Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asal Papua Dalam Berinteraksi Dengan Mahasiswa dan Dosen di Universitas Sumatera Utara

16

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1

Paradigma/Perspektif Kajian
Paradigma menurut Harmon (dalam Moleong, 2004: 49) adalah cara

mendasar untuk mempersepsikan, berpikir, menilai dan melakukan yang
berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang realitas. Friedrichs kemudian
memberikan penjelasan tentang paradigma sebagai suatu pandangan yang
mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan
yang semestinya dipelajari.
Menurut Thomas Khun (dalam Mulyana, 2001: 10) menyatakan bahwa
paradigma menentukan apa yang tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat, dan
tidak ingin diketahui. Khun juga berpendapat bahwa paradigma adalah suatu
kerangka atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan
suatu teori.


Paradigma penelitian menjelaskan bagaimana cara pandang

peneliti terhadap fakta kehidupan sosial perlakuan peneliti terhadap ilmu atau
teori. Dapat disimpulkan bahwa paradigma dapat diartikan sebagai kacamata
atau sudut pandang dalam melihat objek sesuatu yang diamati.
Paradigma sangat penting perannya dalam memengaruhi teori, analisis,
maupun tindakan peneliti. Paradigma berperan dalam menjelaskan asumsiasumsinya yang spesifik mengenai bagaimana penelitian harus dilakukan
dalam bidang ilmu penelitian. Paradigma penelitian juga menjelaskan
bagaimana peneliti memahami masalah

serta kriteria pengujian sebagai

landasan untuk menjawab masalah penelitian.
2.1.1 Paradigma Interprentif
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma
Interprentif. Paradigma ini muncul karena ketidakpuasan terhadap teori postpositivis. Positivis dianggap terlalu umum, terlalu mekanis, dan tidak mampu
menangkap keruwetan, nuansa dan kompleksitas dari interaksi manusia.
Interpretif mencari sebuah pemahaman bagaimana kita membentuk dunia

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

17

pemaknaan melalui dunia interaksi dan bagaimana kita berperilaku terhadap
dunia yang kita bentuk. Dalam pencarian jenis pemahaman, interpretif
mendekati dunia dan pengetahuan dengan cara yang sangat berbeda dengan
cara teori post-positivis (Ardianto dan Q-Anees, 2007: 124).
Paradigma interprentif adalah cara pandang yang bertumpu pada
tujuan untuk memahami dan menjelaskan dunia sosial berdasarkan dari
kacamata aktor yang terlibat di dalamnya. Paradigma interprentif menganggap
bahwa ilmu bukanlah suatu hukum yang baku; setiap gejala/peristiwa bisa jadi
memiliki makna yang berbeda. Interprentif memandang realitas sebagai
bentukan dari interaksi manusia yang penuh makna (meaningfull social
action).
Paradigma interprentif berangkat dari upaya mencari penjelasan
tentang peristiwa-peristiwa sosial dan budaya yang didasarkan pada
perspektif/paradigma dan pengalaman orang yang diteliti (Newman dalam
Kevinzky, 2011:25). Tujuan pendekatan interpretif tidak lain adalah
menganalisis realita sosial semacam ini dan bagaimana realita sosial itu

terbentuk. Untuk memahami sebuah lingkungan sosial yang spesifik, peneliti
harus menyelami pengalaman subjektif para pelakunya.

2.2 Kajian Pustaka
2.2.1

Penelitian Terdahulu

Penelitian yang baik adalah penelitian yang memiliki banyak referensi
yang terkait mengenai penelitian yang saat ini sedang diteliti kembali.
Penelitian yang terdahulu mampu untuk mengarahkan dan memudahkan
peneliti dalam menentukan langkah yang akan diambil oleh peneliti yang
berkaitan dengan penelitian yang sedang dilakukannya.
Peneliti mencoba merangkum penelitian yang berkaitan dengan
kompetensi komunikasi antarbudaya dan penelitian yang sebelumnya pernah
dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara tentang mahasiswa asal
Papua. Penelitian pertama disampaikan oleh Fredy Kurniawan (2011) dengan
judul penelitiannya Kompetensi Komunikasi Antarbudaya (Studi Kualitatif

