Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Kecacingan pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bromo Kota Medan Tahun 2015

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Personal Hygiene

Personal Hygiene atau kebersihan perorangan adalah suatu tindakan yang

dilakukan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang dalam rangka
memelihara kesehatannya. Seseorang dikatakan memiliki kebersihan diri apabila,
orang tersebut dapat menjaga kebersihan tubuhnya yang meliputi kebersihan kulit,
gigi dan mulut, rambut, mata, hidung dan telinga, tangan, kaki dan kuku, kebersihan
genitalia serta kebersihan dan kerapian pakaiannya (Crissey, 2005). Personal Hygiene
dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki kebersihan diri, mencegah penyakit,
meningkatkan kepercayaan diri dan menciptakan keindahan (sebagaian sumber
diambil dari Tarwoto dan wartonah, 2003). Upaya-upaya yang dilakukan seseorang
untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya meliputi (Tarwoto dan
Wartonah, 2003) :
a. Memelihara kebersihan
b. Makanan yang sehat

c. Cara hidup yang teratur
d. Meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan jasmani
e. Menghindari terjadinya penyakit
f. Meningkatkan taraf kecerdasan dan rohaniah
g. Melengkapi rumah dengan fasilitas-fasilitas yang menjamin hidup sehat

11

12

h. Pemeriksaan kesehatan
Untuk mencegah terjadinya penularan penyakit kecacingan maka personal
hygiene yang dapat dilakukan adalah :

a.

Menjaga kebersihan Kulit
Kulit merupakan organ aktif yang berfungsi sebagai pelindung, sekresi, ekskresi,

pengatur temperatur, dan sensasi. Kulit dapat melindungi tubuh dari berbagai kuman

atau trauma sehingga perawatan yang cukup (adekuat) sangat diperlukan agar kulit
dapat mempertahankan fungsinya. Untuk selalu memelihara kebersihan kulit
kebiasaan – kebiasaan sehat yang harus dilakukan seperti (Potter, 2005)
1. Menggunakan barang-barang keperluan sehari-hari milik sendiri
2. Mandi menggunakan sabun mandi secara rutin minimal 2x sehari
3. Mengganti pakaian dengan teratur
4. Menjaga kebersihan pakaian
5. Hindari menggunakan pakaian yang lembab/basah
6. Makan yang bergizi terutama sayur dan buah
7. Menjaga kebersihan lingkungan.
b.

Perawatan kebersihan tangan dan kuku
Menjaga kebersihan tangan sangat penting terutama untuk mencegah

terjadinya infeksi kecacingan. Orang Indonesia umunya menggunakan tangan untuk
makan, mempersiapkan makanan, memberi makan pada anak, dan sebagainya,
sehingga dapat menjadi jalan bagi telur atau larva cacing untuk masuk kedalam
tubuh. Selain itu anak – anak paling sering terkena penyakit cacingan karena biasanya


13

jari – jari tangan mereka dimasukkan ke dalam mulut atau makan tanpa mencuci
tangan. Oleh karena itu menjaga kebersihan tangan dan kuku sangat penting untuk
dilakukan baik sebelum maupun setelah melakukan aktivitas. Membersihkan tangan
dapat dilakukan minimal 2 kali dalam sehari atau setiap kotor dengan (1) Mencuci
tangan dengan menggunakan sabun dan air bersih yang mengalir (2) menyabuni dan
mancuci harus meliputi area antara jari tangan, kuku dan punggung tangan (3)
mengeringkan tangan dengan handuk yang bersih (4) Cuci tangan dilakukan sebelum
makan atau sebelum memegang makanan dan setelah tangan kotor misalnya, setelah
memegang uang, memegang binatang, berkebun, setelah buang air besar atau buang
air kecil.
Menjaga kebersihan kuku merupakan salah satu aspek penting dalam
mempertahankan perawatan diri karena kuman dapat masuk kedalam tubuh melalui
kuku khusunya untuk menghindari terjadinya penularan cacing dari tangan ke mulut
(Gandahusada et al., 2006). Oleh karena itu, memotong kuku minimal 1 kali
seminggu atau saat terlihat panjang sangat penting untuk dilakukan (Potter, 2005).
c.

