Implementasi Kebijakan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) pada Dinas Kebersihan Kota Medan

BAB I
PENDAHULUAN

I.1

Latar Belakang
Semangat reformasi telah mewarnai pendayagunaan aparatur negara

dengan tuntutan untuk mewujudkan admnistrasi negara yang mampu mendukung
kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan
pemerintahan negara dan pembangunan dengan mempraktekkan prinsip-prinsip
good governance.
Good

governance

yang

dimaksudkan

adalah


merupakan

proses

penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods
and service. Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat utama
untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita
bangsa dan negara. Dalam rangka hal tersebut, diperlukan pengembangan dan
penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas, nyata sehingga
penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya
guna, berhasil guna,bersih dan bertanggung jawab. 1
Keterpurukan bangsa kita selama ini antara lain disebabkan oleh
kurangnya komitmen terhadap akuntabilitas, terutama dari para penyelenggara
negara dalam melaksanakan amanah rakyat. Dalam perspektif ini akuntabilitas
merupakan

1

perwujudan


dari

kewajiban

untuk

mempertanggungjawabkan

Sedarmayanti. 2003. Good Govenance (Kepemerintahan yang Baik) Dalam Rangka Otonomi
Daerah. Bandung: Penerbit Mandar Maju. Hal 2

Universitas Sumatera Utara

keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuantujuan dan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui suatu media
pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik. Dari itu dapat dilihat
bahwa

adanya suatu sistem pertanggungjawaban merupakan suatu hal yang


mutlak harus dipenuhi oleh aparatur negara untuk mewujudkan dan menghasilkan
pelayanan yang prima bagi masyarakat..
Indonesia

secara

eksplisit

mulai

mengimplementasikan

konsep

akuntabilitas melalui Instruksi Presiden No. 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) dengan dilatarbelakangi keinginan untuk
lebih meningkatkan pelaksanaan pemerintahan yang lebih berdaya guna, berhasil
guna, bersih dan bertanggung jawab disamping untuk mengetahui kemampuan
instansi pemerintahan dalam pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi. Hal ini
muncul berdasarkan pengalaman dan pengamatan sejarah birokrasi Indonesia

yang selama ini belum menunjukkan kondisi prima sebagaimana yang diharapkan
oleh masyarakat. Kondisi ini menjadi penyebab utama ketidakberhasilan kinerja
birokrasi dalam upaya menuju good governance. Sejak munculnya iklim yang
lebih demokratis dalam pemerintahan, kinerja instansi pemerintah semakin
menjadi sorotan dan masyarakat mulai banyak menuntut nilai yang diperoleh atas
pelayanan yang diberikan.
Untuk mewujudkan akuntabilitas ini, maka disusunlah sebuah pedoman
dan rangkaian petunjuk dalam peraturan tersebut yang disebut dengan SAKIP
(Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah ) dan dikemukakan media
pelaporan yang digunakan adalah laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi

Universitas Sumatera Utara

Pemerintah (LAKIP). Untuk melaksanakan pelaporan ini maka dipersyaratkan
untuk mengembangkan sistem akuntabilitas kinerja yang mencakup indikator,
metode, mekanisme, dan tata cara pelaporan kinerja instansi pemerintah dengan
dasar perencanaan stratejik. Akuntabilitas instansi pemerintah tersebut hendaknya
mampu untuk menjelaskan dan menjawab mengenai aktivitas yang dijabarkan dan
dijalaninya telah sesuai dengan visi, misi dan arah kebijakan. Demikian pula
dalam tataran operasional mereka harus mampu melaporkan dan menjelaskan

pelaksanaan program pembangunannya dengan menjabarkan tujuan, sasaran,
strategi, aktivitas dan kinerjanya. Kinerja yang mereka tunjukkan haruslah dapat
mewujudkan indikator keberhasilan maupun kemungkinan adanya kegagalan
dengan segala penyebabnya.
Untuk melihat sejauh mana pelaksanaan SAKIP ini pemerintah terus
berupaya melakukan kajian dan evaluasi kebijakan pengembangan dan
pelaksanaan SAKIP di berbagai instansi pemerintah pusat, provinsi, kabupaten
dan kota. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh Pusat Kajian Manajemen
Kebijakanyang diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi Negara, Badan
Diklat Provinsi Jawa Timur, Badan Diklat Provinsi Jawa Tengah, PKPA I Jawa
Barat, Badan Diklat Provinsi Kalimantan Timur, dan Badan Diklat Provinsi
Sumatera Utara yang melibatkan sebanyak 538 responden. Berdasarkan kajian
tersebut ditemukan beberapa fakta yang terjadi di lapangan sehubungan dengan
pelaksanaan AKIP, antara lain 1)pemahaman pejabat di lingkungan instansi
pemerintah tentang SAKIP tergolong cukup baik, namun tetap masih ditemukan
kesulitan dalam penyusunannya karena banyak komponen yang tidak dijelaskan

Universitas Sumatera Utara

secara spesifik, 2)beragamnya lansasan hukum penyusunan renstra, rendahnya

pemahaman dan anggapan akan tidak pentingnya renstra, 3)kesulitan dalam
penyusunan rencana kerja, 4)instansi pemerintah masih mengikuti trend dalam
penentuan indikator kinerja, 5)keterbatasan waktu, anggaran data pendukung dan
pemahaman aparat terhadap evaluasi kinerja, 6) masih sangat sedikit instansi yang
secara terbuka dan jujur menyampaikan keberhasilan dan kegagalan dalam
pencapaian targetnya. 2
Selain itu, dalam pelaksanaannya sampai saat ini Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB)
sendiri belum menentukan sanksi yang jelas bagi setiap instansi yang tidak
menyerahkan LAKIP tepat pada waktunya dan kesadaran setiap instansi untuk
menyerahkan LAKIP nya pun masih sangat rendah. Tahun 2011, 3 provinsi
(Maluku Utara, Papua Barat, dan Sulawesi Tenggara) dan 300 kabupaten dan
sejumlah SKPD tidak meyerahkan LAKIP 3. Sedangkan bila ditinjau dari segi
kualitas LAKIP yang diserahkan, berdasarkan evaluasi dari MemenPAN & RB,
mayoritas pemerintah provinsi di Indonesia akuntabilitas kinerjanya masih
rendah. Dari 30 provinsi yang dinilai pada tahun 2011, hanya 2 yang mendapat
rapor B, sementara sisanya mendapat nilai C, termasuk provinsi Sumatera Utara
dan Kota Medan.

