Pengaruh Persepsi dan Motivasi terhadap Minat Rumah Sakit Swasta Sebagai Provider Program Jaminan Kesehatan Nasional di Kota Medan Tahun 2015

74

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Persepsi
Pengertian persepsi adalah akal manusia yang sadar meliputi proses fisik,
fisiologis dan psikologis

yang mengolah bermacam-macam input sebagai

penggambaran lingkungan. Persepsi merupakan perlakuan melibatkan penafsiran
melalui proses pemikiran tentang apa yang dilihat, didengar, dialami atau dibaca
sehinggga persepsi memengaruhi tingkah laku, percakapan, serta perasaan seseorang
(Koentjaraningrat, 2009).
Menurut Sarwono (2004), persepsi merupakan makna hasil pengamatan yang
dilakukan oleh individu terhadap suatu objek yang mendefinisikan pengenalan objek
melalui penginderaan yang disatukan dan dikoordinasikan dalam saraf yang lebih
tinggi. Persepsi adalah suatu proses seorang individu memilih, mengorganisasi, dan
menafsirkan informasi untuk menciptakan suatu gambaran yang bermakna. Persepsi
seorang dapat berbeda satu sama lainnya, meskipun dihadapkan pada suatu situasi

dan kondisi yang sama. Hal ini dipandang dari suatu gagasan bahwa kita semua
menerima suatu objek rangsangan melalui penginderaan, penglihatan, pendengaran,
pembauan, dan perasaan (Robbins, 2006).
Robbins (2006) menyatakan terdapat tiga faktor yang memengaruhi persepsi,
yakni pelaku persepsi, target yang dipersepsikan dan situasi. Ketika individu

75

memandang kepada objek tertentu dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya,
penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi individu pelaku persepsi
itu. Karakteristik pribadi yang memengaruhi persepsi adalah sikap, kepribadian,
motif, kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu, dan harapan.
Faktor-faktor yang memengaruhi persepsi terdiri atas dua faktor, yaitu faktor
eksternal atau dari luar yakni concreteness yaitu gagasan yang abstrak yang sulit
dibandingkan dengan yang objektif, novelty atau hal baru, biasanya lebih menarik
untuk dipersepsikan daripada hal-hal lama, velocity atau percepatan, misalnya
pemikiran atau gerakan yang lebih cepat dalam menstimulasi munculnya persepsi
lebih efektif dibanding yang lambat, conditioned stimuli yakni stimulus yang
dikondisikan. Sedangkan faktor internal adalah motivasi, yaitu dorongan untuk
merespon sesuatu, interest dimana hal-hal yang menarik lebih diperhatikan daripada

yang tidak menarik, need adalah kebutuhan akan hal-hal tertentu dan terakhir
asumptions yakni persepsi seseorang dipengaruhi dari pengalaman melihat,

merasakan dan lain-lain. Jika digambarkan polanya, maka terlihat seperti pada
Gambar 2.1.

76

Pelaku Persepsi
a. Sikap
b. Motif
c. Kepentingan atau minat
d. Pengalaman
e. Pengharapan
Situasi
a. Waktu
b. Keadaan Tempat Kerja

PERSEPSI


Target yang Dipersepsikan
a. Hal Baru
b. Gerakan
c. Bunyi
d. Ukuran
e. Latar Belakang
f. Kedekatan
Gambar 2.1. Proses Pembentukan Persepsi
Sumber: Robbins, 2006

Robbins (2006), menjelaskan faktor yang memengaruhi persepsi Dengan
melihat satu obyek yang sama, orang dapat mempunyai persepsi yang berbeda,
karena persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a) Faktor pelaku persepsi, bila seseorang memandang suatu obyek dan mencoba
maka penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakterisitik pribadi dari orang
yang dipersepsikan yang mencakup sikap, motif, kepentingan, pengalaman dan
pengharapan.
b) Faktor obyek, karakteristik–karakteristik dari target yang diamati dapat
memengaruhi apa yang dipersepsikan karena target tidak dipandang dalam
keadaan terisolasi. Namun obyek yang berdekatan akan cenderung dipersepsikan


77

bersama-sama. Faktor target mencakup hal yang baru, gerakan, bunyi, ukuran,
latar belakang dan kedekatan.
c) Faktor situasi, yaitu faktor mencakup waktu, dan keadaan tempat kerja.

2.2. Motivasi
2.2.1 Pengertian Motivasi
Luthans (2011) menyatakan motivasi adalah proses psikologis dimana
tindakan dimulai-kebutuhan atau dorongan, perangsang-untuk melakukan aktivitas
atau mencapai tujuan. Gibson, et al. (2003) menyatakan motivasi sebagai konsep
yang digunakan untuk menggambarkan dorongan-dorongan yang timbul pada
seorang individu yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku.
Motivasi merupakan kegiatan yang mengakibatkan, menyalurkan, dan
memelihara perilaku manusia akibat interaksi individu dengan situasi. Umumnya
orang-orang yang termotivasi akan melakukan usaha yang lebih besar daripada yang
tidak melakukan. Kata motivasi berasal dari kata motivation, yang dapat diartikan
sebagai dorongan yang ada pada diri seseorang untuk bertingkah laku mencapai suatu
tujuan tertentu (Rivai, 2011). Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan

seseorang anggota organisasi mau dan rela mengerahkan kemampuan dalam bentuk
keahlian atau ketrampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai
kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya dalam
rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang ditentukan (Siagian,
2008). Sedangkan Gerungan (2004), menyatakan bahwa motivasi adalah penggerak,

78

alasan-alasan, atau dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan dirinya
melakukan suatu tindakan/bertingkah laku.
Berdasarkan pada beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
motivasi merupakan suatu penggerak atau dorongan-dorongan yang terdapat dalam
diri manusia yang dapat menimbulkan, mengarahkan, dan mengorganisasikan tingkah
lakunya. Hal ini terkait dengan upaya untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan,
baik kebutuhan psikologis maupun kebutuhan fisiologis.
2.2.2 Teori Motivasi
Teori motivasi merupakan teori-teori yang membicarakan bagaimana motivasi
manusia di dalam melaksanakan pekerjaan dan mencapi tujuan, yang dipengaruhi
oleh berbagai faktor pembentuk terciptanya motivasi. Menurut Gibson et al. (2003),
secara umum mengacu pada 2 (dua) kategori :