Perawatan kebersihan kaki

Kebersihan dan kesehatan kaki dapat dijaga dengan menggunakan alas kaki yang

lembut, aman dan nyaman, terutama jika berada di luar rumah ataupun ruangan.
Pemakaian alas kaki bertujuan untuk mencegah cacing masuk kedalam pori – pori
kulit kaki yang menginjak larva atau telur cacing. (Tanner, et.al., 2011).

14

d.

Kebiasaan ibu memilih makanan
Kebiasaan penggunaan feses manusia sebagai pupuk tanaman menyebabkan

semakin luasnya pengotoran tanah, persediaan air rumah tangga dan makanan
tertentu, misalnya sayuran akan meningkatkan jumlah penderita cacingan . Demikian
juga kebiasaan makan masyarakat, menyebabkan terjadinya penularan penyakit
cacing tertentu. Misalnya, kebiasaan makan secara mentah atau setengah matang,
ikan, kerang, daging dan sayuran. Bila dalam makanan tersebut terdapat kista atau
larva cacing, maka siklus hidup cacingnya menjadi lengkap, sehingga terjadi infeksi


pada manusia (Entjang, 2003).

2.2

Sanitasi Lingkungan
Sanitasi lingkungan merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk mencapai

lingkungan yang sehat melalui upaya pengendalian faktor lingkungan fisik khususnya
hal – hal yang mempunyai dampak merusak perkembangan fisik kesehatan dan
kelangsungan

hidup

manusia.

Sanitasi

lingkungan

mencakup


perumahan,

pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya (Chandra, 2007). Sanitasi
lingkungan merupakan hal penting yang harus diperhatikan oleh karena itu untuk
mencapai kemampuan hidup yang sehat di masyarakat, beberapa hal yang harus
diperhatikan adalah :
2.2.1 Jamban
Kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh
tubuh dan harus dikeluarkan dari dalam tubuh berupa tinja (faeces), air seni (urine),

15

dan CO2 sebagai hasil dari proses pernapasan. Pembuangan kotoran manusia yang
dimaksudkan adalah tempat pembuangan tinja dan urine, pada umumnya disebut
latrine , jamban atau kakus. Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk

membuang dan mengumpulkan kotoran/najis yang lazim disebut WC, sehingga
kotoran atau najis tersebut berada dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi
penyebab


atau penyebar penyakit dan mengotori lingkungan pemukiman

(Notoatmodjo, 2007).
Penyediaan sarana jamban merupakan bagian dari usaha sanitasi yang
cukup penting peranannya. Ditinjau dari sudut kesehatan lingkungan pembuangan
kotoran yang tidak saniter akan dapat mencemari lingkungan terutama tanah dan
sumber air. Pembuangan tinja yang tidak saniter akan menyebabkan berbagai macam
penyakit seperti : thypus, disentri, kolera, bermacam-macam cacing ( gelang, kremi,
tambang dan pita ), schistosomiasis dan sebagainya. Beberapa persyaratan yang harus
diperhatikan dalam membuat jamban sehat adalah :
1.

Tidak mencemari air

2.

Tidak mencemari tanah permukaan

3.


Bebas dari serangga terutama lalat, kecoa dan binatang lainnya

4.

Tidak menimbulkan bau

5.

Nyaman dan aman digunakan oleh pemakainya

6.

Mudah dibersihkan dan tidak menimbulkan gangguan bagi pemakainya

7.

Tidak menimbulkan pandangan yang kurang baik

16


2.2.2 Lantai Rumah
Rumah memiliki fungsi beragam, selain sebagi tempat berlindung dari
panasnya sinar matahari dan hujan, rumah juga menjadi tempat untuk melakukan
sosialisasi antar penghuninya. Hampir sebagian aktivitas manusia dilakukan dirumah,
oleh sebab itu, kondisi rumah dapat mempengaruhi perkembangan dan kesehatan
fisik dan mental penghuninya. Rumah yang sehat dan layak tidak harus berwujud
rumah mewah dan besar namun rumah yang sehat adalah rumah yang memenuhi
persyaratan rumah sehat salah satunya adalah rumah dengan bangunan yang kuat dan
memiliki lantai yang mudah untuk dibersihkan. Lantai yang memenuhi persyaratan
adalah lantai yang tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim
hujan. Oleh karena itu lantai rumah sebaiknya terbuat dari ubin, keramik atau semen
agar tidak lembab dan tidak menimbulkan genangan atau becek (Kusnoputranto,
2000).

