Desain Mutu Pelayanan Di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Haji Medan Dengan Metode Servqual-Qfd (Quality Function Deployment)

61

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pelayanan Kesehatan
Mutu pelayanan kesehatan selalu merupakan bahan kajian dan perhatian para
ahli di berbagai Negara. Untuk Indonesia, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
1993 menyatakan bahwa dalam Pelita VI kebijaksanaan sektor kesehatan, antara lain
meliputi arah pembangunan kesehatan dan peningkatan perbaikan kesehatan
masyarakat, serta kualitas pelayanan kesehatan (Aditama, 2006).
Menurut Levey dan Loomba (1973), yang dimaksud dengan pelayanan
kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau secara
bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan
perseorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat (Azwar, 1994).
Definsi mutu pelayanan kesehatan banyak menjadi kajian para ahli. Tracendi
dalam buku Cost, Quality and Access in Health Care (1988) mengemukakan bahwa
salah satu isu yang paling kompleks dalam dunia pelayanan kesehatan adalah
penilaian mutu pelayanan. Ruang lingkupnya sangat luas, mulai dari kemungkinan
derajat kesempurnaan (perfectability), teknik intervensi klinik, sampai pada

peranannya dalam menurunkan angka mortalitas. Ada yang berpendapat bahwa mutu
pelayanan kesehatan di rumah sakit dapat dinilai dari mortalitas. Ada yang
berpendapat bahwa mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit dapat dinilai dari

9

62

mortalitas operasi, misalnya, atau dari angka infeksi nosokomial. Ada pula yang
berpegang pada derajat pemanfaatan tempat tidur dan atau jumlah kunjungan ke
poliklinik. Edlund dan Tracendi (1985) menyatakan bahwa untuk mengerti tentang
mutu pelayanan harus diajukan beberapa pertanyaan, seperti oleh siapa, untuk siapa
dan untuk tujuan apa pelayanan kesehatan diberikan (Aditama, 2006)
Buku Total Quality Control oleh A.V Feigenbaun yang diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia dengan judul Kendali Mutu Terpadu, secara umum menyebutkan
bahwa mutu produk dan jasa didefinisikan sebagai keseluruhan gabungan
karakteristik produk dan jasa dari pemasaran, rekayasa, pembuatan dan
pemeliharaanyang membuat produk dan jasa yang digunakan memenuhi harapan
pelanggan (Aditama, 2006).


2.2 Pengukuran Kualitas Pelayanan
Pengukuran kualitas pelayanan merupakan suatu hal penting dalam
organisasi, untuk mengetahui permasalahan yang terkait dengan kualitas pelayanan
sehingga dapat dilakukan upaya perbaikan. Menurut Haryono (2006), kualitas
pelayanan jasa tidak hanya dibutuhkan perusahaan jasa yang berorientasi laba (sektor
non publik), tetapi untuk perusahaan penyedia jasa yang tidak berorientasi laba
(sektor publik). Pelayanan sektor publik juga dituntut untuk memberikan kualitas
layanan terbaik bagi kepentingan masyarakat umum, terlebih dalam memasuki era
reformasi sekarang (Ginting, 2012).

63

Untuk pengukuran kualitas pelayanan jasa tersebut, diperlukan metode
pengukuran yang dapat menggambarkan tingkat kualitas pelayanan penyedia jasa.
Menurut Tjiptono (2011), sejumlah studi telah dilakukan oleh beberapa pakar untuk
merumuskan dimensi spesifik kualitas jasa/layanan. Model kualitas layanan yang
paling populer dan hingga kini banyak dijadikan acuan dalam riset manajemen dan
pemasaran adalah metode SERVQUAL (Service Quality) yang dikembangkan oleh
Parasuraman, Zeuthalm dan Berry. Model ini dikenal pula dengan istilah gap analysis
model, yang berkaitan erat dengan model kepuasan pelanggan (Ginting, 2012)

Konsep dari metode ini adalah kualitas pelayanan dapat diukur dengan
membandingkan antara pelayanan yang diharapkan (ekspektasi) dengan kinerja
pelayanan. Kinerja pelayanan itu sendiri direfleksikan dengan apa yang diterima dan
dirasakan

(persepsi)

konsumen.