4


2

http://pkmk-lanri.org/2010/05/25/kajian-evaluasi-kebijakan-pengembangan-dan- pelaksanaansakip-lakip/ oleh PUSAT KAJIAN MANAJEMEN LAN RI, diakses pada tanggal 22 Juli 2012
pukul 12.37 WIB

3

http://www.jurnas.com/halaman/4/2012-02-22/199927; diakses tanggal 22 Juli pukul 12.49 WIB

4

http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=223122:kinerja-pemprovsumut-belum-baik&catid=14:medan&itemid=27; diakses pada tanggal 22 Juli 2012 pukul 13.15
WIB

Universitas Sumatera Utara

Dalam LAKIP ini, disampaikan oleh Sekdaprov Sumut, Nurdin
Lubisdidapati belum adanya keterkaitan (sinerji) antara Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dengan Rencana Strategis (Renstra), Rencana

Kerja (Renja) hingga penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA). Selain
itu, Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) di lingkungan Pemprov Sumut juga belum menunjukan indikator yang
jelas dan terukur, bahkanternyata ditemukan adanya kegiatan SKPD yang tidak
tercantum dalam Renstra dan Renja organisasi yang bersangkutan. 5
Salah satu SKPD yang turut wajib memberikan laporan akuntabilitas
kinerjanyaadalah Dinas Kebersihan Kota Medan yang bertanggung jawab atas
penyelenggara urusan pelayanan umum di bidang kebersihan, termasuk
pengelolaan sampah Kota Medan.
Berdasarkan data statastik yang ada peningkatan jumlah penduduk
menyebabkan peningkatan volume sampah yang dihasilkan tiap harinya. pada
tahun 2006, jumlah penduduk kota Medan sebanyak 2.068.400 jiwa dan jumlah
volume sampah mencapai 4.382,00m³/ hari. Pada tahun 2007, jumlah penduduk
mencapai 2.067.288 jiwa dan volume sampah sebesar 4.382,00m³/hari. Jumlah
volume sampah ini meningkat drastis di tahun 2009 menjadi 5.616 m³/hari (1.404
ton/hari) dan mencapai 1700 ton perhari di tahun 2011. 6Bahkan jika diperhatikan
lagi di setiap sudut Kota Medan masih sering ditemukan tumpukan sampah yang
sangat mengganggu pemandangan dan pastinya mempengaruhi kesehaan
5


http://www.antarasumut.com/kinerja-aparatur-pemprov-sumut-bernilai-c/; diakses pada tanggal
22 Juli 2012 pukul 13.25 WIB

6

http://narasibumi.blog.uns.ac.id/2009/04/17/kondisi-persampahan-kota-di-indonesia/ diakses pada
hari Rabu, 11 Juli 2012, pukul 08.38 WIB

Universitas Sumatera Utara

masyarakat. Warga kota Medan sendiri pun turut memberikan penilaian akan
pelayanan kebersihan dalam bentuk protes dan kekecewaan atas terpilihnya
Medan untuk meraih penghargaan Piala Adipura tahun 2011. Penghargaan itu
dinilai sebagai suatu teguran yang sangat memalukan. 7 Oleh karena itu,
sesungguhnya Dinas Kebersihan Kota Medan memiliki tanggung jawab yang
berat untuk dapat mencapai visi yang diemban, yaitu mewujudkan pelayanan
kebersihan yang prima. Hal ini sangat kontradiksi dengan hasil capaian Kinerja
Instansi Dinas Kebersihan Kota Medan dalam LAKIP tahun 2009 dan 2010 yang
menyandang predikat sangat baikyang salah satu program kerjanya adalah
peningkatan sarana dan prasarana kebersihan. 8

Dari beberapa uraian di atas tampak bahwa dinas kebersihan sebagai
instansi pemerintah wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya dalam mencapai
visi dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu penulis
tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Implementasi Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) pada Dinas Kebersihan Kota Medan”

I.2

Fokus Masalah
Adapun yang menjadi fokus Dinas Kebersihan Kota Medan dalam

mengimplementasikanAkuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) secara
khusus dalam penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
(LAKIP). Dalam hal ini penentuan fokus masalah didasarkan pada penemuan

7

http://sampah%20%20Piala%20Adipura%20Menghina%20Masyarakat%20Medan, %20
Benarkah %20%20-% 20Harian%20Analisa.htm diakses tanggal 17 Juni 2012


8

Laporan Akuntabilitas Dinas Kebersihan Kota Medan tahun 2009 dan 2010

Universitas Sumatera Utara

kondisi di lapangan yaitu pada Dinas Kebersihan Kota Medan dari hasil penelitian
pendahuluan yang dilakukan oleh penulis. Saat bertanya tentang pelaksanaan
AKIP maka kecenderunga pegawai Dinas Kebersihan Kota Medan langsung
mengarahkan jawaban mereka pada LAKIP. mencob untuk mendalami fenomena
ini dan penulis mendapati bahwa pengerjaan LAKIP menjadi poin sentral dalam
pelaksanaan AKIP ini.

I.3

Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam fokus masalah yang

disajikan maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah
implementasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) pada Dinas
Kebersihan Kota Medan?

I.4

Tujuan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah pasti memiliki

tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis melalui
penelitian ini adalah:
1. Untuk melihat penerapan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP)
pada Dinas Kebersihan Kota Medan
2. Untuk mengetahui bagaimana kendala-kendala atau hambatan dalam
penerapan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) pada Dinas
Kebersihan Kota Medan.

Universitas Sumatera Utara

I.5

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah:

1.

Secara subjektif, untuk mengembangkan pengetahuan dan wawasan dalam
melatih kemampuan berpikir ilmiah dalam pembuatan karya ilmiah.

2.