2.3

Penyakit Kecacingan
Penyakit kecacingan merupakan penyakit yang dapat menyebabkan berbagai


penyakit serius pada anak terutama pada masyarakat dengan sosio ekonomi rendah
yang berada di daerah pedesaan atau daerah pinggiran. Jenis cacing yang sering
ditemukan pada anak –anak yaitu cacing yang ditularkan melalui tanah ( Soil
Transmitted Helminthes ) seperti Ascaris Lumbricoides, Nekator Americanus ,
Ancylostoma Duodenale dan Trichuris Trichuria (Gandahusada et al., 2006).

17

2.3.1 Cacing Gelang (Ascaris Lumbricoides)
Cacing gelang berukuran 20-25 cm, cacing ini tinggal dan menyebar di usus
kecil. Telur cacing yang keluar bersama tinja dapat mencemari tanah di lingkungan
sekitar dan sayuran yang ditanam di tanah tersebut akan ikut tercemar apabila
dimakan tanpa dimasak terlebih dahulu ( dijadikan sebagai lalapan). Bila telur
tertelan setelah melalui berbagai tahap perkembangan di dalam tubuh maka cacing
usus akan timbul di usus kecil. Manusia adalah satu-satunya hospes cacing gelang
(Ascaris lumbricoides), penyakit yang di sebabkan oleh cacing ini disebut Askariasis
(Gandahusada et al., 2006).

Gambar 2.1. Cacing Gelang (Ascaris Lumbricoides)
2.3.1.1 Morfologi dan Daur hidup

Cacing jantan berukuran 10 – 30 cm, sedangkan yang betina 22 – 35 cm.
Stadium dewasa hidup di rongga usus muda. Seekor cacing betina dapat bertelur
sebanyak 100.000 – 200.00 butir sehari; terdiri dari telur yang dibuahi dan yang tidak
dibuahi. Telur yang dibuahi, besarnya kurang lebih 60 x 45 mikron dan yang tidak
dibuahi 90 x 40

mikron. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi

berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu.

18

Bentuk infektif ini, bila tertelan oleh manusia, menetas di usus halus.
Larvanya akan menembus dinding usus halus dan menuju pembuluh darah atau
saluran limfe, lalu dialirkan kejantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru.
Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk
rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari
trakea larva ini menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring.
Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan kedalam eksofagus,
lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak
telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2
bulan (Gandahusada et al., 2006).

Gambar 2.2. Daur hidup Cacing Gelang (Ascaris Lumbricoides)
Sumber : Gandahusada, S, et al. 2006. Parasitologi Kedokteran. UGM. Jogjakarta

19

2.3.1.2 Gejala Klinis
Penderita akan mengalami gejala yang disebabkan oleh cacing dewasa dan
larva. Gangguan yang di sebabkan oleh larva biasanya terjadi ketika larva tersebut
berada di paru, apabila tubuh orang tersebut rentan maka akan terjadi perdarahan
kecil pada dinding alveolus yang akan menimbulkan gangguan pada paru yang di
sertai dengan batuk, demam dan eosinofilia . Keadaan ini disebut sindrom Loeffler .
Gejala yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya hanya gejala ringan, kadangkadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual-mual, nafsu makan
berkurang, perut buncit, diare dan konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak
dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperkuat keadaan malnutrisi. Efek yang serius
terjadi bila cacing – cacing ini menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi
usus (ileus). Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke saluran empedu,
apendiks atau ke bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga kadang
– kadang perlu tindakan operatif (Gandahusada et al., 2006).
2.3.1.3 Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara massal pada
masyarakat. Untuk perorangan dapat digunakan bermacam – macam obat misalnya
piperasin, pirantel pamoat, mebendazol atau albendazol. Obat ini di minum agar

cacing dapat di lumpuhkan sehingga cacing dapat keluar hidup-hidup bersama tinja
(Gandahusada et al., 2006).