Dengan

kata

lain

metode

SERVQUAL

membandingkan antara harapan dan persepsi konsumen atas suatu pelayanan. Dalam

metode ini, kualitas layanan mengacu pada lima dimensi. Kelima dimensi tersebut
berasal dari 10 dimensi yang telah dikemukakan pada riset awal mereka (1985), yaitu
: i) reliability, ii) responsiveness, iii) competence, iv) access, v) courtesy, vi)
credibility, vii) communication, viii) security, ix) understanding, dan x) tangibles.
Namun mereka menemukan bahwa terjadi overlapping diantara kesepuluh dimensi
tersebut.

64

Sehingga dalam riset berikutnya (1988) mereka menyederhanakannya menjadi
lima dimensi. Kelima dimensi tersebut adalah :
a. Tangibles (bukti fisik)
Yang termasuk di dalam dimensi ini adalah fasilitas fisik, peralatan, dan
penampilan karyawan atau personel dari penyedia layanan.
b. Reliability (reliabilitas)
Reliabilitas dalam hal ini berarti kemampuan penyedia layanan untuk memberikan
pelayanan yang dijanjikan dengan akurat.
c. Responsiveness (daya tanggap)
Daya tanggap berkenaan dengan kesediaan penyedia layanan untuk membantu
konsumen dan memberikan respon permintaan konsumen dengan segera.

d. Assurance (jaminan)
Merupakan pengetahuan dan kesopanan personel penyedia layanan serta
kemampuannya dalam membangun kepercayaan dan keyakinan konsumen.
Dimensi ini sebenarnya merupakan gabungan dari empat dimensi yang mengalami
overlapping seperti disebutkan di atas. Keempat dimensi tersebut adalah
competence,

courtesy,

credibility,

dan

security.

Competence

merupakan

kemampuan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk menyediakan jasa. Courtesy

merupakan kesopanan, hormat, pertimbangan dan keramahan dari personnel
contact. Credibility menyatakan kejujuran dari penyedia layanan. Security
menyatakan kebebasan dari bahaya, resiko atau keraguan.

65

e. Empathy (empati)
Berkenaan dengan kepedulian dan pemberian perhatian personal kepada para
konsumen. Dimensi empathy merupakan gabungan dari tiga dimensi yang
mengalami overlapping, yaitu access, communication, dan understanding the
customer. Access menyatakan kesanggupan melakukan kontak dengan konsumen.
Communication merupakan kemampuan untuk memberikan informasi sehingga
konsumen mengerti dan memahami maksud penyedia layanan. Understanding the
customer menyatakan proses pengupayaan pemahaman terhadap konsumen dan
keperluannya. (Setianto, 2010).
Supriyanto dan Ernawaty (2010) menjabarkan kelima dimensi kualitas
pelayanan tersebut dalam pelayanan kesehatan sebagai berikut :
a. Tangibles, merupakan tampilan fisik fasilitas seperti kebersihan, penerangan dan
kebisingan; tampilan fisik tenaga seperti kerapian pakaian; dan tampilan fisik alat
b. Reability, dalam hal ini berarti kemampuan penyedia layanan untuk memberikan

pelayanan yang dijanjikan dengan akurat.
c. Responsiveness, merupakan kemauan untuk menyediakan pelayanan dengan cepat
dan mau membantu pasien. Indikatornya antara lain adalah: waktu tunggu di loket,
mendapat pelayanan meedis, apotik atau laboratorium.
d. Assurance, dalam menyampaikan pelayanan disertai rasa hormat dan sopan.
Kemudian proses penyampaian dapat pula menimbulkan rasa percaya dan yakin
akan jaminan kesembuhan.

66

e. Empathy, merupakan kesediaan pemberi jasa untuk mendengarkan dan adanya
perhatian akan keluhan, kebutuhan, keinginan, dan harapan pasien. Indikatornya
antara lain adalah mendengar keluhan pasien dengan seksama, perhatian pada
kondisi pasien, dan lain-lain.
Instrumen SERVQUAL bermanfaat dalam melakukan analisis gap. Karena
biasanya layanan/jasa bersifat intangible, kesenjangan komunikasi dan pemahaman
antara karyawan dan pelanggan berdampak serius terhadap persepsi atau kualitas
layanan. Gap-gap yang biasa terjadi dan berpengaruh terhadap kualitas layanan
meliputi (Tjiotono, 2011):
1. Gap antara ekspektasi pelanggan dengan persepsi manajemen (knowledge gap)