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi
Dinas Kebersihan Kota Medan dalam rangka peningkatan akuntabilitas
kinerja instansi

3.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan ilmiah, referensi
dan

tambahan

informasi

bagi

para

pembaca

mengenai

kebijakan

Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP)

I.6

Kerangka Teori
Sebelum melakukan penelitian lebih lanjut, seorang peneliti perlu

menyusun suatu kerangka teori (tinjauan pustaka) sebagai landasan berpikir untuk
menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang dipilih. Dalam
penelitian ini dalam penelitian ini yang menjadi kerangka teori yaitu:
I.6.1

Kebijakan Publik

I.6.1.1 Pengertian Kebijakan Publik
Secara etimologis, istilah kebijakan publik atau policy berasal dari bahasa
Yunani “polis” berarti negara kota yang kemudian masuk ke dalam bahasa Latin
menjadi “politia” yang berarti negara. Akhirnya masuk ke dalam bahasa Inggris

Universitas Sumatera Utara

“policie” yang artinya berkenaan dengan pengendalian masalah-masalah atau
administrasi pemerintahan. 9
Istilah “kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk menunjuk perilaku
seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga
pemerintah) atau atau sejumlah aktor dalam jumlah kajian tertentu. Pengertian
kebijakan seperti ini dapat kita gunakan dan relatif memadai untuk keperluan
pembicaraan-pembicaraan biasa, namun menjadi kurang memadai untuk
pembicaraan yang bersifat ilmiah dan sistematis menyangkut analisis kebijakan
publik.
Untuk keperluan analisis ada beberapa batasan yang dapat digunakan,
salah satunya merupakan definisi mengenai kebijakan publik yang diberikan oleh
Robert Eyestone. Ia mengatakan bahwa “secara luas” kebijakan publik dapat
didefiniskan sebagai “hubungan suatu unit pemerintahan dengan lingkungannya”.
Batasan lain diberikan oleh Thomas R. Dye yang mengatakan bahwa kebijakan
publik adalah apa yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak
dilakukan. 10Definisi kebijakan publik dari Thomas R. Dye ini mengandung makna
bahwa kebijakan publik tersebut dibuat oleh pemerintah, bukan organisasi swasta
dan kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak
dilakukan oleh badan pemerintah. 11

9

William Dunn. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta:Gajah Mada University
Press. Hal 22-25

10

Budi Winarno. 2004. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo. Hal
16

11

AG. Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik; Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Hal 2

Universitas Sumatera Utara

Chandler dan Plano (1988) berpendapat bahwa kebijakan publik adalah
pemanfaataan strategis terhdap sumberdaya – sumberdaya yang ada utuk
memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Dalam kenyataannya
kebijakan tersebut telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi
pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan masalah-masalah publik.
Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi
yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan
kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup dan
berpartisipasi dalam pembangunan secara luas. 12
Sedangkan Anderson (1975) memberikan definisi kebijakan publik
sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat
pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah 1) kebijakan publik selalu
mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi
pada tujuan; 2) kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah; 3)
kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah,
jadi bukan merupakan apa yang dimaksudkan untuk dilakukan; kebijakan publik
yang diambil bisa bersifat positifdalam arti merupakan tindakan pemerintah
mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti
merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; 5) kebijakan
pemerintah setidak-tidaknya dalam arti positif didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang bersifat mengikat dan memaksa. Dari berbagai uraian

12

Budi Winarno, op.cit., hal 16

Universitas Sumatera Utara

di atas dan sejalan dengan pendapat dari Charles O. Jones (1977) bahwa kebijakan
publik terdiri dari komponen-komponen :
1. Goals atau tujuan yang diinginkan
2. Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan
3. Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan
4. Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan ,
membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program
5. Efek, yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak, primer atau
skunder). 13
Meskipun terdapat berbagai definisi kebijakan publik (public policy)
seperti yang telah dikemukan di awal, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan oleh pemerintah
yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan
seluruh masyarakat.

I.6.1.2 Tahapan Kebijakan Publik
Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena
melibatkan banyak proses dan variabel yang harus dikaji. Oleh sebab itu terdapat
tahapan-tahapan proses penyusunan kebijakan kebijakan publik. Menurut William
Dunn, tahapan-tahapan kebijakan publik terdiri dari:

13

Hesel Nogi S, Tangkilisan. 2003. Kebijakan Publik yang Membumi. Yogyakarta:Lukman Offset
YPAPI. Hal 2-3

Universitas Sumatera Utara

1. Tahap penyusunan agenda. Dalam tahapan ini para pejabat memilih dan
mengangkat permasalahan publik yang dinilai paling penting dan dimasukkan
ke dalam agenda kebijakan
2. Tahap formulasi kebijakan, masalah yang telah disusun dalam agenda
kebijakan didefiniskan untuk kemudian dicari pemecahan yang terbaik
3. Tahap adopsi kebijakan yaitu dengan melakukan adopsi terhadap salah satu
kebijakan yang dianggap baik dengan dukungan mayoritas legislatif,
konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan
4. Tahap implementasi kebijakan. Program kebijakan yang telah ditentukan
sebagai alternatif terbaik bagi pemecahan masalah dilaksanakan oleh badanbadan administrasi maupun agen-agen pemerintah tingkat bawah yang
memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia
5. Tahap penilaian kebijakan ini dilakukan untuk melihat sejauh mana sebuah
kebijakan mampu memecahkan masalah dengan menggunakan kriteria-kriteria
sebagai

dasar

untuk

melihat

dampak

kebijakannya

yang

telah

diimplementasikan. 14

14

Budi Winarno, op.cit., hal 28-30.

Universitas Sumatera Utara

Dalam pandangan Ripley (1985), tahapan kebijakan publik digambarkan sebagai
berikut: 15

Penyusunan
Agenda

Hasil

Formulasi &
Legitimasi
Kebijakan

Agenda
Pemerintah

Diikuti
Kebijakan

Hasil

Diperlukan
Implementasi
Kebijakan

Evaluasi
terhadap
implementasi,
kinerja
dan
dampak
kebijakan

Hasil

Tindakan
Kebijakan

Diperlukan

Mengarah ke
Kinerja dan
Dampak
Kebijakan

Kebijakan
Baru

Gambar 1.1. Tahapan Kebijakan Publik
Dengan demikian setiap kebijakan selalu melewati proses analisa dan
pengujian sebelum akhirnya diputuskan untuk ditetapkan dan diimpelementasikan
untuk memcahkan sebuah permasalahan publik.
15

