Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor 1 Pid.Sus.Anak 2015 PN-STB)

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang.
Sejak bayi lahir atau bahkan sejak dalam kandungan orang tua telah

mencita-citakan agar anaknya kelak menjadi orang yang berguna dan sesuai
dengan apa yang diharapkan oleh kedua orang tuanya. Apakah keinginan orang
tua itu kelak terwujud atau tidak tergantung kepada perkembangan dan
lingkungan, yang jelas begitu bayi lahir ayah ibunya menimang-nimang agar
kelak anaknya menjadi dokter, insinyur, jendral, gubernur, dan sebagainya.1
Anak merupakan salah satu aset pembangunan nasional yang patut
dipertimbangkan dan diperhitungkan juga dari segi kualitas atau mutu dan masa
depannya. Tanpa kualitas yang handal dan masa depan yang jelas bagi anak
tersebut, dikhawatirkan pembangunan nasional akan sulit dilaksanakan dan nasib
bangsa akan sulit pula dibayangkan. 2
Khususnya di negara Indonesia kedudukan anak menjadi bagian utama
dalam sendi kehidupan keluarga, agama, bangsa, dan negara, baik dalam
menumbuh kembangkan intelegensi anak maupun mental spiritual, hal ini
dilandasi dengan ciri khas kepribadian bangsa Indonesia sendiri yang memiliki

sistem hukum yang berasal dari sendi-sendi hukum adat dan ras. Di dalam tataran
realitas tersebut bangsa Indonesia telah menempatkan anak selain sebagai aset

1
2

Djoko Widagdho, 2010, Ilmu Budaya Dasar, Bumi Aksara, Jakarta, Hal.127.
Bunadi Hidayat, 2010, Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, Alumni, Bandung, Hal.1.

Universitas Sumatera Utara

masa depan dan pelanjut estafet pembangunan, tetapi juga menempatkan anak
pada tempat yang seyogyanya mampu melakukan tugas perkembangannya.3
Seorang anak dalam menjalani proses kehidupannya pasti akan melalui
banyak fase atau tahapan kehidupan. Salah satu fase yang akan dilalui oleh anak
adalah fase remaja dan adolescent, yang dimaksud dengan fase tersebut adalah
suatu proses transisi atau masa-masa perpindahan dari fase anak-anak menuju fase
dewasa, di mana mereka akan menunjukkan tingkah laku anti sosial yang
potensial dan disertai banyak pergolakan hati atau kekisruhan hati yang membuat
anak remaja/adolesens kehilangan kontrol dan pada akhirnya jika mereka tidak

dapat mengendalikan emosinya, emosi tersebut akan meletup dan menjadi
bumerang baginya. Apabila dibiarkan tanpa adanya pembinaan dan pengawasan
yang tepat, cepat serta terpadu oleh semua pihak, maka gejala kenakalan anak ini
akan menjadi tindakan-tindakan yang mengarah kepada tindakan yang bersifat
kriminalitas. 4
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan oleh anak tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain
karena adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus
globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup, sebagian orang tua telah
membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang
sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain itu, anak yang kurang
atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan, dan pembinaan dalam
3

Arifin, 2007, Pendidikan Anak Berkonflik Hukum Model Konvergensi Antara
Fungsionalis dan Religious, Alfabeta, Bandung, Hal.18.
4
Wagiati Sutedjo, 2008, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, Hal.16.


Universitas Sumatera Utara

pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua,
wali, atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat
dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya.
Pendidikan yang baik akan mengembangkan kedewasaan pribadi anak tersebut. 5
Akhir-akhir ini, dapat diketahui bahkan dilihat di berbagai surat kabar
yang memuat tentang kejahatan atau perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh
anak-anak yang secara kuantitatif dan kualitatif, semakin meningkat dari tahun ke
tahun yang membuat keresahan dilingkungan masyarakat. Seperti yang dikutip
dalam harian online Bisnis, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
menjelaskan bahwa jumlah anak sebagai pelaku dalam kasus kejahatan semakin
meningkat. Pada tahun 2014, tercatat 67 kasus anak yang menjadi pelaku
kekerasan. Sementara pada tahun 2015 menjadi 79 kasus, selain itu, anak sebagai
pelaku tawuran mengalami kenaikan dari 46 kasus di tahun 2014 menjadi 103
kasus pada 2015. 6
Harian online Sindo juga menyebutkan bahwa, sebanyak 107 anak di kota
Depok sepanjang tahun 2014 terjerat berbagai kasus hukum mulai dari korban
hingga menjadi pelaku. Menurut Wakapolres Depok AKBP Irwan Anwar, jika
dihitung berdasarkan rata-rata hariannya, setiap tiga hari terdapat satu kasus anak


5

Ravel Daniel Rondonuwu, 2015, Proses Persidangan Perkara Tindak Pidana Pencurian
Dilakukan Oleh Anak, Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015, diakses dari
ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/viewFile/7014/6519, Hal.189, diakses tanggal 14
Maret 2016 pukul 13.00 WIB.
6
www.m.bisnis.com/lifestyle/read/20160102/236/506440/catatan-akhir-tahun-kpai-anaksebagai-pelaku-kejahatan-meningkat diakses tanggal 14 Maret 2016 pukul 13.50 WIB.

Universitas Sumatera Utara

yang terjadi di Depok. Kasus yang dialami anak-anak ini berbagai macam seperti,
pencabulan, penganiayaan, bahkan anak juga terlibat dalam kasus pembunuhan.7
Berbagai kasus tindak pidana yang telah dilakukan oleh anak diatas,
penulis merasa tertarik dengan tindak pidana pembunuhan berencana yang
dilakukan oleh anak. Pembunuhan berencana itu sendiri merupakan suatu
perbuatan yang merampas nyawa orang lain, atau membunuh, dimana dilakukan
perencanaan terlebih dahulu mengenai waktu atau metode atau cara, dengan
tujuan memastikan keberhasilan si pelaku atau untuk menghindari penangkapan.