Gap ini terjadi karena ada perbedaan antara ekspektasi pelanggan actual dan
pemahaman atau persepsi manajemen terhadap ekspektasi pelanggan. Beberapa
kemungkinan penyebab gap seperti ini antara lain: informasi yang didapatkan dari
riset pasar dan analisis permintaan kurang akurat; interpretasi yang kurang akurat
atas informasi mengenai ekspektasi konsumen; tidak adanya analisis permintaan;
buruknya atau tidak ada aliran informasi ke atas dari staf kontak konsumen ke
pihak manajemen; dan terlalu banyak jenjang manajerial yang menghambat atau
mengubah informasi yang disampaikan dari karyawan kontak konsumen ke pihak
manajemen.
2. Gap antara persepsi manajemen terhadap ekspektasi konsumen dan spesifikasi
kualitas layanan (standards gap)

67

Gap ini terjadi karena spesifikasi kualitas layanan tidak konsisten dengan persepsi
manajemen terhadap ekspektasi kualitas. Penyebabnya antara lain: tidak adanya
standar kinerja yang jelas; kesalahan perencanaan atau prosedur perencanaan yang
tidak memadai; manajemen perencanaan buruk; kurangnya penetapan tujuan yang
jelas dalam organisasi; kurangnya dukungan dan komitmen manajemen puncak
terhadap perencanaan kualitas layanan; kekurangan sumber daya; dan situasi

permintaan berlebihan.
3. Gap antara spesifikasi kualitas layanan dan penyampaian layanan (delivery gap)
Gap ini berarti spesifikasi kualitas tidak terpenuhi oleh kinerja dalam proses
produksi dan penyampaian layanan. Sejumlah penyebabnya antara lain :
spesifikasi kualitas terlalu rumit dan/atau terlalu kaku; para karyawan tidak
menyepakati spesifikasi tersebut dan karenanya tidak berusaha memenuhinya;
spesifikasi tidak sejalan dengan budaya korporat yang ada; manajemen operasi
layanan buruk; kurang memadainya aktivitas internal marketing; serta teknologi
dan system yang tidak memfasilitasi kinerja sesuai dengan spesifikasi.
4. Gap antara penyampaian layanan dan komunikasi eksternal (communication gap)
Gap ini berarti janji-janji yang disampaikan melalui aktifitas komunikasi
pemasaran tidak konsisten dengan layanan yang diberikan kepada para konsumen.
Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya : perencanaan
komunikasi pemasaran tidak terintegrasi dengan operasi layanan; kurangnya
koordinasi antara aktifitas pemasaran eksternal dan operasi layanan; organisasi
gagal memenuhi spesifikasi yang ditetapkannya, sementara kampanye komunikasi

68

pemasaran sesuai dengan spesifikasi tersebut; dan kecenderungan untuk

melakukan “over-promise, under deliver” dalam menarik konsumen baru. Iklan
dan slogan/janji perusahaan sering kali memengaruhi ekspektasi konsumen.
5. Gap antara persepsi terhadap layanan yang diterima dan layanan yang diharapkan
(service gap)
Gap ini berarti bahwa layanan yang dipersepsikan tidak konsisten dengan layanan
yang diharapkan. Gap ini dapat menimbulkan sejumlah konsekuensi negatif,
seperti kualitas buruk (negatively confirmed quality) dan masalah kualitas;
komunikasi getok tular yang negatif; dampak negatif terhadap citra korporat atau
citra local; dan kehilangan konsumen. Gap ini terjadi apabila konsumen mengukur
kinerja/prestasi perusahaan berdasarkan kriteria atau ukuran yang berbeda.
Kunci utama mengatasi gap 5 (service gap) adalah menutup gap 1 sampai gap
4 melalui perancangan system layanan secara komprehensif, komunikasi dengan
pelanggan secara terintegrasi dan konsisten, dan pengembangan staf layanan terlatih
yang mampu secara konsisten memberikan layanan prima. Selama masih ada gap,
persepsi pelanggan terhadap layanan perusahaan akan rendah.
Untuk pengukuran Servqual gap 5 (Tjiptono, 2011) model Servqual
didasarkan pada asumsi bahwa konsumen membandingkan kinerja layanan pada
atribut-atribut relevan dengan standar ideal/sempurna untuk masing-masing atribut
layanan. Bila kinerja sesuai atau melebihi standar, maka persepsi terhadap kualitas
layanan keseluruhan akan positif dan sebaliknya. Dengan kata lain model ini