AG. Subarsono, op.cit., hal 11

Universitas Sumatera Utara

I.6.2

Implementasi Kebijakan

I.6.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan
Kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen
dasar, yaitu tujuan yang luas, sasaran yang spesifik dancara untuk mencapai
sasaran tersebut. Komponen yang ketiga yaitu cara, merupakan komponen yang
berfungsi untuk mewujudkan dua komponen yang pertama. Cara inilah yang
disebut dengan implementasi. 16
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses
kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar
mempunyai dampak dan tujuan yang diinginkan. Suatu program kebijakan hanya
akan menjadi catatan-catatan elite, jika program tersebut tidak pernah
diimplementasikan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang
luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang dimana berbagai aktor,
organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan
kebijakan dalam upaya meraih tujuan-tujuan kebijakan dan program-program. 17
Sementara itu, Van Meter dan Van Horn membatasi implementasi
kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu
(kelompok-kelompok) pemerintah atau swasta yang diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan
sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah
keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu

16

Samudra Wibawa. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal: 15

17

Riant Nugroho. 2006. Kebijakan untuk Negara-negara Berkembang (Model-model Perumusan
Implementasi dan Evaluasi). Jakarta: Elex Media Komputindo. Hal 31

Universitas Sumatera Utara

tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai
perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan. Yang perlu ditekankan
disini adalah bahwa tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum
tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran ditetapkan atau diidentifikasikan oleh
keputusan-keputusan kebijakan. 18
Dengan

demikian

tahapan

implementasi

ini

merupakan

bentuk

mewujudnyatakan setiap kebijakan dan perencanaan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Proses ini berlangsung dan sangat menentukan bagaimana sebuah
solusi dari permasalan yang ada dikerjakan sehingga benar-benar memberikan
dampak sesuai dengan yang diharapkan sejak awal.

I.6.2.2 Model Implementasi Kebijakan George Edwards III
Menurut Edwards, studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi
publicadministration dan publik policy. Implementasi kebijakan adalah tahap
antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi
masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak
dapat mengurangi masalah yang

merupakan sasaran dari kebijakan, maka

kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu
diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu suatu kebijakan yang
cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut
kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.

18

Budi Winarno, op.cit., hal 101

Universitas Sumatera Utara

Dalam mengkaji implementasi kebijakan, Edwards mulai dengan
mengajukan dua buah pertanyaan, yakni : prakondisi-prakondisi apa yang
diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil? Dan hambatanhambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal. Edwards
berusaha menjawab kedua pertanyaan penting ini dengan membicarakan empat
faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan. Faktor atau variabel
tersebut

adalah

komunikasi,

sumber-sumber

kebijakan,

kecenderungan-

kecenderungan atau tingkah laku-tingkah laku dan struktur organisasi.
Menurut Edwards III, oleh karena empat faktor yang berpengaruh terhadap
implementasi kebijakan bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama lain
untuk membantu dan menghambat implementasi kebijakan, maka pendekatan
yang ideal adalah dengan cara merefleksikan kompleksitas ini dengan membahas
semua faktor tersebut sekaligus. Untuk memahami suatu implementasi kebijakan
perlu menyederhanakan, dan untuk menyederhanakan perlu merinci penjelasanpenjelasan tentang implementasi dalam komponen-komponen utama. Patut
diperhatikan disini bahwa implementasi dari setiap kebijakan merupakan suatu
proses yang dinamis yang mencakup banyak interaksi dari banyak variabel. Oleh
karenanya tidak ada variabel tunggal dalam proses implementasi, sehingga perlu
dijelaskan keterkaitan antara satu variabel dengan variabel yang lain dan
bagaimana variabel-variabel ini mempengaruhi proses implementasi kebijakan.

Universitas Sumatera Utara

Komunikasi

Sumberdaya
Implementasi
Disposisi

Struktur
Organisasi

Gambar 1.2. Model Implementasi Edward III

1.

Komunikasi
Secara umum, Edwards membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi
kebijakan, yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan. Menurut Edwards,
prasyarat pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa
mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang mereka
lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus
diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan itu dapat diikuti.
Tentu saja komunikasi-komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan
cermat oleh para pelaksana. Berikut akan dijelaskan lebih rinci unsur dari
komunikasi, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

a. Transmisi.
Faktor utama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah
transmisi. Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan,
ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan satu perintah
untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan
proses yang langsung sebagaimana tampaknya. Banyak sekali ditemukan
keputusan-keputusan tersebut diabaikan atau jika tidak demikian,
seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan-keputusan yang
dikeluarkan.
Ada beberapa hambatan yang timbul dalam mentransmisikan perintah
implementasi. 1) Pertentangan pendapat antara para pelaksana dengan
perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan. Pertentangan
terhadap kebijakan ini akan menimbulkan hambatan atau distorsi seketika
terhadap komunikasi kebijakan. Hal ini terjadi karena para pelaksana
menggunakan keleluasaan yang tidak dapat mereka elakkan dalam
melaksanakan keputusan-keputusan dan perintah umum. 2)Informasi
melewati berlapis-lapis hierarki birokrasi. Penggunaan sarana komunikasi
yang tidak langsung mungkin juga mendistorsikan perintah-perintah
pelaksana.
b. Kejelasan.
Jika kebijakan-kebijakan diimpelentasikan sebagaimana yang diinginkan,
maka petunjuk-petunjuk pelaksana tidak hanya harus diterima oleh para
pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas.

Universitas Sumatera Utara

Namun demikian, ketidakjelasan pesan komunikasi kebijakan tidak selalu
menghalangi implementasi. Pada tataran tertentu, para pelaksana
membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Edwards
mengidentifikasikan

enam

faktor

yang

mendorong

terjadinya

ketidakjelasan komunikasi kebijakan, yaitu: kompleksitas kebijakan
publik,

keinginan

untuk

tidak

mengganggu

kelompok-kelompok

masyarakat, kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan,
masalah-masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, menghindari
pertanggungjawaban kebijakan, dan sifat pembuatan kebijakan pengadilan.
c. Konsistensi.
Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintahperintah pelaksanaan harus konsisten. Perintah-perintah implementasi
kebijakan yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana
mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan
mengimplementasikan kebijakan. Bila hal ini terjadi maka akan berakibat
pada ketidakefektivan implementasi kebijakan.
Menurut Edwards dengan menyelidiki hubungan antara komunikasi dan
implementasi maka kita dapat mengambil generalisasi, yakni bahwa
semakin cermat keputusan-keputusan dan perintah-perintah pelaksanaan
diteruskan kepada mereka yang harus melaksanakannya, maka semakin
tinggi probabilitas keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah
pelaksanaan tersebut dilaksanakan.