1. Teori kepuasan (Content Theory), yang memusatkan perhatian kepada faktor
dalam diri orang yang menguatkan (energize), mengarahkan (direct), mendukung
(sustain) dan menghentikan (stop) perilaku petugas.
2. Teori proses (Process Theory) menguraikan dan menganalisa bagaimana perilaku
itu dikuatkan, diarahkan, didukung dan dihentikan.
a. Teori Hirarki Kebutuhan dari Abraham Maslow
Menurut Maslow 1954 (dalam Robbins, 2006), hal yang tidak dapat
dipungkiri bahwa mayoritas manusia bekerja adalah karena adanya kebutuhan yang
relatif tidak terpenuhi disebabkan adanya faktor keterbatasan manusia itu sendiri,
untuk memenuhi kebutuhannya sewaktu bekerja sama dengan orang lain dalam

79

memasuki suatu organisasi. Hal ini yang menjadi dasar bagi Maslow dengan
mengemukakan teori hirarki kebutuhan sebagai salah satu sebab timbulnya motivasi
seseorang dalam kehidupannya. Maslow mengemukan bahwa manusia termotivasi
untuk memenuhi kebutuhan yang ada didalam hidupnya, diantaranya :
1). Kebutuhan faali (fisiologis), antara lain : rasa lapar, haus, perlindungan (pakaian,
perumahan), seks dan kebutuhan ragawi lainnya (disebut kebutuhan paling dasar)
2). Kebutuhan keamanan, keselamatan, perlindungan, jaminan pensiun, asuransi

kecelakaan, dan asuransi kesehatan.
3). Kebutuhan sosial, kasih sayang, rasa memiliki, diterima dengan baik,
persahabatan.
4). Kebutuhan penghargaan, status, titel, simbol-simbol, promosi.
5). Kebutuhan aktualisasi diri, menggunakan kemampuan, skill, dan potensi.
Pada dasarnya manusia tidak pernah puas pada tingkat kebutuhan manapun,
tetapi untuk memunculkan kebutuhan yang lebih tinggi perlu memenuhi tingkat
kebutuhan yang lebih rendah terlebih dahulu. Dalam usaha untuk memenuhi segala
kebutuhannya tersebut seseorang akan berperilaku yang dipengaruhi atau ditentukan
oleh pemenuhan kebutuhannya (Mangkunegara, 2011).
b. Teori Dua Faktor dari Herzberg.
Teori dua faktor dikembangkan oleh Frederick Herzberg yang merupakan
pengembangan dari teori hirarki kebutuhan menurut Maslow. Teori Herzberg
memberikan dua kontribusi penting bagi pimpinan organisasi dalam memotivasi
karyawan. Pertama, teori ini lebih eksplisit dari teori hirarki kebutuhan Maslow,

80

khususnya mengenai hubungan antara kebutuhan dalam performa pekerjaan. Kedua,
kerangka ini membangkitkan model aplikasi, pemerkayaan pekerjaan (Leidecker dan

Hall dalam Timpe, 2003).
Berdasarkan hasil penelitian terhadap akuntan dan ahli teknik Amerika Serikat
dari berbagai Industri, Herzberg mengembangkan teori motivasi dua faktor. Menurut
teori ini ada dua faktor yang memengaruhi kondisi pekerjaan seseorang, yaitu faktor
pemuas (motivation factor ) yang disebut juga dengan satisfier atau instrinsic
motivation dan faktor kesehatan (hygienes) yang juga disebut disatisfier atau
ekstrinsic motivation. Teori Herzberg ini melihat ada dua faktor yang mendorong

karyawan termotivasi yaitu faktor intrinsik, merupakan daya dorong yang timbul dari
dalam diri masing-masing orang, dan faktor ekstrinsik, yaitu daya dorong yang
datang dari luar diri seseorang, terutama dari organisasi tempatnya bekerja.
Jadi petugas yang terdorong secara intrinsik akan menyenangi pekerjaan yang
memungkinkannya menggunakan kreativitas dan inovasinya, bekerja dengan tingkat
otonomi yang tinggi dan tidak perlu diawasi dengan ketat. Kepuasan disini terutama
tidak dikaitkan dengan perolehan hal-hal yang bersifat materi. Sebaliknya, mereka
yang lebih terdorong oleh faktor-faktor ekstrinsik cenderung melihat apa yang
diberikan oleh organisasi kepada mereka dan kinerjanya diarahkan kepada perolehan
hal-hal yang diinginkannya dari organisasi (Hasibuan, 2012).
Menurut Herzberg faktor ekstrinsik tidak akan mendorong minat para pegawai
untuk berforma baik, akan tetapi jika faktor-faktor ini dianggap tidak memuaskan

dalam berbagai hal seperti gaji tidak memadai, kondisi kerja tidak menyenangkan,

81

faktor-faktor itu dapat menjadi sumber ketidakpuasan potensial. Sedangkan faktor
intrinsik merupakan faktor yang mendorong semangat guna mencapai kinerja yang
lebih tinggi. Jadi pemuasan terhadap kebutuhan tingkat tinggi (faktor motivasi) lebih
memungkinkan seseorang untuk berforma tinggi dari pada pemuasan kebutuhan lebih
rendah (Leidecker dan Hall dalam Timpe, 2003).
d. Teori Kebutuhan dari McClelland
Teori kebutuhan dikemukakan oleh David McClelland. Teori ini berfokus
pada tiga kebutuhan. Hal-hal yang memotivasi seseorang menurut Mc.Clelland dalam
Hasibuan (2012).
1). Kebutuhan akan prestasi (need for achievement).
Kebutuhan akan prestasi merupakan daya penggerak yang memotivasi
semangat bekerja seseorang untuk mengembangkan kreativitas dan mengarahkan
semua kemampuan serta energi yang dimilikinya guna mencapai prestasi kerja yang
maksimal. Seseorang menyadari bahwa hanya dengan mencapai prestasi kerja yang
tinggi akan memperoleh pendapatan besar yang akhirnya bisa memenuhi kebutuhankebutuhannya.
2). Kebutuhan akan kekuasaan (need for power )

Kebutuhan akan kekuasaan merupakan daya penggerak yang memotivasi
semangat kerja seseorang. Merangsang dan memotivasi gairah kerja seseorang serta
mengerahkan semua kemampuannya demi mencapai kekuasaan atau kedudukan yang
terbaik. Seseorang dengan kebutuhan akan kekuasaan tinggi akan bersemangat
bekerja apabila bisa mengendalikan orang yang ada disekitarnya.