20

2.3.2 Cacing Cambuk (Trichuris Trichiura)
Dalam bahasa Indonesia cacing ini dinamakan cacing cambuk karena secara
menyeluruh bentuknya seperti cambuk. Infeksi dengan cacing cambuk (Trichuriasis)
lebih sering terjadi di daerah panas, lembab dan sering bersama –sama dengan infeksi
Ascaris. Sampai saat ini dikenal lebih dari 20 species Trichuris spp, namun yang

menginfeksi manusia hanya Trichruis Trichuria dan Trichuris Vulpis. Penyakit yang
disebabkan cacing ini dinamakan trichuriasis atau trichocepaliasis. Penyakit ini
terutama terjadi di daerah subtropis dan tropis, dimana kebersihan lingkungan yang
buruk serta iklim yang hangat dan lembab memungkinkan telur dari parasit ini
mengeram di dalam tanah. (Gandahusada et al., 2006)

Gambar 2.3. Cacing Cambuk (Trichuris Trichiura)
2.3.2.1

Morfologi

a) Cacing jantan panjangnya 3 – 4 cm, dengan bagian anterior halus seperti
cambuk, bagian ekor melingkar dan mengandung sebuah spicule.

21

b) Cacing betina panjangnya 4 -5 cm, bagian anterior halus seperti cambuk,
bagian ekor lurus berujung tumpul. Vulva terdapat di bagian tubuh yang
mulai membesar, sedangkan anusnya terletak di bagian posterior tubuh.
c) Telurnya berukuran 50 x 22 mikron, bentuknya seperti tempayan dengan
kedua ujung menonjol, berdinding tebal dan berisi larva. Kulit bagian luar
berwarna kekuning – kuningan dan bagian dalamnya jernih.
d) Cacing dewasa berwarna merah muda, melekat pada dinding apendiks,
kolon atau bagian posterior ileum. Bagian tiga perlima anterior tubuh
langsing, dan bagian posterior tebal sehingga menyerupai cambuk.
2.3.2.2 Siklus Hidup
Manusia akan terinfeksi cacing ini karena menelan telur matang yang berasal
dari tanah yang terkontaminasi. Telur – telur yang tertelan akan menetas di usus kecil
dan akhirnya akan melekat pada mukosa usus besar. Cacing dewasa menjadi mature
kira – kira dalam 3 bulan dan mulai memproduksi telur. Cacing tersebut akan
membenamkan bagian anteriornya di mukosa usus dan mulai memproduksi telur
sebanyak 2000 – 7000 butir perhari, cacing dewasa ini dapat hidup untuk beberapa
tahun. Telur yang dihasilkan akan dikeluarkan dari tubuh manusia bersama tinja.
Telur ini akan mengalami pematangan dalam waktu 2 – 4 minggu di luar tubuh. Bila
telur berada di tempat yang mendukung perkembangannya seperti di tempat yang
lembab, hangat maka telur akan matang dan siap menginfeksi host lain. Pada infeksi
yang berat, cacing dapat pula ditemukan pada ileum, appendiks, bahkan seluruh usus
besar.

22

Gambar 2.4. Daur Hidup Cacing Cambuk (Trichuris Trichiura)
Sumber : Gandahusada, S, et al. 2006. Parasitologi Kedokteran. UGM. Jogjakarta

2.3.2.3 Gejala Klinis
Tidak ada gejala klinis yang khas pada infeksi ringan. Disentri, prolapsus
rekti, apendisitis, anemia berat, mual dan muntah dapat terjadi karena adanya infeksi

yang berat dan menahun. Disentri yang terjadi dapat menyerupai amebiasis.
Perkembangan larva trichuris di dalam usus biasanya tidak memberikan gejala klinik
yang berarti walaupun dalam sebagian masa perkembangannya larva memasuki
mukosa intestinum tenue . Cacing di dalam tubuh dapat menimbulkan bahaya akibat

23

dari trauma yang berasal dari cacing dan toksik yang dikeluarkannya. Trauma pada
dinding usus terjadi karena cacing ini membenamkan kepalanya pada dinding usus.
Cacing ini biasanya menetap pada sekum akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon
asendens (Gandahusada et al., 2006).