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

18

tentang Kompetensi

Komunikasi Antarbudaya

Anggota Perkumpulan

Masyarakat Surakarta (PMS) Etnis Tionghoa dan Jawa).
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang dimiliki
anggota PMS baik yang beretnis Tionghoa maupun Jawa yang mendukung
keberhasilan komunikasi antarbudaya ditubuh organisasi tersebut. Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif
dengan pendekatan interprentif yang mendeskripsikan dan memahami perilaku
dan praktik komunikasi informan kedua etnis di PMS.
Teknik analisis data mengacu pada teori kompetensi komunikasi
antarbudaya Brian H. Spitzberg dan William B. Gudykunst. Penelitian ini
difokuskan pada hasil kompetensi, faktor-faktor penghambat, dan kompetensi

komunikasi

antarbudaya

masing-masing

informan

dari

kedua

etnis.

Kompetensi komunikasi antarbudaya terdiri dari tiga unsur yakni (1) motivasi;
(2) pengetahuan; dan (3) keterampilan komunikasi antarbudaya.
Secara umum, penelitian memiliki kesimpulan bahwa masing-masing
anggota PMS baik etnis Tionghoa dan Jawa telah mampu menjalin
komunikasi antarbudaya satu sama lain secara kompeten. Hal ini dibuktikan
dengan pembauran budaya di tubuh PMS. Meskipun demikian masih

ditemukan faktor-faktor penghambat berupa etnosentris, streotipe dan
prasangka pada masing-masing anggota PMS. Namun, faktor-faktor
penghambat ini bukanlah hal yang mutlak sehingga setiap anggota mampu
menyikapi faktor penghambat tersebut dengan arif.
Munzaimah Masril (2014) melakukan penelitian dengan judul
Kompetensi Komunikasi Antarbudaya (Analisis Hubungan Kecemasan dan
Ketidakpastian dengan Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Warga Negara
Jepang di Indonesia). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimanakah hubungan kecemasan dan ketidakpastian terhadap kompetensi
komunikasi antarbudaya warga Jepang di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan Teori Anxiety Uncertainty Management
dari William Gudykunst dan Dimensi Nilai Budaya dari Geertz Hofstede
untuk menganalisa hasil temuan di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan
pengelolaan kecemasan dan ketidakpastian berhubungan dengan kompetensi

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

19


komunikasi antarbudaya. Kompetensi komunikasi dalam diri seseorang dapat
dilihat dari kemampuannya mengelola kecemasan dan ketidakpastian.
Pengelolaan kecemasan dan ketidakpastian dalam penelitian ini
menyangkut pemenuhan informasi untuk berinteraksi. Selain itu, hasil
penelitian juga menunjukkan motivasi responden cukup besar untuk
mengelola kecemasan dan ketidakpastian saat berinteraksi dengan orang
Indonesia. Penelitian menunjukkan orang Jepang dalam penelitian ini
memiliki kesadaran yang cukup baik dalam membangun interaksi dengan
masyarakat tuan rumah.
Penelitian yang dilakukan oleh Indah Maulida (2014) menyatakan
bahwa mahasiswa asal Papua mengalami