Pembunuhan berencana dalam hukum umumnya merupakan tipe pembunuhan
yang paling serius, dan pelakunya dapat dijatuhi hukuman mati atau penjara
seumur hidup.
Tentu saja tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan oleh anak
jelas dipandang sangat terlarang dan tidak wajar dilakukan oleh anak, karena
anak seharusnya menjadi tunas bangsa dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di
masa yang akan datang bukan menjadi pembawa keresahan di dalam lingkungan
masyarakat. Kemampuan anak yang masih sangat terbatas, labil dan tidak
sesempurna orang dewasa dalam proses pencarian jati diri serta kondisi yang ada
di luar diri anak inilah yang kerap kali menjadi penyebab seorang anak melakukan
tindak pidana, oleh karena itu masalah penegakan hukum harus benar-benar
diperhatikan dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap anak.
Terhadap anak yang telah melakukan tindak pidana tersebut selanjutnya
pasti akan dilakukan tindakan hukum atau proses penegakan hukum, dimana
7

www.metro.sindonews.com/read/944884/31/107-anak-di-depok-terlibat-kasus-hukum1420114823 diakses tanggal 14 Maret 2016 pukul 14.00 WIB.

Universitas Sumatera Utara


dalam proses penegakan hukum tersebut, penanganan Terdakwa anak tersebut
lebih mengedepankan pada aspek perlindungan hak-hak anak didalam tiap tingkat
pemeriksaannya.
Berdasarkan hal tersebut, masalah penegakan hukum ( law enforcement )
dengan pembaruan/ pembangunan hukum ( law reform and development )
merupakan satu hal yang tidak dapat dipisahkan, karena penegakkan hukum
merupakan bagian (subsistem) dari keseluruhan sistem atau kebijakan penegakan
hukum pidana nasional yang pada dasarnya juga merupakan bagian dari sistem
atau kebijakan pembangunan nasional. Pada hakikatnya kebijakan hukum pidana
(penal policy) baik dalam arti penegakan in abstracto dan in concreto, merupakan
bagian dari keseluruhan kebijakan sistem penegakan hukum nasional dan
merupakan bagian dari upaya menunjang kebijakan pembangunan nasional
(national development policy). Atas dasar hal itu, agar kebijakan dalam sistem
pemidanaan

anak

sejalan

dengan


pembangunan

nasional,

maka

perlu

memperhatikan rambu-rambu yang telah ada dari seluruh kebijakan pembangunan
hukum nasional.8
Panjangnya proses peradilan yang dijalani oleh anak tersangka pelaku
kejahatan, sejak proses penyidikan di kepolisian sampai selesai menjalankan
hukuman di lembaga pemasyarakatan merupakan sebuah gambaran kesedihan
seorang anak. Kejadian selama proses peradilan tentunya akan menjadi

8

Nandang Sambas, 2010, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak Di Indonesia. Graha
Ilmu, Bandung, Hal.195. (Selanjutnya disebut Buku 1)


Universitas Sumatera Utara

pengalaman tersendiri bagi kehidupan anak yang sulit terlupakan. Pengalaman
demikian akan membekas dalam diri mereka. 9
Di dalam proses hukumnya aspek perlindungan hak-hak anak harus tetap
diperhatikan dalam sistem peradilan, maka tentunya proses hukum yang diberikan
kepada Terdakwa anak harus berbeda perlakuannya dengan proses hukum yang
diberikan kepada Terdakwa dewasa, begitu juga dengan penjatuhan pidana,
tentunya sangat tidak adil jika penjatuhan pidana yang diberikan untuk Terdakwa
dewasa sama dengan Terdakwa anak mengingat bahwa anak adalah penerus
generasi bangsa, maka harus memperhatikan kepentingan dan masa depan anak.
Penanganan anak dalam proses hukumnya memerlukan pendekatan, pelayanan,
perlakuan, perawatan serta perlindungan yang khusus bagi anak dalam upaya
memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Tujuan sistem peradilan pidana dalam Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak adalah untuk menjaga harkat dan martabat anak, dimana anak berhak
mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem
peradilan, oleh karena itu Sistem Peradilan Pidana Anak tidak hanya ditekankan
pada penjatuhan sanksi pidana bagi anak pelaku tindak pidana saja, melainkan

juga difokuskan pada pemikiran bahwa penjatuhan sanksi dimaksudkan sebagai
sarana mewujudkan kesejahteraan anak pelaku tindak pidana tersebut.10
Berdasarkan uraian tersebut, hal ini menunjukkan bahwa Peradilan Pidana
Anak yang adil memberikan perlindungan terhadap anak, baik sebagai tersangka,

9

Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Refika Aditama, Bandung, Hal.12.
(Selanjutnya disebut Buku 1).
10
Lilik Mulyadi, 2014, Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, Alumni,
Bandung, Hal.102.

Universitas Sumatera Utara

terdakwa, maupun sebagai terpidana/narapidana, sebab perlindungan terhadap
anak ini merupakan tonggak utama dalam Peradilan Pidana Anak dalam negara
hukum karena penjara bukan untuk anak, sebab yang dibutuhkan anak adalah
pendidikan, yang dibutuhkan anak adalah bantuan, dan yang dibutuhkan anak
adalah bimbingan. Pemenjaraan terhadap anak adalah pembunuhan masa depan

anak karena dengan labelisasi dan stigma bahwa dia sebagai narapidana, dia akan
terhukum sepanjang hidup dan menjadi catatan pada setiap meja birokrasi. 11
Berkaitan dengan hal tersebut yang dalam kenyataan hakim dalam
menjatuhkan putusan kadang-kadang tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Akhirnya dapat merugikan bagi diri si pelaku, terutama
dalam menjatuhkan putusan terhadap anak yang seharusnya mendapatkan
perlindungan dan perhatian khusus untuk terus tumbuh dan berkembang sebagai
generasi penerus bangsa, dalam konteksnya sering dianggap tidak adil bagi anak.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, penulis merasa tertarik untuk
mengkaji lebih dalam tentang perlindungan hukum dan pertimbangan hakim
terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak, untuk itu penulis mengangkat
skripsi dengan judul : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku
Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Studi Putusan Pengadilan Negeri
Stabat Nomor 1/Pid.Sus.Anak/2015/PN–STB)
B.

Rumusan Masalah.

11

Hadi Supeno, 2010, Kriminalisasi Anak, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hal.119.


Universitas Sumatera Utara

1. Bagaimana perlindungan hukum pidana terhadap anak sebagai
pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak di
Indonesia ?
2. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap anak pelaku tindak pidana pembunuhan berencana dalam
Putusan

Pengadilan

Negeri

Stabat

Nomor

1/Pid.Sus.Anak/2015/PN-STB ?
C.