82

3). Kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation)
Kebutuhan akan afiliasi menjadi daya penggerak yang memotivasi semangat
bekerja seseorang. Karena kebutuhan akan afiliasi akan merangsang gairah bekerja
seseorang yang menginginkan kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain,
perasaan dihormati, perasaan maju dan tidak gagal, dan perasaan ikut serta.
Teori motivasi dalam penelitian ini digunakan teori motivasi yang
dikemukakan

Maslow.

Adapun


pertimbangan

peneliti

karena

teori

yang

dikembangkan Maslow berlaku untuk menengah ke bawah, yaitu untuk karyawan
yang terkait dengan kebutuhan dan performa pekerjaan.

2.3. Minat
Kamus Bahasa Indonesia mengartikan minat sebagai niat atau kehendak
(Yasin, 1995). Menurut Ajzen dan Fishbein (1975) dalam Theory Of Reasoned
Action, perilaku manusia dipengaruhi oleh kehendak/minat. Minat merupakan

keinginan individu untuk melakukan perilaku tertentu sebelum perilaku tersebut
dilaksanakan. Adanya minat untuk melakukan suatu tindakan akan menentukan
apakah kegiatan tersebut akhirnya akan dilakukan. Kegiatan yang dilakukan inilah
yang

disebut

dengan

perilaku.

Dengan

demikian

perilaku

merupakan

„kehendak/minat‟ yang sudah direalisasikan dalam bentuk tingkah laku yang tampak.
Minat dipengaruhi oleh sikap dan norma subyektif. Teori ini menghubungkan
keyakinan (belief), sikap (attitude), kehendak/minat (intention) dan perilaku.

83

Keyakinan terhadap manfaat suatu kegiatan atau hal tertentu akan
menimbulkan sikap positip terhadap kegiatan atau hal tersebut. Sikap positif akan
mempengaruhi minat seseorang untuk melakukan kegiatan tersebut. Sikap ini
merupakan hasil pertimbangan untung dan rugi dari perilaku tersebut (outcomes of
the behavior ). Di samping itu juga dipertimbangkan pentingnya konsekuensi-

konsekuensi yang akan terjadi bagi individu (evaluation regarding the outcome).
Komponen berikutnya mencerminkan dampak dari norma-norma subyektif. Norma
sosial mengacu pada keyakinan seseorang terhadap bagaimana dan apa yang
dipikirkan orang-orang yang dianggapnya penting (referent-person) dan motivasi
seseorang untuk mengikuti pikiran tersebut (Ajzen dan Fishbein, 1975).
Model Theory of Reasoned Action dapat digunakan sebagai alat evaluasi
mengenai sikap dan perilaku secara ilmiah, yaitu untuk memperoleh konsistensi
antara sikap, minat berperilaku dan perilaku. Model ini mengacu pada nilai dan
norma-norma

dalam

kelompok

sosial,

sebagai

indikator

penting

untuk

memprediksikan perilaku yang akan diukur, sehingga pengetahuan awal mengenai
aspek sosial dan antropologis merupakan aspek penting, karena cara budaya
menghubungkan sikap, minat dan perilaku sangat penting. Menurut teori ini, persepsi
yang terbentuk akan menjembatani perilaku hanya jika (a) hal ini menghubungkan
pertimbangan sikap dan norma subyektif dan (b) hubungan komponen ini merupakan
penentu penting dari intensi/minat.
Ajzen memodifikasi teori tindakan beralasan menjadi teori perilaku terencana
Dalam teori perilaku terencana, keyakinan-keyakinan berpengaruh pada sikap

84

terhadap perilaku tertentu, norma-norma subyektif dan kontrol perilaku. Ketiga
komponen ini berinteraksi dan menjadi determinan bagi kehendak/minat yang
menentukan apakah perilaku yang bersangkutan akan dilakukan atau tidak. Sikap
terhadap perilaku tertentu dipengaruhi oleh keyakinan bahwa perilaku tersebut akan
membawa kepada hasil yang diinginkan atau tidak diinginkan. Norma subyektif
ditentukan oleh keyakinan mengenai perilaku apa yang bersifat normatif (yang
diharapkan oleh orang lain) dan motivasi untuk berperilaku sesuai harapan normatif.
Kontrol perilaku ditentukan oleh pengalaman masa lalu dan perkiraan individu
tentang kemudahan dan kesulitan untuk berperilaku tertentu (Ajzen dan Fishbein,
1975).
Skiner (dalam Notoatmodjo, 2012) menyampaikan bahwa perilaku terbentuk
dari dua faktor utama yakni : stimulus yang merupakan faktor dari luar diri individu
(faktor eksternal) dan respon yang merupakan faktor dari dalam individu
bersangkutan (faktor internal). Faktor eksternal atau stimulus adalah faktor
lingkungan, baik lingkungan fisik maupun non fisik dalam bentuk sosial, budaya,
ekonomi, politik dan sebagainya, sedangkan faktor internal meliputi perhatian,
pengamatan, persepsi, motivasi, fantasi, sugesti dan sebagainya. Namun, sebenarnya
perilaku merupakan keseluruhan (totalitas) pemahaman dan aktivitas seseorang yang
merupakan hasil bersama antara faktor internal dan faktor eksternal.
Gibson et.al (2003) mengemukakan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi
oleh variabel individu, variabel psikologis dan variabel organisasi. Variabel individu
terdiri dari kemampuan dan ketrampilan, tingkat sosial ekonomi, pengalaman, umur

85

dan jenis kelamin. Variabel psikologis terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian, belajar
dan motivasi. Persepsi sebagai variabel psikologis merupakan proses kognitif yang
dipergunakan oleh seseorang untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya.
Persepsi mencakup kognisi (pengetahuan), maka persepsi terjadi kapan saja stimulus
menggerakan indera. Variabel organisasi/lingkungan terdiri dari sumber daya,
kepemimpinan, imbalan, struktur, dan desain pekerjaan. Variabel ini merupakan
faktor eksternal yang turut menentukan perilaku individu.