Culture Shock saat berhadapan

dengan budaya serta lingkungan baru yang dihadapinya. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui proses komunikasi yang berlangsung antara
mahasiswa Papua dan mahasiswa USU lainnya dan tahapan-tahapan culture
shock dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa Papua di USU
serta upaya mengatasi culture shock tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang

memusatkan diri secara intensif terhadap suatu objek tertentu dengan
mempelajarinya sebagai suatu kasus. Subjek penelitian adalah mahasiswa asal
Papua yang kuliah di USU angkatan 2012.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa para mahasiswa asal Papua
memiliki kecenderungan culture shock yang tergolong sedang. Hal ini berarti
mereka sudah bisa menyesuaikan diri dan merasa nyaman tinggal di Medan.
Bahkan beberapa informan mengaku lebih nyaman tinggal di Medan daripada
daerahnya sendiri yaitu Papua. Fakultas dan motivasi diri ikut mempengaruhi
proses komunikasi yang terjalin antara mahasiswa Papua dan mahasiswa USU
lainnya. Mahasiswa asal Papua tidak selalu berteman dengan sesamanya tetapi
mereka juga berbaur dengan mahasiswa lainnya agar dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan barunya dan merasa nyaman kuliah di USU.
Nurhayati (2015) juga melakukan penelitian mengenai culture shock
yang dialami oleh mahasiswa asal Papua. Hal yang membedakannya dari
penelitian

yang

dilakukan


oleh

Indah

Maulida

adalah

penelitian

ini

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

20

menitikberatkan pada proses interaksi dan dinamika komunikasi mahasiswa asal
Papua dalam menghadapi culture shock. Penelitian ini bertujuan untuk melihat


bagaimana proses interaksi dan dinamika komunikasi mahasiswa asal Papua
dalam konteks culture shock di lingkungan baru mereka, yaitu Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Metode penelitian yang digunakan adalah deskripif kualitatif.
Penentuan informan dilakukan dengan teknik

Snowball Sampling yang

kemudian dianalisis oleh peneliti. Informan yang pada penelitian ini berjumlah
sebanyak lima orang. Hasil dari penelitian ini ditemukan kecenderungan
informan Papua yang mengalami beberapa gegar budaya seperti kurikulum
pelajaran, kosep harga, makanan, kebiasaan dan beberapa sistem komunikasi
seperti: penggunaan bahasa, intonasi, aksen ketika komunikasi dengan teman
non papua.
Penelitian tentang mahasiswa asal Papua juga pernah dilakukan oleh
Ronny Syahputra.

Penelitian ini merupakan penelitian untuk kajian ilmu

Psikologi dengan judulnya Gambaran Self-efficacy Mahasiswa Universitas

Sumatera Utara yang berasal dari Papua. Penelitian ini bertujuan untuk
melihat gambaran self-efficacy mahasiswa Universitas Sumatera Utara yang
berasal dari Papua.
Self-efficacy adalah keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya
untuk mengorganisasi, melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan,
menghasilkan sesuatu dan mengimplementasi tindakan untuk menampilkan
kecakapan tertentu (Bandura, 1997). Self-efficacy merupakan hal yang sangat
penting dalam mendorong individu untuk memahami lebih mendalam atas
situasi yang dapat menjelaskan tentang mengapa seseorang mengalami
kegagalan dan keberhasilan.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang bersifat deskriptif
yang dimaksud untuk melihat bagaimana gambaran self-efficiacy mahasiswa
Universitas Sumatera Utara yang berasal dari Papua. Metode pengumpulan
data yang dipakai dalam penelitian ini adalah menggunakan skala. Metode
skala yang digunakan karena data yang ingin diukur berupa konstruk atau
konsep psikologis yang dapat diungkapkan secara tidak langsung melalui

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

21

indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk-bentuk item
pernyataan. Hasil penelitian ini menunjukkan self-efficacy mahasiswa
Universitas Sumatera Utara yang berasal dari Papua berada pada kategori
sedang (59,52 %).

