Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor 1 Pid.Sus.Anak 2015 PN-STB)

BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP ANAK SEBAGAI
PELAKU TINDAK PIDANA BERDASARKAN UU NO. 11 TAHUN 2012
TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.
A. Pengaturan Hukum Perlindungan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
Indonesia menjamin hak asasi setiap warga negaranya dalam konstitusi,
termasuk jaminan dan perlindungan atas hak anak sebagai bagian dari hak asasi
manusia. Sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on
the Rights of the Child) yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap
anak, indonesia juga berkewajiban untuk memberikan perlindungan khusus
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Salah satu bentuk perlindungan
anak oleh Negara diwujudkan melalui sistem peradilan pidana khusus bagi anak
yang berhadapan dengan hukum. Sistem ini dibangun di atas landasan peraturan
perundang-undangan yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.47
Sistem Peradilan Pidana yang dilandasi Undang-Undang No. 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak tersebut ternyata belum memberikan perlindungan
optimal bagi anak, kemudian Undang-Undang ini tidak mengatur diversi untuk

mengalihkan perkara anak di luar jalur peradilan formal sehingga anak
mendapatkan stigmatisasi. Sebangun dengan permasalahan ini, Undang-Undang

47

Yutirsa Yunus, 2013, Analisis Konsep Restorative Justice Melalui Sistem Diversi
Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Jurnal Rechts Vinding Volume 2 Nomor 2
Agustus
2013,
Hal.231,
diakses
dari
www.rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal/Kumpulan%20Abstrak.pdf, diakses tanggal 4 April 2016
pukul 15.00 WIB.

Universitas Sumatera Utara

No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak belum mengakomodasi model
keadilan restoratif dengan melihat permasalahan di atas maka paradigma filosofi
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dapat dikatakan

menganut pendekatan yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman
(retributive). Model peradilan anak retributif tidak pernah mampu memberikan
kerangka kerja yang memadai bagi berkembangnya sistem peradilan anak, karena
kondisi anak yang belum stabil mengakibatkan pengaruh buruk yang timbul dari
penghukuman pidana kepada anak.48
Lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak memberi peneguhan terkait dengan perlindungan terhadap anak di
Indonesia. Undang-undang inilah yang memperkenalkan konsep diversi yang
bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan masyarakat pada umumnya
sebagai sebuah bentuk pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan
pidana ke proses di luar peradilan pidana demi mewujudkan keadilan restoratif
(restorative justice). 49
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak mulai diberlakukan dua tahun setelah tanggal pengundangannya, yaitu 30
Juli 2012 sebagaimana disebut dalam ketentuan penutupnya (Pasal 108 UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak). Artinya Undang-Undang Sistem
Peradilan Pidana Anak ini mulai berlaku sejak 31 Juli 2014. Undang-Undang
48

Yayasan Pemantau Hak Anak “ Situasi Umum Anak yang Berhadapan dengan Hukum

di Indonesia, diakses dari http://www.ypha.or.id/web/wp-content/uploads/2011/04/Situasi-UmumAnak-yang-Berhadapan-dengan-Hukum-di-Indonesia.pdf, diakses tanggal 11 April 2016 pukul
16.04 WIB.
49
Marlina, Buku 1, Op.cit, Hal. 17

Universitas Sumatera Utara

Sistem Peradilan Pidana Anak ini bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang
benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum. Undang-Undang Pengadilan Anak dinilai sudah tidak
sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara
komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan
dengan hukum.50
Secara substantif terdapat beberapa hal yang bertentangan dengan
semangat perlindungan terhadap anak seperti yang diatur dalam KHA. Ketentuan
yang bertentangan antara lain;
1. Usia minimum pertanggungjawaban pidana terlalu rendah.
2. Penggunaan istilah anak nakal bagi anak yang melakukan tindak pidana
yang seolah-olah sama dengan orang dewasa yang melakukan tindak
pidana.

3. Tempat pelaksanaan penahanan yang masih dilakukan di Rumah Tahanan
Negara, cabang Rumah Tahanan Negara.
4. Belum adanya pengaturan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum.
5. Belum melaksanakan proses Diversi dan Keadilan Restoratif.
6. Tidak adanya pengaturan secara jelas tentang aturan penangkapan dan
penahanan terhadap anak nakal.
7. Penjatuhan pidana yang masih bersifat retributif. 51
Berdasarkan penjelasan di atas, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, mengatur mengenai bentuk perlindungan
hak anak di dalam proses peradilan, dimana dalam hal ini anak sebagai pelaku
tindak pidana berhak untuk mendapatkan hak-haknya, sesuai dengan yang tertulis
di dalam Pasal 3, Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (3).