menganalisis gap antara dua variable pokok, yakni layanan yang diharapkan

69

(expected service) dan persepsi pelanggan terhadap layanan yang diterima (perceived
service). Evaluasi kualitas layanan model Servqual mencakup perhitungan perbedaan
diantara nilai yang diberikan pelanggan untuk setiap pasang pernyataan berkaitan
ekspektasi dan persepsi. Skor Servqual untuk setiap pasang pernyataan, bagi masingmasing konsumen dapat dihitung berdasarkan rumus berikut :
Skor Servqual = Skor Persepsi – Skor Ekspektasi.

2.3 Pengertian Mutu
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian mutu dan nilai adalah
sebagai berikut: mutu adalah ukuran baik buruk suatu benda, kadar, tarif, derajat.
Bermutu artinya mempunyai mutu. Pengertian lain tentang mutu adalah paduan sifatsifat barang atau jasa, yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi
kebutuhan pelanggan, baik kebutuhan yang dinyatakan secara tersirat maupun yang
tersurat (Hoesin, 2011).
Pelanggan adalah siapapun yang menerima atau dipengaruhi oleh produk atau
proses. Pelanggan dapat bersifat eksternal atau internal. Pelanggan eksternal
dipengaruhi oleh produk tetapi bukan anggota perusahaan yang menghasilkan
produk. Pelanggan eksternal mencakup klien yang membeli produk, badan
pemerintahan dan masyarakat. Sedangkan pelanggan internal dipengaruhi oleh
produk dan juga berasal dari perusahaan yang menghasilkan produk. Mereka adalah
anggota yang sering disebut pelanggan meskipun kenyataannya bukan pelanggan
dalam arti sesungguhnya, yaitu, mereka bukan klien (Juran, 1995).

70

Adanya gugus kendali mutu di suatu organisasi kesehatan, terutama rumah
sakit, puskesmas atau perusahaan kesehatan, akan banyak membantu direktur atau
pimpinan puncak dalam mengendalikan mutu pelayanan kesehatan secara
keseluruhan, terutama di tempat kerja pelayanan medis bersama metode-metode
kendali kontrol yang lain. Hal tersebut diketahui dari maksud dan tujuan gugus
kendali mutu, yaitu :
a. Menyumbangkan perbaikan mutu, efisiensi, efektifitas, produktifitas organisasi
dan penghematan pembiayaan serta pencegahan pemborosan
b. Menciptakan suatu lingkungan kerja yang lebih sadar mutu, memberikan
kepuasan kerja,paham tentang persoalan persoalan kerja yang terjadi dan
berupaya mempebaikinya sekaligus meningkatkan mutu produk dan pelayanan
c. Berfungsi sebagai kekuatan inti pengendalian mutu di organisasi, karena apabila
seluruh petugas pada lapis ini bekerja secara efektif dan bermutu akan
meningkatkan penampilan kerja organisasi secara keseluruhan.

2.4 Quality Function Deployment (QFD)
2.4.1 Pengertian QFD
Menurut Gaspersz (2001), Quality Function Deployment (QFD) didefinisikan
sebagai suatu proses atau mekanisme terstruktur untuk menentukan kebutuhan
pelanggan dan menerjemahkan kebutuhan kebutuhan itu ke dalam kebutuhan teknis
yang relevan, dimana masing-masing area fungsional dan level organisasi dapat