Universitas Sumatera Utara

2. Sumber-sumber.
Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan
konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang
diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini
pun cenderung tidak efektif. Dengan demikian, sumber-sumber dapat menjadi
faktor yang penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumber-sumber
yang penting meliputi staff yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik
untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas
yang diperlukan untuk menterjemahkan usul-usul di atas kertas guna
pelaksakan pelayanan publik.
a. Staf.
Barangkali sumber yang paling penting dalam melaksanakan kebijakan
adalah staf. Satu hal yang harus diingat adalah bahwa jumlah tidak selalu
mempunyai efek positif bagi implementasi kebijakan. Kasus rendahnya
pelayanan birokrasi di Indonesia menjadi contoh kasus yang dapat
digunakan untuk menjelaskan proporsi ini. Pelayanan publik di Indonesia
sering kali dinyatakan lamban dan cenderung tidak efesien. Penyebabnya
bukan terletak pada jumlah staf yang menangani pelayanan publik tersebut,
tetapi lebih pada kurangnya sumber daya manusia dan rendahnya motivasi
para pegawai. Dengan demikian tidaklah cukap hanya dengan jumlah
pelaksana yang memadai, namun harus disertai dengan keterampilanketerampilan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan. Salah satu
masalah yang dihadapi oleh pemerintah adalah sedikitnya pejabat yang

Universitas Sumatera Utara

mempunyai keterampilan-keterampilan pengelolaan. Seringkali mereka
yang mempunyai latar belakang profesional yang dinaikkan pangkatnya
sampai mereka menjadi administrator-administrator. Lagi pula mereka
seringkali tidak mempunyai keahlian pengelolaan bagi kedudukan mereka
yang baru. Latihan atau training yang diberikan kepada para pelaksana ini
sangat minim, sehingga kemampuan profesional mereka mengalami
kenaikan yang cukup lambat. Sementara itu pejabat-pejabat di tingkat atas,
yaitu pejabat yang dipilih berdasarkan politik mempunyai kedudukan yang
relatif singkat sehingga kurang menanamkan kemampuan jangka panjang.
Kurangnya keterampilan-keterampilan pengelolaan merupakan masalah
besar yang dihadapi oleh pemerintah daerah. Hal ini disebabkan oleh
minimnya sumber daya yang digunakan untuk latihan profesional. Faktor
lain adalah kesulitan dalam merekrut dan mempertahankan administratoradministrator yang kompeten karena umumnya gaji, prestise dan jaminan
kerja mereka yang rendah. Dalam banyak kasus, rendahnya jaminan kerja
telah mendorong banyak orang untuk menghindari pekerjaan di birokrasi
pemerintah. Orang-orang yang mempunyai kemampuan cenderung bekerja
di sektor swasta atau di luar pemerintah karena mempunyai jaminan kerja
yang baik.
b. Informasi.
Informasi merupakan sumber penting kedua dalam implementasi
kebijakan. Informasi mempunyai dua bentuk. Pertama, informasi mengenai
bagaimana melaksanakan suatu kebijakan. Pelaksana-pelaksana perlu

Universitas Sumatera Utara

mengetahui

apa

yang

dilakukan

dan

bagaimana

mereka

harus

melakukannya. Bentuk kedua dari informasi ini adalah data tentang
ketaatan personil-personil lain terhadap peraturan-peraturan pemerintah.
Pelaksana-pelaksana harus mengetahui apakah orang-orang lain yang
terlibat dalam pelaksanaan kebijakan ini mentaati undang-undang ataukah
tidak. Kurangnya pengetahuan tentang bagaimana mengimplementasikan
beberapa kebijakan mempunyai beberapa konsekuensi langsung, antara lain
1) Beberapa tanggung jawab secara sungguh-sungguh tidak akan dapat
dipenuhi

atau

tidak

dapat

dipenuhi

tepat

pada

waktunya.

2)

Ketidakefisienan. Kebijakan yang tidak tepat menyebabkan unit-unit
pemerintah lain atau organisasi-organisasi dalam sektor swasta membeli
perlengkapan, mengisi formulir atau menghentikan kegiatan-kegiatan yang
tidak diperlukan.
c. Wewenang.
Wewenang ini akan berbeda-beda dari satu program ke program lainnya
serta mempunyai banyak bentuk yang berbeda. Namun demikian, dalam
beberapa hal suatu badan mempunyai wewenang yang terbatas atau
kekurangan wewenang untuk melaksanakan suatu kebijakan dengan tepat.
Bila wewenang formal tidak ada, atau sering disebut dengan wewenang di
atas kertas, seringkali salah dimengerti oleh para pengamat dengan
wewenang yang efektif. Padahal keduanya mempunyai perbedaan yang
substansial. Wewenang di atas kertas atau wewenang formal adalah suatu
hal, sedangkan apakah wewenang tersebut digunakan secara efektif adalah

Universitas Sumatera Utara

hal lain. Dengan demikian, bisa saja terjadi suatu badan mempunyai
wewenang formal yang besar, namun tidak efektif dalam menggunakan
wewenang tersebut. Menurut Edwards kita dapat memahami mengapa hal
ini terjadi dengan menyelidiki salah satu dari sanksi-sanksi yang paling
potensial

merusak

dari

yurisdiksi-yurisdiksi

tingkat

tinggi,

yakni

wewenang menarik kembali dana dari suatu program. Lindblom
mengemukakan beberapa ciri kewenangan, yakni: kewenangan selalu
bersifat khusus; kewenangan, baik sukareka maupun paksaan, merupakan
konsesi dari mereka yang mau tunduk; kewenangan itu rapuh; dan yang
terakhir, kewenangan diakui karena berbagai sebab. Menurut Lindlom,
sebab-sebab kewenangan terdiri dari dua hal pokok, yakni: pertama,
sebagian orang beranggapan bahwa mereka lebih baik jika ada seseorang
yang memerintah. Kewenangan mungkin juga ada karena adanya ancaman,
teror, dibujuk, diberi keuntungan dan lain sebagainya.
d. Fasilitas-fasilitas
Fasilitas fisik mungkin juga merupakan sumber-sumber penting dalam
implementasi. Seorang pelaksana mungkin memiliki staf yang memadai,
mungkin memahami apa yang harus dilakukan dan mungkin mempunyai
wewenang untuk melakukan tugasnya, tetapi tanpa bangunan sebagai
kantor untuk melakukan koordinasi, tanpa perlengkapan, tanpa perbekalan,
maka besar kemungkinan implementasi yang dicanangkan tidak akan
berhasil.