Tujuan dan Manfaat Penulisan.
1. Tujuan Penulisan, yaitu :
a. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak sebagai
pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak di
Indonesia.
b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap anak pelaku tindak pidana pembunuhan berencana.
2. Manfaat penulisan, yaitu :
a. Manfaat secara teoritis.
Secara teoritis diharapkan dapat memberi masukkan terhadap
perkembangan ilmu Hukum Pidana, sekaligus pengetahuan tentang
hal-hal yang berhubungan dengan “ Tindak Pidana yang Dilakukan
oleh Anak dari Perspektif Undang-Undang No.11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”.
b. Manfaat secara praktis

Universitas Sumatera Utara

Secara praktis diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi
pemikiran kepada Aparat Penegak Hukum, Pelaku Tindak Pidana,
Masyarakat dan Pemerintah.
D.

Keaslian Penulisan.
Judul Penerapan Sanksi Terhadap Anak Pelaku

Tindak Pidana

Pembunuhan Berencana (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor
1/Pid.Sus.Anak/2015/PN–STB) ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini asli merupakan hasil karya penulis
sendiri. Penulis menyusun skripsi ini dari referensi perpustakaan serta bantuan
dari berbagai pihak, dan jika dikemudian hari ditemukan Judul dan Perumusan
Masalah yang sama maka penulis akan bersedia menerima sanksi akademik yang
dijatuhkan Universitas.
E.

Tinjauan Kepustakaan.

1. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur – Unsur Tindak Pidana.
a. Pengertian Tindak Pidana.
Istilah tindak pidana dikenal dengan istilah straafbar feit, akan tetapi
dalam peraturan perundang-undangan Indonesia tidak ditemukan definisinya,
begitupula dengan KUHP yang tidak menjelaskan secara rinci pengertian dari
straafbaar feit tersebut. Strafbaar feit berasal dari bahasa belanda yang dibagi atas
dua kata yaitu straafbaar yang berarti dapat dihukum dan feit memiliki pengertian

Universitas Sumatera Utara

sebagian dari suatu kenyataan, sehingga makna harfiah perkataan strafbaar feit
adalah sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum.12
Penjelasan mengenai strafbaar feit tidak ditemukan di dalam KUHP
maupun di luar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk
memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum ada
keseragaman pendapat. Pengertian tindak pidana penting dipahami, guna untuk
mengetahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana
ini dapat menjadi patokan dalam upaya menentukan apakah perbuatan seseorang
itu merupakan tindak pidana atau tidak. 13
Kemudian istilah tindak pidana juga menunjukkan pengertian gerak-gerik
tingkah laku atau gerak-gerik jasmani seseorang, hal-hal tersebut menunjukkan
kepada seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia
telah melakukan tindak pidana. Berdasarkan hal teresebut, timbul satu aturan
mengenai kewajiban untuk berbuat tetapi dia tidak berbuat, yang di dalam
undang-undang ditentukan pada Pasal 164 KUHP, dimana ketentuan dalam pasal
ini mengharuskan seseorang untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib
apabila akan timbul suatu kejahatan, namun pada nyatanya dia tidak melaporkan,
karena perbuatannya yang tidak melaporkan itu, maka dia dapat dikenai sanksi. 14
Profesor Teguh Prasetyo, memberikan pandangannya mengenai pengertian
tindak pidana, menurutnya tindak pidana itu merupakan perbuatan yang
melanggar hukum, dimana perbuatannya itu jelas merupakan suatu kesalahan
12

P.A.F Lamintang, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya
Bakti,, Bandung, Hal.181. (Selanjutnya disebut Buku 1).
13
Mohammad Ekaputra, 2013, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, USU Press, Medan,
Hal.74.
14
Teguh Prasetyo, 2013, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 49.

Universitas Sumatera Utara

yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab dan pelaku tersebut
diancam dengan pidana.15
Simons juga mendefinisikan kata “straafbar feit” sebagai suatu tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan
sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan
yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum,16 hal tersebut didasarkan kepada :
a. Adanya suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh
undang-undang, kemudian pelanggaran tersebut dapat dinyatakan sebaga
suatu tindakan yang dapat dihukum.
b. Tindakan tersebut memenuhi unsur delic yang telah dirumuskan undangundang.
c. Merupakan tindakan melawan hukum.
Penggunaan kata Strafbaar feit mengalami kendala saat diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia, karena dalam menerjemahkan kata tersebut para ahli
memiliki pandangan yang berbeda, adapun istilah yang muncul saat kata
Strafbaar Feit diterjemahkan yaitu : Tindak Pidana, Delik, Perbuatan Pidana,
Peristiwa Pidana. 17
Menurut Pompe, perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat
dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum)
yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,

15

Ibid, Hlm.217
P.A.F Lamintang, Buku 1, Op.cit, Hal.185.
17
Tongat, 2002, Dasar- Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,
UMM Press,Malang, Hal.101. (Selanjutnya disebut Buku 1).
16

Universitas Sumatera Utara

dimana pernjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.18
b. Unsur-unsur tindak pidana
Secara umum, unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan kedalam dua
macam, yaitu:
1. Unsur Obyektif, yaitu unsur yang terdapat di luar pelaku (dader) yang
dapat berupa:
a. Perbuatan, baik dalam arti berbuat maupun dalam arti tidak berbuat.
Contoh unsur obyektif yang berupa “perbuatan” yaitu perbuatanperbuatan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang. Perbuatanperbuatan tersebut dapat disebut antara lain perbuatan-perbuatan yang
dirumuskan di dalam Pasal 242, 263, 362 KUHP. Di dalam ketentuan
Pasal 362 misalnya, perbuatan yang dilarang dan diancam oleh
undang-undang adalah perbuatan mengambil.
b. Akibat, yang menjadi syarat mutlak dalam tindak pidana materil.
Contoh unsur obyektif yang berupa suatu “akibat” adalah akibat-akibat
yang dilarang dan diancam oleh undang-undang dan sekaligus
merupakan syarat mutlak dalam tindak pidana antara lain akibat-akibat
sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 351, 338
KUHP.

18

J Munthe, 2014, Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Yang Disebabkan
Pengaruh Minuman Keras Yang Terjadi Di Kabupaten Sleman, diakses dari ejournal.uajy.ac.id/5980/1/JURNAL%20HK10030.pdf, dikases tanggal 30 Maret 2016 pukul 17.00
WIB.