2.4 Jaminan Kesehatan Nasional
2.4.1 Pengertian dan Tujuan Program Jaminan Kesehatan Nasional
Berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa
jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional.
Seluruh rakyat wajib menjadi peserta tanpa kecuali. Program jaminan sosial yang
diprioritaskan untuk mencakup seluruh penduduk terlebih dahulu adalah program
jaminan kesehatan. Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan
kesehatan agar peserta memperoleh manfaat

pemeliharaan kesehatan dan

perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada
setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.
Program Jaminan Kesehatan Nasional merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) yaitu suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh
beberapa badan penyelenggara jaminan sosial (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

86

Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program Negara
yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Implementasi program ini diharapkan bahwa seluruh rakyat
Indonesia dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal
yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menerita
sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut atau
pensiun. SJSN diselenggarakan dengan prinsip kegotong-royongan, nirlaba,
keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas dan portabilitas dengan kepesertaan bersifat
wajib, dana amal dan hasil pengelolaan jaminan social dipergunakan seluruhnya
untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta
jaminan.
Adapun penyelenggara program Jaminan Kesehatan Nasional adalah Badan
Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS). Pembentukan BPJS menurut UndangUndang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Undang-Undang ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
yang mengamanatkan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan
transformasi kelembagaan PT Askes (Persero), PT Jamsostek (Persero), PT TASPEN
(Persero) dan PT ASABRI (Persero) menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Transformasi tersebut diikuti adanya pengalihan peserta, program, aset dan liabilitas,
pegawai serta hak dan kewajiban. Undnag-Undang ini membentuk 2 (dua) BPJS
yaitu

BPJS

Kesehatan

dan

BPJS

Ketenagakerjaan.

BPJS

Kesehatan

87

menyelenggarakan

program

jaminan

kesehatan dan

BPJS

Ketenagakerjaan

menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan
pensiun dan jaminan kematian. Terbentuknya dua BPJS ini diharapkan secara
bertahap akan memperluas jangkauan kepesertaan progam jaminan sosial. BPJS
mempunyai tugas sesuai undang-undang yaitu:
a. Melakukan dan/atau menerima pendaftaran Peserta
b. Memungut dan mengumpulkan Iuran dari Peserta dan Pemberi Kerja
c. Menerima bantuan Iuran dari Pemerintah
d. Mengelola dana Jaminan Sosial untuk kepentingan peserta
e. Mengumpulkan dan mengelola data peserta program Jaminan Sosial
f. Membayarkan Manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai
dengan ketentuan program Jaminan Sosial
g. Memberikan informasi mengenai penyelenggaraan Program Jaminan Sosial
kepada peserta dan masyarakat
2.4.2 Paket Pelayanan Kesehatan dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional
Program Jaminan Kesehatan Nasional mempunyai 2 (dua) jenis pelayanan
yang akan diperoleh oleh Peserta Jaminan Kesehatan Nasional, yaitu berupa
pelayanan kesehatan (manfaat medis) serta akomodasi dan ambulans (manfaat non
medis). Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari fasilitas kesehatan
dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan (Kementerian
Kesehatan RI, 2013).

88

1. Prosedur Pelayanan
Peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan pertama-tama harus memperoleh
pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama. Bila Peserta
memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan, maka hal itu harus dilakukan
melalui rujukan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama, kecuali dalam keadaan
kegawatdaruratan medis (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
2. Kompensasi Pelayanan
Bila di suatu daerah belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat guna
memenuhi kebutuhan medis sejumlah Peserta, BPJS Kesehatan wajib memberikan
kompensasi, yang dapat berupa: penggantian uang tunai, pengiriman tenaga
kesehatan atau penyediaan fasilitas kesehatan tertentu. Penggantian uang tunai
hanya digunakan untuk biaya pelayanan kesehatan dan transportasi (Kementerian
Kesehatan RI, 2013).
3. Penyelenggara Pelayanan Kesehatan
Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua fasilitas kesehatan yang
menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan baik fasilitas kesehatan milik
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan swasta yang memenuhi persyaratan melalui
proses kredensialing dan rekredensialing (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Adapun manfaat program Jaminan Kesehatan Nasional terdiri atas 2 (dua)
jenis, yaitu manfaat medis berupa pelayanan kesehatan dan manfaat non medis
meliputi akomodasi dan ambulans. Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan
dari Fasilitas Kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS

89

Kesehatan. Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional mencakup pelayanan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis
pakai sesuai dengan kebutuhan medis. Manfaat pelayanan promotif dan preventif
meliputi pemberian pelayanan:
a) Penyuluhan kesehatan perorangan, meliputi paling sedikit penyuluhan mengenai
pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat.
b) Imunisasi dasar, meliputi BCG (Baccile Calmett Guerin), Difteri Pertusis Tetanus
dan Hepatitis B (DPTHB), Polio, dan Campak.
c) Keluarga berencana, meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi, dan
tubektomi bekerja sama dengan lembaga yang membidangi keluarga berencana.
d) Skrining kesehatan, diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi
risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu.
e) Meskipun manfaat yang dijamin dalam Jaminan Kesehatan Nasional bersifat
komprehensif, masih ada manfaat yang tidak dijamin meliputi: a. Tidak sesuai
prosedur; b. Pelayanan di luar Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan
BPJS; c.Pelayanan bertujuan kosmetik; d. General checkup, pengobatan
alternatif; e. Pengobatan untuk mendapatkan keturunan, pengobatan impotensi; f.
Pelayanan kesehatan pada saat bencana ; dan g. Pasien Bunuh Diri /Penyakit yang
timbul akibat kesengajaan untuk menyiksa diri sendiri/ Bunuh Diri/Narkoba
(Kementerian Kesehatan RI, 2013).