2.2.2

Komunikasi Antarbudaya

Kata “budaya” berasal dari bahasa sansekerta buddahaya yang
merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti “budi” atau “akal”.
Kebudayaan itu sendiri dapat diartikan sebagai “hal-hal yang berkaitan
dengan budi atau akal”. Budaya berkaitan dengan cara manusia hidup, belajar
berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang sesuai dan tidak
sesuai dengan dirinya karena di dalamnya terdapat tatanan pengetahuan,
pengalaman, kepercayaan, nilai dan faktor lainnya yang diperoleh
sekelompok besar orang secara turun-temurun (Lubis, 2012: 10).
Samovar dan Potter (dalam Mulyana dan Rakhmat, 2001:19)
berpendapat bahwa budaya dalam hubungannya dengan komunikasi tidak
dapat dipisahkan. Godwin C. Chu (Mulyana, 2004:14) mengatakan bahwa
setiap budaya dan tindakan melibatkan komunikasi. Proses pewarisan budaya
dari generasi ke generasi menjadi bagian dari proses komunikasi dan
komunikasi itu sendiri turut menentukan, memelihara dan mengembangkan
budaya.
Komunikasi antarbudaya secara sederhana

dapat dilihat sebagai

sebuah proses interaksi yang di dalamnya terjadi pertukaran pesan antara
orang berbeda budaya. Menurut Samovar dan Porter (2003) : Komunikasi
antarbudaya terjadi ketika bagian yang terlibat dalam kegiatan komunikasi
tersebut membawa latar belakang nilai-nilai budaya pengalaman yang
berbeda yang mencerminkan nilai-nilai-nilai yang dianut oleh kelompoknya.
Stephen Dahl dari Luton University mendefenisikan komunikasi antarbudaya
secara spesifik yaitu Intercultural communication as the information
exchange between one person and any other source transmitting a message
displaying properties of a cultural different to the one of the receiver’s

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

22

cultural. The source of such a message can be either a person, in an
interpersonal communication process, or any form of mass media or other
form of media (Komunikasi multikultural sebagai pertukaran informasi dari
satu individu ke individu lain, dimana antara pemberi pesan dan penerima
pesan berasal dari unsur-unsur kebudayaan yang berbeda. Sumber dari
penyampai pesan dapat berupa individu yaitu dalam proses komunikasi
antarpersonal dan dapat juga dari media massa atau bentuk lain dari media
massa) (Purwasito, 2002:124).
Interaksi budaya yang efektif sangat bergantung dari komunikasi
antarbudaya. Konsep ini sekaligus menerangkan bahwa tujuan komunikasi
antarbudaya akan tercapai (komunikasi yang sukses) bila bentuk-bentuk
komunikasi untuk memperbaharui relasi antara komunikator dengan
komunikan, menciptakan dan memperbaharui suatu manajemen komunikasi
yang efektif, lahirnya semangat kesetiakawanan, persahabatan, hingga kepada
berhasilnya pembagian teknologi dan mengurangi konflik. Proser (dalam
Liliweri, 2001:170-171) komunikasi antarbudaya yang efektif harus
memperhatikan tiga syarat utama, yakni :
1. Menghormati anggota kebudayaan yang lain sebagai anggota manusia.
2. Menghormati hak anggota budaya lain untuk bertindak berbeda dari
cara kita bertindak.
3. Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi
hidup bersama orang dari budaya yang lain.
Dalam komunikasi antarbudaya ada beberapa hambatan yang dapat
menjadi penghalang tercapainya tujuan komunikasi antarbudaya (Lubis,
2012: 6-8). Hambatan ini antara lain:
1. Fisik (Physical), yang berasal dari hambatan waktu, lingkungan dan
kebutuhan diri dan juga media fisik.
2. Budaya (Cultural), hambatan ini berasal dari etnik yang berbeda,
agama dan juga perbedaan sosial yang ada antara budaya yang satu
dengan lainnya.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