Universitas Sumatera Utara

Misalnya di dalam ketentuan Pasal 338 KUHP, unsur obyektif yang
berupa “akibat” yang dilarang dan diancam dengan undang-undang
adalah akibat yang berupa matinya orang.
c. Keadaan atau masalah-masalah tertentu yang dilarang dan diancam
oleh undang-undang adalah keadaan sebagaimana yang dimaksud
dalam ketentuan Pasal 160, 281 KUHP. Misalnya didalam ketentuan
Pasal 282 KUHP unsur obyektif yang berupa “keadaan” adalah di
tempat umum.
2. Unsur Subyektif, yaitu unsur yang terdapat dalam diri si pelaku (dader)
yang berupa:
a. Hal yang dapat dipertanggungjawabkan seseorang terhadap perbuatan
yang telah dilakukan ( kemampuan bertanggungjawab )
b. Kesalahan atau schuld. Berkaitan dengan masalah kekampuan
bertanggungjawab di atas, persoalannya adalah kapan seseorang dapat
dikatakan mampu bertanggungjawab apabila dalam diri orang itu
memenuhi tiga syarat, yaitu:
1. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat
mengerti akan nilai perbuatannya dan karena juga mengerti akan
nilai dari akibat perbuatannya itu.
2. Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa, sehingga ia dapat
menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan.

Universitas Sumatera Utara

3. Orang itu harus sadar perbuatan mana yang dilarang dan perbuatan
mana yang tidak dilarang oleh undang-undang.19
Menurut P.A.F Lamintang, unsur-unsur suatu tindak pidana itu adalah:
a. Unsur Subjektif
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);
2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti
yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya
di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan,
pemalsuan dan lain-lain;
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang
misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut
Pasal 340 KUHP;
5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain yang terdapat di
dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
b. Unsur Objektif
1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
2. Kualitas dari si pelaku, misalnya “Keadaan sebagai seorang pegawai
negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau
“keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan
terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyatan sebagai akibat. 20
Menurut Moeljatno, unsur-unsur atau elemen-elemen yang harus ada
dalam suatu perbuatan pidana adalah :
a. Kelakuan dan akibat (dapat disamakan dengan perbuatan).
b. Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
d. Unsur melawan hukum yang objektif.
e. Unsur melawan hukum yang subjektif. 21

19

Tongat, 2003, Hukum Pidana Materiil, UMM Press, Malang, Hal. 4-5. (Selanjutnya
disebut Buku 2).
20
P.A.F Lamintang, Buku 1, Op.cit, hlm 193-194.
21
Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta, Hal. 69.

Universitas Sumatera Utara

2. Penjatuhan Pidana/ Pemidanaan dan Teori-Teori Pemidanaan.
a. Pengertian Pemidanaan.
Berbicara masalah pidana tentu tidak terlepas dari pembicaraan mengenai
pemidanaan. Di dalam hal ini, menurut Prof. Sudarto mengatakan bahwa :
“Perkataan pemidanaan sinonim dengan istilah ‘penghukuman’.
Penghukuman sendiri berasal dari kata ‘hukum’, sehingga dapat diartikan
sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumannya
(brechten). Menetapkan hukum ini sangat luas artinya, tidak hanya dalam
lapangan hukum pidana saja tetapi juga bidang hukum lainnya. Oleh
karena istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman
dalam perkara pidana yang kerapkali sinonim dengan pemidanan atau
pemberian atau penjatuhan oleh hakim.
Berdasarkan pendapat Sudarto tersebut, dapat diartikan bahwa pemidanaan
merupakan penetapan pidana dan tahap pemberian pidana. Tahap pemberian
pidana dalam hal ini terdapat dua arti, yaitu dalam arti luas dan arti konkret. Arti
luas yang menyangkut pembentuk undang-undang yang menetapkan stelsel sanksi
hukum pidana, sedangkan dalam arti konkret, yang menyangkut berbagai badan
yang mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana tersebut.22
Professor

Jerome

Hall

memberikan

batasan

konseptual

tentang

pemidanaan yang dianggap membawa kemajuan besar dalam konsep pemidanaan,
lebih lanjut ia memberikan deskripsi mengenai konsep pemidanaan, yaitu:
1.
2.
3.
4.

Pemidanaan merupakan kehilangan hal-hal yang diperlukan dalam hidup;
Ia memaksa dengan kekerasan;
Ia diberikan atas nama Negara;
Pemidanaan mensyaratkan adanya peraturan-peraturan, pelanggarannya,
dan penentuannya yang diekspresikan dalam putusan;

22

Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, Hal.33. (Selanjutnya
disebut Buku 2).

Universitas Sumatera Utara

5. Ia diberikan kepada pelanggar yang telah melakukan kejahatan, dan ini
mensyaratkan adanya sekumpulan nilai-nilai yang dengan beracuan
kepadanya, kejahatan dan pemidanaan itu signifikan dalam etika;
6. Tingkat atau jenis pemidanaan berhubungan dengan perbuatan kejahatan
yang dapat diperberat atau diringankan dengan melihat personalitas atau
kepribadian dari si pelanggar, motif serta dorongannya.23
b. Teori-Teori Pemidanaan.
1. Teori Absolut/Retributif.
Teori ini menjelaskan bahwa, apabila seseorang yang dalam hal ini
merupakan subjek hukum terbukti melakukan suatu tindak pidana yang kemudian
dengan itu ia harus mendapat sebuah hukuman akibat dari perbuatan yang
dilakukannya dan hukuman itu dijatuhkan sebagai suatu bentuk balas
dendam/pembalasan.
Teori ini berfokus pada hukuman ataupun pemidanaan yang merupakan
suatu tuntutan mutlak untuk mengadakan pembalasan (vergelding) terhadap
orang-orang yang melakukan perbuatan jahat. Selanjutnya dikatakan oleh karena
kejahatan itu menimbulkan penderitaan pada si korban, maka harus diberikan pula
penderitaan sebagai pembalasan terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat,
jadi penderitaan harus dibalas dengan penderitaan. 24
Teori pembalasan ini terbagi lima lagi, yaitu :
1) Pembalasan berdasarkan tuntutan mutlak dari etika
Teori ini dikemukakan oleh Immanuel Kant yang mengatakan bahwa
pemidanaan adalah merupakan tuntutan mutlak dari kesusilaan (etika) terhadap
seorang penjahat yang telah merugikan orang lain.
23

