karena itu,
penyakit kecacingan dapat menimbulkan kerugian zat gizi berupa kalori dan protein
serta kehilangan darah, menghambat perkembangan fisik, mental, kemunduran
intelektual pada anak – anak dan produktifitas, dapat menurunkan ketahanan tubuh
sehingga mudah terkena penyakit lainnya (Kemenkes, 2006). Penelitian di Amerika
Latin mengemukakan bahwa infeksi cacing tambang pada anak dapat menyebabkan
anemia

(kekurangan zat


besi). Hal

ini

menyebabkan peningkatan risiko

ketidakmampuan belajar, dan anak-anak yang terinfeksi hampir empat kali lebih
mungkin pertumbuhannya terhambat (Sorensen et al, 2011).
WHO juga berpendapat bahwa

anak-anak yang mengalami kecacingan

dapat mempengaruhi perkembangan kognitif dan fisik pada anak-anak karena

6

kecacingan mempengaruhi proses malabsorpsi zat gizi mikro, sehingga mengurangi
kemampuan untuk makan, selain itu menyebabkan gangguan pada saluran usus dan
empedu. Ujungnya semua dampak tersebut memiliki pengaruh besar pada

pembangunan sosial dan ekonomi di masyarakat karena kecacingan pada anak akan
mengurangi kemampuan untuk belajar serta meningkatkan ketidakhadiran sekolah
ketika dewasa(WHO, 2014).
Oleh karena itu WHO menjadikan balita atau anak usia pra sekolah sebagai
salah satu sasaran program pengentasan kecacingan di dunia, salah satunya di
Indonesia. Selain itu WHO juga merekomendasikan pemberian rutin kemoterapi
preventif dengan Albendazole atau Mebendazole sebagai intervensi utama untuk
mengendalikan kecacingan pada anak balita atau usia pra sekolah (WHO, 2015)
Upaya penanggulangan kecacingan belum menunjukkan hasil yang maksimal,
hal tersebut dapat dilihat pada sebagian besar provinsi di Indonesia yang
menunjukkan bahwa angka prevalensi kecacingan saat ini masih di atas target
nasional yang ingin dicapai pada tahun 2010 yaitu kurang dari 10% (

Dokumen yang terkait

Hubungan Kepadatan Lalat, Personal Hygiene dan Sanitasi Dasar dengan Kejadian Diare pada Balita di Lingkungan I Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan Kota Medan Tahun 2015

15 135 159

Pengaruh Sanitasi Lingkungan dan Personal Hygiene terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat Ke Klinik di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan

10 99 155

Pengaruh Sanitasi Lingkungan, Personal Hygiene Dan Karakteristik Anak Terhadap Infeksi Kecacingan Pada Murid Sekolah Dasar Di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe

6 48 123

HUBUNGAN ANTARA SANITASI LINGKUNGAN DAN PERSONAL HYGIENE IBU DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MANGKANG.

0 5 13

Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Kecacingan pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bromo Kota Medan Tahun 2015

0 0 17

Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Kecacingan pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bromo Kota Medan Tahun 2015

0 0 2

Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Kecacingan pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bromo Kota Medan Tahun 2015

0 0 24

Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Kecacingan pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bromo Kota Medan Tahun 2015

0 0 3

Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Kecacingan pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bromo Kota Medan Tahun 2015

0 0 48

1 HUBUNGAN ANTARA FASILITAS SANITASI DASAR DAN PERSONAL HYGIENE DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA

0 1 17