23

3. Persepsi, dikarenakan setiap memiliki persepsi yang berbeda-beda
mengenai suatu hal setelah berinteraksi dan berkomunikasi. Jadi untuk
mengartikan sesuatu setiap budaya akan mempunyai pemikiran yang
berbeda-beda.
4. Motivasi, berkaitan dengan tingkat motivasi dari komunikan, apakah
komunikan ingin menerima pesan tersebut atau sedang malas dan tidak
punya motivasi sehingga dapat menjadi hambatan komunikasi.
5. Pengalaman, setiap individu memiliki pengalaman hidup yang
berbeda-beda sehingga individu mempunyai persepsi dan juga konsep
yang berbeda-beda dalam melihat sesuatu.
6. Emosi, ketika emosi komunikan sedang buruk maka hambatan
komunikasi yang terjadi akan semakin besar dan sulit untuk dilalui.
7. Bahasa, ketika komunikator menyampaikan pesan kepada komunikan
dengan bahsa yang berbeda atau penggunaan kata-kata yang tidak
dimengerti oleh komunikan.
8. Nonverbal, bahasa dalam bentuk nonverbal yang bisa terlihat dari
ekspresi wajah dan gerak tubuh.
9. Kompetisi, hambatan yang muncul ketika komunikan sedang
melakukan kegiatan lain sambil mendengarkan.

2.2.3

Kompetensi Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi dikatakan efektif apabila setiap peserta komunikasi
mampu untuk mempersepsikan makna yang sama atas pesan yang
dipertukarkan (mutual understanding). Kenyataannya komunikasi yang
efektif sangat sulit dicapai terutama apabila peserta komunikasi yang saling
bertukar pesan berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, untuk itu
dibutuhkan kompetensi komunikasi. Kompetensi secara sederhana dilihat
sebagai kemampuan seseorang yang di dalamnya terdapat keterampilan,
pengetahuan dan sikap dalam melakukan kegiatan atau pekerjaan tertentu
sesuai dengan standar yang ada.
Kompetensi komunikasi antarbudaya sebagai kompetensi yang
dimiliki seseorang (baik secara pribadi, kelompok, organisasi atau dalam

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

24

etnik atau ras) untuk meningkatkan kapasitas, keterampilan, pengetahuan,
yang berkaitan dengan kebutuhan utama dari orang-orang yang berbeda
kebudayaannya

(Liliweri,

2009:262).

Kemampuan

seseorang

untuk

menyampaikan pesan dengan tepat dapat disebut sebagai kompetensi
komunikasi. Defenisi lainnya tentang kompetensi komunikasi adalah
kemampuan yang terdiri atas pengetahuan, keterampilan dan sikap yang
sesuai dalam mengelola pertukaran pesan verbal dan nonverbal yang
tujuannya untuk menciptakan kesamaan memahami pesan sehingga
komunikasi efektif dapat tercapai (Samovar et. al., 2010: 460).
Young Yun Kim (dalam Kurniawan, 2011:47) mendefenisikan
kompetensi komunikasi antarbudaya sebagai keseluruhan kemampuan
individu untuk mengelola seluruh aspek-aspek komunikasi antarbudaya yang
meliputi perbedaan budaya, sikap in-group dan tekanan-tekanan. Setiap
peserta komunikasi antarbudaya dikatakan kompeten apabila mereka mampu
untuk

mengelola

antarbudaya

secara

kompeten

faktor

penghambat

komunikasi

sehingga tercapai komunikasi yang efektif diantara peserta

komunikasi antarbudaya.
Gundykunts & Kim dalam Rahardjo mengatakan sebenarnya bahwa
paling tidak ada dua pandangan mengenai sifat kompetensi. Pandangan
pertama menegaskan kompetensi seharusnya ada di dalam diri seseorang
(komunikator) sebagai kapasitas orang tersebut untuk memfasilitasi proses
komunikasi antar individu yang berbeda budaya sedangkan proses kedua
berpendapat kompetensi harus ada pada kedua belah pihak (Rahardjo,
2003:72 dalam Lubis, 2012:162).
William

Howel

menyebutkan

terdapat

empat

tingkatan

dari

kompetensi komunikasi, yaitu:
1. Unconscious Incompetence: Tidak sadar dan tidak bisa melakukan apaapa. Dimaksud tidak sadar adalah telah salah menafsirkan pesan atau
perilaku komunikasi pihak lain secara tidak sadar. Sedangkan tidak bisa
melakukan apa-apa adalah tidak cukup peduli dengan perilaku
komunikasinya sendiri. Bentuk kompetensi ini adalah yang paling rendah
dari bentuk lainnya.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