90

2.4.3 Kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional
Peserta Jaminan Kesehatan Nasional adalah setiap orang, termasuk orang
asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar
iuran. Pekerja adalah adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah,
atau imbalan dalam bentuk lain. Sedangkan Pemberi Kerja adalah orang
perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya yang mempekerjakan
tenaga kerja, atau penyelenggara negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan
membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya (Kementerian Kesehatan
RI, 2013).
Peserta tersebut meliputi: Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan
Nasional dan bukan PBI Jaminan Kesehatan Nasional dengan rincian sebagai berikut:
a. Peserta PBI Jaminan Kesehatan meliputi orang yang tergolong fakir miskin
dan orang tidak mampu.
b. Peserta bukan PBI adalah peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang
tidak mampu yang terdiri atas:
a)

Pekerja penerima upah dan anggota keluarganya, yaitu: Pegawai Negeri Sipil;
Anggota TNI; Anggota Polri; Pejabat Negara; Pegawai Pemerintah Non
Pegawai Negeri; Pegawai Swasta; dan Pekerja yang tidak termasuk tersebut
yang menerima Upah.

b)

Pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya, yaitu: Pekerja di luar
hubungan kerja atau Pekerja mandiri dan Pekerja yang tidak termasuk huruf a

91

yang bukan penerima Upah. Pekerja tersebut termasuk warga negara asing yang
bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan.
c)

Bukan Pekerja dan anggota keluarganya terdiri atas: Investor; Pemberi Kerja;
Penerima Pensiun; Veteran; Perintis Kemerdekaan; dan Bukan Pekerja yang
tidak termasuk tersebut yang mampu membayar iuran.

d)

Penerima pensiun terdiri atas: Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak
pensiun; Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun;
Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun; Penerima Pensiun selain
tersebut di atas; dan janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun
sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d yang mendapat hak
pensiun.

e)

Anggota keluarga bagi pekerja penerima upah meliputi: Istri atau suami yang
sah dari Peserta; dan Anak kandung, anak tiri dan/atau anak angkat yang sah
dari Peserta, dengan kriteria: tidak atau belum pernah menikah atau tidak
mempunyai penghasilan sendiri; dan belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun
atau belum berusia 25 (duapuluh lima) tahun yang masih melanjutkan
pendidikan formal. Sedangkan Peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan Nasional
dapat juga mengikutsertakan anggota keluarga yang lain.

f)

WNI di Luar Negeri. Jaminan kesehatan bagi pekerja WNI yang bekerja di luar
negeri diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tersendiri
(Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Prosedur pendaftaran Peserta program Jaminan Kesehatan Nasional meliputi:

92

a. Pemerintah mendaftarkan PBI Jaminan Kesehatan Nasional sebagai Peserta
kepada BPJS Kesehatan.
b. Pemberi kerja mendaftarkan pekerjanya atau pekerja dapat mendaftarkan diri
sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan.
c. Bukan pekerja dan peserta lainnya wajib mendaftarkan diri dan keluarganya
sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Adapun hak dan kewajiban peserta program Jaminan Kesehatan Nasional
berhak mendapatkan a) identitas peserta dan b) manfaat pelayanan kesehatan di
fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Setiap Peserta yang
telah terdaftar pada BPJS Kesehatan berkewajiban untuk: (a) membayar iuran dan (b)
melaporkan data kepesertaannya kepada BPJS Kesehatan dengan menunjukkan
identitas Peserta pada saat pindah domisili dan atau pindah kerja. Sedangkan masa
berlaku kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional berlaku selama yang bersangkutan
membayar iuran sesuai dengan kelompok peserta, dan status kepesertaan akan hilang
bila Peserta tidak membayar Iuran atau meninggal dunia (Kementerian Kesehatan RI,
2013).
Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional dilakukan secara bertahap, yaitu
tahap pertama mulai 1 Januari 2014, kepesertaannya paling sedikit meliputi: PBI
Jaminan Kesehatan; Anggota TNI/PNS dilingkungan Kementerian Pertahanan dan
anggota keluarganya; Anggota Polri/PNS dilingkungan Polri dan anggota
keluarganya; peserta asuransi kesehatan PT Askes (Persero) beserta anggota
keluarganya, serta peserta jaminan pemeliharaan kesehatan Jamsostek dan anggota

93

keluarganya. Selanjutnya tahap kedua meliputi seluruh penduduk yang belum masuk
sebagai Peserta BPJS Kesehatan paling lambat pada tanggal 1 Januari 2019
(Kementerian Kesehatan RI, 2013).

2.5. Rumah Sakit
2.5.1. Definisi Rumah Sakit
Menurut Undang-undang No. 36 tahun 2009, rumah sakit merupakan salah
satu sarana kesehatan dan tempat penyelenggaraan upaya kesehatan serta suatu
organisasi dengan sistem terbuka dan selalu berinteraksi dengan lingkungannya untuk
mencapai suatu keseimbangan yang dinamis dan mempunyai fungsi utama melayani
masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap
kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang optimal bagi
masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan peningkatan
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit
(kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu
dan berkesinambungan.
2.5.2. Fungsi Rumah Sakit
Fungsi rumah sakit berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
44 Tahun 2009 tentang rumah sakit yaitu:
a.

Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan
standar pelayanan rumah sakit;

94

b.

Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis;

c.

Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan

d.

Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang
kesehatan

dalam

rangka

peningkatan

pelayanan

kesehatan

dengan

Indonesia

Nomor

memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
2.5.3. Klasifikasi Rumah Sakit Umum
Menurut

Peraturan

Menteri

Kesehatan

Republik

340/MENKES/PER/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit, rumah sakit umum
berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan dapat diklasifikasikan menjadi:
A. Rumah Sakit Umum Kelas A
Rumah sakit umum kelas A harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 5 (lima)
Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, Pelayanan Medik Spesialis Lain dan
Pelayanan Medik Sub Spesialis yang tidak terbatas. Kriteria, fasilitas dan kemampuan
Rumah Sakit Umum Kelas A meliputi Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat
Darurat, Pelayanan Medik Spesialis Dasar, Pelayanan Spesialis Penunjang Medik,
Pelayanan Medik Spesialis Lain, Pelayanan Medik Spesialis Gigi Mulut, Pelayanan
Medik Subspesialis, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan Penunjang
Klinik, dan Pelayanan Penunjang Non Klinik. Jumlah tempat tidur minimal 400
(empat ratus) buah.