50

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt53f55d0f46878/hal-hal-penting-yangdiatur-dalam-uu-sistem-peradilan-pidana-anak diakses tanggal 11 April 2016 pukul 16.19 WIB.
51
Angger Sigit & Fuady, 2015, Sistem Peradilan Pidana Anak, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, Hal.39.


Universitas Sumatera Utara

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak menyatakan bahwa, setiap Anak dalam proses peradilan pidana,
dalam hal ini juga berarti anak sebagai pelaku tindak pidana berhak:
a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan
sesuai dengan umurnya;
b. dipisahkan dari orang dewasa;
c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. melakukan kegiatan rekreasional;
e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam,
tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir
dan dalam waktu yang paling singkat;
h. memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak
memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i. tidak dipublikasikan identitasnya;
j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya
oleh Anak;

k. memperoleh advokasi sosial;
l. memperoleh kehidupan pribadi;
m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n. memperoleh pendidikan;
o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak juga menjelaskan bahwa Anak yang sedang menjalani
masa pidana berhak:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

mendapat pengurangan masa pidana;
memperoleh asimilasi;
memperoleh cuti mengunjungi keluarga;

memperoleh pembebasan bersyarat;
memperoleh cuti menjelang bebas;
memperoleh cuti bersyarat; dan
memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 juga menjelaskan

bahwa dalam sistem peradilan pidana anak wajib diupayakan diversi.

Universitas Sumatera Utara

B. Perlindungan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Dalam Setiap Tahap
Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia.
Fungsi Peradilan Anak pada umumnya tidak berbeda dengan peradilan
lainnya yaitu menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara
yang diajukan kepadanya, namun untuk Peradilan Anak perkara yang ditangani
khusus yang menyangkut perkara anak. Pemberian perlakuan khusus dalam
rangka menjamin pertumbuhan fisik serta mental anak sebagai generasi penerus
yang harus diperhatikan masa depannya, dimana dalam hal ini untuk memberikan
suatu keadilan, hakim melakukan berbagai tindakan dengan menelaah terlebih
dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya. Hakim dalam

mengadili berusaha menegakkan kembali hukum yang dilanggar, oleh karena itu
biasa dikatakan bahwa hakim atau pengadilan adalah penegak hukum. Pengadilan
dalam mengadili harus berdasarkan hukum yang berlaku meliputi hukum yang
tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Bertolak dari hal tersebut maka dalam
pelaksanaanya, fungsi tersebut dijalankan oleh pejabat-pejabat khusus Peradilan
Anak, dengan kata lain, fungsi tersebut tidak akan tercapai tanpa adanya
pemegang peran yaitu pejabat-pejabat peradilan.52
Mengingat ciri dan sifat yang khas pada Anak dan demi pelindungan
terhadap Anak, perkara Anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan
di pengadilan pidana Anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Proses

52

Martha Lalungkan, 2015, Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Anak Dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak, Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015, diakses dari
download.portalgaruda.org/article.php, Hal.7, tanggal 6 April 2016 pukul 12.38 WIB.

Universitas Sumatera Utara

peradilan perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib

dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah Anak. 53
1. Perlindungan Hukum terhadap Anak pada Tahap Penyidikan.
a. Proses Penyidikan.
Penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik selama pemeriksaan
pendahuluan untuk mencari bukti-bukti tentang tindak pidana. Tindakan ini
meliputi pemanggilan dan pemeriksaan saksi-saksi, penyitaan barang bukti,
penggeledahan,

pemanggilan

dan

pemeriksaan

tersangka,

melakukan

penangkapan, penahanan. Pada saat melakukan penyidikan anak, hal tersebut
diusahakan dilaksanakan oleh polisi wanita, dan dalam beberapa hal, jika perlu

dengan bantuan polisi pria. Penyidik Anak juga harus mempunyai pengetahuan
seperti psikologi, psikiatri, sosiologi, pedagogi, antropologi, juga harus menyintai
anak dan berdedikasi, dalam menyilami jiwa anak dan mengerti kemauan anak.54
Berbicara mengenai penyidikan anak tersebut, penyidikan haruslah dalam
suasana kekeluargaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 Ayat (1), (2) dan
(3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
yang menyebutkan bahwa :
1. Dalam melakukan penyidikan terhadap perkara anak, penyidik wajib
meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan
setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan.

53

Joice H, 2015, Penangkapan Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana, Lex Crimen Vol.
IV/No.
4/Juni/2015,
diakses
dari
journal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/viewFile/894/8482, diakses tanggal 30 Maret 2016
pukul 18.30 WIB.