2.3.2.4 Pengobatan
Pengobatan pada Cacing cambuk sama seperti pengobatan pada Ascariasis,
untuk perseorangan dapat dipergunakan obat misalnya piperasin, pirantel pamoat,
mebendazol atau albendazol.

2.3.3 Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)
Disebut cacing tambang karena pertama kali ditemukan di daerah
pertambangan, yang fasilitas sanitasinya kurang memadai. Hospes cacing tambang
adalah manusia dan akan menyebabkan Nekatoriasis dan Ankilostomiasis.

.
Gambar 2.5. Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale)

24

2.3.3.1

Morfologi

a) Cacing betina Ancylostoma duodenale mampu bertelur 10.000 butir setiap
harinya, sedangkan pada Necator americanus mengeluarkan telur kira-kira
9000 butir setiap harinya.
b) Pada Ancylostoma duodenale cacing betinanya berukuran 10-30 mm dan
cacing jantannya berukuran 8-11 mm, cacing ini menyerupai huruf C dan
dan mulutnya mempunyai 2 pasang gigi.
c) Sedangkan pada Necator americanus cacing betinanya berukuran 9-11 mm
dan cacing jantannya berukuran 5-9 mm, cacing ini menyerupai huruf S
dan mulutnya mempunyai 2 pasang gigi.
d)

Telur cacing tambang keluar bersama-sama dengan feses, bentuknya
bundar, oval dan besarnya sekitar 20-50 mikron. Di dalam telur dapat
terlihat seperti ada sel-sel berjajar.

2.3.3.2

Siklus Hidup
Telur dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari

keluarlah larva rabditiform. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva rabditiform tumbuh
menjadi larva filariform, yang dapat menembus kulit dan dapat hidup selama 7-8
minggu di tanah. Telur cacing tambang yang besarnya kira-kira 60 x 40 mikron,
berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di dalamnya terdapat 4-8 sel. Larva
rabditiform panjangnya kira-kira 250 mikron, sedangkan larva filariform panjangnya

kira-kira 600 mikron. (Gandahusada et al, 2006)

25

Gambar 2.6. Daur Hidup Cacing Tambang (Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale)

Sumber : Gandahusada, S, et al. 2006. Parasitologi Kedokteran. UGM. Jogjakarta

2.3.3.3

Gejala Klinis
Larva cacing tambang yang menginfeksi manusia pada umumnya tidak

menjadi dewasa dan mengakibatkan terjadinya kelainan kulit yang disebut creeping
eruption, creeping disease atau cutaneous larva migrans. Creeping eruption adalah

26

suatu dermatitis dengan gambaran khas berupa kelainan intrakutam serpigmosa , yang
antara lain disebabkan Anyclostoma Braziliense dan Anyclostoma Caninum. Kulit
yang ditembus oleh larva filariform akan menjadi keras, merah dan gatal. Dalam
beberapa hari akan terbentuk terowongan intrakutan sempit, yang tampak sebagai
garis merah, sedikit menimbul, gatal dan bertambah panjang sesuai dengan gerakan
larva di dalam kulit. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya infeksi sekunder yang
diakibatkan karena kulit digaruk (Gandahusada et al., 2006).
2.3.3.4 Pengobatan
Obat anti cacing antara lain Piperasin, Mebendazol, Pyrantel bemoat . Obat
cacing lainnya tetrachlorathylena (TCE) diberikan 0,1 ml/kg berat badan. Obat ini
harus diberikan dalam bentuk cairan pada perut yang belum terisi, dapat di ulang
selama tiga hari. Apabila kadar haemoglobin penderita rendah sebaiknya dinaikkan
dahulu sampai 40% dengan transfusi atau dengan pemberian Fe Sulfat sebelum
memakai obat cacing.