71

mengerti dan bertindak. QFD mencakup juga monitor dan pengendalian yang tepat
dari proses operasional menuju sasaran.(Marimin, 2004)
2.4.2 Tahapan QFD
Tahapan penggunaan QFD menurut Subagyo (2000) dalam Marimin (2004)
adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasikan kemauan pelanggan. Dalam hal ini pelanggan atau
konsumen ditanyai mengenai sifat yang diinginkan dari suatu produk.
2. Mempelajari ketentuan teknis dalam menghasilkan barang atau jasa. Hal ini
didasarkan data yang tersedia, aktivitas dan sarana yang digunakan dalam
menghasilkan barang dan jasa, dalam rangka menentukan kualitas pemenuhan
kebutuhan pelanggan.
3. Hubungan antara keinginan pelanggan dengan ketentuan teknis. Hubungan ini
dapat berpengaruh kuat, sedang atau lemah. Setiap aspek dari konsumen diberi
bobot, untuk membedakan pengaruhnya terhadap kualitas produk.
4. Perbandingan kinerja pelayanan. Tahap ini membandingkan kinerja perusahaan
dengan pesaing. Nilai yang digunakan untuk kinerja terbaik nilai 5 dan yang
terburuk nilai 1.
5. Evaluasi pelanggan untuk membandingkan pendapat pelanggan tentang kualitas
produk yang dihasilkan oleh perusahan dengan produk pesaing. Nilai yang
digunakan antara 1 sampai 5 kemudian dibuat rasio antara target dengan kualitas
setiap kategori.

72

6. Trade off untuk memberikan penilaian pengaruh antar aktivitas atau sarana yang
satu dengan yang lainnya.
2.4.3 Keuntungan QFD
Keuntungan utama metode QFD yang diekspresikan dalam sebuah matriks
menurut Garpersz (2001) adalah sebagai berikut:
1. Memperoleh area dimana tim pengembangan produk perlu untuk memenuhi
informasi dalam mendefinisikan produk atau jasa yang akan memenuhi kebutuhan
konsumen.
2. Mempunyai bentuk yang jelas dan teratur serta kemampuan untuk penelusuran
kembali pada kebutuhan konsumen dari seluruh data atau informasi yang tim
produk butuhkan untuk membuat keputusan yang tepat dalam hal definisi, desain,
produksi dan penyediaan produk atau jasa.
3. Menyediakan forum untuk analisis masalah yang timbul dari data yang tersedia
mengenai kepuasan konsumen dan kemampuan kompetisi produk atau jasa.
4. Menyimpan perencanaan untuk produk sebagai hasil keputusan bersama.
5. Dapat digunakan untuk mengkomunikasikan rencana terhadap produk untuk
mendukung manajemen dari pihak lainnya yang bertanggung jawab terhadap
implementasi dari rencana tersebut.
2.4.4 Matriks House of Quality (HOQ)
Matriks House of Quality (HOQ) adalah bentuk yang paling dikenal dari
representasi QFD. Matriks ini pada dasarnya terdiri dari dua bagian utama. Bagian
horizontal dari matriks berisi informasi yang berhubungan dengan konsumen, dan ini

73

disebut dengan costumer table. Bagian vertical dari matriks berisi informasi teknis
sebagai respons bagi input konsumen, dan disebut dengan technical table. (Marimin,
2004).

Customer Table
Technical Table

Gambar 2.1. Dua Aspek Utama QFD (Gaspersz, 2001)
HOQ digunakan oleh tim di berbagai bidang untuk menerjemahkan
persyaratan konsumen (consument requirement), hasil riset pasar dan benchmarking
data, ke dalam sejumlah target teknis prioritas (Gaspersz, 2001)
Jenis matriks HOQ bentuknya bermacam-macam. Bentuk umum dari matriks
ini terdiri dari enam komponen utama berikut:
1. Voice of Customer (WHATs) – daftar persyaratan terstruktur yang berasal dari
persyaratan konsumen.
2. Technical Response (HOWs) – daftar karakteristik produk terstruktur yang
relevan dengan persyaratan konsumen dan terukur.
3. Relationship Matrix – matriks ini menggambarkan persepsi tim QFD mengenai
keterkaitan antara technical dan customer requirement. Skala yang cocok
diterapkan, dan digambarkan dengan menggunakan symbol sebagai berikut.

74

● = melambangkan hubungan kuat
○ = melambangkan hubungan sedang
Δ = melambangkan hubungan lemah
4. Planning Matrix (WHYs) – menggambarkan persepsi konsumen yang diamati
dalam survey pasar. Termasuk di dalamnya kepentingan relative dari persyaratan
konsumen, perusahaan, kinerja perusahaan dan pesaing dalam memenuhi
persyaratan tersebut.
5. Technical Correlation (ROOFs) matrix – digunakan untuk mengidentifikasi
dimana technical requirements saling mendukung atau saling mengganggu satu
dengan yang lainnya di dalam desain produk. Matriks ini dapat mengetengahkan
kesempatan untuk inovasi.
6. Technical priorities, benchmarks and targets – digunakan untuk mencatat
prioritas yang ada pada matriks technical requirement, mengukur kinerja teknik
yang diperoleh oleh produk pesaing dan tingkat kesulitas yang timbul dalam
mengembangkan requirement. Output akhir dari matriks adalah nilai target untuk
setiap technical requirement.