54
Maidin Gultom, Op.cit, Hal.127.

Universitas Sumatera Utara

2. Dalam hal dianggap perlu, penyidik dapat meminta pertimbangan atau
saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, pekerja sosial
professional atau tenaga kesejahteraan sosial dan tenaga ahli lainnya.
3. Dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap anak korban dan anak saksi,
penyidik wajib meminta laporan sosial dari pekerja sosial professional
atau tenaga kesejahteraan sosial setelah tindak pidana dilaporkan atau
diadukan.55
Bertolak dari hal tersebut, maka pada waktu pemeriksaan terhadap anak
yang berhadapan dengan hukum, seorang penyidik disarankan tidak memakai
seragam dinas dan dalam tugasnya harus melakukan pendekatan secara efektif,
aktif, dan simpatik, hal ini sesuai dengan pernyataan di dalam Pasal 22 UndangUndang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyatakan

bahwa Penyidik pada saat melakukan penyidikan terhadap anak yang diduga
pelaku tindak pidana, tidak memakai toga atau atribut kedinasan, oleh karena itu
dapat dikatakan bahwa Penyidik Anak dalam melakukan tugasnya harus
menggunakan pendekatan secara simpatik, dan

tidak melakukan tindakan

pemaksaan atau intimidasi, hal ini bertujuan agar menghindari ketakutan dan
trauma pada anak, selain itu agar dengan pakaian biasa dapat menjadikan
persidangan berjalan dengan lancar dan penuh kekeluargaan. 56
Proses penyidikan Anak wajib dirahasiakan. Pasal 19 Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa Identitas Anak, Anak Korban,
dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak
55

Pasal 27 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana

56

Martha Lalungkan, Op.cit, Hal.9

Anak.

Universitas Sumatera Utara

maupun elektronik. Identitas meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama
Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat
mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi. Tindakan
penyidik berupa penangkapan, penahanan dan tindakan lain yang dilakukan mulai
dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap penyidikan wajib dilakukan secara
rahasia. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak tidak memberikan sanksi
yang tergas terhadap penyidik, apabila kewajiban ini dilanggar, dan tidak
mengatur akibat hukum terhadap hasil penyidikan, hal ini mempengaruhi kualitas
kerja pihak penyidik dan sangat berpengaruh terhadap perlindungan anak. Anak
dapat menjadi korban dari ketidaktegasan Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak dan dapat mengakibatkan kerugian fisik, mental, dan sosial anak
karena dapat menghambat perkembangan fisik, mental dan sosial anak tersebut
dalam pergaulan hidupnya.57
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak juga wajib untuk
mengupayakan diversi pada tingkat penyidikan diatur dalam ketentuan Pasal 7,
Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Apabila diperinci, diversi dilakukan ditingkat penyidikan lazimnya dalam praktik
dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1. Setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan, kemudian dibuat Laporan
Polisi, maka penyidik wajib bersurat untuk meminta pertmbangan dan
saran tertulis dari petugas Pembimbing Kemasyarakatan atau Balai
Pemasyarakatan (Bapas);

57

Maidin Gultom, Op.cit, Hal.129-130.

Universitas Sumatera Utara

2. Hasil Penelitian Kemasyarakatan wajib diserahkan oleh Bapas kepada
penyidik dalam waktu paling lama 3 x 24 jam setelah permintaan penyidik
diterima;
3. Penyidik wajib mulai mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7
(tujuh) tahun hari setelah penyidikan dimulai dan proses diversi
dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi;
4. Apabila pelaku maupun korban setuju untuk dilakukan diversi, maka
polisi, Pembimbing Kemasyarakatan, Bapas, dan

Pekerja Sosial

Profesional memulai proses musyawarah penyelesaian perkara dengan
melibatkan

pihak

terkait,

dimana

proses

musyawarah

tersebut

dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi
dan penyidik membuat Berita Acara proses diversi. Akan tetapi, apabila
pelaku atau korban tidak mau dilakukan diversi, maka penyidikan perkara
tersebut dilanjutkan, dibuatkan Berita Acara Penyidikan dan perkara
dilimpahkan ke Penuntut Umum;
5. Apabila diversi berhasil dimana para pihak mencapai kesepakatan, hasil
kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi. Hasil
kesepakatan diversi tersebut disampaikan oleh atasan pejabat yang
bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan ke pengadilan negeri
sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari
terhitung sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan.
Kemudian Pengadilan mengeluarkan penetapan dalam waktu paling lama
3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan diversi. Penetapan