2.4

Dampak Infeksi Kecacingan
Kecacingan jarang menyebabkan kematian secara langsung, namun sangat

mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Infeksi cacing gelang yang berat akan
menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anakanak. Infeksi cacing tambang dapat mengakibatkan anemia defesiensi besi. Berbagai
penelitian membuktikan bahwa sebagian kalori yang dikonsumsi manusia tidak dapat
dimanfaatkan tubuh secara maksimal karena adanya parasit dalam

tubuh. Pada

27

infeksi ringan akan menyebabkan gangguan penyerapan nutrien lebih kurang 3% dari
kalori yang dicerna, pada infeksi berat mencapai 25% dari kalori yang dicerna tidak
dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Infeksi Ascaris Lumbrocoides yang berkepanjangan
dapat menyebabkan kekurangan kalori protein dan diduga dapat mengakibatkan
efisiensi vitamin A (Hidayat, 2002). Pada infeksi Trichuris Trichuria berat sering
dijumpai diare darah, turunnya berat badan dan anemia. Anemia ini terjadi karena
Trichuris Trichuria

mampu menghisap darah sekitar 0.005 ml/hari/cacing

(Gandahusada et al, 2006)
Infeksi cacing tambang umumnya berlangsung secara menahun, cacing
tambang sudah dikenal sebagai penghisap darah. Seekor cacing tambang mampu
menghisap darah 0.2 ml per hari. Apabila terjadi infeksi berat maka penderita akan
kehilangan darah secara perlahan dan dapat menyebabkan anemia berat. Seorang
anak yang menderita kecacingan memiliki tanda – tanda : berat badan turun, wajah
pucat, kulit dan rambut jarang, keadaan tubuh lemah, lesu dan mudah sakit. Selera
makan berkurang, kulit telapak tangan tidak merah, kurang darah dan mungkin
jantung berdebar –debar, sesak nafas dan sering pusing (Hendrawan, 1997).
2.5

Pencegahan dan Penanggulangan Kecacingan
Upaya pencegahan cacingan dapat dilakukan melalui upaya kebersihan

perorangan ataupun kebersihan lingkungan. Kegiatan tersebut dapat dirinci sebagai
berikut :

28

A. Menjaga kebersihan Perorangan
1) Mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar dengan
menggunakan air dan sabun.
2) Menggunakan air bersih untuk keperluan makan, minum, dan mandi
3) Memasak air untuk minum
4) Mencuci dan memasak makanan dan minuman sebelum dimakan
5) Mandi dan membersihkan badan paling sedikit dua kali sehari
6) Memotong dan membersihkan kuku
7) Memakai alas kaki bila berjalan di tanah, dan memakai sarung tangan bila
melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan tanah
8) Menutup makanan dengan tutup saji untuk mencegah debu dan lalat
mencemari makanan tersebut
B. Menjaga Kebersihan Lingkungan
1) Membuang tinja di jamban agar tidak mengotori lingkungan.
2) Jangan membuang tinja, sampah atau kotoran di sungai.
3) Mengusahakan pengaturan pembuangan air kotor.
4) Membuang sampah pada tempatnya untuk menghindari lalat dan lipas.
5) Menjaga kebersihan rumah dan lingkungannya.
C. Pengobatan
Tujuan :
a. Memutuskan mata rantai penularan.
b. Menurunkan prevalensi dan intensitas infeksi.

29

c.

Meningkatkan kesehatan dan produktivitas.

Prinsip Pengobatan
Prinsip pengobatan infeksi cacingan adalah membunuh cacing yang ada dalam
tubuh manusia yaitu dengan dengan menggunakan obat yang aman berspektrum luas,
efektif untuk jenis cacing yang ditularkan melalui tanah. Menurut berbagai
pengalaman frekuensi pengobatan dilakukan 2 kali dalam setahun.
Jenis Pengobatan
Jenis pengobatan penyakit cacingan ada dua macam yaitu pengobatan massal
dan pengobatan selektif.
1. Pengobatan Massal (Blanket Treatment)
a. Blanket Mass Treatment
Suatu jenis pengobatan yang dilakukan secara menyeluruh kepada seluruh
penduduk yang menjadi sasaran program. Blanket Treatment dilakukan bila sarana
dan prasarana laboratorium tidak ada/tidak memadai atau ada sarana laboratorium
tapi kondisi geografis menyulitkan pengumpulan sampel tinja, pengobatan massal ini
dapat dilakukan sampai 3 tahun tanpa survei evaluasi. Daerah yang melaksanakan
sistem Blanket, agar diikuti dengan kegiatan penyuluhan tentang hidup bersih dan
memperbaiki sanitasi lingkungan di wilayah tersebut. Disamping itu agar diupayakan
meningkatkan SDM dan sarana laboratorium untuk menunjang kemampuan
pemeriksaan tinja, dengan harapan suatu saat mampu melaksanakan pengobatan
selektif di wilayahnya. Selain itu pengobatan massal dilakukan apabila di daerah
sasaran pernah mempunyai prevalensi 30 % atau lebih.