95

B. Rumah Sakit Umum Kelas B
Rumah sakit umum kelas B harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar,
4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 8 (delapan) Pelayanan Medik
Spesialis Lainnya dan 2 (dua) Pelayanan Medik Subspesialis Dasar. Kriteria, fasilitas
dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas B meliputi Pelayanan Medik Umum,
Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan Medik Spesialis Dasar, Pelayanan Spesialis
Penunjang Medik, Pelayanan Medik Spesialis Lain, Pelayanan Medik Spesialis Gigi
Mulut, Pelayanan Medik Subspesialis, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan,
Pelayanan Penunjang Klinik dan Pelayanan Penunjang Non Klinik. Jumlah tempat
tidur minimal 200 (dua ratus) buah.
C. Rumah Sakit Umum Kelas C
Rumah Sakit Umum Kelas C harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar dan 4
(empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik. Kriteria, fasilitas dan kemampuan
Rumah Sakit Umum Kelas C meliputi Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat
Darurat, Pelayanan Medik Spesialis Dasar, Pelayanan Spesialis Penunjang Medik,
Pelayanan Medik Spesialis Gigi Mulut, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan,
Pelayanan Penunjang Klinik dan Pelayanan Penunjang Non Klinik. Jumlah tempat
tidur minimal 100 (seratus) buah.
D. Rumah Sakit Umum Kelas D
Rumah Sakit Umum Kelas D harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) Pelayanan Medik Spesialis Dasar. Kriteria,

96

fasilitas dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas D meliputi Pelayanan Medik
Umum, Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan Medik Spesialis Dasar, Pelayanan
Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan Penunjang Klinik dan Pelayanan Penunjang
Non Klinik.
2.5.4. Ketenagaan di Rumah Sakit
Rumah sakit pada saat ini, berkembang sebagai sebuah industri padat karya,
padat modal dan padat teknologi. Disebut demikian karena rumah sakit
memanfaatkan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam jumlah yang besar dan beragam
kualifikasi. Berdasarkan peraturan menteri kesehatan republik Indonesia Nomor
340/MENKES/PER/III/2010 tentang klasifikasi rumah sakit maka ketenagaan pada
rumah sakit disesuaikan dengan jenis dan tingkat pelayanan.
Pada Pelayanan Medik Dasar minimal harus ada 9 (sembilan) orang dokter
umum dan 2 (dua) orang dokter gigi sebagai tenaga tetap. Pada Pelayanan Medik
Spesialis Dasar harus ada masing-masing minimal 2 (dua) orang dokter spesialis
setiap pelayanan dengan 2 (dua) orang dokter spesialis sebagai tenaga tetap pada
pelayanan yang berbeda. Pada setiap Pelayanan Spesialis Penunjang Medik masingmasing minimal 1 (satu) orang dokter spesialis setiap pelayanan dengan 2 (dua) orang
dokter spesialis sebagai tenaga tetap pada pelayanan yang berbeda. Perbandingan
tenaga keperawatan dan tempat tidur adalah 2:3 dengan kualifikasi tenaga
keperawatan sesuai dengan pelayanan di Rumah Sakit.Tenaga penunjang berdasarkan
kebutuhan Rumah Sakit. (Kemenkes RI, 2010).

97

2.5.5. Jenis Pelayanan di Rumah Sakit
Rumah sakit merupakan sub sistem dari pelayanan kesehatan dan juga
merupakan suatu industri jasa yang berfungsi untuk memenuhi salah satu kebutuhan
primer manusia, baik sebagai individu, masyarakat atau bangsa untuk meningkatkan
derajat kesehatan. Pelayanan jasa tersebut dapat berupa usaha-usaha promotif, kuratif
dan rehabilitatif. Pelayanan jasa rumah sakit dikelompokkan atas:
1. Pelayanan Medik
Pelayanan medik memberikan pelayanan kepada pasien sesuai dengan ilmu
pengetahuan kedokteran mutakhir, kemampuan fasilitasi rumah sakit. Dapat
dilaksanakan di unit rawat jalan, unit gawat darurat, unit rawat inap, kamar bedah
dan kamar bersalin sehingga diperlukan kebijakan, prosedur kerja dan uraian
tugas di tiap-tiap unit tersebut. Pelayanan faktor di sebuah rumah sakit tergantung
dari jenis rumah sakit (umum dan khusus), kelas rumah sakit dan jenis peralatan
faktor serta ahli yang tersedia.
2. Pelayanan Penunjang Medik
Pelayanan penunjang medik merupakan tugas pokok (jasa profesional) dari
kegiatan rumah sakit tetapi lebih bersifat structural sehingga pengontrolan oleh
pihak manajemen oleh pihak rumah sakit lebih mudah karena ada prosedurprosedur khusus yang terdiri dari pelayanan radiologi, pelayanan laboratorium,
pelayanan anestesi, pelayanan gizi, pelayanan farmasi, dan pelayanan rehabilitasi
faktor. Jenis pelayanan yang bisa diberikan kepada pasien dari tiap-tiap rumah
sakit tergantung dari kelas rumah sakit, jenis perawatan yang tersedia dan jenis
tenaga yang ada.

98

3. Pelayanan Penunjang
Pelayanan penunjang merupakan pemberian dukungan untuk melaksanakan jasa
professional, terdiri dari administrasi yaitu administrasi umum yang mengelola
informasi yang cepat, teliti dalam bidang ketatausahaan, keuangan, kepegawaian
sesuai dengan pelayanan yang ada dan administrasi pasien yaitu mengelola
informasi yang cepat, tepat, teliti dalam bidang asuhan pasien sesuai dengan
pelayanan yang ada.
2.5.6. Kerja Sama Fasilitas Kesehatan dengan BPJS Kesehatan
Fasilitas kesehatan dapat mengadakan kerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Kerja sama fasilitas kesehatan dengan BPJS kesehatan dilakukan melalui perjanjian
kerja sama antara pimpinan atau pemilik fasilitas kesehatan yang berwenang dengan
BPJS kesehatan dan berlaku sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan dapat
diperpanjang kembali atas kesepakatan bersama (Permenkes RI, No.71, 2013).
Persyaratan yang harus dipenuhi untuk kerjasama dengan BPJS;
a. Kelas D atau setara harus memiliki:
1. Surat Ijin Operasional;
2. Surat Ijin Praktik (SIP) tenaga kesehatan yang berpraktik;
3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan;
4. Perjanjian kerja sama dengan jejaring, jika diperlukan; dan
5. Surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan
Kesehatan Nasional.
6. Fasilitas kesehatan tingkat pertama telah terakreditasi.