Universitas Sumatera Utara

tersebut disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik,
Penuntut Umum, atau Hakim dalam waktu paing lama 3 (tiga) hari sejak
ditetapkan. Setelah menerima penetapan tersebut Penyidik menerbitkan
penetapan penghentian penyidikan;
6. Apabila diversi gagal, Penyidik membuat Berita Acara Diversi dan wajib
melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke Penuntut Umum
dengan melampirkan Berita Acara Diversi dan Laporan Penelitian
Masyarakat dari petugas Pembimbing Kemasyarakatan/Bapas. 58
b. Penangkapan dan Penahanan.
Mengenai tindakan penangkapan tidak diatur secara rinci dalam UndangUndang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, sehingga
berlaku ketentuan-ketentuan KUHAP. Pasal 30 Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak menentukan bahwa:
1. Penangkapan terhadap Anak dilakukan guna kepentingan penyidikan
paling lama 24 (dua puluh empat) jam.
2. Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus
Anak.
3. Dalam hal ruang pelayanan khusus Anak belum ada di wilayah yang
bersangkutan, Anak dititipkan di LPKS.
4. Penangkapan terhadap Anak wajib dilakukan secara manusiawi dengan
memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya.

58

Lilik Mulyadi, Op.cit, Hal. 117-118

Universitas Sumatera Utara

5. Biaya bagi setiap Anak yang ditempatkan di LPKS dibebankan pada
anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang sosial.
Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) dan (2) KUHAP atas perintah penyidik dan
penyidik pembantu, dapat kita ketahui bahwa tujuan penangkapan tersangka
adalah untuk kepentingan penyelidikan dan untuk kepentingan penyidik.
Selanjutnya dalam Pasal 18 KUHAP dikatakan bahwa, perintah penangkapan
tersebut dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak
pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup dengan memperlihatkan surat
tugas penangkapan.
Pada saat melakukan tindakan penangkapan, asas praduga tak bersalah
harus dihormati dan dijunjung tinggi sesuai dengan harkat dan martabat anak.
Anak juga harus dipahami sebagai orang yang belum mampu memahami masalah
hukum yang terjadi atas dirinya. Melakukan tindakan penangkapan terhadap anak
yang diduga melakukan tindak pidana tersebut harus didasarkan pada bukti yang
cukup dan jangka waktunya terbatas yaitu hanya dalam satu hari. Pada saat
melakukan penangkapan, hak-hak anak sebagai tersangka haruslah juga
diperhatikan, seperti hak mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat
pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan oleh undang-undang.59
Setelah dilakukan tindakan penangkapan, selanjutnya dapat dilakukan
penahanan. Penahanan di dalam Pasal 1 butir 21 merupakan penempatan
tersangka atau Terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum

59

Maidin Gultom, Op.cit, Hal.122.

Universitas Sumatera Utara

atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undangundang ini.
Pasal 32 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan
bahwa penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak
memperoleh jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak
akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti,
dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana. Penahanan hanya dapat dilakukan
dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga melakukan
tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Selama anak
ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial Anak harus tetap dipenuhi. Untuk
melindungi keamanan Anak, dapat dilakukan penempatan Anak di Lembaga
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).
Pasal 33 juga menyatakan bahwa, jika masa penahanan sebagaimana yang
disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi
hukum. Penahanan terhadap Anak dilaksanakan di Lembaga Penempatan Anak
Sementara (LPAS), dalam hal tidak terdapat LPAS, maka penahanan dapat
dilakukan di LPKS setempat.
Penahanan Anak ditempatkan di LPAS, yang tempatnya terpisah dari
Narapidana Anak, hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan psikologis anak
tersebut yaitu untuk menghindari akibat negatif, sebab anak yang ditahan belum
tentu terbukti melakukan kenakalan dan bergaul dengan Narapidana Anak
dikhawatirkan dapat menularkan pengalaman-pengalamannya kepada anak yang
berstatus tahanan, dan mempengaruhi perkembangan mentalnya. Apabila tahanan

Universitas Sumatera Utara

anak digabung dengan orang dewasa dengan alasan bahwa tempat penahanan di
Lembaga Pemasyarakatan orang dewasa sudah penuh, hal ini sangat berbahaya
dan tidak mencerminkan perlindungan anak sebab Narapidana Anak dan tahanan
anak dapat terpengaruh dengan sikap dan tindakan tahanan dewasa. Anak bisa
saja mengetahui pengalaman-pengalaman dari tahanan dewasa dalam melakukan
kejahatan yang belum pernah dia dengar dan dia lakukan, atau bahkan anak dapat
menjadi korban pelecehan seksual selama berada dalam tahanan tersebut.60
Tabel 1.
Jangka waktu penahan terhadap anak dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
Anak
No.

Tingkat Pemeriksaan

Waktu Penahanan

Perpanjangan

1.

Penyidikan61

7 hari (oleh Penyidik)

8 hari (oleh JPU)

2.