75

Correlation
Matrix

HOW
W
H
A
T

RELATIONSHIP
MATRIX
● = kuat
○ = sedang
Δ = lemah

BENCHMARK
Service Repair/cost data
Legal/Safety Control Item

CUSTOMER
COMPETITIVE
ASSASSEMENT

Relationship Matrix :
● = melambangkan hubungan kuat
○ = melambangkan hubungan sedang
Δ = melambangkan hubungan lemah

Technical Importance Rating

Gambar 2.2 Matriks Rumah Kualitas (Marimin, 2004)
Langkah yang harus dilakukan dalam mengaplikasikan QFD adalah:
1. Mendengarkan suara konsumen untuk menentukan harapan pelanggan.
Caranya:
a. Penentuan konsumen ahli  judgement sampling
b. Wawancara dengan konsumen ahli  hasil wawancara: atribut kualitas 
pembobotan dengan metode perbandingan berpasangan. Hasilnya berupa bobot
yang kemudian dikonversikan ke dalam rangking.
2. Membuat karakteristik proses yang ada dalam perusahaan.

76

3. Menentukan hubungan keterkaitan antara atribut dengan karakteristik proses
dengan nilai yang sudah ditetapkan.
4. Menentukan kepuasan konsumen dan juga perbandingan kinerja perusahaan.
Untuk kepuasan konsumen dengan perhitungan sebagai berikut:
Perhitungan total nilai:
(N1 x 1) + (N2 x 2) + (N3 x 3) + (N4 x 4) + (N5 x 5)
Dimana :
N1

= Jumlah responden dengan jawaban “sangat tidak memuaskan”

N2

= Jumlah responden dengan jawaban “tidak memuaskan”

N3

= Jumlah responden dengan jawaban “cukup”

N4

= Jumlah responden dengan jawaban “memuaskan”

N5

= Jumlah responden dengan jawaban “sangat memuaskan”

Total nilai yang diperoleh kemudian dibagi dengan jumlah interval kelas dan
diperoleh nilai indeks.
Misalnya : Nilai indeks untuk atribut kesegaran = 439/5 = 87,80. Untuk menentukan
penilaian tingkat kepuasan digunakan nilai indeks. Langkah-langkah yang ditempuh
untuk perumusan customer rating adalah sebagai berikut :
a. Mencari nilai indeks maksimum (NA maks) dan nilai indeks minimum (NA min)
kemudian menghitung range (NA maks-NA min)
b. Membuat interval kelas.
Menentukan tingkat kepuasan dari setiap kepuasan dari setiap atribut customer
requirement berdasarkan nilai indeks masing-masing.

77

5. Menentukan trade roof atau keterkaitan antara karakteristik proses yang satu
dengan yang lainnya. Hubungan ini dapat dinyatakan dengan hubungan kuat
positif (++) apabila salah satu karakteristik proses naik maka akan berdampak kuat
pada kenaikan proses yang berkaitan tersebut. Hubungan kuat (+) pengaruhnya
akan sama dengan hubungan kuat positif hanya saja dampak yang dihasilkan tidak
sekuat hubungan kuat positif. Hubungan negative (-) apabila hubungan berjalan
tidak searah, hal ini terjadi bila satu karakteristik mengalami penurunan tapi
karakteristik yang lainnya akan mengalami kenaikan. Hubungan kuat negatif (--)
apabila dampak yang dihasilkan lebih kuat dari hubungan negatif.
6. Menentukan tingkat kepentingan dan nilai relative
Nilai tingkat kepentingan karakteristik proses ke-Y
= (Bobot Konversi tiap atribut x karakteristik proses ke-Y)
Contoh:
Untuk nilai tingkat kepentingan pengadaan bahan
= (6x10) + (1x5) + (4x10) + (3x5) = 120
Nilai relative karakteristik proses ke-Y = Tingkat Kepentingan proses
Jml total nilai kepentingan
Contoh:
Untuk nilai relatif pengadaan bahan = 120/1460 = 0,108
Untuk penentuan target dibandingkan dengan target dari perusahaan yang diteliti
sedangkan untuk rasio dibandingkan dengan tingkat kepuasan perusahaan yang
paling tinggi. (Marimin, 2004)