M. Sholehuddin, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, Hlm.70
24
Marlina, Buku 2, Op.cit, Hlm 41.

Universitas Sumatera Utara

2) Pembalasan bersambut
Teori ini dikemukakan oleh Hegel, yang menyatakan bahwa hukum adalah
perwujudan dari kemerdekaan, sedangkan kejahatan adalah merupakan tantangan
kepada hukum dan keadilan. Menurut Hegel untuk mempertahankan hukum yang
merupakan perwujudan dari kemerdekaan dan keadilan, kejahatan-kejahatan
secara mutlak harus dilenyapkan dengan memberikan pidana kepada penjahat.
3) Pembalasan demi keindahan dan kepuasan
Teori ini dikemukakan oleh Herbart, yang mengatakan bahwa pembalasan
merupakan tuntutan mutlak dari perasaan ketidakpuasan masyarakat, sebagai
akibat dari kejahatan, untuk memidana penjahat, agar ketidakpuasan masyarakat
terpulihkan kembali.
4)

Pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan (agama)

Teori ini dikemukakan Sthal (termasuk juga Gewin dan Thomas Aquino)
yang mengemukakan bahwa kejahatan adalah merupakan pelanggaran terhadap
prikeadilan Tuhan dan harus ditiadakan. Karenanya mutlak harus diberikan
penderitaan kepada penjahat demi terpeliharanya pri keadilan Tuhan. Cara
mempertahankan prikeadilan Tuhan ialah melalui kekuasaan yang diberikan
Tuhan kepada penguasa Negara.
5)

Pembalasan sebagai kehendak manusia

Teori ini dikemukakan oleh J.J. Rousseau, Grotius, yang mendasarkan
pemidanaan juga sebagai perwujudan dari kehendak manusia. Menurut ajaran ini
adalah merupakan tuntutan alam bahwa siapa saja yang melakukan kejahatan, dia

Universitas Sumatera Utara

akan menerima sesuatu yang jahat.25 Manfaat penjatuhan pidana ini tidak perlu
dipikirkan sebagaimana dikemukakan oleh penganut teori absolut atau teori
pembalasan ini, maka yang menjadi sasaran utama dari teori ini adalah balas
dendam. Mempertahankan teori pembalasan yang pada prinsipnya berpegang
pada “pidana untuk pidana”, hal itu akan mengesampingkan nilai-nilai
kemanusiaan, artinya teori pembalasan itu tidak memikirkan bagaimana membina
si pelaku kejahatan. 26
2. Teori Relatif atau Teori Pencegahan.
Teori ini lahir sebagai reaksi terhadap teori retributif, yang bertujuan untuk
tidak mengadakan pembalasan dari suatu kejahatan melainkan untuk menjaga
ketertiban yang ada di dalam masyarakat, jadi dasar pembenaran adanya pidana
menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena
orang melakukan kejahatan melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan
atau sebagai prevensi/pencegahan.
Teori ini menjelaskan bahwa, dalam mencapai tujuan pencegahan atau
perbaikan dari si pelaku tindak pidana, tidak boleh hanya dipandang secara negatif
bahwa si pelaku tindak pidana harus dijatuhkan pidana, tetapi juga harus
dipandang secara positif dianggap baik, bahwa pemerintah mengambil tindakan
yang tidak bersifat pidana. Tindakan ini misalnya berupa pengawasan si pelaku
tindak pidana atau menyerahkan kepada suatu lembaga swasta dalam bidang

25

Adatua Simbolon, 2014, diakses dari digilib.unila.ac.id/5332/8/BAB%20II.pdf, diakses
tanggal 30 Maret 2016 pukul 19.30 WIB
26
H.Usman, 2012, Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana, diakses dari online
journal.unja.ac.id/index.php/jih/article/download/54/43, diakses tanggal 20 Maret 2016 pukul
15.00 WIB.

Universitas Sumatera Utara

sosial, untuk menampung orang-orang tersebut yang perlu didik menjadi anggota
masyarakat yang berguna (bevalligings-matrelegen).
Ilmu pengetahuan hukum pidana, membagi teori ini menjadi dua bagian,
yaitu:
a. Prevensi umum (General Preventie);
b. Prevensi khusus (Speciale Preventie).
Menurut Vos bentuk teori prevensi umum yang paling lama berwujud
pidana yang mengandung sifat menjerakan/menakutkan dengan pelaksanaannya
di depan umum yang mengharapkan suggestieve terhadap anggota masyarakat
lainnya agar tidak berani melakukan kejahatan lagi, perlu diadakan pelaksanaan
pidana yang menjerakan dengan dilaksanakan di depan umum, pelaksanaan yang
demikian menurut teori ini memandang pidana sebagai suatu yang terpaksa perlu
“noodzakelijk”, demi untuk mempertahankan ketertiban masyarakat.27
Berbeda dengan prevensi umum, mengenai prevensi khusus, Van
Bemmelen menyatakan masyarakat yang beranggapan bahwa pidana merupakan
pembenaran yang terpenting dari pidana itu sendiri. Bertolak dari pendapat bahwa
manusia (pelaku suatu tindak pidana) di kemudian hari akan menahan diri supaya
jangan berbuat seperti itu lagi, karena ia mengalami pembelajaran bahwa
perbuatannya menimbulkan penderitaan. Jadi pidana akan berfungsi mendidik dan
memperbaiki. 28
Berdasarkan hal tersebut, prevensi umum menekankan bahwa tujuan
pidana adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan
27
28

Marlina, Buku 2, Op.cit, Hal.57.
Ibid, Hal.58.

Universitas Sumatera Utara

penjahat karena dengan memidana pelaku kejahatan, diharapkan anggota
masyarakat lainnya tidak akan melakukan tindak pidana. Teori prevensi khusus
menekankan bahwa tujuan pidana itu dimaksudkan agar narapidana jangan
mengulangi perbuatannya lagi, dalam hal ini pidana itu berfungsi untuk mendidik
dan memperbaiki narapidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan
berguna.29
3. Teori Gabungan.
Teori gabungan merupakan gabungan antara teori absolut dan teori relatif..
Teori gabungan ini juga bertujuan selain membalas kesalahan penjahat juga
dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan ketertiban.
Teori ini muncul sebagai reaksi terhadap kedua teori sebelumnya yang kurang
dapat memuaskan menjawab mengenai teori pemidanaan.
Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan teori
relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori
tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yaitu :
a. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena
dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang
ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang
melaksanakan.
b. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena
pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat; kepuasan

29

H.Usman, Op.cit, Hal.71.