Penuntutan62

5 hari (oleh JPU)

5 hari (oleh Hakim PN)

3.

Pengadilan63

10 hari (oleh Hakim)

15 hari (oleh Ketua PN)

c. Perlindungan Hukum terhadap Anak pada Tahap Penuntutan.
Menurut Pasal 1 butir 7 KUHAP, “Penuntutan adalah tindakan penuntut
umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang

60
61

Ibid, Hal.126.
Pasal 33 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak.
62

Pasal 34 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana

63

Pasal 35 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak.
Anak.

Universitas Sumatera Utara

dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”. 64
Syarat-syarat Penuntut Umum Anak di dalam Pasal 41 Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak adalah:
a. Berpendidikan Sarjana Hukum ditambah pengetahuan psikologi,
psikiatri, sosiologi, pendidikan sosial, antropologi;
b. Mencintai anak, berdedikasi;
c. Dapat menyilami dan mengerti jiwa anak. 65
Penuntut Umum Anak dalam melakukan tugasnya harus meneliti berita
acara yang diajukan oleh Penyidik, sehingga jika perlu dan dengan persetujuan
Hakim Anak, anak tersebut tidak perlu diajukan ke Pengadilan. Anak cukup
dikembalikan kepada orang tuanya dengan teguran atau nasihat. Orang
tua/wali/orang tua asuh anak perlu diperingati atau dinasihati. Atas ijin Hakim
juga, dapat diminta dari bantuan para ahli, atau membentuk tim tersendiri untuk
menangani anak, hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa anak membutuhkan
perhatian, cinta kasih, asuhan, perlindungan, pembinaan, pendidikan, rasa aman,
tentram rohani dan jasmaninya. Petugas-petugas sosial seperti dari Balai
Pemasyarakatan juga dilibatkan dalam menangani dan membina anak temasuk
juga orang tua/wali/orang tua asuh anak. 66
Apabila pada tingkat penyidikan upaya diversi gagal dilaksanakan, maka
penuntut umum wajib mengupayakan upaya diversi pada tingkat penuntutan

64

Pasal 1 butir 7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
66
Maidin Gultom, Op.cit, Hal.140
65

Universitas Sumatera Utara

sebagaimana yang diatur di dalam 42 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
Anak:
1. Penuntut Umum wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari
setelah menerima berkas perkara dari penyidik.
2. Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30
(tiga puluh) hari.
3. Dalam hal proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penuntut Umum
menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada
ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan.
4. Dalam hal diversi gagal, Penuntut Umum wajib menyampaikan berita
acara diversi

dan

melimpahkan

perkara

ke pengadilan

dengan

melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan.
Terkait dalam hal proses diversi berhasil mencapai kesepakatan
sebagaimana yag diatur dalam Pasal 42 ayat (3) Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak maka, Penuntut Umum menyampaikan berita acara diversi beserta
kesepakatan diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan.
Sebagaimana di tingkat penyidikan dan penuntutan, di tingkat persidangan
sebagai salah satu tahapan proses peradilan pidana juga dibebani kewajiban untuk
melakukan diversi dalam perkara anak. 67
d. Perlindungan Hukum terhadap Anak pada Tahap Persidangan.
Anak yang berhadapan dengan hukum ketika anak tersebut dihadapkan
dalam proses persidangan, maka dalam hal ini perlindungan terhadap anak telah

67

Fetri Tarigan, Op.cit, Hal.107

Universitas Sumatera Utara

dilakukan ketika penentuan hakim yang menangani perkara anak tersebut
dilakukan. Hakim anak diangkat berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah
Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua
Pengadilan Tinggi sesuai dengan pasal 43 Undang-undang Republik Indonesia
No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai berikut:
“Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap perkara anak dilakukan oleh hakim
yang ditetapkan berdasarkan keputusan ketua Mahkamah Agung atau pejabat lain
yang ditunjuk oleh ketua Mahkamah Agung atas usul ketua pengadilan negeri
yang bersangkutan melalui ketua pengadilan negeri”.
Selanjutnya dalam pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia
No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak yang berbunyi :
Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai hakim sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. Telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum; dan
b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.
c. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan pidana anak.
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, mengatur upaya wajib
dilakukannya diversi pada tingkat pemeriksaan di sidang Anak (tahap pengadilan)
yaitu diatur dalam ketentuan Pasal 7, Pasal 14, dan Pasal 52 Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak. Apabila diperinci, diversi dilakukan ditingkat
pemeriksaan di sidang pengadilan anak lazimnya dalam praktik dilakukan melalui
langkah-langkah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