30

b. Selective Mass Treatment
Pengobatan yang dilakukan terhadap penduduk yang menjadi sasaran
program, tetapi hanya kepada penduduk yang hasil pemeriksaan tinjanya positif. Hal
ini dilakukan pada daerah yang mempunyai sarana dan prasarana laboratorium yang
memadai, karena pemeriksaan tinja harus dilakukan pada seluruh sasaran. Di samping
itu kondisi geografis memungkinkan untuk pengumpulan sediaan tinja secara berkala.
Pengobatan dilakukan secara berurutan (satu per satu) dan harus diminum didepan
petugas (tidak boleh dibawa pulang).
2. Pengobatan Selektif (Selective Treatment)
Pengobatan dilakukan di sarana kesehatan bagi penderita yang datang berobat
sendiri dan hasil pemeriksaan mikroskopik tinja positif atau hasil pemeriksaan klinis
dinyatakan positif menderita cacingan.
Pemilihan obat cacing dengan kriteria dan spesifikasi sebagai berikut :
a. Aman (efek samping minimal)
b. Efektif untuk beberapa jenis cacing
c. Harga terjangkau baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Sebaiknya dipilih satu macam obat dengan dosis tunggal, hal ini untuk
mempermudah pelaksanaan pengobatan. Program pemberantasan penyakit cacingan
menganjurkan Pyrantel pamoate dengan dosis 10 mg/kg berat badan (dosis tunggal),
untuk pengobatan pertama pada pengobatan massal. Untuk pengobatan kedua dapat
menggunakan Albendazole. Jika infeksi cacing gelang rendah dan infeksi cacing
cambuk menjadi masalah, dianjurkan memakai Mebendazole atau Albendazole.

31

Untuk pengobatan massal dosis Mebendazole 500 mg (dosis tunggal) dan
Albendazole 400 mg (dosis tunggal). Untuk pengobatan selektif Mebendazole

dosisnya 100 mg x 2 kali selama 3 hari (Kemenkes, 2006)

2.6 Metode Pemeriksaan Telur Cacing pada Feces
1. Cara Langsung (Sediaan Basah)
Pemeriksaan tinja secara langsung ada dua cara yaitu pemeriksaan tinja secara
langsung dengan kaca penutup dan tanpa kaca penutup (Hadidjaja, 1990).
a. Dengan Penutup Kaca
Letakkan satu tetes cairan diatas kaca benda kemudian diambil feces (1-2
mm3) dengan lidi dan diratakan menjadi homogen, bila terdapat bahan yang
kasar dikeluarkan dengan lidi, kemudian ditutup dengan kaca penutup, di
usahakan supaya cairan merata dibawah kaca penutup tanpa ada gelembung
udara, kemudian dibaca dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x.
(Hadidjaja, 1990).
b. Tanpa Kaca Penutup
Diletakkan setetes air diatas kaca benda, dengan lidi diambil feses (2-3 mm3)
dan diratakan hingga homogen menjadi lapisan tipis tetapi tetap basah,
kemudian diperiksa dibawah mikroskop perbesaran 10x. (Hadidjaja, 1990)
2. Cara Tidak Langsung
a. Metode Sedimentasi ( Metode Faust dan Russell, 1964)