78

2.5 Kerangka Teori

Kebutuhan
Pelanggan
Internal

Dimensi kualitas pelayanan :
• Tampilan fisik
• Kepercayaan
• Ketanggapan
• Jaminan
• Empati

Pelayanan yang diharapkan
(Expected service)

Kebutuhan
Pelanggan
Eksternal

Pelayanan yang diperkirakan
akan diterima
(Perception service)

Kualitas pelayanan yang diterima
• Lebih baik dari yang
diharapkan
• Sama dengan yang diharapkan
• Lebih rendah dari yang
diharapkan

Quality Function
Deployment (QFD)









House of Quality
Skor SERVQUAL
Pembanding Pesaing
Jaringan Keterkaitan
Nilai Kepentingan Pelanggan
Peringkat Kepentingan Absolut &
Relatif
Matriks Korelasi

Gambar 2.3. Kerangka Teori Peneliti Modifikasi
dari Konsep Parasurraman et al (2005)

Desain Mutu
Pelayanan

79

2.6 Kerangka Konsep
Kebutuhan
Pelanggan Internal

Kebutuhan
Pelanggan
Eksternal berdasar
5 dimensi
SERVQUAL








House of Quality
Skor SERVQUAL
Pembanding Pesaing
Jaringan Keterkaitan
Nilai Kepentingan Pelanggan
Peringkat Kepentingan Absolut
& Relatif
Matriks Korelasi

Desain Mutu
Pelayanan Unit
Rawat Jalan RS Haji
Medan
Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan gambar di atas, dijelaskan bahwa berdasarkan kebutuhan
pelanggan internal dan eksternal kemudian dimasukkan ke dalam matriks House of
Quality yang terdiri dari 6 poin, yaitu skor SERVQUAL, pembanding pesaing, nilai
kepentingan pelanggan, peringkat kepentingan absolute dan relative serta matriks
korelasi sehingga didapatkan 5 peringkat utama yang ditetapkan sebgai desain mutu
pelayanan unit rawat jalan RS Haji Medan.

Dokumen yang terkait

Aplikasi Integrasi Metode Fuzzy Servqual dan Quality Function Deployment (QFD) Dalam Upaya Peningkatan Kualitas Layanan Pendidikan (Studi Kasus: SMP Swasta Cinta Rakyat 3 Pematangsiantar)

10 125 85

Aplikasi Kansei Engineering Dan Quality Function Deployment (QFD) Serta Teoriya Resheniya Izobretatelskikh Zadatch (TRIZ) Untuk Meningkatkan Mutu Pelayanan Rumah Sakit Pada Instalasi Hemodialisis

9 92 70

Strategi Perbaikan Kualitas Pelayanan Dengan Menggunakan Metode Quality Function Deployment (QFD) dan Pendekatan Blue Ocean Strategy di LotteMart Wholesale Medan

13 167 189

Integrasi Aplikasi Metode Quality Function Deployment (QFD) dengan Blue Ocean Strategy (BOS) untuk Meningkatkan Mutu Pelayanan Hotel, Studi Kasus: Hotel Grand Angkasa Internasional Medan

15 91 169

Desain Mutu Pelayanan Di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Haji Medan Dengan Metode Servqual-Qfd (Quality Function Deployment)

0 3 17

Desain Mutu Pelayanan Di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Haji Medan Dengan Metode Servqual-Qfd (Quality Function Deployment)

0 0 2

Desain Mutu Pelayanan Di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Haji Medan Dengan Metode Servqual-Qfd (Quality Function Deployment)

1 2 8

Desain Mutu Pelayanan Di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Haji Medan Dengan Metode Servqual-Qfd (Quality Function Deployment)

3 24 3

Desain Mutu Pelayanan Di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Haji Medan Dengan Metode Servqual-Qfd (Quality Function Deployment)

0 0 10

TESIS UPAYA PENINGKATAN MUTU PELAYANAN DENGAN METODE QUALITY FUNCTION DEPLOYMENT (QFD) DI INSTALASI RAWAT JALAN RUMAH SAKIT SEMEN GRESIK

0 0 24