1. Setelah menerima berkas perkara dari penuntut umum, ketua pengadilan
wajib menetapkan hakim Anak atau majelis hakim Anak untuk menangani
perkara anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara.
2. Hakim wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah
ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri. Pada praktik peradilan, yang
melakukan diversi disebut sebagai Fasilitator Diversi yakni hakim Anak
yang ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk menangani perkara anak yang
bersangkutan (Pasal 1 angka 2 Perma Nomor 4 Tahun 2014). Diversi
dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan pihak-pihak terkait dan
dilakukan untuk mencapai kesepakatan diversi melalui pendekatan
keadilan restoratif.
3. Apabila pelaku maupun korban setuju untuk dilakukan diversi, maka
hakim anak, Pembimbing Kemasyarakatan, Bapas dan Pekerja Sosial
Profesional memulai proses diversi penyelesaian perkara dengan
melibatkan pihak terkait. Proses diversi tersebut dilaksanakan paling lama
30 (tiga puluh) hari dengan diawali adanya penetapan hakim Anak/majelis
hakim Anak tentang Penetapan Hari Diversi dan proses diversi dapat
dilaksanakan di ruang mediasi pengadilan negeri dan kemudian dibuatkan
Berita Acara Proses Diversi, baik yang berhasil maupun yang gagal
sebagaimana lampiran I, II, III, dan IV Perma Nomor 4 Tahun 2014. 68
Sebelum sidang dibuka, hakim anak memerintahkan Pembimbing
Kemasyarakatan menyampaikan Laporan Penelitian Kemasyarakatan. Setelah

68

Lilik Mulyadi, Op.cit, Hal.122

Universitas Sumatera Utara

Laporan

Penelitian

Kemasyarakatan

disampaikan

oleh

Pembimbing

Kemasyarakatan, hakim membuka sidang dan dinyatakan tertutup untuk umum.
Terdakwa dipanggil masuk ke dalam ruang sidang dengan didampingi orang tua,
wali atau orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan.
Perlakuan khusus dalam persidangan Anak antara lain:
a. Sidang dibuka dan dinyatakan tertutup untuk umum;
b. Pemeriksaan dalam sidang pengadilan dilakukan dalam suasana
kekeluargaan, oleh karena itu Hakim, Jaksa, dan petugas lainnya tidak
memakai toga/pakaian, atribut/tanda kepangkatan masing-masing;
c. Adanya keharusan pemisahan persidangan dengan orang dewasa, baik
berstatus sipil maupun militer;
d. Turut sertanya Bapas membuat Laporan Penelitian Kemasyarakatan
terhadap anak;
e. Hukuman lebih ringan.69
Perkara pidana anak dapat diajukan permohonan upaya hukum peninjauan
kembali yang diajukan oleh orang tua, wali, orang tua asuh atau penasihat hukum
anak, hal ini sesuai dengan yang telah diatur di dalam Pasal 51 Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menyatakan bahwa: “Terhadap putusan
pengadilan mengenai perkara Anak yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, dapat dimohonkan peninjauan kembali oleh Anak, orang tua/Wali, dan/atau
Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya kepada Ketua Mahkamah Agung
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

69

Maidin Gultom, Op.cit, Hal.146

Universitas Sumatera Utara

e. Perlindungan Hukum terhadap Anak pada Tahap Pemasyarakatan.
Proses peradilan pidana anak berakhir pada tahap institusi pemasyarakatan
ketika hakim memvonis terdakwa yang telah bersalah atau melakukan tindak
pidana dan akan memerintahkan yang bersangkutan untuk menjalani masa
hukuman pidana penjara di lembaga pemasyarakatan.70
Pemasyarakatan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 adalah
bagian dari tata peradilan pidana dari segi pelayanan tahanan, pembinaan
narapidana, anak Negara, dan bimbingan klien pemasyarakatan yang
dilaksanakan secara terpadu (dilaksanakan bersama-sama dengan aparat
penegak hukum) dengan tujuan agar mereka setelah menjalani pidananya
dapat kembali menjadi warga masyarakat yang baik.
Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan,

terdapat

batasan

pengertian

mengenai

Anak

Didik

Pemasyarakatan, yaitu :
1. Anak Pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani
pidana di Lapas Anak paling lamasampai berumur 18 (delapan belas)
tahun;
2. Anak Negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan
pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama
sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
3. Anak Sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya
memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling
lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
Dari ketiga jenis Anak Didik Pemasyarakatan tersebut, berdasarkan Pasal
22 ayat (1), Pasal 29 ayat (1) serta Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12
70

Rika Saraswati, 2015, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, Hal.130.