25

2. Conscious Incompentence: Sadar dalam berkomunikasi, tetapi tidak bisa
melakukan apa-apa. Sadar adalah komunikasi yang dilakukannya tidak
efektif dan seringkali terjebak pada salah paham, seperti penanganan
konflik yang tidak produktif. Meskipun begitu, mampu melakukan apapun
untuk memperbaikinya.
3. Conscious Competence: Sadar dalam hal berkomunikasi dan mampu
melakukan sesuatu. Orang pada bentuk ini mampu mengontrol perilaku
komunikasinya secara sadar dan melakukannya terus menerus sehingga
menjadi komunikasi yang lebih efektif.
4. Unconscious Competence: Tidak sadar karena telah menjadi sebuah
kebiasaan dan mampu melakukan sesuatu. Bentuk ini merupakan tingkatan
paling tinggi dalam kompetensi komunikasi. Orang pada tingkatan ini
memiliki kemampuan untuk menyatukan tindakan komunikasi menjadi
bagian dari perilakunya sehari-hari. Dia tidak perlu lagi sibuk untuk
mengatur perilakunya terus menerus karena secara otomatis dirinya telah
menyesuaikan (Griffin, 2006: 431).
Kemampuan seseorang untuk berinteraksi secara efektif dan tepat
dalam budaya lain dipengaruhi oleh komponen utama yang patut menjadi
perhatian, di antaranya motivasi untuk berkomunikasi, pengetahuan yang
cukup tentang budaya, keterampilan untuk mengelola motivasi dan
pengetahuan yang dimiliki dalam berkomunikasi.
Spitzberg (dalam Samovar dan Porter, 2000: 395) mengemukakan
tiga komponen kompetensi dalam komunikasi antarbudaya, yaitu:
1. Pengetahuan (knowledge)
Semakin banyak informasi yang diketahui oleh orang yang melakukan
komunikasi maka akan semakin meningkat juga interaksi yang
dilakukannya di dalam komunikasi. Hal tersebut juga berlaku di dalam
komunikasi antarbudaya. Pengetahuan yang cukup tentang budaya
menjadi penting karena dengan mempunyai komponen ini dengan
sendirinya seseorang menyadari dan memahami peraturan, norma dan
harapan yang dapat dikelompokkan dengan budaya orang-orang yang
berinteraksi dengannya. Ada banyak pelaku komunikasi antarbudaya yang

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

26

gagal

dalam

berkomunikasi

dikarenakan

keterbatasan

akan

pengetahuannya tentang budaya dari lawan bicaranya. Akibat yang
ditimbulkan adalah adanya ketidakpuasan dalam diri orang-orang yang
berkomunikasi bahkan tujuan dari komunikasi tersebut tidak sampai.
Usaha yang dilakukan untuk mencapai kompetensi dalam komunikasi
adalah seseorang diharapkan memiliki pengetahuan konten yang meliputi
pengetahuan mengenai isi pesan dan pengetahuan prosedural berkaitan
dengan bagaimana proses isi pesan disampaikan dalam situasi tertentu
(Samovar et. al., 2010: 462).
2. Motivasi (motivation)
Motivasi menjadi bagian hal yang penting untuk diperhatikan karena
dalam interaksi dengan orang lain agar tercipta suasana yang positif harus
terlihat oleh dua pelaku komunikasi motivasi dari kedua pihak. Motivasi
yang logis dan alami akan membentuk persepsi tentang keinginan pribadi
untuk meningkatkan kemampuan komunikasinya. Motivasi dalam
berkomunikasi erat kaitannya dengan sasaran, tujuan yang akan dicapai
dari kegiatan komunikasi tersebut. Jonathan H. Turner (dalam Liliweri,
2009:265) bahwa motivasi didasari hanya oleh kebutuhan dasar manusia
untuk berkomunikasi. Kebutuhan dasar itu diantaranya kebutuhan akan
perasaan aman, kebutuhan akan rasa percaya terhadap orang lain,
kebutuhan akan keterlibatan dalam kelompok, kebutuhan untuk menjauhi
kecemasan, kebutuhan untuk membagi pengalaman, kebutuhan terhadap
faktor pemuas seperti material dan simbolis, kebutuhan untuk membagi
pengalaman, kebutuhan akan bertahannya konsep diri.
3. Keterampilan (skill)
Dalam berkomunikasi kebanyakan orang sering mengalami kendalakendala sehingga informasi yang disampaikan atau diterima tidak jelas
bahkan ada informasi yang sering berubah arti karena adanya distorsi.
Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan modal dalam membangun
sebuah interaksi terkhusus bagi orang-orang yang memiliki latar belakang
budaya yang berbeda. Sederhananya semakin tinggi keterampilan
komunikasi seseorang hal ini akan diikuti dengan semakin meningkat pula