32

Prinsip pemeriksaan metode sedimentasi adalah dengan adanya gaya
sentrifugal

dari

sentrifuge

dapat

memisahkan

antara

suspensi

dan

supernatannya sehingga telur cacing akan terendapkan. (Hadidjaja, 1990).
b. Metode Flotasi dengan NaCl Jenuh (Willis, 1921)
Prinsip pemeriksaan metode Flotasi NaCl jenuh adalah adanya perbedaan
antara berat jenis telur yang lebih kecil dari berat jenis NaCl sehingga telur
dapat mengapung. (Hadidjaja, 1990).
c. Metode Teknik Kato Katz (Kato dan Miura, 1954)
Prinsip pemeriksaan ini adalah feses direndam pada larutan gliserin hijau,
dikeringkan dengan kertas saring dan diamkan 20- 30 menit pada inkubator
dengan suhu 40oC untuk mendapatkan telur cacing dan larva. (Hadidjaja,
1990).
d. Metode Suzuki
Metode yang satu-satunya yang dipakai untuk pemeriksaan telur cacing yang
sampelnya dari tanah. Metode ini menggunakan larutan hipoklorit 30% dan
menggunakan larutan MgSO4 yang mempunyai berat jenis (Bj) 1,260. Bj
larutan tersebut lebih besar dari Bj telur cacing sehingga telur cacing
mengapung dipermukaan dan menempel pada deck glass dan menghasilkan
sediaan yang dapat diperiksa dengan mikroskop. (Hadidjaja, 1990)

33

2.7

Kerangka Teori
Menurut teori John Gordon bahwa timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi

oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit (Agent), pejamu (Host) dan lingkungan
(Environment).

Host (Pejamu)

Environment

Agen (Penyebab Penyakit)

Gambar 2.7. Segitiga Epidemiologi
Ketiga faktor tersebut akan terus menerus berinteraksi satu sama lain. Jika
interaksinya seimbang, terciptalah keadaan seimbang. Begitu terjadi gangguan
keseimbangan, maka akan muncul penyakit. Agen penyakit, manusia,dan lingkungan
bersama-sama saling mempengaruhi dan memperberat satu sama lain, sehingga
memudahkan agen penyakit baik secara langsung atau tidak langsung masuk ke
dalam tubuh manusia. Penyakit kecacingan adalah penyakit yang disebabkan karena
masuknya telur infektif kedalam tubuh seseorang. Sesuai dengan teori diatas interaksi
yang tidak seimbang antara manusia (host) dengan lingkungan dalam hal ini tanah,
makanan atau minuman yang disebabkan karena lingkungan tercemar dapat
memudahkan agent penyakit dalam hal ini adalah larva cacing infektif untuk masuk
kedalam tubuh manusia dan menyebabkan terjadinya penyait. (Sutrisno, 2010).

34

2.8

Kerangka Konsep
Kerangka konsep pada penelitian ini sebagai berikut :
Variabel Independent

1. Umur
2. Pendidikan
Variabel Dependent









Personal Hygiene Ibu
Kebiasaan Mencuci Tangan
Kebersihan Kuku
Kebiasaan dalam memilih
makanan

Kejadian Infeksi
Kecacingan pada
anak balita

Personal Hygiene Anak
Kebiasaan Cuci Tangan
Pemakaian alas kaki
Kebersihan Kuku
Pemeriksaan
Laboratorium




Sanitasi Lingkungan Rumah
Jamban
Lantai Rumah

Gambar 2.8. Kerangka Konsep Penelitian

Dokumen yang terkait

Hubungan Kepadatan Lalat, Personal Hygiene dan Sanitasi Dasar dengan Kejadian Diare pada Balita di Lingkungan I Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan Kota Medan Tahun 2015

15 135 159

Pengaruh Sanitasi Lingkungan dan Personal Hygiene terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat Ke Klinik di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan

10 99 155

Pengaruh Sanitasi Lingkungan, Personal Hygiene Dan Karakteristik Anak Terhadap Infeksi Kecacingan Pada Murid Sekolah Dasar Di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe

6 48 123

HUBUNGAN ANTARA SANITASI LINGKUNGAN DAN PERSONAL HYGIENE IBU DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MANGKANG.

0 5 13

Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Kecacingan pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bromo Kota Medan Tahun 2015

0 0 17

Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Kecacingan pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bromo Kota Medan Tahun 2015

0 0 2

Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Kecacingan pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bromo Kota Medan Tahun 2015

0 0 10

Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Kecacingan pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bromo Kota Medan Tahun 2015

0 0 3

Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Kecacingan pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bromo Kota Medan Tahun 2015

0 0 48

1 HUBUNGAN ANTARA FASILITAS SANITASI DASAR DAN PERSONAL HYGIENE DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA

0 1 17