Universitas Sumatera Utara

Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, masing-masing jenis Anak Didik
Pemasyarakatan memiliki hak yang hampir sama, yaitu :
1) melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
2) mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
3) mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
4) mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
5) menyampaikan keluhan;
6) mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya
yang tidak dilarang;
7) menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum atau orang tertentu
lainnya;
8) mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga;
9) mendapatkan hak-hak lain sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Sedangkan untuk perbedaan hak dari ketiga jenis Anak Didik
Pemasyarakatan itu, adalah :
1) Anak Negara mempunyai penambahan hak untuk mendapatkan :
a) pembebasan bersyarat;
b) cuti menjelang bebas.
2) Anak Pidana mempunyai penambahan hak untuk mendapatkan :
a) pembebasan bersyarat;
b) cuti menjelang bebas;

Universitas Sumatera Utara

c) pengurangan masa pidana (remisi).
Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 juga mengatur
mengenai hak anak yang ditempatkan di dalam Lapas, yaitu meliputi hak untuk
memperoleh pendidikan dan latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya,
serta hak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan tersebut kemudian dicantumkan secara lebih jelas mengenai hak-hak
Anak Pidana, Anak Negara, serta Anak Sipil dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Pembinaan

atau bimbingan

merupakan

sarana yang mendukung

keberhasilan negara dalam menjadikan narapidana menjadi anggota masyarakat
yang baik. Lembaga Pemasyarakatan Anak ikut berperan dalam pembinaan
narapidana yang mempunyai tugas untuk memperlakukan narapidana agar
menjadi baik, di dalam pembinaan itu yang perlu dibina adalah pribadi narapidana
dengan membangkitkan rasa harga diri dan mengembangkan rasa tanggung jawab
untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam
masyarakat sehingga setelah mereka keluar dari Lapas bisa menjadi manusia yang
berpribadi baik dan bermoral tinggi. 71
C. Diversi Sebagai Salah Satu Upaya Perlindungan Terhadap Anak Sebagai
Pelaku Tindak Pidana.
Sebelum masuk ke dalam proses peradilan, para penegak hukum, keluarga,
dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan,
yakni melalui Diversi berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. Undang71

http://www.kumham-jogja.info/karya-ilmiah/37-karya-ilmiah-lainnya/257-perlindungan
hak-hak-anak-pelaku-kejahatan-dalam-proses-peradilan-pidana diakses tanggal 16 April 2016
pukul 16.35 WIB.

Universitas Sumatera Utara

Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini mengatur mengenai
keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum
mulai tahap penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani
pidana.72
Paradigma restorative justice lebih mengedepankan pemulihan ke keadaan
semula atau kondisi normal. Hal ini berbeda dengan paradigma retributive justice
yang menyelesaikan konflik dengan cara menghukum pelaku sebagai bentuk
pembalasan, sehingga melalui konsep restorative justice anak dapat dihindarkan
dari pemidanaan dan diganti dengan pembinaan.73
Pendekatan restorative justice ini telah menjadi model dominan dari
sistem peradilan pidana dalam kebanyakan sejarah manusia, dimana dalam
penyelesaian perkara pada umumnya merupakan penerapan ganti rugi oleh pelaku
dan keluarganya kepada korban atau keluarga korban untuk menghindari
konsekuensi dari balas dendam. 74
Diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri. Kata “wajib diupayakan”
mengandung makna bahwa, para penegak hukum anak mulai dari penyidik,
penuntut dan juga hakim diwajibkan untuk melakukan upaya agar proses diversi
bisa dilaksanakan. Kewajiban mengupayakan diversi dilaksanakan dalam hal
tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh)

72

Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak.
73
Yutirsa Yunus, Op.cit, Hal.235.
74
Marlina, 2010, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum
Pidana, USU Press, Medan, Hal.38. (Selanjutnya disebut Buku 4).

Universitas Sumatera Utara

tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana, hal ini sebagaimana yang
telah diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. 75
Sesuai dengan pengertian dari diversi itu sendiri yang terdapat di dalam
Pasal 1 angka 7, bahwa diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara Anak
dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, maka proses
diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang
tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan,
dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. Di
dalam melaksanakan proses diversi tersebut juga wajib memperhatikan
kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab Anak, penghindaran
stigma negatif, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat dan
kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.76
Pada saat proses diversi, hakim anak diberi kesempatan selama 7 (tujuh)
hari, wajib melibatkan pihak-pihak terkait dalam suatu musyawarah sesuai syarat
dan ketentuan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak di Pengadilan
Negeri secara tertutup untuk umum di ruang khusus, dengan memperhatikan asasasas penyelesaian perkara pidana anak. Diversi ini diselenggarakan seperti halnya
proses mediasi dalam perkara perdata. Apabila belum ada ruang khusus,
selayaknya menggunakan ruangan mediasi yang sudah ada di setiap Pengadilan
Negeri. Artinya

dibutuhkan

suatu

ruangan

dan

perlakuan

“eksklusif”

menghormati hak-hak anak (Pasal 3 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana