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

27

kompetensi komunikasinya. Terdapat tiga unsur yang ada di dalam
komponen keterampilan ini, yakni : (1) kemampuan menggolongkan
anggota budaya lain ke dalam kategori yang sama dimana mereka
menggolongkan diri mereka sendiri; (2) kemampuan untuk memaklumi
kerancuan; (3) kemampuan berempati dengan anggota budaya lain.
(Gudykunst dalam Griffin, 2006:401-402).

2.2.4

Teori Manajemen Kecemasan dan Ketidakpastian (Anxiety and
Uncertainty Management Theory)
Teori Anxiety/Uncertainty Management (AUM) dikembangkan

oleh William B. Gudykunst, seorang professor dari Universitas California.
Gudykunst pertama sekali memperkenalkan teori ini pada tahun 1985
dengan konsep dasar yang memfokuskan pada kajian komunikasi
antarbudaya dalam satu kelompok atau berbeda kelompok. Secara resmi
teori ini diperkenalkan dengan label AUM pada tahun 1993. Pada
perkembangannya teori ini berusaha untuk menjelaskan bagaimana proses
penyesuaian diri seseorang dalam konteks komunikasi antarbudaya.
William B. Gudykunst mengembangkan pemikiran teori tentang
pengurangan ketidakpastian dari Charles berger dan teori identitas sosial
milik Henri Tajfel secara signifikan dengan melihat bagaimana
ketidakpastian dan kecemasan itu dalam situasi budaya yang berbeda.
Gudykunst

(Turnomo,

2005:68)

memfokuskan

kajian

mengenai

kecemasan dan ketidakpastian pada pertemuan kultural (cultural
encounter) antara ingroups dengan strangers (individu-individu yang ada
dalam suatu situasi, tetapi bukan anggota dari ingroups). Lebih lanjut
Gudykunst berasumsi bahwa paling tidak satu orang dalam pertemuan
antarbudaya adalah stranger atau ‘orang asing’ di mana pada tahap-tahap
awal berinteraksi, ‘orang asing’ ini akan mengalami kecemasan dan
ketidakpastian (merasa tidak aman dan tidak pasti tentang bagaimana
harus berperilaku).
Teori AUM menjelaskan bahwa untuk menjadi seseorang yang
pengertian

(mindful)

penting

untuk

mengurangi

kecemasan

dan

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

28

ketidakpastian sampai tahap optimal sehingga pada akhirnya mampu
mencapai komunikasi efektif. Kecemasan muncul di tingkat afektif yang