Universitas Sumatera Utara

3. Kecenderungan-kecenderungan
Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga yang
mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi kebijkan
yang efektif. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan
tertentu, dalam hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka
melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat
keputusan di awal. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku-tingkah laku
atau perspektif-perspektif para pelaksana berbeda dengan para pembuat
keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit.
Dalam beberapa kasus, karena sifat dari kebijakan serta sifat dari sistem
pengadilan, seringkali suatu kebijakan dilaksanakan oleh yurisdiksi yang lain.
Hal ini berakibat pada semakin terbukanya interpretasi terhadap kebijakan
yang dimaksud dan bila hal ini benar-benar terjadi maka akan berakibat pada
semakin sulitnya implementasi kebijakan, sebab interpretasi yang terlalau
bebas terhadap kebijakan akan semakin mempersulit implementasi yang efektif
dan besar kemungkinan implementasi yang dijalankan menyimpang dari tujuan
awalnya. Mengingat pentingnya kecenderungan – kecenderungan ini bagi
implementasi kebijakan yang efektif, maka akan dibahas dampak dari
kecenderungan –kecenderungan tersebut terhadap implementasi kebijakan.
a. Dampak dari kecenderungan-kecenderungan
Menurut Edwards banyak kebijakan masuk dalam “zona ketidakacuhan”.
Ada kebijakan yang dilaksanakan secara efektif karena mendapat
dukungan dari para pelaksana kebijakan, namun kebijakan-kebijakan lain

Universitas Sumatera Utara

mungkin akan bertentangan secara langsung dengan pandangan-pandangan
pelaksana kebijakan atau kepentingan-kepentingan pribadi atau organisasi
dari para pelaksana. Jika orang diminta untuk melaksanakan perintahperintah yang tidak mereka setujui, maka kesalahan-kesalahan yang tidak
dapat dielakkan terjadi, yakni antara kebijakan-kebijakan keputusan dan
pencapaian kebijakan. Dalam kasus-kasus seperti ini, maka para pelaksana
kebijakan akan menggunakan keleluasaan dan kadang-kadang dengan
cara-cara yang halus untuk menghambat implementasi.Para pejabat dalam
birokrasi pemerintah merupakan pelaksana-pelaksana yang paling umum
dan penting dalam mengetahui

pengaruh-pengaruh tertentu pada

kecenderungan- kecenderungan atau tingkah laku-tingkah laku mereka,
bila dibandingkan dengan para hakim dan pelaksana kebijakan
swasta/nonpemerintah. Badan-badan birokasi pemerintah mempunyai
beberapa karakteristik yang mungkin tidak dipunyai oleh badan-badan
lainnya, yaitu:
1) Badan-badan biroktasi pemerintah lebih bersifat homogen
Tingkah laku yang homogen ini berkembang karena model rekruitmen
staf baru yang berlangsung secara selektif. Mereka yang tertarik
bekerja

dalam

badan-badan

pemerintah

mungkin

mendukung

kebijakan yang dijalankan oleh badan-badan itu. Badan-badan ini lebih
suka mempekerrjakan orang-orang yang mempunyai pikiran yang
sama sehingga mendorong timbulnya lingkungan yang secara relatif
seragam dimana pembuatan kebijakan dilakukan.

Universitas Sumatera Utara

2) Berkembangnya pandangan-pandangan parokial. Sifat parokial ini
didukung oleh beberapa faktor, yakni: a) terlalu sedikitnya jumlah
pembuat keputusan tingkat tinggi yang menghabiskan masa jabatannya
dalan suatu badan atau departemen. Karena orang ingin percaya apa
yang mereka lakukan untuk hidupnya, maka hubungan-hubungan lama
akan sangat mempengaruhi tingkah laku para birokrat. Suatu hasil dari
pengelompokan

ini

adalah

bahwa

komunikasi-komunikasi

antarorganisasi terutama berlaku dikalangan orang-orang yang
mempunyai pandangan yang sama dan memperkuat parokialisme
birokrasi dengan hubungan mereka yang terus berlanjut. b) pengaruhpengaruh yang datang dari luar. Seperti diungkapkan Edwards, kita
sering

menemukan

fakta

bahwa

apabila

kelompok-kelompok

kepentingan dan komite-komite dalan badan legislatif mendukung satu
badan, maka mereka akan mengharapkan imbalan dukungan birokrasi
yang berkesinambungan. Kondisi seperti ini akan menciptakan suatu
lingkungan yang baik bagi perkembangan parokialisme. Pandangan
parokialisne ini mempunyai pengaruh yang cukup kuat bagi
implementasi kebijakan yang efektif. Beberapa pejabat diangkat
dengan alasan-asalan politik dan dalam waktu yang singkat.
Akibatnya, mereka cenderung menggunakan pandangan-pandangan
unit birokrasi yang sempit. Ketergantungan pejabat-pejabat tersebut
pada pejabat-pejabat bawahan karena ingin mendapatkan informasi
dan nasehat, kebutuhan untuk mempertahankan moral organisasi

Universitas Sumatera Utara

dengan mendukung pandangan-pandangan yang ada, serta tekanantekanan dari para klien bercampur menjadi satu yang pada akhirnya
mendorong pejabat-pejabat tinggi untuk tidak mempertahankan
kepentingan publik.
a. Dampak

dari

kekuatan-kekuatan

ini

adalah

seringnya

birokrat

mengesampingkan implementasi kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan
oleh pejabat-pejabat tinggi. Lebih dari itu para pelaksana akan cenderung
melihat kepentingan organisasi mereka sebagai prioritas yang tinggi. Hal
ini lah yang menjadi penyebab bagi munculnya perbedaan antara pembuat
keputusan

puncak

dan

mendorong

ketidakefektivan

implementasi

kebijakan.
b. Pengangkatan birokrat.
Kecenderungan-kecenderungan

pelaksana

menimbulkan

hambatan-

hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan. Hanya yang
menjadi persoalan adalah bila personil yang ada tidak melaksanakan
kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabat tinggi, mengapa mereka
tidak diganti dengan orang yang lebih bertanggung jawab kepada
pemimpin-pemimpin mereka? Untuk menjawab pertanyaan ini, barangkali
kita dapat merujuk pada suatu kasus pengangkatan pejabat eksekutif oleh
presiden. Dalam pengangkatan pejabat tinggi, presiden sering menemui
hambatan politik. Biasanya presiden beranggapan bahwa pengangkatan
pejabat-pejabat tinggi ini harus menunjukkan perimbangan geografis,
ideologi, kesukuan, seks dan karakteristik-karakteristik kependudukan lain