75

Fetri A.R Tarigan, 2015, Upaya Diversi Bagi Anak Dalam Proses Peradilan, Lex
Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015, diakses dari ejournal.unsrat.ac.id › Home › Vol 4, No 5 (2015) ›
Tarigan Hal.105 tanggal 6 April 2016 pukul 17.20 WIB.
76
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradiilan Pidana Anak

Universitas Sumatera Utara

Anak). Jika diversi gagal, perkara akan dilanjutkan ke tahap persidangan, akan
tetapi jika diversi berhasil, maka hasil kesepakatan diversi diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri untuk ditetapkan dalam penetapan pengadilan. 77
Menurut Pasal 11 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, hasil
kesepakatan diversi dapat berbentuk, antara lain:
a. Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
b. Penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
c. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan
atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
d. Pelayanan masyarakat.78
Selanjutnya, hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk
kesepakatan diversi dan disampaikan oleh atasan langsung pejabat yang
bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan ke Pengadilan Negeri sesuai
dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan
dicapai untuk memperoleh penetapan. Setelah menerima penetapan, penyidik
menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau penuntut umum menerbitkan
penetapan penghentian penuntutan.79 Diversi tidak akan dilanjutkan dalam hal
proses diversi tersebut tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi
tidak dilaksanakan. 80

77

http://peradilananak.blogspot.co.id/2013/05/artikel-peradilan-anak.html, diakses tanggal
10 April 2016 pukul 16.30 WIB.
78
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
79
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
80
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.

Universitas Sumatera Utara

Diversi yang telah diatur di dalam Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak berfungsi agar anak yang berhadapan dengan hukum tidak
terstigmatisasi akibat proses peradilan yang harus dijalaninya. Penggunaan
mekanisme diversi tersebut diberikan kepada para penegak hukum (polisi, jaksa,
hakim, lembaga lainnya) dalam menangani pelanggar-pelanggar hukum yang
melibatkan anak tanpa menggunakan pengadilan formal. Penerapan Diversi
tersebut dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam
suatu proses peradilan.81
Diversi juga bertujuan untuk menegakkan hukum tanpa melakukan
tindakan kekerasan dan menyakitkan dengan memberi kesempatan kepada
seorang anak yang telah melakukan tindak pidana untuk memperbaiki
kesalahannya tanpa melalui hukuman pidana oleh negara yang mempunyai
otoritas penuh. Salah satu contoh latar belakang pentingnya kebijakan diversi
dilakukan karena tingginya jumlah anak yang masuk ke peradilan pidana dan
diputus dengan penjara dan mengalami kekerasan saat menjalani rangkaian proses
dalam sistem peradilan pidana. 82
Konsep diversi dan restorative justice seperti yang dikemukakan di atas
bisa dijadikan sebagai salah satu tujuan pemidanaan yaitu sebagai upaya
penyelesaian kasus-kasus tindak pidana yang dilakukan dengan memberikan rasa
tanggung jawab semua pihak, termasuk masyarakat itu sendiri. 83 Di samping itu,
diversi juga dilakukan sebagai upaya pencegahan seorang pelaku anak menjadi
pelaku kriminal dewasa. Usaha pencegahan anak inilah, yang membawa aparat
81

http://pn-bangil.go.id/data/?p=207, diakses tanggal 7 April 2016 pukul 12.10 WIB.
Marlina, Buku 4, Op.cit, Hal.13.
83
Marlina, Buku 2,Op.cit, Hal.75
82

Universitas Sumatera Utara

penegak hukum untuk mengambil wewenang diskresi atau di Amerika Serikat
sering disebut juga dengan istilah deinstitusionalisasi dari sistem peradilan pidana
formal. 84

84

Marlina, 2008, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana dalam
Sistem Peradilan pidana Anak, Jurnal Equality Vol. 13 No.1.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn)

2 81 104

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 64 103

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

3 82 103

Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor 1/Pid.Sus.Anak/2015/PN-STB)

3 18 109

Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor 1 Pid.Sus.Anak 2015 PN-STB)

0 1 8

Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor 1 Pid.Sus.Anak 2015 PN-STB)

0 0 1

Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor 1 Pid.Sus.Anak 2015 PN-STB)

0 1 36

Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor 1 Pid.Sus.Anak 2015 PN-STB)

0 0 6

Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat)

0 1 100

PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus Putusan Nomor : 22PID.B2011PN.PRA)

0 0 21