mengacu pada perasaan seperti kegelisahan, kecanggungan, kebingungan,
stress yang muncul ketika seseorang mulai berhadapan dengan orang
asing. Ketidakpastian menjadi satu fenomena di tingkat kognitif yang
melibatkan ketidakpastian yang terduga maupun ketidakpastian yang
memberi penjelasan. Langer (1989) menyebutkan bahwa jika ingin menjadi
seseorang yang mindful, harus menyadari bahwa terdapat lebih dari satu
pandangan yang dapat digunakan untuk memahami atau menjelaskan bentuk
interaksi dengan orang asing (Gudykunst and Kim, 2003: 40).
Dalam kondisi pertemuan antarbudaya yang dimana terdapat
kecemasan dan ketidakpastian menurut Gudykunst, individu yang menjadi

anggota

suatu

kebudayaan

tertentu

akan

berupaya

mengurangi

ketidakpastian pada tahap hubungan mereka dengan cara yang berbedabeda sesuai dengan latar belakang budaya mereka. Perbedaan latar
belakang budaya tersebut mencakup budaya konteks tinggi atau budaya
konteks rendah (Morissan, 2009:133).
Beberapa faktor yang menyebabkan ketidakpastian dan kecemasan
mengalami

penurunan

atau

peningkatan

dalam

suatu

pertemuan

antarbudaya adalah konsep diri dan kompetensi komunikasi (antarbudaya)
yakni motivasi, pengetahuan dan kecakapan (skill). Motivasi merujuk pada
seperangkat perasaan, kehendak, kebutuhan, dan dorongan

yang

diasosiasikan dengan antisipasi atau keterlibatan dalam komunikasi
antarbudaya.

Faktor-faktor

seperti

kecemasan,

jarak

sosial

yang

dipersepsikan, etnosentrisme, dan prasangka dapat mempengaruhi
keputusan seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain. Jika
ketakutan, ketidaksukaan, dan kecemasan yang lebih menonjol, maka
seseorang akan mempunyai motivasi yang negatif, dan akan menghindari
interaksi dengan orang lain.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

29

2.3 Kerangka Pemikiran

Kompetensi
Mahasiswa dan

Mahasiswa Asal Papua
Komunikasi Antarbudaya

-

Pengetahuan

-

Motivasi

-

Keterampilan

Dosen di USU

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Culture Shock Dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya Pada Mahasiswa Asal Malaysia Di Medan (Studi Kasus Pada Mahasiswa Asal Malaysia Di Universitas Sumatera Utara)

9 145 187

Pola Adaptasi Dan Interaksi Mahasiswa Asal Papua Dengan Mahasiswa Daerah Lain (Studi Pada Mahasiswa Asal Papua Di Universitas Sumatera Utara)

22 169 120

Pola Komunikasi Mahasiswa Asal Sumatera Utara Suku Batak Karo (Studi Deskriptif Pola Komunikasi Mahasiswa Asal Sumatera Utara yang Melakukan Studi di Universitas Komputer Indonesia dalam Berinteraksi dengan Lingkungan Kampusnya)

0 17 77

Pola Komunikasi Mahasiswa Asal Sumatera Utara Suku Batak Karo (Studi Deskriptif Pola Komunikasi Mahasiswa Asal Sumatera Utara yang Melakukan Studi di Universitas Komputer Indonesia dalam Berinteraksi dengan Lingkungan Kampusnya)

0 5 77

Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asal Papua Dalam Berinteraksi Dengan Mahasiswa dan Dosen di Universitas Sumatera Utara

1 32 131

Pola Adaptasi Dan Interaksi Mahasiswa Asal Papua Dengan Mahasiswa Daerah Lain (Studi Pada Mahasiswa Asal Papua Di Universitas Sumatera Utara)

3 17 120

Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asal Papua Dalam Berinteraksi Dengan Mahasiswa dan Dosen di Universitas Sumatera Utara

0 0 5

Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asal Papua Dalam Berinteraksi Dengan Mahasiswa dan Dosen di Universitas Sumatera Utara

0 0 2

Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asal Papua Dalam Berinteraksi Dengan Mahasiswa dan Dosen di Universitas Sumatera Utara

0 0 10

Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asal Papua Dalam Berinteraksi Dengan Mahasiswa dan Dosen di Universitas Sumatera Utara

0 0 4