Universitas Sumatera Utara

yang menonjol pada suatu waktu. Sebenarnya, dalam mencari pejabatpejabat tinggi ini hanya beberapa saja dari jumlah orang yang benar-benar
memenuhi syarat untuk pekerjaan-pekerjaan yang tersedia, tetapi karena
kebutuhan politik maka presiden akan mengangkat lebih banyak pejabat.
Pengangkatan pejabat tinggi lantas tidak lagi semata-mata kapasitasnya
untuk menduduki suatu jabatan tertentu, tetapi lebih mengarah pada
pertimbangan

–pertimbangan

politik,

seperti

misalnya

untuk

mengakomodasi berbagai kepentingan. Keuntungan-keuntungan politik
yang didapat dari model seperti ini mungkin menyenangkan pendukungpendukung politik, tetapi mereka tidak akan memberikan landasan bagi
administrasi yang sehat. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa
pertimbangan-pertimbangan politik dalam pengangkatan pejabat tinggi
akan menghambat implementasi kebijakan yang efektif.
c. Beberapa insentif.
Mengubah personil dalam birokrasi pemerintah merupakan pekerjaan yang
sulit dan tidak menjamin proses implementasi dapat berjalan lancar.
Menurut Edwards salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi
masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi
insentif-insentif. Oleh karena pada umumnya orang bertindak menurut
kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif-insentif oleh para
pembuat kebijakan tingkat tinggi bisa kemungkinan mempengaruhi
tindakan-tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah
keuntungan-keuntungan atau biaya-biaya tertentu barangkali akan menjadi

Universitas Sumatera Utara

faktor pendorong yang membuat para pelaksana melaksanakan perintah
dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingankepentingan pribadi, organisasi atau kebijakan substanstif.
4. Struktur Birokrasi
Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara
keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau
tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatan kolektif,
dalam rangka memecahkan masalah-masalah sosial dalam kehidupan modern.
Mereka tidak hanya berada dalam struktur pemerintah, tetapi juga dalam
organisasi-organsiasi swasta yang lain bahkan di institusi-institusi pendidikan
dan kadang kala satu sistem birokrasi sengaja diciptakan untuk menjalankan
suatu kebijakan tertentu. Ripley dan Franklin, berdasarkan pengamatan yang
dilakukan terhadap birokrasi Amerika, mengidentifikasi enam karakteristik
birokrasi, yakni: 1) Birokrasi dimana pun berada, dipilih sebagai instrumen
sosial yang ditujukan untuk masalah-masalah yang didefinisikan sebagai
urusan publik 2) Birokrasi merupakan institusi yang didominan dalam
pelaksanaan program kebijakan, yang tingkat kepentingannya berbeda-beda
untuk masing-masing tahap. 3) Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang
berbeda. 4) Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang luas dan kompleks.
5)Birokrasi jarang mati, naluri untuk bertahan hidup tidak perlu dipertanyakan
lagi. 6) Birokrasi bukan merupakan sesuatu yang netral dalam pilihan-pilihan
mereka, tidak juga secara penuh dikontrol oleh kekuatan-kekuatan yang berasal
dari luar dirinya. Otonomi yang mereka miliki membuat mereka mempunyai

Universitas Sumatera Utara

kesempatan untuk melakukan tawar menawar guna meraih pembagian yang
dapat diukur dari pilihan yang mereka ambil. Dengan merujuk pada peran yang
dijalankan birokrasi dalam proses implementasi seperti diungkapkan di atas,
maka mengetahui struktur birokrasi merupakan faktor yang fundamental untuk
mengkaji implementasi kebijakan. Pada dasarnya para pelaksana kebijakan
mungkin mengetahui apa yang dilakukan dan mempunyai cukup keinginan
serta sumber-sumber untuk melakukannya, namun dalam pelaksanaannya
mereka masih dihambat oleh struktur-struktur organisasi dimana mereka
menjalankan kegiatan tersebut. Menurut Edwards ada dua karakteristik utama
dari birokrasi, yakni:
a. Prosedur kerja (Standart Operating Procedures = SOP)
SOP berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas
dan sumber-sumber dari para pelaksana serta keinginan untuk keseragaman
dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas
yang pada gilirannya dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar (orang
dapat dipindahkan dengan mudah dari suatu tempat ke tempat lain) dan
kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan-peraturan. Kurangnya
sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan
dengan semestinya membantu dalam menjelaskan penggunaan SOP yang
berulang-ulang. Para pelaksana jarang mempunyai kemampuan untuk
menyelidiki dengan seksama dan secara individual setiap keadaan yang
mereka hadapi. Sebaliknya mereka mengandalkan pada prosedur-prosedur
biasa yang menyederhanakan pembuatan keputusan dan menyesuaikan

Universitas Sumatera Utara

tanggung jawab program dengan sumber-sumber yang ada. Sekali
prosedur- prosedur biasa ditetapkan, maka akan cenderung tetap berlaku.
Hal ini menguntungkan para pelaksana kebijakan karena kondisi seperti in
ditambah keinginan untuk memperoleh stabilitas dan kurangnya konflik
dan biaya yang tinggi dalam mengembangkan SOP, telah mendorong
pelestarian status quo. Namun demikian, prosedur- prosedur biasa yang
dirumuskan pada masa lalu mungkin dimaksudkan untuk meyelesaikan
keadaan-keadaan khusus yang berbeda dengan keadaan sekarang justru
akan menghambat perubahan dalam kebijakan karena prosedur- prosedur
biasa itu tidak sesuai dengan keadaan baru. Cara-cara yang lazim seringkali
ditetapkan terhadap tanggung jawab-tanggung jawab baru, tetapi cara ini
mungkin menghalangi implementasi dengan membatasi fleksibilitas yang
diperlukan untuk menanggapi keadaan-keadaan baru, menghambat
pengangkatan personil dengan kemampuan yang baik, dan tidak
mendorong teknik-teknik kerja yang tepat. Kadang-kadang organisasi
bahkan menghindari tanggung jawab yang baru karena pemimpinpemimpin mereka menganggapnya tidak konsisten dengan cara-cara yang
lazim ditetapkan. Di samping cara-cara yang disesuaikan dengan ukuran
dasar, pemakaian waktu dan pemborosan dapat menghambat implementasi.
Setiap komponen dalam sistem yang harus menjelaskan program-program
atau proyek-proyek menempatkan prioritas-prioritas bagi tindakan pada
program-program tertentu. Sementara pada sisi yang lain, prioritas-prioritas
untuk program-program biasa tidak sama besarnya dengan perhatian untuk