Universitas Sumatera Utara

masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat;
dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan. 30
Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu :
1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu
tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk
dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat;
2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat,
tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada
perbuatan yang dilakukan terpidana. 31
Indonesia sendiri menganut teori pemidanaan gabungan dimana teori ini
merupakan gabungan dari teori absolut (teori pembalasan) dan teori relatif
(teori tujuan). Sanksi yang dijatuhkan mengandung unsur pembalasan bagi
pelaku kejahatan dan peringatan juga kepada orang lain untuk tidak
melakukan kejahatan. Contohnya di dalam Lembaga Pemasyarakatan para
narapidana tidak hanya sebatas dihukum saja tetapi juga diberikan
pendidikan dan keterampilan agar menjadi manusia yang berguna di
masyarakat saat narapidana tersebut bebas.
Menurut Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, dalam
penjatuhan pidana terhadap seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan
dua jenis sanksi, yaitu sanksi tindakan bagi pelaku tindak pidana yang berumur di
bawah 14 tahun (Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana

30

Ibid, Hal.73.
Rahman Amin, 04 Mei 2015 “Teori-Teori Pemidanaan Dalam Hukum Pidana” diakses
dari
http://rahmanamin1984.blogspot.co.id/2015/05/teori-teori-pemidanaan-dalam-hukum.html,
diakses tanggal 4 April 2016 pukul 16.00 WIB.
31

Universitas Sumatera Utara

Anak), dan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke
atas.
a. Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal 82
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak):
1.
2.
3.
4.
5.

Pengembalian kepada orang tua/Wali;
Penyerahan kepada seseorang;
Perawatan di rumah sakit jiwa;
Perawatan di LPKS;
Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan
yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
6. Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
7. Perbaikan akibat tindak pidana.
b. Sanksi Pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak
terbagi atas Pidana Pokok dan Pidana Tambahan (Pasal 71 UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak):
Pidana Pokok terdiri atas:
1. Pidana peringatan;
2. Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar
lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan;
3. Pelatihan kerja;
4. Pembinaan dalam lembaga;
5. Penjara.
Pidana Tambahan terdiri dari:
1. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
atau
2. Pemenuhan kewajiban adat.
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak juga mengatur dalam hal
anak belum berumur 12 (dua belas) tahun yang melakukan atau diduga melakukan
tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial

Universitas Sumatera Utara

Profesional mengambil keputusan untuk: (Pasal 21 Undang-Undang Sistem
Peradilan Pidana Anak)
a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang
menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun
daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
3. Tinjauan Umum Tentang Anak.
a. Pengertian anak.
Terdapat beberapa pengertian anak menurut peraturan perundangundangan begitu juga menurut para ahli, namun tidak ada keseragaman mengenai
pengertian anak tersebut, berikut ini merupakan beberapa pengertian anak dalam
peraturan perundang-undangan.
a. Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang HAM dikatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang
berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah,
termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut
adalah demi kepentingannya.
b. Menurut Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dikatakan bahwa anak adalah
anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur
18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Universitas Sumatera Utara

c. Menurut Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , anak yang
belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun.
Sedangkan apabila ditinjau batasan umur anak sebagai korban
kejahatan ( BAB XIV ) adalah apabila berumur kurang dari 15 (lima
belas) tahun.
d. Menurut pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
ditetapkan juga bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu
kawin.
e. Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Convention on the Right of the
Child (CRC) atau KHA menetapkan defenisi anak: “Anak berarti
setiap manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undangundang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal.
f. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dikatakan bahwa anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.
Menurut Nandang Sambas, bahwa pengertian anak dapat dikaji dari
perspektif sosiologis, psikologis dan yuridis.
a. Perspektif sosiologis dalam hal ini diartikan dengan kriteria seorang
anak, bukan semata-mata didasarkan pada batas usia seseorang, akan
tetapi dipandang dari segi mampu tidaknya seseorang untuk dapat

Universitas Sumatera Utara

hidup mandiri menurut pandangan sosial kemasyarakatan dimana ia
berada.
b. Perspektif psikologis, berarti pertumbuhan manusia mengalami fasefase perkembangan kejiwaan yang masing-masing ditandai dengan
ciri-ciri tertentu. Untuk menentukan kriteria seorang anak, disamping
ditentukan atas dasar batas usia, juga dapat dilihat dari pertumbuhan
dan perkembangan jiwa yang dialaminya.
c. Perspektif yuridis berarti kedudukan seorang anak menimbulkan akibat
hukum. Di dalam lapangan hukum keperdataan, akibat hukum
terhadap kedudukan seorang anak menyangkut kepada persoalanpersoalan hak dan kewajiban, seperti masalah kekuasaan orang tua,
pengakuan sahnya anak, penyangkalan sahnya anak, perwalian,
pendewasaan, serta masalah pengangkatan anak dan lain-lain,
sedangkan dalam lapangan hukum pidana yaitu menyangkut masalah
pertanggungjawaban pidana.32
b. Pengertian anak nakal/juvenile delinquency.
Anak sebagai pelaku tindak pidana sering disebut dengan istilah kenakalan
anak atau juvenile delinquency. Istilah juvenile delinquency berasal dari juvenile
artinya young, anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat
khas

pada

masa

muda,

dan

delinquency

artinya

wrong

doing,

terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial,

32

Nandang Sambas, 2013, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen
Internasional Perlindungan Anak serta Penerapannya, Graha Ilmu, Yogyakarta, Hal.1-4.
(Selanjutnya disebut Buku 2).

Universitas Sumatera Utara

kriminal, pelanggar aturan, dursila dan lain-lain. 33 Dengan demikian Juvenile
delinquency ialah perilaku jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan anak-anak
muda ataupun anak cacat sosial yang merupakan gejala sakit (patologis) secara
sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian
sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang
menyimpang.34
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, anak nakal adalah:
1) Anak yang melakukan tindak pidana, atau
2) Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,
baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut
peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, istilah anak nakal tidak dikenal lagi tetapi digunakan istilah anak yang
berkonflik dengan hukum.