99

Persyaratan, seleksi dan kredensialing bagi fasilitas kesehatan rujukan tingkat
lanjutan terdiri atas:
a. Untuk klinik utama atau yang setara harus memiliki:
1. Surat Ijin Operasional;
2. Surat Ijin Praktik (SIP) tenaga kesehatan yang berpraktik;
3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan;
4. Perjanjian kerja sama dengan laboratorium, radiologi, dan jejaring lain jika
diperlukan; dan
5. Surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan
Kesehatan Nasional.
b. Untuk rumah sakit harus memiliki:
1. Surat Ijin Operasional;
2. Surat Penetapan Kelas Rumah Sakit;
3. Surat Ijin Praktik (SIP) tenaga kesehatan yang berpraktik;
4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan;
5. Perjanjian kerja sama dengan jejaring, jika diperlukan;
6. Sertifikat akreditasi; dan
7. Surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan
Kesehatan Nasional.
c. Seleksi dan Kredensialing
Menurut Saefuddin dan Ilyas (2001) kredensialing adalah hal yang
membedakan

antara

asuransi

tradisional

dengan

asuransi

managed

care.

100

Kredensialing dikembangkan sebagai hasil ujian memperoleh lisensi sebagai dokter
sehingga dokter yang dikontrak adalah dokter yang memiliki sertifikat kelulusan. Hal
ini penting agar managed care memiliki keseimbangan antara biaya dan pelayanan.
Kredensialing adalah merupakan kegiatan dari BPJS kesehatan untuk
melakukan kualifikasi fasilitas pelayanan kesehatan dan proses evaluasi untuk
menyetujui atau menolak fasilitas pelayanan dalam melakukan ikatan kerjasama
dengan BPJS kesehatan yang penilaiannya berdasarkan kriteria teknis dari BPJS
kesehatan. Menetapkan pilihan fasilitas kesehatan, BPJS kesehatan melakukan seleksi
dan kredensialing dengan menggunakan kriteria teknis yang meliputi:
a. Sumber daya manusia;
b. Kelengkapan sarana dan prasarana;
c. Lingkup pelayanan; dan
d. Komitmen pelayanan.
Sedangkan rekredensialing dilakukan paling lambat (tiga) bulan sebelum
masa perjanjian kerja sama berakhir.

2.6. Penelitian Terdahulu
Mayona (2012) meneliti pengaruh persepsi bidan praktek swasta tentang
program jampersal terhadap kemauan bidan menjadi provider program Jampersal di
Kota Binjai. Hasil penelitian menunjukkan persepsi tentang; paket, prosedur, dan tarif
berhubungan secara signifikan terhadap kemauan bidan menjadi provider program
Jampersal, dan hipotesis diuji menggunakan model regresi linear berganda.

101

Zakiah (2015) meneliti faktor individual dan faktor struktural yang berperan
dalam keikutsertaan bidan praktek mandiri pada program Jaminan Kesehatan
Nasional di Kabupaten Tabanan. Hasil penelitian menunjukkan faktor individual,
yaitu pengetahuan BPM tentang program Jaminan Kesehatan Nasional masih belum
baik dan motivasi BPM ingin mempromosikan tempat praktek, menyukseskan
program pemerintah dan pengabdian terhadap profesinya pada pelayanan kebidanan
dan neonatal menyebabkan BPM enggan ikut program Jaminan Kesehatan Nasional.
Sedangkan faktor struktural kurangnya peran aktif dari pemerintah dan organisasi IBI
terhadap BPM menyebabkan BPM enggan ikut program Jaminan Kesehatan
Nasional.
Chriswardani dkk, (2014) meneliti implementasi Jaminan Kesehatan Nasional
dan permasalahan di Rumah Sakit Kota Semarang Tahun 2014. Hasil penelitian
menunjukkan peningkatan pasien Jaminan Kesehatan Nasional pada dua rumah sakit
dan sebagian tarif Jaminan Kesehatan Nasional (NA CBG) lebih rendah dari tarif
rumah sakit serta kedua rumah sakit mengusulkan perubahan tarif Jaminan Kesehatan
Nasional ke BPJS dalam wadah PERSI.
Rahmah (2012) meneliti tentang motivasi Bidan Praktik Mandiri (BPM)
dalam penandatanganan perjanjian kerjasama Jaminan Persalinan (Jampersal) di Kota
Semarang. Hasil penelitian menunjukkan motivasi BPM dalam penandatangan
perjanjian kerjasama Jampersal, adalah adanya faktor kebutuhan aktualisasi diri
sebagai bentuk pengabdian BPM kepada masyarakat dan kepatuhan terhadap aturan
pemerintah, sementara kecenderungan BPM tidak mengikuti Jampersal karena biaya
pengganti yang terlalu sedikit dan perasaan tidak nyaman harus mematuhi aturan
Jampersal.

102

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu
No
Peneliti
1 Mayona
(2012)

2 Zakiah
(2015)

3 Chriswardani
dkk, (2014)

Judul Penelitian
Pengaruh Persepsi
Bidan
Praktek
Swasta
Tentang
Program Jampersal
terhadap Kemauan
Bidan
Menjadi
Provider Program
Jampersal di Kota
Binjai
Faktor Individual
Dan
Faktor
Struktural
Yang
Berperan
Dalam
Keikutsertaan
Bidan
Praktek
Mandiri
Pada
Program Jaminan
Kesehatan Nasional
Di
Kabupaten
Tabanan

Implementasi
Jaminan Kesehatan
Nasional
dan
Permasalahan
di
Rumah Sakit di
Kota
Semarang
Tahun 2014

Variabel
Variabel dependen :
Kemauan
bidan
praktek
mandiri
menjadi
provider
program Jampersal
Variabel independen:
Persepsi
Bidan
Praktek Mandiri