Universitas Sumatera Utara

program-program baru. Pemborosan akan terjadi bila cara-cara yang lazim
ditujukan untuk suatu tujuan dipertahankan selama waktu tertentu dan
diterapkan dalam keadaan yang sama sekali tidak perlu. SOP sangat
mungkin menghalangi implementasi kebijakan-kebijakan baru yang
membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk
melaksanakan kebijakan. Disamping itu, semakin besar kebijakan
membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang lazim dari suatu organisasi,
semakin besar pula probabilitas SOP menghambat implementasi. Namun
demikian, disamping menghambat implementasi kebijakan SOP juga
mempunyai manfaat. Organisasi dengan prosedur pelaksanaan yang luwes
dan kontrol yang besar atas program yang luwes mungkin lebih dapat
meyesuaikan tanggung jawab yang baru daripada birokrasi-birokrasi tanpa
mempunyai ciri-ciri seperti ini.
b. Fragmentasi
Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan
kebijakan adalah fragmentasi organisasi. Tanggung jawab bagi suatu
bidang kebijakan sering tersebar diantara beberapa organisasi, sering pula
terjadi desentralisasi kekuasaan tersebut dilakukan secara radikal guna
mencapai tujuan-tujuan kebijakan. Sifat multidimensi dari banyak
kebijakan juga ikut mendorong fragmentasi. Konsekuensi yang paling
buruk dari fragmentasi birokrasi adalah usaha untuk menghambat
koordinasi. Para birokrat dengan alasan-alasan prioritas dari badan-badan
yang berbeda, didorong untuk menghindari koordinasi dengan badan-badan

Universitas Sumatera Utara

lain.

Padahal

melaksanakan

penyebaran

wewenang

kebijakan-kebijakan

dan

yang

sumber-sumber

kompleks

untuk

membutuhkan

koordinasi. Hambatan ini diperburuk oleh struktur pemerintah yang
terpecah-pecah. Pada umumnya semakin besar koordinasi yang diperlukan
untuk melaksanakan kebijakan, semakin berkurang kemungkinan untuk
berhasil. Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit
dari banyak lembaga birokrasi. Hal ini akan menimbulkan dua konsekuensi
pokok yang merugikan bagi implementasi yang berhasil. 1) Tidak ada
orang yang akan mengahiri implementasi kebijakan dengan melaksanakan
fungsi-fungsi tertentu karena tanggung jawab suatu bidang kebijakan
terpecah-pecah. Di samping itu karena badan mempunyai yurisdiksi yang
terbatas atas suatu bidang, maka tugas-tugas yang penting mungkin akan
terdampar antara retak-retak organisasi. 2) Pandangan-pandangan yang
sempit dari badan-badan mungkin juga akan menghambat perubahan. Jika
suatu badan mempunyai fleksibilitas yang rendah dalam misi-misinya,
maka badan itu akan berusaha mempertahankan esensinya dan besar
kemungkinan

akan

menentang

kebijakan-kebijakan

baru

yang

membutuhkan perubahan. 19

I.6.3

Akuntabilitas
Istilah akuntabilitas dewasa ini menjadi wacana dan pembahasan oleh

masyarakat luas. Di Indonesia, kata ini sepertinya hal baru, padahal secara inheren
19

Budi Winarno. Op.cit., 125-153

Universitas Sumatera Utara

akuntabilitas sudah melekat pada setiap orang dan atau organisasi yang menerima
pendelegasian kewenangan.
Menurut LAN RI (2003), akuntabilitas adalah kewajiban untuk
menyampaikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menerangkan
kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif suatu organisasi
kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan
atau pertanggungjawaban. 20
Dari materi di atas dapat ditarik empat materi kunci yaitu sebagai berikut:
1. Akuntabilitas dalah kewajiban sebagai konsekuensi logisdari adanya
pemberian hak dan kewenangan
2. Kewajiban tersebut berbentuk pertanggungjawaban terhadap kinerja dan
tindakan
3. Kewajiban tersebut melekat pada seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif
4. Pertanggungjawaban ditujukan kepada pihak yang memiliki hak dan
berkewenangan untuk hal tersebut.
Pertama, karena merupakan kewajiban, akuntabilitas pada dasarnya
bersifat imperatif (keharusan). Artinya wajib dilaksanakan dan disertai sanksi bagi
yang melanggarnya. Kedua, akuntabilitas berkaitan dengan kinerja dan tindakan.
Kinerja merupakan keseluruhan hasil, manfaat, dan dampak dari suatu proses
pengolahan masukan guna mencapai tujuan yang diinginkan. Sedangkan tindakan
merupakan aktivitas aktif dari seseorang/ badan hukum/ pimpinan kolektif untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kinerja dan tindakan yang dilakukan
20

Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia. 2003. Pedoman Penyusunan Pelaporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Jakarta.

Universitas Sumatera Utara

berkaitan dengan hak dan kewenangan yang diberikan kepada seseorang/badan
hukum/ pimpinan kolektif. Ketiga, pelaksanaan kewajiban ditujukan kepada
seseorang/badan hukum/ pimpinan kolektif yang karena jabatannya memperoleh
hak dan kewenangan menjalankan tugas untuk mencapai tujuan organisasi.
Dengan demikian akuntabilitas dapat bersifat perorangan, kelompok, atau
organisasional. Keempat, akuntabilitas yang dilakukan oleh seseorang/ badan
hukum/ pimpinan kolektif ditujukan kepada pihak-pihak yang memiliki hak dan
kewenangan untuk meminta