Pada Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Sistem

Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa Anak yang Berkonflik dengan Hukum
yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas)
tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan
tindak pidana. 35

33
Nashriana, 2012, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, Rajawali Press,
Jakarta, Hlm. 25.
34
Kartini Kartono, 2014, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, Hal.6.
35
Maidin Gultom, 2014, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, Hal.68.

Universitas Sumatera Utara

Penggunaan istilah Anak untuk menggantikan Anak Nakal tersebut hanya
sebagai penghalusan bahasa (eufemisme) agar tidak memberikan stigma negatif.
Di dalam perspektif labeling memang bisa dipahami penggunaan istilah Anak
untuk menggantikan istilah Anak Nakal karena jika disebut Anak Nakal, Anak
Pidana, Anak Negara, Anak Sipil maka akan selalu memberikan stigma negatif
(label) yang secara kriminologis akan mendorong pengulangan tindak pidana pada
anak yang terlanjur mendapat label. 36
c. Sebab-sebab timbulnya kenakalan anak.
Masa anak-anak adalah masa yang sangat rawan dalam melakukan suatu
tindakan, karena masa anak-anak merupakan suatu masa yang sangat rentan
dengan berbagai keinginan dan harapan untuk mencapai sesuatu ataupun
melakukan sesuatu. Seorang anak dalam melakukan suatu tindakan tidak ataupun
kurang menilai akibat akhir dari tindakan yang dilakukannya, sebagai contoh anak
yang suka mencoret-coret dinding, pagar atau tembok orang, dan melempar batu.
Perbuatan tersebut secara hukum dilarang dan dikenakan sanksi pidana. Anak
yang telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum tersebut harus diperbaiki
perilakunya dan diberi arahan agar jangan dikorbankan masa depan anak dengan
memasukannya dalam proses sistem pengadilan pidana dan menerima hukuman
yang berat atas perbuatannya tersebut.37
Pelaku kenakalan anak adalah korban. Memang, mungkin anak terbukti
melakukan tindak kenakalan yang melanggar hukum positif, karena kelakuannya
36

Evan Tjiang, 2014, Sistem Sanksi Pidana Dalam Hukum Pidana Anak Di Indonesia,
Lex Crimen Vol. III/No. 4/Ags-Nov/2014, Hal.64, diakses dari ejournal.unsrat.ac.id › Home › Vol
3, No 4 (2014) › Tjiang , diakses tanggal 29 Maret 2016 pukul 19.00 WIB.
37
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, 2012, Refika Aditama, Bandung, Hal.60.
(Selanjutnya disebut Buku 3).

Universitas Sumatera Utara

mungkin akan menggangu tertib sosial, karena kenakalannya membuat marah
publik, dan karena ulahnya ada pihak yang dirugikan, bahkan karena
kenakalannya akan mengakitbatkan kematian atau siksaan bagi orang lain, namun
apa pun alasannya sesungguhnya dia adalah korban.
Korban dari apa, siapa, dan dari mana? Dia adalah korban dari perlakuan
yang salah yang dilakukan orangtuanya, dia adalah korban dari pendidikan gurugurunya, dia adalah korban dari kebijakan pemerintah lokal, dan dia juga adalah
korban dari lingkungan sosial yang memberikan tekanan psikis sehingga anakanak melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. Bahkan karena ada
nilai-nilai yang terinternalisasi sejak usia dini, dia tidak tahu bahwa apa yang
dilakukan adalah sebuah perrbuatan yang melanggar hukum.38
Menurut Romli Atmasasmita, bentuk motivasi kenakalan anak itu ada dua
macam, yaitu: motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik. Yang dimaksud dengan motivasi
intrinsik adalah dorongan atau keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu
disertai dengan perangsang dari luar, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah
dorongan yang datang dari luar. Motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari kenakalan
anak, terdiri dari:
1. Yang termasuk motivasi intrinsik dari kenakalan anak adalah:
a. Faktor intelegensia;
b. Faktor usia;
c. Faktor kelamin;
d. Faktor kedudukan anak dalam keluarga;

38

Hadi Supeno, Op.cit, hlm 91-92.

Universitas Sumatera Utara

2. Yang termasuk motivasi ekstrinsik dari kenakalan anak adalah:
a. Faktor rumah tangga;
b. Faktor pendidikan dan sekolah;
c. Faktor pergaulan anak;
d. Faktor media masa. 39
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Kathleen Sallen, dikatakan
bahwa ada beberapa faktor sosial yang menyebabkan delinquency yaitu:
1. Jenis kelamin dan perilaku delinquency. Anak perempuan lebih sedikit
keterlibatannya dengan delinquency dan lebih jarang dalam kejahatan
dibanding anak laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anak-anak yang
dilaporkan melakukan tindak pidana di kepolisian, jumlah kasus perkara
pidana yang masuk dan diselesaikan di Pengadilan Negeri Medan dan
jumlah anak yang berada dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak.
2. Adanya pengaruh teman bermain anak, anak yang bergaul dengan anak
yang tidak sekolah atau berpendidikan dan kurang mendapatkan perhatian
dari kedua orang tuanya, maka anak tersebut besar kemungkinan akan
melakukan delinquency.
3. Kebanyakan anak yang melakukan kejahatan adalah anak-anak dari kelas
ekonomi rendah/lemah. Perilaku kriminal ini disebabkan oleh kekurangan
fasilitas untuk bermain dan belajar sesuai dengan masa perkembangan
kejiwaan

anak, hal

memerhatikan

39

ini dikarenakan

kebutuhan

orang tua mereka kurang

anak–anaknya

dikarenakan

keterbatasan

Nashriana, Op.cit, Hal.35-36.