Hasil
Persepsi tentang paket,
persepsi tentang prosedur,
persepsi
tentang
tarif
berhubungan
secara
signifikan
terhadap
kemauan bidan menjadi
provider
program
Jampersal
Faktor individual, yaitu
pengetahuan BPM tentang
program
Jaminan
Kesehatan Nasional masih
belum baik dan motivasi
BPM
ingin
mempromosikan
tempat
praktek,
menyukseskan
program pemerintah dan
pengabdian
terhadap
profesinya pada pelayanan
kebidanan dan neonatal
menyebabkan BPM enggan
ikut
program Jaminan
Kesehatan
Nasional.
Sedangkan faktor struktural
kurangnya peran aktif dari
pemerintah dan organisasi
IBI terhadap BPM
Terjadi
peningkatan
pasien Jaminan Kesehatan
Nasional pada dua rumah
sakit dan sebagian tarif
Jaminan
Kesehatan
Nasional (Ina-CBG) lebih
rendah dari tarif rumah
sakit serta kedua rumah
sakit
mengusulkan
perubahan tarif Jaminan
Kesehatan Nasional ke
BPJS
dalam
wadah
PERSI

103

Tabel 2.1. Lanjutan
No Peneliti
4 Rahmah
(2012)

Judul Penelitian
Motivasi
Bidan
Praktik Mandiri
dalam
Penandatanganan
Perjanjian
Kerjasama
Jaminan
Persalinan di Kota
Semarang

Variabel

Hasil
Motivasi BPM dalam penandatangan
perjanjian kerjasama Jampersal, adalah
adanya faktor kebutuhan aktualisasi diri
sebagai bentuk pengabdian BPM kepada
masyarakat dan kepatuhan terhadap
aturan
pemerintah,
sementara
kecenderungan BPM tidak mengikuti
Jampersal karena biaya pengganti yang
terlalu sedikit dan perasaan tidak nyaman
harus mematuhi aturan Jampersal

2.7. Landasan Teori
Sesuai dengan beberapa teori dan peneltian terdahulu seperti yang
dikemukakan di atas diduga persepsi dan motivasi memiliki pengaruh terhadap minat
rumah sakit swasta sebagai provider Jaminan Kesehatan Nasional yang relevan
dengan judul penelitian. Menurut Ajzen dan Fishbein (1975) perilaku manusia
dipengaruhi oleh kehendak/minat. Minat merupakan keinginan individu untuk
melakukan perilaku tertentu sebelum perilaku tersebut dilaksanakan, dimana minat
terkait dengan keyakinan (belief), sikap (attitude). Minat dalam hal ini adalah minat
rumah sakit swasta sebagai provider Jaminan Kesehatan Nasional di Kota Medan.
Robbins (2006) menyatakan terdapat tiga faktor yang memengaruhi persepsi,
yakni pelaku persepsi, target yang dipersepsikan dan situasi. Ketika individu
memandang kepada objek tertentu dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya,
penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi individu pelaku persepsi
Persepsi sebagai variabel psikologis merupakan proses kognitif yang dipergunakan
oleh seseorang untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya. Persepsi dalam

104

hal ini adalah persepsi rumah sakit swasta terhadap kredensialing, tarif, tata cara
klaim dan profit.
Motivasi merupakan suatu penggerak atau dorongan-dorongan yang terdapat
dalam diri manusia yang dapat menimbulkan, mengarahkan, dan mengorganisasikan
tingkah lakunya untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan psikologis maupun
kebutuhan fisiologis. Menurut Maslow dalam (Robbins, 2006) kebutuhan manusia
diklasifikasikan pada lima tingkatan atau hierarki (hierarchy of needs), yaitu: (1)
kebutuhan fisik, (2) kebutuhan akan rasa aman, (3) kebutuhan sosial, (4) kebutuhan
penghargaan, dan (5) kebutuhan aktualisasi diri.
2.8. Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori dan keterbatasan peneliti maka kerangka konsep
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Persepsi
a. Persepsi tentang kredensialing
b. Persepsi tentang tarif
c. Persepsi tentang tata cara klaim
d. Persepsi tentang profit
Motivasi

Minat Rumah Sakit Swasta
sebagai Provider
Program Jaminan Kesehatan
Nasional

a. Kebutuhan fisik
b. Kebutuhan penghargaan
c. Kebutuhan aktualisasi

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Dokumen yang terkait

Pengaruh Persepsi Provider Swasta tentang Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional Terhadap Keikutsertaan Sebagai Provider Pratama BPJS Kesehatan di Kota Medan Tahun 2014

9 125 141

Pengaruh Persepsi Provider Swasta tentang Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional Terhadap Keikutsertaan Sebagai Provider Pratama BPJS Kesehatan di Kota Medan Tahun 2014

0 0 19

Pengaruh Persepsi Provider Swasta tentang Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional Terhadap Keikutsertaan Sebagai Provider Pratama BPJS Kesehatan di Kota Medan Tahun 2014

0 0 2

Pengaruh Persepsi Provider Swasta tentang Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional Terhadap Keikutsertaan Sebagai Provider Pratama BPJS Kesehatan di Kota Medan Tahun 2014

0 0 10

Pengaruh Persepsi Provider Swasta tentang Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional Terhadap Keikutsertaan Sebagai Provider Pratama BPJS Kesehatan di Kota Medan Tahun 2014

0 0 48

Pengaruh Persepsi Provider Swasta tentang Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional Terhadap Keikutsertaan Sebagai Provider Pratama BPJS Kesehatan di Kota Medan Tahun 2014

0 0 3

Pengaruh Persepsi dan Motivasi terhadap Minat Rumah Sakit Swasta Sebagai Provider Program Jaminan Kesehatan Nasional di Kota Medan Tahun 2015

0 0 18

Pengaruh Persepsi dan Motivasi terhadap Minat Rumah Sakit Swasta Sebagai Provider Program Jaminan Kesehatan Nasional di Kota Medan Tahun 2015

0 0 2

Pengaruh Persepsi dan Motivasi terhadap Minat Rumah Sakit Swasta Sebagai Provider Program Jaminan Kesehatan Nasional di Kota Medan Tahun 2015

0 0 7

Pengaruh Persepsi dan Motivasi terhadap Minat Rumah Sakit Swasta Sebagai Provider Program Jaminan Kesehatan Nasional di Kota Medan Tahun 2015

0 0 28