Universitas Sumatera Utara

ekonomi, sehingga pada akhirnya anak–anak tersebut harus melakukan
kegiatan-kegiatan yang tidak baik untuk memiliki/memenuhi kebutuhan
pribadinya dan menurutnya hal itu adalah sesuatu yang menyenangkan.
Seperti anak melakukan pencurian sandal dan pakaian, anak mengambil
mainan temannya, anak mengambil tape mobil, dan sebagainya.
4. Disamping kekurangan ekonomi, kebanyakan anak yang terlibat dalam
delinquent adalah anak-anak yang berasal dari keluarga broken home.40
4. Tindak pidana pembunuhan.
a. Pengertian pembunuhan
Pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain, untuk
menghilangkan nyawa orang lain itu, seseorang pelaku harus melakukan sesuatu
atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain
dengan catatan bahwa opzet dari pelakunya harus ditujukan pada akibat berupa
meninggalnya orang lain tersebut.41
Dilihat dari kepentingan hukum yang dilindunginya, tindak pidana ini
merupakan jenis tindak pidana terhadap kepentingan hukum yang berupa
“nyawa”. Justru karena itulah di dalam KUHP jenis tindak pidana ini berada di
bawah bab tentang kejahatan-kejahatan terhadap nyawa orang. Di dalam KUHP
tindak pidana pembunuhan diatur dalam Buku II Bab XIX. Tindak pidana ini
termasuk delik materiil (material delict), artinya untuk kesempurnaan tindak
pidana ini tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan, akan tetapi menjadi syarat
juga adanya akibat dari perbuatan itu.
40

Marlina, Buku 3, Op.cit, hlm 62.
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, 2012, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan
Kesehatan, Sinar Grafika, Jakarta, Hal.1.
41

Universitas Sumatera Utara

Timbulnya akibat yang berupa hilangnya nyawa orang atau matinya orang
dalam tindak pidana pembunuhan merupakan syarat mutlak. Sebab apabila akibat
berupa hilangnya nyawa orang itu belum terjadi, maka belum dapat dikatakan
telah terjadi tindak pidana pembunuhan. Apabila akibat hilangnya nyawa belum
terjadi, maka yang terjadi barulah percobaan pembunuhan.42
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat kita ketahui bahwa unsurunsur tindak pidana pembunuhan, yaitu:
a. Unsur obyektif:
1) Perbuatan: menghilangkan nyawa;
2) Obyeknya: nyawa orang lain;
b. Unsur subyektif:
1) Adanya wujud perbuatan ;
2) Adanya suatu kematian;
3) Adanya hubungan sebab dan akibat (causal verband) antara perbuatan
dan akibat kematian (orang lain). 43
b. Jenis-jenis tindak pidana pembunuhan
Secara umum, tindak pidana pembunuhan yang diatur dalam KUHP dapat
dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu :
1. Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja. Tindak
pidana ini meliputi beberapa tindak pidana pembunuhan, yaitu:

42

Tongat, 2003, Hukum Pidana Materiil, Djambatan, Jakarta, Hal.3. (Selanjutnya disebut

Buku 3).
43

Adami Chazawi, 2013, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, Hal.57.

Universitas Sumatera Utara

a. Tindak pidana pembunuhan pada umumnya, yang meliputi tindak
pidana yang diatur dalam Pasal 338, 340, 344, dan 345 KUHP.
b. Tindak pidana pembunuhan terhadap bayi pada saat dilahirkan atau
tidak lama setelah dilahirkan, yang diatur dalam Pasal 341, 342, dan
343 KUHP.
2. Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan tanpa adanya kesengajaan,
yang diatur dalam Pasal 359 KUHP.
Berdasarkan pengelompokan tersebut tersimpul bahwa tindak pidana
pembunuhan dapat terjadi baik karena unsur “kesengajaan” maupun karena unsur
“ketidaksengajaan”. Apabila kelompok tindak pidana pembunuhan di atas
diurutkan sesuai dengan sistematika dalam KUHP, maka urutannya adalah
sebagai berikut:
1. Tindak pidana pembunuhan biasa, diatur dalam Pasal 338 KUHP.
2. Tindak pidana pembunuhan yang dikualifikasi, diatur dalam Pasal 339
KUHP.
3. Tindak pidana pembunuhan berencana, diatur dalam Pasal 340 KUHP.
4. Tindak pidana pembunuhan terhadap bayi atau anak, diatur dalam Pasal
341, 342, dan 343 KUHP.
5. Tindak pidana pembunuhan atas permintaan korban, diatur dalam Pasal
344 KUHP.
6.

Tindak pidana pembunuhan terhadap diri sendiri (bunuh diri), diatur
dalam Pasal 345 KUHP.

Universitas Sumatera Utara

7. Tindak pidana pengguguran kandungan, diatur dalam Pasal 346, 347, 348,
dan 349 KUHP. 44
c. Pembunuhan berencana
Pembunuhan dengan rencana terlebih dahulu atau disingkat dengan
pembunuhan berencana merupakan pembunuhan yang paling berat ancaman
pidananya dari seluruh bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, hal ini diatur
dalam pasal 340 yang rumusannya adalah “Barangsiapa dengan sengaja dan
dengan rencana terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, dipidana karena
pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun”.
Rumusan tersebut terdiri dari unsur – unsur:
Unsur delik Pasal 340 KUHP yang dibuktikan adalah unsur subjektif di
mana pembuktiannya lebih sulit daripada membuktikan unsur objektif dari suatu
delik, karena membuktikan isi hati seseorang.
Apabila dalam membuktikan unsur subjektif dari suatu delik menjumpai
kesulitan kita perlu melihat:
1. Ajaran kausalitet untuk mengetahui siapa pelaku tindak pidana.
2. Rangkaian perbuatan yang mengakibatkan timbulnya delik.
3. Perbuatan yang disimpulkan untuk mendapatkan akibat yang paling
logis. 45
F.

Metode Penulisan.
1. Jenis Penelitian
44
45

Tongat, Buku 3, Op.cit, hlm 3-4.
Suharto, 2002, Hukum Pidana Materiil, Sinar Grafika, Jakarta, Hal.83.

Universitas Sumatera Utara

Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode penetilitan
yuridis normatif, yaitu penelitian dilakukan terhadap peraturan perundangundangan dan norma-norma positif dalam system perundang-undangan yang
berkaitan dengan permasalahan penulisan ini, menurut Soerjono Soekanto dan Sri
Mamuji, penilitian hukum normatif mencakup :
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum
b. Penelitian terhadap sistematika hukum
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal
d. Perbanding

Dokumen yang terkait

Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn)

2 81 104

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 64 103

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

3 82 103

Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor 1/Pid.Sus.Anak/2015/PN-STB)

3 18 109

Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor 1 Pid.Sus.Anak 2015 PN-STB)

0 1 8

Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor 1 Pid.Sus.Anak 2015 PN-STB)

0 0 1

Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor 1 Pid.Sus.Anak 2015 PN-STB)

0 0 26

Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor 1 Pid.Sus.Anak 2015 PN-STB)

0 0 6

Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat)

0 1 100

PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus Putusan Nomor : 22PID.B2011PN.PRA)

0 0 21